Kesehatan

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 6

1.

Urgensi Reformasi Sistem Kesehatan Nasional

Pandemi Covid-19 menjadi titik kritis untuk menilai sistem kesehatan nasional Indonesia. Paragraf
pertama mengidentifikasi kelemahan utama SKN, khususnya dalam pencegahan dan penanganan
pandemi, serta mendukung perlunya penguatan SKN, terutama dalam tes, pelacakan, dan
pemobilan sumber daya kesehatan. Ditekankan bahwa pandemi ini harus menjadi momentum
untuk mereformasi sistem kesehatan nasional secara menyeluruh. Beberapa pembelajaran
penting meliputi pemanfaatan teknologi informasi, kapasitas pencegahan dan mitigasi yang
terbatas, komunikasi risiko awal, keterbatasan fasilitas kesehatan, dan kurangnya mobilisasi
pembiayaan kesehatan. Hasil penilaian JEE 2017 menyoroti keterbatasan teknis SKN, khususnya
dalam respons terhadap penyakit menular dan zoonosis, serta perlunya peningkatan kapasitas
sesuai International Health Regulation (IHR) 2005.

Membahas regulasi-regulasi kesehatan Indonesia seperti UU No.4 Tahun 1984 dan UU No.6 Tahun
2018 terkait wabah penyakit yang telah ada. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2019 menjadi
landasan hukum untuk health security dan resilience. Namun, implementasi belum optimal
disebabkan kurangnya kapasitas sistem kesehatan nasional.

Penguatan sistem kesehatan nasional menjadi strategi utama dalam RPJMN 2020-2024 untuk
mengatasi tantangan kesehatan seperti tingginya angka kematian ibu, prevalensi stunting balita,
dan insidensi TBC. Reformasi sistem kesehatan nasional menjadi fokus penting berdasarkan
arahan Presiden RI dan kebijakan Kementerian PPN/Bappenas dalam RKP Tahun 2022. Reformasi
ini diperlukan untuk meningkatkan kapasitas sistem kesehatan nasional secara jangka panjang,
menciptakan sistem kesehatan nasional yang tangguh, dan menanggapi tantangan kesehatan di
masa mendatang serta permasalahan kronis dalam pembangunan kesehatan nasional.

1.1 Kondisi Pembangunan Kesehatan Saat Ini

Pembangunan kesehatan di Indonesia saat ini dihadapkan pada dua tantangan utama: disparitas
capaian status kesehatan dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Meskipun telah ada upaya
untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan melalui Sistem Kesehatan Nasional (SKN),
namun implementasinya masih jauh dari optimal.

a. Ketahanan kesehatan dan pengendalian penyakit.

Salah satu aspek yang membutuhkan perhatian adalah ketahanan kesehatan dan pengendalian
penyakit, terutama selama pandemi Covid-19. Indonesia masih menghadapi kendala dalam
surveilans yang cepat dan handal, kapasitas pengujian dan pelacakan yang rendah karena
terbatasnya Sumber Daya Manusia (SDM) dan jejaring laboratorium surveilans yang terbatas,
serta manajemen data yang belum memadai. Temuan dari JEE 2017 menunjukkan bahwa
koordinasi lintas sektor menjadi titik lemah dalam mencegah, mendeteksi, dan menanggapi
keadaan darurat kesehatan masyarakat. Selain itu, Indonesia masih menghadapi beban penyakit
menular seperti tuberkulosis (TB), malaria, dan kusta yang belum optimal dalam pengendaliannya.

Pada tahun 2020, Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia dalam hal insidensi TB, dengan
estimasi angka kasus mencapai 824.000. Namun, cakupan pengobatan TB baru mencapai 46%
dengan tingkat keberhasilan pengobatan 83%. Target penurunan insidensi TB menjadi 190 per
100.000 penduduk pada tahun 2024 sulit untuk dicapai. Demikian juga, eliminasi malaria dan
kusta masih memerlukan upaya percepatan khususnya di daerah dengan status endemis tinggi.
Meskipun telah mencapai status eliminasi kusta secara nasional, namun di tingkat daerah masih
terdapat 98 kabupaten/kota dan 6 provinsi yang belum mencapai status eliminasi. Angka
penularan penyakit kusta pada anak dari orang terdekat masih tinggi.

