Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

QAIDAH AL-DHARAR YUZALU

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqh Jinayat
Dosen Pengampu : Dr. Ishaq, M.Ag

Disusun Oleh Kelompok 4:

Setyo Yuwono : 224102040006


Siti Aisatul Munawaroh : 222102040026

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

KIAI HAJI AHMAD SHIDDIQ JEMBER

FAKULTAS SYARI’AH

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat sehat jasmani dan rohani
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah “Qawaid Fiqh Jinayat” dengan judul
“Qaidah Al-Dharar Yuzalu” ini pada waktu yang telah ditentukan.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa dan menuntun kita dari zaman kebodohan menuju zaman yang terang
benderang yakni yang berupa agam islami wal iman.

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr. Ishaq,
M.Ag selaku dosen pengampu mata kuliah Qawaid Fiqh Jinayat. Selain itu,makalah ini juga bertujuan
untuk manambah wawasan tentang Qaidah Al-dharar Yuzalu.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ishaq, M.Ag selaku dosen mata kuliah
Qawaid Fiqh Jinayat yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan mata kuliah yang kami tempuh. Kami menyadari makalah yang kami tulis ini
masih jauh dari kata sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu,kritik dan saran yang
membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Jember, 22 Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................................iii
BAB I..........................................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................................................1
BAB II.........................................................................................................................................................................2
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................................2
1. Pengertian Kaidah...........................................................................................................................................2
2. Dharurah dan Dalil Pembentuknya.................................................................................................................3
3. Implementasi Kaidah Qaidah Al-Dhahar Yuzalu dalam Pidana Islam...........................................................6
BAB III PENUTUP....................................................................................................................................................7
A. Kesimpulan.....................................................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................................................8

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam bidang fiqih kaidah dikenal menjadi lima bentuk secara alami berdasarkan peristiwa yang
terjadi. Kaidah yang pertama yaitu al-umuru bi maqasidiha (hukum semua perkara berdasarkan tujuan
dan niatnya), yang kedua al-yaqinu la yuzalu bi al-syak (keyakinan tidak dapat dikalahkan oleh
keraguan), yang ketiga al-masyaqqatu tajlibu al-taisir (Kesulitan mendatangkan kemudahan), yang
keempat adz-dhararu yuzalu (kemudharatan harus dihilangkan), dan yang kelima al-‘adatu
muhakkamah (tradisi dapat menjadi hukum).
Kaidah fiqiyah merupakan prinsip-prinsip menammpung bagian-bagian(juzi’yat) yang terperinci.
Para ulama mengatakan bahwa kaidah ini massih banyak, hanya saja Sebagian para ulama meringkasnya
menjadi lima. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai kaidah yang keempat adz-dhararu yuzalu
(kemudharatan harus dihilangkan). Yang dimana kaidah ini akan menjelaskan bahwa kaidah adz-
dhararu yuzalu memerintahkan untuk menghilangkan kemudharatan baik kecil maupun besar itu harus
dihilangkan, karena kemudharatan merupakan perbuatan yang dzalim dan menyengsarakan.1
B. Rumusan Masalah

a. Apa yang dimaksud dengan Kaidah adz-dhararu yuzalu?


b. Bagaimana kaidah dharurah dan pembentukan dalilnya?
c. Bagaimana Implementasi kaidah ini dalam hukum pidana islam?

C. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian dari Kadah adz-dhararu yuzalu


b. Untuk mengetahui Kaidah dari darurah dan pembentukan dalil
c. Untuk mengetahui implementasi dari kaidah ini dalam hukum pidana islam

BAB II

1
Munadi, Qaidah Al-Dharar Yuzalu, (Aceh: IAIN AR_RANIRY 2012)

1
PEMBAHASAN

1. Pengertian Kaidah

Berbunyi secara bahasa ‫ قاعدة‬adalah kalimat tunggal dari ‫ قواعد‬yang maknanya dasar atau asal
bagi sesuatu, baik sesuatu itu dalam bentuk maknawi ataupun abstrak. Makna ini sebagaimana dipahami
dari firman Allah yang:

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail
(seraya berdoa): “Ya Tuhan Kami terimalah daripada Kami (amalan kami), Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 127)
Selanjutnya Allah Berfirman pada surah an-nahl ayat 26:

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah Mengadakan makar, Maka Allah
menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa
mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.

