Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

MAKALAH

TAYAMMUM DAN MANDI JANABAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hadist Ahkam

OLEH:

KELOMPOK IV

KELAS C

Andre Syahputra (12120112990)

Bayu Wayan Nugroho (12120112947)

Dandi Fratama (12120112709)

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Riki Arnaidi S.Ag., M.Ag

JURUSAN HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF KASIM RIAU
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan dalam
menyelesaikan makalah tepat waktu. Tanpa rahmat dan pertolongan-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya,
sehingga makalah “Tayammum dan mandi janabah” dapat diselesaikan. Makalah ini disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah “Hadist Ahkam”. Penulis berharap makalah ini dapat
menjadi referensi bagi pembaca.

Penulis menyadari makalah bertema “Tayammum dan mandi janabah” ini masih perlu
banyak penyempurnaan karena kesalahan dan kekurangan. Penulis terbuka terhadap kritik
dan saran pembaca agar makalah ini dapat lebih baik. Apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini, baik terkait penulisan maupun isinya, penulis memohon maaf.

Demikian yang dapat penulis sampaikan. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfaat.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
A. Proses Perkara di Pengadilan Agama..............................................................................3
B. Pembayaran Panjar Biaya Perkara..................................................................................6
C. Pendaftaran Perkara........................................................................................................6
D. Penetapan Majelis Hakim...............................................................................................6
E. Penunjukkan Panitera Sidang..........................................................................................7
F. Penetapan Hari Sidang....................................................................................................7
G. Pemanggilan Para Pihak..................................................................................................8
BAB III.....................................................................................................................................11
PENUTUP................................................................................................................................11
A. Kesimpulan...................................................................................................................11
B. Saran..............................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah kebersihan, Alah
mensyariatkan wudhu sebagai syarat sahnya sholat. Tawaf, Dan menyentuh mushaf tetapi
apabila pada suata ketiaka seseorang tidak bisa mendapatkan air untuk berwudhu kita
diberikan solusi dengan bertayammum, dalam islam kita juga diwajibkan mandi janabah
bagi orang yang keluar mani dan telah melakukan hubungan sumai istri, disebut bahwa
seseorang itu junub karena dia menjauhi shilat, masjid dan membaca al quran serta
dijauhkan atas hal-hal tersebit. Mandi janabah sering juga disebut dengan istilah ‘mandi
wajib’.

Tayammum adalah kemudahan dari Allah yang khusus diberikan kepada ummat
Muhammad SAW. Posisi tayammum adalah sebagai pengganti dari wudhu apabila tidak
ditemukan air atau seseorang tidak boleh terkena air karena sedang sakit. Tayammum
dilakukan dengan debu yang suci dan dengan syarat dan rukunyang sudah di atur dalam
syariat islam.

Mandi janabah dalam Bahasa Arab disebut dengan istilah al-ghusl.kata ini bermakna
menuangakan air keseluruh tubuh. Adapun secara istilah para ulama menyebutkan
defenisinya yaitu memakai air yang suci kepada seluruh tubuh dengan tatacara tertentu
yang sesuai dengan syarat dan rukun-rukunnya.

Dalam islam tayammum dan mandi janabah merupakan suatu ibahdah yang sangat
penting, karna apabila seseorang yang ingin melaksanakan sholat tetapi na tidak bisa
menjumpai air atau ia sedang sakit dan tidak boleh terkena air maka ia bisa
menggantikan wudhu dengan tayammum yang menggunakan debu yang suci.begitu juga
dangan mandi janabah, mandi janabah juga biasa disebut mandi junub merupakan ibadah
yang membersihkan kita dari hadas besar yang diakibatkan keluar mani atau setelah
berhubungan suami istri.

