Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi Dan Mu

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam,

Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 223-246.

Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra


Hery Prasetyo Laoli
UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Indonesia
herylaoli@gmail.com

Abstrak: Islamic philosophy became an interesting discourse and discussion among thinkers in the
East as well as in the West in the 19th century until recently and in the history of Islamic philosophy
many refer to the scientific tradition of the Islamic religion of the 8th century, especially to the study
of Greek texts. The mention of Islamic philosophy is not because it is based on philosophers who do
it from Islam, from the Arabs, or in terms of the object of discussion discussing the subject of Islam,
but Islam is meant to be the spirit as the spiritual value of an Islamic philosophy. This was seen in
Islamic philosophy during the phase after Ibn Rusyd with the name hikmah al-muta'aliyah pioneered
by Mulla Shadra and developed by Suhrawardi Al-Maqtul. Thus, in this study, the formulation of the
problem studied is how the existence of God in the thought of Suhrawardi and Mulla Shadra using
qualitative research methods based on a literature review approach by studying books, literature,
notes, and various reports related to the problem to be solved. As for the findings in this study, if
Suhrawardi has an Isyraq theory in his philosophy of illumination, where God according to
Suhrawardi is the light of all light capable of illuminating the universe "Nur al-Anwar" and that light
is the manifestation of infinite reality, because everything created in this universe is an infinite will
that belongs to Him. Whereas in the concept of Mulla Shadra's thought is closely related to the
makrifat of the being that exists in God, where this form is the highest essence. Because for Mulla
Shadra, maujud is not only an object of maujud, but also as an essence that cannot be limited by
various mahiyahs that give various appearances, so that maujud with various forms and each
existence is free from the other.
Keywords: Illuminati Philosophy, Suhrawardi, Mulla Shadra

Abstrak: Filsafat Islam menjadi wacana dan diskusi yang menarik di kalangan pemikir di Timur
ataupun di Barat pada abad ke-19 sampai saat ini dan dalam sejarah filsafat Islam banyak merujuk
pada tradisi ilmiah agama Islam abad ke-8, terutama pada pengkajian teks-teks Yunani. Penyebutan
filsafat Islam pun bukan karena didasari oleh filsuf yang melakukannya dari agama Islam, dari
bangsa Arab, atau dari segi objek pembahasannya membahas pokok keislaman, melainkan Islam
yang dimaksud merupakan roh sebagai nilai spiritual sebuah filsafat Islam. Hal itu terlihat dalam
filsafat Islam ketika fase setelah Ibnu Rusyd dengan sebutan hikmah al-muta’aliyah yang dipelopori
oleh Mulla Shadra dan dikembangkan oleh Suhrawardi Al-Maqtul. Sehingga, dalam penelitian ini
rumusan masalah yang dikaji ialah bagaimana eksistensi Tuhan dalam pemikiran Suhrawardi dan
Mulla Shadra dengan menggunakan metode penelitian kualitatif berbasis pada pendekatan telaah
pustaka dengan melakukan penelaahan terhadap buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan
yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan. Adapun temuan dalam penelitian ini, jika
Suhrawardi mempunyai teori Isyraq dalam filsafat iluminasinya, di mana Tuhan menurut Suhrawardi
ialah cahaya dari segala cahaya yang mampu menerangi alam semesta “Nur al-Anwar” dan cahaya
tersebut ialah wujud dari realitas yang tak terbatas, karena segala sesuatu yang tercipta di alam
semesta ini merupakan kehendak tak terbatas yang dimiliki-Nya. Sedangkan dalam konsep pemikiran
Mulla Shadra berkaitan erat dengan makrifat tentang wujud yang ada pada Tuhan, di mana wujud

223
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

ini sebagai hakikat tertinggi. Karena bagi Mulla Shadra, maujud bukanlah hanya objek maujud,
tetapi juga sebagai hakikat yang tak dapat dibatasi oleh berbagai mahiyah yang memberikan
berbagai penampakan, sehingga maujud dengan beragam wujud dan masing-masing kewujudan itu
bebas dari yang lain.
Kata Kunci: Filsafat Iluminati, Suhrawardi, Mulla Shadra

Pendahuluan
Penciptaan bumi dan langit merupakan bukti bahwa Tuhan itu Tunggal atau Esa,
bumi dan langit ada bukan karena kebetulan, tetapi diciptakan oleh Tuhan. Al-Quran yang
merupakan kitab suci agama Islam yang diturunkan oleh Tuhan kepada Nabi Muhammad,
juga telah dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 164 yang berbunyi “Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut
dengan membawa muatan yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan itu Ia hidupkan bumi setelah mati (kering), dan Ia tebarkan
di bumi itu segala jenis binatang, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara
langit dan bumi, sungguh merupakan tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan”.1
Banyak sekali bukti bahwa Tuhan itu Maha Esa dan tidak ada dua atau tiga, bahkan
manusia sendiri adalah ciptaan Yang Maha Esa. Bukti dari penciptaan manusia oleh Tuhan
merupakan bentuk dari ketiadaan selain Tuhan yang mampu menciptakan manusia, Tuhan
memberikan akal pikiran bagi manusia untuk membedakan antara manusia dengan makhluk
lainnya. Seperti yang dijelaskan dalam surah Al-Mukminun ayat 91 yang berbunyi “Allah
sekali-kali tidak mempunyai anak dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang lain beserta-Nya.
Jika terdapat Tuhan yang lain beserta-Nya, maka masing-masing Tuhan akan membawa
makhluk yang diciptakannya dan Sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan Tuhan
yang lainnya. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu”.2 Jika ada manusia yang
tidak meyakini bahwa Tuhan itu tidaklah Esa, maka pikirannya keliru. Karena jika Tuhan itu
dua, tiga atau banyak, maka bumi dan langit serta penciptaan manusia itu tidak teratur. Oleh
karena itu, Tuhan itu harus Esa sehingga Dialah yang berhak untuk mengatur penciptaan

1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahan (Bandung: CV Darus Sunnah, 2015). Al-Baqarah 164
2
RI, Al-Qur’an Terjemahan. Al-Mukminun 91

224
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

alam semesta dan manusia. Manusia yang mempunyai kemauan menggunakan akal
pikirannya untuk berpikir bagaimana penciptaan alam semesta dan isinya termasuk
penciptaan manusia, akan menemukan jawaban bahwa tidak ada yang bisa dilakukan
manusia selain meyakini bahwa Tuhan adalah pencipta segala alam semesta sebagai bentuk
dari bukti Maha Esa-Nya Tuhan.
Rasa takjub, rasa ragu, dan rasa tidak puas memang sering kali melahirkan
pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang Tuhan dari pemikiran manusia. Manusia yang tidak
puas dan ragu akan selalu mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti agar
menemukan kebenaran yang mutlak atau hakiki. Hal itu, membawa manusia untuk selalu
berpikir dan memikirkan keraguan dan ketidakpuasan tersebut, proses berpikir tersebut
dinamakan berfilsafat agar menemukan jawaban yang pasti. Filsafat sendiri lahir dari
ketidaktahuan, keraguan, ketidakpuasan, ketakjuban, dan pertanyaan-pertanyaan yang timbul
dari hal-hal tersebut dijawab oleh filsafat melalui renungan berpikir. Akan tetapi, keraguan,
ketidakpuasan, ketakjuban, dan pertanyaan-pertanyaan mengenai konsep Tuhan selalu
menjadi masalah dalam filsafat, karena berbenturan langsung dengan prinsip konsep yang
ada pada kaum agamawan yang percaya dengan doktrin turun temurun tentang konsep Tuhan
yang dianutnya.
Dalam konteks filsafat dunia Barat, banyak filsuf yang menegasikan bahwa Tuhan
itu tiada karena tak ada bentuk wujudnya, seperti Jean Paul Sartre yang memandang dunia
sebagai “being in-itself” yang abadi tanpa adanya sang pengukuh kehidupan di dunia, karena
bagi Sartre awal realitas manusia memulai dunia ini bersifat kabur. Oleh sebab itu, Sartre
menyebut realitas manusia dengan for-itself di mana manusia adalah eksistensi murni yang
memiliki kejelasan absolut dan dapat memerdekakan diri. Tentu, manusia adalah makhluk
yang merdeka karena berbeda dengan makhluk lainnya. Kemerdekaan ini bukan sebuah
hadiah, namun menjadi sebuah kutukan bagi manusia. Manusia dihukum untuk menjadi
bebas sama seperti domba yang dikutuk menjadi domba. Sejarah manusia menjadi usaha
yang sangat panjang untuk mencapai penghapusan ketidakpastian absolut manusia. Manusia
selalu mengandaikan suatu proyeksi yang fundamental yang kemudian memberikan
kenyataan imajiner kepada proyeksi fundamental, setelah itu mereka memproyeksikan ke
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

