Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Jurnal E-ISSN 2502-3101

P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

SEJARAH HUKUM KEDUDUKAN PEREMPUAN DALAM


PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT BALI
(KAITANNYA DENGAN PERKAWINAN
NYENTANA BEDA WANGSA)

Oleh :
Ni Nengah Budawati

Abstract
This study aimed to know and understand about the legal culture of community
on the phenomenon of different caste nyentana marriage. This research was
empirical legal research legal research with behavioral approaches. The data
source consisted of primary data sourced directly at the site of research and
secondary data that included legislation, traditional laws, law books, magazines,
dictionaries and newspapers. This study used qualitative data analysis which
then produced descriptive data.Based on the national legal perspective, there
are no differences in the position of husband and wife in different caste nyentana
marriage. But in Balinese customary law, it resulted in the wife having a position
that is more important than the husband in the family. As in the context of social
life, especially in the capacity as krama in the sub-village, then the husband
remains responsible for his obligations as krama muani while the wife still serves
as krama luh. Related to the legal culture of indigenous people in Tabanan over
different caste nyentana marriage, the fact that people are still of the view that
marriage is an inter-caste marriage. Thus the legal culture of indigenous people
in Tabanan tends to be static. This is motivated by many factors, one of which
is either ignorance factor of traditional leaders or traditional krama of Decree
of the Parliament No. 11 of 1951 which expressly has abolished inter-caste
marriages that often lead to discrimination.

Keywords: Culture Law, different caste Nyentana,Wangsa.

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami tentang budaya
hukum masyarakat terhadap fenomena hukum perkawinan nyentana beda
wangsa. Penelitian ini ialah penelitian hukum penelitian hukum empiris dengan
pendekatan pendekatan prilaku (behavioral approach). Sumber data terdiri dari
data primer yang bersumber langsung di lokasi penelitian dan data sekunder
yang meliputi peraturan perundang-undangan, awig-awig­, buku-buku hukum,
majalah, kamus dan surat kabar. Penelitian ini menggunakan analisis data secara
kualitatif yang kemudian menghasilkan data deskriptif. Berdasarkan perspektif
hukum secara nasional, tidak terdapat perbedaan sejarah kedudukan suami-isteri
 Artikel ini merupakan karya ilmiah mahasiswa pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana dan mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. I Wayan
Windia, SH.,M.Si dan Dr. I Ketut Sudantra, SH.,MH selaku Pembimbing Tesis
 Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, e-mail : kadek.buda@yahoo.
com.

301
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

dalam perkawinan nyentana beda wangsa. Namun dalam Hukum adat Bali, justru
mengakibatkan istri memiliki kedudukan yang lebih penting dibanding suami di
dalam keluarga. Adapun dalam konteks kehidupan bermasyarakat, khususnya
dalam kapasitas sebagai krama di banjar, maka si suami tetap bertanggung jawab
pada kewajibannya sebagai krama muani sedangkan si istri tetap berkedudukan
sebagai krama luh. Terkait dengan budaya hukum masyarakat hukum adat di
Tabanan terhadap perkawinan nyentana beda wangsa, faktanya masyarakat tetap
berpandangan bahwa perkawinan tersebut merupakan perkawinan antar kasta.
Dengan demikian budaya hukum masyarakat hukum adat di Tabanan cenderung
bersifat statis. Hal ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor, salah satu diantaranya
ialah faktor ketidaktahuan baik dari pemuka adat maupun krama adat tentang
Keputusan DPRD No. 11 Tahun 1951 yang secara tegas telah menghapus
perkawinan antar kasta yang kerap menimbulkan diskriminasi.

Kata kunci : Budaya Hukum, Nyentana beda wangsa,Wangsa.

I. PENDAHULUAN perempuan (istri) dalam perkawinan


1.1 Latar Belakang biasa.
Masyarakat Bali merupakan salah Salah satu permasalahan dalam
satu masyarakat yang menganut sistem hukum perkawinan yang sering muncul
kekeluargaan purusa (patrilinial). adalah permasalahan perkawinan yang
Dalam tertib hukum masyarakat terkait dengan sistem pelapisan sosial
patrilineal, bentuk perkawinan yang berdasarkan keturunan yang masih
dianut adalah bentuk perkawinan di kuat dianut dalam masyarakat Bali.
mana istri ikut suami. Di Bali, bentuk Bebepara kalangan menyebut sistem
perkawinan ini disebut nganten biasa. pelapisan sosial tersebut dengan
Berbeda dengan perkawinan biasa, istilah ”wangsa” sedangkan pihak
dalam perkawinan nyeburin mempelai lain menyebut dengan istilah ”kasta”.
perempuan tetap menetap sebagai Menurut Ketut Wiana dan Raka
bagian keluarga asalnya, berstatus Santeri, sistem pelapisan sosial yang
sebagai purusa. Justru, dalam nyeburin berlaku dalam masyarakat Hindu di
mempelai laki-laki yang meninggalkan Bali adalah ”wangsa”. Menurut Wiana
keluarga asalnya untuk selanjutnya dan Raka Santri, masyarakat Bali
masuk menjadi bagian dari keluarga dalam kenyataannya sekarang dibagi
istrinya. Dalam perkawinan ini, dalam tiga golongan yang disebut tri
mempelai perempuan yang berstatus wangsa, yaitu:
sentana rajeg itu berkedudukan 1. Golongan pertama adalah
sebagai purusa yang mempunyai hak golongan Brahmana, yaitu
dan kewajiban sama dengan laki- golongan masyarakat yang
laki di keluarga tersebut, sedangkan secara tradisional berasal
suaminya berstatus sebagai pradana, dari ketuirunan Danghyang
sebagaimanan layaknya status 
Ibid., hlm.. 8.

302
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Dwijendra (Brahmanan Siwa) kedudukan wangsa yang lebih rendah


