Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 27

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TAFSIR

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:

Studi Al-Qur’an dan Hadis

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. H. Abad Badruzaman, Lc., M. Ag.

Dr. H. Asmawi, M. Ag.

Disusun Oleh:

1. Evawani Sa’adah (1880506230025)


2. Nourizal Arroziq (1880506230044)

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH
TULUNGAGUNG
OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur penulis panjatkan atas hadirat Allah Swt. karena telah
memberikan kelancaran dan kemurahan-Nya terhadap penulis, sehingga dapat
menyelesaikan tugas mata kuliah “Studi Al-Qur’an dan Hadis” dalam bentuk
makalah. Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada junjungan
kita Nabi Muhammad Saw.
Keberhasilan penulisan makalah ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak,
untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag. selaku Rektor Universitas Islam Negeri
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung, yang telah memberikan sarana prasarana
untuk penulis menyelesaikian tugas penyusunan makalah ini.
2. Bapak Prof. Dr. H. Akhyak, M.Ag. selaku Direktur Pascasarjana Universitas
Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung yang telah memberikan
pelayanan akademik kepada seluruh mahasiswa.
3. Bapak Prof. Dr. H. Abad Badruzaman, Lc., M. Ag. dan Dr. H. Asmawi, M. Ag.
selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Al-Qur’an dan Hadis.
4. Civitas Akademika Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
5. Teman-teman mahasiswa pascasarjana khususnya kelas PAI I/A.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari bahwa sesuai dengan


kemampuan dan pengetahuan yang terbatas, maka makalah yang berjudul
"PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN TAFSIR" ini, masih jauh dari
kata sempurna. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan
demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat dan menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tulungagung, 15 Oktober 2023


Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar .................................................................................................. i


Daftar Isi ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 2
C. Tujuan ................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................. 3
A. Pertumbuhan Tafsir Al-Qur’an Periode Klasik ................................... 3
B. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Periode Pertengahan........................ 8
C. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Periode Modern ............................... 10
D. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Periode Kontemporer ...................... 14
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 21
A. Kesimpulan ......................................................................................... 21
B. Saran .................................................................................................... 22
Daftar Rujukan .................................................................................................. 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci terkahir umat manusia dimuka bumi ini
yang diturunkan oleh Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw., hal ini sudah
menjadi rahasia umum. Namun tidak semua umat manusia memahami isi dan
pesan kandungan Al-Qur’an itu sendiri, buktinya tidak semua isi Al-Qur’an bisa
dicerna oleh akal manusia secara mentah-mentah. Memang sebagian ayat cukup
gamblang dan jelas dalam menjelaskan dan menyikapi bebrapa hal, tetapi tak
sedikit pula ayat yang ada di dalam Al-Qur’an sulit untuk dipahami langsung
oleh umat manusia dalam menyikapi suatu hal.
Al-Qur’an merupakan pedoman utama bagi umat manusia. Sebagai
pedoman Al-Qur’an harus dipahami secara tepat dan benar. Namun melakukan
hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Mengingat kompleksitas dan
kerumitan makna yang dikandung setiap ayat-ayat Al-Qur’an. Meski demikian
upaya untuk memhami Al-Qur’an tetap dilakukan oleh umat manusia pada setiap
zaman, terutama oleh para penafsir (mufassir).1
Tafsir merupakan penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang maksud
dan maknanya masih belum jelas dan membutuhkan penjabaran, agar makna dan
maksudnya mudah untuk dipahami. Sehingga dalam penafsiran tidak
menjelaskan apa yang tersurat saja tetapi juga menjelaskan apa yang tersirat.
Dengan begitu akan dimengerti apa maksud dari ayat-ayat tersebut. Sejalan
dengan perkembangan zaman, ilmu tafsirpun ikut berkembang dan kitab-kitab
tafsir bertambah banyak dengan menggunakan berbagai macam metode dan
pendekatan tafsir hingga zaman modern ini. Berdasarkan banyaknya kitab tafsir
yang ada, apabila dipilah berdasarkan metodologi penafsirannya, terbagi
menjadi empat macam yang sudah baku, selan itu terdapat pendekatan tafsir
modern yang bersifat kontemporer.2

1
Mustahidin Malula dan Reza Adeputra Tohis, “Metodologi Tafsir Al-Qur’an”, Al-Mustafid:
Journal of Qur’an and Hadith Studies, Vol. 2, No. 1, 2023, hlm. 12-22
2
Sakirman, “Konstruk Metodologi Tafsir Modern”, Hermeneutik: Jurnal Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir, Vol. 10, No. 2, 2016, hlm. 271-294

1
Ilmu tafsir ini sudah ada dari zaman Rasulullah Saw. sampai zaman
sekarang ini, dan perkembangan tafsir sendiri sangatlah pesat, dengan melihat
berbagai teori dan kaidahnya. Banyak teori atau beberapa metode tafsir yang
berkembang seiring berjalannya waktu, dari sinilah para ‘ulama tafsir membagi
beberapa periodesasi.3
Berdasarkan konteks di atas, maka penulisan makalah yang berjudul
“Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsir” ini selain untuk memenuhi tugas mata
kuliah Studi Qur’an dan Hadis juga untuk menambah wawasan penulis serta
pembaca terkait bagaimana pertumbuhan dan perkembangan tafsir.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pertumbuhan tafsir Al-Qur’an periode klasik?
2. Bagaimana perkembangan tafsir Al-Qur’an periode pertengahan?
3. Bagaimana perkembangan tafsir Al-Qur’an periode modern?
4. Bagaimana perkembangan tafsir Al-Qur’an periode kontemporer?
C. Tujuan
1. Untuk memaparkan pertumbuhan tafsir Al-Qur’an periode klasik.
2. Untuk memaparkan perkembangan tafsir Al-Qur’an periode pertengahan.
3. Untuk memaparkan perkembangan tafsir Al-Qur’an periode modern.
4. Untuk memaparkan perkembangan tafsir Al-Qur’an periode kontemporer.