luar dunia empiris dan menyebutnya Tuhan. Sosok Tuhan menjadi proyeksi ambisi manusia
yang tidak dapat terwujud.3
Manusia harus memberikan kepada dirinya sendiri segala macam sifat yang
sebelumnya dirampas dari dirinya demi keuntungan Tuhan, dan manusia harus menjadi
Tuhan bagi dirinya sendiri.4 Namun, banyak juga filsuf Barat yang mengatakan bahwa Tuhan
itu hanya ada satu tiada duanya, seperti Spinoza yang memandang Tuhan sebagai substansi
di mana sesuatu yang terdapat hanya pada dirinya sendiri dan pikirannya sendiri serta tidak
membutuhkan konsep untuk membentuknya.5 Substansi ini berdiri sendiri dan ada oleh
dirinya tanpa mengharuskan untuk bergantung pada sesuatu yang lain dan bersifat kekal,
tidak ada limit, mutlak, tunggal, dan utuh yang hanya dimiliki oleh Tuhan. Oleh karena itu,
Tuhan menjadi satu-satunya substansi dan segala yang ada berasal dari Tuhan.6 Sebaliknya,
jika kita menelusuri khazanah filsafat dalam dunia Timur, maka kita akan menemukan
berbagai macam bukti bahwa Tuhan itu ada dan harus diyakini bahwa Dia tunggal, baik dari
sisi filsafat Konfusius, filsafat India, filsafat China, filsafat Taoisme, atau filsafat Islam. Yang
menarik adalah dari filsafat Islam, walaupun agama Islam sendiri meyakini bahwa Tuhan itu
Esa, tetapi banyak aliran filsafat Islam yang berbeda dalam cara menarik hipotesis bahkan
kesimpulan tentang Tuhan sebagai Dzat Yang Maha Esa.
Peneliti menemukan rujukan untuk dijadikan pedoman dalam menyusun penelitian
ini yang berkaitan dengan eksistensi dan hakikat Tuhan dalam pemikiran filsafat Islam. pada
penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Alif “Eksistensi Tuhan dan Problem
Epistemologi dalam Filsafat Agama” yang terbit dalam jurnal Aqlania: Jurnal Filsafat dan
Teologi Islam.7 Penulis menawarkan sebuah sikap netralitas kepada filsafat agama yang tidak
akan terpengaruh dalam kebebasan berpikir dan berfilsafat, meskipun sangat terikat dengan
suatu dogma bahwa agama sebagai realitas dan ditegaskan dalam tulisan tersebut dijelaskan

3
Ignace Lepp, Ateisme Dewasa Ini: Potret Kegagalan Manusia Modern (Yogyakarta: Shalahuddin Press,
1985).
4
Lepp, Ateisme Dewasa Ini: Potret Kegagalan Manusia Modern. hlm. 141
5
Simon Petrus L. Tjahjadi, Tuhan Para Filsuf Dan Ilmuwan Dari Descartes Sampai Whitehead (Yogyakarta:
Kanisius, 2007).
6
Supian Supian, “Argumen Eksistensi Tuhan Dalam Filsafat Barat,” TAJDID: Jurnal Ilmu Ushuluddin 15,
no. 2 (2016): 227–246.
7
Muhammad Alif, “Eksistensi Tuhan Dan Problem Epistemologi Dalam Filsafat Agama,” Aqlania 12, no. 2
(2021): 209.

226
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

bahwa agama sebagai objek material filsafat agama, dapat menjawab persoalan pembuktian
atas eksistensi Tuhan sebagai tema asasi dalam kajian Filsafat agama.
Filsafat agama atau dalam hal ini filsafat Islam menjadi wacana dan diskusi yang
menarik di kalangan pemikir di Timur ataupun di Barat pada abad ke-19 sampai saat ini.
Adam Mez, Henry Corbin, Goldziher, Hitti, H.A.R. Gibb, atau Seyyed Hossein Nasr, Fazlur
Rahman, Joel Kraemer, Oliver leaman, serta beberapa ahli filsafat Muslim yang ada di Eropa
lainnya ikut mengkaji filsafat Islam secara intens.8 Dalam sejarah filsafat Islam, filsuf Islam
merujuk pada tradisi ilmiah agama Islam abad ke-8, terutama pada pengkajian teks-teks
Yunani. Terdapat khazanah yang berharga dari temuan-temuan filsuf Islam yang selama ini
tidak diakui oleh filsuf dan pemerhati filsafat di Barat. Padahal, Islam memiliki tradisi
keilmuan yang kukuh, terutama pada abad pertengahan. Para filsuf Barat banyak mengambil
khazanah pemikiran filsafat Islam, tetapi enggan mengakui keberadaannya secara ontologis
dalam rentetan sejarah peradaban dunia.9
Dalam mengkaji dan menggali filsafat Islam, banyak sekali muatan historis dan
teologis. Secara historis, perdebatan terjadi dalam filsafat yang motifnya adalah kepentingan
bahwa orisinalitas filsafat itu berasal dari Yunani atau dari Islam yang merupakan fakta yang
tak bisa dihindarkan. Begitu pun demikian, dalam tataran teologis kita akan menemukan hal-
hal bahwa penerimaan filsafat kerap berbenturan dengan pandangan keimanan dan pemikiran
liberal yang ada pada filsafat. Padahal filsafat Islam dan agama Islam mempunyai tujuan
yang sama, yakni mencari hakikat kebenaran. Penyebutan filsafat Islam pun bukan karena
didasari oleh filsuf yang melakukannya dari agama Islam, dari bangsa Arab, atau dari segi
objek pembahasannya membahas pokok keislaman, melainkan Islam yang dimaksud
merupakan roh sebagai nilai spiritual sebuah filsafat Islam. Hal itu terlihat dalam filsafat
Islam ketika fase setelah Ibnu Rusyd dengan sebutan hikmah al-muta’aliyah yang dipelopori
oleh Mulla Shadra dan dikembangkan oleh Suhrawardi Al-Maqtul.10
Pemikiran Mulla Shadra yang dalam bangunan metafisikanya tentang wujud,
mengungkapkan bahwa seseorang yang tak melihat masalah dalam wujud berarti dirinya buta

8
Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat (Bandung:
Pustaka Setia, 2015).
9
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat. Hlm. 64
10
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat. Hlm. 7
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

terhadap permasalahan dasar metafisika. Namun, dia juga mengungkapkan bahwa


pengetahuan tentang wujud hanya didapatkan melalui proses observasi secara tajam dan
melalui pandangan intuitif dengan tiga jalan, yakni jalan wahyu, jalan ta’aqqul atau jalan
intelek, dan jalan al-burhan atau jalan pembuktian.11 Sedangkan Suhrawardi Al-Maqtul
merupakan seorang penggiat dan pengkaji tasawuf atau sufi sekaligus penggiat dan pengkaji
filsafat atau filsuf yang memiliki beberapa karya, seperti Hikmah Al-Ishraq, Risalah Fi Al-
Ishraq, dan Risalah Al-Tair yang mempunyai pengaruh dalam perkembangan bagi filsafat
Islam, Suhrawardi melahirkan filsafat iluminasi yang memberikan pandangan baru terhadap
perkembangan filsafat Islam yang sebelumnya dikuasai oleh filsafat Islam aliran paripatetik,
lahirnya filsafat iluminasi merupakan bentuk dari kritik Suhrawardi atas aliran paripatetik
yang memiliki banyak kekurangan. Suhrawardi memaparkan ajaran filsafatnya dengan cara
menggunakan perumpamaan melalui corak sastra yang merupakan ciri khas filsafat Timur,
sebagaimana seperti Konfusius, Lao Tze, Meng Tze, dan Ibnu Sina.
Pemikiran Surahwardi mengadopsi beberapa sumber yang berasal dari Persia Kuno,
Yunani Kuno pra-Aristoteles, dan Arab-Persia. Dari sumber pemikiran Persia Kuno,
Suhrawardi mengadopsi pemikiran Gayumarz, Faridun, dan Kay Khusraw. Dari sumber
pemikiran tradisi Arab-Persia atau Islam, ia mengadopsi tradisi hikmah dan ilham Nabi Syits
dan Nabi Idris a.s. sampai Zunnun Al-Misri, Abu Sahl At-Tutsari, atau Mansur Al-Hallaj.
Dari sumber pemikiran Yunani Kuno, ia mengadopsi pemikiran Hermes, Phytagoras dan
Plato.12
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil beberapa rumusan masalah dalam
penelitian ini, yakni bagaimana eksistensi Tuhan dalam pemikiran Suhrawardi dan eksistensi
Tuhan dalam pemikiran Mulla Shadra? Penelitian ini bertujuan mengkaji dua pemikiran
tokoh filsafat Islam iluminati. Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat berguna
bagi siapa pun untuk meninjau konsep eksistensi Tuhan dalam filsafat iluminati.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan berbasis pada
pendekatan telaah pustaka. Penelitian ini sepenuhnya menggunakan riset kepustakaan
(library research), yakni teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap

11
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat. Hlm. 260
12
Abdul Hadi, “Filsafat” Dalam Eksiklopedia Tematis Dunia Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002).

