Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok


Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan

Tommy Langgeng Abimanyu


Pendidikan Geografi FKIP, UNS Surakarta
Jalan Insinyur Sutami No. 36A Kentingan Jebres Surakarta
Email: tommylanggeng@gmail.com

Naskah masuk: 29 - 03 - 2018


Revisi akhir: 25 - 05 - 2018
Disetujui terbit: 4 - 06 - 2018

IDENTIFICATION OF VILLAGE TOPONYMY OF CILONGOK SUB-DISTRICT UNDER


BANYUMAS REGENCY

Abstract

The location of Cilongok subdistrict, which is under Banyumas Regency, is quite far from the area
of the ​​spread of Sunda ethnic group. However, in Cilongok subdistrict there are names of villages that
originated fromSundanese name, such as Cikidang, Cilongok, and Cipete. “Ci”, which means water or
river, is a Sundanese generic name that becomes the characteristic of toponym. In addition, there are
facts that indicate there were ethnic migrations. In a number of areasin ​​West Java there are places that
have the same names with that of in Banten.The purpose of this research is to describecharacteristics
of village toponyms in Sub Cilongok and to find out the factors that influence the characteristics.Using
spatial approach, this qualitativeresearch studied 20 villages located in Cilongok sub-district. The data
were collected from library research, observations, interviews, and related documents.The data were
examined using spatial pattern analysis.The results of this study indicate that the village toponyms in
Cilongok sub-district were influenced by physico-natural, physico-artificial, and non physico-artificial
phenomena. The village toponyms in Cilongok sub-district is the result of assimilation of Sundanese
and Javanese cultures.

Keywords : toponyms, ethnic migration, Cilongok, Banyumas

Abstrak

Letak Kecamatan Cilongok berada cukup jauh dari daerah sebaran etnik Sunda. Akan tetapi, di
Kecamatan Cilongok terdapat nama-nama desa yang mengunakan istilah Sunda (Cikidang, Cilongok dan
Cipete). “Ci”merupakan nama generik toponim ciri khas Sunda yang artinya air atau sungai. Selain itu,
terdapat fakta-fakta yang mendukung adanya migrasi etnik, yaitu dengan ditemukannya nama tempat
yang sama di daerah Jawa Barat dan Banten. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang
menggunakan pendekatan keruangan. Objek penelitian meliputi 20 desa yang terdapat di Kecamatan
Cilongok. Teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara, dokumentasi dan studi pustaka.
Analisis data menggunakan analisis pola keruangan. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan
dan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik toponimi desa di Kecamatan Cilongok.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa toponimi desa di Kecamatan Cilongok dipengaruhi olehgejala
fisikal alami,gejala fisikal budayawi dan gejala non-fisikal budayawi. Adapun istilah pada toponimi di
Kecamatan Cilongok adalah hasil dari asimilasi yang disebabkan oleh pembauran dua kebudayaan Jawa-
Sunda.
Kata kunci : toponimi, toponim, nama desa, migrasi etnik, Cilongok

11
Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018 ISSN 1907 - 9605

I. PENDAHULUAN antaranya: “Rancamaya” terletak di daerah Bogor


Selatan, Jawa Barat, merupakan salah satu nama
Ukiran sejarah telah melahirkan toponim kelurahan di Kecamatan Ciawi. “Cikidang” terletak
sebagai identitas dan jati diri bangsa yang telah di Kabupaten Bandung Barat dan Sukabumi,
merepresentasikan nilai-nilai kedaerahan, yang merupakan nama salah satu desa dan kecamatan
sejatinya merupakan cikal bakal dari nilai-nilai di Jawa Barat. “Cipete” terletak di Kecamatan
kebangsaan. Toponimi adalah satu bidang ilmu Pinang, Kota Tangerang dan Kecamatan Curug,
yang mempelajari toponim serta totalitas dari Kota Serang, keduanya merupakan nama kelurahan
toponim dalam suatu region.1 Toponim bukan di Provinsi Banten. “Cilongok”, nama salah satu
sekedar rangkaian huruf yang menunjukkan nama kampung letaknya di Desa Sukamantri, Kecamatan
obyek di permukaan bumi. Terdapat informasi Pasar Kemis, Kota Tangerang, Banten.2
penting tentang nilai kearifan masyarakat melalui Peristiwa masa lampau telah membentuk
ungkapan-ungkapan bahasanya, menceritakan toponimi sebagai manifestasi ideologi masyarakat
sebuah perjalanan peradaban manusia yang pernah terdahulu. Maka dari itu, perlu diketahui faktor-
berkembang di suatu tempat, karena manusia selalu faktor apa saja yang telah mempengaruhi
memberi nama unsur-unsur lingkungannya sejak karakteristik toponimi desa di Kecamatan Cilongok.
manusia berbudaya dan menetap di suatu tempat. Dalam hal ini adalah eksistensi toponim desa-desa
Sejarah toponimi dikenal pada era Mesir di Kecamatan Cilongok sebagai bentuk dari gejala
kuno, bersamaan dengan dikenalnya peta. Wilayah fisik (tangible) atau gejala non-fisik (untangible).
nusantara atau yang dikenal sebagai Negara Berdasarkan perspektif keruangan, toponimi dapat
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki dikaji melalui pola-pola keruangannya. Pendekatan
berbagai macam sumberdaya, budaya, suku bangsa, keruangan merupakan suatu metode analisis yang
termasuk di dalamnya bahasa daerah. Kekayaan menekankan pada eksistensi ruang sebagai wadah
bahasa daerah di Indonesia merupakan warisan untuk mengakomodasikan kegiatan manusia dalam
budaya yang tak ternilai dan perlu dipertahankan. menjelaskan fenomena geosfer.3 Pola keruangan
Kecamatan Cilongok terdiri atas 20 desa, merupakan salah tema yang di ambil di antara
di antaranya: Batuanten, Cikidang, Cilongok, 9 tema analisis yang terdapat pada pendekatan
Cipete, Gununglurah, Jatisaba, Kalisari, Karanglo, keruangan. Tema analisis pola keruangan secara
Karangtengah, Kasegeran, Langgongsari, Pageraji, spesifik dibagi menjadi 4 macam penggolongan,
Panembangan, Panusupan, Pejogol, Pernasidi, yang dikenal dengan 4 istilah utama dalam ilmu
Rancamaya, Sambirata, Sokawera dan Sudimara. geografi, yaitu:
Letak Kecamatan Cilongok berada cukup 1) Gejala fisik alami (physico natural
jauh dari daerah sebaran etnik Sunda. Akan tetapi, phenomena)
dari 20 desa di Kecamatan Cilongok terdapat 2) Gejala fisik budayawi/artifisial (physico
toponim yang menggunakan istilah Sunda. “Ci” artificial phenomena)
merupakan istilah dalam bahasa Sunda yang
3) Gejala non-fisikal budayawi (non-physico
artinya air atau sungai. Fakta-fakta menarik lainnya
cultural phenomena)
adalah ditemukannya persamaan nama desa-
4) Gejala non-fisikal alami (non-physico
desa di Kecamatan Cilongok dengan nama-nama
natural phenomena).4
tempat yang terletak di Jawa Barat dan Banten, di