dan Danghyang Astapaka daripada wangsa mempelai perempuan.
(Brahmana Budha). Umumnya I Nyoman Budiana menyebutkan
rumah golongan Brahmana ini perkawinan nyentana model ini
disebut Geria. hanya dapat ditemui di beberapa desa
2. Golongan kedua adalah golongan di kabupaten Tabanan, yaitu Desa
Ksatria, yaitu golongan yang Penarukan dan Desa Wanasari. Di
berasal dari keturunan para samping jumlahnya sedikit, hasil
kesatria yang berasal dari Kediri penelitian terdahulu juga menunjukkan
dan Majapahit. Rumah dari bahwa perkawinan nyentana model
golongan ini disebut Jero atau ini masih menimbulkan persoalan
Puri. sosiologis, yaitu tidak diterima oleh
3. Golongan ketiga adalah golongan kalangan masyarakat tertentu.
Jaba, yaitu golongan masyarakat Terdapat penelitian lainnya
yang merupakan keturunan terkait penelitian beda wangsa. Seperti
masyarakat kebanyakan yang dapat dilihat dari hasil penelitian I
bertempat tinggal di luar (luar = Ketut Wirta Griadhi dan kawan-kawan
jaba) Jero, Puri, atau Geria (1992), kasus penolakan masyarakat
(kelompok warga Brahmana) terhadap
Sistem pelapisan sosial ini perkawinan nyentana beda wangsa di
menimbulkan permasalahan dalam mana mempelai laki-laki berkedudukan
perkawinan sebab dalam perkawinan wangsa lebih rendah terjadi di Wanasari
dianut asas kesederajatan dalam tahun 1984. Dalam kasus ini terjadi
wangsa (pepadan) dan sangat perkawinan nyentana (nyeburin) beda
dihindari perkawinan yang tidak wangsa di mana wangsa mempelai
sederajat dalam hal wangsa (beda perempuan lebih tinggi (Brahmana
wangsa), terutama dalam hal wangsa Wangsa) dibandingkan dengan
pihak laki-laki (purusa) lebih rendah wangsa mempelai laki-laki (Jaba).
dibandingkan dengan mempelai Perkawinan itu sendiri dinyatakan sah
perempuan (pradana). oleh Pengadilan (Putusan Pengadilan
Namun demikian, ada hal yang Negeri Tabanan No. 8/Pdt.P/1985/
menarik dari fenomena perkawinan PN. Tbn), tetapi dalam kenyataannya
beda wangsa yaitu apabila dikaitkan perkawinan tersebut tetap ditolak
dengan bentuk perkawinan nyentana oleh masyarakat, terutama dari pihak
(nyeburin). Sangat sedikit terjadi keluarga besar mempelai perempuan.
kasus perkawinan nyentana di mana 
Ibid., hlm.33.
mempelai laki-laki mempunyai

I Ketut Wirta Griadhi, et all., 1992, “Perkawinan
Nyeburin Berbeda Wangsa: Studi Antropologi

Ketut Wiana dan Raka Santri, 1993, Kasta Hukum Terhadap Kasus di Desa Wanasasri
dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad- dan Desa Berembeng Kabupaten Tabanan”,
abad, Yayasan Dharma Naradha, Denpasar, Laporan Penelitian, Universitas Udayana,
hlm. 22. Denpasar, hlm. 15.

303
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Dari kasus Wanasari tersebut 1.3 Landasan Teoritis Dan


dapat disimpulkan bahwa masih ada Kerangka Berpikir
permasalahan pada aspek budaya 1.3.1 Landasan Teoritis
hukum masyarakat dalam menyikapi Teori yang akan dipergunakan
perkawinan nyentana beda wangsa ini. untuk menganalisa permasalahan
Dilihat dari aspek hukum (substansi yang dihadapi dalam penelitian bentuk
hukum), perkawinan demikian perkawinan nyentana beda wangsa
adalah sah secara hukum sehingga sebanyak 2 (dua) teori. Adapun teori-
tidak ada persoalan dari segi yuridis. teori tersebut adalah :
Walaupun sah secara hukum, tetapi
model perkawinan nyentana beda 1.1 Teori semi Autinomous Social
wangsa di mana wangsa mempelai Field
laki-laki lebih rendah dari mempelai Teori ini dikemukakan oleh
perempuan dalam kenyataan tidak Sally Falk Moore . Inti Teorinya
diterima oleh masyarakat sehingga adalah bahwa dalam ajaran mengenai
masih menjadi persoalan sosiologis. Pluralisme Hukum (Legal Pluralism)
Dengan demikian, dalam kasus di atas keberadaan dari beberapa sistem hukum
masih terjadi gap (kesenjangan) antara ( hukum agama, hukum kebiasaan dan
kaedah hukum (das sollen) dengan juga mekanisme-mekanis pengaturan
sikap masyarakat (das sein) terhadap local) secara empiris berlangsung
hukum dalam hal perkawinan beda dalam kehidupan masyarakat adalah
wangsa ini. merupakan hukum.

1.2 Perumusan Masalah 1. 2 Teori Sistem Hukum


Berdasarkan atas latar belakang Teori Sistem Hukum
masalah maka dapat dirumuskan dikemukakan oleh Lawrence M.
permasalahan sebagai berikut : Friedman akan digunakan untuk
1. Bagaimana sejarah kedudukan membahas permasalahan terkait
hukum suami istri yang dengan budaya hukum masyarakat
melakukan perkawinan nyentana terhadap perkawinan nyentana
beda wangsa dalam keluarga dan beda wangsa dan factor-faktor yang
masyarakat? mempengaruhi masyarakat menolak
2. Bagaimana budaya hukum atau menerima perkawinan nyentana
masyarakat hukum adat Bali beda wangsa.. Inti dari teori ini adalah
terhadap perkawinan nyentana untuk dapat kerja secara efektif, hukum
beda wangsa dikaitkan dengan sebagai suatu sistem harus memenuhi
kedudukan perempuan dalam 3 (tiga) elemen pokok, yaitu struktur
perkawinan tersebut? sistem hukum (structure of legal),
substansi sistem hukum (substance

304
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

of legal system), dan budaya hukum (b) Lokasi dimana dalam perkawinan
masyarakat (legal culture). beda wangsa tersebut, wangsa
mempelai laki-laki lebih rendah
II. METODE PENELITIAN dari pada yang perempuan.
2.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian Sehingga dengan memperhatikan
hukum empiris, yaitu penelitian yang kriteria-kriteria tersebut ditentukan
bertujuan untuk melukiskan fenomena lokasi penelitiannya adalah Dusun
hukum di dalam masyarakat. tengah, Desa Wanasari, Kecamatan
Tabanan, Kabupaten Tabanan.
2.2 Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat dekriptif 2.5 Sumber Data
analitis yaitu Sifat penelitian yang Data yang digunakan dalam
bertujuan menggambarkan secara penelitian ini adalah data primer dan
tepat sifat-sifat suatu individu atau data sekunder. Data Primer bersumber
kelompok tertentu, keadaan, gejala, langsung di lokasi penelitian dimana
atau untuk menentukan ada tidaknya perkawinan beda wangsa itu terjadi.
hubungan antara suatu gejala dengan Data sekunder data dibedakan
gejala yang lain. menjadi 3 (tiga) yaitu :
(a) bahan hukum primer, yaitu
2.3 Jenis Pendekatan semua bahan atau materi hukum
Sesuai dengan bidang penelitian yang mempunyai kedudukan
hukum, maka pendekatan masalah mengikat secara yuridis, meliputi
yang dapat digunakan adalah peraturan perundang-undangan
pendekatan prilaku (behavioral dalam hal ini undang-undang,
approach). Pendekatan-pendekatan

peraturan daerah awig-awig
yang dipergunakan dalam penelitian (b) bahan hukum sekunder, yaitu
ini meneliti tentang budaya masyarakat semua bahan hukum yang
mengenai perkawinan nyentana beda memberikan penjelasan terhadap
wangsa. bahan hukum primer,
(c) bahan hukum tersier, yaitu semua
2.4 Lokasi Penelitian bahan hukum yang memberikan
Dalam rangka memperoleh data petunjuk atau penjelasan
pada penulisan ini, penulis menentukan terhadap bahan hukum primer
lokasi penelitian dengan kriteria- dan sekunder, meliputi majalah,
kriteria sebagai berikut : kamus, dan Koran.
(a) Lokasi dimana daerah tersebut
pernah melangsungkan perka-
winan nyentana beda wangsa 
Otong Rosadi, “Beberapa Catatan Terhadap
Laporan Penelitian”. Sumber : http://qbar.