228
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin
dipecahkan.13 Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena permasalahan yang
diteliti cukup kompleks, maka peneliti bermaksud untuk menemukan hipotesis dan teori yang
sesuai dengan data. Waktu dan tempat penelitian berlangsung kurang lebih satu semester
yang mana data yang telah diperoleh akan dianalisis dan dikembangkan kembali. Penelitian
ini menguraikan secara detail mengenai permasalahan yang ada dalam literatur yang telah
dirujuk, kemudian mengungkapkan solusi, yakni konsep ide yang sesuai dan membuat
konklusi dari pembahasan. Metode analisis penelitian ini menggunakan analisis deskriptif
yang bermaksud menguraikan hasil dari kajian secara mendalam.

Pembahasan
Karya Pemikiran Suhrawardi
Syihabuddin Abu Al-Futuh Yahya Ibn Habasy Ibn Amirak as-Suhrawardi lahir di
sebuah desa kecil dekat Timur Laut Iran. Ia mempunyai gelar Al-Maqtul (yang dibunuh)
untuk membedakan dengan dua tokoh sufi yang bernama Suhrawardi lainnya, yaitu Abd Al-
Qadir Abu Najib Suhrawardi pendiri tarekat Suhrawardiyah dan Syihab Al-Din Abu Hafs
Umar Suhrawardi pengarang kitab Awarif al-Ma’rif.14 Tetapi, secara umum Suhrawardi Al-
Maqtul dikenal sebagai Syaikh al-Isyraq (Guru Iluminasi). Sejak kecil Suhrawardi sudah
menekuni pelajaran agama Islam, menghafal Al-Quran ketika di Maraghah dan belajar
kepada Imam Mahyuddin al-Jili tentang filsafat dan usul fikih, kemudian Suhrawardi
mengembara ke Asfahan pusat belajar terkemuka di Persia untuk menimba ilmu kepada
Syaikh Zahiruddin al-Qari dan Syaikh al-Mardini.
Setelah selesai menekuni kegiatan menimba ilmu di Asfahan, ia kemudian pergi ke
Persia untuk mendalami pengetahuan seputar sufi. Sejak saat itulah, Suhrawardi memasuki
jalan sufi dan menghabiskan hidupnya untuk pengasingan spiritual dan menenggelamkan diri
dalam zikir dan meditasi. Suhrawardi mempunyai landasan dalam berfilsafat dan sufistik
yang merujuk pada paham filsafat Platonisme, Neo Platonisme, dan penganut filsafat

13
Muhamad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998).
14
Khudori Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016).
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

Hermes.15 Suhrawardi belajar filsafat Islam dan mampu menguasai teori emanasi Al-Farabi,
tentang akal budi manusia Ibnu Sina, dan mengagumi filsafat Plato, Pythagoras, dan Hermes.
Suhrawardi meninggal saat usianya masih muda sekitar 38 tahun, akibat dijerat
hukuman mati atas perintah Sultan Salahuddin Al-ayyubi. Suhrawardi dibunuh akibat
pengaruh ajarannya yang bertentangan dengan beberapa ulama dan tuduhan ajarannya yang
menyesatkan karena bertentangan dengan akidah dalam Islam, namun validitas tuduhan ini
sangat kontroversial. Terdapat sumber yang meyakini bahwa penyebab dari pengeksekusian
Suhrawardi didasarkan atas doktrin politik yang berkaitan dengan filsafat iluminasinya,
karena terlihat dari peristiwa yang hampir bersamaan dengan gejolak konflik politik saat
itu.16
Dalam kehidupan singkatnya, Suhrawardi berhasil menulis hampir 50 karya, baik
dalam Bahasa Arab maupun Persia. Karya-karya Suhrawardi ditulis dengan gaya sastra yang
bernilai tinggi. Karyanya dapat digolongkan menjadi tiga bagian. Pertama, karya berupa
kitab induk filsafatnya, seperti Al-Hikmah al-isyraq, At-Talwihat, Al-Muqawamat, Al-
Masyari wa al-Mutarahat. Kedua, karya yang berupa risalah ringkas filsafat, seperti Hayakil
An-Nur, Al-Alwah Al-imadiyah, Partawnamah, Bustan Al-Qulub. Ketiga, karya kisah
perumpamaan, seperti Qissah Al-Gurbah Al-Garbiyyah, Risalah At-Tair, Awaz’i pari’i
Jibrail, Lugah Al-Muran, Safir’i Simurgh.17 Karya-karya Suhrawardi memperlihatkan
pandangan bahwa diskursus puitis dan sastra sama-sama menarik minat para pembaca.
Pemikiran filsafat Suhrawardi memiliki ciri khas, yakni tentang iluminasi yang
dipengaruhi oleh aliran pemikiran-pemikiran sufisme yang bersandar pada karya Al-Hallaj
dan Al-Ghazali. Karya Al-Ghazali, yakni Misykat al-Anwar sangat mempengaruhi
Suhrawardi dalam mengonsep pemikiran iluminasinya. Terdapat juga pengaruh pemikiran
filsafat Islam Ibnu Sina dan pemikiran filsafat sebelum Islam, seperti pemikiran Pythagoras,
Plato, dan Hermes yang notabene merupakan filsuf Yunani Kuno. Pemikiran Iran Kuno
khususnya hikmah dari Nabi Idris dan Nabi Nuh pun mempengaruhi filsafat iluminasinya
Suhrawardi. Dan pengaruh terakhir adalah pemikiran dari kepercayaan Zoroaster terkait

15
Rusdin Ahmad, “Konsep Isyraqy Dan Hakekat Tuhan (Studi Atas Pemikiran al-Suhrawardi al-Maqtul),”
Jurnal Hunafa 3, no. 4 (2006): 389–400.
16
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat.
17
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat. Hlm. 137

230
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

penggunaan simbol cahaya dan kegelapan. Pemikiran Suhrawardi tak hanya bersandar pada
sumber-sumber dari Islam, tetapi juga bersumber dari non-Islam.18
Dalam kajian filsafat iluminasi mempunyai arti bahwa terdapat adanya perubahan
bentuk dari kehidupan emosional menjadi pencapaian tindakan. Prinsip dasar filsafat
iluminasi, yakni dalam aktivitas mengetahui akan esensi sesuatu berarti memperoleh juga
pengetahuan yang berupa pengalaman. Pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman
tersebut, dianalisis pada saat mengetahui esensi dari aktivitas mengetahui agar menemukan
pemahaman intuitif yang total.19 Filsafat iluminasi mempunyai tiga tahap yang merujuk pada
persoalan tentang pengetahuan, dan selalu diikuti oleh empat tahap yang memaparkan
pengalaman.20 Tahap pertama ditandai dengan kegiatan meninggalkan dunia melalui
pengasingan diri dan fokus pada aktivitas beribadah untuk menerima ilham dan wahyu.
Tahap ini mengarahkan seseorang kepada tahap selanjutnya, yakni tahap iluminasi atau tahap
pencerahan ketika seseorang dapat melihat dan dapat mencapai “Cahaya Illahi” (al-nur al-
ilahi). Tahap berikutnya adalah tahap mengonstruksi suatu ilmu yang benar menggunakan
analisis diskursif yang ditandai dengan pencapaian pengetahuan tidak terbatas, yakni
pengetahuan iluminasi. Dan tahap terakhir adalah bentuk pengalaman visioner yang ditulis
ulang. Dari tahap-tahap tersebutlah Suhrawardi memperoleh hikmah al-Isyraq.
Filsafat Isyraq Suhrawardi
Untuk memulai masuk dalam pembahasan filsafat Isyraq Suhrawardi, perlu
mengerti terlebih dahulu kedudukan antara rasio dan dzauq. Suhrawardi menjelaskan bahwa
rasio sendiri merupakan kedudukan sangat penting dalam filsafat Isyraq. Namun, landasan
filsafat Isyraq tersebut bertumpu pada pengalaman spiritual atau yang bisa dirasakan oleh
intuisi hati. Dzauq dalam pengalaman spiritual memiliki arti cahaya makrifat yang
dipancarkan oleh “Al-Haqq” dengan tajali-Nya, sehingga dengan begitu barulah dapat
membedakan yang benar dan yang salah.21 Ada dua ajaran penting yang harus diketahui
dalam filsafat Isyraq, yakni pertama yang berkaitan dengan pemahaman ontologis dan yang
kedua berkaitan dengan pemahaman epistemologi. Dari dua ajaran tersebut melahirkan