Muh. Makhrus Ali Ridho, “Pemetaan Tafsir Dari Segi Periodesasi”, Dar el-Ilmi: Jurnal
3

Keagamaan, Pendidikan dan Humaniora, Vol. 10, No. 1, 2023, hlm. 53-75

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pertumbuhan Tafsir Al-Qur’an Periode Klasik (abad 1-2 H/7-8 M)


1. Tafsir Pada Masa Nabi Muhammad Saw. dan Sahabat
Tafsir pertama kali ada sejak ayat-ayat Al-Qur’an mulai diturunkan.4
Namun pada masa ini, tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatan
tersebar secara lisan. Sebagai rasul, Nabi Muhammad Saw. berfungsi sebagai
mubayyin (pemberi penjelasan). Beliau menjelaskan kepada para sahabatnya
tentang arti dan kandungan Al-Qur’an, khususnya menyangkut ayat-ayat
yang tidak difahami atau samar artinya.5
Pada awal periode ini, kebutuhan tafsir belum begitu dirasakan, karena
semua persoalan terutama menyangkut pemahaman Al-Qur’an dikembalikan
kepada Rasulullah Saw., sehingga apabila para sahabat tidak memahami
suatu ayat, mereka langsung menanyakannya kepada Rasulullah Saw. Dalam
hal ini, Rasulullah Saw. selalu memberikan jawaban yang memuaskan.
Namun jawaban dan tafsirnya bukan berdasarkan fikiran Rasulullah Saw.
sendiri, tetapi menurut wahyu dari Allah Swt.6 Jadi, ketika menafsirkan ayat
Rasulullah Saw. tidak berangkat dari dirinya melainkan berdasarkan dari
petunjuk Al-Qur’an yang disampaikan oleh malaikat Jibril.7
Tafsir pada masa Rasulullah Saw. dan masa awal pertumbuhan Islam
disusun secara pendek-pendek dan ringkas, karena penguasaan bahasa Arab
yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat
Al-Qur’an. Baru kemudian setelah masa Nabi Muhammad Saw. penguasaan
bahasa Arab mulai mengalami peningkatan dan beraneka ragam. Hal tersebut
disebabkan oleh percampuran bahasa Arab dengan bahasa lain. Setiap kali
Rasulullah Saw. menerima wahyu berupa ayat Al-Qur’an, beliau kemudian

4
Sakti, Diskursus Studi Qur’an-Hadis Kontemporer (Jawa Barat: Guepedia Group, 2020),
hlm. 12
5
Masyhuri, “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah Tafsir dari Abad
Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”, Jurnal Hermeunetik, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, hlm.
207-228
6
Hamdan Hidayat, “Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an”, Jurnal Al-Munir, Vol. 2, No.
1, Juni 2020, hlm. 29-76
7
Masyhuri, “Merajut Sejarah..., hlm. 207-228

3
menyampaikan kepada para sahabat, dan menganjurkan kepada para sahabat
untuk menyampaikan kepada sahabat lain yang belum mendengarnya,
terutama kepada keluarga, masyarakat luar yang telah memeluk Islam. Sama
halnya ketika para sahabat menerima tafsir dari Rasulullah Saw. mereka
kemudian menyampaikan kepada anggota keluarga dan masyarakat luar yang
telah memeluk Islam. Melalui cara tersebut, semua ayat dan seluruh ajaran
yang terkandung di dalamnya dapat diketahui dan diamalkan oleh para
sahabat, meskipun tidak semua sahabat menerima langsung dari Nabi
Muhammad Saw.8
Rasulullah Saw. menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an kepada para sahabat
melalui sabda-sabda, perbuatan, dan persetujuan beliau. Para sahabat pada
saat itu umumnya adalah orang-orang Arab asli yang memiliki banyak
keistimewaan, seperti kecerdasan otak, kekuatan hafalan, kepandaian
merangkum keterangan, dan kemahiran mengungkapkan bahasa. Kondisi
tersebut memungkinkan mereka memahami Al-Qur’an secara lebih baik,
sehingga dikatakan bahwa kebutuhan terhadap tafsir Al-Qur’an pada waktu
itu masih belum terasa. Maka dari itu, tafsir pada masa Rasulullah Saw. ini
masih sedikit, apalagi Rasulullah Saw. tidak menafsirkan seluruh ayat Al-
Qur’an, namun hanya ayat-ayat yang dirasa sukar dan yang ditanyakan para
sahabat kepada beliau.9
Begitulah cara Nabi Saw. menjelaskan lafal-lafal Al-Qur’an yang
masih global atau sulit untuk dipahami oleh para sahabat, sehingga mereka
mendapatkan pemahaman yang benar tentang maksud yang terkandung
dalam ayat-ayat yang diturunkan. Kemudian pemahaman tersebut diteruskan
kepada tabi’in, dan dilanjutkan kepada tabi’inat-tabi’in, demikian seterusnya
sampai pada periode pembukuan tafsir. Penafsiran yang diberikan oleh
Rasulullah Saw. meliputi bidang akidah, ibadah, dan muamalah. Mulai dari
hubungan berkeluarga sampai hubungan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, baik dalam situasi damai maupun dalam peperangan.10

8
Hamdan Hidayat, “Sejarah Perkembangan..., hlm. 29-76
9
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia (Solo: PT Tiga Serangkai
Pustaka Mandiri, 2003), hlm. 8
10
Ibid.

4
Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, para sahabat menafsirkan Al-
Qur’an dengan didasarkan atas sumber yang mereka terima dari Rasulullah
Saw. Sebelumnya mereka banyak mendengarkan tafsiran Rasulullah Saw.,
memahami, dan menghayatinya dengan baik. Para sahabat menerima bacaan
ayat-ayat Al-Qur’an langsung dari Rasulullah Saw. yaitu setelah beliau
menerima ayat tersebut. Dengan demikian, para sahabat menyaksikan
peristiwa yang menjadi latar belakang turunnya ayat dan mengetahui
persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain. Semua itu adalah
sumber tafsir yang manfaatnya sangat besar bagi mereka untuk dapat
memahami dan menjelaskan arti dari ayat-ayat Al-Qur’an dengan baik dan
benar. Adapun sumber tafsir Al-Qur’an pada masa sahabat setidaknya ada
empat, yaitu: Al-Qur’an, hadis Rasulullah Saw., ijtihad, serta cerita ahli kitab
dari Yahudi dan Nasrani.11
Sistematika penafsiran para sahabat bersifat umum dan sederhana.
Ruang lingkup penafsirannya bersifat horizontal, artinya penafsiran yang
diberikan global dan melebar, tidak mendalam dan merinci suatu peristiwa,
dan juga belum difokuskan pada suatu pembahasan tertentu. 12 Adapun
metode dan materi tafsir menurut para sahabat adalah sebagai berikut:13
a. Menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an;
b. Mengambil dari tafsir Rasulullah Saw. yang dihafal sahabat;
c. Menafsir dari apa yang mereka sanggupi dari ayat-ayat yang bergantung
pada kekuatan pemahaman mereka, kedalaman mereka mengenai bahasa
Al-Qur’an dan rahasianya, keadaan manusia pada saat itu, dan adat istiadat
mereka di tanah arab;
d. Mengambil masukan dari apa yang mereka dengar dari tokoh-tokoh ahli
Kitab yang telah masuk Islam dan baik Islam mereka.
Pada masa ini tokoh-tokoh sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu
tafsir, yaitu:14
a. Abu Bakar ash-Shidiq

