Addharar

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 21

2

‫الضرر يزال‬
Kemudharatan/bahaya itu harus dihilangkan

Diajukan untuk Memenuhi salah Satu Tugas Individu pada Mata Kuliah Qawaid
Fiqhiyah Studi Dirasah Islamiyah/Kons. Syariah dan Hukum Islam Program
Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Oleh :

SOEPARMONO
NIM. 80100220104

Dosen Pengampu :
Dr.H.Andi Achruh, M.Pd.i
Dr.Achmad Musyahid Idrus, S,Ag, M,Ag

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2021
3

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Allah swt atas berkat dan rahmat_Nya lah kita
masih bisa menghirup udara di atas pijakan bumi dan di bawah kolom langit
yang terhampar luas ini, sungguh mulia Allah swt, menciptakan alam dan
segala isinya dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Semoga kita selalu menjadi
hamba-hamba yang patut kepada-Nya dan senantiasa mensyukuri nikmat yang
telah diberikan, sehingga kita tergolong hamba- hamba yang bersyukur dan
termasuk hamba yang selamat di dunia dan di akhirat kelak.

Alhamdulillah, atas segala rahmat dan hidayah-Nya yang telah


memberi petunjuk serta kekuatan kepada penulis sehingga makalah yang
berjudul “‫ ”يزال الضرر‬ini dapat disusun dan diselesaikan sesuai waktu yang
direncanakanan. Salawat serta salam kepada Rasulullah saw, beserta keluarga,
sahabat dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata
kuliah Qawaid Fiqhiyah, Studi Dirasah Islamiyah/Kons. Syariah dan Hukum
Islam Program Pascasarjana, UIN Alauddin Makassar.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi segenap pembaca terutama


kepada penulis atau penyusun makalah ini sendiri. Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan kepada pembaca, setelah membaca makalah yang kami
buat, dapat memberikan masukan, saran, kritik, agar makalah ini bisa
direvisi dan lebih baik lagi untuk ke depannya.

25 OKTOBER 2021

PENULIS
4

DAFTAR ISI
JUDUL .............................................................................................................................................i

KATA PENGANTAR ......................................................................................................................ii

DAFTAR ISI .....................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................................5

A.Latar Belakang Masalah .................................................................................................................5


B.Rumusan Masalah ..........................................................................................................................6
C.Tujuan Penulisan ............................................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................... ............................7

A.Definisi kaidah Adh-dhararu yudzalu .................................... .....................................................7


B.Landasan kaidah Adh-dhararu yudzalu.................................. ......................................................10
C.Penerepan kaidah Adh-dhararu yudzalu ................................................ .....................................12
D.Cabang cabang kaidah Adh-dhararu yudzalu............................................ ...................................13

BAB III PENUTUP ............................................................................................. ............................20

A. Kesimpulan ..................................................................................................................................20
5

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum islam (fiqh) dan Qawa’id al-Fiqhiyah mempunyai


keterikatan antara satu dengan yang lain, hal ini dikarenakan
kedinamisan hukum islam yang diwujudkan dalam fiqh amat
bergantung pada Qawa’id al-Fiqhiyah, dalam hal ini karakteristik
keumuman atau generalitas dari kaidah-kaidah tersebutlah yang
menjadikan hukum islam dapat diterapkan pada segala kondisi di
setiap waktu dan zaman.
Sebagai manusia khususnya umat muslim yang hidup
bermasyarakat tentunya sangat banyak permasalahan baru yang timbul
didalam kehidupan bahkan cara penyelesaiannya pun tidak terdapat
didalam Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga membuat para ulama merasa
terusik dan berijtihad untuk mencari solusinya.Meskipun
demikian,mereka berijtihad bukan hanya untuk mencari solusi tetapi
mereka juga berpegang teguh pada dasar-dasar umum yang terdapat
didalam Al-Qur’an dan Hadist sehinggga ijtihad yang mereka hasilnya
tidak menyimpang dari ajaran yang diturunkan oleh Allah SWT melalui
nabi Muhamad SAW. Dari beberapa ijtihad yang dilakukan para Ulama
dapat diambil suatu kaidah-kaidah demi menyelesaikan masalah yang
dihadapi, yang mana salah satu dari kaidahnya yaitu kaidah Adh-
dharuriyah atau Adh-dhararu yudzalu.
Kaidah Adh-dharuriyah ini meruapakan kaidah asasiyyah yang
mana membahas tentang kemudharatan yang harus dihilangkan akan
tetapi jika seseorang itu didalam keadaan darurat maka yang haram pun
diperbolehkan.Akan tetapi,keadaan darurat dalam hal ini yang benar-
benar berakibat fatal jika tidak diatasi dengan cara-cara yang membawa
6

