Professional Documents
Culture Documents
Hampir
Hampir
Hampir
OLEH :
1. ANATASYA FEBILA K W (201603008)
2. ARDIANTI (201603010)
3. IRA YUNIARISTI (201603051)
4. MEGA KUSUMA A P (201603059)
5. RHISMADHANI E.W.A (201603078)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan
makalah tentang “Teknik Komunikasi dalam Keperawatan Jiwa” dengan baik
meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima kasih kepada
Ns. Ariani Sulistyiorini, S.Pd., M.Kep selaku Dosen Pembimbing Mata Kuliah
Managemen Keperawatan STIKES Karya Husada Kediri yang telah memberikan
tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Managemen Keperawatan. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh
dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran, dan usulan
demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
Data akurat yang berasal dari klien merupakan pemberian yang berharga
dan tak ternilai karena akan dipakai sebagai acuan dalam memberikan
pelayanan keperawatan sesuai dengan keahlian yang dimiliki sekaligus
merupakan sarana untuk pengembangan dalam pelayanan keperawatan
utamanya dalam meningkatkan mutu pelayanan keperawatan. Demikian juga
bagi klien, memberikan informasi yang akurat melalui bentuk ekspresi wajah,
perkataan, maupun perbuatan tentang masalah kesehatan yang sedang
dialami, akan mempermudah perawat dalam memfokuskan pelayanan
keperawatan sesuai dengan keluhan utama dan mendapatkan tindakan
keperawatan yang tepat sasaran sehingga akan mengurangi keluhan yang
dirasakan klien. Dengan demikian, komunikasi terapiutik merupakan
hubungan perawat-klien yang dirancang untuk memfasilitasi tujuan terapi
dalam pencapaian tingkatan kesembuhan yang optimal dan efektif.
Harapannya dengan adanya kegiatan komunikasi terapiutik lama hari rawat
klien menjadi lebih pendek dan dipersingkat.
Tidak jarang ditemukan klien menolak bila ditangani oleh salah satu
perawat. Hal ini karena klien ragu atas kemampuan yang dimiliki perawat.
Untuk mengurangi keraguan klien tersebut seharusnya perawat
mempersiapkan diri dulu sebelum bertemu dengan klien karena konteks
pertemuan perawat dan klien adalah hubungan terapeutik dimana segala
bentuk komunikasi yang terjadi harapannya adalah untuk mempercepat
kesembuhan. Perawat harus mampu menghilangkan keraguan dan kecemasan
klien kalau ingin direspons oleh klien.
Perawat harus memiliki tanggung jawab moral tinggi yang didasari atas
sikap peduli dan penuh kasih sayang, serta perasaan ingin membantu orang
lain untuk tumbuh dan berkembang. Addalati (1983), Bucaille (1979), dan
Amsyari (1995) menambahkan bahwa sebagai seorang beragama, perawat
tidak dapat bersikap tidak peduli terhadap orang lain dan adalah seorang
pendosa apabila perawat mementingkan dirinya sendiri. Selanjutnya,
Pasquali & Arnold (1989) dan Watson (1979) menyatakan bahwa human
care terdiri atas upaya untuk melindungi, meningkatkan, dan
menjaga/mengabdikan rasa kemanusiaan dengan membantu orang lain
mencari arti dalam sakit, penderitaan, dan keberadaannya, serta membantu
orang lain untuk meningkatkan pengetahuan dan mengendalikan diri.
“Sesungguhnya setiap orang diajarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk
menolong sesama yang memerlukan bantuan”. Perilaku menolong sesama ini
perlu dilatih dan dibiasakan sehingga akhirnya menjadi bagian dari
kepribadian.
Dalam diri perawat dan klien sudah terdapat status yang jelas diantara
keduanya sehingga dalam konteks hubungan yang ada hanya
hubungan perawat dan klien, bukan si A dan si B dalam arti bukan
hubungan pribadi. Namun, walaupun demikian keduanya adalah
manusia yang bermartabat yang mempunyai pikiran, perasaan,
keinginan, dan harga diri sehingga dibutuhkan saling menghargai dan
saling memahami untuk menumbuhkan integritas pribadi dan
meningkatkan harga diri.
1. Keikhlasan (genuineness)
Ikhlas menurut Dani, K (2002) merupakan ketulusan hati atau
dengan hati yang bersih dan jujur. Jadi, ikhlas secara harfiah bisa
diartikan sebagai melakukan pekerjaan tanpa ada motif tertentu.