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka penulis bermaksud untuk


memaparkan penjelasan lebih rinci tentang tayammum dan mandi janabah, menjelaskan
apa itu tayammum, tatacara tayammum, syarat dan rukun tayammum, dan yang
membatalkan. Serta menjelaskan apa itu mandi janabah, hal yang mewajibkan mandi
janabaha, fardhu mandi janabah, sunnah dalam mandi janabah, hal-hal yang haram
dikerjakan ketika sebelum mandi janabah. Dengan demikian akan lebih memahami
tentang tayammum dan mandi janabah untuk meningkatkan ibadah yang lebih baik.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja yang menjadi proses penerimaan perkara di Pengadilan Agama?
1
2. Bagaimana tata cara pengajuan perkara di Pengadilan Agama?
3. Apa saja yang harus diperhatikan dalam mengajukan perkara?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui proses penerimaan perkara di Pengadilan Agama.
2. Untuk Menjelaskan cara pengajuan perkara di Pengadilan Agama.
3. Untuk Mengetahui hal-hal yang mesti diperhatikan saat mengajukan perkara.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Tayammum
Proses administrasi perkara dipengadilan agama secara singkat adalah sebagai
berikut:
1. Penggugat atau kuasa hukumnya datang ke bagian pendaftaran perkara di
Pengadilan Agama untuk mengumumkan akan mengajukan gugatan. Gugatan
dapat dilakukan secara tertulis (tertulis), lisan atau dengan surat kuasa yang
disampaikan kepada Ketua Pengadilan Agama setelah penyerahan dokumen
identitas yaitu KTP;
1
2. Penggugat wajib membayar uang muka (voorschot) biaya atau ongkos
perkara (pasal 121 ayat 4 HIR);
3. Panitera pendaftaran perkara menyampaikan gugatan kepada bagian perkara,
sehingga gugatan secara resmi dapat diterima dan didaftarkan dalam buku
regrister perkara
4. Setelah pendaftaran, pengaduan diteruskan kepada ketua pengadilan agama
dan dicatat nomor berkas, tanggal dan tanggal putusan yang dijadwalkan;
5. Ketua pengadilan agama menunjuk juri untuk memutuskan tanggal putusan;
6. Ketua atau anggota peradilan (yang memeriksa perkara) memeriksa
kelengkapan permohonan;
7. Pejabat memanggil penggugat dan tertuduh dengan memanggil dengan baik
surat panggilan dan;
8. Semua hal yang dibicarakan dicatat dalam BAP

Adapun secara rincinya adalah :


Penggugat menghadap di meja 1:
1. Meja I:
 Menerima surat gugatan dan salinannya.
 Menaksir panjar bea perkara.
 Membuat SKUM.

1
Sulaikin Lubis,dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group,
2008) Hal. 121-122

3
2. Kasir:
 Menerima uang panjar dan membukukannya.
 Menandatangani SKUM.
 Memberi nomor pada SKUM dan tanda lunas.
3. Meja II
 Mendaftar gugatan dalam register.
 Member nomor perkara pada surat gugat sesuai nomor SKUM.
 Menyerahkan kembali kepada penggugat satu helai surat gugat.
 Mengatur berkas perkara dan menyerahkan kepada ketua melalui wakil
panitera dan panitera.
4. Ketua PA
 Mempelajari berkas.
 Membuat PMH (Penetapan Majelis Hakim).
5. Panitera
 Menunjuk panitera sidang.
 Menyerahkan berkas kepada Majelis.
6. Majelis Hakim
 Membuat PHS (Penetapan Hari Sidang) dan perintah memanggil para
pihak oleh jurusita.
 Menyidangkan perkara.
 Memberitahukan kepada meja II dan kasir yang bertalian dengan tugas
mereka.
 Memutus perkara
7. Meja III
 Menerima berkas yang telah diminta dari Majelis Hakim.2
 Memberitahukan isi putusan kepada pihak yang tidak hadir lewat
jurusita.
 Memberitahukan kepada meja II dan kasir yang bertalian dengan tugas
mereka.
 Menetapkan kekuatan hukum.

2
Sudirman L, Hukum Acara Peradilan Agama, (Pare-Pare : IPN Press, 2021). Hal. 46

4
 Menyerahkan salinan kepada penggugat dan tergugat dan instansi
terkait dan menyerahkan berkas yang telah dijahit kepada panitera
muda hukum.
8. Panitera Muda Hukum
 Mendata perkara.
 Melaporkan perkara.
 Mengarsipkan berkas perkara

