Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 19

MAKALAH ULUMUL HADITS

HADITS PADA ABAD KEDUA HIJRIAH

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 8

SEPTIWI ANNISA PUTRI 220101024

SUCIATI 220101023

SESILIA DWI SANDRA 220101053

ULFI HOIRUN NIKMA 220101054

YAYUNKA WAQIDA K.P 220101041

FAKULTAS TARBIYAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM INSTITUT

AGAMA ISLAM AL- QUR’AN AL-ITTIFAQIAH INDRALAYA

TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu‟alaikum warahmatullahi wa barakaatuh

Segala puji dan syukur kehadirat Ilahi Robi yang telah memberikan segala rahmat dan
karunianya kepada penulis. Akhirnya makalah Ulumul Hadits yang berjudul “Hadits Pada
Abad Kedua sudah selesai dibuat.

Dalam penulisan makalah ini penulis masih merasa masih banyak kekurangan baik
pada teknis penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk
itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan makalah
ini.

Dalam makalah ini penulis menyampaikan banyak terimakasih kepada dosen pengajar
dan para pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini.

Wassalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh

Indaralaya, 22 Maret 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..........................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................iii

A. Latar Belakang .............................................................................................1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................1
C. Tujuan............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................2

A. Pengkodifikasian Hadits pada Abad kedua ................................................2


B. Pembukuan Hadits pada abad Kedua Hijriah .............................................5
C. Perkembangan Pemalsuan Hadits dan Upaya Penanggulangannya ............7
D. Motif Pemalsuan Hadits .............................................................................11
E. Upaya Penanggulangannya Pemalsuan Hadits ...........................................13

BAB III PENUTUP ..............................................................................................15

A. Kesimpulan ..................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Islam mengenal dua sumber hukum dalam perundang-undangan. Yang pertama ialah
Al-Qur’an sedangkan yang kedua adalah Al-Hadits. Namun, terdapat perbedaan yang
mencolok diantara keduanya, yaitu sejarah perkembangan dan kodifikasinya. Al-Qur’an sejak
awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari
kemungkinan pemalsuan sehingga terjaga keasliannya hingga akhir zaman. Lain halnya
dengan Al-Hadits, tidak ada perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya
lebih merupakan inisiatif dari para sahabat nabi. Pada awalnya, hadits hanyalah sebuah
literatur yang isinya mencakup semua ucapan, perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi
Muhammad SAW. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara
berkesinambungan dari generasi kegenerasi. Mempertahankan eksistensi hadits dari generasi
ke generasi maupun dari zaman ke zaman dari masa nabi, sahabat, tabi’in, pengikut tabi’in
hingga saat ini bukanlah perkara yang mudah. Perjalanannya tidak mudah seperti yang
dipikirkan orang pada umumnya, tidak sedikit rintangan ataupun kendala yang mereka
hadapi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengkodifikasikan Hadits pada Abad Kedua ?
2. Bagaimana Pembukuan Hadits pada Abad Kedua Hijriah?
3. Bagaimana Perkembangan Pemalsuan Hadits dan Upaya Penanggulangannya?
4. Apa Motif Pemalsuan Hadits
5. Sebutkan Upaya Penanggulangan Pemalsuan Hadits?
1.3 Tujuan Masalah
1. Pengkodifikasian Hadits pada Abad Kedua Hijriah
2. Pembukuan Pemalsuan Hadits dan Upaya Penanggulangannya
3. Perkembangan Pemalsuan Hadits dan Upaya Penanggulangannya
4. Motif Pemalsuan Hadits
5. Upaya Penanggulangannya Pemalsuan Hadits

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengkodifikasian Hadits pada Abad Kedua


a. Pengertian Kodifikasi

1. At Tadwin (Kodifikasi)
Kata kodifikasi secara bahasa berasal dari bahsa inggris yaitu, codification yang
berarti penyusunan secar sistematis.[1] Sedangkan, menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia kodifikasi merupakan himpunan berbagai peraturan yang menjadi
undang-undang dalam bahasa arab, kodifikasi dikenal dengan istilah Tadwin
masdar dari fi’il membuktikan dan mendaftarkan.[1] Secara bahasa Tadwin
diterjemahkan dengna kumpulan sahiafah (mujtama’ al-suhuf) secara luas Tadwin
diartikan dengan al-jan’I (mengumpulkan).[2] Secara istilah, kodifikasi menurut
Kamus Bahasa Indonesia merupakan menyusun atau membukukan peraturan
sehingga menjadi kitab perundang-undangan.[3]

Dari berbagai pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa kodifikasi


merupakan upaya penulisan, pengumpulan dan pembukuan hadits-hadits nabi
sehingga menjadi kitab.
Sementara yang dimaksud dengan Tadwin Hadis pada periode ini adalah
pembukuan (kodifikasi) secara resmi yang berdasarkan perintah kepala negara,
dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dibidangnya

Kodifikasi hadis pada abad ke-2 ini sudah mulai digunakan denganmaksimal,
sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum terbukukan secara sempurna.
Masa ini juga disebut masa pengkodifikasian Hadits (al-jam'u wa at-tadwin). Kita
al- muwathta' karya imam Malik menjadi kitab tertua yang sampai pada kita
sampai sekarang ini. Kitab awalnya merupakan permintaankhalifah pada sang
imam berisi lebih dari 1000 hadis dengan berbagai variasihadis. Didalam kitab al-
Muwaththa’ juga terdapat perselisihan mengenai kriteriakeshahihan hadis. Selain
itu banyak para ulama hadis dan para orientalis yang mengkritik tentang kitab al-
Muwa

