Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN MORBUS HANSEN (KUSTA)

A. Konsep Dasar
1. Pengertian
Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai
penyakit kusta atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae, hingga ditemukan
bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh universitas Texas pada tahun 2008, yang
menyebabkan endemik sejenis kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih
khusus dengan sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri
Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama
Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai patogen yang
menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai lepra.
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun (lama) yang disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae). Penyakit tersebut menyerang kulit, saraf tepi
dan dapat menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Kusta bukan penyakit
keturunan, dan bukan disebabkan oleh kutukan, guna-guna, dosa atau makanan.
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan ukosa traktus respiratirius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat (Djuanda Adhi, 2010).
Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa
dari saluran pernapasan atas; dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari
luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan kerusakan
pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di
masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah,
seperti pada penyakit tzaraath.

2. Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycobacterium leprae,


yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 8 micrm, lebar 0,2 – 0,5 micrm.
Biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu – satu, hidup dalam sel dan
bersifat tahan asam (BTA). Sampai saat ini yang dianggap sebagai sumber
penularan hanya manusia satu – satunya, walaupun kuman kusta dapat hidup pada
armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus. Dengan demikian berarti kuman
kusta yaitu Mycobactirium leprae hidup harus berpindah langsung dari seorang ke
orang lain untuk penularan penyakit tersebut.
Mycrobacterium Lepra yang merupakan bakteri tahan asam, bersifat obligat
intraseluler yang ditemukan oleh G. A. Hansen. Masa membelah diri
Mycrobacterium leprae memerlukan waktu yang cukup lama dibandingkan dengan
kuman lain, yaitu 12-21 hari masa tunasnya antara 40 hari sampai dengan 40 tahun.
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta Multibasiler (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung, melalui saluran pennapasan (inhalasi)
dan kulit (kontak langsung dengan penderita yang lama dan erat). Kuman tersebut
dapat ditemukan di folikel rambut, kelenjar keringat,septum dan air susu ibu.
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu ditakuti
tergantung dari beberapa faktor antara lain :
1. Faktor sumber penularan
Sumber penularan adalah penderita kusta tipe Multi Basiler (MB). Penderita MB
ini pun tidak akan menularkan kusta, apabila berobat teratur.
2. Patogenesis kuman Mycobacterium leprae, kuman Kusta tersebut masih utuh
bentuknya maka memiliki kemungkinan penularan lebih besar daripada bentuk
kuman yang telah hancur akibat pengobatan.
3. Cara penularan, melalui kontak langsung dengan daerah yang terdapat lesi basah,
berganti-gantian baju, handuk, melalui sekret serta udara.
4. Keadaan sosial ekonomi yang terbatas sehingga dalam memenuhi kebutuhan
hidup seperti makanan yang bergizi, tempat tinggal yang kumuh.
5. Higiene dan sanitasi berhubungan dengan keadaan sosial juga dimana orang-
orang yang mengalami keadaan sosial rendah tidak bisa memenuhi kebutuhan
hygienenya seperti membeli sabun, kebersihan air tidak terjamin akibat
permukiman padat penduduk, ventilasi rumah yang tidak bagus, pencahayaan
yang
6. Daya tahan tubuh, imun tubuh juga mempengaruhi dalam masuk dan
berkembangnya virus M.Leprae.

3. Patofisiologi
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa
penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin dan
melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor imunitas
seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu
regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis.
M. Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag
sekitar pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila
kuman masuk tubuh  tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari
monosit darah, sel mn, histiosit ) untuk memfagosit. Tipe LL ; terjadi kelumpuha
system imun seluler tinggi  macrofag tidak mampu menghancurkan kuman 
dapat membelah diri dengan bebas  merusak jaringan. Tipe TT ; fase system
imun seluler tinggi  macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah
kuman difagositosis macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan
kemudian bersatu membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi 
terjadi reaksi berlebihan dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan
jaringan sekitar.
4. Pathway
5. Tanda dan gejala
Tanda kulit pada penyakit kusta adalah :
a. Kelainan pada kulit yang beruba bercak kemerahan, keputihan atau benjolan.
b. Kulit mengkilap.
c. Bercak yang tidak terasa gatal.
d. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat dan tidak berambut.
e. Lepuh tapi tidak tersa nyeri.

Tanda-tanda pada syaraf pada penyakit kusta adalah :


a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka.
b. Gangguan kerak pada anggota badan dan muka.
c. Adanya kecacatan (deformitas) pada bagian tubuh.
d. Terdapat luka tapib tidak tersa sakit.

Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penderita kusta antara lain :


a. Panas dari derajat yang rendah sampai mengigil.
b. Anoreksia.
c. Nausea, yang terkadang disertai dengan vernitus.
d. Cephalgia.
e. Kadang disertai dengan iritasi, orchitis dan pleuritis.
f. Kadang juga dapat disertai dengan nephrosia, nepritis dan hepatospleenomegali
g. Neuritis (Maharani, 2015).