Ibid. or.id/index.php.option.com.

305
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

2.6 Teknik Pengumpulan Data Setelah analisis data selesai


Teknik pengumpulan data primer maka hasilnya disajikan secara
dalam penelitian ini adalah dengan deskriptif yaitu dengan menguraikan
teknik wawancara dengan informan dan menggambarkan apa adanya
dan responden. Informan ditetapkan sesuai dengan permasalahan yang
dengan teknik bola salju (snow ball) diteliti. Dari hasil tersebut ditarik
dimana ditentukan terlebih dahulu kesimpulan yang merupakan jawaban
informan kunci. Dan informan kunci atas permasalahan yang diangkat
ini kemudian dimintakan rekomendasi dalam penelitian ini.
mengenai informan/responden
yang diperlukan. Dalam wawancara III. HASIL DAN PEMBAHASAN
digunakan alat yang bernama pedoman 3.1 Sejarah Kedudukan Hukum
wawancara (interview guide. Suami-Istri dalam Perkawinan
Data sekunder diproleh dari Nyentana Beda Wangsa
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, 3.1.1 Perkawinan Beda Wangsa
hasil penelitian yang berwujud laporan Sebagai Bentuk Perkawinan
serta peraturan yang berkaitan dengan Di Bali
permasalahan yang diteliti. Teknik
pengumpulan data sekunder dilakukan Ditinjau dari segi bentuk
dengan teknik pencatatan. perkawinan di Bali, dikenal kemudian
bentuk perkawinan keluar dan
perkawinan ke dalam. Perkawinan
2.7 Teknik Pengolahan dan Analisa
keluar tidak lain merupakan perkawinan
Data
biasa, dimana mempelai wanita
Analisa data pada penelitian ini
atau isteri meninggalkan keluarga
dilakukan secara kualitatif. Analisis
asalnya dan masuk ke keluarga suami
data kualitatif adalah cara penelitian
untuk melaksanakan seluruh aktifitas
yang menghasilkan data deskriptif
perkawinan. Adapun deskripsi dari
analisis yaitu apa yang dinyatakan oleh
perkawinan ke dalam adalah bertolak
para responden pada lokasi penelitian,
belakang dari penjelasan sebelumnya.
baik secara tertulis maupun lisan diteliti
Dalam hal ini mempelai laki-laki
dan dipelajari secara utuh. Pengertian
atau suami yang justru meninggalkan
analisis disini, dimaksudkan sebagai
keluarga asalnya dan masuk ke
suatu penjelasan dan penginterpretasian
keluarga isterinya guna melakukan
hasil-hasil penelitian yang berkaitan seluruh aktifitas perkawinan. Bentuk
dengan bentuk perkawinan nyentana perkawinan ini kemudian dikenal
yang dilakukan oleh laki-laki dengan istilah nyentana.
berwangsa dengan perempuan yang 
Ni Nyoman Sukerti, 2012, Hak Mewaris
tidak berwangsa. Perempuan Dalam Hukum Adat Bali Kritis
Sebuah Studi Kritis, Udayana University
Press, Denpasar, hlm.35

306
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Dalam perkembangannya, dikenal ungkapan asupundung dana


dikenal pula bentuk perkawinan negen langkah ikarang hulu. Secara harafiah,
dadua atau perkawinan pada gelahang. asupundung berarti “menggendong
Jika dalam perkawinan biasa, isteri anjing” dan alangkah ikarang hulu
menjadi milik keluarga suami dan di dapat diartikan “melompati kepala”.13
dalam perkawinan nyentana adalah Kedua ungkapan di atas
suami yang menjadi milik keluarga mengandung makna bahwa hirarki
isteri. Maka berbeda halnya dengan sosial merupakan rambu bagi
perkawinan pada gelahang yang seseorang untuk dapat melaksanakan
berkonsekuensi bahwa suami-isteri perkawinan. Seseorang dengan wangsa
adalah milik keluarga kedua belah yang lebih tinggi tidak boleh kawin
pihak.10 dengan wangsa yang lebih rendah. Jika
Dahulu pada masyarakat di Bali perkawinan ini tetap dilaksanakan,
dikenal penggolongan atau klasifikasi maka segenap sanksi ikut menyertai,
social secara ketat, sehingga timbul salah satunya patiwangi atau upacara
larangan untuk melaksanakan yang bertujuan menurunkan atau
perkawinan pasangan yang berbeda mematikan wangsa pihak yang lebih
strata sosial (incest rank social).11 tinggi.14Tentang larangan perkawinan
Dalam hal ini yang peneliti maksud beda wangsa sebagaimana diuraikan
sebagai klasifikasi social adalah sistem tersebut, kemudian dihapus pada tahun
kasta yang diperhalus dengan istilah 1951 berdasarkan Paswara DPRD No.
wangsa. Larangan perkawinan beda 11 Tahun 1951 yang di latar belakangi
wangsa tujuannya tidak lain adalah oleh pertimbangan agar tidak terjadi
“pemurnian” (puritanisasi) wangsa, diskriminasi terhadap suatu golongan
karena percampuran wangsa dalam wangsa. Hal ini telah bersesuaian
perkawinan beda wangsa dianggap substansi Pasal 18 B ayat (2) Undang-
menimbulkan pencemaran dari sudut undang Dasar Negara Republik
pandang tertentu.12Jika dilihat dari Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi
sejarahnya, berdasarkan Paswaratahun sebagai berikut :
1910 yang kemudian diubah menjadi
beslit Residen Bali dan Lombok “Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan
No. 352, JI C.2 tanggal 19 April masyarakat hukum adat beserta
1951dalam hokum adat Bali pernah hak-hak tradisionalnya sepanjang
10
Ibid, hlm. 37
masih hidup dan sesuai dengan
11
DominikusRato, 2011, Hukum Perkawinandan perkembangan masyarakat dan
WarisAdat (Sistem Kekerabatan, Bentuk prinsip negara kesatuan Republik
Perkawinandan Pola Pewarisan Adat di Indonesia yang diatur dalam
Indonesia), Laksbang Yustisia Surabaya, undang-undang.”
Surabaya, hlm. 17
12
JiwaAtmaja, 2008, Bias Gender Perkawinan
Terlarang Pada Masyarakat Bali, Udayana 13
Ibid, hlm. 148
University Press, Denpasar, hlm. 150-151 14
Ibid, hlm. 177