5
Kodifikasi Hadis dan Kitab-Kitab Terpopuler pada Abad Ke-2Hijriyah.
Masa tabi’i al-tabi’in dimulai dengan berakhirnya masa tabi’in, dantabi’in
terakhir adalah tabi’in yang bertemu dengan sahabat yangmeninggal paling akhir.
An- Naisaburi menyatakan bahwa tabi’in yangterakhir adalah yang bertemu
dengan Anas ibn Malik di Basrah, denganAbdullah ibn Abi Aufa di Kufah,
dengan al-Sa’ib ibn Yazid di Madinah,dengan Abdullah ibn Haris ibn Jauz di
Mesir, dengan Abu Umamah al-Bakili di Syam,83 dan Abu Thufail Amir ibn
Wailah al-Laisi. Sedangkanmenurut Ajjaj al-Khatibi bahwa akhir masa tabi’in
yang merupakan awalmasa tabi’i a-tabi’in adalah tahun 150 H.pendapat ini
berbeda dengan pendapat Subhi al-Shalih yang menyatakan bahwa akhir dari
masa tabi’inadalah tahun 181 H, bersamaan dengan meninggalnya Khalaf
ibnKhalifah. Iaadalah tabi’in yangterakhir karena ia adalah tabi’in yang bertemu
dengan sahabat yang terakhir kali meninggal, yaitu Abu ThufailAmir ibn Wailah.
Adapun mengenai akhir masa tabi at-tabi’in para ulama bersepakat yaitu pada
tahun 220 H.Cara periwayatan hadis pada tabi al-tabi’in adalah bi al-lafzi,
yaitudengan lafaz, karena kodifikasi hadis dimulai pada akhir masa
tabi’in.88kodifikasi pada masa ini telah menggunakan metode yang
sistematis,yakni dengan mengelompokkan hadis-hadis yang ada sesuai dengan
bidang bahasan masing-masing, walaupun masih bercampur antara hadis Na bi
dengan qaul sahabat dan tabi’in. sebagaimana terdapat dalam al-Muwattha’ Imam
Malik. Baru pada awal abad kedua hijriyah, dalamkodifikasinya, hadis sudah
dipisahkandari qaul sahabat dan tabi’in sepertiMusnad Abu Dawud at-Thayalisi
(204 H).Selain dengan riwayah bi al-lafzi salah satu system penerimaan dan per
iwayatan hadis yang muncul pada masa ini adalah system “isnad”.Maraknya
pemalsuan hadis pada akhir masa tabi’in dan berlanjut padamasa sesudahnya telah
mendorong para ulama untuk meneliti keotentikanhadis yang salah satu
caranyaIlmu Hadits pada abad ini sudah mulai digunakan dengan
maksimal,sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum terbukukan
secarasempurna. Masa ini juga disebut masa pengkodifikasian Hadits (al-
jam’uwa at-tadwin).Selain itu, kondisi masyarakat juga mengalami perubahan,
khususnyayang terkait dengan periwayatan Hadits. Perubahan itu nampak dalam
beberapa hal sebagai berikut.
1. Bila zaman Sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa inikekuatan hafalan
sudah mulai memudar. Hal itu disebabkanoleh banyaknya perawi Hadits dari

6
kalangan Sahabat yang berhijrah keluar jazirah Arabiyah dan menetap di luar
hinggakawin dan berketurunan di sana. Masyarakat di luar jazirahtidak
memiliki tradisi menghafal layaknya masyarakat Arab.Lambat laun generasi
yang muncul tidak mampumemaksimalkan daya hafalnya. Selain itu,
kemampuan menulissudah mereka miliki, sehingga oleh sebagian
masyarakatmenulis dirasa “lebih praktis” daripada menghafal.
2. Sanad Hadits mulai memanjang dan bercabang. Hal itudisebabkan juga oleh
terpencarnya para perawi Hadits kedaerah-daerah yang berjauhan, sehingga
untuk mendapatkansebuah Hadits harus melalui periwayatan beberapa perawi
yangsekali lagi hal ini menyebabkan sanad menjadi panjang yang pada
gilirannya berdampak pada kualitas Hadits.
3. Banyak sekte bermunculan. Bermunculannya banyak sekte danaliran yang
menyimpang dari jalur yang dianut oleh paraSahabat berdampak pada
keotentikan Hadits. MunculnyaHadits-hasits palsu sebagianny juga
disebabkan olehfaktor Aini. Ada sekte khawarij, mu’tazilah, jabariyah dan
lainsebagainya.Pada masa ini, wilayah kekuasaan Islam semakin meluas dan
menyebabkan munculnya hal-hal baru yang pada saat itu (sebelum
berkembang) belum ada. Sehingga para sahabat pun berpencar ke
berbagaiwilayah kekuasaan Islam dan sebagain para sahabat gugur dalam
peperangan, yang juga termasuk kedalam salah satu penyebab kualitas
dankuantitas para sahabat melemah. Tuntutan untuk membukukan
hadissemakin kuat, khalifah umar bin Abdul Aziz prihatin dan
memerintahkankepada gubenur dan qadhi-nya di Madinah yaitu Abu Bakar
bin Hazmuntuk menulis hadis yang dari Nabi, selain dari nabi dilarang
olehnya. Danmemerintahkan gubernurnya untuk menuliskan hadis yang
dimiiki olehmurid dari ‘Aisyah, Amrah binti Abdurrahman al-Anshariyah (w.
98 H),dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar(w. 107 H).Adapun bunyi
surat itu adalah:
"Lihat atau periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadis Nabi,lalu tulislah;
karena aku takut akan lenyap ilmu disebabkan meninggalnyaulama." Kitab
hadis yang ditulis oleh Ibn Hazm merupakan kitab hadis pertama, ditulis atas
perintah kepala Negara, namun kitab hadis itu tidakmembukukan seluruh
peredaran hadis yang ada di Madinah. Adapun yangmembukukan seluruh
hadis yang ada di Madinah adalah Muhammad ibnMuslim ibn Shihab al-