kemudharatan.Oleh karena itu, dalam islam memperbolehkan untuk


meninggalkan hal-hal yang wajib jika dalam keadaan yang sangat
darurat.
Berdasarkan latar belakang ini, maka terbagi menjadi beberapa sub
permasalahan yang dituangkan dalam rumusan masalah.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi kaidah ‫ الضرر يزال‬/ Adh-dhararu yudzalu?

2. Apa landsan kaidah ‫ الضرر يزال‬/ Adh-dhararu yudzalu ?

3. Bagaiaman peneerapan kaidah ‫ الضرر يزال‬/ Adh-dhararu yudzalu ?

4. Apa saja cabang-cabang kaidah ‫ الضرر يزال‬/ Adh-dhararu yudzalu ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui makna kaidah ‫ الضرر يزال‬/

2. Untuk mengetahui landasan dari kaidah ‫الضرر يزال‬

3. Untuk memahami bagaimana penerapan kaidah ‫زال‬KK‫رر ي‬KK‫ الض‬dalam

kehidupan.

4. Untuk mengetahui cabang-cabang kaidah ‫الضرر يزال‬


7

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi kaidah Adh-dhararu yudzalu

Makna dari kaidah ‫“ َالُّض َر ُرُيَزاُل‬Kemudharatan harus dihilangkan”


Maksudnya ialah jika sesuatu itu dianggap sedang atau akan bahkan
memang menimbulkan kemadharatan, maka keberadaanya wajib
dihilangkan1. Mudharat secara etimologi adalah berasal dari kalimat
"adh-Dharar" yang berarti sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat
menahannya. Kata adh-Dhararu berarti berbuat kerusakan kepada orang
lain secara mutlak, mendatangkan kerusakan terhadap orang lain dengan
cara yang tidak diizinkan oleh agama. Sedangkan tindakan perusakan
terhadap orang lain yang diizinkan oleh agama seperti qishas, diyat, dan
had tidak di kategorikan berbuat kerusakan tetapi untuk mewujudkan
kemaslahatan, sedangkan ad- dhirar adalah membahayakan orang lain
dengan cara yang tidak disyariatkan2
Menurut istilahnya, dharurah (darurat) mempunyai banyak definisi
yang hampir sama pengertiannya, beberapa pengertian diantaranya yaitu:

1. Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau
melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Nah hal
seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan
dengan batas batas tertentu.
2. Abu Bakar Al Jashas, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan
seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota
badannya karena ia tidak makan”.
3. Menurut Ad Dardiri, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari
kesusahan yang teramat sangat”.

1
Muhamad Mas’ud Zein, Sitematika Teori Hukum Islam (Qawa’id-Fiqhiyyah), (Jawa Timur: Al-
Syarifah Al-Khadizah, 2006), h. 60.

2
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa'id al-Fiqhtyah, (Beirut; Dar al-Qalam, 1420 H/1998 M) Cet.V,
h.152.
8

4. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah


mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya
sekedar dugaan”.
5. Menurut Asy Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas
dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan
binasa atau nyaris binasa.3
Batasan Kemudharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi
manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan memelihara
kehormatan atau harta benda. Dengan demikian darurat itu terkait dengan
Dharuriah, bukan hajiah dan tahsaniah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait
dengan hajiah dan tahsaniah.
Hal tersebut memungkinkan bahwa tidak semua keterpaksaan itu
membolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan
yang benar-benar tiada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini
maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya. Misalkan
seorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia
tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas
keperluannya.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika
ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta
kehormatan manusia.
Konsepsi kaidah memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan
dari idhrar (tidak menyakiti), baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain,
dan tidak semestinya ia menimbulkan bahaya (menyakiti) pada orang lain.4

