Professional Documents
Culture Documents
Hcsa Report BH PT Akl
Hcsa Report BH PT Akl
1
7.8 Forest inventory results 54
8. Patch Analysis and Final Draft ICLUP Result 56
8.1 Results of Decision Tree and First Draft ICLUP 56
8.2 Summary of results of pre-RBA, RBA and any final verification and consultation. 66
8.3 Final Draft ICLUP 67
9. Forest Conservation Management and Monitoring 68
9.1 Overview of forest conservation management and monitoring activities to be
included in the Conservation and Development (land use) Plan 68
9.2 List of activities still to be carried out before Conservation and Development
Plan can be finalised 68
2|Page
1. Project description
1.1 Location and size of study area
Penilaian HCSA (High Carbon Stock Approach) dilakukan pada areal Izin Lokasi PT Agro Kati
Lama (PT AKL). Areal Izin Lokasi PT AKL terletak di administrasi Kecamatan Muara Beliti dan
Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut, Kabupaten Musi Rawas, Provinsi Sumatera Selatan
(Gambar 1). Berdasarkan letak geografis, areal Izin Lokasi PT AKL terletak pada 3° 15' 8.5" -
3° 25' 1.9" Lintang Selatan dan 102° 58' 18.3" - 103° 2' 54.7" Bujur Timur, yang berbatasan
dengan:
Sebelah Utara : Kebun karet campuran, jalan desa, dan pusat Kecamatan Muara Beliti
Sebelah Timur : Sungai Batang Saling
Sebelah Selatan : Kebun karet campuran dan Kecamatan Saling
Sebelah Barat : Desa Durian Remuk dan jalan desa
Luas areal Izin Lokasi PT AKL berdasarkan dokumen Surat Keputusan (SK) Izin Lokasi adalah
7.568 ha, sedangkan luas konsesi PT AKL berdasarkan analisis GIS adalah 7.569,0 ha1. Luas
area berdasarkan analisis GIS digunakan sebagai variabel perhitungan dalam penilaian ini,
agar konsisten dengan data spasial yang digunakan. Selanjutnya dalam dokumen ini, areal
Izin Lokasi PT AKL disebut dengan “areal kajian” dan wilayah di sekitar areal Izin Lokasi PT
AKL yang diikutsertakan sebagai bagian lanskap yang dikaji disebut dengan “areal lanskap”2.
1
Perbedaan luas berdasarkan analisis GIS dan dokumen Izin Lokasi biasa terjadi, hal ini dikarenakan proses digitasi dan/atau
proyeksi area dari peta fisik menjadi data digital.
2
Penjelasan mengenai areal lanskap sesuai bidang sosial, NKT/HCV, Inventarisasi Vegetasi, dan patch anaylsis akan dijelaskan
pada masing-masing sub-bab.
3
1.2 Overview of proposed plantation development
PT AKL memperoleh Izin Lokasi pada tahun 2011 dengan total luas areal 10.500 ha sesuai
dengan Surat Keputusan Bupati Musi Rawas nomor 49 tahun 2011. Selanjutnya, PT AKL
memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) untuk komoditi kelapa sawit dengan total luas areal
10.500 ha sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Musi Rawas nomor 423 tahun 2012.
Pada tanggal 22 Juli 2014, PT AKL memperoleh perpanjangan Izin Lokasi Pembangunan
Perkebunan Kelapa Sawit dengan total luas areal 7.568 ha sesuai dengan Surat Keputusan
Bupati Musi Rawas nomor 520 tahun 2014. Selanjutnya, PT AKL melaporkan Progres
Perolehan Lahan melalui Surat nomor KLEE/OUT/-/001 pada tahun 2015 kepada Bupati Musi
Rawas dan mendapatkan balasan berupa Surat Aktifitas terhadap Pelaksanaan Izin Lokasi PT
AKL nomor 050/372/-/2015 oleh Bupati Musi Rawas yang meminta untuk segera
mengajukan hak atas tanah tersebut ke Badan Pertanahan Nasional guna memperoleh Hak
Guna Usaha (HGU). Saat penilaian ini dilakukan, PT AKL sedang mengajukan Hak Guna Usaha
(HGU) kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Klaim kepemilikan lahan oleh masyarakat tempatan di areal kajian teridentifikasi secara
individu atau perseorangan, tidak ditemukan klaim kepemilikan lahan secara komunal atau
penguasaan secara adat dan/atau desa. Pada saat penilaian dilakukan, PT AKL telah
melakukan ganti rugi tanam tumbuh (GRTT)3 kepada masyarakat tempatan seluas 5.767,38
ha (sesuai dengan dokumen GRTT dan Surat Progres Perolehan Lahan Nomor KLEE/OUT/--
/001). Periode GRTT dilakukan pada tahun 2012-2015.
Areal kajian dan sekitarnya merupakan wilyah yang sudah berkembang dilihat dari konteks
pemanfaatan sumber daya lahan. Hampir seluruh wilayah ini merupakan lahan perkebunan
kelapa sawit dan karet yang dikelola oleh masyarakat maupun perusahaan. Aksesibilitas
sudah terbuka dengan jaringan jalan baik menuju ke permukiman maupun menuju pusat kota
Muara Beliti (ibu kota Kabupaten Musi Rawas) dan menuju pusat kota Lubuk Linggau. Jarak
areal kajian ke pusat kota Muara Beliti yaitu 1.7 km dan ke pusat kota Lubuk Linggau yaitu 18
km, dapat disimpulkan bahwa areal kajian bukan merupakan daerah yang terisolir.
Demografi | Areal kajian berada di wilayah administrasi Kecamatan Muara Beliti dan
Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut. Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut merupakan
kecamatan pemekaran dari Kecamatan Muara Beliti. Berdasarkan batas desa, areal kajian
berada di 8 wilayah administrasi desa/kelurahan yaitu kelurahan Pasar Muara Beliti, desa
Durian Remuk, desa Rantau Bingin, desa Muara Kati Baru II, desa Muara Kati Lama, desa
Rantau Serik, desa Batu Bandung, dan desa Kebur (Tabel 1). Luas wilayah adminstrasi desa-
desa/kelurahan tersebut yaitu 254,02 km2 atau 2.4% dari luas Kabupaten Musi Rawas. Desa-
desa/kelurahan tersebut masih didominasi masyarakat tempatan serta masyarakat
pendatang dari Sumatera Barat (Orang Padang) dan Jawa (berdekatan dengan UPT
transmigrasi).
Jumlah penduduk dari 8 desa/kelurahan tersebut yaitu 14.457 jiwa yang terdiri dari 4.080
kepala keluarga (KK), dan 2.506 KK diantaranya memiliki mata pencaharian sebagai petani
karet dan kelapa sawit.
3
Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) adalah istilah yang digunakan dalam proses kompensasi atas lahan yang bersifat formal. Hak
atas lahan yang bersifat formal didefinisikan sebagai hak bukti penguasaan lahan berupa legalitas (Surat Keterangan Tanah -
SKT) dan/atau bukti fisik tanam tumbuh diatas lahan tersebut.
4|Page
Tabel 1. Demografi desa/kelurahan di dalam dan sekitar areal kajian
Keluarga
Kabupaten/Kecamatan / Desa Luas (km2) Penduduk (Jiwa)
KK Petani (%)
Kab. Musi Rawas 6.357,17 389.239 121.134 116.584 52,9
Kec. Muara Beliti*) 175,62 1,5% 24.974 6,7% 5.867 3.221 22,7
Kel. Pasar Muara Beliti 13,89 2,5% 4.986 5,8% 1.194 681 52,6
Desa Durian Remuk 47,25 4,7% 1.873 5,4% 455 210 24,8
Jumlah (i) 61,14 7.2% 6.859 11,2% 1.649 891 94,6
Kec. Tiang Pumpung Kepungut*) 326,42 3,3% 11.988 4,7% 4.219 2.540 81,7
Desa Rantau Bingin 13,13 1,3% 1.799 5,2% 539 364 71,7
Desa Muara Kati Baru II 25,23 2,5% 533 2,2% 225 145 84,8
Desa Muara Kati Lama 35,60 3,5% 1.304 4,2% 495 278 80,2
Desa Rantau Serik 37,19 3,8% 1.388 4,4% 608 478 70,7
Desa Batu Bandung 30,17 3,0% 579 2,3% 246 115 82,4
Desa Kebur 51,56 5,5% 1.995 5,5% 318 235 86,5
Jumlah (ii) 192,88 19,6 % 7.598 23,8% 2.431 1.615 80,8
Total (i+ii) 254,02 2,4 % 14.457 4,0% 4.080 2.506 56,5
Keterangan: *) Persentase dari tingkat kabupaten
Sumber: Statistik Kecamatan Muara Beliti dan Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut Dalam Angka 2018, BPS Kabupaten Musi
Rawas.
Dalam konteks nasional, berdasarkan Peta Penetapan Kawasan Hutan, areal kajian terletak
diluar areal Kawasan hutan (Gambar 2). Berdasarkan Peta Indikatif Penghentian Pemberian
Izin Baru Revisi XV (PIPPIB), areal kajian terletak diluar areal gambut dan hutan primer
(Gambar 3), dan berdasarkan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut, areal kajian terletak diluar
areal kesatuan hidrologis gambut (Gambar 4).
Dalam konteks regional, berdasarkan peraturan daerah Provinsi Sumatera Selatan tentang
RTRWP, areal kajian berada pada Kawasan Perkebunan dan Kawasan Permukiman (Gambar
5). Jika dilihat berdasarkan luasan, total Kawasan Perkebunan adalah 6,403.3 ha atau 85%
dari luas areal kajian, sedangkan total Kawasan Permukiman adalah 1,165.7 ha atau 15%
dari luas areal kajian.
4
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 8088/MENLHK-PKTL/KUH/PLA.2/11/2018
5
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 8599/MENLHK-PKTL/IPSDH/PLA.1/12/2018
6
Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.130 Tahun 2017
7
Peta RTRWP Sumatera Selatan Tahun 2016-2036 (Perda Prov.Sumatera Selatan Nomor 11 Tahun 2016)
5|Page
Jarak sebaran area harimau dan gajah terdekat dengan areal kajian adalah 11 km sebelah
Barat Daya dan 30 km sebelah Timur. Menurut peta IFL, seluruh areal kajian berada diluar IFL,
area IFL terdekat sekitar 31 km sebelah Barat dari areal kajian (Gambar 7).
Berdasarkan citra satelit Sentinel-2A (Gambar 8) dan hasil verifikasi lapangan, areal kajian
didominasi tutupan lahan kelapa sawit dan kebun karet campuran. namun demikian, masih
ditemukan tutupan hutan lahan sekunder kerapatan rendah8 di sempadan sungai Semi dan
sungai Tengah. Pada areal lanskap masih ditemukan tutupan hutan lahan rendah sekunder
kerapatan rendah di sempadan sungai Beliti. Sebagian besar tutupan hutan lahan rendah
sekunder kerapatan rendah dijumpai di sempadan sungai, hal ini dikarenakan area hutan di
sempadan sungai harus di jaga sebagai tanggul alami pengendali banjir9.
Hilangnya tutupan lahan dengan vegetasi alami dikarenakan aktifitas pembakaran lahan oleh
untuk berkebun/berladang yang dilakukan oleh masyarakat tempatan, hal tersebut dilakukan
turun temurun dan kebun karet merupakan sumber pendapatan utama dari masyarakat
tempatan. selain itu, hilangnya tutupan lahan tersebut dikarenakan pemenuhan kebutuhan
kayu untuk pembangunan rumah yang diambil dari hutan yang ada di sekitar desa.
8 Tutupan lahan hasil verfiksi lapangan dan padanannya menurut SNI 7645-1:2014 Klasifikasi penutup lahan – Bagian 1: Skala
kecil dan menengah
9
Menurut pak Doddy Irdiawan, Camat Muara Beliti
6|Page
Gambar 3. Peta indikatif penghentian pemberian izin baru revisi XV di sekitar areal kajian
7|Page
Gambar 5. Peta RTRWP Sumatera Selatan terhadap areal kajian
Gambar 6. Peta area penting menurut fungsi dan nilai biodiversity terhadap areal kajian
8|Page
Gambar 7. Peta intact forest landscape terhadap areal kajian
9|Page
1.4 List of any reports/assessments used in the HCSA assessment
PT AKL telah melakukan kajian untuk memenuhi New Planting Procedure (NPP) RSPO10, yaitu:
• Laporan Amdal (Envionment Impact Assessment)
• Laporan Penilaian Nilai Konservasi Tinggi (NKT)
• Laporan Social Impact Assessment (SIA)
• Land Use Changes Analysis (LUCA)
• Verifikasi FPIC
Penilaian HCSA dilaksanakan oleh Tim Kompassia (PT Kompassia Enviro Institute). Jumlah tim
penilaian HCSA adalah 10 orang. Komposisi tim dan keahlian disajikan pada Tabel 2.
10
PT AKL telah mendapatkan Notification of Proposed New Planting RSPO pada tanggal 9 Maret 2012
11
http://highcarbonstock.org/hcs-approach-quality-review-process/hcs-approach-registered-organisations/
12
Assesor License HCVRN (ALS15024BS)
10 | P a g e
Relevant Country
Name Role Relevant expertise/ experience and language
experience
FPIC, sosial budaya, pemetaan partisipatif Bahasa: Indonesia
dan Inggris
Fadhli FPIC dan pemetaan Memulai karir sejak tahun 2012 pada bidang Negara: Indonesia
partisipatif Sosial ekonomi, dampak sosial, verifikasi Bahasa: Indonesia
FPIC, sosial budaya, pemetaan partisipatif
Wibowo Agung Keanekaragaman hayati Memulai karir sejak tahun 2006 pada bidang Negara: Indonesia
Djatmiko dan fauna Identifikasi flora dan fauna, lanskap ekologi, dan Malaysia
konservasi satwa liar, pengelolaan ekosistem Bahasa: Indonesia
dan Inggris
Keterangan: Tim penilaian HCSA ini dibantu oleh masyarakat lokal, staff dan karyawan perusahaan yang bertugas sebagai
pemandu pada saat kegiatan survei lapangan dan kunjungan desa.
