Professional Documents
Culture Documents
Paper Paud Inklusi
Paper Paud Inklusi
Paper Paud Inklusi
This study aims to describe the obstacles or problems in deaf children and the
solutions used in these problems as well as methods of developing communication
in deaf children. This type of research is a qualitative research. The research
subject in this study was one of the teachers who taught deaf children at the
elementary school level (SDLB-B) in the Branjangan State SLB, Bintoro Village,
Patrang District, Jember Regency. The data collection technique used is by
interview. This research is based on the author's curiosity about what obstacles or
problems are faced by deaf children, and the solutions used by teachers when
facing these obstacles or problems. The first problem is that it is difficult to
understand abstract words such as the word "Allah", designating places such as
there and other abstract words that are difficult for children to understand, and
deaf children who have difficulty pronouncing words clearly. Deaf children have
a lack of vocabulary, because at home parents find it difficult to teach children to
speak and sometimes children are also lazy to speak at home. Deaf children also
need to repeat words when explaining learning, therefore the learning model must
be "face to face", and use total communication language by providing
understanding and cues. The obstacles are that children often do not go to school,
do not do assignments, and parents do not support them. The solution to the above
problems is with a special program, namely BKPBI (Communication, Perception,
Sound and Rhythm Development), and evaluating parents how far their child's
development has gone.
Abstrak
A. PENDAHULUAN
Dalam lembaga Sekolah Luar Biasa (SLB), terdapat berbagai macam kelas
sesuai dengan hambatan yang dimiliki oleh peserta didik. Salah satunya yaitu
SLB-B untuk anak dengan hambatan pendengaran atau tunarungu. Menurut
Somantri, tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan
pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai
rangsangan terutama melalu indera pendengarannya. Anak tunarungu dapat
2
Imam Yuwono dan Utomo, Pendidikan Inklusi, (Yogyakarta: Deepublish, 2021), 3.
3
Zulkifli Sidiq, “Pendidikan Inklusif Suatu Strategi Menuju Pendidikan untuk Semua”,
Bandung: Univeritas Pendidikan Indonesia, 10.
4
Fauziah Nasution, dkk, “Pengertian Pendidikan, Sistem Pendidikan Sekolah Luar Biasa, dan
Jenis-Jenis Sekolah Luar Biasa”, Jurnal Edukasi Nonformal, Vol. 3, No. 2 (2022), 422.
mengalami gangguan pendengaran ringan, sedang, maupun berat, dan hal tersebut
berdampak pada pendidikan anak sehingga membutuhkan layanan pendidikan
khusus. Menurut Diamond dan Hopson, mereka menjelaskan bahwa meskipun
anak dengan pendengaran berat, mereka tetap memiliki kemampuan kognitif yang
sama untuk belajar bahasa seperti pendengaran teman sebayanya. 5
B. METODE PENELITIAN
5
Ina Agustina, “Analisis Interaksi Sosial Siswa Tunarungu di Sekolah Dasar Penyelenggara
Pendidikan Inklusi”..., 29.
menemukan wujud dan bentuknya, maka kata tersebut merupakan contoh dari
kata abstrak.6
Yang ketiga yaitu perlu pengulangan kata-kata. Guru yang mengajar anak
tunarungu perlu lebih lama lagi untuk mengulangi kata-kata atau kalimat yang
diucapkan. Agar anak tersebut mampu memahami kata-kata atau kalimat yang
disampaikan oleh gurunya. Cara pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik
anak tunarungu yaitu memerlukan pengulangan agar dapat menguasai materi
dengan baik. Pernyataan ini sesuai dengan Hukum Latihan pada Teori Belajar
Thorhndiki dalam Suprihatiningrum yang menyatakan bahwa, semakin sering
6
Putri Khairana, “Menemukan Kata-kata Konkret Puisi dan Kata Abstrak dalam Sebuah
Paragraf”, Banda Aceh: Universitas Syiah Kuala. Dalam
https://www.studocu.com/id/document/universitas-syiah-kuala/pengembangan-media-
pembelajaran-bahasa-dan-sastra/menemukan-kata-kata-konkret-puisi-dan-kata-abstrak-dalam-
sebuah-paragraf/33625925/diakses 12 Juni 2022.