3
Nur Alim, Ad-Dhararu Yuzalu, http://noeraliem.blogspot.com/2010/10/ad-dhararu-yuzalu-
kemudharatan-itu.html, 10/10/2012
4
Nashr Farid Muhammad Washil, Qawa’id Fiqiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 17.
9

Menurut Abdul Qodir Audah, seorang hakim dan pengacara terkenal dari
Ikhwan al-Muslimin Mesir berpendapat, bahwa syarat-syarat keadaan darurat
yang membolehkan orang melakukan perbuatan yang dilarang (haram) ada
empat;
1. Dirinya atau orang lain dalam keadaan gawat yang
dikhawatirkan dapat membahayakan nyawanya atau anggota-
anggota tubuhnya;
2. Keadaan yang sudah serius, sehingga tidak bisa ditunda-tunda
penangannya. Misalnya orang kelaparan belum boleh
makan bangkai, kecuali ia telah berada dalam keadaan bahaya
lapar yang gawat akibatnya;
3. Untuk mengatasi darurat itu tidak ada jalan keluar kecuali
melakukan perbuatan pelanggaran/kejahatan. Jika masih bisa
diatasi darurat itu dengan menempuh perbuatan yang mubah.
Misalnya orang yang kelaparan yang masih bisa membeli
makanan yang halal, maka tidak benarkan makan makanan yang
tidak halal (haram) tersebut, karena hasil curian;
4. Keadaan darurat itu hanya boleh diatasi dengan mengambil
seperlunya saja (seminimal mungkin untuk sekedar
mempertahankan hidupnya).

Kebolehan berbuat atau meninggalkan sesuatu karena darurat adalah untuk


memenuhi penolakan terhadap bahaya, bukan selain ini. Sedangkan unsur-unsur
darurat meliputi empat hal pula, yaitu kondisi darurat yang dihadapi; perbuatan
yang dilakukan untuk mengatasi kondisi darurat; objek darurat, dan orang yang
berada dalam kondisi darurat. Dalam kaitan ini DR. Wahbah az-Zuhaili
membagi kepentingan manusia akan sesuatu dengan lima klasifikasi, yaitu

1. Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan


menggunakan sesuatu yang dilarang, karena kepentingan itu
menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak
dilaksanakan maka mendatangkan kerusakan. Kondisi semacam ini
10

memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang, seprti


memakai sutra bagi laki-laki yang telanjang, dan sebagainya;
2. Hajiah, yaitu kepentingan manusia akan sesuatu yang bila tidak dipenuhi
mendatangkan kesulitan atau mendekati kerusakan. Kondisi semacam
ini tidak menghalalkan yang haram. Misalnya, seseorang yang tidak
mampu berpuasa maka diperbolehkan berbuka dengan makanan halal,
bukan makanan haram; Manfaat, yaitu kepentingan manusia untuk
menciptakan kehidupan yang layak. Maka hukum diterapkan menurut
apa adanya karena sesungguhnya hukum itu mendatangkan manfaat.
Misalnya, makan makanan pokok seprti beras, ikan, sayur- mayur, lauk
pauk, dan sebagainya;

3. Fudu, yaitu kepentingan manusia hanya sekedar untuk berlebih- lebihan,


yang memungkinkan mendatangkan kemaksiatan atau keharaman.
Kondisi semacam ini dikenakan hukum Saddud Dzariah, yakni menutup
segala kemungkinan yang mendatangkan kerusakan. Contoh kaidah
diatas adalah bahwa darah para pejuang Islam ketika perang dianggap
suci untuk dipakai shalat, tetapi bila mengenai orang lain dianggap najis,
dan sebagainya.5