11 | P a g e
3. Summary of Impact Assessments
3.1 Summary of Social Impact Assessment
Rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit PT AKL memiliki dampak negatif dan positif
bagi masyarakat tempatan. Sumber dampak negatif yang berpotensi terjadi akibat
pembangunan perkebunan PT AKL yaitu berkurangnya cadangan lahan masyarakat dan
penentuan harga kompensasi lahan. Lahan yang dibebaskan oleh PT AKL merupakan lahan
masyarakat untuk kegiatan perkebunan dan perladangan sehingga masyarakat menuntut
dengan harga kompensasi lahan yang relatif tinggi, hal ini dapat menimbulkan potensi
masalah. Namun demikian, PT AKL memiliki standar harga untuk pembebasan lahan dan
dilakukan secara transparan, dan perusahaan tidak memaksa untuk masyarakat melepas
lahannya.
Dampak negatif dari pembangunan perkebunan PT AKL dapat dikompensasi dengan dampak
positif dari peningkatan human capital, social capital, financial capital dan natural capital.
Dampak positif utama yaitu adanya penyerapan tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja diawal
pembangunan perkebunan PT AKL cenderung masih kecil, namun seiring berkembangnya
pembangunan perkebunan PT AKL dengan keragaman bidang pekerjaan akan meningkatkan
potensi penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut akan mendorong meningkatnya financial
capital masyarakat tempatan. Sumber dampak positif lainnya yaitu rencana pembangunan
kebun kemitraan dengan masyarakat di areal kajian melalui koperasi. Realisasi dampak
positif ini tentunya akan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Dokumen tersebut mencakup semua tahap pembangunan perkebunan kelapa sawit dan karet
serta pabrik kelapa sawit, mulai dari tahap pra-konstruksi, konstruksi, dan operasi dengan
rincian sebagai berikut:
• Tahap pra-konstruksi terdiri dari, (1) Pengurusan izin; (2) Sosialisasi rencana
pelaksanaan; (3). Pemetaan Kepemilikan Lahan dan Pembebasan Lahan; (4)
Inventarisasi Calon Anggota Petani Plasma;
• Tahap konstruksi terdiri dari (1), Mobilisasi Peralatan dan Material, (2), Penerimaan
Tenaga Kerja Konstruksi, (3) Pembangunan Sarana dan Prasarana Kebun, (4)
Pembukaan Lahan dan Pembibitan, (5) Penanaman Kelapa Sawit. Serta (6)
Pembangunan Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit, (7) Pembangunan Perkebunan Karet
serta (8) Pelepasan Tenaga kerja Konstruksi
• Tahap Operasi terdiri dari (1) Penerimaan Tenaga Kerja Operasi; (2) Pemeliharaan
Tanaman Belum Menghasilkan; (3) Pemanenan Hasil, (4) Pengolahan dan Pengangkutan
Hasil yang terdiri dari, Pengohan hasil TBS, Proses Pengolahan Limbah, dan
pengangkutan
12 | P a g e
Dari semua tahapan tersebut, terdapat potensi dampak yang akan timbul pada kegiatan
pembangunan perkebunan kelapa sawit dan karet serta pabrik kelapa sawit, yaitu:
Dari semua dampak yang timbul dilakukan rencana pengelolaan dan pemantauan sesuai
dengan peraturan dan konten yang relevan seperti mengidentifikasi dampak lingkungan yang
signifikan, mengelola sumber dampak lingkungan (kegiatan, lokasi dan periode pengelolaan
lingkungan), dan menilai indikator keberhasilan dalam pengelolaan dampak lingkungan.
Pelaksanaan FPIC Assessment mengacu pada dokumen Free, Prior and Informed Consent:
Guide for RSPO members (2015), yang menunjukan tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan
dengan bagan alir (flowchart) dalam proses pelibatan masyarakat untuk memperoleh
persetujuan yang sejalan dengan persyaratan standar RSPO.
PT AKL mendapatkan izin lokasi pada tahun 2011 dan telah melakukan serangkaian kegiatan
atas pembangunan perkebunan kelapa sawit melalui prinsip FPIC, seperti:
2. Komitmen untuk menunda atau menghentikan pembukaan atau persiapan lahan apa
pun sampai penilaian NKT selesai dilaksanakan
13 | P a g e
PT AKL sebagai anak perusahaan dari SIPEF group memiliki kebijakan yang tertulis dalam
‘SIPEF RESPONSIBLE PLANTATIONS POLICY’ juga menyatakan: “Responsible development of
new operations” atau bertanggung jawab untuk pengembangan operasi untuk pembangunan
perkebunan baru. Lebih spesifik menyatakan pembangunan perkebunan baru harus melalui
mekanisme New Planting Procedure (NPP) RSPO.
3. Menunjukkan hak hukum atas izin lokasi baru (Area of Interest)
PT AKL telah mendapatkan izin lokasi No. 49/KPTS/BPM-PTP/2011 ditandatangani oleh
Bupati Musi Rawas tanggal 18 Juli 2011 dengan luasan perkebunan sawit 10,500 ha yang
secara administrasi pemerintahan terletak di (I) Kecamatan Muara Beliti dengan (1)
Kelurahan Pasar Muara Beliti dan (2) Desa Durian Remuk, (II) Kecamatan Tiang Pumpung
Kepungut dengan (3) Desa Rantau Bingin, (4) Desa Muara Kati Baru II, (5) Desa Muara Kati
Lama, (6) Desa Batu Bandung, (7) Desa Kebur dan (8) Desa Rantau Serik. Perpanjangan izin
lokasi No. 520/KPTS/BPM-PTP/2014 ditandatangani oleh Bupati Musi Rawas tanggal 22 Juli
2014 dengan berkurangnya luasan menjadi 7.568 Ha.
Perizinan lain yang relevan antara lain: (a) SIUP No. 24/06-12/SIUP/IX/2011 tanggal 17
September 2011, (b) KA-ANDAL No. 76/KPTS/BLHD/2012 tanggal 26 Januari 2012 beserta
ANDAL, RKL dan RPL Tahun 2012 yang telah disetujui Pemerintah Daerah Kabupaten Musi
Rawas sesuai Keputusan Bupati Musi No.352/KPTS/BLHD/2012 dan (c) Izin Usaha
Perkebunan (IUP) tanggal 21 Februari 2012
4. Proses FPIC / Padiatapa telah dilakukan dengan informasi lengkap tentang rencana
pembangunan kepada semua masyarakat dan pemangku kepentingan yang berpotensi
terkena dampak, dan proses negosiasi serta persetujuan ke depan telah disepakati
dengan perwakilan yang ditunjuk melalui proses yang adil
PT AKL telah melakukan serangkaian proses sosialisasi di tingkat Pemerintah Daerah,
Kecamatan dan Desa untuk rencana pembangunan dan pengelolaan perkebunan kelapa
sawit. PT AKL juga telah melakukan serangkaian kajian, antara lain: (1) Nilai Konservasi Tinggi
(HCV-High Conservation Value), (2) Identifikasi Dampak Lingkungan dan Sosial (SEIA-Social
and Environmental Impact Assessment) dan (3) AMDAL beserta RPL & RKL serta telah
melakukan RSPO Notification of New Planting Procedure yang diverifikasi oleh BSi Group
Singapore Pte Ltd pada tanggal 7 Maret 201213 yang menyatakan bahwa: “Penilaian SEIA dan
HCV telah dilakukan, bersifat komprehensif, profesional dan mematuhi Prinsip, Kriteria, dan
lndikator RSPO yang berlaku untuk penanaman baru”.
Untuk memenuhi ketentuan lain, PT AKL secara volunteer melakukan penilaian High Carbon
Stock Approach (HCSA) dan Land Use Risk Identification (LURI). Untuk melakukan rencana
tersebut Konsultan telah melakukan kunjungan awal (scoping study) ke Kecamatan Muara
Beliti dan Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut untuk pemberitahuan rencana kegiatan
konsultasi di desa-desa sekitar areal Izin Lokasi PT AKL (Lihat Lampiran 2: Berita Acara
Rencana Kegiatan).
Kegiatan lain yang telah dan sedang berlangsung terkait relasi yang harmonis dengan
kelurahan dan desa-desa sekitar terhadap proses FPIC antara lain:
1. Pembangunan Kebun Plasma | PT AKL telah dan terus membangun kebun plasma di
dalam areal izin sesuai dengan ketentuan Pemerintah (20% dari areal tanam),
13)
http://www.rspo.org/sites/default/files/Notification%20NPP%20Sipef-AKL-120309-English.pdf
14 | P a g e
berdasarkan informasi internal kebun plasma yang tergabung dalam Koperasi Beringin
Jaya di dalam izin lokasi AKL hingga akhir Desember 2019 telah terbangunan seluas
572,65 Ha untuk 146 petani anggota dengan dana pinjaman dari internal SIPEF Group
yang telah tersalurkan sekitar Rp 15 Milyar. Penanaman kebun plasma dimulai secara
bertahap sejak tahun 2014, disesuai dengan luasan GRTT, di tahun 2017 sudah mulai
menghasilkan TBS (tandan buah segar) dan hingga akhir 2019 telah menghasilkan
3.307.470 Kg TBS.
2. Bantuan Dana CSR | PT AKL berdasarkan informasi dari narasumber kelurahan dan desa-
desa telah menyalurkan dana CSR rutin antara lain: (1) Kontribusi kegiatan peringatan
HUT RI 17 Agustus, (2) Distribusi bantuan sembako dalam kegiatan ‘Safari Ramadhan’
kepada panitia masjid di setiap kelurahan dan desa-desa, (3) Bantuan pembangunan dan
pemeliharaan masjid di beberapa desa, (4) Kontribusi pembangunan lapangan bulu
tangkis di Desa Durian Remuk dan (5) Kontribusi bantuan operasional kepada Beliti
Football Club.
3. Kontribusi penguatan ekonomi lokal | Bekerjasama dengan kontraktor lokal untuk turut
berkontribusi dalam penguatan ekonomi lokal dengan beberapa kontraktor yang disajikan
pada tabel berikut:
15 | P a g e
Jumlah pekerja PT AKL sekitar 1.350 orang dengan UMK Kabupaten Musi Rawas sebesar Rp
2.945 juta/bulan, setidaknya PT AKL mengalokasikan upah tidak kurang 2,5 milyar/bulan
atau 30 milyar/tahun, nilai yang tidak sedikit untuk mendukung ekonomi rumah tangga
pekerja dan tentunya akan memicu pertumbuhan (trigger growth) ekonomi lokal sekitar PT
AKL.
Demografi | Areal kajian berada di wilayah administrasi Kecamatan Muara Beliti dan
Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut. Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut merupakan
kecamatan pemekaran dari Kecamatan Muara Beliti. Berdasarkan batas desa, areal kajian
berada di 8 wilayah administrasi desa/kelurahan yaitu kelurahan Pasar Muara Beliti, desa
Durian Remuk, desa Rantau Bingin, desa Muara Kati Baru II, desa Muara Kati Lama, desa
Rantau Serik, desa Batu Bandung, dan desa Kebur (Tabel 7). Luas wilayah adminstrasi desa-
desa/kelurahan tersebut yaitu 254,02 km2 atau 2.4% dari luas Kabupaten Musi Rawas. Desa-
desa/kelurahan tersebut masih didominasi masyarakat tempatan serta masyarakat
pendatang dari Sumatera Barat (Orang Padang) dan Jawa (berdekatan dengan UPT
transmigrasi).
Jumlah penduduk dari 8 desa/kelurahan tersebut yaitu 14.457 jiwa yang terdiri dari 4.080
kepala keluarga (KK) dan 2.506 KK diantaranya memiliki mata pencaharian sebagai petani
karet dan kelapa sawit (lihat Tabel 1).
Tabel 7. Komoditas unggulan karet dan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Musi Rawas
Keterangan Luasan (Ha) Produksi (Ton) Petani/Pekerja
Komoditas Karet
Kabupaten Musi Rawas 218.030 181.040 53.230 Petani
Kecamatan Muara Beliti 15.231 6,4% 5.443,2 6,0% 4.141 Petani
Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut 18.453 7,5% 7.865,1 7,8% 5.971 Petani
Komoditas Kelapa Sawit
Kabupaten Musi Rawas 65.681 123.244,1
Perusahaan Perkebunan 48.763 74,6% 85.061,3 68,0% 36.454 Pekerja
Kebun Rakyat 15.331 25,2% 32.663,4 34,0% 6.121 Petani
Kecamatan Muara Beliti: 19.624,5 35,8% 32.483,2 30,2%
Perusahaan Perkebunan 14.559,1 77,3% 17.555,4 55,6% 7.987 Pekerja
Kebun Rakyat 6.389,0 32,1% 13.034,6 40,1% 2.764 Petani
Kec. Tiang Pumpung Kepungut: 21.467,3 38,3% 38.616,3 35,0%
Perusahaan Perkebunan 17.318,2 79,4% 18.158,8 61,1% 8.931 Pekerja
Kebun Rakyat 7.143,0 22,6% 3.457,5 59,9% 3.341 Petani
Sumber: Statistik Kecamatan Muara Beliti dan Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut Dalam Angka 2018, BPS Kabupaten Musi
Rawas.