11
Ibid., hlm. 8-9
12
Ibid., hlm. 9
13
Sakti, Diskursus Studi..., hlm. 17
14
Ibid., hlm. 18

5
b. Umar al-Faruq
c. Utsman bin Affan
d. Ali bin Abi Thalib
e. Abdullah ibn Mas’ud
f. Abdullah ibn Abbas
g. Ubay ibn Ka’ab
h. Zaid ibn Tsabit
i. Abu Musa al-Asy’ari, dan
j. Abdullah ibn Zubair
Adapun Adapun karakteristik tafsir pada masa sahabat adalah sebagai
berikut:15
a. Bersifat universal (ijmali) dan belum merupakan tafsir utuh. Artinya Al-
Qur’an tidak ditafsirkan semua, hanya ayat-ayat tertentu yang dianggap
sulit pengertiannya.
b. Masih sedikit terjadi perbedaan dalam memahami Al-Qur’an, sebab
kebanyakan masih menggunakan riwayat dari Rasulullah Saw. dan
problem yang dihadapi umat pada waktu itu tidak serumit sekarang.
c. Membatasi penafsiran dengan dengan penjelasan berdasar makna bahasa
yang primer dan belum muncul corak.
d. Belum ada pembukuan tafsir.
e. Penafsiran masih merupakan bentuk pengembangan dari hadis.
2. Tafsir Pada Masa Tabi’in
Masa ini dimulai pasca masa sahabat. Semakin jauh jarak antara mereka
dengan zaman Rasulullah Saw., kebutuhan terhadap tafsir Al-Qur’an juga
semakin meningkat.16 Segala urusan yang terjadi pada masa sahabat berganti
alih kepada para tabi’in. Begitu juga mengenai hal ilmu pengetahuan yang
telah berkembang saat itu. Dari masa ke masa tafsir telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Hal tersebut dikarenakan penafsiran pada
masa sahabat diterima baik oleh para Tabi’in di berbagai daerah kekuasaan
Islam. Hingga pada akhirnya mulai muncul kelompok-kelompok ahli tafsir di

Hamdan Hidayat, “Sejarah Perkembangan..., hlm. 29-76


15

Hilmy Pratomo, “Historiografi Tafsir Era Klasik: Dinamika Penafsiran Al-Qur’an dari
16

Masa Nabi Hingga Tabi’in”, Jurnal Syariati, Vol. VI No. 01, Mei 2020, hlm. 1-16

6
Makkah, Madinah, dan di daerah lainnya yang merupakan tempat penyebaran
agama Islam pada masa Tabi’in.17
Sumber tafsir pada masa ini adalah penjelasan dari ayat Al-Qur’an
sendiri, dari riwayat sahabat yang diterima dari Rasulullah Saw., tafsir dari
para sahabat, penjelasan dari para ahli Kitab, dan tafsir dengan jalan ijtihad.18
Dari sini, tidak ada perubahan signifikan terkait dengan metode dan sumber
penafsiran, hanya saja sumber tafsir yang digunakan tabi’in bertambah
banyak, yaitu dengan menambahkan penafsiran yang berasal dari ijtihad
sahabat dan ijtihad mereka sendiri.19
Kelebihan pada masa ini adalah para tabi’in mendirikan madrasah-
madrasah tafsir, sehingga mengeluarkan banyak para ahli dalam bidang tafsir
serta pengkodifikasian kitab-kitab tafsir. 20 Jadi ketika daerah Islam telah
berkembang luas, banyak ulama tafsir yang pindah ke daerah-daerah baru.
Bersamaan dengan hal tersebut tersebar pula madrasah-madrasah di beberapa
kota antara lain Makkah, Madinah, dan Irak. Menurut Ibnu Taimiyah,
sepandai-pandai ulama tabi’in dalam urusan tafsir adalah sahabat-sahabat
Ibnu Abbas, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, dan ulama-ulama Madinah seperti
Zaid bin Aslam dan Imam Malik bin Anas.21
Adapun karakteristik tafsir pada masa tabi’in secara ringkas dapat
disimpulkan sebagai berikut:22
a. Tafsir belum dikodifikasi secara tersendiri.
b. Tradisi tafsir masih bersifat hafalan melalui periwayatan.
c. Tafsir sudah mulai dimasuki oleh cerita israiliyyat, karena keinginan
sebagian tabi’in untuk mencari penjelasan secara detail mengenai unsur
cerita dan berita dalam al-Qur’an.
d. Sudah mulai banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para tabi’in
dengan para sahabat.

17
Maulana, “Perkembangan Tafsir Timur Tengah Zaman Nabi Sampai Kontemporer”,
Jurnal Ilmiah Falsafah, Vol. 6 No. 2, 2021, hlm. 118 - 138
18
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fuadlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Titian Ilmu,
2021), hlm. 111
19
Hilmy Pratomo, “Historiografi Tafsir..., hlm. 1-16
20
Maulana, “Perkembangan Tafsir..., hlm. 118 - 138
21
Mashuri Sirojuddin Iqbal dan A. Fuadlali, Pengantar Ilmu..., hlm. 111-112
22
Hamdan Hidayat, “Sejarah Perkembangan..., hlm. 29-76

7
e. Tafsir mereka senantiasa dipengaruhi oleh kajian-kajian dan riwayat-
riwayat menurut corak yang khusus identitas dengan tempat belajar
masing-masing.
f. Di masa tabi’in mulai timbul kontroversi-kontroversi dan perselisihan
pendapat seputar tafsir ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara akidah.
B. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Periode Pertengahan (abad 2-13 H/9-20
M)
Periode pertengahan merupakan periode keemasan bagi dunia Islam,
khususnya tafsir.23 Pada periode ini tafsir muncul dengan bentuk sistematis dan
terkodifikasi dengan baik. 24 Tafsir tidak lagi menyatu dengan hadis. Fase
pemisahan tafsir dari hadis yang merupakan fase untuk menjadikan tafsir sebagai
disiplin ilmu yang matang dan mandiri. Hal tersebut menandakan bahwa tafsir
menuju masa perkembangan yang lebih pesat.25 Selain itu, juga merupakan masa
masuknya ilmu pengetahuan di luar keduanya ke dalam batang tubuh penafsiran.
Kenyataan ini sangat berpengaruh besar pada tafsir yang statusnya sebagai
produk olah pikir manusia.26
Berdasarkan landasan yang dijadikan pegangan dalam menafsirkan ayat-
ayat Al-Qur’an dan perkembangan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi para
mufassir abad pertengahan dapat dicatat bahwa sumber tafsir pada periode ini
adalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. Hadis-hadis Nabi Saw.
3. Tafsiran sahabat, Tabi’in dan tabi’i al-tabi’in
4. Cerita israiliyat dari ahli kitab
5. Kaidah bahasa Arab dan segala cabangnya
6. Ilmu pengetahuan yang berkembang
7. Kekuatan ijtihad atau istinbat mufassir