B. Landsan Kaidah ‫ الضرر يزال‬/ Adh-dhararu yudzalu


Kaidah “Adh-Dhararu Yuzalu” menunjukkan bahwa kemudharatan
itu telah terjadi atau akan terjadi, dengan demikian setiap kemudharatan
memang harus dihilangkan. Qa`idah ini merupakan salah satu dari
qa`idah yang sangat substansial di dalam ilmu fiqih. Banyak qa`idah-
qa`idah kecil yang diturunkan darinya. Kaidah ini didasarkan kepada
nash-nash Al-Qur’an dan hadits sebagi berikut:
         
      

Terjemahnya:
5
Hamsidar, Al Daraaru Yuzalu (Salah Satu Kaidah Ushuliyah) Yang Berkesesuaian Dengan Kondisi
Membahayakan Dan Menyulitkan. Jurnal Ekpose Vol XXIII,
11

56. dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah


(Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut
(tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.
(Q.S.Al-A’raff (56) )6

       


            
      
Terjemahnya:
173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa (memakannya)
sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.(Q.S.Al-Baqarah (173) )7
      
         
           
        
         
  

Terjemahnya:
231. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir
iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau
ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu
rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian
kamu Menganiaya mereka[145]. Barangsiapa berbuat demikian, Maka
sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu
jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah
padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab
dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu
dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta
ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S.Al-
Baqarah 231 )8
          
           
       

Terjemahnya:
6
Kementerian Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 2010),
7
Kementerian Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 2010),
8
Kementerian Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 2010),
12

77. dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan
bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S.Al-Qashas
77)9

‫َالَض َر ر َو َال ِض َر اَر‬


Artinya:
“tidak boleh membuat kerusakan pada diri sendiri serta membuat
kerusakan pada orang lain.” (HR.Ahamad dan Ibnu Majah dari Ibnu
Abbas).

C. Penerapan Kaidah ‫ الضرر يزال‬/ Adh-dhararu yudzalu

Beberapan contoh penerapan kaidah Adh-dhararu yudzalu:

1. Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok

masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan

kemudaratan bagi rakyat

2. Jika seseorang membuat pekerjaan yang menyebabkan

kerusakan dinding rumah tetangganya, maka pekerjaan ini

tidak diperbolehkan mengingat bahaya yang begitu jelas di

dalamnya.

3. Jika sepasang suami istri menjalani hubungan jarak jauh (LDR)

dan menyiksa kedua pihak atau salag satunya maka wajib

keduanya untuk menghilangi dharar yakni dengan cara

menghadirkan sang istri di sisi suami ataupun sebaliknya atau

9
Kementerian Agama RI, Al-quran dan Terjemahannya, (Semarang: Toha Putra, 2010),
13

dengan cara menceraikannya, jika keberadaan sang suami tidak

diketahui adanya dalam waktu yang cukup lama maka boleh

bagi sang istri untuk menghadap kepada hakim untuk memohon

perceraian agar menghilangkan kesusahan lahir dan batin yang

dialaminya.

D. Cabang-cabang kaidah ‫ الضرر يزال‬/ Adh-dhararu yudzalu

Adapun kaidah-kaidah turunan dari kaidah induk ‫ الَض َرُر ُيَز اُل‬antara lain:
1. Kaidah ‫مبثله‬ ‫ الَض َرُر اَل ُيَز ال‬10
Kaidah ini bermakna bahwa segala sesuatu yang membahayakan tidak

boleh dihilangkan dengan sesuatu yang memiliki bahaya yang sama atau dapat

mendatangkan kerusakan yang sama apalagi jauh lebih besar. Meskipun mudarat

itu wajib dihilangkan, namun tidak dengan mendatangkan mudarat yang

sebanding dengannya apalagi yang lebih berat. Maka menjadi syarat untuk

menghilangkan satu mudarat adalah dengan tidak menimbulkan mudarat yang lain

sebisa mungkin. Namun jika tidak dapat, hendaknya mudarat itu lebih ringan.

Contoh penerapan kaidah ini adalah:

a. Seorang yang sangat lapar yang hendak menolak kebinasaan dari dirinya

tidak boleh mengambil harta orang yang keadaannya sama dengan dirinya.