14
Hasil wawancara dengan masyarakat
16 | P a g e
Kebun Karet Masyarakat Sadapan Karet Kebun Kelapa Sawit Masyarakat
Gambar 9. Komoditas unggulan di areal kajian berupa karet dan kelapa sawit
Etnis dan agama | Mayoritas masyarakat tempatan menyebut dirinya sebagai “Orang Rawas”
dan “Orang Musi” dari Marga Muara Beliti dan Marga Tiang Pumpung Kepungut yang
berbahasa Melayu dengan dialek “Sindang Kelingi” (Marga induk sebelum di mekarkan) atau
lebih populer dikenal dengan sebutan bahasa “COL” yang digolongkan dalam bagian bahasa
rumpun “Orang Melayu”. Agama masyarakat tempatan didominasi agama Islam dan sudah
tidak mengenal ritual-ritual atau persembahan terhadap tempat sakral. Namun demikian
masih terdapat tradisi budaya yang masih dijunjung tinggi seperti prosesi acara pernikahan,
kelahiran dan kematian.
Area Adat atau Komunitas | Areal wilayah adat yang dikelola oleh adat sudah tidak ada, yang
masih ada adalah tanah keluarga eks keluarga kerajaan yang dikelola oleh keluarga dan
berada di luar areal izin. Tanah keluarga yang masih dipertahankan berupa lahan kebun dan
makam keluarga.
Ketergantungan terhadap sumber daya alam | Kayu masih dipergunakan untuk perumahan
masyarakat yang sebagian besar merupakan warisan dari era kayu hutan yang masih
melimpah, saat ini kayu hutan sudah mulai langka sehingga rumah masyarakat sebagian
besar masih menggunakan kayu yang dibeli atau diambil dari sisa sisa di hutan atau di kebun
masyarakat. Untuk bangunan baru mulai beralih ke bahan bangunan batu bata, semen dan
atap seng yang dibeli ke ibukota kabupaten (Gambar 10).
17 | P a g e
Aksesibilitas di Desa | Infrastruktur jalan darat menuju 7 desa 1 kelurahan umumnya kondisi
jalan sudah beraspal dengan baik, dan jalan desa-desa tersebut memang menjadi jalan Arus
Lintas Sumatera (ALS) mobil-mobil dan bis-bis dari jakarta atau lampung menuju kota-kota
besar di pulau Sumatera seperti Jambi, Bengkulu dan Padang akan melewati jalur ALS yang
berada di desa-desa yang masuk dalam wilayah Kabupaten Musi Rawas. Selain itu, desa
Kebur memiliki jembatan gantung dengan panjang 83 meter, demikian pula di desa Muara
Katilama. Gambar 11 menyajikan aksesibilitas desa-desa sekitar areal PT AKL.
Gambar 11. Aksesibiltas transportasi jalan aspal menuju lokasi desa desa (kiri), akses jalan
menuju ibukota kecamatan melalui jembatan gantung desa kebur dan desa
muara kati lama yang juga menjadi jalan utama masyarakat (tengah dan kanan)
Air Bersih | Sumber air kehidupan masyarakat di 7 desa 1 kelurahan diperoleh dari
pemanfaatan sumur bor, sumur gali, menampung air hujan dan air sungai. Air sumur bor dan
sumur gali masih sering terkendala kekeringan di saat musim kemarau dan sebagai alternatif
memanfaatkan air sungai Beliti, sungai Kepayang, sungai Langkap, sungai Tengah, sungai
Betung dan Sungai Belua. Pemerintah telah mengalokasikan bantuan sumur bor tetapi karena
kurangnya perawatan sebagian besar sudah tidak beroperasi. Kondisi sumur bor, sumur gali
masyarakat dan pemanfaatan sungai disajikan Gambar 12.
Gambar 12. Sumur bor bantuan pemerintah (kiri), Sumur Gali (tengah) dan pemanfaatan
Sungai beliti oleh masyarakat (kanan)
Infrastruktur Listrik dan Energi Rumah Tangga | Layanan listrik dari PLN sudah mengcover di
di 7 desa 1 kelurahan didalam izin PT AKL. harga BBM berkisar Rp 10-11 ribu/liter. Energi
18 | P a g e
rumah tangga untuk memasak sebagian besar telah memanfaatkan kompor gas bantuan dari
program konversi energi dari pemerintah yang dikombinasikan pemakaian tungku kayu yang
ketersediaannya masih banyak tersedia di sekitar desa. Harga isi ulang tabung gas 3 kg
berkisar Rp 25 - 30 ribuan per tabung.
Pertanian dan Peternakan Skala Kecil | Hasil budidaya dari perkebunan karet yang berskala
kecil yang dulunya sebagai mata pencaharian utama keluarga mulai bergeser sebagai
alternatif tambahan pendapatan keluarga, karena pendapatan utama diperoleh dari bekerja
sebagai buruh perkebunan. Setiap keluarga di kedua desa tersebut setidaknya memiliki
sebidang lahan kebun karet dengan luasan 1 Ha. Lahan kebun karet tersebut diklasifikasikan
sebagai kebun ‘agroforestry’ sebagai kebun campuran dengan komoditas karet beserta pohon
lainnya dengan pengelolaan minimal dan secara reguler masih diambil manfaatnya.
Peternakan masyarakat juga sebagai alternatif simpanan (livestock) yang akan di pergunakan
untuk acara keluarga atau dijual. Peternakan masyarakat umumnya ayam, kambing dan
kerbau dalam jumlah terbatas yang biasanya dilepas di sekitar kampung, tidak ada tradisi
pengembalaan di areal permanen atau nomaden di tempat tertentu.
Menangkap ikan dan berburu sebagai sumber asupan tambahan protein dan menambah
penghasilan | Untuk kebutuhan protein hewani sehari hari utamanya diperoleh dari hasil
menangkap ikan di sungai dengan cara memancing, memasang jaring atau memasang bubu
perangkap. Di saat musim tertentu, ikan cukup melimpah dan dapat menjadi tambahan
penghasilan bagi penduduk dari desa-desa tersebut.
Identifikasi hak atas lahan dan penggunaaan lahan atau land tenure study bertujuan untuk
mendata pemilik lahan dan peruntukan lahan di lokasi kajian. Hal ini dibutuhkan untuk
menentukan kepada siapa proses FPIC harus dilakukan sehingga tercapainya kesepakatan.
Selain itu, land tenure study juga digunakan sebagai data awal dalam kajian HCSA yang
bertujuan untuk mengetahui pemanfaatan lahan di lokasi kajian. Land tenure study dilakukan
oleh Humas PT AKL yang bekerja sama dengan kepala desa dan tim masing-masing desa, dan
hasil land tenure study telah diverifikasi oleh Pemerintah Kabupaten Musi Rawas sebagai tim
Independen.
19 | P a g e
Identifikasi hak atas lahan/land tenure study yang telah dilakukan oleh PT AKL tersaji pada
Gambar 13. Hingga kajian ini dilakukan PT AKL telah melakukan identifikasi hak atas lahan
masyarakat seluas 5.244,1 ha. Jika dibandingkan luas lahan yang telah diidentifikasi (5.244,1
ha) dengan luas Izin Lokasi PT AKL (7.569,0 ha), masih terdapat 2.324,9 ha lahan yang belum
diidentifikasi hak atas lahan. Oleh karena itu, hingga saat kajian ini dilakukan, PT AKL masih
melakukan identifikasi hak atas lahan/land tenure study.
Berdasarkan hasil wawancara dan survei lapangan, area-area yang belum teridentifkasi hak
atas lahan oleh PT AKL dijumpai berupa lahan masyarakat yang masih di manfaatkan sampai
saat penilaian ini dilakukan. Pengelolaan terhadap lahan masyarakat dilakukan dengan
intensif/dikelola dengan maksimal dan dikelola dengan seadanya. Kegiatan yang dilakukan
masyarakat terhadap pengelolaan lahan masyarakat secara intensif berupa pembersihaan,
penembasan, pemupukan dan pemanenan. Sedangakan kegiatan yang dilakukan masyarakat
terhadap lahan yang dikelola dengan seadanya hanya pemanenan saja.
Hasil wawancara dan temuan lapangan, lahan masyarakat yang dikelola dengan maksimal
bertutupan lahan berupa perkebunan karet dan perkebunan sawit, sedangkan lahan yang
tidak dikelola bertutupan lahan berupa kebun campuran. Luas lahan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat tersaji pada Tabel 8.
20 | P a g e
4.1.3 Other FPIC prior to the assessment
Pemetaan Partisipatif dan FGD (Focus Group Discussion) merupakan metode yang digunakan
dalam penilaian FPIC dan HCSA serta melakukan review dan update terkini dari kajian dan
kegiatan yang pernah dilakukan oleh PT AKL. Seluruh kegiatan tersebut melibatkan
masyarakat tempatan, stakeholder kunci, dan institusi pemerintah desa yang berperan
sebagai narasumber. Perizinan penilaian HCSA, berita acara, dan daftar hadir dalam konteks
FPIC tersaji pada Lampiran 2.
Tahap Pertama | FGD (Focus Group Discussion) atau konsultasi dengan staff internal yang
relevan untuk menggali informasi, kegiatan yang telah dan akan dilakukan serta informasi
stakeholder kunci yang memiliki peran penting. FGD dan konsultasi dengan internal
perusahaan dilakukan 2 kali, saat akan dilakukan penilaian FPIC dan saat penilaian HCSA.
Informasi dasar yang diperoleh, dicoba digambarkan dalam ‘sketsa’ yang dapat
menggambarkan izin lokasi, sungai penting, kampung yang berdampingan, rencana alokasi
areal konservasi, lahan yang telah digarap masyarakat, eks jalan logging, jalan yang telah
direhabilitasi, basecamp, perusahaan tetangga dan informasi lain yang relevan. Gambar 14
menyajikan proses konsultasi internal dengan staf PT AKL.
Gambar 14. Proses konsultasi dengan staff PT AKL di Kantor Region dan Estate
Tahap Kedua | Konsultasi awal dengan Kepala Desa terkait, meminta izin survey lapangan
dan menyusun rencana konsultasi lanjutan tentang waktu, tempat dan stakeholder kunci yang
akan diharapkan hadir serta teknis pelaksanaannya. Sebelum melakukan kunjungan ke desa-
desa dan kelurahan, dilakukan kunjungan dan konsultasi awal kepada institusi kecamatan
dan desa/kelurahan untuk memberikan informasi rencana kegiatan lapangan. Gambar 15
menyajikan foto proses konsultasi dengan institusi kecamatan dan desa/ kelurahan. Pada
saat konsultasi awal, Kepala Desa menunjuk beberapa masyarakat sebagai perwakilan dari
masing-masing desa, seperti Rizon (Desa Muara Kati Lama), Ansori (Desa Kebur Lama),
Hengky dan Sobri (Desa Batu Bandung), Mawan (Desa Muara Seling), Pasti (Desa Kebur Jaya),
Burlian dan Sukri (Desa Muara Kati Baru), serta Feri (Desa Durian Remuk). Seluruh perwakilan
masyarakat ini bertugas untuk memandu saat kegiatan lapangan dan kunjungan ke masing-
masing desa.
21 | P a g e
Desa Durian Remuk
22 | P a g e
Desa Kebur, Desa Muara Kati Baru II, Desa Rantau Serik Dan Desa Muara Kati Lama
Gambar 15. Proses konsultasi dengan masyarakat desa, stakeholder kunci, institusi
pemerintah kecamatan dan desa/kelurahan
Sketsa dibuat dari data spasial menggambarkan: (a) Batas-batas wilayah, (b) Penggunaan
Lahan seperti pemukiman, kawasan produksi, kawasan yang dilindungi, (c) Lanscape seperti
23 | P a g e
gunung, bukit, danau, sungai, (d) Tempat penting seperti kampung tua, kuburan dan situs
bersejarah.
Informasi sosial dan lainnya untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi masyarakat untuk
sebagai data pendukung dalam antara lain: (a) Sejarah; kampung/desa, suku dan sub-suku,
(b) Kelembagaan adat/desa, nama, struktur, tugas dan fungsi, cara ‘pengambilan keputusan’,
(c) Wilayah/tempat; sejarah batas-batas wilayah, sejarah lokasi penting, informasi bentang
alam dan (d) Tata kelola wilayah adat/desa (aturan-aturan pengelolaan), kearifan lokal, areal
produksi dan areal lindung.
Tahap Keempat | Hasil Pemetaan Partisipatif penting yang didapat dari stakeholder kunci
Kelurahan Pasar Muara Beliti, Desa Durian Remuk Kecamatan Muara Beliti dan Desa Rantau
Bingin, Desa Kebur, Desa Rantau Serik, Desa Baru Bandung, Desa Muara Kati Baru II, Desa
Muara Kati Lama Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut antara lain: (1) Mengetahui letak izin
lokasi secara tepat dan membuang kekhawatiran yang terpendam akan diambilalihnya lahan
dalam rompok-rompok masyarakat, (2) Mengetahui areal penting yang masih dimanfaatkan
masyarakat Kelurahan Pasar Muara Beliti, Desa Durian Remuk Kecamatan Muara Beliti dan
Desa Rantau Bingin, Desa Kebur, Desa Rantau Serik, Desa Baru Bandung, Desa Muara Kati
Baru II, Desa Muara Kati Lama Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut yang akan dialokasikan
sebagai areal konservasi (HCV area), (3) Kajian ulang mengenai Sepadan sungai juga akan di
jadikan areal konsevasi, (4) Mengetahui prediksi luasan izin lokasi di masing-masing desa,
luasan serta alokasi plasma, (5) Mengetahui kegiatan nyata yang akan dilakukan oleh PT AKL
kedepan
Tahap Kelima | Pengolahan data dan verifikasi kepada pihak yang relevan antara lain terkait
dengan batas wilayah, tata guna lahan, titik-titik tempat penting penting dan lainnya dengan
melibatkan masyarakat kampung secara langsung berbatasan dengan kampung yang
dipetakan. Gambar 16. menyajikan Sketsa hasil Pemetaan Partisipatif di Kelurahan Pasar
Muara Beliti, Desa Durian Remuk Kecamatan Muara Beliti dan Desa Rantau Bingin, Desa
Kebur, Desa Rantau Serik, Desa Baru Bandung, Desa Muara Kati Baru II, Desa Muara Kati
Lama Kecamatan Tiang Pumpung Kepungut.