Makna kaedah dalam dua ayat di atas adalah dasar (pondasi) bagi suatu bangunan. Makna
kaedah disini dalam bentuk hissi (kasad mata). Namun kata kaedah ada juga yang digunakan untuk
sesuatu yang maknawi seperti penggunaan pada sebutan kaedah Islam, kaedah nahwu, kaedah fiqh,
kaedah ushul dan lain-lain. Penggunaan yang kedua ini pada sesuatu yang maknawi.2
Dari makna logawi ini dapat dipahami bahwasanya kaedah adalah pondasi tempat berpijak
sesuatu yang lain atasnya, baik sesuatu itu hissi atau maknawi. Adapun pengertian kaedah secara istilah,

2
Muhammad ‘Azam, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Kairo: ar-Risalah Dauliyah, 2001), h. 9.

2
berbeda maknanya tergantung kepada masing-masing ilmu dan bidang kajian. Berikut ini akan
dikemukakan pengertian kaedah menurut beberapa aliran ilmu:
1. Menurut ahli ushul dan nahwu

.‫حكٍم كلٍى ينطبق على جميع جزئياته لتعّر ف أحكامها‬


Artinya: Hukum umum yang meliputi bagi semua bahagiannya, guna mengetahui hukum-hukumnya.
2. Menurut fukaha’
.‫هو الحكم الكلي المنطبق على جميع جزئياته غالبًا لتعّر ف أحكامها منه‬
Artinya: Hukum umum yang meliputi bagi semua bahagiannya secara kebiasaan, guna memahami
hukum pada bahagian dari hukum yang umum.
Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa kaedah adalah suatu ketentuan umum yang
meliputi semua bahagiannya. Tujuan dari kaedah yaitu memberikan ketentuan hukum bagi setiap kasus
yang dicakupnya. Menurut fuqaha’, cakupan kaedah bagi kasus dalam katagorinya tidak bersifat mutlak,
tapi secara kebiasaan (aglabiyah). Dengan demikian menurut versi fukaha’ ada kasus-kasus yang
dikecualikan dari kaedah, tetapi ini tidak berimplikasi kepada lemahnya kedudukan kaedah sebagai
prinsip umum. Keadaan kaedah yang bersifat aglabiyah (kebiasaan) ini membedakan antara kaedah
menurut fukaha’ dengan ahli ushul dan nahwu.

2. Dharurah dan Dalil Pembentuknya

Kaedah ‫ ضرورة يزال‬didasarkan kepada hadits Nabi saw, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
Darul Qutni, Hakim dan lainnya yang berbunyi: ‫( الَض رر والِض رر‬Jangan memudharatkan diri dan orang
lain). Sedangkan menurut Ahmad bin Muhammad al-Zarqa hadits ini tidak hanya dijadikan sebagai
dasar kaedah, tetapi nama bagi kaedah al-dharar juga diambil dari hadits tersebut.3
pengertian kaedah al-dharar yuzalu adalah kemudharatan harus dihilangkan. Qaidah ini
memerintahkan untuk menghilangkan kemudharatan. Bila digeneralkan semua ujud kemudharatan, baik
kecil atau besar mesti dihilangkan. Alasan menghilangkan kemudhataran karena menzalimi dan
menyengsarakan. Kemudharatan juga bertolak belakang dengan maksud syari’at (maqashid syar’iyah)

3
Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Anglo Media, 2004), h. 125.