307
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Dalam kalimat yang lebih sebagai perkawinan pada umumnya


disederhanakan, bahwa kesatuan yang tidak sama sekali memuat urusan
masyarakat hukum adat dapat wangsa dan sanksi di dalamnya.
melaksanakan hukum adatnya terhadap Mengenai perkawinan
warga, sepanjang norma dari hukum nyentana beda wangsa, bertalian
adat tersebut tidak bertentangan dengan dengan penjelasan sebelumnya maka
peraturan perundang-perundangan mempelai laki-laki yang keluar dari
yang berlaku secara nasional. keluarga asalnya dan kemudian
Ditinjau dari segi teori, yakniteori masuk ke dalam rumpun keluarga
semi-otonom, maka masyarakat mempelai wanita. Dengan demikian,
adat di Bali wajib mentaati Paswara idealnya kedua calon pengantin harus
DPRD No. 11 Tahun 1951 tersebut. berasal dari wangsa yang sama atau
Mengingat bahwa masyarakat hukum sejajar. Namun pada kenyataannya
juga merupakan bagian dari suatu tidak selalu demikian, adakalanya
negara, sehingga norma yang dibentuk wangsa dari mempelai wanita
negara melalui pemerintah atau yang justru lebih tinggi dibanding
keputusan-keputusan administratif dan mempelai laki-laki, dan hal ini yang
pengadilan tetap menimpa bidang sosial kerap menimbulkan permasalahan
semi-otonom yang sebelumnya telah ditengah masyarakat.Perkawinan ini
memiliki aturan dan adat kebiasaan lah yang kemudian dapat digolongkan
sendiri.15Berdasarkan pertimbangan sebagai perkawinan asupundung dan
secara normatif dan teoritis, maka alangkahi karang hulu yang pada
pandangan masyarakat adat di Bali awalnya merupakan suatu larangan.
(paradigma) perihal perkawinan beda Pajaman dahulu terhadap pelaku
wangsa harus berubah. Dengan kata perkawinan beda wangsa berlaku
lain, persepsi masyarakat mengenai berbagai jenis hukuman, diantaranya
perbedaan wangsa dalam urusan labuh geni (dilemparkan ke dalam
perkawinan harus sejalan dengan bara api), lebuh batu (ditenggelamkan
perkembangan masyarakat yang telah hidup-hidup ke dalam laut, dengan
diakomodir oleh peraturan perundang- terlebih dahulu diberi pemberat batu),
undangan yang berlaku. Apabila dalam penjatuhan sanksi selong (dibuang),
prakteknya masih ada masyarakat denda sejumlah nominal tertentu dan
adat di Bali yang melaksanakan patiwangi (diturunkan wangsa-nya).16
perkawinan dengan mempertahankan Setelah dikeluarkannya Paswara
prinsip wangsa, maka secara yuridis DPRD No. 11 Tahun 1951, maka
perkawinan tersebut tetap dianggap secara yuridis perkawinan nyentana
15
T.O. Ihromi, 2001, Antropologi Huum
beda wangsa tidak lagi merupakan
Sebuah Bunga Rampai, Cet, ke-2, Yayasan suatu larangan. Oleh karena itu setiap
Obor Indonesia, Jakarta, hml. 153, lihat juga
Sally Falk moore dalam an Anthropological
orang dapat melaksanakan perkawinan
Approach 16
Jiwa Atmaja, op.cit, hlm. 158-159

308
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

tanpa terikat dengan urusan wangsa, Secara hukum (nasional)


sepanjang tidak bertentangan dengan kedudukan suami-isteri tidak
apa yang diatur dalam Undang-undang mengalami perbedaan sedikit pun,
tentang Perkawinan. Dengan demikian namun dalam konteks adat Bali
keabsahan perkawinan nyentana beda justru mengakibatkan istri memiliki
wangsa tidak perlu diragukan lagi dan kedudukan yang lebih penting
pada prinsipnya perkawinan tersebut dibanding suami. Selain bertindak
tetap dianggap sebagai perkawinan sebagai penerus keturunan, isteri
nyentana pada umumnya yang tidak juga bertanggung jawab penuh atas
sama sekali memuat urusan wangsa di orang tua kandung dan leluhurnya
dalamnya. serta sekaligus berkedudukan sebagai
ahli waris yang berkewajiban untuk
3.1.2 Hak dan Kewajiban Suami- menjaga, mengelola dan meneruskan
isteri Dalam Perkawinan segenap harta pusaka guna kepentingan
Nyentana Beda Wangsa keturunannya.
Perkawinan nyentana beda Di samping itu, perkawinan pada
wangsa adalah perkawinan nyentana masyarakat hukum adat di Bali juga
pada umumnya tanpa mengandung berimplikasi pada tanggung jawab
unsur wangsa yang cenderung bersifat untuk ikut terlibat sebagai krama
diskriminatif. Berdasarkan kedudukan banjar. Ini yang kemudian dimaksud
hukum suami-isteri dalam Undang- sebagai sistem mapikuren dalam sistem
undang tentang Perkawinan yang keanggotaan desa Pakraman.17 Pada
dikaitkan dengan sistem kerabatan prakteknya, meskipun perkawinan
patrilienal (kepurusha) di Bali, nyentana beda wangsa memposisikan
maka dapat diketahui kedudukan istri sebagai purusha dan suami
suami-isteri dalam perkawinan sebagai pradana tapi bukan berarti
nyentana beda wangsa. Pada intinya hal tersebut juga berlaku dalam hidup
perkawinan nyentana beda wangsa mebanjaran. Tanggung jawab sebagai
merupakan salah satu upaya yang sebagai karma banjar memposisikan
dapat ditempuh bagi keluarga untuk suami tetap bertanggung jawab
melanjutkan kelangsungan keturunan sebagai krama muani dan istri tetap
jika tidak sama sekali memiliki anak bertanggung jawab dalam kapasitasnya
laki-laki, di mana mempelai wanita sebagai krama luh.
(isteri) yang menarik mempelai laki- Perkawinan nyentana beda
laki (suami) untuk keluar dari ikatan wangsa dalam sudut pandang lainnya,
purusha-nya, sehingga isteri yang khususnya dalam perspektif gender,
kemudian berkedudukan selaku dapat dikategorikan sebagai sebuah
purusha (berstatus laki-laki) di dalam terobosan yang menjunjung tinggi
perkawinan tersebut. 17
Ibid, hlm. 50