18
Sayyed Hossein Nashr, Tiga Pemikir Islam (B: Risalah, 1986).
19
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat.
20
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat. Hlm. 144
21
Mehdi Hairi Yazdi, The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy (Bandung: Mizan, 1994).
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

ajaran ketiga, yakni alam mitsal, ajaran ini kemudian dikembangkan oleh Ibnu Arabi
menjadi ide tentang alam semesta.
Ajaran yang menitik beratkan pada pemahaman ontologis, menjelaskan bahwa
eksistensi adalah sesuatu yang hanya ada dalam pikiran dan tak tampak dalam realitas,
sedangkan sesuatu yang terlihat secara realitas yang nyata merupakan esensi-esensi dari
cahaya. Cahaya yang tak terlihat dan tak tampak oleh realitas inilah bentuk dari cahaya yang
paling tinggi atau cahaya murni, karena menurut Suhrawardi cahaya itu tidak ada definisinya
bahkan tidak ada sesuatu yang lebih tidak membutuhkan definisi kecuali cahaya. Sebab,
cahaya itu realitas bagi segala sesuatu yang dapat menembus setiap susunan entitas fisik
maupun non fisik.22 Dalam filsafat Isyraq Suhrawardi, cahaya itu digunakan dalam penetapan
suatu faktor yang menentukan bentuk wujud, materi, rasio, jiwa, dan tingkat intensitas
pengalaman spiritual manusia.23
Pandangan prinsipalitas esensi (ashalat al-mahiyah) menjadi landasan Surahwardi
karena sesuai dengan interpretasi dari pernyataannya tentang esensi yang mempunyai realitas
dan merupakan prinsip, sementara eksistensi hanya mempunyai peranan sampingan yang ada
dalam esensi. Bagi Surahwardi, alam semesta itu terdiri dari tingkatan cahaya dan ketiadaan
cahaya, serta tubuh hanyalah pertimbangan aspek material yang tak lebih hanya kegelapan
atau rintangan, yang menghalangi cahaya untuk menembusnya. Sangat jelas bahwa inti dari
filsafat iluminasi Suhrawardi ialah cahaya.
Suhrawardi memerdekakan manusia melalui ketiadaan cahaya atau kegelapan untuk
mencapai tingkat ilmu yang lebih terang dan tinggi. Suhrawardi menggunakan simbol cahaya
seperti penganut Zoroaster yang selalu mengaitkan simbol dengan entitas sesuatu,
penggunaan simbol tersebut merupakan perumpamaan untuk manusia yang harus tetap
merenung dan berpikir, bahwa sesungguhnya eksistensi dari Tuhan di alam semesta
merupakan hal yang realistis atau nyata yang dapat dirasakan dengan konsep penyucian jiwa,
penyucian batin, dzauq dan melalui rasio.24

22
Soleh, Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer.
23
Eko Sumadi, “Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi) Syihabudin Suhrawardi,” Fikrah: Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan 3, no. 2 (2015): 277–304.
24
Hasyim Asy’ari, “Iluminasi Suhrawardi; Kesadaran Realitas Diri ‘Keakuan’ Dalam Cahaya Murni,”
Harvard Design Magazine 46 (2018): 182–189.

232
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

Melalui perumpamaan simbol, Suhrawardi ingin menjelaskan bahwa Tuhan Yang


Maha Esa adalah Nur al-Anwar yang merupakan sumber cahaya yang ada dalam semesta.
Dari sumber cahaya Nur al-Anwar terpancarlah cahaya-cahaya lain yang memberikan
sumber penerangan alam ruh dan alam materi. Seperti halnya pandangan Al-Farabi tentang
emanasi bahwa Tuhan bukanlah sebab langsung dari penciptaan alam semesta ini, melainkan
dari akal pertama. Alam semesta ini tercipta tidak dimulai dari Tuhan, tetapi dari akal
pertama yang mempunyai potensi yang menjadi penyebab pertama. Terdapat adanya
kesamaan pandangan emanasi Al-Farabi dan iluminasi Suhrawardi yang menekankan bahwa
wujud yang sangat besar itu tercipta dari tingkatan terendah hingga ke tingkatan yang
tertinggi. Asal muasal wujud cahaya atau pancaran tersebut ialah Tuhan yang memiliki Dzat
mutlak yang mampu menciptakan segala sesuatu.
Suhrawardi mengklasifikasikan tiga kualitas cahaya yang dapat memancar dari Nur
al-Anwar, yakni pertama alam akal budi (Barzakh al-Aqli) yang mempunyai potensi akal dan
roh suci. Akal dan roh dalam diri manusia merupakan kekuasaan tertinggi yang dimiliki
manusia, dan wajib diberikan penilaian terhadap sesuatu kebaikan dan keburukan dalam
dirinya, karena manusia yang tak dapat memberikan penilaian terhadap baik atau buruk
dalam dirinya, maka ia belum mengenal dirinya dan jika belum mengenal dirinya akan sulit
untuk mengenal Tuhan-Nya. Kedua, alam rohani atau jiwa-jiwa suci (Barzakh al-Nafs), Nur
al-Anwar yang merupakan substansi dari Tuhan melekat pada roh atau jiwa yang suci, seperti
melekat pada para Nabi dan para Malaikat yang dianggap sudah dapat berhubungan langsung
dengan Sang Pencipta. Ketiga, alam ragawi (Barzakh al-Ajsam) meliputi benda yang ada
pada alam semesta atau substansi benda langit, kemudian benda hasil dari pemancaran
cahaya Nur al-Anwar tersebut ditambah dengan alam idea yang terletak di antara akal murni,
dan dari alam idea tersebut manusia mendapatkan pengalaman mistik.25
Dari perumpamaan simbol cahaya, maka cahaya yang paling tinggi adalah Nur al-
Anwar yang dimiliki oleh Tuhan, lalu cahaya tersebut memancarkan pancaran kepada cahaya
lain yang dikehendaki-Nya. Namun, jika sesuatu yang diciptakan ingin mengetahui wujud
yang menciptakan, perlu terlebih dahulu untuk memahami cahaya Nur al-Anwar tersebut