3
yaitu mengwujudkan kemaslahatan hidup manusia. Karena itu kemudharatan yang terjadi harus segera
dihilangkan.4
Kata al-dharurat itu sendiri diambil dari kata al-dharar yang berarti bahaya. Dharurat juga
berarti masyaqqah atau kondisi sulit. Dalam mendefinisikan dharurat, sejumlah ulama, baik ulama
terdahulu maupun kontemporer, banyak bersilang pendapat walaupun tidak terlalu berjauhan. Ada
definisi Al- Jashshash, Al-Zarkasyi, Al-Suyuthi, Abu Zahrah, ulama-ulama Malikiyah dan Syafi'iyah.
Seluruh defenisi yang jumlahnya tidak sedikit itu memang saling berlainan dan mempunyai standar
jami' dan mani' yang berbeda, namun mempunyai arah yang hampir bersamaan.
Bagi kondisi dahulu, barangkali defenisi-defenisi itu cukup bisa dikatakan valid, jami' dan mani',
namun bagi kondisi sekarang nampaknya definisi itu tidak lagi tepat, melihat bahwa definisi-defi-nisi itu
bila kita amati lebih jauh, hanya terbatas pada dharurat min al-juz’i. Al-Jashsshash atau Al-Zarkasyi, Al-
Suyuti atau Abu Zahrah hanya mendefinisikan dharurat dari sisi pangan saja, sementara sisi lainnya
tidak disinggung sama sekali. Dr. Wahbah Al-Zuhaily menawarkan definisi baru terhadap dharurat yang
sepertinya cukup menjelaskan arti dharurat secara komprehensif dan tidak cukup dengan melihat
dharurah dari satu sisi dan melupakan sisi-sisi yang bisa jadi akan lebih penting. Dharurah dalam
definisi Al-Zuhaily adalah "kondisi yang menimpa seseorang, di mana kondisi itu diduga akan
mengakibatkan bahaya pada jiwa atau anggota badan atau kehormatan atau akal atau harta. Dengan
kondisi itu seseorang diperbolehkan melakukan hal-hal yang sebenarnya haram atau meninggalkan hal-
hal yang sebenarnya wajib.
Namun dharurat mempunyai general rule (prinsip umum) tertentu dan strandar minimal yang
membuat suatu kondisi akan disebut sebagai dharurat dan dengan demikian akan mempunyai pengaruh
terhadap perubahan status hukum.
Di antara prinsip umum itu antara lain:
1. Dharurat itu sudah merupakan suatu peristiwa yang telah terjadi, bukan yang ditunggu atau
diharapkan untuk terjadi.
2. Dharurat itu secara positif (yaqiny) dapat dipastikan sebagai dharurat yang cukup mendesak.
Seperti seseorang yang dalam kondisi sangat khawatir akan keselamatan jiwanya umapamanya.
3. Seseorang yang sedang dalam kondisi darurat tidak melanggar dasar-dasar pokok syariat Islam,
seperti menjaga hak-hak asasi orang lain, memelihara keadilan, menjaga amanat dan
menghindari hal-hal yang merugikan orang lain. Dari kerangka ini bisa difahami bahwa zina,