1 Jacub Rais, dkk., Toponimi Indonesia (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008), hlm. 5.
2 BIG, Peta RBI Digital NKRI. http://tanahair.indonesia.go.id, Citra Google Earth. Accesed 10-12-2017.
3 2
S Hadi Yunus, Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 44.
4 Ibid. 3
4

12
Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

Geografi adalah ilmu yang berusaha BT sampai 109⁰19’00” BT.7 Secara administratif
menemukan dan memahami persamaan-persamaan Kecamatan Cilongok terbagi dalam 20 desa, dengan
dan perbedaan yang ada dalam ruang muka bumi.5 batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:
Sebagai ilmu yang mempelajari persamaan dan a) Sebelah utara adalah Kabupaten Brebes,
perbedaan fenomena yang ada dalam ruang muka Kabupaten Tegal dan Kabupaten
bumi, perspektif geografi berupaya mengkaji dan Pemalang.
memberikan kontribusi terkait fenomena di suatu b) Sebelah timur adalah Kecamatan
wilayah di antaranya adalah fenomena toponimi di Kedungbanteng dan Kecamatan
Indonesia. Karanglewas.
Penelitian ini menggunakan metode c) Sebelah selatan adalah Kecamatan
kualitatif dengan pendekatan keruangan. Objek Purwojati, Kecamatan Rawalo dan
pada penelitian ini adalah 20 desa yang ada di Kecamatan Patikraja.
Kecamatan Cilongok. Teknik pengumpulan data d) Sebelah barat adalah Kecamatan
berupa observasi, wawancara, dokumentasi, dan Pekuncen dan Kecamatan Ajibarang.8
studi pustaka. Data primer diperoleh dari hasil
wawancara terdiri daripada beberapa informan atau
narasumber yaitu Perangkat Desa, Budayawan,
Praktisi akademisi, dengan berbagai latarbelakang
pengetahuan, kompetensi disiplin keilmuannya
seperti Geografi, Sejarah, Antropologi, Biologi,
Linguistik.6
Data sekunder pada penelitian ini merupakan
hasil dokumentasi dan studi pustaka terdiri dari
beberapa sumber diantaranya Literasi Sejarah,
Literasi Budaya, Peta RBI, Foto Udara/Citra Google
Earth. Analisis data menggunakan analisis pola
keruangan yang dikombinasikan dengan spatial
tipologi toponim untuk analisis pada perspektif
waktu.

II. DESKRIPSI LOKASI

A. Kondisi Geografis
Berdasarkan Peta RBI Digital Badan Informasi
Kecamatan Cilongok merupakan salah satu Geospasial Tahun 2017 dan data Citra Google Earth
kecamatan yang terletak di Kabupaten Banyumas, Tahun 2017, Kecamatan Cilongok memiliki luas
Provinsi Jawa Tengah. Secara astronomis wilayah 10.534 ha, yang terbagi menjadi beberapa
Kecamatan Cilongok terletak antara 7⁰26’27” penggunaan lahan. Kecamatan Cilongok merupakan
LS sampai 7⁰48’25” LS dan antara 109⁰10’49”

5 I Made Sandy, “GEOGRAFI Perkembangannya di Indonesia dan Pelajaran Geografi di Sekolah Lanjutan.” Pidato Pengukuhan Dalam Jabatan
Guru6 Besar Luar Biasa Mata Pelajaran Geografi Pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Jakarta. 30 Maret 1988.
6 BIG, “Peran Toponimi dalam Pelestarian Budaya Bangsa dan Pembangunan Nasional”, Seminar, Bandung, 2013. dari http: //bakosurtanal.go.id/
berita-surta/show/peran-toponimi-dalam-pelestarian- budaya-bangsa-dan-pembangunan. Accessed 27-9-2017.
7 Citra Google Earth Tahun 2017, accesed 10-12-2017.
7 Tahun 2017. Accesed 10-12-2017.
8 BIG, Peta RBI Digital NKRI. http://tanahair.indonesia.go.id, Citra Google Earth
8