23
Muhamad Erpian Maulana, “Corak Tafsir Periode Pertengahan”, Bayani: Jurnal Studi
Islam, Vol. 1, No. 2, September 2021, hlm. 210-220
24
Farid Muhlasol, Konsep Hijab dalam Al-Qur’an: Sebuah Implementasi Semantik
Toshihiko Izutsu Terhadap Kosakata Hijab dalam Al-Qur’an (Pasuruan: CV Basya Media Utama,
2022), hlm. 90
25
Abdul Manaf, “Sejarah Perkembangan Tafsir”, Jurnal Tafakkur, Vol. I No. 2, April 2021,
hlm. 148-159
26
Muhamad Erpian Maulana, “Corak Tafsir..., hlm. 210-220

8
8. Pendapat para mufassir terdahulu
Adapun karakteristik tafsir pada periode ini ialah sebagai berikut:27
1. Berbentuk izdiwaj
Dilihat dari segi sumber penafsiran, kebanyakan tafsir berbentuk
izdiwaj, yaitu perpaduan antara bentuk ma’tsur (tafsir berdasarkan riwayat)
dengan ra’yu (tafsir mufassir dengan berpegang pada pemahamannya
sendiri). Perpaduan antara warisan yang ditemui berupa pemikiran-
pemikiran, ide-ide, peradaban dan budaya yang baik dan benar.
2. Menggunakan metode tahlili dan muqarin
Dari segi metode tafsir dan cara menjelaskan maksud ayat serta tertib
ayat yang ditafsirkan, metode tafsir abad pertengahan tidak jauh beda dengan
metode tafsir masa klasik, yaitu menggunakan metode tahlili, yaitu dalam
menafsirkan ayat menggunakan penjelasan yang rinci dari segala segi dan
makna. Tidak jarang pula ditemukan perbandingan tafsir satu ayat dengan
yang lain. Dengan demikian, periode ini boleh disebut menggunakan metode
tahlili dan muqarin.
3. Bersifat Ideologis
Pada periode pertengahan ini terdapat kecenderungan ideologisasi
tafsir. Bersifat ideologis disini merupakan kecenderungan cara berfikir yang
berbasis pada ideologi mazhab atau sekte keagamaan, atau keilmuan tertentu,
ketika menafsirkan Al-Qur’an. Masing-masing mufassir dengan latar
belakang ideologi mazhab, keilmuan dan mazhab atau sekte keagamaan, atau
keilmuan tertentu, berusaha mencari justifikasi melalui ayat-ayat yang
ditafsirkan.
4. Bersifat Repetitif
Umumnya tafsir pada periode ini menganut sistem mushafi, yakni
penafsiran yang dilakukan dengan mengikuti tata urutan ayat dan surat seperti
apa yang ada pada mushaf resmi Al-Qur’an. Inilah konsekuensi penggunaan
metode tahlili yang memang populer pada periode pertengahan. Sehingga
pada ayat-ayat yang memiliki kemiripan redaksi dengan ayat yang lain yang

27
Muh. Makhrus Ali Ridho, “Pemetaan Tafsir..., hlm. 53-75

9
terdapat dalam beberapa surat, diulang kembali penjelasan atau penafsirannya
seperti yang telah diungkapkan pada ayat mirip sebelumnya.
Dari sekian karakteristik yang telah disebutkan, terdapat beberapa
kesamaan dengan tafsir pada masa sebelumnya. Tetapi terdapat perbedaan basar
antara tafsir pada abad pertengahan dengan tafsir pada masa sebelumnya, yaitu
pada keberanian ulama’ pada masa ini dalam menakwilkan ayat-ayat teologi,
juga pada segi pemaparan tasir tersebut. Jika tafsir pada masa sebelumnya tafsir
disajikan dalam bentuk sederhana, mengacu pada inti dan kandungan Al-Qur’an.
Sedangkan tafsir pada masa ini disajikan dengan memperhatikan segi nahwu dan
i’rab, terdapat pula kajian tentang lafaz, susunan kalimat, i’jaz, dan lain-lain.
Perbedaan juga dapat dilihat dari sistematika penafsiran. Secara sistematika
tafsir abad pertengahan tampak lebih baik, yaitu memiliki pola penafsiran yang
terdiri dari beberapa uraian dan masing-masing terpisah dari yang lainnya,
dengan memberi judul atau sub-subjudul, tetapi masih tetap diurutkan sesuai
dengan urutan ayat-ayat dalam mushaf.28
C. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Periode Modern
1. Karakteristik Tafsir Abad Modern
Ditinjau dari adanya pergeseran pemikiran dari para mufassir pada
periode pertengahan ke periode modern, bahkan pada periode berikutnya,
baik dari kondisi sosial, politik, budaya dan juga lainnya, tentu akan
melahirkan karakter tersendiri dari para mufassir dalam penafsirannya.
Penafsiran periode modern ini merupakan cara pandang baru dari periode
sebelumnya, dan dari periode ini pula penafsiran pada periode berikutnya
juga banyak terinspirasi pada periode modern. Maka perkembangan
penafsiran pada masa kontemporer juga tidak bisa lepas begitu saja dari
periode modern. Adapun beberapa karakteristik yang menonjol pada periode
modern ini, hal ini disampaikan oleh Dr. Abdul Mustakim29 antara lain:
a. Memosisikan Al-Qur’an sebagai petunjuk
b. Bernuansa hermeunetis
c. Kontekstual dan berorientasi pada spirit Al-Qur’an

28
Muh. Makhrus Ali Ridho, “Pemetaan Tafsir..., hlm. 53-75
29
Abdul Mustakim, Pergeseran Epistimologi Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013),
hlm. 83.