7
Zuhri, seorang ulama yang ternama di masanya Ulama yang terkenal atau
yang diakui pertama kali diperintahuntuk menuliskan hadis yaitu Muhammad
bin Syihab az-Zuhri. Pada peristiwa itu diikuti oleh para ulama lain yang
terhitung memiliki masahidup sama dengan az-Zuhri dalam penulisan dan
pembukuan hadis.Setelah mereka, generasi berikutnya melanjutkan langkah
ulamasebelumnya dalam penulisan hadis, akan tetapi cara penulisan mereka
berbeda dengan az-Zuhri.Akan tetapi penulisan penulisan hadits pada zaman
tabi’in ini masih bercampur antara sabda Rasul saw, fatwa sahabat serta
tabi’in. Seperti didalam kumpulan hadits al-Muwatta’ karya Malik bin Anas ,
kitab ini tidakhanya memuat hadits Rasul saw saja tetapi juga memuat ucapan
sahabatatau tabi’in bahkan tidak sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri
atau praktek ulama’ dan masyarakat Madinah. Akan tetapi Asy
Syafi’imemberi pujian kepada Malik bin Anas “kitab shahih setelah Al-
Qur’anialah Al Muwwata’. Yang menjadi pertanyaan yaitu dimanakah
keberadaan kitab-kitabyang ditulis beliau danmuhaddits setelahnya? Begitu
banyak kitab yangterproduksi oleh para muhaddits yang semasa dan setelah
az-Zuhri, akanLukman Zain,"Sejarah Hadis pada masa permulaan dan
penghimpunannya”
B. Penulisan dan Pembukuan Hadis Secara Resmi (Abad ke 2 H)

Pada periode ini Hadis-hadis Nabi saw mulai ditulis dan dikumpulkan secara resmi.
Adapun Khalifah yang memerintah pada saat itu adalah Umar ibn Abdul Aziz dari Dinasti
Umayyah. Umar ibn Abdul Aziz mempunyai kepentingan di dalam kepemimpinannya untuk
menulis dan membukukan hadis secara resmi, hal ini didadasarkan pada beberapa riwayat,
Umar ibn Abdul Aziz khawatir akan hilangnya hadis dan wafatnya para ulama hadis. Para
sahabat telah berpencar di berbagai daerah, bahkan tidak sedikit jumlahnya yang sudah
meninggal dunia. Sementara hadis-hadis yang ada di dada mereka belum tentu semuanya
sempat diwariskan kepada generasi berikutnya. Karena itu, khalifah yang terkenal wara’ dan
takwa ini mengupayakan pengumpulan dan penulisan hadis. Ada perbedaan dalam
penghimpunan hadis dengan al-Qur’an. Hadis mengalami masa yang lebih panjang sekitar
tiga abad dibanding dengan al-Qur’an yang hanya memerlukan waktu relatif lebih pendek.
Yang dimaksud dengan periodeisasi penghimpunan hadis di sini adalah fase-fase yang telah
ditempuh dan dialami dalam sejarah pembinaan dan perkembangan hadis, sejak Rasulullah
saw masih hidup sampai terwujudnya kitab-kitab hadis yang dapat disaksikan sekarang ini.

8
Pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz, Islam sudah meluas sampai ke daerah-daerah
yang tentunya pemahaman dan pemikiran mereka khususnya tentang keislaman itu sendiri
adalah hadis. Khalifah berinisiatif untuk mengumpulkan hadis-hadis tersebut dikarenakan
semakin meluasnya perkembangan Islam yang umumnya orang-orang yang baru memeluk
agama Islam butuh dengan pengajaran yang didasarkan pada hadis-hadis Nabi. Selain gejolak
politik yang terjadi di kalangan umat Islam, ada beberapa kelompok yang mencoba
menyelewengkan sabda-sabda Rasulullah saw yang akhirnya akan merusak ajaran kemurnian
Islam itu sendiri. Oleh karena itu Umar ibn Abdul Aziz telah menyusun suatu gerakan penuh
semangat dalam rangka penyebarluasan dakwah Islamiyah. Menurut Ajjaj al-Khathib bahwa
kegiatan pembukuan hadis telah diprakarsai oleh ayahnya Khalifah Umar, yaitu Abdul Aziz
yang ketika itu menjabat sebagai gubernur Mesir. Karena jabatannya sebagai gubernur maka
jangkauannya tidak menyeluruh, oleh karena itu diteruskan oleh Umar setelah ia diangkat
menjadi Khalifah. Tentunya pengkodifikasian hadis begitu cepat merambah ke daerah-daerah
yang dikuasai oleh gubernur dan langsung memberikan instruksi agar menulis dan
mengumpulkan hadis yang ada pada sahabat dan seterusnya disebarluaskan. Begitu juga ia
mengutus para ulama untuk mengumpulkan hadis Rasulullah. Hadis yang dipercaya
kebenarannya ialah yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang menjauhkan diri dari dosa
dan takwa.

Jika kita teliti kemampuan ilmiah umat Islam, sebenarnya telah memungkinkan mereka untuk
melakukan penulisan terhadap hadis-hadis Nabi. Tetapi pendapat yang dominan di kalangan
para sarjana dan ilmuan adalah bahwa hadis-hadis itu hanya disebarkan lewat mulut ke mulut
sampai akhir abad pertama. Perlu kita ketahui bahwa kecintaan dan kepatuhan para sahabat
kepada Nabi saw sungguh demikian mendalam, karenanya dalam menuliskan risalah ajaran
Islam, mereka melakukannya secara lisan seperti Nabi lakukan terhadap mereka. Kondisi
seperti itu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bahwa hal kepatuhan juga sebagian
dari agama..