13
Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018 ISSN 1907 - 9605

kecamatan dengan wilayah terluas, mengisi 7,93 % Cilongok termasuk dalam klasifikasi bentuklahan
dari wilayah Kabupaten Banyumas. asal proses vulkanik yang terdiri atas lereng bawah
Menurut topografinya, ketinggian rata-rata gunungapi, lereng kaki fluvial gunungapi, lembah
Kecamatan Cilongok dari permukaan laut adalah gunungapi dan dataran fluvial gunungapi.
225 mdpl. Ketinggian tempat di Kecamatan
Cilongok berdasarkan profil melintang dari selatan B. Kondisi Sosiokultural
ke utara yaitu berkisar antara 99 mdpl hingga 2012 Etnik yang berkembang di wilayah
mdpl, lalu berdasarkan profil melintang dari barat Kecamatan Cilongok adalah kebudayaan
ke timur, ketinggian tempat di Kecamatan Cilongok Banyumas atau sering disebut juga dengan budaya
berkisar antara 197 mdpl hingga 244 mdpl.9 Banyumasan. Budaya dan bahasa Banyumasan
Seluruh bentuklahan yang ada dipermukaan lebih akrab dijumpai di tengah-tengah masyarakat
bumi, dalam sejarah perkembangannya mengalami Kecamatan Cilongok. Menurut Ahmad Tohari,
suatu siklus perkembangan tertentu yang bahasa Banyumasan sejatinya merupakan bahasa
disebut siklus geomorfik (geomorphyc cycle). yang paling mendekati dengan bahasa Jawa
Siklus geomorfik digolongkan menjadi dua ciri Kuno (Kawi), bukti dari tidak terpengaruhnya
iklim yaitu, siklus geomorfik iklim basah dan masyarakat Banyumas oleh feodalisme.11
siklus geomorfik iklim kering. Bentuklahan Unsur-unsur kebudayaan Jawa lama (Jawa
dan permukaan bumi di Kecamatan Cilongok kuno) dipengaruhi kebudayaan India (Hindu-
dipengaruhi oleh siklus geomorfik iklim basah. Buddha) yang sejak lama telah disebarkan oleh
Wilayah Kecamatan Cilongok merupakan daerah Aji Saka.12 Kebudayaan Jawa Kuno diyakini
iklim basah, didominasi oleh hutan hujan tropis. dipengaruhi oleh Kerajaan Galuh Purba, Kerajaan
Faktor yang mempengaruhinya adalah erosi yang Mataram pada abad ke-8, dan Kerajaan Majapahit
sistematis dari aliran sungai-sungai yang berasal pada abad ke-12. Selanjutnya unsur-unsur
dari lereng G. Slamet dan curah hujan yang tinggi Kebudayaan Jawa Pertengahan yang diyakini
di daerah hutan hujan tropis. Mengukir wilayah dipengaruhi oleh Kerajaan Demak (1500-1550),
Kecamatan Cilongok dalam saluran yang kompleks Kerajaan Pajang (1549-1582) dan Kerajaan
dengan lembah-lembah yang bervariasi kemiringan Mataram Islam Kasunanan Surakarta (1558-1830).
maupun kedalamannya dan proses ini berlangsung Karena politik kolonial Belanda dalam pembagian
terus menerus. wilayah kekuasaan kerajaan, Kasultanan Yogyakarta
Kecamatan Cilongok merupakan daerah memegang kekuasaan di Jawa Timur, sedangkan
struktur vulkanik dengan faktor proses yang bekerja Kasunanan Surakarta memegang kekuasaan di Jawa
pada struktur tersebut adalah aliran sungai yang Tengah, yakni Banyumas dan sekitarnya termasuk
terus menerus mengalir. Faktor curah hujan yang Kecamatan Cilongok.
tinggi di Kecamatan Cilongok memperbesar debit Menurut Yusmanto, “perkembangan budaya
air sungai, serta mempercepat arus sungai, sehingga Banyumasan tidak sekedar di wilayah administratif
mempertinggi proses penggerusan. Geomoforlogi Kabupaten Banyumas. Di sebelah utara berbatasan
puncak dari G. Slamet, Jawa Tengah, dan baranco dengan kebudayaan Pesisir Utara, di sebelah selatan
mengarahkan aliran fluvio-vulkanik ke barat daya.10 mencapai Pesisir Kidul, di sisi timur berbatasan
Kecamatan Cilongok terdapat di sebelah barat daya dengan kebudayaan Kedu, dan di sisi barat
dari Puncak G. Slamet, jarak tempuh kurang lebih berbatasan dengan kebudayaan Sunda. Sebagai
58,4 km dari G. Slamet. Maka, wilayah Kecamatan turunan dari induk kebudayaan Jawa, masyarakat
9 Citra Google Earth Tahun 2017. Accesed 10-12-2017
10 Herman Th. Verstappen, Garis Besar Geomorfologi Indonesia. Terj. Sutikno11 .
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), hlm. 81.
11 Wawancara dengan Ahmad Tohari, pada tanggal 30-11-2016. 12
12 S. Abimanyu, Babad Tanah Jawi (Yogyakarta: Laksana, 2014), hlm. 47.

14
Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

Banyumas dan sekitarnya menjunjung tinggi tradisi Dalam kaitannya dengan toponimi, proses-
Jawa. Budaya Banyumasan terbentuk dari perpaduan proses terciptanya toponim desa-desa di Kecamatan
antara unsur-unsur kebudayaan Jawa lama dengan Cilongok berasosiasi dengan dengan kenampakan
pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam fenomena geosfera yang dipengaruhi oleh ruang
perjalanannya kebudayaan Banyumas dipengaruhi dan waktu. Ruang sebagai pangkal pemikiran
oleh etnik Jawa baru, etnik Sunda, etnik Islami dan geografi, waktu sebagai pangkal pemikiran sejarah.
etnik Barat”.13 Sesuai pernyataan Yusmanto yang Karena pada dasarnya, rancangan sejarah tidak
mengutip simpulan Lysloff, penggunaan akhiran akan mencapai tujuannya tanpa memperhatikan
“an” pada kata “Banyumas” menunjukkan lokalitas faktor geografis. Dalam perspektif keruangan,
atau kekhususan, seperti pada kata “Semarangan”, waktu digunakan sebagai dasar acuan kapan
“Jawa Timuran”, “Surabayan”, “Magelangan”, suatu fenomena dalam ruang muka bumi tercipta
dan lain-lain. Penggunaan akhiran “an” berkaitan atau terbentuk. Dinamika ruang di pengaruhi
dengan pandangan cenderung dimaksudkan untuk oleh perubahan bentuk fisik bentang alam, secara
mengecilkan.14 Hal ini menunjukkan bahwa geomorfologi yang disebabkan oleh tenaga endogen
Budaya Banyumasan terdapat di dalam satu lingkup maupun eksogen.
kebudayaan yang lebih besar, yakni budaya Jawa.
Jauhnya wilayah Banyumas dari pusat kekuasaan A. Toponimi Desa Kecamatan Cilongok
kraton membuat corak kebudayaan tersendiri, dalam Perspektif Keruangan
kebudayaan pinggiran kalangan rakyat yang jauh Toponimi desa di Kecamatan Cilongok dalam
dari hegemoni kehidupan kraton. Kebudayaan ini pendekatan geografi yang dapat dikaji menurut pola-
tumbuh berkembang di kampung-kampung/dusun- pola keruangan Yunus, yaitu pola-pola keruangan
dusun, sebagai wujud tradisi dari kehidupan rakyat yang ditinjau dari segi ekspresi keruangannya.
kecil.15 Geografi ialah ilmu dengan identitas spasialnya,
substansi kajiannya meliputi aspek fisik dan non-
III. TOPONIMI DESA KECAMATAN fisik. Gejala fisik adalah gejala-gejala yang berkaitan
CILONGOK dengan penamaan toponimi yang eksistensinya
menunjukan bentuk yang dapat disentuh secara
Nama tempat selalu berasosiasi atau fisik (tangible). Gejala non-fisik adalah gejala-
diasosiasikan dengan berbagai bentuk fenomena gejala yang berkaitan dengan penamaan toponim
alam yang hadir atau pernah hadir di tempat atau yang tidak dapat disentuh secara fisik (untangible).
sekitar tempat yang menyebabkan setiap wilayah macam penggolongan, yang dikenal dengan 4
memiliki faktor yang berbeda-berbeda dalam istilah utama dalam ilmu geografi, yaitu: (a)
penciptaan sebuah nama. Di Indonesia, sejarah gejala fisik alami, meliputi: hidrologis (sungai),
asal-usul toponim banyak dijumpai melalui cerita morfologis/ fisiografis, (pegunungan, perbukitan,
rakyat atau legenda, baik itu secara lisan maupun lembah), biodiversitas (flora, fauna), (b) gejala
tulisan. Pada dasarnya legenda merupakan cerita fisik budayawi/artifisial, meliputi: fisik buatan
sejarah, namun lama-kelamaan bercampur dengan (permukiman, gedung, jalan), (c) gejala non-fisikal
bumbu-bumbu tambahan yang bukan merupakan budayawi, meliputi: antroposfer (sosial, politik,
kejadian sebenarnya. Sehingga pada hakikatnya, tradisi), (d) gejala non-fisikal alami, meliputi: suhu
semua legenda terdapat benang merahnya dengan dan iklim.16
sejarah.