Demikian pula orang yang diancam akan dibunuh jika tidak membunuh

seorang muslim tanpa adanya alasan yang benar, tidak boleh ia lakukan

karena hal itu mendatangkan mudarat yang sama. Lain halnya jika seandainya

ancaman itu hanya pada hartanya.

b. Jika seseorang membeli barang dalam keadaan cacat, lalu terjadi cacat yang

lain setelah ia membelinya, maka tidak boleh ia mengembalikan barang


10
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Būrnū al-Guzzi, Al-Wajīz Fī Iḍāhi
Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah (Cet IV; Beirūt: Muassasah al-Risālah, 1996M), h. 259.
14

tersebut karena dengan demikian ia akan memberi mudarat kepada penjual

dengan adanya cacat yang baru tadi. Kecuali jika penjual itu rela, namun

seharusnya harga yang ia kembalikan kepada pembeli kurang dari harga

sebelumnya.
‫ الَض ْدَف ِبَقْد ِر ااِل َك اِن‬11
2. Kaidah ‫ْم‬ ‫َرُر ُي ُع‬
Arti kaidah ini adalah bahwa setiap kemudaratan harus ditolak sesuai

kesanggupan. Maknanya, bahwa setiap kerusakan atau bahaya disyariatkan untuk

diantisipasi sedapat mungkin sebelum terjadi, dan diupayakan menghilangkannya

setelah terjadi. Namun, menolak mudarat bukanlah sesuatu yang mutlak. Yang

menjadi syaratnya adalah ia disesuaikan dengan kemampuan tanpa menimbulkan

mudarat lain yang setara atau lebih berat darinya. Hal itu karena jika dalam

menolak mudarat ditempuh mendatangkan mudarat yang lebih besar atau sama

dengannya, maka mudarat itu tidak hilang bahkan menjadi bertambah. Pada

dasarnya mudarat itu ditolak tanpa menimbulkan bahaya, namun jika tidak

memungkinkan, maka dilakukan dengan mendatangkan bahaya yang lebih kecil

sedapat mungkin.

Dasar kaidah ini adalah diantaranya firman Allah swt. dalam QS. al-

Anfāl/8: 60.
‫ِه‬ ‫ِه ِبِه‬ ‫ٍة ِم ِط‬ ‫ِع‬
‫َو َأ ُّدوا ُهَلم َّم ا اْس َتَطْع ُتم ِّم ن ُقَّو َو ن ِّر َبا اَخْلْيِل ُتْر ُبوَن َعُد َّو الَّل َو َعُدَّو ُك ْم َو آَخ ِر يَن‬
‫ِم ِهِن‬
‫ن ُدو ْم‬
Terjemahnya:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu mengetarkan musuh Allah.12
Allah swt. memerintahkan kaum muslimin agar mempersiapkan segala

kekuatan yang dimiliki untuk menghadapi serangan musuh. Hal ini dimaksudkan

11
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Būrnū al-Guzzi, Mausū’ah al-
Qawā’id al-Fiqhiyyah, juz 4, h. 334.
12
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 185.
15

untuk memberikan rasa takut kepada musuh sehinga tidak akan menyerang kaum

muslimin, namun jika musuh menyerang maka kaum musimin telah memilki

persiapan.

Contoh penerapan kaidah ini adalah:

a. Syariat mewajibkan adanya sanksi bagi pelaku kejahatan untuk menghentikan

kejahatan itu, karena dengan adanya sanksi orang-orang akan mengambil

pelajaran darinya.

b. Nabi Yusuf yang menjadi bendahara negeri Mesir padahal negeri Mesir saat

itu adalah negeri kafir. Namun Nabi Yusuf masuk ke dalam sistem kafir

tersebut untuk mengurangi kemudaratan negeri tersebut walaupun tidak akan

seluruhnya hilang. Demikian pula di zaman sekarang, orang yang masuk ke

dalam lembaga-lembaga pelayanan masyarakat yang masih menganut sistem

kafir, maka dia tidak akan bisa menghilangkan kemungkaran tetapi paling

tidak dia bisa menguranginya.

3. Kaidah ‫احملظورات‬ ‫الضرورات تبيح‬ 13

Kaidah ini bermakna bahwa keadaan darurat membolehkan perkara yang

dilarang, yaitu perkara yang diharamkan, dengan syarat selama perkara yang

haram itu masih lebih ringan dari keadaan darurat tersebut.