10
d. Ilmiah, kritis, dan non-sekterial
2. Corak dan Kecenderungan Tafsir pada Abad Modern
Adapun metode yang digunakan pada zaman ini yaitu metode tahlili
(analisis) dan muqarin (komparatif), metode ini juga digunakan pada periode
sebelumnya (mutaakhirin). Pada periode ini juga muncul metode yang
disebut metode maudlu’i (tematik), yakni dengan menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur`an berdasarkan tema atau topik yang dipilih. Dari semua ayat-ayat yang
berkaitan dikumpulkan, kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
segala aspeknya.30 Secara otomatis, dengan berubahnya dari periode satu ke
periode berikutnya akan mengalami pergeseran, baik dari segi politik, sosial,
budaya dan segi lainnya. Hal ini terjadi dengan keadaan pada masa itu.
Perkembangan pada periode ini mengarah pada penafsiran yang
berbasis nalar kritis. Kita ambil dari beberapa tokoh-tokoh di atas seperti
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo dengan Al-manar-nya, dan sayyid
Ahmad khan dengan karyanya Tafhim Al-Qur’an, mereka melakukan kritik
terhadap produk-produk penafsiran para ulama terdahulu dan menganggap
tidak relevan. Produk penafsiran pada masa lalu yang dikonsumsi oleh
masyarkat Islam mulai dikritisi dengan menggunakan nalar kritis, yang
mereka lebih melepaskan diri dari hal-hal yang berbau madzhab. kemudian
mereka membangun sebuah penafsiran yang dianggap mampu merespon
problematika-problematika yang muncul dan sesuai dengan perkembangan
zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu.31 Metode penafsiran
ini juga dilanjutkan pada periode berikutnya (kontemporer), seperti Fazlur
rahman, Amin Khuli, Muhammad Syahrur dan sebagainya, yang mana
produk-produk penafsiran ulama terdahulu yang berbasis nalar ideologis
didesain ulang dengan penafsiran berbasis nalar kritis.
Dari fenomena tersebut jelas memberikan isyarat bahwa betapa Al-
Qur’an mempunyai khazanah yang sangat luas daya tarik tersendiri, sehingga
selalu timbul berbagai metode penafsiran dan pendekatannya dalam mengkaji
dan mendalami Al-Qur’an sebagai petunjuk dan tuntunan hidup, yang

30
Nashruddin Baidan, Perkembangan Tafsir..., hlm. 20
31
Abdul Mustakim, Pergeseran Epistemologi..., hlm. 72-73

11
disesuaikan dengan perubahan zaman. Munculnya berbagai problematika
pada zaman modern ini juga merupakan motivasi bagi para mufassir modern
untuk selalu berusaha merealisasikan dan mengkontekstualkan pesan-pesan
universal yang terkandung dalam Al-Qur’an. Hal ini hanya bisa dilakukan Al-
Qur’an ditafsirkan sesuai ddengan kebutuhan pada zamannya dan sesuai
dengan prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an. Hal demikianlah dilakukan
dalam upaya memelihara kerelevansian Al-Qur’an dengan perkembangan
kehidupan masyarakat pada zamannya.32
3. Mufassir Terkenal pada Abad Modern
Syaikh Jamaluddin Al-Afghani adalah orang pertama yang
menyebarkan paham modernisasi dan menyeru untuk menghidupkan kembali
pemikiran keagamaan Islam yang rasional dan objektif. Pemikirannya
diteruskan oleh Syeh Muhammad Abduh yang menggerakkan perbaikan
pendidikan agama dan masyarakat. Beliau inilah yang menjadikan tafsir Al-
Qur`an sebagai landasan dasar gerakan modernisasi Islam dan sebagai alat
untuk menghidupkan kembali pemikiran pendidikan islam dan perbaikannya.
Syaikh Muhammad Abduh telah memberi semangat kepada para
mufassir sesudahnya yang mengikuti jejak beliau untuk meneruskan gerakan
perjuangan pemikiran modern itu. Diantara tokoh tafsir pada zaman modern
ini adalah sebagai berikut:
a. Syaikh Muhammad Abduh (wafat pada 1905 M) mengarang tafsir Juz
‘Amma
b. Sayyid Muhammad Rsayid Ridha(wafat pada 1354 H/1935 M) redaktur
majalah Al-Manar melanjutkan penafsiran gurunya, Abduh (Al-Manar. Ia
menulisnya sampai surat Yusuf), dalam uraian yang yang ilmiah dan
mengikuti pola salaf, yaitu berdsarkan riwayat, teapi lebih maju, modrn,
dan penuh dengan petunjuk kemasyarakatan dan perjuangan.
c. Syaikh Jamaluddin Al-Qasimi (wafat pada 1914 M) menulis tafsir
mahasin Al-ta’wil yang mempunyai wawasan luas dengan menghimpun
pendapat para mufassir terdahulu, dan tafsirnyapun dianggap sebagai tafsir
yang bersih dari khurafat.

32
Muh. Makhrus Ali Ridho, “Pemetaan Tafsir Dari Segi Periodesasi”..., hlm. 53-57.

12
d. Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi (wafat pada 1945 M) pernah
menjadi Syekh Al-Azhar dan telah menafsirkan beberapa surat, seperti A-
Hujurat dan Al-Hadid dengan cara ilmiah dan modern serta mudah
dipahami.
e. Syaikh Ahmad Mustafa Al-Maraghi (wafat pada 1952 M) menulis tafsir
lengkap seluruh ayat Al-Quran dengan nama Tafsir al-Maraghi. Tafsir ini
modern dan praktis.
f. Syaikh Mahmud Syaltut, mantan Syekh al-Azhar yang menulis tafsir
dengan cara modern dengan judul tafsir Al-Qur’an al- Karim.
g. Prof. Sayyid Qutub menulis tafsir Fi Zilal al-Qu’`an dan buku lain
mengenai al-Qur`an seperti masyahid al-qiyamah fi al-Qur’an dan Taswir
al-Fanni fi al-Quran.
h. Prof. Ali al-Sabuni menulis kitab Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an,
Rawai’ al-Bayan yang sistematis dan modern.33
4. Contoh Penafsiran Al-Qur’an Dalam Kitab Tafsir Abad Modern
Contoh penafsiran yang akan disertakan disini adalah mengenai ayat
tentang puasa pada surat al-Baqarah ayat 183, yang berbunyi:

ُ َّ‫ين ِمن قا ْبلِ ُك ْم لا اعل‬


}183{ ‫ك ْم تاتَّ ُقو ان‬ ِ َّ
‫ب اعلاى الذ ا‬
ِ
‫ام اك اما ُكت ا‬
ِ
ُ ‫ب اعلاْي ُك ُم الصيا‬
ِ
‫ين اآمنُوا ُكت ا‬
ِ َّ
‫اَي أايُّ اها الذ ا‬
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa”.
Dari ayat diatas, Muhammad Abduh mengambil titik penting dari
lafadz ayat tersebut ( ‫) الذين من قبلكم‬, Muhammad Abduh menjelaskan semua

pengetahuan yang dimiliknya, dimulai dari menjelaskan mengenai kebiasaan


puasa yang sudah ada sejak zaman dahulu, sampai dengan penyebutan
melaksanakan puasa di agama-agama lain. Selain itu juga, ia menjelaskan
mengenai berbagai macam hikmah dan manfaat yang terkandung dalam
perintah puasa dalam berbagai perspektif di dalamnya, sehingga kita bisa
mengetahui alasan disyari’atkannya puasa, dengan arti bukan hanya bertaqlid
saja pada ulama terdahulu. Selain itu ia juga menjelaskan mengenai