A. Pengajuan Perkara di Kepaniteraan


Surat gugatan/permohonan yang telah diisi dan ditandatangani tersebut
dikirimkan kepada panitera pengadilan agama. Surat permintaan dikirim ke kantor
klaim subpendaftar. Berkaitan dengan permohonan kepada Sub-Panitera,
penggugat/pemohon dihadapkan pada meja pertama yang di dalamnya diperhitungkan
uang jaminan biaya perkara dan dituangkan dalam surat kuasa untuk membayar
(SKUM). Uang jaminan/Panjar untuk pengadilan diperkirakan cukup untuk
menyelesaikan kasus tersebut.
Hal yang harus diperhatikan:
1. Berperkara secara gratis dapat diberikan bagi yang tidak mampu.
Ketidakmampuan ini dibuktikan dengan menyelipkan surat keterangan yang
telah dilegalisir Camat dari Lurah atau Kepala Desa setempat.
2. Bagi yang tidak mampu, uang jaminan biaya perkara diperkirakan sebesar Rp.
0.00 dan tertulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) berdasarkan
Pasal 237 – 245 HIR.
3. Pada tingkat pertama, para pihak tidak mampu atau proses prodeo. Prodeo
perkara ini tertulis dalam pengaduan atau permohonan bersama-sama (sebagai
satu kesatuan) dengan pengaduan. Dalam posita surat gugatan atau
permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara
secara prodeo dan dalam petitumnya.3

B. Mandi janabah
Calon penggugat/pemohon kemudian bertemu kasir yang
kemudian menyerahkan surat pengaduan/permohonan dan SKUM. Ia menanggung
biaya prosedur sesuai dengan yang tertulis dalam SKUM. Kasir kemudian:

3
Ibid, Hal.59

5
1. Menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya perkara.
2. Menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada SKUM
tersebut.
3. Mengembalikan surat gugat/permohonan dan SKUM kepada calon
penggugat/pemohon.
4. Menyerahkan uang panjar tersebut kepada bendaharawan perkara.

C. Pendaftaran Perkara
Calon penggugat/pemohon kemudian menghadap pada meja II dengan
menyerahkan surat gugatan/permohonan dan SKUM (surat kuasa untuk membayar)
yang dibayar tersebut. Kemudian meja II:
1. Memberi nomor pada surat gugatan/permohonan sesuai dengan nomor yang
diberikan oleh kasir. Sebagai tanda telah terdaftar maka petugas meja kedua
membubuhkan paraf.
2. Menyerahkan satu lembar surat gugatan/permohonan yang telah terdaftar bersama
satu helai SKUM kepada penggugat/pemohon.
3. Mencatat surat gugatan/permohonan tersebut pada buku register induk perkara
permohonan atau register induk perkara gugatan sesuai dengan jenis perkaranya.
4. Memasukkan surat gugatan atau permohonan tesebut dalam map berkas perkara
dan menyerahkan kepada wakil panitera untuk disampaikan kepada ketua
pengadilan melalui panitera.

D. Penetapan Majelis Hakim


Apabila perkaranya didaftarkan pada Panitera Pengadilan Agama, maka
Panitera wajib segera menyerahkan kepada Ketua Peradilan Agama berkas yang
bersangkutan beserta “Usulan Tindakan” atau “Saran Tindakan” yang kira-kira
berbunyi “telah diperiksa dan syarat formil sudah cukup”. Atas dasar itu, Ketua
Peradilan Agama dapat menunjuk majelis hakim untuk memeriksa dan memutus
perkara, yang di dalamnya memuat penetapan yang berjudul Pengangkatan Majelis
Hakim (PMH).
Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari, Presiden mengangkat Majelis
Hakim untuk memeriksa dan menyelesaikan perkara sesuai dengan ketentuan Majelis
Hakim. Ketua mendistribusikan semua dokumen dan/atau surat yang berkaitan
dengan perkara yang diajukan ke Majelis Hakim untuk diputuskan.

6
Ketua menetapkan masalah yang ditangani dengan nomor urut, tetapi jika ada
masalah tertentu yang mempengaruhi kepentingan umum harus segera ditangani,
maka masalah tersebut diprioritaskan (UU-PA Pasal 94). Majelis Hakim diangkat
dalam bentuk “penetapan” yang ditandatangani oleh Ketua PA yang dimasukkan
dalam register pokok perkara yang bersangkutan.4

E. Penunjukkan Panitera Sidang


Satu atau lebih sekretaris pengadilan ditunjuk untuk membantu hakim dalam
memutus perkara (Pasal 15(4) UU No. 14/1970). Penunjukkan panitera sidang
dilakukan oleh panitera (pasal 96 UU-PA). Untuk menjadi panitera sidang dapat
ditunjuk panitera, wakil panitera, panitera muda, panitera pengganti atau pegawai
untuk membantu hakim dalam menghadiri dan mencatat persidangan,
membuat BAP, penetapan putusan dan melaksanakan semua perintah hakim. (Pasal
97 Perjanjian UU-PA). Penunjukkan PPS dibuat secara tertulis dan ditandatangani
oleh panitera PA.
Apabila di kemudian hari ternyata ada anggota majelis hakim yang sementara
berhalangan, dapat digantikan oleh anggota lain yang ditunjuk oleh ketua dan
terdaftar dalam BAP. Dalam hal ketua majelis berhalangan, maka rapat akan ditunda
pada hari lain. Namun demikian, jika ketua majelis atau
anggota majelis p berhalangan tetap (karena pindah jabatan atau meninggal dunia atau
karena sebab lain), maka ditunjuk majelis hakim baru dengan PMH baru.
Jika Panitera tidak ada, Panitera lain ditunjuk untuk ikut sidang.