Adapun yang dimaksud dengan darurat adalah keadaan sulit yang

memaksa seseorang untuk melakukan yang dilarang atau meninggalkan suatu

perintah. Besar perkiraan dari kondisi tersebut bagi orang yang mengalaminya

bahwa jika ia tidak melakukan hal yang dilarang itu maka ia akan binasa atau

terjadi kerusakan pada anggota tubuhnya atau hartanya atau kehormatannya.14

13
Tāj al-Dīn ‘Abd al-Wahhāb al-Subkiy, al-Asybāh wa al-Naẓāir, juz 1 (Cet 1; Dār al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, 1991M), h. 45.
14
Majmū’ah min al-Muallifīn, Fiqh al-Mu’āmāt, juz 4 ( http://www.shamela.com ), h.99
16

Dasar kaidah ini adalah diantaranya firman Allah swt. dalam QS. al-

An’ām/6: 119

‫َقْد َفَّص َلُك ا َّر َل ُك ِإاَّل ا اْض ُطِر ِإَل ِه‬


‫ْر ْمُت ْي‬ ‫َل ْم َم َح َم َع ْي ْم َم‬ ‫َو‬
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya.15

Maksud dari ayat di atas adalah Allah telah menerangkan kepada kalian
semua yang diharamkan atas kalian untuk memakannya dan Allah
menjelaskannya sejelas-jelasnya, kecuali bila dalam keadaan darurat, maka pada
saat itu diperbolehkan bagi kalian memakan apa yang kalian jumpai.16

Sebagai contoh apabila seseorang diserang oleh orang jahat, maka tidak

mengapa baginya untuk membela dirinya sehingga membunuh orang jahat

tersebut demi menghindarkan kemudaratan (kematian) itu terjadinya pada dirinya

walaupun harus membunuhnya.

4. Kaidah 17
‫َدْر ُء اَلمَف اِس ِد ُمَق َّد ُم َعَلى َج ْلِب ا َص اِلح‬
‫َمل‬
Pengertian kaidah ini adalah menghilangkan kemudaratan lebih

diutamakan daripada mengambil manfaat. Perhatian syariat dalam menghilangkan

kemudaratan lebih besar daripada meraih manfaat. Maka apabila dalam suatu

perbuatan terdapat manfaat dan mudarat sekaligus, maka yang didahulukan adalah

menghilangkan mudaratnya. Kaidah ini diterapkan apabila maslahat dan

mudaratnya sama, tidak ada dari keduanya yang lebih besar. Adapun jika

15
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 144.
16
Ibnu Kaṡīr al-Dimasyqiy, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm, juz 2 (al-Qāhirah: al-Maktabah al-
Taufīqiyyah, [t.th]), h. 270.
17
Lihat: Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Būrnū al-Guzzi, Al-Wajīz Fī
Iḍāhi Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 265.
17

mudaratnya lebih kecil dibandingkan manfaat yang akan diperoleh maka tidak

dimaksudkan dari kaidah ini. Sehingga pertimbangan dalam menerapkan kaidah

ini adalah:

a. Jika mudarat yang dilahirkan lebih besar dari manfaat yang akan diperoleh,

maka menghindari mudarat lebih diutamakan daripada mengambil manfaat.

b. Namun jika manfaatnya jauh lebih besar, maka mengedepankan manfaat

lebih didahulukan daripada menghindari mudarat.

c. Adapun apabila manfaat dan mudarat sama besar dan peluangnya, maka

kaidah ini berlaku secara umum, yaitu menolak terjadinya mudarat lebih

diprioritaskan daripada mengambil manfaat.

Kaidah ini didasarkan pada QS. al-Baqarah/2: 219.


‫ۡس ئُلوَن ِن ٱۡل ۡم ِر ٱۡل ۡي ِس ِۖر ُقۡل ِفيِه ٓا ِإۡث م َك ِبري َٰن ِف ِللَّناِس ِإۡث ٓا َأۡك ِم ن َّنۡف ِعِه ۗا‬
‫َم‬ ‫َو ُم ُه َم َبُر‬ ‫َو َم ُع‬ ‫َم‬ ‫َي َك َع َخ َو َم‬
Terjemahnya:
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada
keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".