13 Wawancara dengan Yusmanto, pada tanggal 29-11-2016.


14 Lysloff dalam Yusmanto, “Calung (Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas),” Tesis. (Surakarta: Institut Seni Indonesia, 2006), hlm. 38.
15 Wawancara dengan Yusmanto, pada tanggal 29-11-2016.
16
16 Yunus, Hadi, S, Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 44.

15
Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018 ISSN 1907 - 9605

Tabel 1. Faktor-faktor yang telah mempengaruhi karakteristik toponimi desa di Kecamatan Cilongok.

No Gejala Unsur-unsur Nama Desa Makna Toponim

1. Fisikal alami Hidrologis (sungai), morfologis/ fisiografis, (pegunungan, perbukitan, Cikidang


Sungai dan Kidang/Kijang
lembah), biodiversitas (flora, fauna)
Cilongok
Mata air yang muncul

Gununglurah Pegunungan yang terdapat


pusaka lurah
Karanglo Perkampungan yang sekitarnya
banyak di tumbuhi Pohon Lo/
Loa/Elo/Ara
Rancamaya Rawa
Sambirata Pohon Kesambi di tempat yang
rata
Sokawera Bunga Soka yang tumbuh di
tanah yang indah, lebar dan rata
2. Fisikal Fisik buatan (permukiman, gedung, jalan), Karangtengah Perkampungan di tengah sawah
budayawi/
artifisial
3. Non-fisikal Antroposfer (sosial, politik, tradisi) Batuanten Mbantu Banten
budayawi Cipete Cupet/sempit
Jatisaba Pesabane Raden Jati Anom
Kalisari Kalikidang dan Karangsari
Kasegeran Seger/segar
Langgongsari Anggang-enggong ilang
trenggonge/mondar-mandir
ditempat yang asri
Pageraji Ajian pengaman desa
Panembangan Orang yang dipertuan
Panusupan Tlasap-tlusup/ menyusup
masuk kedalam hutan/lewat
secara sembunyi-sembunyi
Pejogol Gogol/tumbang
Pernasidi Kaki Pernasidi
Sudimara Bersedia hadir

Sumber: hasil wawancara, dokumentasi, studi literatur/pustaka

a. Gejala Fisikal Alami Jawa yang artinya kepala desa) dipengaruhi


1) Cikidang oleh daerah kawasan pegunungan yang terdapat
Nama “Cikidang” (ci; bahasa Sunda yang pusaka keris yang terkenal dengan sebutan
artinya “air” atau “sungai”, kidang; bahasa “Pusaka Lurah”.
Sunda dan Jawa yang artinya Kijang) 4) Karanglo
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang Nama “Karanglo” (karang; bahasa Jawa yang
terdapat sungai dan hewan (Kidang/Kijang). berarti kampung, Lo; bahasa Jawa yang berarti
2) Cilongok pohon Loa/Elo/Ara) dipengaruhi oleh kondisi
Nama “Cilongok” (ci; bahasa Sunda bahasa lingkungan yang terdapat Pohon Loa/Elo/Ara.
Sunda yang artinya “air” atau “sungai”, longok; 5) Rancamaya
bahasa Sunda yang artinya nengok dan bahasa Nama “Rancamaya” (ranca; bahasa Sunda
Jawa yang artinya muncul). yang artinya rawa, maya; bahasa Sunda yang
3) Gununglurah artinya bayangan dan Jawa yang artinya tidak
Nama “Gununglurah” (gunung; bahasa Jawa nyata) dipengaruhi oleh kenampakan sebuah
yang artinya daerah pegunungan, lurah; bahasa rawa. Wilayah Desa Rancamaya merupakan

16
Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

sebuah lembah yang di aliri sungai, sehingga 4) Kalisari


menunjukan dahulunya pernah terdapat rawa Nama “Kalisari” (kali; bahasa Jawa yang
belakang (backswamp). diambil dari suku kata depan dari Desa
6) Sambirata Kalikidang, sari; bahasa Jawa yang diambil
Nama “Sambirata” (sambi; bahasa Jawa yang dari suku kata belakang dari Desa Karangsari)
artinya pohon Kesambi, rata; bahasa Jawa yang dipengaruhi oleh penyatuan desa pada masa
artinya datar) yang artinya Pohon Kesambi di pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dengan
tempat yang rata. menggabungkan kedua nama desa.
7) Sokawera 5) Kasegeran
Nama “Sokawera” (soka; bahasa Jawa yang Nama “Kasegeran” (seger; bahasa Jawa yang
artinya bunga Soka, wera; bahasa Jawa yang artinya segar) dipengaruhi oleh para pandita
artinya kondisi lingkungan yang nyaman) yang melakukan perjalanan dan kemudian
dipengaruhi oleh keberadaan Bunga Soka yang singgah di suatu tempat. Siang hari yang panas
terdapat di lahan yang indah, lebar dan rata. terik, mereka disuguhi buah pepaya yang
rasanya segar.
b. Gejala Fisikal Budayawi/Artifisial 6) Langgongsari
1) Karangtengah Nama “Langgongsari” (langgong; anggang-
Nama “Karangtengah” (karang; bahasa Jawa enggong ilang trenggonge bahasa Jawa yang
yang artinya kampung, tengah; bahasa Jawa artinya mondar-mandir kebingungan, sari;
yang artinya ditengah sawah) dipengaruhi oleh bahasa Jawa yag artinya asri) dipengaruhi
kampung di tengah sawah atau permukiman oleh para pandita yang melakukan perjalanan.
yang mengelompok di tengah sawah. Dalam perjalanannya, menjelang malam para
pandita kehilangan arah dan mondar-mandir
c. Gejala Non-Fisikal Budayawi kebingungan di tempat yang asri.
7) Pageraji
1) Batuanten
Nama Pageraji (pager; bahasa Jawa yang
Sejatinya bernama Bantuanten, namun terjadi
artinya pengaman, aji; bahasa Jawa ajian).
perubahan dalam pengucapan sehingga
Nama Pageraji diciptakan pada saat masa
berubah menjadi Batuanten. Nama “Batuanten”
pemerintahan Sultan Trenggono (Raja Demak)
(mbantu; bahasa Jawa, artinya memberikan
yang artinya ajian pengaman desa.
pertolongan, Banten; nama sebuah provinsi
8) Panembangan
yang terletak di ujung barat Pulau Jawa).
Nama “Panembangan” (panembahan; bahasa
2) Cipete
Jawa artinya yang dipertuan) dipengaruhi
Nama “Cipete” (cupet; bahasa Jawa yang
oleh seorang tokoh bernama Singadipa
artinya sempit) dipengaruhi oleh seorang
yang merupakan kerabat Kraton Surakarta
tokoh bernama Abdusshomad yang pada
Hadiningrat sebagai orang yang dipertuan.
masa itu telah menyatakan ketidaksediaannya
9) Panusupan
untuk bergabung dalam wilayah Kawedanan
Nama “Panusupan” (tlasap-tlusup; bahasa Jawa
Ajibarang maupun Kawedanan Pasirluhur.
yang artinya menyusup masuk kedalam hutan/
3) Jatisaba
lewat secara sembunyi-sembunyi) dipengaruhi
Nama “Jatisaba” (Jati; Raden Jati Anom, Saba;
oleh kondisi wilayah pada masa lampau yang
bahasa Jawa yang artinya tempat/pesabane
merupakan areal hutan yang lebat.
Raden Jati membuka lahan atau membabad
hutan menjadi areal untuk bermukim).