7
Puput Noviawati, “Mengembangkan Penguasaan Kosakata pada Anak Tunarungu (Studi
Kasus Menggunakan Media Swishmax)”, (Skripsi—Universitas Negeri Semarang, 2017), 4.
tingkah laku diulang atau dilatih ataupun digunakan, maka asosiasi tersebut akan
semakin kuat. Semakin sering diulang, maka materi pembelajaran akan semakin
dikuasai. 8 Pengulangan kata-kata dalam pembelajaran ini sejalan dengan hasil
penelitian Toe dan Paatsch (2010) bahwa anak tunarungu membutuhkan
pengulangan kata untuk memahami pertanyaan atau pembelajaran yang diberikan.
Pengulangan ini memungkinkan anak untuk mencerna kosakata yang dimaksud. 9
Yang terakhir yaitu anak sering tidak masuk sekolah. Akibat dari hal
tersebut, maka anak tunarungu akan semakin sulit untuk berkembang. Menurut
Kartono (2020), ia mengemukakan bahwa perilaku membolos atau sering tidak
masuk sekolah berakibat pada dirinya sendiri dan bagi orang lain. Bagi dirinya
sendiri, maka ia akan ketinggalan pelajaran. Hal ini akan menyebabkan siswa
mengalami kegagalan dalam pelajaran, tidak naik kelas, nilainya jelek, dan
kegagalan lain di sekolah. Sedangkan bagi orang lain, terutama teman sekelasnya,
mereka akan terganggu dengan siswa yang membolos karena kemungkinan guru
akan menegur siswa yang membolos pada pertemuan selanjutnya sehingga
menyita waktu pembelajaran. Guru juga akan menjelaskan kembali materi
pembelajaran yang sudah diajarkan pada pertemuan sebelumnya apabila ada anak
yang belum paham. 10
Sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti, solusi yang
diberikan dari beberapa hambatan atau permasalahan diatas yaitu memberikan
evaluasi kepada orangtua dari anak berkebutuhan khusus tersebut. Evaluasi ini
dilakukan dengan cara memberi informasi kepada orangtua bahwa sejauh mana
kemampuan anak mereka sudah berkembang. Dan evaluasi ini biasanya dilakukan
8
Okki Cah Yusuf, “Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make A Match Terhadap
Pemahaman Kosakata Bahasa Indonesia Anak Tunarungu Kelas I di SDLB”, Jurnal Pendidikan
Khusus, 10.
9
Maria Helena G, dkk, “Pola Komunikasi Anak Usia Dini Tunarungu Bukan Bawaan”, Nusa
Tenggara Timur : Universitas Nusa Cendana. Dalam
https://www.researchgate.net/profile/Indra_Kiling/publication/324007126_Pola_komunikasi_anak
_usia_dini_tunarungu_bukan_bawaan/links/5b04ea4f4585154aeb080033/Pola-komunikasi-anak-
usia-dini-tunarungu-bukan-bawaan.pdf?origin=publication_detail
10
Siti Ma’rifah Setiawati, “Perilaku Membolos: Penyebab, Dampak, dan Solusi”, Prosiding
Seminar dan Lokakarya Nasional Bimbingan dan Konseling, (2020), 103.