Capaian imunisasi dasar lengkap (Imunisasi Dasar Lengkap/IDL) pada anak usia 12-23 bulan masih
rendah, berada pada angka 57,9%. Target yang perlu dicapai pada tahun 2024 adalah sebesar 90%.
Selain itu, aspek pemerataan IDL juga masih menjadi tantangan, dengan hanya 37,2%
kabupaten/kota yang mencapai 80% IDL pada tahun 2020.

Dalam konteks RPJMN 2020-2024, mencapai target kesehatan merupakan tantangan yang besar,
membutuhkan langkah-langkah strategis dan upaya bersama yang terintegrasi untuk memastikan
akses pelayanan kesehatan yang merata dan efektif serta pengendalian penyakit yang lebih baik.

b. Pelayanan Kesehatan.

Pelayanan kesehatan di Indonesia mengadopsi model campuran oleh sektor publik dan swasta,
dengan jumlah fasilitas kesehatan yang terus meningkat setiap tahun. Namun, masih ada
ketidakcukupan dan ketimpangan akses terutama di daerah timur, daerah tertinggal, perbatasan,
dan kepulauan. Ketersediaan SDM kesehatan dan fasilitas kesehatan masih belum memadai,
terutama di puskesmas. Dalam era desentralisasi, kendali atas pelayanan kesehatan dasar
bervariasi tergantung pada komitmen, kapasitas fiskal, dan pemenuhan fasilitas, SDM, sarana, dan
prasarana daerah.

Pelayanan kesehatan dasar menurut Deklarasi Alma Ata dan PHC adalah esensial, dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dapat diakses, dan melibatkan partisipasi masyarakat.
Namun, capaian indikator kesehatan masyarakat masih stagnan, seperti cakupan imunisasi dasar
lengkap. Pelayanan kesehatan di FKTP dan RS menghadapi disparitas akses dan mutu, terutama di
daerah sulit akses. Implementasi Program JKN mendorong masyarakat mengakses pelayanan
kesehatan dasar, namun, terdapat kesenjangan antara layanan pelayanan dasar milik publik dan
swasta.

Tantangan utama FKTP adalah memperkuat upaya promotif dan preventif. Prevalensi penyakit
tidak menular cenderung meningkat, menekankan perlunya fokus pada gaya hidup sehat.
Pelibatan fasilitas pelayanan kesehatan swasta masih rendah, sementara potensi pelayanan yang
dilakukan oleh pihak swasta cukup tinggi. Rasio tempat tidur RS di Indonesia masih rendah
dibandingkan dengan standar internasional, dan masih ada ketimpangan antarwilayah.

Tinjauan menyeluruh diperlukan untuk memastikan pelayanan kesehatan yang merata dan efektif
di seluruh Indonesia, dengan melibatkan partisipasi masyarakat, memperkuat SDM kesehatan,
memenuhi kebutuhan obat dan vaksin, dan mengatasi disparitas akses kesehatan. Perlu juga
dorongan insentif untuk fasilitas kesehatan swasta di daerah sulit.

Membahas tentang kondisi akreditasi rumah sakit (RS) di Indonesia, dengan fokus pada
keterlibatan sektor swasta dalam meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan. Dari data
yang diungkapkan, 88,4% RS di Indonesia telah terakreditasi, tetapi hanya 38% yang memenuhi
standar paripurna akreditasi KARS. Hanya 41 RS yang mencapai akreditasi internasional baik KARS
maupun JCI, dan 20 di antaranya dimiliki oleh sektor swasta.

c. Digitalisasi Pelayanan Kesehatan

Pemanfaatan teknologi dalam sektor kesehatan di Indonesia adalah fokus utama untuk
memajukan layanan kesehatan. Dua aspek penting adalah digitalisasi pelayanan dan sistem
informasi kesehatan. Namun, beberapa kendala perlu diatasi agar teknologi dapat membawa
perubahan positif dalam sistem kesehatan.