33
Nasaruddin Baidan, Perkembangan Tafsir..., hlm. 22-23

13
keterkaitan orang yang berpuasa dengan ketakwaan pada lafadz (‫)تتقون‬, dalam

ayat tersebut bagi orang yang berpuasa dengan mengaitkan


kerasionalitasannya dengan cara menghubungkan perilaku sehari-hari
mereka. Sehingga puasa bukan lagi dipahami sebagai bentuk formalitas saja
bagi umat Islam, namun memang sebagai ibadah yang sangat berarti
khususnya sebagai benteng dalam melakukan hal-hal yang diharamkan.
Sehingga bisa dipastikan bahwa Abduh tidak ingin umat Islam melakukan
puasa hanya dengan cara bertaqlid saja atau ikut-ikutan saja.34
D. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an Periode Kontemporer
1. Karakteristik Pemikiran Tafsir Periode Kontemporer
a. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Kitab Petunjuk
Para mufassir kontemporer itu sangatlah terpengaruh oleh pemikiran
Abduh dalam hal keinginannya untuk mengembalikan Al-Qur’an sebagai
huddan lin nas. Gagasan inilah yang menjadi ciri dan karakteristik utama
dari penafsiran kontemporer, baik yang dikembangkan melalui metode
tematik, kontekstual maupun pendekatan ilmu kontemporer lainnya.35
Dalam upaya mengembalikan Al-Qur’an sebagai huddan lin nas,
mufassir kontemporer tidak lagi memahami kitab suci sebagai wahyu yang
“mati” seperti yang dipahami oleh ulama tradisional, melainkan sebagai
sesuatu yang “hidup”. Al-Qur’an dipahami sebagai kitab suci yang
kemunculannya tidak bisa dilepaskan dari konteks kesejarahan umat
manusia. Al-Qur’an tidak diwahyukan dalam ruang dan waktu yang
hampa budaya, melainkan hadir pada zaman dan ruang yang sarat budaya.
Nashr Hamid Abu Zayd bahkan menilai bahwa Al-Qur’an merupakan
“produk budaya”, yakni teks yang muncul dalam sebuah stuktur budaya
Arab abad tujuh selama lebih dari dua puluh tahun dan ditulis dengan
berpijak pada aturan-aturan budaya itu.36
Sebagai konsekuensi yang sulit dihindari atas pemahaman ini, untuk
memahami Al-Qur’an dengan utuh dan baik, tidak hanya dengan

34
Rashid Ridha, Tafsir Al-Manar (Kairo: Al-Manar, 1350 H), hlm. 143-145.
35
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 210
36
Ibid., hlm. 210-211

14
mengandalkan seperangkat ilmu seperti yang digunakan oleh para
mufassir selama ini seperti ushul fiqh, asbab al-nuzul, nahwu-sharaf dan
balaghah ilmu yang seharusnya dimiliki. Dalam hal ini, metode
(pendekatan) hermeneutik akhirnya menjadi salah satu menu alternatif
yang menggantikan perangkat keilmuan selama ini yang dianggap bukan
hanya tidak memadai, namun juga tidak tahan banting terhadap tantangan
zaman.37
Metode hermeneutik yang dikembangkan oleh para mufassir
kontemporer itupun masih beragam. Keberagaman ini muncul bukan
hanya karena semakin terbukanya umat Islam terhadap gagasan-gagasan
yang berasal dari luar, namun juga menunjukkan adanya dinamika dan
kesadaran terhadap kekurangan-kekurangan metode yang ada. Selain
persoalan metode, pola penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an juga ikut
berkembang. Jika dikalangan ulama’ tradisional pola yang digunakan
adalah penafsiran tahlili (analitis), telah berkembang pada pola maudu’i
(tematis), bahkan holistik. Ini terjadi karena zaman sejalan dengan
perkembangan metode penafsiran yang juga terus berkembang.38
b. Mengungkap “Ruh” Al-Qur’an
Salah satu pernyataan yang menjadi jargon mufassir kontemporer
bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang “shalihun li kulli zaman wa
makan” Al-Qur’an adalah kitab suci yang sesuai untuk segala zaman dan
tempat, kitab suci yang berlaku universal yang melampaui waktu dan
tempat yang dialami manusia. Meskipun pernyataan itu juga diakui para
mufassir klasik, namun pemahaman para mufassir kontemporer berbeda
dengan para mufassir klasik.39
Jika para mufassir klasik memakai pernyataan itu sebagai
“pemaksaan” makna literal kedalam berbagai konteks situasi kondisi
manusia, para mufassir kontemporer justru melihat sesuatu yang berbeda
“di balik” teks ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu para mufassir kontemporer
tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-

37
Ibid., hlm. 211
38
Ibid.
39
Ibid.

15
Qur’an secara literal. Mereka berusaha keras untuk melihat dan menelisik
lebih jauh apa yang ingin dituju oleh ungkapan literal ayat-ayat itu. Jadi,
sesuatu yang ingin dicari oleh para mufassir kontemporer adalah ruh Al-
Qur’an atau pesan-pesan moral Al-Qur’an.40
Dalam perkembangan ilmu tafsir, ada dua kelompok yang basis
pijakan dan kaidah penafsirannya saling berlawanan. Kelompok yang satu
berpegang pada kaidah al-’brah bi ’umum lafazh la bi khusush al-sabab,
sedangkan lainya berpegang pada kaidah al-’ibrah bi khusus al-sabab la
bi ’umum al-lafazh. Kini, mufassir kontemporer memunculkan kaidah
baru, yakni al-brah bi maqashid al-syari’ah, sesuatu yang seharusnya
menjadi pegangan adalah apa yang dikehendaki oleh syari’ah.41
Berangkat dari kaidah yang baru ini, muncullah berbagai upaya dari
sebagian mufassir kontemporer untuk mencapai nilai-nilai universalitas
Al-Qur’an yang menjadikan kitab suci umat Islam ini sesuai dengan
kaidah shalihun li kulli zaman wa makan. Nilai universalitas ini tidak
selalu tertuang dalam pernyataan ayat secara eksplisit, namun seringkali
hanya bersifat implisit yang diasa diketahui bila pemahaman atas ayat-ayat
Al-Qur’an tidak dilakukan secara harfiah dan persial.42
2. Metode Penafsiran Kontemporer
a. Metodologi Penafsiran Fazlur Rahman
Secara Umum, penafsiran Al-Qur’an dilakukan melalui empat
metode, yaitu: global (ismali), analisis (tahlili), perbandingan (muqaran),
dan tematik (mawdhu’i). Diantara empat metode tersebut, ternyata Fazlur
Rahman berbeda dalam menawarkan sebuah metode tafsir kontemporer
yang memiliki nuansa “unik” dan menarik untuk dikaji secara intensif.
Metode ini, seperti dikemukakan populer dengan nama double movement.
Metodologi penafsiran AlQur’an yang utuh dan padu, yang dia
tawarkan, dikenal dengan hermeneutika double movement. Sebagaimana
telah disinggung di atas bahwa hermeneutika double movement adalah
metode penafsiran yang memuat di dalamnya 2 (dua) gerakan, gerakan