ketika kenaikan kelas atau pada saat pembagian rapor. Evaluasi yaitu suatu
tindakan atau proses dalam menentukan nilai sesuatu. Kegiatan evaluasi dilakukan
oleh guru dengan tujuan untuk memperoleh kepastian mengenai keberhasilan
belajar siswa dan memberikan informasi kepada orangtua mengenai apa yang
telah diajarkan oleh guru dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi harus dilakukan
secara sistematis dan kontinu agar dapat menggambarkan kemampuan para siswa
yang dievaluasi. Hasil evaluasi ini, dapat dimanfaatkan oleh orang tua untuk
mengetahui kemajuan belajar anak, membimbing kegiatan belajar anak dirumah,
serta menentukan tindak lanjut pendidikan yang sesuai dengan kemampuan
anaknya. 11
Selain itu, solusi yang diberikan guru kepada orangtua yaitu orangtua
diberi tugas untuk menamai barang-barang yang ada dirumah, agar anak bisa
membaca tulisan tersebut dan memudahkan mereka mengenal barang-barang yang
ada di sekitar. Kemudian orang tua atau guru bisa memberikan reward kepada
anak agar mereka merasa dihargai dan bangga akan pencapaiannya. Menurut
Maria J. Wantah (2005), ia mengemukakan bahwa fungsi dari pemberian reward
diantaranya yaitu, yang pertama reward mempunyai nilai mendidik. Penghargaan
yang diberikan kepada anak menunjukkan bahwa perilaku yang dilakukan oleh
anak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku. Yang kedua, reward berfungsi
sebagai motivasi pada anak untuk mengulangi atau mempertahankan perilaku
yang disetujui secara sosial. Yang ketiga, reward berfungsi memperkuat perilaku
yang disetujui secara sosial. Apabila anak bertingkah laku sesuai yang diharapkan
secara berkesinambungan dan konsisten, ketika perilaku itu dihargai, anak akan
merasa bangga. 12
11
Ina Magdalena, dkk, “Pentingnya Evaluasi dalam Pembelajaran dan Akibat
Memanipulasinya”, Bintang: Jurnal Pendidikan dan Sains, Vol. 2, No. 2 (Agustus 2020), 248.
12
Rinda Puspita Dewi, “Penggunaan Punishment dan Reward untuk Mengurangi Perilaku
Hiperaktif pada Anak Tunagrahita Sedang Kelas II di SlB Widya Mulia Pundong”, (Skripsi—
Universitas Negeri Yogyakarta, 2017), 13.
Pengembangan Komunikasi Anak Tunarungu
13
Endang Suhartini, dkk, Optimalisasi Pelayanan Bina Komunikasi Melalui Program Persepsi
Bunyi dan Irama (BKPBI), untuk Anak yang Berkebutuhan Khusus Tunarungu di SDLB Negeri
Jenangan Ponorogo”, Journal of Primary Education, Vol.1 No.1 (Juni 2021), 59.
program khusus ini diberikan kepada mereka yang memiliki hambatan
pendengaran di jenjang SDLB-B. Penerapan program Bina Komunikasi Persepsi
Bunyi dan Irama yang dilakukan peneliti di Sekolah Luar Biasa Negeri
Branjangan yaitu guru menyampaikan materi berupa latihan suara-suara dan
menghitung bunyi yang dilakukan oleh anak tunarungu. Usaha dilakukannya
program khusus ini agar anak tunarungu mampu berkomunikasi dengan baik
dengan temannya maupun lingkungan sekitarnya. Program khusus BKPBI ini
bermacam-macam, tergantung tingkat ketunarunguannya. Diantaranya yaitu
tunarungu dengan kategori ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Jika anak
tunarungu termasuk dalam kategori sangat berat yaitu lebih dari 100 dB, anak
tersebut biasanya sudah tidak bisa mendengar sama sekali dan sulit untuk
menangkap pembelajaran. Kecuali jika orangtua dari anak tersebut memberikan
les tambahan. Selain itu, orang tua juga harus memperhatikan anak dan lebih
memfokuskan waktunya untuk anak. Kemungkinan anak tersebut akan lebih
mampu untuk memahami ucapan dari orang lain. Sedangkan jika anak tunarungu
termasuk dalam kategori ringan, anak akan lebih cepat menangkap pembelajaran
dibandingkan dengan kategori atau tingkatan yang lain. Karena anak tersebut
masih memiliki sisa pendengaran.