Contoh penerapan kaidah ini yaitu:


a. Berkumur-kumur sebelum berwudhu adalah sunnah, namun bagi orang yang
sedang berpuasa adalah makruh, sebab dapat membatalkan puasa.
b. Seorang yang ingin meninggikan rumahnya. Semakin tinggi rumahnya maka
dia akan mendapatkan udara yang segar dan sinar matahari yang cukup
sehingga itu merupakan kemaslahatan bagi dia. Tetapi dampaknya adalah
tetangganya akan mengalami kemudaratan karena udara jadi sulit masuk ke
rumahnya dan sinar matahari pun terhalang. Maka dalam hal ini tidak
sepatutnya orang tersebut meninggikan rumahnya untuk menghindarkan
kemudaratan yang akan timbul.

5. Kaidah ‫الضرر األشد يزال بالضرر األخف‬


Kaidah ini bermakna bahwa pada suatu keadaan yang dihadapkan dengan

dua hal yang memiliki mudarat, wajib menghilangkan mudarat yang lebih besar
18

meskipun harus melakukan mudarat yang lebih kecil. Kaidah yang semakna

dengannya adalah kaidah ‫ِإَذا َتَع اَر َض َم ْف َس َدَتاِن ُر وِعَي َأْع َظُم ُه َم ا َض َرًر ا ِبِإْر ِتَك اِب َأَخ ِّف ِه َم ا‬,
kaidah ‫خيتار أهون الشرين أو أخف الضررين‬, dan kaidah ‫وإذا اجتمع ضرران أسقط األصغر‬

‫لألكرب‬
Secara umum seseorang yang diperhadapakan pada dua kondisi yang

bermudarat dan ia harus memilih salah satu, maka kondisi darurat

membolehkannya. Jika kadar mudarat dari kedua kondisi tersebut sama, boleh

baginya untuk memilih apa yang dikehendakinya. Namun jika berbeda, dimana

satu diantara keduanya lebih ringan kadar mudaratnya maka mudarat yang lebih

ringan ia ambil dan mudarat besar harus ia hindari.18

Kaidah ini didasari oleh sejumlah dalil di antaranya QS. al-Kahfi/18: 79-

81.

‫َأَّم ا الَّس ِف يَنُة َفَك اَنْت ِلَمَس اِكَني َيْع َم ُلوَن يِف اْلَبْح ِر َفَأَر دُّت َأْن َأِعيَبَه ا َو َك اَن َو َر اَءُه م َّم ِل ٌك َيْأُخ ُذ ُك َّل‬
‫ َفَأَر ْد َن ا َأن‬. ‫ َو َأَّم ا اْلُغاَل ُم َفَك اَن َأَبَو اُه ُم ْؤ ِم َنِنْي َفَخ ِش يَنا َأن ُيْر ِه َق ُه َم ا ُطْغَياًن ا َو ُكْف ًر ا‬. ‫َس ِف يَنٍة َغْص ًبا‬
. ‫ُيْبِدُهَلَم ا َر ُّبُه َم ا َخ ْيًر ا ِّم ْنُه َزَك اًة َو َأْقَر َب ُر ًمْحا‬
Terjemahnya:
Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut, aku
bermaksud merusaknya karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
akan merampas setiap perahu. Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua
orang tuanya mukmin, dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua
orang tuanya kepada kesesatan dan kekafiran. Kemudian kami
menghendaki sekiranya Allah menggatinya dengan (seorang anak yang
lain) yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang
(kepada bapak ibunya).19
Ayat di atas menjelaskan bahwa ketika dihadapkan dengan keadaan yang

keduanya memiliki mudarat, yaitu merusak perahu ataukah perahu itu dirampas

oleh raja yang ẓalim, maka yang paling utama adalah memilih mudarat yang

paling ringan yaitu merusak perahu. Begitu pula dengan kisah pembunuhan anak

18
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Būrnū al-Ghuzzi, Mausū’ah al-
Qawā’id al-Fiqhiyyah, juz 1, h. 230-231.
19
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, h. 303.
19

kecil tersebut lebih ringan mudaratnya dibandingkan kekufuran, karena orang

tuanya masih memungkinkan untuk mendapatkan anak yang lain.