17
Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018 ISSN 1907 - 9605

10) Pejogol puncak G. Slamet (3.428 mdpl). Aktivitas vulkanis


Nama “Pejogol” (gogol; bahasa Jawa yang pada masanya telah membentuk variasi kenampakan
artinya tumbang/kalah) dipengaruhi oleh di mukabumi wilayah Kecamatan Cilongok. Catatan
wilayah ini Raden Kamandaka kalah dan gugur letusan G. Slamet diketahui sejak abad ke-19,
dalam peperangan. dan sebagaimana seperti gunungapi lainnya yang
11) Pernasidi terdapat di Pulau Jawa, G. Slamet terbentuk akibat
Nama “Pernasidi” (pernasidi; bahasa Jawa yang subduksi lempeng Indo-Australia dan Lempeng
merupakan nama seorang tokoh masyarakat) Eurasia di selatan Pulau Jawa.
telah dipengaruhi oleh seorang tokoh bernama G. Slamet merupakan gunungapi tipe strato
Kaki Pernasidi yang telah berjasa membantu dengan tipe letusan campuran. Letusan campuran
proyek pembangunan jalan yang di pimpin oleh merupakan tipe letusan yang terjadi karena tekanan
Daendels pada masa pemerintahan Kolonial gas magma yang terkadang lemah dan besar serta
(Hindia-Belanda). sumber magmanya yang dalam. Magmanya kental
12) Sudimara dan kadang-kadang cair, sehingga magma yang
keluar akan menimbulkan ledakan dan bergantian
Nama “Sudimara” (sudi; bahasa Jawa yang
dengan lelehan membentuk puncak yang kerucut.17
artinya bersedia, mara; bahasa Jawa yang
G. Slamet memiliki dua kerucut akibat dari
artinya hadir) dipengaruhi oleh seorang tokoh
pergeseran sedikit dari pusat aktivitasnya, sebagian
bernama Abdusshomad (tokoh Islam) yang
kenampakan utama lainnya dari gunung api tipe
atas bersedia hadir untuk menemui Sudirekso
strato adalah terdapat jurang pengikisan yang
(tokoh Kejawen).
dalam (barancos) yang lebar, asal mulanya sering
akibat sesar pada puncak yang diakibatkan oleh
akitivitas vulkanik. Runtuhnya dinding kawah
dan lereng akan membentuk lembah lebar yang
kemudian menjadi arah aliran produk vulkanik.
Geomoforlogi puncak dari G. Slamet, Jawa Tengah,
dan baranco mengarahkan aliran fluvio-vulkanik
ke barat daya.18
Kecamatan Cilongok terdapat di sebelah barat
daya dari Puncak G. Slamet. Maka dari segi gatra
morfogenesanya, Kecamatan Cilongok termasuk
dalam klasifikasi bentuk lahan asal proses vulkanik
yang terdiri atas lereng bawah gunungapi, lereng
kaki fluvial gunungapi, lembah gunungapi dan
dataran fluvial gunungapi. Pada bentuk lahan
asal proses vulkanik meliputi lereng kaki fluvial
gunungapi dan dataran fluvial gunungapi banyak
terdapat aktivitas aliran sungai, yang terdiri dari
Spatial tipologi toponim akibat dari gejala dua pola aliran sungai yaitu radial dan dendritik.
fisikal alami dan fisikal budayawi secara umum Pola aliran radial sentrifugal yang menyebar dari
telah dipengaruhi oleh letak geografis Kecamatan puncak G. Slamet terdapat di sekitar kerucut G.
Cilongok yang berada di sebelah barat daya dari Slamet. Sedangkan pola aliran dendritik banyak