Adapun pandangan para orientalis tentang penulisan pertama hadis yang dilakukan oleh al-
Zuhri atas perintah Umar ibn Abdul Aziz adalah palsu. Karena mereka merujuk pada hadis-
hadis fikih yang menurut pandangan para orientalis baru muncul sesudah zaman Umar ibn
Abdul Aziz. Pendapat ini tentunya tidak mengkaji tentang sejarah Islam dari awal, di saat
ungkapan-ungkapan Nabi saw yang belum ditulis, melainkan hanya melalui lisan.

9
Terkait dengan pengertian tersebut, maka kitab al Muwaththa’ karya ibn Malik merupakan
salah satu kitab yang mencatat hadis Nabi saw dan fatwa ulama awal di Madinah. Kitab itu
disusun berdasarkan pola yang diawali dengan atsar dan baru kemudian fatwa yang memuat
penjelasan-penjelasan hukum yang berkaitan dengan perkataan, perbuatan yang dilakukan
Nabi dan pendapat hukum para sahabat, tabi’in serta fatwa ulama.

C . Perkembangan Pemalsuan hadits dan Upaya Penanggulangannya

1. Pengertian Hadis Maudhu (Hadis Palsu)

Kata maudhu adalah isim maf’ul dari kata ‫وضعا‬-‫يضيع‬-‫ وضع‬menurut bahasa berarti ‫)األسقاط‬
meletakkan atau menyimpan)‫الف‬ZZ‫تراء واالخت‬ZZ‫( االف‬mengada-ada membuat), dan ‫تروك‬ZZ‫ترك والم‬ZZ‫)ال‬
ditinggalkan).2 Sedangkan menurut istilah para ulama merumuskan definisi sebagai berikut:
1. Muhammad Ajjaj al-Khatib merumuskan bahwa hadis maudhu adalah: 3‫اويقره اويفعله يقله حلم‬
‫ مما اب فاوكذ اختال وسلم عليه هلال صلى هلال رسو إىل نسي ما‬Hadis yang disandarkan kepada Rasulullah
Saw. secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengucapkan, melakukan atau
menetapkannya. 2. Ibnu al-Shaleh mengatakan bahwa hadis maudhu adalah: ‫عمداء وسلم عليه‬
4 ‫ف‬ZZ‫وع املختل‬ZZ‫ذوب املض‬ZZ‫ول على املك‬ZZ‫لى هلال رس‬ZZ‫ ص‬Hadis yang dibuat-buat atau diciptakan, yang
didustakan atas nama Rasulullah Saw secara sengaja. 3. Naruddin itr merumuskan bahwa
hadis maudhu adalah hadis yang diada-adakan dan dibuat-buat.5 Untuk memperoleh
gambaran yang lebih jelas tentang pengertian hadis maudhu dan membedakannya dengan
hadis lain, dapat dilihat dalam rumusan tentang karakteristik hadis palsu yang telah
dijabarkan oleh pakar hadis. Karakteristik hadis palsu menurut Mustafa al-Sibai dapat
ditinjau dari dua dimensi, yaitu kepalsuan dalam sanadnya dan kepalsuan dalam matannya.
Dalam sanadnya dapat diidentifikasi dengan adanya: 1) Perawi terkenal sebagai penduksta
dan dalam hadis yang diriwayatkannya tidak ada perawi lain yang terpercaya yang
meriwayatkan, 2) pengakuan pembuat hadis palsu, 3) kadang kala pembuat hadis palsu
terdorong oleh emosi atau intrest pribadi.6 Pemalsuan Hadis & Upaya Mengatasinya
Alamsyah Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2/2013 200 Adapun karakteristik kepalsuan
hadis dalam matannya dapat diidentifikasi dengan adanya: 1) Susunan kalimatnya yang tidak
luwes dan tidak teratur; 2) kekacauan makanya; 3) bertentangan dengan jangkauan akal dan
tidak dapat dita’wil; 4) bertentangan dengan kaidah umum dan kaidah tata cara kehidupan
dalam keseharian; 5) mengajak kepada syahwat dan kebejadan moral; 6) bertentangan dengan
panca indera dan kenyataan; 7) bertentangan dengan kaidah kedokteran; 8) bertentangan
dengan akal sehat yang menerima kemahasucian dan kemahasempurnaan Alah; 9)

10
bertentangan dengan fakta-fakta historis ataupun sunnah Allah; 10) memanifestsikan pikiran
yang picik yang tidak pernah diajukan orang-orang yang berakal; 11) bertentangan dengan
ketentuan Al-Qur’an yang tidfak dita’wilkan lain; 12) bertentangan dengan ketentuan-
ketentuan sunnah yang mutawatir; 13) bertentangan dengan ijma.

Karakteristik kepalsuan hadis terebut, menurut Sayid Muhammad ibn Alawi al-Maliki
al-Hasani, dipandang sebagai kaidah atau petunjuk untuk mengetahui hadis maudhu.Namun
keberadaan kaidah-kaidah tersebut menurutnya, tidak mutlak, melainkan khusus untuk hadis-
hadis yang belum ditentukan kesahihannya oleh para imam hadis. Hal ini mungkin berangkat
dari pengakuan terhadap validitas kitab-kitab hadis yang mu’tabar, seperti kitab Bukhari dan
Muslim. Terlepas dari ini, yang jelas pemalsuan hadis, apa pun alasan, merupakan suatu
kebohongan yang harus diberantas dengan tanpa mengabaikan berpegang pada konsep dasar
metodologis yang dirumuskan para pakar hadis.