Apa yang dilakukan perawat kepada klien hanya satu tujuan yang
memberikan pelayanan yang terbaik dalam rangka mempercepat
kesembuhan. Perawat dengan rela hati mencurahkan segala
pikiran dan tenaganya untuk membantu klien dalam mempercepat
proses penyembuhan. Perhatian yang tidak terbagi dan ketulusan
hati membuat klien sangat optimis akan kelangsungan
kesembuhan penyakitnya. Dengan perhatian yang tak terbagi
dengan ketulusan hati untuk membantu klien memenuhi
kebutuhan dasarnya perawat menerima apa adanya dari klien
tanpa merespons yang reaksional.
Perilaku yang ditampilkan oleh klien merupakan bentuk
dari adanya rasa kurang dalam diri klien, dimana apa yang telah
diberikan oleh perawat terhadap klien dirasa masih belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Ketulusan dan perhatian
yang tinggi dengan sendirinya akan mengurangi kecemasan klien
dan perawat tidak boleh terpengaruh dengan emosi klien yang
reaksional tersebut. Rasa optimis dari klien yang tinggi itulah
yang akan membantu proses penyembuhan penyakitnya. Hal ini
disebabkan karena dengan optimis yang tinggi merupakan koping
mekanisme yang positif. Menurut Putra, ST (2003), koping yang
positif akan meningkatkan modulasi respons imun sehingga akan
mempercepat kesembuhan. Melalui reaksi kimiawi, koping yang
positif akan meningkatkan imunitas atau sistem pertahanan tubuh
dengan mendorong terbentuknya antigen-antibodi yang mampu
menurunkan virulensi kuman sehingga klien terbebas dari
keluhan yang dirasakan dan bebas dari penyakit yang diderita.
2. Empati (empathy)
Kondisi emosi klien dan keluarga yang cenderung labil akibat
berada di rumah sakit atau dalam kondisi sakitnya memerlukan
dukungan emosional dari petugas kesehatan. Perawat harus
mempelajari teori berduka dan kehilangan untuk mampu
berempati kepada klien atau keluarga. Perawat harus mengerti
bahwa saat orang menghadapi masalah, reaksi yang ditampakkan
adalah menolak (denial) dan marah (anger). Perawat harus
memahami itu supaya ketika melihat klien atau keluarga sedang
marah dan menolak akibat penyakitnya, perawat menerima situasi
itu tanpa ada sikap yang reaksional.
Bereempati merupakan sikap menerima dan memahami
emosi klien tanpa terlibat kedalam emosinya. Saat klien atau
keluarga marah-marah akibat penyakit yang diderita tidak
kunjung sembuh dan cenderung memburuk, sikap yang
ditunjukkan perawat hendaknya jangan memarahi klien atau
keluarga. Perawat harus mengerti konsep tersebut. Perawat harus
menerima dan mengerti marahnya klien atau keluarga tersebut
tanpa adanya sikap yang reaksional dari perawat. Selain itu,
perawat tidak boleh larut kedalam emosi klien.
Menurut Dani K (2006) empati merupakan keadaan mental
yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya
dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang
atau kelompok. Sedangkan, menurut Smith dalam Nurjannah I
(2001) empati merupakan kemampuan menempatkan diri kita
pada posisi orang lain, serta memahami bagaimana perasaan
orang lain dan apa yang menyebabkan reaksi mereka tanpa emosi
kita terlarut dalam emosi orang lain. Jadi, berempati merupakan
sikap seseorang untuk memahami dan mengerti perasaan orang
lain tanpa ikut larut kedalam emosi orang tersebut. Seseorang
harus mampu membentengi emosinya agar tidak ikut terlarut oleh
emosinya. Hal itulah yang membedakan antara empati dan
simpati.
Contoh empati :
“Saya mengerti perasaan bapak/ibu akibat ditinggal orang yang
dicintai, semoga bapak/ibu tabah dalam menghadapi cobaan ini”.
Contoh simpati :
“Kami turut berbela sungkawa atas kematian keluarga bapak/ibu
semoga arwahnya diterima disisinya”.
3. Kehangatan (warmth)
Merupakan kesan verbal dan nonverbal yang ditunjukkan oleh
seseorang dalam memberikan hubungan sosial pada orang yang
sedang mengalami berduka dan kehilangan untuk
mempertahankan serta mengingatkan pertahanan egonya.