6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak
ditemukan lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila
perluditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan.
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain.
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien.
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain.
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir
hidungapabila sedian apus kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung
lebihdulu negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit :
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta.
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasienkusta.
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka
kuman resisten terhadap obat.
d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali.
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu
ziehlneelsen atau kinyoun gabett.
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara
zigzag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman
yangmungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah
(fragmented),granula (granulates), globus dan clumps.
b. Indeks Bakteri (IB)
Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
Indeks Morfologi (IM) Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh
BTA. IM digunakan untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi
hasil pengobatan, dan membantumenentukan resistensi terhadap obat.

7. Penatalaksanaan medis
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah menyembuhkan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insidens penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin
dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi
dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan
angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO (1995)
sebagai berikut :
a). Tipe PB
Jenis obat dan dosis untuki orang dewasa :
1) Rifampisin 600 mg/bulan diminum di depan petugas
2) Klofazimin 300 mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg/hari diminum di rumah
3) DDS 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam wktu maksimal 36 bulan. Sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT (Released From Treatment = berhenti
minum obat kusta) meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan pemeriksaan
bakteti positif. Menurut WHO (1998) pengobatan MB diberikan untuk dosis yang
diselesaikan dalam 12-18 bulan dan pasien langsung dinyatakan RFT.
b). Dosis untuk anak
Klofazimin : Umur <10 tahun : Bulanan 100 mg/bulan
Harian 50 mg/2
kali/minggu Umur 11-14 tahun : Bulanan 100
mg/bulan
Harian 50 mg/3
kali/minggu DDS : 1-2 mg/jkg berat badan
Rifampisin : 10-15 mg/kg berat badan
c) Pengobatan MDT terbaru
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO (1998),
pasien kusta tipe Pause Basiler dengan lesi hanya satu cukup diberikan dosis
tunggal rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg, dan minosiklin 100 mg dan pasien
langsung dinyatakan RFT, sedangkan untuk tipe Pause Basiler dengan lesi 2-5
lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe Multi Basiler diberikan sebagai
obat alternative dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis dalam 24 bulan.
d). Putus Obat
Pada pasien kusta tipe Pause Basiler yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis
dari yang seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe Multi
Basiler dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.

B. Pengkajian Fokus
Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang klien agar dapat mengidentifikasi
mengenai masalah kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik fisik, mental,
sosial, dan lingkungan (Nasrul Effendi, 1995 : 18).
1. Identitas klien
Meliputi : nama, umur, nomor register, jenis kelamin, status, alamat, tanggal MRS,
diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Pada umumnya pada pasien dengan morbus hensen, mengeluh adanya bercak-
bercak Disertai hiperanastesi dan terasa kaku diikuti dengan dan peningkatan suhu.
3. Riwayat kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat penyakit kusta biasanya adanya bercak-bercak merah disertai
hiperanastesi dan odema pada ektrimitas pada bagian perifer seperti tangan,
kaki serta bisa juga terjadi peningkatan suhu tubuh.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Penyakit yang diderita pasien sebelumnya seperti hepatitis, asma dan alergi,
jantung koroner.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya merupakan penyakit menular, maka anggota keluarga mempunyai
resiko beasar tertular dengan kontak lama.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien
biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada tipe I, reaksi ringan,
berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan saraf tepi
motorik.
b. Sistem penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, kornea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf
tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler
jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akanrontok.
c. Sistem pernafasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat gangguan
pada tenggorokan.
d. Sistem persarafan
1) Kerusakan fungsi sensorik, kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan
terjadinya kurang/mati rasa. Akibat kurang/mati rasa pada telapak tangan
dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea mata mengkibatkan
kurang/hilangnya reflek kedip.
2) Kerusakan fungsi motorikm, kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi
lemah/lumpuh dan lama-lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak
dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok dan akhirnya
dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila terjadi pada mata
akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).
3) Kerusakan fungsi otonom, terjadi gangguan pada kelenjar keringat,
kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi
kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
e. Sistem muskuloskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
f. Sistem integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada
kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak
dan gangguan sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan
pecah-pecah. Rambut: sering didapati kerontokan jika terdapat bercak.
5. Pola Aktivitas Sehari-hari
a. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan
terutama pada body image, penderita merasa rendah diri dan merasa
terkucilkan sedangkaan pada tatalaksana hidup sehat pada umumnya klien
kurang kebersihan diri dan lingkungan yang kotor dan sering kontak langsung
dengan penderita kusta. Karena kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya
maka timbul masalah dalam perawatan diri.
b. Pola nutrisi dan metabolisme
Meliputi makanan klien sehari-hari komposisi: sayur, lauk-pauk, minum sehari
berapa gelas, berat badan naik atau turun, sebelum dan saat masuk rumah sakit
turgor kulit normal atau menurun dan kebiasaan makan klien. Klien tinggal di
tempat yang kotor atau bersih. Adanya penurunan nafsu makan, mual, muntah,
penurunan berat badan, gangguan pencernaan.
c. Pola eliminasi
Pada pola eleminasi alvi dan urin pada pasien kusta tidak ada kelainan.
d. Pola istirahat dan tidur
Pada klien kusta pada umumnya pola tidur tidak terganggu tetapi bagi
penderita kusta yang belum menjalani pengobatan pasien baru biasanya terjadi
gangguan kebutuhan tidur dan istirahat yang disebabkan oleh pikiran stress,
odema dan peningkatan suhu tubuh yang yang diikuti rasa nyeri.
e. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya pada pasien kusta dalam aktifitas ada gangguan dalam hal interaksi
sosial dengan masyarakat biasanya pasien mengurung diri dan pada
pergerakan ektrimitas bagian perifer didapatkan bercak-bercak merah disertai
odema dan pasien dianjurkan harus banyak mobilisasi.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Presepsi klien tentang penyakitnya dan bagaimana konsep dalam menghadapi
penyakitnya yang diderita.
g. Pola sensori dan kognitif
Pada umumnya penderita kusta mengalami gangguan di salah 1 sensorinya
seperti peraba. Pasien tidak merasa adanya rangsangan apabila bercak tersebut
diberikan rangsangan. Pada kognitifnya pasien kusta merasa tidak berguna lagi
dan merasa terkucilkan serta merasa tidak diterima oleh masyarakat dan
keluarganya.
h. Pola reproduksi seksual
Pada umumnya pada pola produksi seksual klien tidak mengalami gangguan.
i. Pola hubungan peran
Biasanya pada pasien kusta selalu mengurung diri dan menarik diri dari
masyarakat (disorentasi). Pasien merasa malu tentang keadaan dirinya, dan
masyarakat beranggapan penyakit kusta merupakan penyakit yang menjijikan.
j. Pola penanggulangan stress
Bagaimana klien menghadapi masalah yang dibebani sekarang dan cara
penanggulangannya.
k. Pola nilai dan kepercayaan
Dalam pola ini terkadang ada anggapan yang bersifat ghaib.
C. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
2. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kecacatan dan kehilangan fungsi tubuh.