2. Upaya Mengatasi Pemalsuan Hadits

Pemalsuan hadis dalam pentas sejarah perkembangan Islam merupakan kenyataan yang
tak dapat terelakkan. Hal ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi pemahaman umat
Islam. Oleh karena itu, upaya pemberantasan pemalsuan hadis dipandang merupakan suatu
keniscayaan, di samping pemeliharaan terhadap otentisitasnya. Dalam rangka memberikan
solusi terhadap persoalan pemalsuan hadis yang muncul, ulama telah menawarkan konsep-
konsep dasar yang bersifat metodologis yang memungkinkan secara akurat mampu
mendeteksi pemalsuan hadis tersebut. Artinya, prosedur yang ditempuh dalam menerima
hadis adalah berupa pengujian dan penelitian hadis sebagai upaya mengatasi pemalsuan
hadis, sebagai berikut:

1. Meneliti sanad hadis Penelitian sanad hadis merupakan salah satu upaya selektif
terhadap penerima hadis. Dalam kaitannya dengan upaya mengatasi pemalsuan hadis,
penelitian sanad mempunyai arti penting dalam mendeteksi kepalsuan sebuah hadis.
Oleh karena itu penelitian sanad tersebut mendapatkan prioritas utama jika
dibandingkan dengan penelitian matan. Hal ini bukan berarti mengabaikan peran
penelitian matan hadis. Ada beberapa hal yag menjadi perhatian dalam penelitian
sanad hadis, yakni tentang kualifikasi keabsahan periwayatan seorang yang termasuk
mata rantai kelangsungan hadis ke tangan seorang perawi, sebagai seorang peneliti
atau kritikus hadis.

11
2. Mengukuhkan hadis-hadis Pengukuhan hadis ini dilakukan dengan jalan meneliti dan
mencocokkan kembali kepada para sahabat, tabi’un dan ulama ahli hadis.28
Pengukuhan hadis sebagai salah satu aktifitas mengatasi Pemalsuan Hadis & Upaya
Mengatasinya Alamsyah Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2/2013 206 persoalan
pemalsuan hadis menggambarkan adanya upaya melestarikan tradisi intelektual. Hal
ini dimaksudkan untuk mendukung keutuhan ajaran Islam dari segala bentuk
pencemaran melalui pemalsuan hadis. Dengan tetap melestarikan tradisi ini, maka
kemungkinan besar segala bentuk pemalsuan hadis dapat dideteksi. Apabila kita
menelusuri kehidupan ulama terdahulu, maka akan kita dapati bahwa mereka
memiliki semangat yang tinggi dalam mencari hadis. Sa’id al-Musayyab, misalnya,
karena hanya untuk mendapatkan satu hadis saja ia berjalan terus siang dan malam.29
Hal ini ia lakukan semata-mata untuk mengukuhkan hadis.
3. Meneliti rawi hadis dalam menetapkan status kejujurannya Disamping penelitian
terhadap sanad hadis, penelitian terhadap perawi hadis dipandang juga sebagai salah
satu upaya selektif dalam mencari kesehatan hadis dan membedakan dengan hadis
palsu. Ibnu Daqiq al-‘Id memandang, bahwa keberadaan perawi sangat menentukan
kepalsuan sebuah hadis karena dalam hal ini perawi, sebagai peneliti terhadap sanad
dan matan hadis, dianggap yang mentakhrijnya dan bahkan dianggap yang
melembagakannya dalam karya monumentalnya. Validitas hasil penelitian sanad dan
matan hadis yang dilakukan seorang perawi mungkin dipandang sebagai persoalan
tersendiri dalam upaya mengatasi kemungkinan munculnya hadis palsu. Persoalan ini
perlu dipertanyakan kembali karena dalam kenyataannya hasil penelitian itu sangat
dipengaruhi oleh corak pandang perawi, sebagai peneliti hadis Nabi. Namun ada satu
hal yang perlu digarisbawahi, bahwa para peneliti atau kritikus hadis berwewenang
meneliti atau mengkritik hadis, apabila telah memenuhi persyaratan-persyaratan yang
telah ditentukan ulama pakar hadis. Disamping itu dalam meneliti sanad hadis, para
pakar hadis telah merumuskan ketentuyan tentang karakteristik hadis palsu ditinjau
dari segi sanad dan matannya, serta ketentuan lain untuk dijadikan sebagai acuan
dalam meriwayatkan hadis. Dalam kaitannya dengan adanya pemalsuan hadis,
sebagai langkah konkrit, para pakar hadis membahas para perawi yang tidak memiliki
kredibilitas dan diklaim sebagai pendusta ulung dalam kitab-kitab jarh wa ta’dil.
Dengan demikian, seorang perawi akan mendpat pengakuan hadis yang diriwayatkan,
jika ia telah lolos dari seleksi yang mengacu pada ketentuan-ketentuan dimaksud.
Alamsyah Pemalsuan Hadis & Upaya Mengatasinya Jurnal Al Hikmah Vol. XIV