Salah satu kendala adalah akses terbatas ke internet, terutama di Puskesmas. Sejumlah data
menunjukkan bahwa 13% Puskesmas masih memiliki keterbatasan sinyal internet. Hal ini
mempengaruhi efisiensi pelayanan kesehatan yang masih banyak dilakukan secara manual.

Pengembangan teknologi informasi dalam sektor kesehatan juga belum optimal. Telemedicine,
sebagai contoh, masih memerlukan peningkatan untuk menghubungkan pelayanan kesehatan
terutama di wilayah terpencil. Pandemi Covid-19 memicu peningkatan penyedia layanan
kesehatan swasta secara online, namun, keamanan data perlu ditingkatkan seiring perkembangan
ini.

Kendala utama juga terlihat dalam integrasi sistem informasi kesehatan yang belum optimal.
Kementerian Kesehatan memiliki 207 sistem informasi kesehatan yang tersebar di berbagai unit.
Ini menimbulkan potensi multi-entry data dan meningkatkan beban administratif.

Selanjutnya, perlu diintegrasikan data penerima program-program pemerintah dalam satu sistem
untuk memastikan pelaksanaan program sesuai target. Ke depan, digitalisasi diidentifikasi sebagai
pendorong utama dalam reformasi sistem kesehatan nasional. Dalam hal ini, perlu ditingkatkan
pemanfaatan teknologi untuk membawa inovasi yang dapat memperbaiki efisiensi, efektivitas,
dan aksesibilitas pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
d. Tenaga Kesehatan

Permasalahan utama terkait tenaga kesehatan di Indonesia meliputi kurangnya produksi jenis
tenaga kesehatan tertentu dan distribusi yang belum merata di seluruh wilayah dan fasilitas
kesehatan. Produksi lulusan bidang ilmu kesehatan, yang mencapai rata-rata 238.861 lulusan
setiap tahun, masih belum mencukupi untuk kebutuhan beberapa jenis tenaga kesehatan krusial
seperti dokter spesialis, dokter umum, tenaga promosi kesehatan, dan ahli teknologi laboratorium
medik.

Kualitas pendidikan tinggi di bidang kesehatan juga menjadi masalah, dengan hanya 15,5%
program studi bidang kesehatan yang memiliki akreditasi A. Selain itu, sekitar 35% calon dokter
tidak berhasil lulus uji kompetensi setiap tahunnya. Dalam mengatasi kebutuhan akan dokter dan
dokter spesialis sebanyak 21.710 orang, diperlukan langkah-langkah alternatif seperti peningkatan
kualitas lulusan melalui akreditasi tertinggi dan reorientasi pendidikan kedokteran.

Selain masalah produksi tenaga kesehatan, distribusi yang tidak merata juga menjadi
permasalahan serius. Sebagian besar tenaga kesehatan berkumpul di Pulau Jawa, sementara
wilayah terpencil, seperti Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara
Timur, masih mengalami kekurangan dokter di puskesmas. Ketersediaan dokter spesialis di rumah
sakit juga masih kurang, dan banyak RS yang kekurangan dokter spesialis dasar, penunjang, dan
lainnya.

Kurangnya minat untuk ditempatkan di daerah terpencil juga menjadi kendala, dipengaruhi oleh
faktor jarak dari keluarga, keterbatasan pasien, dan keterbatasan kesempatan peningkatan
kapasitas. Perbaikan pada distribusi dan peningkatan minat tenaga kesehatan untuk bekerja di
daerah terpencil sangat penting untuk meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan di seluruh
Indonesia.

e. Kemandirian Kefarmasian dan Alat Kesehatan

Kefarmasian dan alat kesehatan memiliki peran penting dalam memastikan pelayanan kesehatan
yang optimal, terutama dalam konteks pandemi Covid-19. Namun, Indonesia masih menghadapi
tantangan dalam hal kemandirian, terutama terkait impor bahan baku obat dan produk alat
kesehatan.