F. Penetapan Hari Sidang


Selepas Ketua Majelis menerima berkas perkara dan mempelajari berkas
tersebut bersama kedua hakim anggotanya, maka Ketua Majelis kemudian
menetapkan hari, tanggal, dan jam diadakannya persidangan atas perkara tersebut
yang kemudian dituangkan dalam sebuah Penetapan Hari Sidang (PHS) yang
ditandatangani Ketua Majelis Hakim.
Dalam menetapkan hari sidang ini, majelis hakim harus mempertimbangkan
beberapa hal, yaitu:
1. Jarak antara hari sidang pertama tidak lebih dari 30 hari sejak tanggal
didaftarkannya perkara tersebut, kecuali Undang-Undang menentukan lain.

4
Aah Tsamrotul Fuadah, Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum Acara Islam Dalam
Risalah Qada Umar bin Khattab, Cetakan Ke-2 (Depok : Rajawali Press, 2019) Hal. 106

7
2. Domisili atau tempat tinggal kedua belah pihak dengan tempat Pengadilan
Agama melakukan persidangan.
3. Tenggang waktu antara hari diterimanya pemanggilan dengan hari sidang tidak
kurang dari 3 hari kerja.
Selanjutnya Majelis memerintahkan pemanggilan kepada para pihak yang berperkara.
Perintah tersebut berbentuk formulir PGL 1 dan 2 yang diisi sesuai dengan PHS-nya
yang ditandatangani Ketua Majelis Hakim.

G. Pemanggilan Para Pihak


Setelah dikeluarkannya penetapan mengenai hari, tanggal, dan jam
dilaksanakannya sidang oleh Majelis Hakim, maka Jurusita selaku petugas yang
bertanggung jawab untuk melaksanakannya kemudian melakukan pemanggilan
kepada para pihak yang berperkara. Pemanggilan disampaikan dalam bentuk Surat
Panggilan (Relaas) kepada pihak-pihak yang berperkara. 5
Di dalam Relaas harus dilampirkan pula salinan surat gugatan/permohonan
kepada tergugat/termohon. Selain itu juga Surat Panggilan juga harus menyebutkan
bahwa tergugat/termohon boleh mengajukan jawaban tertulis dan bahwa para pihak
diperbolehkan membawa bukti-bukti ataupun saksi-saksi yang diperlukan dalam
persidangan.
Pemanggilan hanya dianggap sah apabila dilakukan dengan benar dan patut
sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika tidak dilakukan dengan benar, maka pihak
yang dipanggil berhak untuk tidak menghadiri sidang tanpa terkena resiko verstek
atas ketidakhadiran dirinya. Keabsahan dan kepatutan pemanggilan tersebut dianggap
sudah terpenuhi apabila:
1. Dilakukan oleh Jurusita atau Jurusita pengganti yang sah, yang telah diangkat
dengan SK dan disumpah untuk jabatannya itu.
2. Disampaikan langsung kepada pihak yang berperkara. Dalam hal ini terdapat
beberapa pengecualian berdasarkan domisili dan kondisi tergugat/termohon, yaitu
sebagai berikut:
a. Jika tergugat/termohon berada di luar wilayah yuridiksi pengadilan agama
maka Ketua Pengadilan Agama memohon bantuan kepada Pengadilan Agama
yang berada di wilayah yuridiksi pihak tersebut untuk melakukan
pemanggilan. Permohonan itu dituangkan dalam sebuah Surat Permohonan
5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Linkunan Peradilan Agama, (Jakarta : Kencana,
2008) Hal. 135