17 I Wayan Treman, Geomorfologi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), hlm. 39.


18 Herman Th. Verstappen, Op. Cit. hlm. 81. 17
18

18
Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

terdapat pada wilayah lereng kaki G. Slamet yang dan Kasunanan Surakarta (1558-1830). Tahun 1830
pada umumnya di dominasi oleh sungai-sungai sampai akhir Perang Diponegoro, seluruh daerah
kecil yang lebarnya berkisar antara 1 sampai 3 Mancanegara Yogyakarta dan Surakarta dikuasai
meter. Sungai dengan pola aliran dendritik memiliki oleh Belanda. Peristiwa tersebut sebagai awal mula
ciri-ciri di antaranya, saluran sungai mengikuti Era Kolonial (Hinda-Belanda) di Nusa Jawa.20
kemiringan lereng, memiliki banyak anak cabang Peristiwa bersejarah pada masa-masa tersebut
yang kemudian bergabung ke sungai induk. telah menciptakan nama-nama desa di Kecamatan
Selain itu, dengan kawasan lereng atas yang Cilongok di antaranya seperti Batuanten, Cipete,
merupakan kawasan hutan hujan tropis yang masih Jatisaba, Pageraji, Panusupan, Panembangan,
terjaga, G. Slamet memiliki keanekaragaman dari Pejogol, Pernasidi, Kalisari, Langgongsari,
segi flora dan fauna. Kawasan lereng G. Slamet Kasegeran dan Sudimara..
memiliki memiliki sumber daya air yang melimpah,
a. Era Klasik (Hindu-Buddha)
sehingga pemanfaatan untuk pertanian lahan
basah (sawah) lebih dominan daripada pertanian Pada era ini merupakan eksistensi dari
lahan kering. Akibat dari pengaruh bentang alam kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, maupun masa
tersebut, telah membentuk nama-nama desa di berkembangnya Kebudayaan Jawa Kuno dan Sunda.
antaranya seperti Rancamaya (rawa belakang), Berikut ini situs-situs bersejarah peninggalan pada
Cilongok (mata air), Cikidang (sungai dan fauna), era Klasik (Hindu-Buddha):
Gununglurah (pegunungan), Sambirata (flora),
1) Watu Lumpang
Karanglo (flora), Sokawera (flora) pada gejala
Watu Lumpang atau Situs Sambirata atau Situs
fisikal alami dan Karangtengah (perkampungan/
Cilongok merupakan peninggalan purbakala
permukiman di tengah sawah) pada gejala fisikal
yang terdapat di desa Sambirata.
budayawi.
2) Watu Janji
Pada gejala non-fisikal budayawi pada toponimi
desa di Kecamatan Cilongok telah dipengaruhi oleh Situs Watu Janji pada zaman dahulu menjadi
kondisi sosiokultural masyarakat desa di Kecamatan tempat bermunajat kepada Yang Maha
Cilongok pada masa lampau, mulai dari era Klasik Pencipta. Watu Janji sejatinya merupakan Arca
(Kerajaan Hindu-Buddha), era Islam (Kerajaan Ganesha yang belum jadi. Situs Watu Janji
Islam) hingga era Kolonial (Hindia-Belanda). terletak di Desa Gununglurah.
Jawa Tengah memiliki riwayat kerajaan- b. Era Islam (Kerajaan Islam)
kerajaan berbeda kepemimpinan yang telah
Pada era ini merupakan eksistensi dari kerajaan-
menimbulkan legitimasi kekuasaan pada masanya,
kerajaan Islam, maupun masa berkembangnya
pada era Klasik (Hindu-Buddha), di antaranya
Kebudayaan Jawa Pertengahan dan Jawa Baru.
adalah Kerajaan Galuh Purba (sekitar abad ke-1
Kecamatan Cilongok pernah menjadi teritorial dari
sampai ke-5), Kerajaan Kalingga (abad ke-6),19
Kerajaan Demak dan Kerajaan Mataram Islam/
Kerajaan Mataram (abad ke-8 hingga abad ke-
Kasunanan Surakarta. Berikut ini merupakan
10), Kerajaan Sunda/Pajajaran (932-1579),
makam para penyebar Islam pada era Islam:
dan Kerajaan Majapahit (1293-1518). Setelah
runtuhnya kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, 1) Makam Syaikh Abdusshomad
muncul kerajaan-kerajaan Islam pada Era Islam di Makam Syaikh Abdusshomad terdapat di Desa
antaranya adalah Kerajaan Demak (1500-1550), Cipete. Syaikh Abdusshomad berasal dari
Kerajaan Mataram Islam/Kesultanan Yogyakarta
19 Van Der Meulen dalam Daldjoeni, N., Geografi Kesejarahan II (Bandung: Alumni Bandung, 1992), hlm. 60.
20 S. Abimanyu, Op. Cit., hlm. 58-352.
20

19
Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018 ISSN 1907 - 9605

Cirebon, menetap di dusun Jombor, Cipete dan beberapa pusat kegiatan kecil yang sibuk yang
mendirikan pesantren. dikenal dengan nama Pasir. Pada abad ke-16 dan ke-
2) Makam Syaikh Abdussalam 17 daerah yang disebut Pasir ini berfungsi sebagai
Makam Syaikh Abdussalam terdapat di Desa persinggahan Islam antara Demak dan bagian timur
Gununglurah. Syaikh Abdussalam merupakan Tanah Pasundan. Bagi mereka yang datang dari
seorang kerabat Mataram. barat, daerah ini merupakan serambi dunia Jawa.22
Kecamatan Cilongok merupakan salah satu bagian
c. Era Kolonial (Hindia-Belanda) di dalamnya, karena termasuk ke dalam wilayah
Pada era ini merupakan masa pemerintahan Kabupaten Banyumas.
Hindia-Belanda, setelah kekalahan Pangeran Leluhur Banyumas merupakan percampuran
Diponegoro pada tahun 1830 M sehingga antara Majapahit dan Pajajaran. Raden Baribin,
melemahnya perlawanan terhadap kolonialisasi. salah seorang adik dari Brawijaya IV telah menikah
Pada era ini sistem pemerintahan dirubah menjadi dengan putri Pajajaran. Keduanya menikah
modern yang mengkiblat dari Eropa. Bukti dari kemudian dikaruniai keturunan bernama Raden Joko
era Kolonial adalah Monumen Poejadi Djaring Kahiman yang menjadi Adipati Banyumas pertama
Bandajoeda yang terletak di Desa Gununglurah, bergelar Adipati Warga Utama II atau Adipat
Kecamatan Cilongok. Dibangun pada tahun 1977 Mrapat. Kenyataan demikian menggambarkan
untuk mengenang peristiwa pertempuran antara bahwa dari sisi historis sekalipun dapat dilihat
Belanda dengan para pejuang Republik Indonesia kuatnya percampuran Jawa-Sunda dalam ranah
pada tahun 1949. Monumen/Tugu Poejadi Djaring kebudayaan Banyumas.23 Pada berbagai aspek
Bandajoeda diambil dari nama pejuang pergerakan sosiokultural dapat dilihat dengan jelas lekatnya
di wilayah Kabupaten Banyumas yaitu Kol. Inf. percampuran kedua kutub etnik tersebut, khususnya
Poedjadi Djaring Bandajoeda (1971-1978) yang dalam kaidah-kaidah Budaya Banyumasan.
merupakan Bupati Ke-26 Kabupaten Banyumas. Menurut Ahmad Tohari, “wujud kesenian tokoh
pewayangan Bagong; Jawa dan Cepot; Sunda
memiliki kemiripan dari segi karakternya yang
IV. ASIMILASI KEBUDAYAAN
cablaka (apa adanya). Masyarakat Banyumas
Kecamatan Cilongok terletak pada bentang menyebutnya dengan nama Bawor (salah satu
budaya Jawa, karena budaya Banyumasan tokoh Punakawan yang pada umumnya dikenal
merupakan salah satu sub dari budaya Jawa. dengan sebutan Bagong). Penamaan Bawor dalam
Bentang budaya Jawa tersebar di sebagian kecil pewayangan adalah salah satu contoh dari bentuk
wilayah Jawa Barat (wilayah pesisir utara seperti, percampuran dua kebudayaan Jawa dan Sunda yang
Indramayu, Cirebon), seluruh wilayah Jawa mencerminkan identitas budaya Banyumasan”.24
Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur (kecuali Secara historis bahasa Jawa Banyumasan
Pulau Madura dan wilayah pesisir paling timur merupakan bahasa yang paling dekat dengan bahasa
Pulau Jawa).21 Jawa Kuno.25 Sejarah kependudukan Kecamatan
Menurut Lombard, zaman dahulu wilayah Cilongok tidak terlepas dari sejarah kependudukan
Kabupaten Banjarnegara, Purbalingga, Purwokerto Banyumas yang diyakini berasal dari migrasi
dan Banyumas merupakan tempat berkembangnya penduduk pada abad ke-3 SM yang dilakukan oleh

21 N. Daldjoeni, Op. Cit., hlm. 61.


22 D. Lombard, NUSA JAWA: SILANG BUDAYA Kajian Sejarah Terpadu Bagian 22 I: Batas Batas Pembaratan. Terj. Arifin W, P, dkk. (Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 33. 23
23 Sugeng Priyadi dalam Yusmanto, Lysloff dalam Yusmanto, “Calung (Kajian 24
tentang Identitas Kebudayaan Banyumas).” Tesis, (Surakarta: Institut
Seni Indonesia, 2006), hlm. 46. 25
24 Wawancara dengan Ahmad Tohari, pada tanggal 30-11-2016.
25 Wawancara dengan Ahmad Tohari, pada tanggal 30-11-2016.