12
nomor 2/2013 207 Ulama hadis, sebagaimana dikemukakan M. Syuhudi Ismail,
berpendapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi periwayat hadis
untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya dapat diterima
sebagai hujjah ataukah harus ditolak. Kedua hal itu adalah keadilan dan kedabitannya.
Keadilan berhubungan dengan kualitas pribadi.30 Sedangkan kedabitannya
berhubungan dengan kapasitas intelektual.31 Apabila kedua hal itu dimiliki periwayat
hadis, maka periwayat tersebut dinyatakan sebagai bersifat siqah, 32 dan hadis yang
diriwayatkannya dapat diterima. Sebaliknya, apabila seorang priwayat hadis tidak
memiliki kedua sifat tersebut, maka hadisnya perlu dipertanyakan. Mustafa al-Saba’i,
secara tegas menjelaskan tentang perawi hadis yang harus disingkirkan
periwayatannya, diantaranya: 1) orang yang berdusta dan mengaku telah menerima
hadis Nabi; 2) orang yang suka berdusta, kendatipun tidak tidak pernah membuat
hadis palsu; 3) ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu; 4) kaum zindiq, orang fasiq dan
orangorang lalai yang tidak menyadari apa yang mereka katakan, serta orang yang
tidak memiliki sifat teliti cekatan adil dan cerdas.33
4. Menetapkan kaidah-kaidah umum untuk mengklasifikasikan hadis Pengklsifikasian
hadis, dipandang sebagai salah satu bentuk upaya mengatasi adanya pemalsuan hadis,
merupakan tindakan yang teliti dan cermat dalam melihat sebuah hadis. Ketelitian
dalam menentukan kategori hadis mempunyai implikasi dalam fungsinya sebagai
hujjah dalam menetapkan hukum atau keyakinan keagamaan. Pijakan para pakar
hadis dalam mengklasifikan hadis adalah kaidah-kaidah yang dibangun atas dasar
pengkajian dan penelitian ilmiah, sehingga hadishadis yang diterima adalah benar-
benar dapat dipertanggungjawabkan kehujjahannya.

Dengan menggunakan berbagai kaidah dalam ilmu hadis, para pakar hadis telah
berhasil menghimpun berbagai hadis palsu dalam kitab-kitab tersendiri. Diantara kitab-
kitab yang dimaksud adalah: 1) alAbatil, karya al-Hafiz Husain ibn Ibrahim al-
Jauzaqani;34 2) al-Maudu at al-Kubra, karya Abu al-Farj Abd. al-Rahman ibn ‘Ali ibn al-
Jauzi; 3) Tansih al-Syari’ah al-Marfu ahmin al-Akhbaral-Sani’ah al-Maudu’ah, karya
Abu al-Hasan Ali ibn Muhammad al-Kannani; 4) al-Fawaid alMajmu’ah fi al-Ahadis al-
Maudu’ah, karya Muhammad ibn ‘Ali alSaukani;35 5) al-Mughni’ah al-Hifzi wa al-
Kitabi, karya Abu Umar ibn Pemalsuan Hadis & Upaya Mengatasinya Alamsyah Jurnal
Al Hikmah Vol. XIV Nomor 2/2013 208 Badri al-Mausili; 6) Tazkirah al-Maudhu’at,
karya Ibnu Tahir alMuqaddasi, dan lain-lain.36

13
3. Tanggapan Terhadap Pemalsuan Hadis dan Alternatif Pemecahannya

Pemalsuan hadis, sebagai upaya membuat pernyataan dengan mengatasnamakan dari


Nabi, dengan motif apa pun merupakan usaha pencemaran terhadap kemurnian Islam,
baik bermotif menghancurkan Islam maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Oleh
karena itu, pemalsuan hadis pelu diwaspadai, karena mempunyai implikasi terhadap
pemahaman dan pengamalan keberagamaan umat Islam. Upaya mengatasi pemalsuan
hadis, sebagaimana yang telah dilakukan ulama ahli hadis, merupakan keniscayaan dan
perlu mendapatkan prioritas tersendiri, bukan hal ini perlu mendapatkan penanganan
kontinyu. Artinya, tidak cukup hanya mengadalkan upaya para ulama pakar hadis
terdahulu yang sudah ada. Hal ini sesuai dengan dasar ulum al-hadis yang bersifat
berkembang.

Dengan demikian, kemungkinan munculnya pemalsuan hadis dan tersebarnya hadis


palsu di kalangan umat Islam dapat teratasi. Upaya serius yang sangat besar artinya bagi
penanganan pemalsuan hadis adalah sebagaimana yang dilakukan ulama ahli hadis
terdahulu. Mereka telah merumuskan konsep dasar metodologi penelitian hadis. Dengan
berbagai kaidah dalam ilmu hadis, disamping telah dibukukannya hadis-hdis,
mengakibatkan ruang gerak para pembuat hadis palsu sempit. Lebih jauh lagi, dengan
keberadaan kaidahkaidah tersebut, hadis-hadis yang berkembang di tengah-tengah
masyarakat dan termaktub dalam kitab-kitab37 dapat diteliti dan diketahui kualitasnya.

4. Motif Pemalsuan Hadits


Hadits berarti setiap informasi yang disandarkan kepada Nabi SAW. Informasi
tersebut adakalanya benar. Tidak sedikit informasi itu bohong. Informasi yang benar
disebut hadits shahih. Sementara informasi bohong disebut hadits palsu. Sebab itu,
Mahmud Thahan dalam Taysiru Musthalahil Hadits mendefinisikan hadits palsu
(maudhu’) dengan kalimat berikut ini: ‫هو الكذب المختلق المصنوع المنسوب إلى رسول هللا صلى‬
‫ هللا عليه وسلم‬Artinya, “Hadits maudhu’ adalah perkataan bohong dan mengada-ada yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.” Mayoritas ulama sepakat meriwayatkan
hadits maudhu’, apalagi berkata bohong atas nama Nabi Muhammad, adalah dilarang.
Rasulullah SAW berkata: ‫ار‬ZZ‫ده من الن‬ZZ‫وأ مقع‬ZZ‫دا فليتب‬ZZ‫ من كذب علي متعم‬Artinya, “Barangsiapa
yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka kelak posisinya di neraka,” (HR
Ibnu Majah). Tidak hanya pemalsu hadits yang diancam oleh Rasulullah, orang yang
menyebarkan hadits palsu pun juga diancam oleh Rasulullah. Rasulullah bersabda:

14
ADVERTISEMENT ‫ من حدث عني بحديث يرى أنه كاذب فهو أحد الكاذبين‬Artinya, “Siapa yang
menyampaikan informasi tentangku padahal ia mengetahui informasi itu bohong,
maka ia termasuk pembohong,” (HR Muslim). Berdasarkan hadits itu, para ulama
memahami bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ tidak boleh, begitu pula
menyampaikan dan menyebarkan hadits maudhu’. Dibolehkan menyampaikannya
dengan syarat untuk memberi tahu kepada khalayak kalau hadits tersebut bukanlah
hadits shahih, tetapi hadits maudhu’. Dalam Taysiru Musthalahil Hadits, Mahmud
Thahan memerinci ada lima hal yang mendorong orang untuk memalsukan hadits:
Pertama, untuk mendekatkan diri kepada Allah. Maksudnya, pemalsu hadits
membuat hadits dan mengatasnamakan Rasulullah agar orang lain termotivasi untuk
beribadah. Memang niatnya bagus, tetapi caranya tidak benar. Salah satu pemalsu
hadits yang melakukan cara ini adalah Maysarah bin Abdu Rabbihi. Ibnu Mahdi,
sebagaimana diriwayatkan Ibnu Hibban, pernah bertanya kepada Maysarah:
ADVERTISEMENT ‫اس‬ZZ‫عتها أرغب الن‬ZZ‫ال وض‬ZZ‫ذا؟ ق‬ZZ‫ه ك‬ZZ‫ذا فل‬ZZ‫رأ ك‬ZZ‫ من ق‬،‫اديث‬ZZ‫ذه األح‬ZZ‫من أين جئت به‬
Artinya, “’Dari mana kamu mendapatkan hadits ini, orang yang membaca ini
mendapatkan ganjaran ini?’ Maysarah menjawab, ‘Saya memalsukannya supaya
orang-orang termotivasi.’”
Kedua, untuk merusak Islam dari dalam. Sebagian musuh Islam membuat hadits
palsu agar umat Islam terpecah belah dan salah memahami agamanya. Di antara orang
yang pernah melakukan ini adalah Muhammad bin Sa’id As-Syami.
Ketiga, untuk mendekati penguasa. Sebagian pemalsu hadits membuat hadits
palsu yang berkaitan dengan penguasa. Tujuannya untuk memuji dan mendekati
penguasa. Misalnya, kisah Ghiyats bin Ibrahim An-Nakha’i yang memalsukan hadits
supaya bisa dekat dengan Amirul Mukminin Al-Mahdi.
Keempat, untuk mencari rejeki. Biasanya hal ini dilakoni oleh orang-orang yang
berprofesi sebagai pecerita atau pendongeng. Melalui cerita-cerita itu ia mendapatkan
uang dari pendengarnya. Untuk menarik pendengar, sebagian mereka memalsukan
hadits. Di antara yang melakukan ini adalah Abu Sa’id Al-Mada’ini.
Kelima, untuk mencari popularitas. Supaya orang yang meriwayatkan hadits ini
semakin populer dan dikenal banyak orang, mereka membuat hadits yang tidak
pernah diriwayatkan oleh orang lain. Melalui hadits palsu itu mereka semakin dikenal
karena tidak ada yang meriwayatkan selain dia. Di antara yang memalsukan hadits
demi popularitas adalah Ibnu Abi Dahiyyah. Wallahu a’lam. (Hengki Ferdiansyah)

15
Keenam, motif menjilat kepada pemimpin. Salah satu contohnya, Ghiyas bin Ibrahim
an-Nakha’i al-Kufi pernah masuk ke istana Al-Mahdi, seorang penguasa Abbasiyah yang
senang sekali kepada burung merpati. Salah seorang berkata kepadanya, Coba terangkan kepada
Amirul Mukminin tentang sesuatu hadis. Maka, Ghiyas berkata, Tidak ada taruhan, melainkan
pada anak panah, atau unta atau kuda, atau burung.

Hadis palsu, menurut guru besar IAIN Walisongo Semarang, Prof Dr H Muhibbin, bisa muncul
dalam kitab hadis sahih sekaliber Jami' al-Shahih karya Imam Bukhari. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukannya, terdapat hadis yang bertentangan dengan Alquran dan antarhadis
di dalam kitab tersebut.

Hadis palsunya bermacam-macam. Ada yang karena tidak sesuai atau bertentangan dengan
Alquran, namun ada pula yang tidak sesuai dengan kondisi kekinian, papar mantan dekan
Fakultas Syariah IAIN Walisongo itu.

Salah satu hadis palsu yang terdapat dalam kitab itu, antara lain, tentang Isra Mikraj. Di dalam
kitab itu disebutkan bahwa terjadinya Isra Mikraj sebelum Muhammad SAW menjadi nabi.
Faktanya, Isra Mikraj itu setelah Rasulullah diutus menjadi Nabi, ungkapnya.

Selain itu, lanjut dia, ada pula hadis Nabi yang bertentangan dengan ayat Alquran. Contohnya,
tentang seseorang yang meninggal dunia akan disiksa bila si mayit ditangisi oleh ahli warisnya.
(Lihat: Kitab Jenazah, bab ke-32, hadis ke 648/I—Red), kata dia. Ia menilai hadits.