24 | P a g e
Gambar 16. Peta pemetaan partisipatif bersama narasumber pemilik lahan di areal kajian
Tabel 9. Hasil Konsultasi dengan Narasumber dan verifikasi terkait GRTT di areal kajian
2 Hulwati / Edihul (anak), Lahan kebun karet sementara di enclave dulu karena masih milik orang tua yang
Desa Durian Remuk saat ini belum berkenan di GRTT, diperoleh dari membeli sekitar tahun 1980 seluas
sekitar 3 Ha. Tanaman karet alam umur lebih 40 tahun dengan produksi sekitar 500
kg/bulan di bagi hasil dengan penyadap. Di sekitar lahan tersebut masih ada yang
belum di GRTT dengan tutupan lahan tanaman karet berumur diatas 10 tahun milik
25 | P a g e
No Titik Narasumber Keterangan
Bambang, Ramai dan Mardi seluas sekitar 7 Ha, masih disadap.
Wawancara dengan Edihul, Durian Remuk: Wawancara dengan H. Kalema, Durian Remuk:
Kebun karet di dalam izin lokasi masih milik orang tua Kini telah beralih ke budidaya kelapa sawit mandiri
3 H. Kalema, Desa Durian Lokasi lahan di Divisi 3. Sejarah lahan menurut orang tuanya hutan telah dibuka
Remuk: untuk diambil kayunya sekitar tahun 1925-an. Di tahun 1977, Desa Durian Remuk
masih berupa talang dengan sebuah mushola yang di huni sekitar 7 KK. Di tahun
1991 dibangun jalan Pertamina dari Muara Beliti ke Sungai Seni, talang Durian
Remuk mulai berkembang dihuni sekitar 50 KK dan terus menjadi desa hingga saat
ini. Awalnya memiliki 25 bidang yang diperoleh dari membuka sendiri dan sebagian
besar dengan membeli. 6 bidang ada di dalam izin lokasi seluas 20 Ha dan ada
yang sudah di GRTT. Umur tanam karet berkisar 25-35 tahun, di tanam antara
tahun 1980-an hingga tahun 1990-an. Ada sebidang lahan di dalam izin belum di
GRTT seluas 3 Ha dengan tutupan berupa karet umur sekitar 10 tahun dan masih
disadap, untuk rencana GRTT menunggu kesepakatan harga yang sesuai,
permintaan sekitar 65 juta/Ha.
4 Marjali, Desa Durian Awalnya memiliki 40 bidang di dalam dan diluar izin sekitar 100 Ha diperoleh dari
Remuk: membeli dari tahun 1983-2017. Ada 12 bidang telah di GRTT seluas sekitar 50 Ha,
sisanya menunggu (ada rencana untuk diwariskan ke anak dan menunggu
perkembangan harga). Lahan milik pak Marjali merupakan kebun karet unggul
umur lebih 15 tahun dan masih disadap. Sebagian areal kebun karet cukup banyak
ditanami dengan tanaman buah durian serta juga sebagian sudah ditanami dengan
kelapa sawit.
Wawancara dengan Pak Marjali, Durian Remuk: Foto kebun campuran kelapa sawit,
Cerita tentang sejarah lahan, kondisi kawasan sekitar, matapencaharian dll serta karet, durian, empang dll
pemilikan kebun sekitar
Foto kearifan lokal agar durian tidak dipanjat binatang Foto kebun karet masih disadap
5 Lahan milik Sony, Narasumber Bapak Marjali, menyatakan lahan milik Sony sekitar 10 Ha, milik
26 | P a g e
No Titik Narasumber Keterangan
Darwis, Hul dan Darwis ada 3 Ha dan milik Hul 2,5 Ha serta Sunar, Pendit dan Jamin semua sudah
tatangga kebun lainnya. di ukur, proses GRTT menunggu pemilik bernegosiasi. Tutupan lahan berupa
tanaman campuran karet berumur 15 tahun dan masih disadap.
6 Potensi Areal HCSA, Berdasarkan narasumber internal, Tutupan lahan berupa kebun karet tua
milik Amani (blok D36- campuran (agroforesty) tampak jarang perawatan dan disadap, lokasi dekat
D37) bekas bedeng sepadan sungai dan terdapat bedeng (rumah singgah). Lahan telah diukur
menunggu proses GRTT selanjutnya.
7 Asiat dan keluarga Asal lahan merupakan warisan orang tua sekitar 10 Ha dan terakhir mencapai
(Asiat, Nemar dan hingga 20 bidang seluas sekitar 50 Ha diperoleh dengan cara membeli. Sudah di
Japin), Desa Muara Kati GRTT sekitar 25 Ha dan kini memiliki plasma sekitar 10 Ha. Kebun warisan lain
Lama ada sekitar 1,5 Ha belum di GRTT (di Div 5) dengan tanaman karet yang di tahun
2013 di ganti bibit karet unggul. Ada lagi 4 bidang sekitar 7 Ha berlokasi di
Simpang Pete, awalnya kebun / hutan campuran di tanam karet tahun 1984.
Semua masih disadap dengan hasil sekitar 500 kg/bulan harga saat ini berkisar Rp
6 ribu/kg. Untuk saat ini belum ada rencana tetapi juga bergantung pada
penawaran menarik dari PT AKL.
9 Potensi Areal HCSA, Berdasarkan narasumber Bapak Asiat dan dari staf internal, tutupan lahan berupa
milik Sarjani (eks Camat kebun karet tua campuran (agroforesty), tanaman karet pada jaman orang tuanya
tinggal di Lubuk di tanam tahun 1970-an dan kadang / tidak rutin untuk disadap dengan sistim bagi
Linggau): hasil dengan orang desa, banyak yang kesulitan dalam menyadap karena tidak ada
perawatan. Informasi narasumber tidak mengetahui rencana ke depan, karena
masih kecukupan sehingga mungkin belum terpikirikan.
10 Terdapat Potensi Areal Berdasarkan narasumber Bapak Marjali, Pak Roji dan staf internal, PT Barito Putra
HCSA, areal milik eks PT merupakan perusahaan perkebunan kelapa sawit lokal, di tahun 1996 membuka
Barito: kebun dan menanam kelapa sawit sekitar 100 Ha, tetapi di tahun 1997 terkena
27 | P a g e
No Titik Narasumber Keterangan
kebakaran hingga ditinggalkan dan dikelola masyarakat Desa Durian Remuk. Di
areal tersebut terdapat lahan milik Roji sekitar 1 Ha, Biha sekitar 3 Ha dan
kelompok Pak Ridu, Bustomi, Lubis, Sueng dan Jamut dengan tanaman karet
alami yang masih disadap tahun tanam sekitar 2003 bercampur dengan tanaman
durian dan pete.
Foto kondisi di salah satu titik areal eks PT Barito Wawancara dengan Pak Roji, Desa
Durian Remuk: Ditanami kelapa sawit
11 Potensi Areal HCSA, Awalnya areal berupa kebun karet alam berumur lebih 15 tahun dengan luas 8 Ha.
milik Maemunah, Desa Telah dilakukan GRTT tetapi karena pada saat assessment awal oleh Daemeter
Kebur Jaya: masuk areal ‘No Go’ maka tidak dikelola oleh PT AKL dan kini sudah menyerupai
hutan karet campuran. Di sekitar terdapat lahan yang memiliki status sama dengan
milik Maemunah, yaitu milik Johan / Dedi sekitar 8 Ha dan Eko sekitar 1 Ha juga
telah di GRTT.
14 Sawap, Dedi Alamsyah Lahan belum di GRTT, tutupan tanaman karet alami
dan Alfian, Desa Kebur
Jaya:
28 | P a g e
Hadirnya beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang disertai jatuhnya harga jual
karet merubah sumber matapencaharian dari hasil komoditas karet menjadi pekerja di
perkebunan. Pembelajaran budidaya kelapa sawit langsung diperoleh dengan bekerja di
Perkebunan Kelapa Sawit, dengan pembelajaran tersebut di coba untuk menanam dengan
mengkonversi sebagian kebun karetnya. Mayoritas yang telah menanam kelapa sawit
merasakan longgarnya waktu untuk merawat dan masih bisa terus bekerja di perkebunan
serta menyadap karet pada saat libur. Keadaan ini mulai merubah pola matapencaharian
yang dulunya budidaya karet disertai berladang menjadi fokus bekerja dengan memanfaatkan
waktu longgar untuk menyadap atau menjadi pemanen TBS di kebun kelapa sawit milik
komunitasnya.
Keamanan masa depan mata pencaharian masyarakat sekitar PT AKL saat ini dapat
dikatakan bergantung dari sumber mata pencaharian dari bekerja di perusahaan atau kebun
masyarakat dan budidaya kelapa sawit. Untuk menyadap karet milik kebun komunitas kini
makin tidak menarik akibat harga jual yang rendah, sehingga tidak ada perawatan kebun dan
sistim bagi hasil untuk 50:50 sudah tidak memadai buat penyadap.
Verifikasi atas pemenuhan prinsip FPIC dilakukan dalam dua tahap, yaitu memeriksa
dokumen (document review) perusahaan berkenaan dengan sosialisasi dan rencana
perolehan lahan dan wawancara serta FGD (Focus Group Discussion) dengan masyarakat dan
instansi pemerintah desa/kelurahan. Di bawah ini diuraikan secara ringkas hasil dari proses
verifikasi atas pemenuhan prinsip FPIC.
Free (Bebas) – mengacu pada prinsip ini, pemeriksaan dan memastikan bahwa kehendak
masyarakat untuk melepas atau tidak melepas lahan yang mereka garap benar-benar atas
dasar sukarela. Dalam wawancara dan FGD kepada masyarakat menyatakan tidak pernah
mendapatkan pemaksaan, ancaman (intimidasi), rayuan, ataupun iming-iming dari PT AKL
atau pihak lainnya dalam proses sosialisasi dan pembebasan lahan.
Prior (Terlebih Dahulu) – mengacu pada prinsip ini, pemeriksaan dan memastikan bahwa PT
AKL melakukan sosialisasi dan meminta izin terlebih dahulu kepada masyarakat tempatan
sebelum memulai kegiatan operasionalnya.
Berikut serangkaian kegiatan yang telah dilakukan oleh PT AKL sebelum memulai proses
pembebasan lahan dan pembangunan kebun, yaitu (i) melakukan sosialisasi di tingkat
Kecamatan, (ii) melakukan sosialisasi di tingkat Desa, (iii) melakukan pendekatan secara
personal untuk meminta izin kepada masyarakat desa didampingi oleh tim Desa, (iv)
29 | P a g e
melakukan konsultasi publik mengenai amdal, dan (v) menyelenggarakan sosialisasi secara
formal yang mengundang semua pihak yang berkepentingan. Dapat disimpulkan bahwa
proses sosialisasi oleh PT AKL telah memenuhi elemen Prior dari FPIC.
Informed (Mendapat Cukup Informasi) – mengacu pada prinsip ini, pemeriksaan dan
memastikan informasi apa saja yang telah disampaikan oleh perusahaan kepada masyarakat
tempatan dalam kegiatan sosialisasi yang telah dilaksanakan selama ini dan menilai apakah
informasi-informasi tersebut sudah lengkap, obyektif dan akurat untuk dijadikan bahan
pertimbangan bagi masyarakat mengambil keputusan dengan baik.
Penyampaian informasi oleh PT AKL dilakukan dengan cara formal dan nonformal. PT AKL
melalui pemerintah desa mengundang masyarakat secara resmi untuk hadir dalam
pertemuan yang menjelaskan rencana pembangunan kebun termasuk prosedur pembebasan
lahan (GRTT). Sosialisasi nonformal disampaikan melalui kunjungan tim PT AKL ke desa-desa
yang memiliki lahan untuk dilepaskan sebagan kebun inti. Dapat disimpulkan bahwa proses
sosialisasi yang dilakukan oleh PT AKL telah memenuhi elemen Informed dari FPIC.
Consent (Keputusan Menerima dan Menolak) – mengacu pada prinsip ini, pemeriksaan dan
memastikan bahwa masyarakat menyatakan persetujuan atau penolakannya untuk
melepaskan lahan kepada PT AKL untuk dibangun menjadi perkebunan kelapa sawit yang
didasarkan pada pengetahuan yang cukup mengenai kemungkinan risiko yang akan dihadapi
dan manfaat yang akan diperoleh.