20
Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

kelompok imigran dari Kerajaan Kutai Kertanegara kali (sisi timur sungai) dan sub-dialek kulon
(sekarang Kalimantan). Berdasarkan catatan Van kali (sisi barat sungai). Sub-dialek wetan kali
Der Muelen, nenek moyang orang Jawa berasal dari cenderung dekat dengan bahasa Jawa standar yang
Kutai Kalimantan. Pada abad ke-3 SM kelompok dikembangkan di wilayah negarigung. Sedangkan
imigran dari Kerajaan Kutai telah bermigrasi sub-dialek kulon kali cenderung dekat dengan
ke Pulau Jawa dan mendarat di Pantai Cirebon. bahasa Sunda. Faktanya, nama-nama desa di bagian
Sebagian kelompok imigran menetap di sekitar G. barat Sungai Serayu banyak yang menggunakan
Ceremai dengan cara mengelilingi sebelah barat G. istilah “ci”.” 28
Cermei. Adapun sisanya meneruskan ekspansinya “Sungai” dalam bahasa Indonesia, di daerah
masuk ke Jawa Tengah, dengan cara mengelilingi Lampung disebut dengan istilah “wai” seperti
lereng sisi selatan G. Ceremei mengkuti aliran Ci Wai Seputih. “Wai” untuk suku Maori dan Hawaii
Tanduy, yang selanjutnya menduduki lereng-lereng artinya air, di Tahiti menjadi “ai”, di Jawa Barat
G. Slamet dan lembah Ci Sarayu (sekarang Sungai menjadi “ci”, seperti Ci Tarum dan konon kabarnya
Serayu) di dekatnya.26 Lokasi Kecamatan Cilongok berasal dari bahasa Cina “chi” yang berarti juga air
berada di sisi selatan G. Slamet, dan berada di atau sungai (Rais, 2006).29 Franz Magnis Suseno
sebelah barat Sungai Serayu. menyebutkan bahwa asal-usul penduduk Jawa
Menurut Yusmanto, “pada era Klasik (Hindhu- berasal dari perpindahan penduduk dari Melayu
Buddha), sebelah barat Lo Gawa (DAS Serayu) yang berasal dari Cina Selatan, yang dimulai sejak
pada waktu itu menjadi batas teritorial dari dua tahun 3000 SM (sesuai pendapat yang dikatakan
Kerajaan, yaitu batas teritorial dari Kerajaan oleh J. H. Kerm dalam buku Linguistic Materials
Pajajaran dengan Kerajaan Mataram dan Kerajaan for the determination of the Century of Origin of
Pajajaran dengan Kerajaan Majapahit (dikarenakan Malay People).30 Menurut Pires, tulisnya kira-
sekitar abad ke-10 Mataram runtuh, dan pada abad kira pada tahun 1515, konon orang Jawa sudah
ke-12 dikuasai oleh Kerajaan Majapahit). lama ada kecocokan dengan orang Cina. Sebab,
Kerajaan Pajajaran pada masanya telah pernah diberitakannya kisah tentang penguasa
menguasai sebagian besar wilayah Pulau Jawa. Cina yang mengirim seorang anak perempuannya
Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan yang kepada vasal Jawa untuk dinikahi, diiringi dengan
berjajar, mulai dari kerajaan-kerajaan yang sejumlah besar pengikut dan sebuah kapal penuh
menguasai ujung barat Pulau Jawa sampai dengan kepeng (uang) Cina. Selain itu, karena orang Cina
bagian tengah Pulau Jawa. Eksistensi toponimi sudah berdagang dengan Jawa jauh sebelum ada
awalan “ci” di Pulau Jawa adalah sebagai salah satu Malaka.31
bukti tanda wilayah kekuasaan Kerajaan Pajajaran
pada masanya.27
Sekitar abad ke-9 sampai dengan abad ke-
15 wilayah Kecamatan Cilongok termasuk dalam
wilayah Kerajaan Pajajaran. Alhasil, sekarang
melahirkan dua sub-dialek, yaitu sub-dialek wetan

26 N. Daldjoeni, Op. Cit., hlm. 61.


27 Wawancara dengan Miftahudin, pada tanggal 27-11-2016. 28
28 Wawancara dengan Yusmanto, pada tanggal 29-11-2016. 29
29 Jacub Rais, “Arti Penting Penamaan Unsur Geografi, Definisi, Kriteria 30 dan Peranan PBB dalam Toponimi”. Kasus Nama-Nama Pulau di
31
Indonesia, Jakarta 21 April 2005. hlm.2. http://geogesy.itb.gd.itb.ac.id/wedyanto/wbcontent/uploads/2006/12/arti-penting-penamaan-unsur-geografi.
Accessed 27-9-2017.
30 S. Abimanyu, Op. Cit, hlm. 47.
31 D. Lombard, NUSA JAWA: SILANG BUDAYA Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Terj. Winarsih P, A,
dkk. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 46.