25
Ahmad, “Konsep Isyraqy Dan Hakekat Tuhan (Studi Atas Pemikiran al-Suhrawardi al-Maqtul).”
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

dengan hanya memikirkannya dan dzauq atau perenungan mengapa ia diciptakan dari Yang
Maha Pencipta.
Tuhan dalam Konsep Suhrawardi
Seluruh realitas yang tampak terlihat dengan jelas merupakan cahaya, karena
manusia selalu menjelaskan ke tidak jelasan dengan kejelasan dan tidak ada yang lebih jelas
dari cahaya. Maka, segala sesuatu yang tercipta terbuat dari cahaya dan merujuk kepada-Nya,
yakni cahaya murni. Cahaya murni itu adalah cahaya dari segala cahaya (Nur al-Anwar) yang
esensi dari cahaya-Nya selalu berkilau terang benderang dengan jelas. Cahaya murni ini
berada pada tingkatan cahaya paling tinggi yang merupakan sumber segala eksistensi. Karena
realitas cahaya yang terlihat oleh indra hanya bentuk dari tingkatan cahaya dan kegelapan
saja. Cahaya paling tinggi itu adalah Tuhan yang telah memberikan penyinaran melalui
manifestasinya kepada sesuatu yang bersifat eksistensi, dan yang telah memberikan
kehidupan dengan sinar-Nya karena segala sesuatu yang terlihat di alam semesta ini berasal
dari cahaya esensi-Nya.26
Cahaya yang mempunyai kedudukan paling tinggi membuktikan bahwa tak ada satu
pun cahaya yang dapat menandinginya karena cahaya yang paling tinggi harus ada untuk
membedakan dengan cahaya-cahaya lainnya. Tuhan sebagai cahaya paling tinggi merupakan
bukti bahwa tak ada yang lain yang dapat memberikan pencerahan selain-Nya kepada
kehidupan di alam semesta. Ketunggalan cahaya tertinggi tersebut membuktikan bahwa
dalam kehidupan di alam semesta ini, ada sesuatu yang sangat berkilau dengan jelas yang
telah memberikan penerangan kepada kehidupan umat manusia. Namun, cahaya tersebut tak
dapat terlihat karena cahaya tertinggi itu realitas yang menampakkan segala sesuatu dan
segala sesuatu tersebut memiliki tingkatannya. Untuk dapat melihat cahaya paling tinggi
diharuskan selalu percaya bahwa ada sesuatu yang menerangi alam semesta ini yang tak bisa
terlihat bahkan cahaya paling tinggi ini tak bisa didefinisikan.
Definisi Tuhan menurut Suhrawardi ialah cahaya dari segala cahaya yang mampu
menerangi alam semesta “Nur al-Anwar” dan cahaya tersebut ialah wujud dari realitas yang
tak terbatas, karena segala sesuatu yang tercipta di alam semesta ini merupakan kehendak tak

26
Sayyed Hossein Nashr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Dan Ibnu Arabi
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2020).

234
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

terbatas yang dimiliki-Nya. Nur al-Anwar merupakan bukti Esa-Nya Tuhan, karena hanya
Dialah yang mampu memancarkan cahaya tak henti-hentinya dan dari pemancaran cahaya
tersebut, maka tercipta segala sesuatu yang bersifat wujud yang terlihat oleh indra manusia.
Wujud cahaya murni ditingkat paling atas cahaya merupakan keniscayaan dan benar
adanya, karena seumpama cahaya murni bergantung pada sesuatu selain dirinya, maka
substansinya menjadi khayali atau adam (tidak ada). Sedangkan jika tak ada wujud dari
realitas yang tak terbatas, lalu siapa yang akan mengadakan sesuatu yang ada jika Dzat yang
Maha Ada tidak ada, maka mustahil yang tak terbatas atau yang Maha Ada itu terbatas dan
tak ada. Oleh karena itu, haruslah ada cahaya yang tak terbatas, dan cahaya yang ada tak
terbatas itulah Nur al-Anwar cahaya dari segala cahaya, yakni Tuhan. Dan Tuhan selalu
menunjukkan eksistensinya melalui pemberian cahaya murninya. Kebutuhan eksistensi
dengan memberikan cahaya murni untuk menerangi kegelapan merupakan prinsip pencipta,
karena itu harus ada sebagai bentuk keesaan diri-Nya.
Pandangan Suhrawardi tentang proses penciptaan alam semesta Dzat Yang Maha
Esa itu hanya memancarkan pada bentuk yang Esa. Dari hasil pemancaran tersebut
mengakibatkan terjadinya suatu emanasi pada cahaya murni pertama yang disertai dengan
suatu materi alam yang membentuk alam semesta. Cahaya murni pertama ini mendapatkan
cahaya dari segala cahaya atau Nur al-Anwar kemudian memancarkan kembali cahayanya,
Suhrawardi membuat perumpamaan cahaya murni pertama dengan cermin dan
perumpamaan cahaya segala cahaya atau Nur al-Anwar dengan matahari. Cahaya matahari
yang tak terbatas itu memancarkan cahayanya kepada cermin, lalu cermin memantulkan
cahayanya. Namun, dari pancaran cahaya yang dipantulkan cermin, pancaran cahaya cermin
tersebut berbeda dengan pancaran cahayanya matahari, karena cermin hanya menerima
perantara cahaya melalui matahari dan cermin memantulkan cahaya sesuai dengan
kemampuannya.
Proses penciptaan alam semesta sama halnya dengan proses mendapatkan cahaya
dan memancarkan cahaya. Dari setiap proses pemancaran yang dilakukan oleh Nur al-Anwar
selalu diikuti oleh suatu material yang akan membentuk alam semesta. Proses emanasi yang
dimulai dari cahaya Nur al-Anwar kepada suatu yang material di alam semesta merupakan
pengerucutan cahaya yang bentuknya terang benderang ke dalam bentuk parsial. Dari
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

pengerucutan cahaya yang hanya bisa dilakukan oleh Nur al-Anwar inilah yang merupakan
bentuk dari bukti keesaan Tuhan sebagai Sang Pencipta alam semesta.
Tidak jauh berbeda dengan filsuf Islam lainnya yang menjadi seorang tasawuf,
akhirnya dalam ajaran Suhrawardi mengarah kepada tasawuf, yang mana ia juga menjadi
seorang sufisme. Dalam sufisme sendiri, pemahaman terhadap Tuhan merupakan bentuk dari
formulasi yang mana manusia hasil dari sebuah emanasi atau Suhrawardi menyebutnya dari
hasil cahaya Nur al-Anwar. Sufisme merupakan ajaran yang menitik beratkan bahwa
manusia berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan jika telah mencapai union
mistik. Apabila manusia telah memasuki alam ketuhanan, maka yang dirasakan adalah
kenikmatan dan ketenangan batin, yang tingkatan awalnya berupa syahadat yang merupakan
pengakuan dari manusia bahwa tak ada Tuhan selain Allah. Suhrawardi membagi tingkatan
syahadat menjadi lima.27
Pertama, La illaha illa-Allah bahwa tiada Tuhan selain Allah, dari pengakuan
manusia yang meyakini bahwa Tuhan itu esa, maka ada kemungkinan kembali bersatu
dengan Tuhan. Karena keyakinan terhadap Tuhan itu esa yang mampu menciptakan alam
semesta termasuk manusia merupakan wujud dari rasa kegelapan dalam diri manusia yang
mana ketika ia percaya dan yakin bahwa Tuhan itu esa, maka dirinya akan diterangi oleh
cahaya yang sumber-Nya dari Tuhan.
Kedua, La hua illa Hua bahwa hanya Allah yang berhak disebut Dia, karena setelah
manusia meyakini ada sosok Tuhan Dzat yang Maha Esa yang dapat menyinari dan bahkan
menciptakan alam semesta yang tak ada satu pun sosok lain yang mampu menandinginya,
dan sosok Tuhan tersebut adalah Allah sebagai penyebab timbulnya segala cahaya. Maka,
manusia harus selalu menyebut nama-Nya sebagai Dzat yang Maha Segalanya. Dari Dia
manusia diciptakan lalu bisa melihat ciptaan lain-Nya yang diciptakan oleh Dia (Tuhan Allah
Yang Maha Esa).
Ketiga, La anta illa Anta bahwa hanya Allah yang berhak disebut Engkau, selain
Dia Allah Tuhan yang menciptakan alam semesta, Dia juga membuka pintu selebar-lebarnya
untuk berdialog pada ciptaan-Nya. Manusia sebagai ciptaan-Nya yang telah mengakui bahwa