15
Weni Winarti, dkk, “Penerapan Pengembangan Komunikasi Persepi Bunyi dan Irama untuk
Meningkatkan Kemampuan Pengucapan Fonem /ng/ pada Anak dengan Hambatan Pendengaran
di SLBN B Kabupaten Garut”, Jurnal JASSI_anakku, Vol. 20 No. 2 (Desember 2019), 54.
oleh anak tunarungu. Program Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama
(BKPBI) ini bertujuan agar anak tunarungu mampu memiliki dasar ucapan yang
baik dan benar, mampu membentuk bunyi bahasa (vocal dan konsonan) dalam
berkomunikasi dengan benar, memberikan pemahaman terhadap orang yang
diajak berbicara, memberikan keyakinan pada anak tunarungu bahwa bunyi suara
yang diproduksi dari alat bicaranya harus mempunyai makna, mampu mengoreksi
ucapannya yang salah, serta dapat membedakan ucapan yang satu dengan ucapan
yang lainnya.
1) Tahapan deteksi bunyi, yaitu kemampuan siswa untuk menyadari ada dan tidak
adanya bunyi, dengan menggunakan alat bantu mendengar maupun tidak
menggunakannya. Misalnya, anak dilatih dengan diperdengarkan bebagai bunyi.
4) Tahapan komprehensi bunyi, yaitu gabungan dari ketiga tahapan diatas maka
dari itu pada tahap ini anak sudah mampu memahami dan mendeteksi berbagai
bahasa dan bunyi. 16
16
Endang Suhartini, dkk, “Optimalisasi Pelayanan Bina Komunikasi Melalui Program
Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI), untuk Anak yang Berkebutuhan Khusus Tunarungu di SDLB
Negeri Jenangan Ponorogo”..., 67.
metode untuk melatih anak tunarungu agar dapat berinteraksi dengan orang lain,
metode ini biasa digunakan dalam sehari-hari atau biasa disebut komunikasi lisan.
Dalam metode ini anak tunarungu dilatih untuk berbicara ketika berinteraksi
dengan orang lain, maka dibutuhkan banyak kosa kata yang harus dimilikinya.
Pelaksanaan metode ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu pembentukan dan
pelatihan berbicara, membaca ujaran, serta latihan pendengaran.17 Sedangkan
metode komunikasi bahasa isyarat yaitu penerapannya dilakukan melalui gerakan
tangan (gestur) dan dipersepsi melalui alat penglihatan (visual). Dalam karya
Cratylus, ia menyatakan bahwa penggunaan bahasa isyarat diberikan kepada
seseorang yang mempunyai hambatan dalam berbicara dan juga pendengaran,
bahasa isyaratnya menggunakan tangan, kepala, dan tubuh. Sehingga dalam
metode komunikasi isyarat ini diharapkan guru bisa menggunakannya bersamaan
dengan metode komunikasi total.18 Berdasarkan penelitian yang diperoleh, bahwa
penerapan metode komunikasi yang digunakan oleh guru kelas SLB-B di SLB
Negeri Branjangan, yaitu dengan menggunakan komunikasi total dan komunikasi
isyarat serta memberikan pemahaman kata kata yang diucapkan oleh guru, seperti:
“siapa namamu?”, dan sebagainya.
Selain program khusus dan dua jenis metode komunikasi tersebut, proses
pembelajaran anak tunarungu di SLB Negeri Branjangan ini dilakukan dengan
tatap muka (face to face) untuk mempermudah anak memahami pengucapan guru
saat menyampaikan pembelajaran dan anak tunarungu ini ditempatkan di dekat
sumber pembelajaran yang disampaikan oleh guru. Proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru yaitu dengan pembelajaran face to face yaitu dengan
menempatkan anak tunarungu duduk di depan guru atau berhadapan dengan guru.
Dengan begitu anak tunarungu dapat membaca gerakan bibir atau ucapan yang
disampaikan oleh gurunya. Sehingga dalam menjelaskan materi terhadap anak
tunarungu, guru diharapkan dapat berbicara secara jelas, tidak terlalu cepat, dan
17
Endang Suhartini, dkk, “Optimalisasi Pelayanan Bina Komunikasi Melalui Program
Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI), untuk Anak yang Berkebutuhan Khusus Tunarungu di SDLB
Negeri Jenangan Ponorogo”..., 62.