21
Jantra Vol. 13, No. 1, Juni 2018 ISSN 1907 - 9605

Sekarang, “ci” merupakan nama generik dari telah dipengaruhi oleh nama yang berasal dari
toponim etnik Sunda. Migrasi etnik oleh kelompok beberapa ciri atau karakteristik lingkungannya
imigran Sunda pada masa Kerajaan Pajajaran telah yaitu kenampakan fisik buatan, dan yang terakhir
mempengaruhi terbentuknya karakteristik etnik pada gejala non-fisikal budayawi, toponimi desa di
sunda pada toponimi di Kabupaten Banyumas. Kecamatan Cilongok dipengaruhi oleh kenampakan
Letak geografis Banyumas yang berada di sisi timur antroposfer, di antaranya: nama yang berasal dari
perbatasan sebaran etnik Sunda telah memberikan nama orang lokal, orang lokal yang terkait dengan
pengaruh yang cukup kuat terhadap toponim desa tempat tersebut, serta peristiwa bersejarah yang
awalan “ci” di Kapubaten Banyumas. Terdapat pengaruhi oleh peristiwa non-lokal dan lokal mulai
16 nama tempat berawalan “ci” di Kabupaten dari era Klasik (Hindhu-Buddha), Era Islam, hingga
Banyumas: Cikidang, Cilongok dan Cipete era Kolonial (Hindia-Belanda).
(Kecamatan Cilongok), Ciberung (Kecamatan Berdasarkan hasil wawancara dan studi
Ajibarang), Cihonje dan Cilangkap (Kecamatan bahasa, toponimi desa di Kecamatan Cilongok
Gumelar), Cidora, Cingebul dan Cirahab terdiri dari 16 nama desa yang menggunakan
(Kecamatan Lumbir), Cibangkong, Cikawung istilah dalam bahasa Jawa dan 4 nama desa
dan Cikembulan (Kecamatan Pekuncen), Cikakak yang menggunakan istilah dalam bahasa Sunda.
(Kecamatan Wangon), Ciberem (Kecamatan Rancamaya, Cikidang, Cilongok dan Cipete
Sumbang), dan Cindaga (Kecamatan Kebasen). Di merupakan nama-nama desa yang menggunakan
sebelah timur perbatasan hanya terdapat 2 nama istilah Sunda. Rancamaya, “ranca” yang
desa berawalan “ci” yaitu, di Kecamatan Sumbang artinya rawa. “Ci” yang artinya air atau sungai
dan Kecamatan Kebasen.32 (Cilongok, Cikidang). Penamaan tempat pada
wilayah tersebut telah dipengaruhi oleh gejala
V. PENUTUP fisikal alami yang berasal dari beberapa ciri atau
karakteristik lingkungannya, kecuali Cipete yang
Toponim merupakan ungkapan bahasa yang berasal dari kata “cupet” dalam bahasa Jawa
direka dengan tujuan khusus untuk logika simbolis yang artinya “sempit”. Maka dapat disimpulkan
dari suatu rupabumi. Menurut Kamus Bahasa bahwa keberadaan toponimi desa istilah Sunda
Indonesia, bahasa merupakan sistem lambang di Kecamatan Cilongok bukan diambil dari nama
bunyi yang berartikulasi, yang digunakan oleh tempat di Jawa Barat dan Banten.
anggota suatu masyarakat yang bersifat sewenang- Toponimi desa istilah Sunda di Kecamatan
wenang dan konvensional yang dipakai sebagai Cilongok merupakan hasil dari asimilasi, yang
alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan disebabkan oleh pembauran dua kebudayaan Sunda-
pikiran.33 Jawa yang disertai dengan menghilangnya ciri khas
Toponimi desa di Kecamatan Cilongok telah kebudayaan asli para pendatang/kelompok imigran
dipengaruhi oleh gejala fisikal alami, gejala fisikal Sunda yang telah menetap dan menamakan tempat
budayawi, dan gejala non-fisikal budayawi. Pada tinggalnya pada masa Kerajaan Pajajaran.
gejala fisikal alami, nama-nama desa berasal dari Istilah “Ci” merupakan nama generik Sunda
beberapa ciri atau karakteristik lingkungannya yang artinya “air” atau “sungai”. Tetapi, pada
yang meliputi kenampakan hidrologis, morfologis/ kenyataannya, ”ci” telah menjadi nama tempat yang
fisiografis dan biodiversitas. Pada gejala fisikal umum dijumpai di beberapa wilayah Kabupaten
budayawi, toponimi desa di Kecamatan Cilongok Banyumas, khususnya wilayah Kabupaten

32 BIG, Peta RBI Digital NKRI. http://tanahair.indonesia.go.id, Citra Google Earth Tahun 2017, accesed 12-11-2017
33 Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008), hlm. 137.

22
Identifikasi Toponimi Desa di Kecamatan Cilongok Kabupaten Banyumas dalam Perspektif Keruangan (Tommy Langgeng Abimanyu )

Banyumas bagian barat (sebelah barat Sungai para kelompok imigran dengan corak kebudayaan
Serayu), termasuk di dalamnya adalah Kecamatan berbeda sehingga menghasilkan akulturasi. Karena
Cilongok. Letak Kecamatan Cilongok yang dekat berlangsung dalam kurun waktu yang sangat
dengan G. Slamet dengan sumber daya air yang lama, terciptalah kebudayaan baru (akulturasi →
melimpah, dan pengaruh dari peristiwa pada masa asimilasi), yakni budaya Banyumasan sebagai
era Klasik (Hindu-Buddha), era Islam hingga era wujud dari asimilasi kebudayaan.
Kolonial (Hindia-Belanda) telah mendatangkan

DAFTAR PUSTAKA

Abimanyu, S., (2014). Babad Tanah Jawi. Yogyakarta: Laksana.


BIG. (2013). Peran Toponimi dalam Pelestarian Budaya Bangsa dan Pembangunan Nasional. Seminar,
Bandung. Dari http: //bakosurtanal.go.id/berita-surta/show/peran-toponimi-dalam-pelestarian-
budaya-bangsa-dan-pembangunan. Accessed 27-9-2017.
Daldjoeni, N., (1992). Geografi Kesejarahan II. Bandung: Alumni Bandung.
Kamus Bahasa Indonesia, (2008). Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Lombard, D., (2000). NUSA JAWA: SILANG BUDAYA Kajian Sejarah Terpadu Bagian I: Batas Batas
Pembaratan. Terj. Arifin W.P dkk. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lombard, D., (2000). NUSA JAWA: SILANG BUDAYA Kajian Sejarah Terpadu Bagian III: Warisan
Kerajaan-Kerajaan Konsentris. Terj. Winarsih P.A dkk. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rais, Jacub., (2005). Arti Penting Penamaan Unsur Geografi, Definisi, Kriteria dan Peranan PBB dalam
Toponimi. Dari http://geogesy.itb.gd.itb.ac.id/wedyanto/wbcontent/uploads/2006/12/arti-penting-
penamaan-unsur-geografi. Accessed 22-9-2017.
Rais, Jacub, dkk., (2008). Toponimi Indonesia. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Sandy, I Made., 1988. GEOGRAFI Perkembangannya di Indonesia dan Pelajaran Geografi di Sekolah
Lanjutan. Pidato Pengukuhan Dalam Jabatan Guru Besar Luar Biasa Mata Pelajaran Geografi Pada
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia. Jakarta. 30 Maret 1988.
Treman, I Wayan., (2014). Geomorfologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Vestappen, Herman. Th., (2014). Garis Besar Geomorfologi Indonesia. Terj. Sutikno. Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
Yunus, Hadi. S., (2010). Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yusmanto., (2006). Calung (Kajian tentang Identitas Kebudayaan Banyumas. Tesis. Surakarta: Institut
Seni Indonesia.

23

You might also like