Masyarakat yang melepaskan lahannya sudah mendapatkan ganti rugi dengan nilai yang
disepakati oleh PT AKL dengan masyarakat. Sementara bagi masyarakat yang menolak
melepaskan lahan garapannya karena negosiasi belum selesai, pihak PT AKL akan
menghargai keputusan masyarakat. PT AKL memberi pilihan menjadi enclace, tidak
dibebaskan untuk dibangun menjadi kebun dan tetap memberikan akses bagi masyarakat
untuk masuk dan keluar kebunnya. Sampai kegiatan ini dilakukan, PT AKL masih melanjutkan
proses pendekatan, sosialisasi, dan negosiasi. Selain itu, seluruh masyarakat (100%)
mendukung dan menyambut baik tentang rencana pembangunan perkebunan kelapa sawit PT
AKL. Dapat disimpulkan bahwa proses sosialisasi oleh PT AKL telah memenuhi elemen
Consent dari FPIC.
30 | P a g e
5. High Conservation Value assessment
5.1 HCV program summary
Penilaian Nilai Konservasi Tinggi (NKT)/High Conservation Value (HCV) di areal kajian
dilaksanakan pada September - Oktober 2011. Pelaksana penilaian NKT yaitu Yayasan Kelapa
Sawit Berkelanjutan Indonesia (YASBI) dengan ketua tim pelaksana yaitu Ir. Purwo Susanto
(RSPO Approved HCV Assessor). Laporan penilaian NKT PT AKL telah melalui peer
review/penilaian sejawat. Selain itu laporan penilaian NKT PT AKL telah digunakan sebagai
pemenuhan dokumen New Planting Procedure (NPP RSPO) dan telah mendapatkan
Notification of Proposed New Planting RSPO pada tanggal 9 Maret 2012.
Penilaian NKT PT AKL dilakukan pada areal Izin Lokasi pertama (SK No. 49 tahun 2011)
dengan total luas 10.500 ha, sedangkan penilaian HCSA dilakukan pada areal Izin Lokasi
perpanjangan (SK No. 520 tahun 2014) dengan total luas 7.568 ha. Terdapat pengurangan
luasan areal kajian antara penilaian NKT dan penilaian HCSA. Namun demikian, areal kajian
penilaian HCSA sudah termasuk didalam areal kajian penilaian NKT, sehingga area-area yang
telah teridentifikasi sebagai area NKT tetap dapat digunakan sebagai pertimbangan penilaian
HCSA.
Area NKT yang teridentifikasi di areal kajian terdiri dari elemen NKT 1, NKT 2, NKT 4, dan NKT
6. Elemen NKT tersebut ditemukan pada area sempadan sungai, area hutan sekunder muda,
mata air desa Durian Remuk, keramat Taruding dan makam umum. Penjelasan lengkap lokasi
area NKT dan pengelolaan area NKT di areal kajian tersaji pada Tabel 10 dan Gambar 17.
Ringkasan nilai konservasi tinggi PT AKL dapat dilihat di link berikut
http://www.rspo.org/sites/default/files/Summary%20management%20plan-SIPEF-AKL-
120309.pdf
31 | P a g e
Tabel 10. Ringkasan lokasi area NKT dan program pengelolaan NKT
Buffer Program Pengeloaan NKT
Total
zone/ Kriteria
No Area NKT Area
area NKT Tujuan Pengelolaan Output Program Metode PIC
(Ha)
riparian
1 Area 50 m 116,57 1.1.4.1 Proteksi area Mempertahankan fungsi Pengelolaan dan Melakukan tata batas yang jelas Estate
Riparian konservasi/ biodiversity kawasan riparian Monitoring Area NKT terhadap area NKT yang Manager
Sungai Area diidentifikasi Field Assistant
Temam (Askep)
Pemasangan pilar batas area NKT
2 Area 50 m 84.95 l.l,4.1 Proteksi area konservasi/ Mempertahankan fungsi Pengelolaan dan Melakukan tata batas yang jelas Estate
Riparian biodiversity kawasan riparian Monitoring Area NKT terhadap area NKT yang Manager
Sungai Kati Area diidentifikasi Field Assistant
Pemasangan pilar batas area NKT (Askep)
32
Buffer Program Pengeloaan NKT
Total
zone/ Kriteria
No Area NKT Area
area NKT Tujuan Pengelolaan Output Program Metode PIC
(Ha)
riparian
Meningkatkan fungsi Mempertahankan fungsi Sosialisasi area NKT, Melakukan sosialisasi dengan
area NKT melalui kawasan riparian membuat SOP masyarakat di sekitar perusahaan
perlindungan tanah, air, Pengelolaan dan dan karyawan tentang keberadaan
vegetasi dan hidupan liar Monitoring Area NKT kawasan NKT.
di dalam kawasan
riparian • Menginformasikan tentang
kegiatan apa yang diizinkan dan
dilarang di dalam kawasan NKT.
• Meminimalkan erosi tanah dari
kegiatan perkebunan.
Jika perlu, gali parit di sepanjang
sisi sungai untuk mengumpulkan
limpasan setelah hujan lebat untuk
menghindari pendangkalan sungai.
3 Area 50 m 102.03 1.1.4.1 Proteksi area konservasi/ Mempertahankan fungsi Pengelolaan dan Melakukan tata batas yang jelas Estate
Riparian biodiversity kawasan riparian Monitoring Area NKT terhadap area NKT yang Manager
Sungai Area diidentifikasi Field Assistant
Semi (Askep)
Pemasangan pilar batas area NKT
Patroli rutin di area NKT dan
melakukan restorasi
Meningkatkan fungsi Mempertahankan fungsi Sosialisasi area NKT, Melakukan sosialisasi dengan
area NKT melalui kawasan riparian membuat SOP masyarakat di sekitar perusahaan
perlindungan tanah, air, Pengelolaan dan dan karyawan tentang keberadaan
vegetasi dan hidupan liar Monitoring Area NKT kawasan NKT.
di dalam kawasan
riparian
33 | P a g e
Buffer Program Pengeloaan NKT
Total
zone/ Kriteria
No Area NKT Area
area NKT Tujuan Pengelolaan Output Program Metode PIC
(Ha)
riparian
• Menginformasikan tentang
kegiatan apa yang diizinkan dan
dilarang di dalam kawasan NKT.
• Meminimalkan erosi tanah dari
kegiatan perkebunan.
Jika perlu, gali parit di sepanjang
sisi sungai untuk mengumpulkan
limpasan setelah hujan lebat untuk
menghindari pendangkalan sungai.
4 Area 50 m 80.57 1.1,4.1 Proteksi area konservasi/ Mempertahankan fungsi Pengelolaan dan Melakukan tata batas yang jelas Estate
Riparian biodiversity kawasan riparian Monitoring Area NKT terhadap area NKT yang Manager
Sungai Area diidentifikasi Field Assistant
Ingah Pemasangan pilar batas area NKT (Askep)
Meningkatkan fungsi Mempertahankan fungsi Sosialisasi area NKT, Melakukan sosialisasi dengan
area NKT melalui kawasan riparian membuat SOP masyarakat di sekitar perusahaan
perlindungan tanah, air, Pengelolaan dan dan karyawan tentang keberadaan
vegetasi dan hidupan liar Monitoring Area NKT kawasan NKT.
di dalam kawasan • Menginformasikan tentang
riparian kegiatan apa yang diizinkan dan
dilarang di dalam kawasan NKT.
• Meminimalkan erosi tanah dari
kegiatan perkebunan.
Jika perlu, gali parit di sepanjang
sisi sungai untuk mengumpulkan
limpasan setelah hujan lebat untuk
menghindari pendangkalan sungai.
34 | P a g e
Buffer Program Pengeloaan NKT
Total
zone/ Kriteria
No Area NKT Area
area NKT Tujuan Pengelolaan Output Program Metode PIC
(Ha)
riparian
5 Area 50 m 70.62 1.1,4.1 Proteksi area konservasi/ Mempertahankan fungsi Pengelolaan dan Melakukan tata batas yang jelas Estate
Riparian biodiversity kawasan riparian Monitoring Area NKT terhadap area NKT yang Manager
Sungai Area diidentifikasi Field Assistant
Betung Pemasangan pilar batas area NKT (Askep)
Patroli rutin di area NKT dan
melakukan restorasi
Meningkatkan fungsi Mempertahankan fungsi Sosialisasi area NKT, Melakukan sosialisasi dengan
area NKT melalui kawasan riparian membuat SOP masyarakat di sekitar perusahaan
perlindungan tanah, air, Pengelolaan dan dan karyawan tentang keberadaan
vegetasi dan hidupan liar Monitoring Area NKT kawasan NKT.
di dalam kawasan • Menginformasikan tentang
riparian kegiatan apa yang diizinkan dan
dilarang di dalam kawasan NKT.
• Meminimalkan erosi tanah dari
kegiatan perkebunan.
Jika perlu, gali parit di sepanjang
sisi sungai untuk mengumpulkan
limpasan setelah hujan lebat untuk
menghindari pendangkalan sungai.
6 Hutan 50 m 66,82 1.1, 1.2. Proteksi area konservasi/ Mempertahankan fungsi Pengelolaan dan Melakukan tata batas yang jelas Estate
Sekunder 1.3, 2.3 biodiversity hutan sebagai habitat Monitoring Area NKT terhadap area NKT Manager
Sungai alami • Pemasangan pilar batas area Field Assistant
Semi NKT (Askep)
• Patroli rutin di area NKT dan
melakukan restorasi
Mempertimbangkan untuk
meningkatkan ukuran kawasan
lindung, termasuk pemulihan area
set-aside tambahan, untuk
meningkatkan nilai NKT zona
terlindung.
35 | P a g e
Buffer Program Pengeloaan NKT
Total
zone/ Kriteria
No Area NKT Area
area NKT Tujuan Pengelolaan Output Program Metode PIC
(Ha)
riparian
7 Sumber air 100 m 12,56 1.1,4.1 Proteksi area konservasi/ Mempertahankan fungsi Pengelolaan dan Melakukan tata batas yang jelas Estate
desa biodiversity kawasan riparian Monitoring Area NKT terhadap area NKT yang Manager
Durian diidentifikasi Field Assistant
Remuk (Askep)
Pemasangan pilar batas area NKT
Patroli rutin di area NKT dan
melakukan restorasi
Meningkatkan fungsi Mempertahankan fungsi Sosialisasi area NKT, Melakukan sosialisasi dengan
area NKT melalui kawasan riparian membuat SOP masyarakat di sekitar perusahaan
perlindungan tanah, air, Pengelolaan dan dan karyawan tentang keberadaan
dan vegetasi Monitoring Area NKT kawasan NKT
36 | P a g e
Gambar 17. Peta area NKT Gabungan PT AKL
Analisis tutupan lahan dilakukan di areal kajian dan areal lanskap/area of interest dengan
menambahkan area penyangga dengan jarak 1 km dari batas areal kajian15. Tujuan ini
dilakukan untuk mengidentifikasi peran areal kajian sebagai bagian dari lanskap luas dan
menghubungkan konektivitas tutupan lahan. Selanjunya, hasil analisis tutupan lahan akan
dipertimbangkan kembali dengan melihat konektivitas terhadap kawasan konservasi dan
kawasan lindung terdekat dengan jarak 5 km dari areal kajian.
Citra satelit yang digunakan untuk melakukan analisis tutupan lahan adalah Sentinel-2A dari
United States Geological Survey (USGS)16 dengan tanggal akuisisi 7 November 2019. Citra
satelit Sentinel-2A yang digunakan yaitu scene T48MTB dengan resolusi 10-meter dan
penutupan awan 0%.
15
HCS Approach Toolkit Version 2 Module 5 (HCSA Steering Group, 2017)
16
Citra satelit Sentinel-2A diunduh pada alamat https://earthexplorer.usgs.gov/
37
Sebelum analisis tutupan lahan dilakukan, citra satelit Sentinel-2A harus melalui proses awal
(pre-processing image) yaitu image composite. Image composite dilakukan dengan
menggabungkan band 11, band 8, dan band 4 dalam citra satelit Sentinel-2A untuk
mendapatkan pseudo-natural color17 atau kombinasi warna untuk segmentasi tutupan lahan.
Hasil dari image composite tersaji pada Gambar 18.
Gambar 18. Peta citra satelit Sentinel-2A kombinasi band 11, 8, dan 4
Analisis tutupan lahan awal dilakukan pada tahapan pra-penilaian. Tutupan lahan tersebut
digunakan untuk mempersiapkan survey lapangan dan rencana pengambilan sample plot
inventarisasi vegetasi/hutan. Selanjutnya, hasil dari survey lapangan digunakan untuk validasi
tutupan lahan awal sehingga menghasilkan tutupan lahan final. Analisis tutupan lahan final
dilakukan setelah survey lapangan dengan faktor koreksi temuan lapangan dan plot
inventarisasi vegetasi/hutan. Tutupan lahan final selanjutnya digunakan untuk membuat
klasifikasi tutupan lahan HCS.
Metode yang digunakan untuk analisis tutupan lahan yaitu kombinasi antara object-based
visual interpretation dan visual interpretation dengan on-screen manual digitizing terhadap
data citra satelit. Metode ini mempertimbangkan warna, tekstur, bentuk, lokasi, dan ukuran
objek yang terlihat pada citra satelit18, yang bertujuan untuk membedakan antar tipe tutupan
lahan. Kemampuan dan pengalaman interpreter memiliki peranan penting dalam metode ini.
Proses segmentasi dan penggabungan tutupan lahan dilakukan menggunakan perangkat
17
Zhang T, Su J, Liu C, Chen. 2017. Band Selection in Sentinel-2 Satellite for Agriculture Applications. Published: 23rd
International Conference on Automation and Computing (ICAC)
18 Bakker, Wim et al. 2009. Principle of Remote Sensing: An introduction textbook. The International Institute for Geo-Information
Science and Eart Observation (ITC). The Netherlands.
38 | P a g e
lunak eCognition Developer 9.01 dan ArcGis 10.5. Klasifikasi tutupan lahan yang digunakan
mengacu pada SNI 7645-1:2014 tentang Klasifikasi Penutupan Lahan-Bagian 1: Skala kecil
dan menengah.