309
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

usaha tentang pemberdayaan terhadap juga melalui empat (4) tahapan


kaum wanita di tengah sistem sebagaimana perkawinan biasa, yakni,
kekerabatan patrilinieal yang sangat meminta, mengambil, nyakapang,
patriarki. Perlakuan diskriminasi ngunya.19
terhadap wanita Bali seolah dapat Dalam melangsungkan
dihapuskan, salah satunya dalam perkawinan Nyentana Beda Wangsa
bidang waris. Dengan adanya juga harus memperhatikan Syarat -
bentuk perkawinan nyentana beda syarat Perkawinan, yaitu sebagai
wangsa,maka terbuka peluang bagi berikut :
wanita Bali untuk berkedudukan a) Persetujuan kedua mempelai
sebagai ahli waris atas harta pusaka Undang-undang Perkawinan
milik keluarga. menegaskan beberapa syarat agar
perkawinan dapat dilangsungkan.
3.2 Budaya Hukum Masyarakat Syarat pertama adalah perkawinan
Tabanan terhadap Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan
Nyentana Beda Wangsa kedua calon mempelai. Demikian
bunyi Pasal 6 ayat (1) Undang-undang
3.2.1 Perkawinan Nyentana Sebagai Perkawinan. Menurut penjelasan
Budaya Bagi Masyarakat Adat resminya, disamping syarat ini sesuai
di Tabanan dengan hak asasi manusia, ketentuan
ini diadakan untuk mendukung
Berkaitan dengan penelitian agar tujuan pekawinan, yaitu untuk
ini, terdapat informasi lain yang tidak membentuk keluarga yang kekal dan
kalah penting untuk di deskripsikan bahagia dapat dicapai.
tentang kabupaten Tabanan, yakni b) Ijin orang tua
perkawinan nyentana, mengingat Syarat kedua adalah seperti
bentuk perkawinan ini sangat umum disebutkan dalam Pasal 6 ayat
ditemukan di Kabupaten Tabanan. (2). Disebutkan bahwa untuk
Perkawinan ini bernuansa kebudayaan melangsungkan perkawinan seorang
hindu-jawa yang diperkirakan mulai yang belum mencapai umur 21
pada waktu kedatangan patih Gadjah (duapuluh satu) tahun harus mendapat
Mada (sekitar Tahun 1343 Masehi).18 ijin kedua orang tua. Selanjutnya
Bentuk perkawinan berdasarkan disebutkan dalam ayat (3) bahwa
perubahan status sebagai purusha dari dalam hal salah seorang dari kedua
pihak wanita dan sebagai pradana dari orang tua telah meninggal dunia
pihak laki-laki, dalam pelaksanaannya atau dalam keadaan tidak mampu
menyatakan kehendaknya maka
18
V.E. Korn, 2013, Bentuk-Bentuk Sentana
Menurut Adat Bali Masa Kolonial, terjemahan 19
Ida Bagus Anom, 2010, Perkawinan Menurut
I Gde Wayan Pangkat & Mien Joebaar, Adat Agama Hindu, CV. Kayumas Agung,
Denpasar, hlm. 38-39 Denpasar, hlm. 7

310
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

izin dimaksud cukup diperoleh dari untuk perkawinan ini dimaksudkan


orang tua yang masih hidup atau dari untuk menjaga kesehatan suami istri
orang tua yang mampu menyatakan dan keturunan.
kehendaknya. Dalam hal kedua orang Bahwa untuk Perkawinan
tua telah meninggal dunia atau dalam Beda Wangsa juga harus tunduk
keadaan tidak mampu menyatakan Pada Undang-Undang Perkawinan
kehendaknya maka izin diperoleh dari yang mengatur tentang Larangan
wali, orang yang memelihara atau Perkawinan. Undang-undang juga
keluarga yang mempunyai hubungan menetapkan larangan-larangan
darah dalam garis keturunan lurus ke perkawinan. Pasal 8 menyebutkan
atas selama mereka masih hidup dan bahwa perkawinan dilarang antara dua
dalam keadaan dapat menyatakan orang yang:
kehendaknya. Jika ada perbedaan a) Karena berhubungan darah
pendapat antara orang-orang yang dekat, yang dimaksud dengan
disebutkan di atas, atau salah seorang berhubungan darah dekat antara
diantara mereka tidak menyatakan lain :
pendapatnya, maka berdasarkan ayat • berhubungan darah dalam
(4) pasal ini, Pengadilan dalam daerah garis keturunan lurus ke
hukum tempat tinggal orang yang bawah atau ke atas;
akan melangsungkan perkawinan • berhubungan darah
atas permintaan orang tersebut dapat dalam garis keturunan
memberikan ijin, setelah terlebih menyamping yaitu antara
dahulu mendengar orang-orang saudara, antara seorang
tersebut di atas. dengan saudara orang tua
c) Batas umur perkawinan dan antara seorang dengan
Syarat ketiga yang tidak kalah saudara neneknya;
pentingnya adalah mengenai batas • berhubungan semenda yaitu
umur untuk perkawinan. Berdasarkan mertua, anak tiri, menanru
Pasal 7, perkawinan hanya dizinkan dan ibu/bapak tiri;
jika calon mempelai pria sudah • berhubungan susuan yaitu
mencapai umur 19 (sembian belas) orang tua susuan, anak
tahun dan calon mempelai wanita susuan, saudara susuan dan
sudah mencapai umur 16 (enam bibi/paman susuan;
belas) tahun. Penyimpangan terhadap • berhubungan saudara
ketentuan ini hanya dimungkinkan dengan isteri atau sebagai
bila ada dispensasi dari Pengadilan bibi atau kemenakan dari
atau pejabat lain yang ditunjuk oleh istri, dalam hal seorang
kedua orang tua pihak pria maupun suami berisrri lebih dari
perempuan. Menurut penjelasan resmi seorang;
terhadap Pasal 7, penetapan batas usia

311
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

• yang mempunyai hubungan Bali lazim disebut memadu. Pasal


yang oleh agamanya atau 9 merupakan penjabaran dari asas
peraturan lain yang berlaku monogami yang dianut dalam Pasal
dilarang kawin. 3 Undang-undang Perkawinan, yang
b) Larangan perkawinan bagi selengkapnya menyebutkan bahwa
pasangan yang telah bercerai “pada asasnya dalam suatu perkawinan
dua kali seorang pria hanya boleh mempunyai
Salah satu perkawinan yang seorang istri, seorang perempuan hanya
dilarang dalam Undang-undang boleh mempunyai seorang suami”.
Perkawinan adalah larangan perka- Dari hasil survey yang
winan bagi pasangan yang telah dilakukan pada karma – karma desa
bercerai dua kali. Dalam Pasal 10 dan kelian adat didesa tersebut (Ratu
disebutkan bahwa apabila suami dan aji) mempaparkan dalam proses
istri yang telah cerai kawin lagi untuk perkawinan nyentana yang melakukan
kedua kalinya, maka diantara mereka proses berpamitan di pemerajan
tidak boleh dilangsungkan perkawinan adalah mempelai laki-laki. Karena
lagi, sepanjang hukum masing-masing calon mempelai laki-lakilah yang akan
agama dan kepercayaan itu dari yang meninggalkan keluarga dan leluhurnya,
bersangkutan tidak menentukan lain. untuk ikut kedalam garis keturunan
c) Larangan poligami kelurga perempuan. Semenjak
Disamping larangan seperti proses berpamitan kepada leluhur itu
disebutkan dalam Pasal 8 dan Pasal 10 mempelai laki-laki menjadi hak dan
di atas, undang-undang juga melarang tangungjawab kelurga perempuan.
poligami dan poliandri. Poligami Dalam hal ini, mempelai laki-laki
artinya seorang suami beristri lebih dan statusnya tidak lagi sebagai purusa
seorang, sedangkan poliandri adalah (laki-laki), namun sebagai pradana
apabila seorang perempuan bersuami (perempuan), sehingga mempelai laki-
lebih dari seorang. Pasal 9 Undang- laki mengikuti istrinya untuk tinggal
undang Perkawinan menyebutkan pada kelurga perempuan.
bahwa “sesorang yang masih terikat Pada perkawinan nyentana
tali perkawinan dengan orang lain status perempuan telah diubah
tidak dapat kawin lagi kecuali hal menjadi laki-laki yang dilakukan
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan melalui prosesi upacara putrika
Pasal 4 Undang-undang ini”. Pasal 3 sebelum diadakan perkawinan.
ayat (2) dan Pasal 4 yang dimaksud Putrika artinya proses perbahan status
adalah mengenai pengecualian dari dan kedudukan perempuan menjadi
asas poligami. Ketentuan di atas dapat laki-laki melalui prosesi upacara adat
dipandang sebagai larangan poligami yang harus disaksikan oleh tri saksi
atau poliandri, yang dalam masyarakat (tiga saksi) yaitu Tuhan, Leluhur dan