27
Ahmad, “Konsep Isyraqy Dan Hakekat Tuhan (Studi Atas Pemikiran al-Suhrawardi al-Maqtul).”

236
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

hanya Allah Tuhan Yang Maha Esa pemilik alam semesta, maka hanya kepada Engkaulah
manusia berlindung, berpasrah, bermunajat, berdoa, dan berzikir, dan tak ada selain Engkau
tempat untuk melakukan itu semua.
Keempat, La Ana illa Ana bahwa hanya Allah yang berhak disebut Aku, sebagai
Aku (Allah) yang telah menciptakan seluruh ciptaannya yang ada di alam semesta termasuk
manusia, maka Aku (Allah) sajalah yang berhak menyandang Sang Pemilik dan Sang
Tunggal. Allah yang memiliki kemutlakkan, sedangkan akunya manusia akan melebur
karena manusia itu fana, ketika manusia telah fana tidak lagi ada jarak antara Tuhan dan
manusia. Setelah hanya ada Aku-Nya Allah yang telah menciptakan manusia, maka manusia
harus mengakui bahwa Dialah Allah Sang Maha Pencipta dan tak ada Aku lain yang berhak
diakui.
Kelima, Kullu syaihalikun illa wajhahu setelah manusia yang bersifatnya fana
melebur, maka akan masuk ke dalam alam Ilahiyat, dan akan tinggal bersama Dia Allah
Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini manusia akan memasuki kesatuan wujud dengan Allah
yang memiliki sifat wujud dan yang memberi wujud kepada yang diciptakan-Nya.
Dari kelima tingkatan syahadat tersebut, pemahaman Suhrawardi tentang syahadat
mengacu pada tasawuf falsafi, karena Suhrawardi sendiri dalam jalan tasawufnya selalu
menggabungkan antara hal mistis dan hal rasional. Dalam pemikiran filsafat iluminasinya,
banyak sekali mengandung ajaran tasawuf metafisika yang menggambarkan hakikat Ilahi
yang mutlak, dan menjadi arah tajalli orang-orang yang akan kembali kepada-Nya.
Penggabungan antara pemahaman tasawuf dan pemahaman filsafat membuat
tasawuf falsafi bercampur dengan ajaran filsafat di luar Islam. Ada beberapa tokoh yang
mengatakan bahwa tasawuf falsafi bukan merupakan filsafat karena ajarannya berlandaskan
pada aktivitas dzauq, tetapi bukan juga merupakan tasawuf yang murni karena ajarannya
dijelaskan melalui bahasa filsafat dan lebih mengarah pada panteisme.28 Akan tetapi,
kenyataan bahwa tasawuf yang berkembang di dunia Islam tidak bisa ditampikan sebagai
hasil dari buah pemikiran filsafat dan filsafat Islam sendiri melalui para pemikiran tokohnya
pun tak bisa ditampikan pula akan mengarah kepada tasawuf. Terdapat keterikatan antara

28
Muhammad Solihin and Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, ed. Maman Abdul Djaliel (Bandung: Pustaka Setia,
2019).
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

filsafat Islam dan tasawuf yang tak bisa dihindarkan dalam mengkaji kedua pengetahuan
tersebut.
Mulla Shadra dan Pemikirannya
Sudru Al-Din Muhammad Ibn Ibrahim Al-Syirazil Al-Qawami anak dari Ibrahim
Ibn Yahya Al-Qawami yang merupakan sosok penting di pemerintahan Persia pada saat
Dinasti Safawi. Mudra Shadra dikenal sebagai filsuf muslim yang berhasil menyatukan
antara filsafat paripatetik, filsafat iluminasi, mistisme Islam, dan tradisi Islam. Bakatnya
sudah terlihat sejak kecil saat dia memiliki rasa keingintahuan yang begitu besar. Dengan
fasilitas yang diberikan orang tuanya yang merupakan bagian dari pemerintah, membuat
Mulla Shadra dapat menguasai berbagai macam pengetahuan yang berhubungan dengan
sastra Persia dan Arab serta seni kaligrafi dalam waktu yang amat singkat. Mulla Shadra juga
dalam usia yang masih muda sudah dapat mempelajari dan menguasai matematika,
astronomi, kedokteran, ushul fiqih, hukum Islam, dan logika. Tak hanya itu, saat ia masih
muda sudah tertarik dengan filsafat khususnya dalam ilmu gnosis yang berkaitan dengan
agama dan filsafat.
Dalam memperoleh pengetahuannya, Mulla Shadra menempuh tiga tahap.29
Pertama, daur al-tilmidzah (tahap belajar). Kedua, daur al-uzlah wa al-Inqitho’ ila al-ibadah
(tahap penyucian diri dengan ibadah di perbukitan). Ketiga, daur al-ta’lif (tahap penulisan
karya). Kemudian, dalam pengetahuannya, Mulla Shadra membagi ke dalam dua jenis, yakni
pengetahuan ilmu husuli atau konseptual dan pengetahuan ilmu huduri. Bentuk pengetahuan
ini menyatu pada seorang muta’alli, yakni seorang yang telah mencapai pengetahuan puncak
yang disebut Suhrawardi sebagai al-hakimi al-muta’ali.30
Jika dikaitkan dengan teori pengetahuannya, filsafat Mulla Shadra berkaitan dengan
makrifat tentang wujud sebagai hakikat tertinggi. Karena bagi Mulla Shadra, maujud
bukanlah hanya objek maujud, tetapi juga sebagai hakikat yang tak dapat dibatasi oleh
berbagai mahiyah yang memberikan berbagai penampakan, sehingga maujud dengan
beragam wujud dan masing-masing kewujudan itu bebas dari yang lain. Mulla Shadra dalam

29
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mula Sadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).
30
Hadi, “Filsafat” Dalam Eksiklopedia Tematis Dunia Islam.

238
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

filsafatnya membahas metafisika melalui proses yang panjang, sehingga diperoleh tingkat
kesatuan maujud.31
Mulla Shadra, dalam karya filsafatnya, memformulasikan berbagai macam argumen
yang berbeda dalam menjelaskan tentang wujud Tuhan. Burhan shiddiqin menjadi argumen
yang paling terkenalnya, yang mempunyai inti bahwa segala realitas wujud makhluk secara
mutlak bergantung pada Tuhan dan segala realitas yang ada di alam selalu atas
ketergantungan-Nya dan tidak memiliki wujud mandiri. Dalam hal ini, sangat berbeda
dengan wujud Tuhan yang mandiri dan tidak bergantung pada wujud lain.
Burhan shiddiqin yang dibangun Mulla Shadra bersandar pada prinsip metafisika
yang sangat tajam. Apa yang ingin dijelaskan Mulla Shadra tentang wujud Tuhan ditegaskan
dengan persepsi bahwa secara hakiki Tuhan sebagai satu-satunya wujud yang mengadakan
dan menghadirkan segala maujud. Tuhanlah yang menjadi satu-satunya wujud yang hakiki
dan segala realitas selain-Nya merupakan manifestasi wujud-Nya. Apa yang dijelaskan oleh
Mulla Shadra tentang Tuhan dengan argumen shiddiqin merupakan buah dari perjalanan
panjang peradaban makrifat illahi manusia dan evolusi pemikiran filsafat di dunia Islam.
Puncak pemikiran Mulla Shadra mempertemukan tiga unsur, yaitu wahyu sebagai teks suci
Tuhan, filsafat, dan teologi.32
Dalam aliran filsafat Islam, wujud terbagi atas dua, yakni wujud Tuhan dan wujud
makhluk. Pandangan Mulla Shadra tentang wujud Tuhan dan wujud makhluk bahwa
makhluk hanyalah manifestasi dari wujud yang hakiki. Wujud makhluk tidak menampakkan
dirinya , melainkan menampakkan Tuhan. Makhluk merupakan manifestasi Tuhan dan
membutuhkan perantara Tuhan. Wujud Tuhan meniscaya dengan sendirinya dan tidak
terbatas serta abadi. Sedangkan wujud makhluk bergantung kepada diri-Nya dan terbatas.
Mulla Shadra dalam mengembangkan pesan-pesan filosofis yang terdapat di dalam Al-Quran
dan sunah yang dikemas dalam filsafat hikmahnya melahirkan peradaban filsafat Islam.
Mulla Shadra menyebut filsafatnya dengan al-hikmah al-mutaaliyah.33
Konsep Al-Hikmah Al-Mutaaliyah

31
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat.
32
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat. Hlm. 274
33
Hasan, Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke Barat. Hlm. 279
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