Analisis tutupan lahan awal dilakukan secara object-based visual interpretation dengan
menggunakan 57 titik training sample berupa titik imajiner. Titik imajiner yang dimaksud
adalah titik verifikasi tutupan lahan melalui citra resolusi tinggi Google Earth (resolusi 0,5
meter) dengan tanggal akusisi yang paling mendekati dengan waktu penilaian HCSA yaitu 19
Agustus 2018 dan 28 Juli 2019 (Gambar 19). Analisis tutupan lahan awal menghasilkan
beberapa kelas tutupan lahan, seperti yang tersaji pada Tabel 11 dan Gambar 20.
Gambar 19. Lokasi titik imajiner dalam citra satelit resolusi tinggi Google Earth
Tabel 11. Luas dan klasifikasi tutupan lahan awal di areal kajian
39 | P a g e
Gambar 20. Klasifikasi tutupan lahan awal di areal kajian
Klasifikasi tutupan lahan awal selanjutnya divalidasi untuk mendapatkan tutupan lahan final.
Validasi yang dimaksud yaitu melakukan accuracy assessment antara tutupan lahan awal
dengan titik ground truthing dan plot karbon/inventarisasi vegetasi19. Jumlah titik ground-
thruting tutupan lahan adalah 147 titik dan jumlah plot karbon/invetarisasi vegetasi adalah
86 plot. Lokasi titik ground-thruting ditentukan berdasarkan purposive sampling dengan
mempertimbangkan kelas tutupan lahan yang tidak ditetapkan sebagai plot invetarisasi
vegetasi/hutan.
Tutupan lahan awal di validasi dengan hasil titik ground truthing dan plot karbon/inventarisasi
vegetasi. Hasil validasi tutupan lahan awal terhadap titik ground truthing dan plot
karbon/inventarisasi vegetasi yaitu terjadi perubahan tutupan lahan dari kebun campuran
menjadi hutan lahan rendah sekunder kerapatan rendah seluas 53,1 ha dan menjadi
perkebunan karet seluas 103,7 ha. Selain itu, terdapat perubahan tutupan lahan dari
perkebunan karet menjadi kebun campuran seluas 132, ha. Tutupan lahan awal akan
direklasifikasi sesuai dengan hasil validasi tutupan lahan sehingga menghasilkan tutupan
lahan final.
Berdasarkan tutupan lahan final di areal kajian, teridentifikasi tutupan lahan hutan lahan
rendah sekunder kerapatan rendah, kebun campuran, lahan terbuka, infrastructure,
perkebunan karet dan perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan tutupan lahan tersebut, tutupan
lahan perkebunan kelapa sawit paling mendominasi di areal kajian, dan tutupan lahan hutan
lahan rendah sekunder kerapatan rendah memiliki potensi sebagai area konservasi HCS.
Gambaran dan lokasi tutupan lahan di areal kajian tersaji pada Tabel 12 dan deskripsi
klasifikasi tutupan lahan serta padanannya dengan klasifikasi tutupan lahan HCS tersaji pada
Tabel 13. Luas dan klasifikasi tutupan lahan final tersaji pada Sub-bab 6.5.
19
Penentuan jumlah plot karbon/inventarisasi vegetasi dijelaskan pada Bab 7
40 | P a g e
Tabel 12 Gambaran dan lokasi tutupan lahan di areal kajian
Kelas Tutupan Lahan Deskripsi Foto
Hutan lahan rendah Hutan lahan rendah
sekunder kerapatan sekunder kerapatan
rendah rendah dijumpai di
sempadan sungai Semi
dan sungai Tengah. Selain
itu, dijumpai pula berupa
fragmen-fragmen kecil di
dalam areal kajian.
41 | P a g e
Kelas Tutupan Lahan Deskripsi Foto
Kebun campuran Kebun campuran dijumpai
berupa fragmen-fragmen
kecil yang menyebar
sporadik di areal kajian.
Kebun campuran memiliki
luas 809,8 ha atau 10,7%
dari luas areal kajian.
Kebun campuran
didominasi oleh tanaman
karet dan kelapa sawit,
serta beberapa tanaman
buah seperti cempedak,
nagka, durian, kopi, duku,
petai, jengkol dan mangga.
Seluruh tanaman tersebut
ditanam oleh masyarakat
tempatan. Selain itu,
dijumpai pula beberapa
vegetasi alami seperti
sungkai (Paronema
canescens), leban (Vitex
pinnata), pelangas
(Aporosa aurita) dan pulai
(Alstonia scholaris).
Kebun campuran
merupakan area
kebun/ladang yang
diusahakan oleh
masyarakat tempatan,
namun tidak
dikelola/dirawat dengan
maksimal sehingga
tumbuh vegetasi alami.
Perkebunan karet Perkebunan karet dijumpai
berupa fragmen-fragmen
kecil yang menyebar
secara sporadic di areal
kajian. Perkebunan karet
memiliki luas 1.515,1 ha
atau 20,0 % dari luas areal
kajian.
Perkebunan karet
diusahakan oleh
masyarakat tempatan dan
dikelola/dirawat dengan
maksimal.
.
42 | P a g e
Kelas Tutupan Lahan Deskripsi Foto
43 | P a g e
Kelas Tutupan Lahan Deskripsi Foto
Keterangan: *) SNI 7645-1:2014 Klasifikasi penutup lahan - Bagian 1: Skala kecil dan menengah;
Tabel 13. Klasifikasi tutupan lahan berdasarkan Standar Nasional Indonesia dan padanannya
dengan klasifikasi tutupan lahan HCS
Kelas
No Kelas Tutupan Lahan Definisi SNI *) Tutupan Definisi HCS **)
Lahan HCS
Kelas HCS
1 Hutan lahan rendah Hutan yang tumbuh dan Hutan Hutan alam dengan tajuk tertutup
primer (kerapatan berkembang di habitat lahan Kerapatan hingga terbuka dengan kerapatan tinggi.
rendah hingga tinggi) kering yang berupa hutan Tinggi (HKT) Data inventarisasi menunjukkan
dataran rendah, belum keberadaan pohon dengan diameter >
mengalami intervensi 30 cm dan didominasi oleh spesies
manusia. Jika kerapatannya klimaks.
10%-40% (rendah), 41%-70% Rentang nilai karbon > 150 Cton/ha
(sedang), > 70% (tinggi)
2 Hutan lahan rendah Hutan yang tumbuh dan Hutan Hutan alam dengan tajuk tertutup
sekunder kerapatan berkembang di habitat lahan Kerapatan hingga terbuka, beragam dari hutan
sedang-tinggi kering yang berupa hutan Rendah- kerapatan rendah sampai sedang. Data
dataran rendah, sudah Sedang inventarisasi menunjukkan keberadaan
mengalami intervensi (HKR, HKS) pohon dengan diameter >30 cm dan
manusia. Jika kerapatannya didominasi oleh spesies klimaks.
41%-70% (sedang), > 70% Rentang nilai karbon 75-90 Cton/ha
(tinggi) (HKR), 90-150 Cton/ha (HKS)
3 Hutan lahan rendah Hutan yang tumbuh dan Hutan Hutan yang sangat terganggu atau
sekunder kerapatan berkembang di habitat lahan Regenerasi kawasan hutan dalam tahap regenerasi
rendah kering yang berupa hutan Muda (HRM) menuju struktur aslinya. Distribusi
dataran rendah, sudah diameter didominasi oleh pohon dengan
mengalami intervensi DBH 10-30 cm dengan frekuensi
manusia. Jika kerapatannya spesies pionir yang lebih tinggi
10%-40%. dibandingkan dengan HK1. Dalam kelas
tutupan lahan ini mungkin terdapat
kawasan-kawasan kecil yang berupa
kawasan pertanian atau plasma.
Rentang nilai karbon 35-75 Cton/ha
Kelas Non-HCS
4 Lahan terbuka Area yang biasanya bersifat Lahan Lahan yang baru dibuka dan sebagian
consolidated, hasil rekayasa Terbuka (LT) besar terdiri dari rerumputan atau
manusia, dan diusahakan atau tanaman, sementara tumbuhan berkayu
44 | P a g e
Kelas
No Kelas Tutupan Lahan Definisi SNI *) Tutupan Definisi HCS **)
Lahan HCS
diamanfaatkan untuk hanya sedikit.
keperluan tertentu.
5 Kebun campuran Lahan kering yang ditanami Perkebunan Sebagai contoh, perkebunan kelapa
dengan tanaman tahunan pertanian sawit skala besar yang tumpang tindih
(pepohonan) terkombinasi (AGRI) dengan wilayah pembangunan.
dengan tanaman semusim.
Tanaman tahunan atau
pepohonan yang dimaksud
seperti pohon buah atau
pohon lainnya, sementara
tanaman semusim yang
dimaksud seperti cabai dan
ketela.
6 Perkebunan karet Lahan yang ditanami dengan
tanaman karet dalam bentuk
hamparan yang luas,
homogen dan pola tanam
yang teratur, baik yang
dikelola perorangan maupun
perusahaan.
7 Perkebunan kelapa Lahan yang ditanamai dengan
sawit tanaman kelapa sawit dalam
bentuk hamparan yang luas
dan pola tanam yang teratur,
serta berorientasi industri
7 Badan air Semua badan air yang Lainnya Badan air seperti sungai dan danau,
berbentuk secara alami baik kawasan pembangunan, pemukiman,
yang mengalir atau genangan. jalan, dll.
8 Infrastructure/Bangunan Penutupan lahan buatan
industri manusia berupa bangunan
yang terutama dimanfaatkan
untuk kegiatan industry dan
bisnis. Bangungan industry
dan bisnis dicirikan oleh
kerapatan atau kepadatan
bangunan yang tinggi dan
terbuat dari bahan bangunan
yang bersifat permanen/tahan
lama seperti dinding tembok
dan atap seng.
9 Permukiman Penutupan lahan buatan
manusia berupa bangunan
yang terutama dimanfaatkan
untuk tempat tinggal
penduduk kota. Bangunan
permukiman dicirikan oleh
kerapatan atau kepadatan
bangunan yang tinggi dan
terbuat dari bahan bangunan
yang bersifat permanen/tahan
lama seperti misalnya dinding
tembok, atap
45 | P a g e
Kelas
No Kelas Tutupan Lahan Definisi SNI *) Tutupan Definisi HCS **)
Lahan HCS
genteng/beton/seng.
Tabel 14. Luas dan klasifikasi tutupan lahan final di areal kajian
Number of Hectares % of total
Tutupan lahan SNI*) Tutupan lahan HCS**) concession
Mineral Peat Total
Potential HCS classes:
Hutan kerapatan tinggi
Hutan lahan rendah primer - - - -
(HKT)
Hutan lahan rendah sekunder Hutan kerapatan rendah -
- - - -
kerapatan sedang - tinggi sedang (HKR - HKS)
Hutan lahan rendah sekunder Hutan regenerasi muda
620.3 - 620.3 8.2
kerapatan rendah (HRM)
Sub-total 620.3 - 620.3 8.2
Non-HCS classes
Lahan terbuka Lahan terbuka (LT) 220.7 - 220.7 2.9
Kebun campuran 809.8 - 809.8 10.7
Perkebunan dan pertanian
Perkebunan karet 1,515.1 - 1,515.1 20.0
(AGRI)
Perkebunan kelapa sawit 4,346.5 - 4,346.5 57.4
Infrastructure/bangunan
Lainnya 56.6 - 56.6 0.7
industri
Sub-total 6,948.7 - 6,948.7 91.8
Total 7,569.0 - 7,569.0 100.0
Keterangan: *) SNI 7645-1:2014 Klasifikasi penutup lahan - Bagian 1: Skala kecil dan menengah;
**) HCSA Toolkit Modul 4
46 | P a g e
Gambar 21. Klasifikasi tutupan lahan final di areal kajian
Accuracy assessment tutupan lahan dilakukan dengan membandingkan kelas tutupan lahan
awal dengan titik groundthruthing dan plot inventarisasi vegetasi/hutan (lihat Gambar 21).
Accuracy assessment yang digunakan dalam penilaian ini adalah overall accuracy dan kappa
accuracy20. Nilai overall accuracy yang harus dipenuhi adalah 80% untuk tutupan lahan
final21. Re-klasifikasi tutupan lahan dilakukan apabila nilai overall accuracy kurang dari batas
yang telah ditetapkan.
Accuracy assessment dilakukan hanya pada tutupan lahan final, sedangkan accuracy
assessment untuk tutupan lahan awal tidak dilakukan, hal ini dikarenakan, training sample
untuk penentuan tutupan lahan awal bersumber dari titik imajiner, sehingga hasil tutupan
lahan awal akan sama dengan titik imajiner dari google earth atau dengan kata lain nilai
overall accuracy akan menghasilkan 100%.
Berdasarkan hasil accuracy assessment, didapatkan overall accuracy sebesar 90,56% dan
kappa accuracy sebesar 86,63% (Tabel 15). Nilai tersebut telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam HCSA Toolkit yaitu lebih dari 80% (untuk tutupan lahan final) serta nilai
kappa accuracy berada pada kategori almost perfect opportunity22. Tutupan lahan final
selanjutnya digunakan untuk mengkategorikan klasifikasi tutupan lahan HCS (merujuk pada
Tabel 13).
20
Cohen, J. 1960. A Coefficient of Agreement for Nominal Scales. Educational and Psychological Measurement. Vol. 20 (1): pp. 37–46.