18
Silva Tenrisara Isma, “Meneliti Bahasa Isyarat dalam Perspektif Variasi Bahasa, Artikel
Kongres Bahasa Indonesia, Oktober 2018, 1-2.
https://kbi.kemdikbud.go.id/kbi_back/file/dokumen_makalah/dokumen_makalah_1540468871.pdf
juga harus sesuai dengan pelafalan hurufnya. 19 Dalam pembelajaran tersebut guru
memberikan pemahaman kosakata abstrak guna menambah kosakata bahasa anak.
Ketika melakukan proses penerimaan bahasa, anak tunarungu lebih
mengedepankan fungsi indra visual yaitu penglihatannya. Perkembangan
berbicara dan kemampuan bahasa anak tunarungu ini memerlukan bimbingan
secara khusus dan intensif yang menyesuaikan dengan sejauh mana kemampuan
dan taraf ketunarunguan anak.20
Kesimpulan
Tati Hernawati, “Pendidian Anak Tunarungu”, Jurnal Pendidikan Luar Biasa, 2-3.
19
Sosial (Studi Kasus di SLB Negeri Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai)”, (Skripsi--UIN
Alauddin, Makassar, 2016), 57.
2. Solusi yang diberikan dari beberapa hambatan atau permasalahan diatas yaitu
memberikan evaluasi kepada orangtua dari anak berkebutuhan khusus
tersebut. Evaluasi ini dilakukan dengan cara memberi informasi kepada
orangtua bahwa sejauh mana kemampuan anak mereka sudah berkembang.
Dan evaluasi ini biasanya dilakukan ketika kenaikan kelas atau pada saat
pembagian rapor. Selain itu, solusi yang diberikan guru kepada orangtua yaitu
orangtua diberi tugas untuk menamai barang-barang yang ada dirumah, agar
anak bisa membaca tulisan tersebut dan memudahkan mereka mengenal
barang-barang yang ada di sekitar. Kemudian orang tua atau guru bisa
memberikan reward kepada anak agar mereka merasa dihargai dan bangga
akan pencapaiannya.
3. Dalam menangani permasalahan anak tunarungu, sekolah ini mempunyai
program khusus untuk pengembangan komunikasi anak tunarungu. Program
khusus yang dimaksud adalah program BKPBI (Bina Komunikasi Persepsi
Bunyi dan Irama), program khusus ini diberikan kepada mereka yang
memiliki hambatan pendengaran di jenjang SDLB-B. Penerapan program
Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama yang dilakukan peneliti di
Sekolah Luar Biasa Negeri Branjangan yaitu guru menyampaikan materi
berupa latihan suara-suara dan menghitung bunyi yang dilakukan oleh anak
tunarungu. Usaha dilakukannya program khusus ini agar anak tunarungu
mampu berkomunikasi dengan baik dengan temannya maupun lingkungan
sekitarnya. Terdapat dua jenis metode komunikasi yang digunakan di SLB
Negeri Branjangan pada anak dengan hambatan pendengaran atau tunarungu,
yaitu metode komunikasi total dan metode komunikasi bahasa isyarat.
Metode komunikasi total tidak lepas dari komunikasi bahasa isyarat, kedua
metode ini digunakan secara bersamaan agar anak tunarungu dapat
memberikan bentuk ekspresi komunikasi manusia pada umumnya. Selain
program khusus dan dua jenis metode komunikasi tersebut, proses
pembelajaran anak tunarungu di SLB Negeri Branjangan ini dilakukan
dengan tatap muka (face to face) untuk mempermudah anak memahami
pengucapan guru saat menyampaikan pembelajaran dan anak tunarungu
tersebut ditempatkan di dekat sumber pembelajaran yang disampaikan oleh
guru. Proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru yaitu dengan
pembelajaran face to face yaitu dengan menempatkan anak tunarungu duduk
di depan guru atau berhadapan dengan guru.
Saran
Daftar Pustaka
Isma, Silva Tenrisara, “Meneliti Bahasa Isyarat dalam Perspektif Variasi Bahasa,
Artikel Kongres Bahasa Indonesia, Oktober 2018.
https://kbi.kemdikbud.go.id/kbi_back/file/dokumen_makalah/dokumen_m
akalah_1540468871.pdf