8
yang bersamanya dilampirkan salinan Surat Gugatan. Selanjutnya,
pemanggilan akan dilakukan oleh Jurusita dari Pengadilan Agama yang
dimintakan bantuannya itu.
b. Jika tergugat/termohon tidak dijumpai di tempat tinggalnya, maka Surat
Panggilan dititipkan kepada kepala desa atau lurah setempat.
c. Jika tergugat/termohon berada di luar negeri, maka pemanggilan dilakukan
melalui Departemen Luar Negeri yang kemudian disampaikan ke Kedutaan
Besar RI di negara tersebut.
d. Jika tergugat/termohon tidak diketahui tempat tinggalnya, maka pemanggilan
dilakukan melalui media massa.
e. Jika tergugat/termohon telah meninggal, maka pemanggilan diberikan kepada
ahli warisnya. Hal ini biasanya terjadi dalam kasus kewarisan.
Adapun untuk pihak penggugat/pemohon biasanya hal ini tidak menjadi masalah
karena sudah tentu alamatnya jelas dan berada di wilayah yuridiksi Pengadilan
Agama tempat ia mendatarkan perkaranya sehingga sangat mudah bagi Jurusita untuk
melakukan pemanggilan. Namun jika ia tidak dijumpai di tempat tinggalnya maka
Surat Panggilan dititipkan kepada Kepala Desa atau Lurah setempat.
Mengenai pemanggilan lewat media massa ada beberapa ketentuan yang harus
ditaati, yaitu:
a. Pengumuman dilakukan sebanyak dua kali.
b. Jarak antara kedua pengumuman tersebut adalah 1 bulan.
c. Jarak antara pengumuman kedua dan hari persidangan minimal 3 bulan.
d. Jika tergugat/termohon datang ke pengadilan agama sebelum hari persidangan
dan menyampaikan alamatnya saat ini, maka penggugat/pemohon diharuskan
memperbaiki surat gugatan/permohonannya. Kemudian Majelis Hakim
membatalkan PHS lama dan menetapkan PHS dan Relaas baru berdasarkan
alamat baru tersebut.
3. Jarak antara hari diterimanya Surat Panggilan dan hari persidangan harus
memenuhi tenggang waktu yang patut minimal 3 hari kerja. Dalam hal ini pun
terdapat sedikit pengecualian apabila para pihak berada di luar negeri, yaitu bahwa
jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tersebut idealnya minimal 3
bulan dan maksimal 6 bulan.

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tata cara penerimaan perkara di Pengadilan Agama adalah sebagai berikut:
1. Pemohon/Penggugat mengajukan perkara di kepaniteraan Pengadilan Agama di
meja pertama yang akan menaksir biaya panjar bagi perkara tersebut.
2. Kemudian pemohon/penggugat tersebut pergi kepada kasir untuk membayar
biaya perkara. Jika ia seorang yang tidak mampu, maka boleh memohon
persidangan secara prodeo dengan membawa Surat Keterangan Tidak Mampu
dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisasi oleh Camat.
3. Setelah membayar panjar, tergugat/termohon kemudian maju ke meja II dengan
membawa surat gugatan/permohonannya beserta SKUM untuk diberi nomor
perkara dan dicatatkan dalam Register Induk Perkara.
4. Selepas perkara terdaftar di kepaniteraan, panitera segera menyampaikan perkara
tersebut kepada Ketua Pengadilan yang kemudian Ketua itu menunjuk Majelis
Hakim untuk persidangan tersebut
5. Ditunjuk Panitera Sidang untuk membantu Majelis Hakim dalam persidangan
tersebut
6. Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas-berkas perkara maka mereka
membuat Penetapan Hari Sidang yang berisi tanggal dan jam sidang.
7. Setelah dikeluarkannya PMH, dilakukan pemanggilan oleh Jurusita kepada para
pihak yang berperkara. Teknis pemanggilan tersebut dianggap sah apabila
dilaksanakan secara resmi dan patut sesuai peraturan yang berlaku.

B. Saran
Demikianlah pemaparan makalah yang kami sajikan. Besar harapan kami dengan
adanya makalah ini dapat membantu pembaca dalam memahami tentang tata cara
mengajukan perkara di Pengadilan Agama, sehingga kedepannya tidak terlalu sulit
untuk berurusan atau berperkara di Pengadilan Agama.

10
DAFTAR PUSTAKA

Fuadah, Aah Tsamrotul Hukum Acara Peradilan Agama Plus Prinsip Hukum Acara

Islam Dalam Risalah Qada Umar bin Khattab, Cetakan Ke-2 Depok :

Rajawali Press, 2019

L, Sudirman Hukum Acara Peradilan Agama, Pare-Pare : IPN Press, 2021

Lubis, Sulaikin, dkk, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama, Jakarta : Kencana

Prenada Media Group, 2008

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Linkunan Peradilan Agama,

Jakarta : Kencana, 2008

You might also like