40
Ibid., hlm. 211-212
41
Ibid., hlm. 212
42
Ibid.

16
pertama berangkat dari situasi sekarang menuju ke situasi masa Al-Qur’an
diturunkan dan gerakan kedua kembali lagi, yakni dari situasi masa
AlQur’an diturunkan menuju ke masa kini, yang ini akan mengandaikan
progresivitas pewahyuan.
Gerakan pertama dalam proses atau metode penafsiran ini terdiri dari
2 (dua) langkah, yaitu: langkah pertama, yakni tatkala seorang penafsir
akan memecahkan masalah yang muncul dari situasi sekarang, penafsir
seharusnya memahami arti atau makna dari satu ayat dengan mengkaji
situasi atau masalah historis dimana ayat Al-Qur’an tersebut merupakan
jawabannya. Tentu saja sebelum mengkaji ayat-ayat spesifik dalam
sinaran situasi-situasi spesifiknya maka suatu kajian mengenai situasi
makro dalam batasan-batasan masyarakat, agama, adat istiadat, lembaga-
lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia
dengan tidak mengesampingkan peperangan Persia-Byzantium harus
dilaksanakan. Langkah kedua, mengeneralisasikan jawaban-jawaban
spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang
memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum, yang disaring dari ayat-ayat
spesifik tersebut dalam sinaran latar belakang historis dan rationes legis
yang sering dinyatakan. Dalam proses ini perhatian harus diberikan kepada
arah ajaran Al-Qur’an sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti
tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan, dan setiap tujuan
yang dirumuskan koheren dengan yang lainnya. Hal ini karena ajaran Al-
Qur’an tidak mengandung kontradiksi, semuanya padu, kohesif, dan
konsisten. Gerakan kedua, ajaran-ajaran yang bersifat umum ditubuhkan
(embodied) dalam konteks sosio historis yang kongkret pada masa
sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian yang cermat atas situasi
sekarang dan analisis berbagai unsur-unsur komponennya sehingga kita
bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi yang sekarang sejauh
diperlukan dan menentukan prioritasprioritas baru untuk bisa
mengimplementasikan nilai-nilai Al-Qur’an secara baru pula.43

43
Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, terjemahan
Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka, 1995), hlm. 6-8

17
Secara skematis, tergambar sebagai berikut :

3. Contoh Penafsiran Metode Double Movement


Contoh penafsiran ayat tentang poligami yang ada di dalam Tafsir Al-
Misbah yang menafsirkan (Q.S. An-Nisa’ : 3), yang berbunyi :

ْ‫ث اوُربا اَٰع فاِإن ِخفتُم أَّاّل تاع ِدلُوا‬ ِ


‫اب لا ُكم ِم ان ٱلنِ اسآء امث ا َٰن اوثَُٰلا ا‬ ِ ِ ِ
‫اوإِن خفتُم أَّاّل تُقسطُواْ ِف ٱليا َٰتا ام َٰى فاٱنك ُحواْ اما طا ا‬
ِ
{3}‫نٓ أَّاّل تاعُولُو‬ ‫فا َٰاو ِح ادة أاو اما املا اكت أايَٰانُ ُكم َٰاذل ا‬
َٰ‫ك أاد ا‬
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja,
atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat
kepada tidak berbuat aniaya (QS.An-Nisa’ [4]: 3).
Shihab memulai penafsiran ayat tentang poligami di atas dengan
terlebih dahulu mengungkap konteks historis ayat (asbāb al-nuzūl) tersebut.
Berdasarkan informasi dari Aisyah diperoleh keterangan bahwa ayat tersebut
berkenaan dengan seorang anak yatim yang dipelihara oleh walinya. Harta
anak yatim tersebut masih tergabung dengan harta walinya. Wali anak yatim
tersebut menyukai kecantikan anak asuhannya serta harta yang dimilikinya.
Kemudian, ia berkeinginan menikahinya tanpa mahar yang sewajarnya. Ayat

18
ini secara tegas melarang wali tersebut mengawini anak-anak yatim dengan
maksud menginginkan harta dan kecantikannya.
Penyebutan kebolehan berpoligami baik dua, tiga, maupun empat pada
ayat tersebut guna menuntut berbuat adil kepada anak yatim tersebut. 44
Dengan kata lain, poligami dalam ayat ini bukanlah anjuran. Hakekat
poligami dalam ayat tersebut adalah solusi dari kondisi darurat yang
membutuhkan, seperti emergency exit di pesawat terbang, dan memenuhi
syarat bisa berlaku adil.45 Jika demikian, makalah kedudukan poligami adalah
sebagai rukhsah atau pintu darurat. Dapat dikatakan bahwa prinsip
pernikahan Islam menurut Shihab adalah monogomi.
Selanjutnya Shihab menegaskan bahwa poligami telah dikenal dan
menjadi tradisi masyarakat pra-Islam sebelum turun ayat ini. 46 Dalam
karyanya yang lain, Shihab memulai pembahasan QS. An-Nisa’ [4]: 3 ini
dengan terlebih dahulu mengemukakan kondisi sosiohistorisnya. Ia
mengungkap bahwa tradisi poligami telah ada sebelum Alquran turun.
Bahkan kebiasaan poligami pra-Islam hingga membolehkan laki-laki
47
mempunyai isteri tanpa batas. Shihab menegaskan bahwa bukanlah
membuat aturan baru tentang poligami karena prakteknya telah ada dalam
syariat agama dan adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Selain
itu, ayat ini tidak juga menganjurkan apalagi mewajibkan poligami.
Kebolehan poligami dalam ayat ini karena emergency, dan itu pun bisa
dilakukan dengan rambu-rambu yang ketat. Ia menegaskan bahwa Alquran
tidak membuka kran untuk berpoligami, melainkan sebaliknya
membatasinya.48
Penjelasan Shihab di atas menunjukkan prinsip monogami dalam QS.
An-Nisa’ [4]: 34 ini. Ia menggunakan konteks historis ayat (asbab al-nuzul)
guna menarik perhatian pembaca sebelum menafsirkan ayat. Jauh dari itu, ia

44
M Quraish Shihab, Tafsir Al-mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 324
45
M. Quraish Shihab, Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah
Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 180
46
M Quraish Shihab, Tafsir Al-mishbah..., hlm. 324
47
M. Quraish Shihab, Perempuan..., hlm. 159-161
48
Ibid., hlm. 165

19
mengungkap sejarah sosial dan budaya poligami sebelum periode kenabian
Muhammad Saw. Apa yang dilakukan oleh Shihab ini sama dengan metode
double movement Rahman.