D. Intervensi Keperawatan
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam tidak terjadi kerusakan
integritas kulit. Dengan kriteria hasil :
a. Menunjukkan penyembuhan luka
b. Nutrisi adekuat
c. Adanya partisipasi pasien dan keluarga untuk penyembuhan luka
Intervensi :
a. Kaji/ catat warna lesi, perhatikan jika ada jaringan nekrotik dan kondisi sekitar
luka.
b. Berikan perawatan khusus pada daerah yang terjadi inflamasi.
c. Bersihkan lesi dengan sabun pada waktu direndam.
d. Anjurkan klien untuk mengistirahatkan bagian yang terdapat lesi dari tekanan.
e. Kolaborasi dengan TIM Medis dalam mengevaluasi warna lesi dan jaringan
yang terjadi inflamasi perhatikan adakah penyebaran pada jaringan sekitar.
2. Nyeri Akut berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan
rasa nyaman nyeri dapat berkurang. Dengan kriteria hasil :
a. Skala nyeri : 0
b. Wajah tidak tampak menyeringai menahan sakit
c. RR : 16-24x/menit
d. Tekanan darah : 120/80 mmHg
e. Pasien dapat menggunakan medikasi analgesik yang diresepkan dengan benar
f. Pasien dapat menggunakan strategi nyeri nonfarmakologis dengan dibantu
keluarga
Intervensi :
a. Observasi lokasi, intensitas dan penjalaran nyeri.
b. Observasi tanda-tanda vital.
c. Ajarkan melakukan tehnik distraksi dan relaksasi.
d. Anjurkan pasien mengatur posisi senyaman mungkin.
e. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik sesuai indikasi.
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan kecacatan dan kehilangan fungsi tubuh.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 diharapkan tidak terjadi
gangguan citra diri. Dengan Kriteria Hasil :
a. Klien dapat menerima kondisi tubuhnya dengan lapang
b. Klien dapat menunjukkan koping yang positif terhadap masalah yang dialami
c. Klien dapat bersosialisasi dengan teman dan lingkungan sekitar secara maksimal
Intervensi :
a. Berikan kesempatan pada klien untuk mengexpresikan perasaannya
b. Berikan penkes pada klien bahwa kulitnya yang menghitam akan menghilang
secara bertahap setelah klien menyelesaikan pengobatan
c. Berikan dukungan psikologis dengan cara mengajak klien berkomunikasi dan
melibatkan klien dalam setiap kegiatan
d. Dorong klien untuk bersosialisasi dan saling berbagi pengalaman dengan pasien
lain
e. Berikan motivasi pada klien untuk tetap bersemangat dan membangkitkan
harapan-harapan baru

E. DAFTAR PUSTAKA
1. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI.
2. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2017. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
3. Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2017. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Definisi
dan Kriteria Hasil Keperawatan Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
4. Anonim. 2012. Penyakit Hansen. http://id.wikipedia.org/wiki/Penyakit_Hansen.
Diperoleh tanggal 28 Maret 2013.
5. Muttaqin, (2012).Asuhan keperawatan gangguan sistem integumen. Jakarta :
Salemba Medika.
6. Nanda (2015) Diagnosis keperawatan definisi & klasifikasi. Jakarta: EGC.
7. Morton, G. (2012). Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 dan 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
8. Peate, M. N. (2015). Dasar-dasar Patofisiologi Terapan edisi 2. Jakarta: Bumi Medika.

You might also like