21
The HCS Approach Toolkit Module 4, Page 15-16
22 Cohen, J. 1968. Weighted Kappa: Nominal Scale Agreement with Provision for Scaled Disagreement or Partial Credit. Psychological Bulletin Vol. 70:
pp. 213-20.
47 | P a g e
Tabel 15. Accuracy assessment tutupan lahan final
Training area UA
Tutupan lahan Total UA
A B C D E F (%)
A 50 - - - - - 50 1.00 100.00
Hasil interpretasi
B - 6 - - - - 6 1.00 100.00
citra satelit
C 6 - 56 10 - - 72 0.78 77.78
D - - 6 84 - - 90 0.93 93.33
E - - - - 14 - 14 1.00 100.00
F - - - - - 1 1 1.00 100.00
Total 56 6 62 94 14 1 233
PA 0.89 1.00 0.90 0.89 1.00 1.00 OA: 90.56%
PA (%) 89.29 100.00 90.32 89.36 100.00 100.00 Kappa: 86.63%
Keterangan: A: hutan lahan rendah sekunder kerapatan rendah; B: lahan terbuka; C: kebun campuran; D: perkebunan karet; E:
perkebunan kelaoa sawit; F: Infrastructure; UA: user accuracy, PA: producer accuracy; OA: overall accuracy
7. Forest inventory
(Persamaan 1)
Keterangan:
N = jumlah sampel
t = nilai t dari tabel uji t Student untuk selang kepercayaan 90%
s = standar deviasi yang diduga berdasarkan data set yang ada dari tipe hutan yang serupa.
E = standar error sebagai persentase dugaan nilai rata-rata
Total 84
Keterangan: *Clarification on HCV-HCSA Manual Requirements
** The HCS Approach Toolkit, Module 4, Page 23
*** Panduan survei cadangan karbon dan keanekaragaman flora di Sumatera Selatan23
**** Cadangan karbon pada berbagai tipe hutan dan jenis tanaman di Indonesia24
23
Rusolono, T. et al. 2015. Panduan Survei Cadangan Karbon dan Keanekaragaman Flora di Sumatera Selatan. GIZ Biodiversity
and Climate Change (BIOCLIME) Palembang.
24
Masripatin, N. et al. 2010. Cadangan Karbon pada berbagai Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan. Kementerian kehutanan.
48 | P a g e
Distribusi plot invetarisasi hutan/vegetasi ditempatkan secara acak dan sistematis25.
Kombinasi penempatan plot bertujuan untuk meningkatkan keakuratan data serta
memastikan penyebaran plot di seluruh area (polygon) dapat terpenuhi. Penempatan plot
secara acak merupakan pendekatan yang lebih menyeluruh dan kuat secara statistik.
Sedangkan penempatan plot secara sistematis digunakan untuk memaksimalkan jumlah plot
yang diukur. Plot secara acak ditempatkan pada area-area dengan ukuran (polygon) yang
relatif kecil, dan plot secara sistematis ditempatkan pada area-area dengan ukuran (polygon)
yang relatif besar dengan menggunakan jalur transek dengan jarak teratur. Distribusi plot
inventarisasi vegetasi/hutan di areal kajian tersaji pada Gambar 22.
25 HCS Approach Toolkit Version 2 May 2017 (HCSA Steering Group, 2017)
49 | P a g e
Gambar 23. Bentuk dan ukuran plot dan sub plot
(Persamaan 2)
(Persamaan 3)
Data hasil plot inventarisasi vegetasi/hutan kembali di analisis untuk melihat struktur dan
komposisi vegetasi serta estimasi batang per hektar. Analisis struktur dan komposisi
menggunakan Indeks Nilai Penting (INP) yang dapat menggambarkan dominansi suatu
spesies tumbuhan dalam komunitas (Soegianto, 1994 dalam Indirayanto, 2006). Persamaan
yang digunakan untuk menghitung Indeks nilai penting yaitu:
26
Ketterings et all. 2011 dalam Monograf Model-Model Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe
Eksosistem Hutan di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian Kehutanan
27
Global Wood Density Database http://db.worldagroforestry.org/wd
50 | P a g e
Kerapatan Relatif = x 100% (Persamaan 5)
Selanjutnya, setiap plot dianalisis untuk mendapatkan estimasi batang per hektar dan
kerapatan tajuk. Analisis ini digunakan sebagai salah satu pertimbangan dalam klasifikasi
tutupan lahan HCS. Jumlah rata-rata batang per hektar dihitung dari ukuran plot dengan
menggunakan Persamaan 11. Sedangkan kerapatan tajuk dihitung saat dilapangan dengan
indikator persentasi intersepsi cahaya oleh tajuk vegetasi yang diklasifikasikan berdasarkan
empat kelas kerapatan seperti yang tersaji pada Tabel 18.
(Persamaan 11)
51 | P a g e
dilapangan ditemukan spesies Sepat (Macaranga triloba) dan
Mang (Macaranga pruinose) yang merupakan spesies pionir.
Spesies ini merupakan spesies pionir pada area terbuka yang
menghuni pada awal suksesi di ekosistem dataran rendah28
dan sebagai indikator suatu wilayah pernah mengalami
gangguan secara alami ataupun buatan.
Kebun campuran Perkebunan 26,8 Perkebunan pertanian atau Kebun campuran dijumpai berupa
pertanian fragmen-fragmen kecil yang menyebar sporadik di areal kajian.
Kebun campuran didominasi oleh tanaman karet dan kelapa
sawit, serta beberapa tanaman buah seperti cempedak, nagka,
durian, kopi, duku, petai, jengkol dan mangga. Seluruh
tanaman tersebut ditanam oleh masyarakat tempatan. Selain
itu, dijumpai pula beberapa vegetasi alami seperti sungkai
(Paronema canescens), leban (Vitex pinnata), pelangas
(Aporosa aurita) dan pulai (Alstonia scholaris).
Utara Selatan
28
Whitmore TC. 1984. Tropical Rain Forests of The Far East 2nd Edition. Great Britain(UK): Clarendon Press/Oxford University
Press.
52 | P a g e
Barat Timur
Kanopi
Perkebunan Pertanian (Kebun Campuran)
Utara Selatan
Barat Timur
53 | P a g e
Kode Plot dan koordinat
Plot 22
103° 0' 5.288" E
3° 21' 57.155" S
Kanopi
Persamaan alometrik yang digunakan untuk menghitung biomassa merujuk pada buku
“Monograf Alometrik untuk Pendugaan Biomassa Pohon pada Berbagai Tipe Ekosistem Hutan
di Indonesia” yang dipublikasi oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan,
Kementerian Kehutanan.
Analisis statistik yang digunakan dalam estimasi cadangan karbon di areal kajian yaitu Annova
test dan Scheffe test. Annova test (Analysis of variance) adalah analisis statistik (variansi)
untuk menguji signifikansi perbedaan seluruh tutupan lahan dengan parameter nilai karbon.
Selang kepercayaan yang digunakan adalah 90%. Hasil akhir dari annova test adalah nilai F
hitung dan F tabel. Jika nilai F hitung lebih besar dari F tabel maka dapat disimpulkan antar
tutupan lahan mempunyai perbedaan yang signifikan. Begitu sebaliknya apabila F hitung lebih
kecil dari F tabel maka dapat disimpulkan antar tutupan lahan tidak mempunyai perbedaan
yang signifikan.
Scheffe test adalah kelanjutan dari analisis of variance (annova test). Scheffe test dapat
dilakukan apabila hasil hipotesis annova menyatakan antar tutupan lahan mempunyai
perbedaan yang signifikan. Scheffe test digunakan untuk menguji dan mengetahui signifikansi
perbedaan antar tutupan lahan dilihat dari parameter nilai rata-rata karbon.
7.7 Summary of statistical analysis of carbon stock results per vegetation class
Tabel 21. Ringkasan analisis cadangan karbon berdasarkan tutupan lahan HCS
Rata-rata
Standard Cadangan
Luas Jumlah Cadangan Confidence
Tutupan lahan HCS error of the Karbon Total
(ha) Plot Karbon limits (90%)
mean (Kilo Ton-C)
(Ton-C/ha)
Lower Upper
Hutan Regenerasi
620.3 56 40.5 1.0 38.8 42.2 25.1
Muda
Kebun Campuran 809.8 30 26.8 1.4 24.4 29.2 21.7
Tutupan lahan yang menjadi lokasi plot invetarisasi vegetasi/hutan yaitu hutan regenerasi
muda dan kebun campuran. Rancangan jumlah titik plot di areal kajian yaitu 84 plot yang
54 | P a g e
terdiri dari 56 plot hutan regenerasi muda dan 28 plot kebun campuran. Sedangkan realisasi
jumlah plot di areal kajian yaitu 86 plot yang terdiri dari 56 plot hutan regenerasi muda dan 30
plot kebun campuan.
Analisis statstik (annova test dan scheffe test) dilakukan pada 86 plot invetarisasi
vegetasi/hutan, yang bertujuan untuk mengetahui tingkat signifikan perbedaan antara nilai
karbon pada masing-masing tutupan lahan HCS. Nilai cadangan karbon masing-masing
tutupan lahan HCS dikatakan signifikan apabila nilai P < α pada Anova test dan nilai selisih
rata-rata antar kelas tutupan lahan (Absolute values) ≥ nilai scheffe. Hasil dari Annova test
dan scheffe test tersaji pada Tabel 22 dan Tabel 23.
Estimasi cadangan karbon pada tingkat plot menunjukkan bahwa masing-masing tutupan
lahan HCS (hutan regenerasi muda dan kebun campuran) memiliki perbedaan yang signifikan.
Hasil tutupan lahan HCS dan data plot inventarisasi vegetasi/hutan sudah terpenuhi dan
dapat dilanjutkan ke tahap Patch analysis decision tree.
55 | P a g e
8. Patch Analysis and Final Draft ICLUP Result
Tahap pertama decision tree yaitu melakukan overlay antara tutupan lahan HCS dengan area-
area penting, seperti lahan masyarakat, area HCV, dan lahan gambut. Tutupan lahan HCS
yang teridentifikasi yaitu hutan regenerasi muda dengan luas 620,3 ha. Area lahan
masyarakat yang tidak akan dilepaskan berdasarkan proses FPIC tidak ditemukan di areal
kajian. Sedangkan area HCV yang teridentifikasi terdiri dari tutupan alami (hutan sekunder),
sungai dan sempadannnya, sumber air, dan makam/area keramat. Berdasarkan peta
kesatuan hidrologis gambut (KHG - lihat Gambar 4), areal kajian berada diluar areal tersebut.
Potensi area-area konservasi di areal kajian tersaji pada Tabel 24 dan Gambar 24.
Gambar 24. Peta potensi area konservasi di areal kajian dan sekitarnya
Hutan regenerasi muda yang termasuk sebagai potensi area HCS (selanjutnya disebut patch
HCS) akan di analisis decision tree. Patch HCS akan dianalisis dengan menggabungkan
56 | P a g e
seluruh polygon/area hutan regenerasi muda yang terhubung secara fisik (tepi patch
berbatasan atau patch memiliki tepi bersama) baik di dalam maupun di luar areal kajian
untuk membentuk satu patch utuh. Rincian hasil decision tree terhadap patch HCS di areal
kajian dan areal lanskap tersaji pada Table 25.
Gambar 25. Peta patch HCS di areal kajian dan areal lanskap
Berdasarkan hasil analisis patch HCS terhadap luas inti patch (Gambar 26), teridentifikasi dua
patch yang memiliki luas inti patch 10-100 ha (prioritas menengah), yaitu patch ID27 dan
ID28. Selain itu, teridentifikasi 16 patch yang memiliki luas inti patch <10 ha (prioritas
rendah) dan 38 patch yang tidak memiliki inti patch (prioritas rendah tanpa inti). Seluruh
patch tersebut akan dianalisis pada tahap selanjutnya.