5. Upaya Penanggulannya Pemalsuan Hadits

Usaha-usaha para ulama dalam membendung muncul dan menjamurnya


penyebaran hadits palsu dalam rangka menyelamatkan Hadits dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pembukuan Hadits Sebagai disebutkan dalam sejarah pembukuan hadits bahwa


pembukuan ini, yang secara resmi diprakarsai oleh Umar ibn Abdul Aziz,
dilatarbelakangi oleh kekawatiran hilangnya hadits Nabi bersama dengan gugurnya
para ulama penghafal hadits. Maka, sekiranya upaya ini tideak diambil, akan sulit
dilacak, apakah sebuah informasi itu hadits.

2. Pembentukan Ilmu-ilmu Hadits Bidang kualitas periwayat. Dari sini akan diketahui
apakah seorang periwayat tercela, sehingga haditsnya harus ditolak atau terpuji,

16
sehingga haditsnya layak disebarkan. Bidang persambungan sanad. Di sini ditelusuri
apakah apakah mata rantai sebuah hadits itu telah benar. Bidang jalur
periwayatan.Artinya, para ulama hadits berkepentingan mengetahui matan sebuah
hadits diriwayatkan melalui berapa jalur.Dari sini dapat diketahui apakah sebuah
hadits itu dinilai mutawatir, atau ahad, atau bahkan gharib. Bidang sandaran hadits. Di
bidang ini diadakan penelusuran, kepada siapa sebuah hadits disandarkan.

3. Menghimpun Biografi Para Periwayat Hadits Untuk mengetahui kualitas periwayat,


baik yang pantas disiarkan haditsnya maupun yang dicacat, perlu ilmu untuk
menelusuri riwayat hidup mereka. Ilmu ini juga akan membantu memberi informasi
apakah sebuah mata rantai hadits saling bertemu. Dari sini muncul Ilmu Rijal al
hadits, sekaligus muncul kitab-kitab biografinya.

4. Perumusan Istilah-istilah Hadits (Musthalah al Hadits) Pada intinya, Musthalah


Hadits merupakan ilmu untuk memberi istilah hasil jerih payah payah melaksanakan
penelusuran hadits sebagai yang tercantum di dalam Ilmu-ilmu Hadits. Setelah
penelusuran itu selesai maka hadits iotu diberi nama, mutawatir, ahad, masyhur. Dari
sisi lain, hadits diberi nama shahih, hasan, dhaif. Dhaif disebabkan oleh hal yang amat
banyak, adakalanya persambungan sanad, kualitas periwayat, ”penyandaran”, dan
materi hadits itu sendiri. (Dr. Muh. Zuhri, M.Ag., tt: 81). Demikianlah Penjelasan
Sebuah Tinjauan Tentang Munculnya Hadits Maudhu’ dan Penanggulangannya,
Semoga bermanfaat.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jauhnya rentang waktu antara wafatnya Nabi dengan penulisan kitab-kitab


hadis menimbulkan berbagai hal yang dapat mencemarkan kemurnian hadis Nabi.
Pada sisi lain adanya sekelompok orang yang ingin mencapai tujuan tertentu
dengan membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan kepada Nabi dengan
asumsi pernyataan yang dibuatnya sebagai kekuatan dan justifikasi sebagai ajaran
agama.

Alamsyah Pemalsuan Hadis & Upaya Mengatasinya Jurnal Al Hikmah Vol.


XIV nomor 2/2013 209 Para ulama telah membuat kaedah-kaedah yang menjadi
dasar dalam menetapkan hadis shahih, hasan dan dhaif. Untuk mengetahui
kedhaifan suatu hadis dapat dideteksi melalui sanad dan matannya. Munculnya
berbagai macam ilmu hadis dan telah dibukukannya hadis menyebabkan ruang
gerak para pemalsu hadis semakin sempit dan akhirnya ketahuan apa yang telah
diperbuatnya.

18
DAFTAR PUSTAKA

1 M. M. Al-A’dzami, Dirâsât Fil Hadîts Nabawî Wa Târikh Tadwînah (Bairut: alMaktabah


al-Islamî, 1980), 108. 2 M. ’Ajaj Al-khatib, Ushul Al-Hadits (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), 111–
12. 3 M. Effendy, Ensiklopedi Agama Dan Filsaf, Cet. 1 (Palembang: Penerbit Universitas
Sriwijaya, 2000), 256. 4 F. Jabali, Sahab Nabi; Siapa, Kemana, Dan Bagaimana? (Jakaarta:
Mizan, 2010), 90. 5 Idri, Studi hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), 109. 6
M. Abduh, “Melacak Akar Kesejarahan Adis Nabi Pra-Kodifikasi,” Tahdis Volume 6 Nomor
1 Tahun 2015, t.th, 80. 7 Al-Khatīb Al-Bagdadī, Tarikh Bagdad (Bairut: Dar Al-Gharib Al-
Islami, 2001), 458. 8 N. Wendry, Labelisasi Dan Kredibilitas Periwayat Kufah (Bandung:
Mizan, 2018),133. 9 ‘Abdul Ghoffâr Hasan ar-Rahmani Al-Hindi, Pengantar Sejarah Tadwin
(Pengumulan) Hadits, 2007.

Soetari, Endang.1997. Ilmu Hadis, Bandung Amal Baktipress Zain, Lukman. Jurnal Sejarah
Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya Al-Bukhari. Matn al-Bukhari bi
Hasyiyah al-Sindi. Semarang. Taha Putra Ghazali, Baso.2013.Jurnal Perkembangan dan
Pemeliharaan Hadits Ismail, Syuhudi.1998. Kaedah Kesahehan Sanad Hadis. Bulan
Bintang Ghoffar Abdul. 2007. Pengantar Sejarah Tadwin (Pengumpulan) Hadits edisi
Terjemahan

19

You might also like