312
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

masyarakat dan disetujui oleh kelurga Kondisi ini tidak terlepas dari
serta dilegitimasi oleh perangkat adanya perubahan kewajiban dan
desa adat. Jika kelurga putrika tidak tangungjawab yang sepenuhnya
menyetujui terjadinya prosesi putrika, sudah ada pada pihak perempuan
maka prosesi putrika tidak boleh yang berstatus putrika. Sebagai ahli
dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan waris perempuan putrika mempunyai
peralihan kekayaan baik yang berupa kewenangan “mutlak” berkaitan
benda materiil mapun yang berupa non dengan harta kekayaan yang dimiliki
materiil seperti sanggah dan leluhur. oleh keluarga. Kewenangan ini dimiliki
Perempuan yang telah diputrika berkaitan dengan statusnya sebagai
memiliki status dan kedudukan sebagai akhli waris dan penerus keturunan
laki-laki sesuai dengan legitimasi keluarga. Sehingga ia diberikan
adat yang telah diberikan kepadanya. keleluasaan untuk melakukan tindakan
Sehingga semenjak prosesi putrika yang bertujuan untuk memperbaiki
tersebut ia memiliki hak dan tangung kondisi keluarga.
jawab untuk menjadi ahli waris Dalam fakta di lapangan, maka
dan meneruskan garis keturunan yang kemudian disesuaikan dengan
kelurganya. Secara otomatis semenjak informasi dari beberapa kepala
terjadinya putrika ia juga memiliki dusun, maka dapat dideskripsikan
tangungjawab sebagai kepala keluarga bahwa perkawinan nyentana beda
dan sebagai kepala rumah tangga. wangsa masih menyisakan sedikit
Sebagai kepala keluarga putrika juga permasalahan.
mempunyai kewajiban untuk memenuhi 1) Mengenai pengetahuan para
semua kebutuhan keluarganya, pemuka adat (prajuru) dan krama
termasuk kebutuhan orangtuanya. Ia adat lainnya tentang Paswara
juga menjadi penentu setiap keputusan DPRD Tahun 1951. Berdasarkan
yang akan diambil oleh keluarga, hasil wawancara, hampir
berkaitan dengan permasalahan yang sebagaian besar tidak mengetahui
ada di keluarganya. Sedangkan laki- aturan yang secara tegas telah
kaki yang nyentana mempunyai menghapuskan perkawinan beda
tangungjawab dan kewajiban kasta yang kerap menimbulkan
sebagaimana layaknya perempuan diskriminasi.
dalam rumah tangga. Ia membantu istri 2) Dalam ritual pelaksanaan
untuk menjalankan roda perekonomian perkawinan, bahwa terdapat
keluarga serta mengurus anak-anak. perbedaan di setiap banjar,
Dalam mengambil keputusan yang khususnya terkait pelaksanaan
berkaitan dengan keluarga ia mesti upacara patiwangi.
meminta persetujuan dari istrinya 3) Terkait kehadiran manusa saksi,
terlebih dahulu. dalam hal ini yang dimaksud

313
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

adalah bendesa adat dan kelihan 5) Terkait dengan persoalan hak dan
adat. Pada hakekatnya kehadiran kewajiban di banjar. Mengingat
bendesa adat maupun kelihan adat perkawinan dalam hukum adat
hanya sebatas menjalankan tugas Bali tidak hanya berbicara
administratif, yakni menyaksikan tentang urusan privat, melainkan
dan mencatat dilangsungkannya juga bagian dari urusan publik,
suatu perkawinan yang khususnya tanggung jawab
dilakukan oleh masyarakatnya. sebagai anggota atau krama
Jika terjadi pro dan kontra banjar.
dalam keluarga terhadap
perkawinan tersebut tidak Berdasarkan penelusuran di
dipandang sebagai hambatan lapangan, tidak terdapat perlakuan
dan penyelesaiannya diserahkan khusus bagi krama banjar dengan
ke intern keluarga masing- latar belakang perkawinan nyentana
masing. Dengan demikian tidak beda wangsa. Sebagai krama banjar,
ada tanggungjawab moril dari mereka berkedudukan setara dengan
pemuka adat untuk meluruskan krama banjar lainnya, baik dari segi
pemahaman yang keliru dan hak maupun kewajiban yang dipikul.
berujung pada perbedaan Berdasarkan fakta-fakta di atas,
pendapat dari warganya terkait maka dapat disimpulkan bahwa sikap
perkawinan nyentana beda masyarakat adat di Tabanan terhadap
wangsa. perkawinan nyentana beda wangsa
4) Perihal respon masyarakat ialah tetap memandang perkawinan
terhadap perkawinan nyentana nyentana beda wangsa sebagai
beda wangsa. Masyarakat pada perkawinan antar kasta. Meskipun
intinya juga tidak memberi respon secara hukum perkawinan nyentana
apapun terhadap perkawinan beda wangsa adalah sama dengan
nyentana beda wangsa. Adapun perkawinan nyentana pada umumnya,
pro dan kontra yang timbul dari namun dengan latar belakang budaya
intern keluarga dan berujung hukum sebagaimana telah diuraikan di
pada perlakuan yang melarang atas mengakibatkan perlakuan yang
pemakaian nama wangsa, diskriminatif terhadap suami-istri yang
larangan dalam hal pelaksanaan melaksanakan perkawinan nyentana
persembahyangan, larangan beda wangsa tetap berlangsung
nunas tirta (air suci), dibuang sebagai akibat isu pro dan kontra di
dari keluarga besar dan lain-lain, intern keluarga yang bersangkutan.
masyarakat di sekitar tidak ikut Ditambah dengan prilaku pemuka
campur akan hal tersebut. adat yang tidak pro aktif dalam
menanggulangi aksi diskriminatif