Contoh penerapan kaidah ini adalah:20

a. Seseorang yang apabila ia shalat dalam keadaan berdiri, maka auratnya

tersingkap yang menyebabkan shalatnya menjadi tidak sah, sedangkan jika ia

duduk auratnya tidak tersingkap. Dalam kondisi ini ia shalat dalam keadaan

duduk, karena tidak berdirinya ia dalam shalatnya masih lebih ringan.

b. Jika seekor ayam milik seseorang menelan batu permata yang berharga milik

orang lain, maka pemilik batu permata tersebut dapat menyembelih ayam itu

dengan membayar ganti rugi harga ayam tersebut.

c. Jika sebuah perahu dikhawatirkan tenggelam disebabkan barang muatan yang

melebihi kapasitas, maka barang-barang yang berat dapat dibuang saja, dan

pemilik perahu menanggung ganti dari barang-barang yang dibuang tersebut.

d. Boleh membedah perut seorang wanita yang telah meninggal untuk

mengeluarkan janin yang masih diharapkan kehidupannya.


‫َت َّم الَض اَخلا ِلَد ْفِع الَض ِر ال اِم‬
6. Kaidah ‫َر َع‬ ‫َي َح ُل َرُر ُص‬
Definisi kaidah ini adalah menangguhkan kerusakan yang khusus untuk

menolak kerusakan yang umum. Kaidah ini bersifat lebih khusus dari kaidah

sebelumnya yaitu kaidah ‫الضرر األشد يزال بالضرر األخف‬


Contoh penerapan kaidah ini adalah:21

a. Hukuman bunuh bagi pelaku pembunuhan untuk menjaga kemanan orang-

orang terhadap jiwa mereka.

b. Hukum potong tangan bagi pencuri untuk menjaga keamanan harta orang-

orang.
20
Muḥammad Ṣidqī bin Aḥmad bin Muḥammad al-Būrnū al-Guzzi, Al-Wajīz Fī Iḍāhi
Qawā’id al-Fiqh al-Kulliyyah, h. 261.
21
Abd al-Wahhāb Khilāf, ‘Ilmu Uṣūl al-Fiqh wa Khulāṣah Tārīkh al-Tasyrī’ (Miṣr:
Matba’ah al-Madaniy, [t.th.]), h. 195.
20

c. Menghancurkan tembok yang hampir roboh di jalan umum.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah ini, penulis mengambil kesimpulan

bahwa kaidah ini membahas tentang Kemudharatan Harus Dihilangkan.

Kemudharatan itu harus dihilangkan adalah suatu kerusakan atau

kemafsadatan dihilangkan. Dengan kata lain kaidah ini menunjukkan

bahwa berbuat kerusakan itu tidak diperbolehkan dalam agama islam.

Adapun yang berkaitan dengan ketentuan Allah sehingga kerusakan ini

menimpa seseorang, keduanya menjadi lain. Bahkan bisa dianggap sebagai

sebagian dari keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah SWT.

Kemudharatan itu harus dihindarkan sedapat mungkin, Kemudharatan

yang lebih berat dapat dihilangkan dengan mengerjakan kemudharatan

yang lebih ringan, Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan


21

kemudharatan yang sebanding, Kerusakan tidak dihilangkan dengan yang

merusak, Keterpaksaan dapat memperbolehkan hal-hal yang dilarang, dan

Menolak bahaya didahulukan dari pada menarik keuntungan. Kaidah ini

mencakup lapangan yang luas dalam fiqh, atau bahkan mencakup pada

seluruh aspek, seperti dalam hal melaksanakan ibadah. Kaidah ini dapat

menjadi pedoman bagi umat muslim untuk mendapatkan keringanan atau

kemudahan termasuk penghapusan hukum apabila menghadapi keadaan

tidak dapat melaksanakan kewajibannya sebagai muslim karena keadaan

yang darurat dan menyangkut kemaslahatan.


22

You might also like