20
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Tafsir Al-Qur’an pada periode klasik dimulai pada masa Rasulullah Saw.,
sahabat, dan tabi’in. Pada masa Rasulullah Saw. kebutuhan tafsir belum
begitu dirasakan, karena semua persoalan terutama menyangkut Al-Qur’an
dikembalikan kepada Rasulullah Saw. Ketika menafsirkan ayat, Rasulullah
Saw. tidak berangkat dari dirinya melainkan dari petunjuk Al-Qur’an yang
disampaikan oleh malaikat Jibril. Setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, para
sahabat menafsirkan Al-Qur’an dengan didasarkan atas sumber yang mereka
terima dari Rasulullah Saw. Adapun sumber tafsir Al-Qur’an pada masa
sahabat yaitu: Al-Qur’an, hadis, ijtihad, serta cerita ahli kitab dari Yahudi dan
Nasrani. Pada masa ini belum ada pembukuan tafsir. Kemudian tafsir
mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Tabi’in. Sumber
tafsir yang digunakan tabi’in bertambah banyak, yaitu menambahkan
penafsiran yang berasal dari ijtihad sahabat dan ijtihad mereka sendiri. Pada
masa ini tafsir masih menyatu dengan hadis, belum dikodifikasi secara
tersendiri.
2. Tafsir Al-Qur’an pada periode pertengahan muncul dengan bentuk sistematis
dan terkodifikasi dengan baik. Pada periode ini tafsir tidak lagi menyatu
dengan hadis. Sumber tafsir pada masa ini juga bertambah banyak,
diantaranya menggunakan kaidah bahasa Arab dan segala cabangnya dan
ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu.
3. Tafsir Al-Qur’an pada periode modern sudah bernuansa hermeunetis,
memiliki karakteristik ilmiah, kritis, dan non-sekterial. Pada periode ini juga
muncul metode yang disebut metode maudlu’i (tematik), yakni dengan
menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an berdasarkan tema atau topik yang dipilih.
Perkembangan pada periode ini mengarah pada penafsiran yang berbasis
nalar kritis.
4. Tafsir Al-Qur’an pada periode kontemporer berupaya mengembalikan Al-
Qur’an sebagai huddan lin nas. Para mufassir kontemporer tidak menerima
begitu saja apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat Al-Qur’an secara literal.

21
Mereka berusaha keras untuk melihat dan menelisik lebih jauh apa yang ingin
dituju oleh ungkapan literal ayat-ayat itu. Jadi, sesuatu yang ingin dicari oleh
para mufassir kontemporer adalah ruh Al-Qur’an atau pesan-pesan moral Al-
Qur’an. Selain itu juga muncul berbagai upaya dari sebagian mufassir
kontemporer untuk mencapai nilai-nilai universalitas Al-Qur’an yang
menjadikan kitab suci umat Islam ini sesuai dengan kaidah shalihun li kulli
zaman wa makan.
B. SARAN
Saran dari penulis untuk pembaca apabila pemaparan materi dalam
makalah ini masih kurang jelas bisa dipelajari lebih lanjut dibuku rujukan yang
penulis cantumkan di daftar rujukan.
Semoga dengan penyusunan makalah ini, kita dapat memahami dan
menerapkan dengan baik materi tentang pertumbuhan dan perkembangan tafsir
dalam kehidupan sehari-hari.

22
DAFTAR RUJUKAN

Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al-Qur’an di Indonesia. Solo: PT


Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Hidayat, Hamdan. 2020. “Sejarah Perkembangan Tafsir Al-Qur’an”. Jurnal Al-


Munir. Vol. 2 No. 1. Hlm. 29-76

Iqbal, Mashuri Sirojuddin dan A. Fuadlali. 2021. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung:
Titian Ilmu.

Malula, Mustahidin dan Reza Adeputra Tohis. 2023. “Metodologi Tafsir Al-
Qur’an”. Al-Mustafid: Journal of Qur’an and Hadith Studies. Vol. 2 No. 1.
Hlm. 12-22

Manaf, Abdul. 2021. “Sejarah Perkembangan Tafsir”. Jurnal Tafakkur. Vol. I No.
2. Hlm. 148-159

Masyhuri. 2014. “Merajut Sejarah Perkembangan Tafsir Masa Klasik: Sejarah


Tafsir dari Abad Pertama Sampai Abad Ketiga Hijriyah”. Jurnal
Hermeunetik. Vol. 8 No. 2. Hlm. 207-228

Maulana. 2021. “Perkembangan Tafsir Timur Tengah Zaman Nabi Sampai


Kontemporer”. Jurnal Ilmiah Falsafah. Vol. 6 No. 2. Hlm. 118-138

Maulana, Muhamad Erpian. 2021. “Corak Tafsir Periode Pertengahan”. Bayani:


Jurnal Studi Islam. Vol. 1 No. 2. Hlm. 210-220

Muhlasol, Farid. 2022. Konsep Hijab dalam Al-Qur’an: Sebuah Implementasi


Semantik Toshihiko Izutsu Terhadap Kosakata Hijab dalam Al-Qur’an.
Pasuruan: CV Basya Media Utama.

Mustakim, Abdul. 2013. Pergeseran Epistimologi Tafsir. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

23
Pratomo, Hilmy. 2020. “Historiografi Tafsir Era Klasik: Dinamika Penafsiran Al-
Qur’an dari Masa Nabi Hingga Tabi’in”. Jurnal Syariati. Vol. VI No. 01.
Hlm. 1-16

Rahman, Fazlur. 1995. Islam dan Modernitas: Tentang Transformasi Intelektual,


terjemahan Ahsin Mohammad. Bandung: Pustaka.

Ridha, Rashid. 1350 H. Tafsir Al-Manar. Kairo: Al-Manar.

Ridho, Muh. Makhrus Ali. 2023. “Pemetaan Tafsir Dari Segi Periodesasi”. Dar el-
Ilmi: Jurnal Keagamaan, Pendidikan dan Humaniora. Vol. 10 No. 1. Hlm.
53-75

Sakirman. 2016. “Konstruk Metodologi Tafsir Modern” Hermeneutik: Jurnal Ilmu


Al-Qur’an dan Tafsir. Vol. 10 No. 2. Hlm. 271-294

Sakti. 2020. Diskursus Studi Qur’an-Hadis Kontemporer. Jawa Barat: Guepedia


Group.

Shihab, M. Quraish. 2000. Tafsir Al-mishbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an. Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. Quraish. 2006. Perempuan: dari Cinta Sampai Seks, dari Nikah Mut’ah
Sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama Sampai Bias Baru. Jakarta: Lentera
Hati.

24

You might also like