Menurut Nurjannah I (2001), kehangatan sangat diperlukan dalam
menyampaikan empati. Oleh karena itu, saat kita menghadapi
orang yang sedang mengalami berduka dan kehilangan, yang
sangat diperlukan adalah membangun kesan dan pesan diri sendiri
dengan tidak menyakiti seseorang yang mengalami berduka atau
kehilangan. Jadi bisa dikatakan bahwa kehangatan merupakan
sarana untuk berkomunikasi dengan orang yang sedang
mengalami berduka dan kehilangan. Pada kesan verbal yang
dapat ditampilkan adalah dengan menunjukkan suara yang lembut
dan irama teratur (Smith dalam Nurjannah I, 2001). Sedangkan,
kesan nonverbal yang ditampilkan, juga menurut Smith dalam
Nurjannah I, (2001) adalah sebagai berikut.
a) Kondisi muka.
- Dahi : tampak rileks, tidak ada kerutan.
- Mata : kontak mata nyaman, gerak mata natural.
- Mulut : tampak rileks, tidak cemberut, tidak menggigit bibir,
tersenyum jika perlu, rahang tampak rileks.
- Ekspresi : tampak rileks, tidak ada ketakutan, kekhawatiran,
menunjukkan ketertarikan dan perhatian.
b) Sikap Tubuh
- Tubuh : berhadapan, bahu paralel dengan lawan bicara.
- Kepala : duduk atau berdiri dengan tinggi yang sama,
menganggukkan kepala bila perlu.
- Bahu : mudah digerakkan, tidak tegang.
- Lengan : mudah digerakkan, memegang kursi atau tembok.
- Tangan : tidak memegang atau saling menggenggam, tidak
mengetuk-ngetuk pena/bermain dengan objek.
D. Mendorong Fungsi dan Meningkatkan Kemampuan Terhadap
Kebutuhan Yang Memuaskan dan Mencapai Tujuan Pribadi Yang
Realistis
Pada pertanyaan poin (a) akan kita dapatkan data yang mungkin lebih
dari satu kalimat atau satu kata, karena pertanyaan itu sifatnya
pertanyaan terbuka yang memberikan peluang kepada ibu untuk
menceritakan kejadian-kejadianyang dialami anaknya selama di rumah.
Pertanyaan tersebut memberikan kesempatan pada ibu untuk
mengingat-ingat kembali kejadian yang telah terjadi pada anaknya.
Beda dengan pertanyaan (b) yang mempersempit gerak dan
imajinasiibu dalam mengungkapkan apa yang dialami anaknya sewaktu
di rumah. Mungkin ibu akan menjawab dengan jawaban ya atau tidak
saja (yes and no question)tanpa mampu mengembangkan tanda dan
gejala yang ada pada anaknya. Kesannya justru perawat yang
mendominasi interaksi dan jawaban yang dihasilkan kemungkinan
banyak yang bias karena tampak sekali perawat mendikte klien.
Kegiatan ini bernilai terapeutik apabila klien menunjukkan penerimaan
dan nilai dari inisiatif klien dan menjadi nonterapeutik apabila perawat
mendominasi interaksi dan menolak respons klien (Stuart and Sundeen,
1995). Hal inilah yang dikatakan klien sebagai objek dan buka subjek.
Semestinya pertanyaan yang ditujukan pada klien itu padat dan jelas
yang tidak berbelit-belit, serta bersifat basa-basi terlebih lagi pertanyaan
yang melebar dari konteks masalah. Pertanyaan tersebut menjadikan
klien bingung menjawab, apalagi saat klien di rumah sakit, perasaan
cemas selalu ada dipikirannya. Pertanyaan yang melebar menjadikan
klien enggan menanggapi, dan itu beresiko terhadap hubungan perawat-
klien. Harus disadari oleh perawat bahwa data yang digali adalah data
yang berhubungan dengan keluhan klien saja (data-primer), sedangkan
data pendamping (data sekunder) bisa didapatkan dari cara lain, yaitu
studi dokumenter, observasi, maupun pemeriksaan fisik. Contohnya:
“Bapak sakitnya apa? Kapan sakitnya? Dimana sakitnya? Diantar oleh
siapa? Pakai kendaraan apa?”, dan sebagainya.
Contoh :
K : “Aku ini sakit, kalau tak sakit mana mungkin ke rumah sakit.”
Contoh :
e. Klarifikasi
Contoh :
“apa yang Anda katakan tadi adalah Anda tidak yakin dapat mengikuti
apa yang saya ucapkan”
f. Memfokuskan
Contoh :
h. Menawarkan Informasi
i. Diam
l. Menawarkan Diri
Contoh :
Contoh :
- “...teruskan...!”
- “...dan kemudian...?”
Contoh :
Contoh :
q. Refleksi
Contoh :