Al-hikmah al-mutaaliyah merupakan pemikiran logis yang menggabungkan


pemikiran irfani dan burhani. Dalam bahasa Arab, filsafat mempunyai makna falsafah yang
berarti hikmah. Secara etimologi al-hikmah al-mutaaliyah terdiri dari dua kata, yakni al-
hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan atau kearifan, dan al-mutaaliyah yang memiliki arti
tinggi atau puncak. Sedangkan secara terminologi al-hikmah al-mutaaliyah dapat diartikan
sebagai teosofi atau kebijaksanaan tertinggi atau puncak kebijaksanaan.34
Adapun prinsip dalam al-hikmah al-mutaaliyah meliputi; intuisi intelektual,
penalaran rasio, dan wahyu. Sehingga, ketiga prinsip terebut dapat menjadi kebijaksanaan
yang bermula pada intuisi intelektual dan dalam bentuk rasio, yang mana hal tersebut dapat
juga mengubah wujud pencerahan. Menurut Mulla Shadra dalam mengetahui kebenaran
Tuhan melalui jalan ilmu ladunni yang diiringi dengan wahyu dan sejalan dengan burhan.
Dengan penawaran konsep al-hikmah al-mutaaliyah, Mulla Shadra mencoba
menggabungkan empat pemikiran besar Islam, yakni pemikiran filosofis, pemikiran kalam,
pemikiran tasawuf, dan pemikiran iluminasi Suhrawardi.35 Dari penggabungan pengetahuan
tersebut tercipta al-hikmah al-mutaaliyah yang menjadi fondasi pemikiran Islam hingga kini.
Karena dalam filsafat Mulla Shadra menyentuh semua tema filsafat, dari pemikiran Yunani
hingga pemikiran Islam yang dikemas dengan perpaduan prinsip irfani, filsafat, dan agama
melalui pembuktian rasional yang erat dengan Al-Quran dan Sunah.
Mulla Shadra dalam al-uzul min al-kafi menjelaskan bahwa dalam memperoleh
petunjuk kebenaran tak cukup hanya bertaklid kepada agama saja, tetapi perlu diiringi dengan
penyelidikan dan penalaran, karena tak ada tempat bagi agama kecuali ucapan Nabi dan
pembuktian rasio. Akan tetapi, rasio tanpa sinar agama juga tak akan diperoleh petunjuk
kebenaran. Oleh karena itu, perlu hubungan antar keduanya.36
Wahyu yang terdapat dalam agama dan akal merupakan sebuah kesatuan dari
gambaran kemanunggalan eksistensi Tuhan. Menurut Mulla Shadra akal dan wahyu
merupakan hal yang satu dan berasal dari tempat yang satu, yakni wujud. Dalam pemikiran

34
Sholihan, “Al-Hikmah Al-Muta’Aliyyah Pemikiran Metafisika Eksistensialistik Mulla Shadra,” Ulumuna:
Journal of Islamic Studies 14, no. 1 (2010): 29.
35
Agung Gunawan, “Pemikiran Mulla Sadra Tentang Al-Hikmah Al-Muta’alliyah Dan Implikasinya
Terhadap Pendidikan,” Tsamratul Fikri 13, no. 2 (2019): 165–184.
36
Nur, Filsafat Wujud Mula Sadra.

240
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

Mulla Shadra didapatkan beberapa tema pokok yang dibahas secara khusus, salah satunya
adalah Ashalah Al-Wujud wa I’tibariyat Al-Mahiyyah.
Konsep Ashalah Al-Wujud wa I’tibariyat Al-Mahiyyah
Ashalah Al-Wujud wa I’tibariyat Al-Mahiyyah atau hakiki eksistensi dan kenisbian
entitas merupakan konsep dasar ontologis dari al-hikmah al-mutaaliyah. Eksistensi
merupakan realitas yang paling nyata dan tak ada yang dapat memberikan definisi
kepadanya. Beranjak dari eksistensi, terdapat peredaan alam pikiran dengan entitas.
Persoalan di antara wujud dan mahiyah adalah persoalan tentang ashil atau fundamentalis
ontologis, yakni persoalan manakah di antara keduanya yang benar nyata secara
fundamental. Antara wujud dan mahiyah, maka manakah yang menjadi realitas di dunia luar?
Lawan dari ashil atau fundamental adalah i’tibariyat yang artinya konsep yang tak berkaitan
secara langsung dengan realitas di luar yang konkret. Oleh karena itu, jika salah satunya
merupakan ashil atau fundamental yang lainnya i’tibariyat. Filsafat pasca Ibn Sina dalam
menghadapi persoalan tersebut terbagi dalam dua aliran, yakni aliran ashalah al-mahiyyah
yang memandang hanya ashalah mahiyah yang asli. Sedangkan wujud adalah i’tibariyat.
Dalam filsafat Islam sendiri, kata mahiyah sering digunakan dalam dua pengertian,
yakni mahiyah dalam arti khusus yang berkaitan dengan “apakah itu?” dan mahiyah dalam
arti umum yang menunjukan tentang sesuatu yang dengan sesuatu lain menjadi ada atau
merupakan realitas hakiki dari sesuatu.37 Mahiyah dalam arti umum tak berkaitan dengan
wujud, karena wujud merupakan mahiyah dalam arti ini. Sedangkan mahiyah dalam arti
khusus berbeda dari wujud, karena bekaitan dengan suatu konsep di dalam pemikiran, dan
mahiyah dalam pengertian ini yang dipandang Mulla Shadra sebagai sesuatu yang
mempunyai sifat i’tibariyat dan menyatakan wujud sebagai suatu yang fundamental atau
ashli. Konsep ashalah al-wujud ini yang menjadi fondasi struktur filsafat Mulla Shadra dan
menjadi bangunan sistem metafisikanya.
Mulla shadra memperjuangkan prinsip ashalah al-wujud dalam metafisika, di mana
terdapat penentangan yang menyatakan bahwa wujud tak mempunyai kaitan dengan realitas
di dunia luar, sebaliknya tak ada yang nyata kecuali wujud. Karena wujud adalah satu-

37
Nashr, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Dan Ibnu Arabi.
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

satunya yang nyata dan tak bisa ditangkap oleh pikiran yang hanya memahami mahiyah.
Sebab mahiyah muncul di alam pikiran. Lebih jauh, Mulla Shadra menjelaskan bahwa wujud
merupakan suatu yang sifatnya fundamental pada setiap yang ada dan merupakan realitas
dari segala sesuatu yang selain dari itu hanyalah bentuk refelksi. Wujud juga merupakan
suatu yang jelas, sedangkan mahiyah mempunyai sifat tak menentu. Karena mahiyah tak ada
pada diri mereka, dan yang mereka miliki itu hanya karena kebersamaan mereka dengan
wujud. Sementara itu, wujud merupakan nyata itu sendiri, karena mereka adalah hubungan
dari realitas yang absolut.38
Mahiyah dalam realitas eksternal sama sekali tak ada dan yang ada hanya salah satu
dari bentuk wujud. Wujud hari dalam pikiran dan pikiran itu sendiri yang mengabstraksikan
sebagai mahiyah, sedangkan wujud selain dengan intuisi, maka mereka terlepas darinya. Dan
pikiran yang menganggap mahiyah sebagai wujud merupakan suatu aksiden yang mana suatu
yang bertempat karena bertempatnya sesuatu yang lain yang merupakan substansi. Sifat dari
aksiden tidak memiliki esensi. Sangat jelas bahwa Mulla Shadra menegaskan mahiyah
sebagai konsep yang dapat dimengerti, yakni yang dapat dipahami oleh pemikiran secara
subjektif berasal dari wujud tertentu yang tak lain determinasi dari wujud yang hakiki.
Dengan demikian, menurut Mulla Shadra mahiyah merupakan unsur yang mengalami
perubahan dari realitas yang hakiki, dan perubahan tersebut adalah petunjuk Tuhan yang
melalui ilumininasi spiritual. Mulla Shadra telah berhasil menggabungkan kedua aspek
spiritual, yakni pemikiran analitik rasional dengan pengalaman intuitif secara langsung.
Adapun argumen yang menguatkan ashalah al-wujud wa i’tibariyat, meliputi;
Pertama, entitas sebagai entitas bukan sesuatu selain dirinya yang berada dalam
persamaan antara eksistensi dan bukan eksistensi. Ketika entitas keluar pada tingkat
eksistensi bukan melalui perantara eksistensi, maka akan terjadi perubahan substansial yang
ada pada hakikat entitas dan tak mungkin terjadi, karena satu-satunya hakikat yang dapat
mengeluarkan entitas pada tingkat eksistensi hanya eksistensi itu sendiri.
Kedua, esensi sebagai sumber perbedaan karena setiap esensi selalu berbeda dengan
esensi lainnya. Artinya masing-masing dari esensi tak memiliki suatu kesatuan yang sama.

38
Dhiauddin, “Aliran Filsafat Islam (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah),” Jurnal Studi KeIslaman Nizham 1, no. 1
(2013): 58.