314
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

yang terjadi pada warganya yang istri memiliki kedudukan


melaksankan perkawinan nyentana yang lebih penting dibanding
beda wangsa. suami. Selain bertindak sebagai
Perkawinan nyentana beda penerus keturunan, isteri juga
wangsa perbedaan yang mencolok bertanggung jawab penuh atas
dengan perkawinan nyentana biasa orang tua kandung dan leluhurnya
adalah nama anak di dalam akte serta berkedudukan sebagai
kelahiran anak, dimana nama anak ahli waris yang berkewajiban
yang tertera memakai nama yang untuk menjaga, mengelola
mengikuti nama yang dipakai oleh dan meneruskan segenap harta
istri pasangan yang menikah dengan pusaka guna kepentingan
bentuk perkawinan nyentana beda keturunannya. Namun dalam
wangsa. Sehingga ini sering menjadi kehidupan bermasyarakat,
pertanyaan teman-teman di sekolah khususnya keterlibatan sebagai
maupun pihak guru dimana anak krama banjar, maka si suami
pasangan yang menikah beda wangsa tetap bertanggung jawab pada
menempuh pendidikan.Di samping itu kewajibannya sebagai krama
jika terjadi perceraian maka anak akan muani sedangkan si istri tetap
mengikuti garis keturunan ibu. Pada berkedudukan sebagai krama
sistem kekerabatan patrilinial apabila luh.
terjadi perceraian maka pengasuhan 2. Budaya hukum sebagian
anak-anak berada di tangan ayah dan masyarakat hukum adat di
keluarganya, kecuali dalam perkawinan Tabanan terhadap perkawinan
nyentanan atau nyeburin20 nyentana beda wangsa ialah
tetap berpandangan bahwa
IV PENUTUP perkawinan tersebut merupakan
4.1 Simpulan perkawinan antar kasta.
Berdasarkan uraian sebelumnya, Oleh karenanya, saat ritual
dapat ditarik kesimpulan sebagai perkawinan berlangsung masih
berikut : ada yang menyelenggarakan
1. Secara hukum nasional, tidak upacara patiwangi. Budaya
terdapat perbedaan kedudukan hukum ini tetap bertahan dengan
suami-isteri dalam perkawinan dilatarbelakangi oleh beberapa
nyentana beda wangsa. faktor, salah satu diantaranya
Namun dalam Hukum adat ialah para pemuka adat maupun
Bali, justru mengakibatkan krama adat pada umumnya
banyak yang tidak mengetahui
20
Ni Nyoman Sukerti, Penegakan Hukum
Terhadap Hak asuh Anak Akibat Perceraian Paswara DPRD No. 11 Tahun
Dalam Praktik Peradilan Di Bali, Jurnal 1951 yang secara tegas telah
Magister Hukum Udayana, Volume IV No. 1

315
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

menghapus perkawinan antar di Bali untuk mensosialisasikan


kasta yang kerap menimbulkan tentang keberadaan Paswara
diskriminasi. DPRD No. 11 Tahun 1951 dan
Keputusan Pesamuhan Agung
4.2 Saran III MUDP tahun 2010 tentang
Bertolak dari kesimpulan Kedudukan Perempuan Dalam
sebelumnya, dapat dirumuskan saran Hukum Adat, yang secara tidak
sebagai berikut : langsung menjunjung tinggi
1. Sebagai upaya menjunjung usaha pemberdayaan terhadap
tinggi usaha pemberdayaan kaum wanita, dengan harapan
terhadap kaum wanita di tengah aturan tersebut dapat dipahami
sistem kekerabatan patrilinieal dan ditaati oleh masyarakat
yang sangat patriarki sehingga hukum adat di Bali. Sehingga
dapat diimplementasikan dengan budaya hukum masyarakat
baik, maka masyarakat hukum kiranya dapat mengalami
adat di Tabanan diharapkan dinamika ke arah yang lebih
berkenan untuk merubah baik.
cara pandang tentang esensi
perkawinan nyentana beda DAFTAR PUSTAKA
wangsa. Mengingat sistem kasta Buku
adalah sesuatu yang sangat tidak A.A. GN Ari Dwipayana, 2004,
relevan dengan ajaran agama Bangsawan dan Kuasa
Hindu dan hukum di Indonesia, Kembainya Para Ningrat di
maka tidak ada alasan bagai Dua Kota, Cet. ke-1, IRE
para pihak yang berkepentingan Press, Yogyakarta
untuk membatasi hak wanita di Abdul Kadir Muhammad, 2004,
Bali untuk menentukan jodohnya Hukum Dan Penelitian Hukum,
berdasarkan kesetaraan dalam Penerbit PT. Citra Aditya Bhakti,
konteks kasta. Bandung.
2. Agar spirit Paswara DPRD No. Artadi , I Ketut, 1994, Hukum
11 Tahun 1951 dan Keputusan Adat Bali Dengan Aneka
Pesamuhan Agung III MUDP Permasalahannya, cet ke-5,
tahun 2010 tentang Kedudukan Pustaka Bali Post, Denpasar.
Perempuan Dalam Hukum Adat, 2003, Hukum Adat Bali dan Aneka
sebagai sarana rekayasa sosial masalahnya, cet. 3, Pustaka
dapat berjalan dengan maksimal, Bali Post, Denpasar.
maka diharapkan peran aktif dari Badan Pusat Statistik Kabupaten
Parisadha Hindu Dharma dan Tabanan , 2013, Tabanan
Majelis Utama Desa Pakraman Dalam Angka 2013, Tabanan

316
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

in Figures 2013, Arysta Jaya, Jiwa Atmaja, 2008, Bias Gender


Denpasar. Perkawinan Tetrlarang Pada
Budiana, I Nyoman, 2009, Masyarakat Bali, Cet. ke-1,
Perkawinan Beda Wangsa Udayana University Press dan
dalam Masyarakat Bali, CV. Bali Media Adhikarsa,
Graha Ilmu, Yogyakarta. Denpasar.
Djaren Saragih, 1996, Pengantar Kembar Kerepun , Made, 2004,
Hukum Adat Indonesia, Benang Kusut Nama Gelar
Tarsito, Bandung. di Bali, Cet. ke-1, CV. Bali
Dominikus Rato, 2011, Hukum Media Adhikarsa, Denpasar.
Perkawinandan Waris , 2007, Mengurai Benang Kusut
Adat (Sistem Kekerabatan, Kasta Membedah Kiat
Bentuk Perkawinandan Pola Pengajegan Kasta di Bali, PT.
Pewarisan Adat di Indonesia), Empat Warna Komunikasi,
Laksbang Yustisia Surabaya. Denpasar.
Donny Gahral Adian, 2006, Percik Korn, V.E., 1972, Hukum Adat
Pemikiran Kontemporer Sebuah Waris di Bali, terjemahan I
Pengantar Komprehensif, Gde Wajan Pangkat, Fakultas
Jalasutra, Yogyakarta. Hukum & Pengetahuan
Griadhi, I Ketut Wirta, et all., Masyarakat Universitas
1992, “Perkawinan Nyeburin
Udayana, Denpasar.
Berbeda Wangsa: Studi
­­­, 2013, Bentuk-Bentuk Sentana
Antropologi Hukum Terhadap
Menurut Adat Bali Masa
Kasus di Desa Wanasasri dan
Kolonial, terjemahan I Gde
Desa Berembeng Kabupaten
Wayan Pangkat & Mien
Tabanan”, Laporan
Joebaar, Udayana University
Penelitian, Universitas
Press, Denpasar.
Udayana, Denpasar.
Lawrence M. Friedman, 1975,
Hilman Hadikusuma, 1995, Metode
The Legal System, A Social
Pembuatan Kertas Kerja atau
Science Perspective,
Skripsi Ilmu Hukum, Mandar
Rusell Sage Foundation, New
Maju, Bandung.
York.
Ida Bagus Anom, 2010, Perkawinan
, 2009, Sistem Hukum Perspektif
Menurut Adat Agama Hindu,
CV. Kayumas Agung, Ilmu Sosial, penerjemah :
Denpasar. M. Khozim, Nusa Media,
Ihromi,T.O., 2001, Antropologi Bandung.
Huum Sebuah Bunga Rampai, Mansour Fakih, 2008, Analisis Gender
Cet, ke-2, Yayasan Obor dan Transformasi Sosial, INSIST
Indonesia, Jakarta. Press, Yogyakarta.