Saat ini, sebagian besar bahan baku obat (90%) diimpor, dan hanya sejumlah kecil industri bahan
baku obat yang mendapatkan sertifikasi CPOB di Indonesia. Demikian juga, produksi alat
kesehatan dalam negeri masih terbatas, dengan sebagian besar belanja alat kesehatan (88%)
berasal dari produk impor. Salah satu kendala utama adalah anggaran penelitian dan
pengembangan yang masih rendah, jauh di bawah negara-negara seperti USA dan Singapura.
Dalam mengatasi kendala ini, perlu mendorong kemandirian farmasi dan alat kesehatan dalam
negeri, terutama di masa pandemi di mana permintaan akan obat dan alat kesehatan sangat
tinggi. Industri hilir farmasi, terutama industri formulasi sediaan, saat ini mendominasi untuk
memenuhi kebutuhan obat di era JKN. Namun, perlu langkah-langkah untuk memperkuat riset
dan pengembangan industri hulu (bahan baku) serta menciptakan iklim usaha dan regulasi yang
mendukung kemandirian farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.

f. Pemberdayaan Masyarakat

Keterlibatan masyarakat kunci dalam sistem kesehatan. Namun, peran sektor non-pemerintah
dan masyarakat belum optimal. Misalnya, fasilitas kesehatan swasta belum terintegrasi dengan
baik dalam sistem pelayanan kesehatan. Upaya kesehatan berbasis masyarakat, seperti Posyandu,
mengalami kendala tingkat keaktifan yang rendah. Pemerintah perlu meningkatkan keterlibatan
masyarakat dan mengoptimalkan peran fasyankes swasta dalam sistem kesehatan.

g. Pembiayaan Kesehatan

JKN perlu ditingkatkan dalam aspek promotif-preventif dan akses kesetaraan layanan. Pemerintah
Daerah perlu lebih mandiri dalam pembiayaan kesehatan, mengurangi subsidi. Skema BLU dan
dana perimbangan perlu optimalisasi. Tantangan juga terkait efektivitas pengukuran pembiayaan
kesehatan dan adanya duplikasi pembiayaan pada kegiatan serupa. Perlu inovasi dan definisi
tegas dalam pengelolaan pembiayaan kesehatan.

1.2 Tinjauan Perpres No. 72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional.

Tinjauan Perpres No. 72/2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN) menggambarkan
SKN terdiri dari 7 subsistem:

1. Upaya Kesehatan: Meliputi upaya peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan,


dan pemulihan kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Penelitian dan Pengembangan Kesehatan: Koordinasi penelitian dan pengembangan kesehatan


untuk mendapatkan data kesehatan dasar dan bukti-bukti ilmiah.

3. Pembiayaan Kesehatan: Memastikan pembiayaan kesehatan yang adekuat, terintegrasi, stabil,


dan berkesinambungan, berasal dari berbagai sumber termasuk negara, pemerintah daerah,
swasta, organisasi masyarakat, dan masyarakat sendiri.

4. Sumber Daya Manusia Kesehatan (SDMK): Menjamin ketersediaan, pendistribusian, dan


peningkatan kualitas SDMK seperti tenaga kesehatan dengan perencanaan kebutuhan dan
program, pendidikan, pelatihan, dan pengawasan mutu.
5. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan: Menjamin keamanan, khasiat, mutu, dan
ketersediaan obat esensial, alat kesehatan, dan makanan yang beredar, serta memastikan
penggunaan yang rasional dan perlindungan masyarakat.

6. Manajemen, Informasi, dan Regulasi Kesehatan: Mengatur dan mengelola kebijakan,


administrasi, hukum, dan informasi kesehatan untuk koordinasi dan efektivitas penyelenggaraan
SKN.

7. Pemberdayaan Masyarakat: Mendorong perorangan, keluarga, dan masyarakat untuk aktif


berperan dalam pembangunan kesehatan.

Sistem Kesehatan Nasional (SKN) di Indonesia yang mencakup 7 subsistem, namun belum optimal
dalam mengatasi krisis seperti pandemi Covid-19. Diperlukan reformasi SKN yang berbasis data
untuk memperkuat respons sistem kesehatan terhadap perubahan dan krisis kesehatan.

You might also like