242
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

Jika tak ada suatu realitas yang menyatukan perbedaan tersebut, maka tak ada proposisi yang
menjadi predikat suatu esensi kepada esensi lainnya. Karena itu, diperlakukan suatu realitas
dasar untuk menggabungkan berbagai macam esensi tersebut, dan realitas tersebut
merupakan eksistensi.
Ketiga, entitas eksistensi dengan eksistensi eksternal memiliki implikasi efek dan
pada yang bersamaan eksistensi juga pada eksistensi mental yang tidak memiliki implikasi
efek sebagaimana entitas eksternal. Jika yang nyata dan hakiki adalah entitas, sudah barang
pasti menimbulkan efek yang sama pada kedua keadaan tersebut dan tak akan terjadi
perbedaan. Oleh karenanya, eksistensilah yang nyata dan hakiki.
Keempat, entitas netral dalam keadaannya, baik antara entitas maupun kelemahan,
prioritas, dan posterioritas. Akan tetapi, pada realitas eksternal terdapat adanya sebab akibat.
Jika bukan eksistensi yang nyata dan hakiki, maka perbedaan atribut tersebut kembali pada
entitas yang mana padahal entitas sifatnya netral. Dengan demikian, jelas bahwa
eksistensilah yang bersifat nyata dan hakiki.
Dan terakhir, sebagai jawaban dari pemikir sebelumnya, yakni Suhrawardi. Mulla
Shadra menjelaskan bahwa eksistensi tak akan menyebabkan rangkaian tiada akhir. Dengan
argumen tersebutlah, Mulla Shadra memperlihatkan pandangan tentang ashalah al-wujud wa
i’tibariyat al-mahiyyah.39

Penutup
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan terdapat perbedaan pemikiran
antara Suhrawardi dan Mulla Shadra, meskipun kedua tokoh tersebut sama-sama hendak
keluar dari pemahaman filsafat paripatetik. Suhrawardi mempunyai teori Isyraq dalam
filsafat iluminasinya, Tuhan menurut Suhrawardi ialah cahaya dari segala cahaya yang
mampu menerangi alam semesta “Nur al-Anwar” dan cahaya tersebut ialah wujud dari
realitas yang tak terbatas, karena segala sesuatu yang tercipta di alam semesta ini merupakan
kehendak tak terbatas yang dimiliki-Nya. Nur al-Anwar merupakan bukti Esa-Nya Tuhan,
karena hanya Dialah yang mampu memancarkan cahaya tak henti-hentinya dan dari
pemancaran cahaya tersebut, maka tercipta segala sesuatu yang bersifat wujud yang terlihat
oleh indra manusia. Sedangkan jika tak ada wujud dari realitas yang tak terbatas, lalu siapa
yang akan mengadakan sesuatu yang ada jika Dzat yang Maha Ada tidak ada, maka mustahil
yang tak terbatas atau yang Maha Ada itu terbatas dan tak ada. Oleh karena itu, haruslah ada

39
Khalid Al-Walid, Tasawuf Mulla Shadra (Bandung: Muttahari Press, 2005).
Hery Prasetyo Laoli; Eksistensi Tuhan Dalam Pandangan Suhrawardi dan Mulla Shadra.

cahaya yang tak terbatas, dan cahaya yang ada tak terbatas itulah Nur al-Anwar cahaya dari
segala cahaya, yakni Tuhan. Apabila manusia telah memasuki alam ketuhanan, maka yang
dirasakan adalah kenikmatan dan ketenangan batin, yang tingkatan awalnya berupa syahadat
yang merupakan pengakuan dari manusia bahwa tak ada Tuhan selain Allah. Karena
keyakinan terhadap Tuhan itu esa yang mampu menciptakan alam semesta termasuk
manusia, ketika manusia percaya dan yakin bahwa Tuhan itu esa, maka dirinya akan diterangi
oleh cahaya yang sumber-Nya dari Tuhan.
Sedangkan filsafat Mulla Shadra berkaitan dengan makrifat tentang wujud sebagai
hakikat tertinggi. Karena bagi Mulla Shadra, maujud bukanlah hanya objek maujud, tetapi
juga sebagai hakikat yang tak dapat dibatasi oleh berbagai mahiyah yang memberikan
berbagai penampakan, sehingga maujud dengan beragam wujud dan masing-masing
kewujudan itu bebas dari yang lain. Mulla Shadra dalam filsafatnya membahas metafisika
melalui proses yang panjang, sehingga diperoleh tingkat kesatuan maujud. Mulla Shadra
dalam mengembangkan pesan-pesan filosofis yang terdapat di dalam Al-Quran dan sunah
yang dikemas dalam filsafat hikmahnya melahirkan peradaban filsafat Islam. Mulla Shadra
menyebut filsafatnya dengan al-hikmah al-mutaaliyah. Dengan penawaran konsep al-hikmah
al-mutaaliyah, Mulla Shadra mencoba menggabungkan empat pemikiran besar Islam, yakni
pemikiran filosofis, pemikiran kalam, pemikiran tasawuf, dan pemikiran iluminasi
Suhrawardi. Salah satu tema pokok dalam al-himah al-mutaaliyah adalah Ashalah Al-Wujud
wa I’tibariyat Al-Mahiyyah. Dan dalam hal tersebut Mulla Shadra menjelaskan bahwa
eksistensi merupakan realitas yang paling nyata dan tak ada yang dapat memberikan definisi
kepadanya. Mulla Shadra menjelaskan bahwa eksistensi tak akan menyebabkan rangkaian
tiada akhir.

Daftar Pustaka
Ahmad, Rusdin. “Konsep Isyraqy Dan Hakekat Tuhan (Studi Atas Pemikiran al-
Suhrawardi al-Maqtul).” Jurnal Hunafa 3, no. 4 (2006): 389–400.

Alif, Muhammad. “Eksistensi Tuhan Dan Problem Epistemologi Dalam Filsafat Agama.”
Aqlania 12, no. 2 (2021): 209.

Al-Walid, Khalid. Tasawuf Mulla Shadra. Bandung: Muttahari Press, 2005.

Dhiauddin. “Aliran Filsafat Islam (Al-Hikmah Al-Muta’aliyah).” Jurnal Studi KeIslaman


Nizham 1, no. 1 (2013): 58.

Gunawan, Agung. “Pemikiran Mulla Sadra Tentang Al-Hikmah Al-Muta’alliyah Dan


Implikasinya Terhadap Pendidikan.” Tsamratul Fikri 13, no. 2 (2019): 165–184.

Hadi, Abdul. “Filsafat” Dalam Eksiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2002.

244
Aqlania: Jurnal Filsafat dan Teologi Islam, Vol. 13 No. 2 (Juli-Desember) 2022, p. 221-239.

Hasan, Mustofa. Sejarah Filsafat Islam: Genealogis Dan Transmisi Filsafat Timur Ke
Barat. Bandung: Pustaka Setia, 2015.

Hasyim Asy’ari. “Iluminasi Suhrawardi; Kesadaran Realitas Diri ‘Keakuan’ Dalam Cahaya
Murni.” Harvard Design Magazine 46 (2018): 182–189.

Lepp, Ignace. Ateisme Dewasa Ini: Potret Kegagalan Manusia Modern. Yogyakarta:
Shalahuddin Press, 1985.

Nashr, Sayyed Hossein. Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, Dan
Ibnu Arabi. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.

———. Tiga Pemikir Islam. B: Risalah, 1986.

Nazir, Muhamad. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Nur, Syaifan. Filsafat Wujud Mula Sadra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

RI, Departemen Agama. Al-Qur’an Terjemahan. Bandung: CV Darus Sunnah, 2015.

Sholihan. “Al-Hikmah Al-Muta’Aliyyah Pemikiran Metafisika Eksistensialistik Mulla


Shadra.” Ulumuna: Journal of Islamic Studies 14, no. 1 (2010): 29.

Soleh, Khudori. Filsafat Islam: Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016.

Solihin, Muhammad, and Rosihon Anwar. Ilmu Tasawuf. Edited by Maman Abdul Djaliel.
Bandung: Pustaka Setia, 2019.

Sumadi, Eko. “Teori Pengetahuan Isyraqiyyah (Iluminasi) Syihabudin Suhrawardi.”


Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan 3, no. 2 (2015): 277–304.

Supian, Supian. “Argumen Eksistensi Tuhan Dalam Filsafat Barat.” TAJDID: Jurnal Ilmu
Ushuluddin 15, no. 2 (2016): 227–246.

Tjahjadi, Simon Petrus L. Tuhan Para Filsuf Dan Ilmuwan Dari Descartes Sampai
Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 2007.

Yazdi, Mehdi Hairi. The Principle of Epistemology in Islamic Philosophy. Bandung:


Mizan, 1994.

You might also like