317
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Nico Ngani, 2012, Perkembangan Satjipto Rahardjo, 2004, Sosiologi


Hukum Adat Indonesia, Pustaka Hukum : Perkembangan Metode
Yustisia, Yogyakarta dan Pilihan Masalah, UMS
Panetje, Gde, 2004, Aneka Catatan Press, Surakarta.
Tentang Hukum Adat Bali, cet Soepomo, R., 2003, Bab-Bab Tentang
ke-3, CV. Kayumas Agung, Hukum Adat, Cet-16, Jakarta,
Denpasar. Pradnya Paramita.
Pasek Diantha, Made, Pasek Eka Sudantra, Ketut, Sudiana,Ngurah,
Wisanjaya I Gede, 2010, Narendra, Gede, 2011,
Kasta Dalam Perspektif Perkawinan Menurut Hukum
Hukum dan HAM, Udayana Adat Bali, Udayana University
University Press. Press, Denpasar.
Prihatini Ambaretnani, N., Sukerti, Ni Nyoman, 2012, Hak
2010, Kekerasan Terhadap Mewaris Perempuan Dalam
Perempuan Dalam Perspektif Hukum Adat Bali Kritis Sebuah
Antropologi. Dalam M. Studi Kritis, Udayana University
Munandar Sulaeman dan Siti Press, Denpasar.
Homzah., Editor. Kekerasan Tjok Istri Putra Astiti, 2009, ”Gender
Terhadap Perempuan Dalam Persektif Budaya Bali”,
Tinjauan Dalam Berbagai Pusat Studi Wanita Universitas
Displin Ilmu & Kasus Udayana Bekerjasama
Kekerasan, PT. Refika
dengan Badan Pemberdayaan
Aditama, Bandung.
Perempuan dan Anak Provinsi
Program Studi Magister Hukum (s2)
Bali, Denpasar.
Ilmu Hukum, 2013, Pedoman
Tim Peneliti Fakultas Hukum Unud,
Penulisan Usulan Penelitian
1988, ”Laporan Penelitian
Tesis Dan Penulisan Tesis
Pengaruh Hukum Adat Waris
Studi Magister Hukum
Bali Terhadap Pola Norma
(s2) ilmu Hukum, Program
Keluarga Kecil dan Bahagia dan
Magister Universitas
Sejahtera”, Kerjasama antara
Udayana, Denpasar.
Univ. Udayana dengan Bappeda
Rasjidi, Lili, Rasjidi, Ira, 2001,
Tk I Prop. Bali 1997-1998.
Dasar-dasar Filsafat dan
Wiana, I Ketut, 2006, Memahami
Teori Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung. Perbedaan Catur Warna,
Sara Sastra, 2005, Kala Badeg Kasta dan Wangsa, Paramita,
Sebuah Konsep Pendidikan Surabaya.
Seks Pra Nikah Dalam Wiana, Ketut, Santeri,Raka,
Masyarakat Hindu, Paramita, 2005, Kasta Dalam Hindu
Surabaya. Kesalahpahaman Berabad-

318
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

abad, Cet. ke-4, Yayasan Bali“ Tesis Universitas Gadjah


Dharma Naradha, Denpasar. Mada, ­Yogyakarta
Windia, Wayan P., Sudantra, Suryatini, Ida Ayu Putu, 2003,
Ketut,2006, Pengantar Hukum “Kedudukam Hukum Anak
Adat Bali, Lembaga Dokumentasi Astra Setelah Orangtua
dan Publikasi Fakultas Hukum Biologisnya Kawin Secaar Sah
Universitas Udayana, Denpasar Menurut Hukum Adat Bali”
Windia, Wayan P., dkk, 2009, (Studi Kasus Desa Sanur,
Perkawianan Pada Gelahang di Kecamatan Denpasar Selatan,
Bali, Udayana University Press, Kota Denpasar, Daerah Tingkat
Denpasar. I Bali), (tesis) Program Studi
Witanto,D.Y., 2012, Hukum Keluarga Magister (S2) Ilmu Hukum
Hak dan Kedudukan Anak Luar Universitas Diponegoro,
Kawin Pasca Keluarnya Putusan Semarang
MK Tentang Uji Materiil
UU Perkawinan, Prestasi Artikel
Pustakakarya, Jakarta. Ni Nyoman Sukerti Dkk,Penegakan
Zainuddin Ali, H., 2008, Sosiolgi Hukum Terhadap Hak asuh
Hukum, Cet. Ke-3, Sinar Grafika, Anak Akibat Perceraian Dalam
Jakarta Praktik Peradilan Di Bali, Jurnal
Magister Hukum Udayana,
Volume IV Nomor 1
Tesis
Sudantra,I Ketut, 2007, ”Asupundung
Mangku, I Nyoman, 2010,
dan Alangkahi Karang Hulu
“Pelaksanaan Perkawinan
Ketidakadilan Gender dalam
Nyeburin Beda Wangsa Menurut
Sistem Wangsa”, Jurnal Studi
Hukum Adat Bali di Kabupaten
Gender Srikandi, Volume VII
Tabanan Provinsi Bali”, Tesis
Nomor 2
Program Magister Kenotariatan
,2013, Pengaruh Ideologi Gender
Universitas Udayana, Denpasar
Terhadap Perkembangan
Sadnyini, Ida Ayu, 2000, “Dinamika
Hak Waris Perempuan Bali”,
Hukum Adat dalam Perkawinan
Makalahpada Kegiatan :
Asupundung di Bali”, (tesis)
Sosialisasi Hasil Pesamuan
Program Studi Magister (S2)
Agung III MUDP Bali tentang
Ilmu Hukum Universitas Kedudukan Perempuan
Udayana Denpasar dalam Hukum Adat Bali
Sri Susilowati, Nyoman, 2004, Yang Diselenggarakan Oleh
“Akibat Hukum Terhadap BadanKeluargaBerencana Dan
Perkawinan NyeburinAntar PemberdayaanPerempuanKota
Wangsa Menurut Hukum Adat Denpasar, 2013

319
Jurnal E-ISSN 2502-3101
P-ISSN 2302-528X
Magister Hukum Udayana • Juli 2016 Vol. 5, No. 2 : 301 - 320
(UDAYANA MASTER LAW JOURNAL) http://ojs.unud.ac.id/index.php/jmhu

Internet
Otong Rosadi, “Beberapa Catatan
Terhadap Laporan Penelitian”.
Sumber : http://qbar.or.id/index.
php.option.com

320

You might also like