4
Muhammad ‘Azam, al-Qawaid al-Fiqhiyyah,…h. 153.

4
pembunuhan dan kekufuran adalah hal-hal yang tetap haram dan tidak dapat ditolerir dengan
alasan dharurat apapun.
4. Orang yang sedang dalam kondisi darurat tidak berlebihan di dalam mempergunakan keringanan
yang ia dapatkan. Atau dengan kata lain, cukup diperbolehkan dengan mempergunakan
keringanan sebatas kebutuhan.
5. Orang yang sedang dalam kondisi dharurat disyaratkan tidak menjumpai barang hal yang boleh
ia pergunakan dan lain-lain.
Adapun beberapa kondisi yang termasuk dalam kriteria kondisi dharurat antara lain adalah
kelaparan, kehausan, sakit keras, lupa, kondisi serba rumit, bepergian dan cacat. Apabila salah satu dari
kondisi itu dialami oleh seseorang, maka ia berarti termasuk dalam orang-orang yang sedang dalam
kondisi dharurat sehingga diperbolehkan untuk memanfaatkan keringanan-keringanan yang telah
ditetapkan oleh pembuat hukum (legislator), dan dengan tetap memperhatikan ukuran, standar dan
general rule di atas dalam mempergunakan keringanan yang didapatkan itu. Ini berarti bahwa status
hukum akan dapat berubah seiring dengan keberadaan dharurat pada hukum itu, dan status hukum akan
kembali kepada status semula jika dharurat itu telah teratasi.
Kembali kepada kaedah dharurat. Bahwa kaedah itu pada dasarnya hanya ada satu, sebagai
kaedah sentral, yaitu kaedah yang berbunyi al-dharar yuzaal, dharurat itu harus dihilangkan. Tetapi
kemudian kaedah sentral ini melahirkan delapan sub kaedah dharurat yang secara tematis membahas
dharurat dengan berbagai kondisinya. Delapan sub kaedah dharurat itu ialah :
3. Al-masyaqqatu tajlibu al Taisir (kondisi rumit atau sulit itu mendatangkan kemudahan).
4. Idza dhaqa al-amru ittasa'a, (segala sesuatu jika menyempit akan menjadi lapang (di mata
syari'ah))
5. Al-dharuratu tubihu al-mahdhuraat, (dharurat itu memperbolehkan hal-hal yang terlarang).
6. Al-dharurat tuqaddar biqadriha, (dharurat itu yang ditolelir sebatas kebutuhan)
7. Ma jaaza li 'udzrin yabtul bizawalihi, (sesuatu yang diperbolehkan karena halangan akan kembali
kepada status semula dengan hilangnya halangan itu.)
8. Al-maysur laa yasquthu bi al ma'suur, (kemudahan itu tidak bisa dikalahkan oleh kesulitan).
9. Al-Idhthirar laa yusqithu haqqa al-ghair, (dharurat itu tidak bisa menghilangkan hak asasi orang
lain).
10. Al-hajatu tunazzilu manzilata al-dharurat, (hajat/-kebutuhan dapat menempati posisi dharurat).

5
3. Implementasi Kaidah Qaidah Al-Dhahar Yuzalu dalam Pidana Islam

Kaidah Al Dharar Yuzalu dalam pidana Islam adalah kaidah yang mengatur tentang tindakan
yang dapat merugikan orang lain dan harus dicegah atau dihapuskan dari kehidupan umat manusia.
Kaidah ini juga mengatur bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindakan menyakiti), baik oleh
dirinya sendiri maupun orang lain. Dalam implementasinya, kaidah ini dapat diterapkan dalam hukum
pidana Islam, seperti dalam penegakan hukum pidana qishash, hudud, ta'zir, dan lain-lain.
Contoh penerapan kaidah Al Dharar Yuzalu dalam hukum pidana Islam adalah ketika
pemerintah memberikan sanksi kepada orang kaya yang tidak memberikan nafkah bagi anak dan
keluarganya. Pemerintah dapat mengambil tindakan yang dibutuhkan dan secukupnya untuk memenuhi
kebutuhan tersebut. Namun, jika sudah cukup seorang istri harus izin kepada suami.
Dalam konteks implementasi kaidah Al Dharar Yuzalu, penting untuk memperhatikan
kemaslahatan umat manusia dan menghindari mudharat. Oleh karena itu, penerapan kaidah ini harus
dilakukan dengan bijak dan proporsional agar tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa ‫ قاع]]دة‬adalah kalimat tunggal dari ‫ قواع]]د‬yang maknanya dasar atau asal bagi
sesuatu, baik sesuatu itu dalam bentuk maknawi ataupun abstrak. Makna ini juga dipahami pada Al-
Qur’an surah Al-Baqarah ayat 127 dan An-nahl ayat 26 yang dimana makna kaedah dalam dua ayat dua
ini adalah dasar (pondasi) bagi suatu bangunan. Makna kaedah disini dalam bentuk hissi (kasad mata).
Adapun kaidah Dharurah dan Dalil Pembentuknya yaitu Kaedah ‫ ضرورة يزال‬didasarkan kepada
hadits Nabi saw, yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Darul Qutni, Hakim dan lainnya yang berbunyi:
‫( الَض رر والِض رر‬Jangan memudharatkan diri dan orang lain).

7
DAFTAR PUSTAKA

Munadi, Qaidah Al-Dharar Yuzalu, (Aceh: IAIN AR_RANIRY 2012)

Muhammad ‘Azam, al-Qawaid al-Fiqhiyyah, (Kairo: ar-Risalah Dauliyah, 2001)

Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Anglo Media, 2004)

Muhammad ‘Azam, al-Qawaid al-Fiqhiyyah

You might also like