57 | P a g e
Tabel 25. Analisis decision tree terhadap tutupan lahan HCS di areal kajian
Indeks Luas (ha) Inti
Patch Areal Areal Core Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 & 5 Tahap 6 & 7 Tahap 8 Tahap 9 & 10 Tahap 11 Tahap 12 Tahap 13 ICLUP
HCS Kajian Lanskap (ha)
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID01 6,2 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Terhubung dengan Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID02 1,9 0,8 - Tidak terhubung Area pengembangan
patch HCS lanskap (tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID03 6,1 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID04 2,6 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Terhubung dengan Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID05 7,5 29,9 - Tidak terhubung Area pengembangan
patch HCS lanskap (tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID06 6,9 - 0,7 - Patch prioritas rendah Tidak terhubung Area pengembangan
(<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID07 2,6 - 0,01 - Patch prioritas rendah Tidak terhubung Area pengembangan
(<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Terhubung dengan Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID08 1,8 2,1 - Tidak terhubung Area pengembangan
patch HCS lanskap (tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID09 2,5 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Terhubung dengan Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID10 2,2 18,2 1,9 Patch prioritas rendah Tidak terhubung Area pengembangan
patch HCS lanskap (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID11 2,2 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Terhubung dengan Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID12 2,0 10,5 0,1 Patch prioritas rendah Tidak terhubung Area pengembangan
patch HCS lanskap (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID13 0,6 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID14 1,6 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Terhubung dengan Terhubung Indikatif Area konservasi
ID15 84,2 21,6 0,5 Patch prioritas rendah
patch HCS lanskap dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Patch prioritas rendah Terhubung Indikatif Area konservasi
ID16 15,2 - - -
(tanpa inti) dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID17 2,9 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID18 5,0 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID19 1,4 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID20 2,3 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
58
Indeks Luas (ha) Inti
Patch Areal Areal Core Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 & 5 Tahap 6 & 7 Tahap 8 Tahap 9 & 10 Tahap 11 Tahap 12 Tahap 13 ICLUP
HCS Kajian Lanskap (ha)
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID21 10,7 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID22 2,8 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID23 2,3 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID24 8,1 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID25 7,3 - - - Tidak terhubung Area pengembangan
(tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID26 15,9 - 0,3 - Patch prioritas rendah Tidak terhubung Area pengembangan
(<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Terhubung dengan Patch prioritas Terhubung Indikatif Area konservasi
ID27 31,2 115,1 26,4
patch HCS lanskap menengah dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Terhubung dengan Patch prioritas Terhubung Indikatif Area konservasi
ID28 276,0 33,4 55,8
patch HCS lanskap menengah dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Patch prioritas rendah Terhubung Indikatif Area konservasi
ID29 9,0 - - -
(tanpa inti) dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Terhubung Indikatif Area konservasi
ID30 51,4 - 4,1 - Patch prioritas rendah
dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Patch prioritas rendah Terhubung Indikatif Area konservasi
ID31 5,6 - - -
(tanpa inti) dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Terhubung dengan Patch prioritas rendah Terhubung Indikatif Area konservasi
ID32 5,4 0,4 -
patch HCS lanskap (tanpa inti) dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Terhubung dengan Patch prioritas rendah Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID33 0,5 0,6 - Tidak terhubung Area pengembangan
patch HCS lanskap (tanpa inti) (<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Terhubung Indikatif Area konservasi
ID34 0,9 - - -
(tanpa inti) dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Terhubung dengan Terhubung Indikatif Area konservasi
ID35 20,2 15,3 0,4 Patch prioritas rendah
patch HCS lanskap dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Patch prioritas rendah Terhubung Indikatif Area konservasi
ID36 3,9 - - -
(tanpa inti) dengan area HCV konservasi HCS (HCS)
Lanskap hutan rendah Hutan regenerasi Indikatif Tidak terhubung dengan Menerima
ID37 11,2 - 0,1 - Patch prioritas rendah Tidak terhubung Area pengembangan
(<30%) muda pengembangan kawasan konservasi area
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID38 - 4,8 - -
(tanpa inti) (HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID39 - 3,3 - -
(tanpa inti) (HCS)
Area konservasi
ID40 - 30,5 3,0 - Patch prioritas rendah
(HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID41 - 0,7 - -
(tanpa inti) (HCS)
59 | P a g e
Indeks Luas (ha) Inti
Patch Areal Areal Core Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 & 5 Tahap 6 & 7 Tahap 8 Tahap 9 & 10 Tahap 11 Tahap 12 Tahap 13 ICLUP
HCS Kajian Lanskap (ha)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID42 - 0,4 - -
(tanpa inti) (HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID43 - 0,9 - -
(tanpa inti) (HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID44 - 0,7 - -
(tanpa inti) (HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID45 - 1,6 - -
(tanpa inti) (HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID46 - 2,5 - -
(tanpa inti) (HCS)
Area konservasi
ID47 - 3,9 0,02 - Patch prioritas rendah
(HCS)
Area konservasi
ID48 - 11,8 0,36 - Patch prioritas rendah
(HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID49 - 12,7 - -
(tanpa inti) (HCS)
Area konservasi
ID50 - 5,7 1,1 - Patch prioritas rendah
(HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID51 - 1,7 - -
(tanpa inti) (HCS)
Area konservasi
ID52 - 7,8 0,4 - Patch prioritas rendah
(HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID53 - 1,7 - -
(tanpa inti) (HCS)
Patch prioritas rendah Area konservasi
ID54 - 1,6 - -
(tanpa inti) (HCS)
Area konservasi
ID55 - 7,3 0,07 - Patch prioritas rendah
(HCS)
Area konservasi
ID56 - 22,2 0,9 - Patch prioritas rendah
(HCS)
60 | P a g e
Gambar 26. Peta kelas prioritas patch HCS di areal kajian dan areal lanskap
Berdasarkan hasil analisis konektivitas patch HCS terhadap area HCV (Gambar 27), pada
areal kajian teridentifikasi 11 patch terhubung dengan area HCV, dan 26 patch tidak
terhubung dengan area HCV. 11 patch yang terhubung dengan area HCV ditetapkan sebagai
area konservasi HCS. Sedangkan 26 patch prioritas rendah dan rendah tanpa inti yang tidak
terhubung dengan area HCV akan dianalisis pada tahap selanjutnya.
Tahap 6 & 7: Pemisahan Prioritas Menengah dengan Prioritas Rendah dan Penilaian Risiko
Penilaian risiko dilakukan terhadap patch prioritas menengah dengan luas inti patch 10-100
ha yang tidak terhubung dengan area HCV. Pada tahap ini tidak dilakukan, disebabkan patch
prioritas menengah telah ditetapkan menjadi area konservasi HCS pada tahap 4&5.
Terdapat 26 patch prioritas rendah yang tidak terhubung dengan area konservasi. 26 patch
tersebut akan di analisis pada tahap 9 yaitu Pre-RBA (Rapid Biodiversity Assessment) dan
akan dipertimbangkan dengan melihat lanskap tutupan hutan. Jika lanskap tutupan lahan
hutan rendah (<30%) maka patch prioritas rendah tersebut akan dipertimbangkan menjadi
area konservasi HCS, namun jika lanskap tutupan lahan hutan tinggi (30-80%) maka patch
prioritas rendah tersebut akan dipertimbangkan menjadi area pengembangan.
61
Gambar 27. Peta konektivitas patch terhadap area HCV areal kajian dan areal lanskap
Tahap 8: Tutupan Lahan HCS (HKR, HKS dan HKT) dengan tingkat ancaman tinggi
Pada tahap ini, analisis tidak dilakukan karena tidak terdapat patch prioritas menengah.
Seluruh patch HCS yang tersisa yaitu patch prioritas rendah.
Berdasarkan hasil analisis tutupan lahan hutan (Gambar 28), tutupan lahan hutan pada
tingkat lanskap tergolong rendah (<30%), sehingga harus dilakukan Pre-RBA terhadap 26
patch prioritas rendah. Hasil dari Pre-RBA menunjukkan bahwa area patch prioritas rendah
tersebut tidak berada pada areal dengan kelerengan >40%, sempadan sungai, lahan gambut
dan lahan basah. Sehingga areal tersebut harus melalui tahap RBA untuk menentukan
prioritas konservasinya.
Berdasarkan hasil Rapid Biodiversity Assessment, 26 patch prioritas rendah berada pada area
yang tidak signifikan untuk biodiversity. Tidak dijumpai konsentrasi spesies flora dan fauna
dengan status RTE, spesies dilindungi maupun spesies endemik. Hal ini dikarenakan kondisi
habitat yang sangat terganggu akibat pemanfaatan kayu oleh masyarakat dan telah dikelilingi
oleh area budidaya berupa tanaman karet dan kelapa sawit. Selain itu, 26 area patch prioritas
rendah tersebut memiliki risiko tinggi, dikarenakan dekat dengan jalan umum dan
permukiman masyarakat. 26 patch prioritas rendah tersebut ditetapkan sebagai indikatif area
pengembangan dengan mempertimbangkan saling memberi dan saling menerima (Gambar
29).
62 | P a g e
Gambar 28. Peta tutupan lahan hutan pada area lanskap
63 | P a g e
Tahap 11: Penggabungan Areal Indikasi Konservasi HCS dengan HCV 1-4, lahan gambut dan
kawasan konservasi
Indikatif area konservasi di areal kajian terdiri dari area HCS30 seluas 503,1 ha dan area HCV
seluas 361,9 ha. Terdapat tumpang tindih antara area HCS dan area HCV seluas 325,0 ha,
sehingga total indikatif area konservasi (HCV-HCS) seluas 540,1 ha (Gambar 30).
Terdapat 26 patch prioritas rendah yang tidak memiliki konektivitas dengan area konservasi
HCS/ area konservasi HCV. Patch tersebut dipertimbangkan sebagai area konservasi HCS
atau area potensi untuk pengembangan melalui identifikasi konektivitas atau koridor pada
tingkat lanskap.
Terdapat beberapa lanskap hutan di sekitar areal kajian berupa Kawasan Konservasi, Intact
Forest Landscape (IFL) dan sebaran gajah dan harimau (Gambar 31). Jika dilihat dari area
lanskap hutan tersebut, areal kajian terletak di antara lanskap KSA Bukit Condong - lanskap
Hutan Lindung Bukit Balai di sisi Barat dan lanskap sebaran gajah sumatera di sisi Timur.
Akan tetapi, kedua lanskap hutan tersebut terletak cukup jauh satu dengan yang lain dengan
jarak 54 km. Selain jarak yang jauh, kedua lanskap tersebut dipisahkan oleh lahan budidaya,
permukiman masyarakat dan pusat kota Lubuk Linggau. Oleh karena itu, areal kajian tidak
direkomendasikan sebagai koridor penghubung antar lanskap. Berdasarkan pertimbangan
tersebut, 26 patch prioritas rendah ditetapkan sebagai indikatif area pengembangan.
30
Berdasarkan analisis decision tree tahap 1 hingga tahap 11
64 | P a g e
Gambar 31. Peta potensi konektivitas antar lanskap hutan terhadap areal kajian
Tahap 13: Proses Give and Take dan Area Konservasi yang Diajukan, Penggunaan Lahan
Masyarakat dan Rencana Pengembangan
Proses Give (memberi) and Take (menerima) dilakukan pada 26 patch prioritas rendah yang
tidak diidentifikasi menjadi area konservasi HCS. Patch tersebut akan ditetapkan31 menjadi
area pengembangan dengan saling menerima. Luas 26 patch prioritas rendah tersebut yaitu
117,2 ha.
Penentuan dan pertimbangan area konservasi HCS yang diajukan dengan saling memberi
yaitu (i) dapat meningkatkan bentuk, ukuran dan kawasan inti area konservasi, (ii)
meminimalisir risiko dan ancaman terhadap area konservasi, (iii) menjadikan area sebagai
habitat/kantong satwa, dan (iv) meningkatkan dan mengoptimalkan perlindungan,
pemantauan, dan pengelolaan area konservasi. Luas area konservasi HCS yang diajukan
dengan saling memberi yaitu 78,7 ha. Area tersebut berada diluar area yang ditetapkan
menjadi konservasi HCV-HCS. Lokasi area pengembangan saling menerima dan area
konservasi yang diajukan saling memberi tersaji pada Gambar 32. Berdasarkan hasil decision
tree tahap 1 hingga tahap 13, indikatif area konservasi (HCV dan HCS) di areal kajian seluas
618,7 ha.
31
Pertimbangan 23 patch prioritas rendah tidak menjadi area konservasi sudah dijelaskan pada tahap 1-12
65 | P a g e
Gambar 32. Peta proses Give and Take di areal kajian
8.2 Summary of results of pre-RBA, RBA and any final verification and
consultation.
Metodologi dan identifikasi yang digunakan dalam kajian pre-RBA dan RBA yaitu perjumpaan
langsung; ii) suara; iii) jejak atau tanda yang ditinggalkan: tapak di atas tanah, cakaran pada
batang pohon, kotoran, dan sisa-sisa bagian tubuh (misalkan: kulit luar, sisik, bulu, rambut
yang terlepas, tengkorak, tanduk, taring, atau bagian tubuh lainya yang masih bisa dikenali).
Data lain yang dikumpulkan yaitu terkait kondisi tutupan lahan vegetasi alami secara kualitatif
mencakup struktur vegetasi (stratifikasi tegakan vegetasi), fase suksesi (awal, lanjutan,
klimaks), dan kualitas tegakan vegetasi (utuh, relative utuh, sedikit terganggu, terganggu,
terdegradasi, sangat terdegradasi).
66 | P a g e
8.3 Final Draft ICLUP
Tahapan decision tree dilakukan terhadap 56 patch HCS yang terdiri dari 37 patch HCS di
areal kajian dan 30 patch HCS di areal lanskap dengan cakupan sejauh 1 km dari areal
kajian. Tahapan decision tree pada patch HCS di areal kajian dilakukan pada tahap 1-6 dan
tahap 9-13, sedangakan tahap 7-8 tidak dilakukan karena tidak terdapat patch prioritas
menengah yang akan dianalisis. Analisis decision tree di areal kajian menghasilkan 11 patch
HCS ditetapkan sebagai area konservasi HCS dan 26 patch HCS ditetapkan sebagai area
pengembangan.
Hasil integrasi area konservasi dan area potensial pengembangan di areal kajian
menunjukkan bahwa luas area konservasi (HCV dan HCS) yaitu 618.7 ha dan area potensial
untuk pengembangan kelapa sawit yaitu 2,596.5 ha (Gambar 33).
Tabel 26. Integrasi area konservasi dan area potensial pengembangan di areal kajian
% terhadap
No Deskripsi Luas (ha)
areal kajian
1 Areal kajian 7,569.0 100.0
2 Area HCV 361.9 4.8
3 Area Konservasi HCS* 256.8 3.4
4 Lahan Gambut - -
Sub-total area konservasi 618.7 8.7%
5 Lahan masyarakat - -
6 Area tertanam 4,353.7 57.5
7 Area potensial pengembangan 2,596.5 34.3
Keterangan: * Total Area konservasi HCS adalah 581,8 ha, terdapat tumpang tindih dengan area HCV seluas 325.0 ha, sehingga
luas netto area konservasi HCS adalah 256,8 ha.
Gambar 33. Peta integrasi area konservasi dan area potensial pengembangan di areal kajian
67 | P a g e
9. Forest Conservation Management and Monitoring
68 | P a g e