Professional Documents
Culture Documents
7.+4 4 1 PB
7.+4 4 1 PB
Usaha Negara
Asmuni
Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah Surabaya
Email: firzhal@yahoo.com
Abstract: The research discusses the issues that emerge from executing the postponement
stipulation of the administrative decision implementation and the concept of regulating the
execution of postponement stipulation of the administrative decision implementation that
can protect the interests of litigants. The research constitutes a normatively legal research.
The used approach is the conceptual and statute approaches. The result of the research
shows that postponing the administrative decision implementation makes applicable power
of the sued administrative decision suspended temporarily; postponing the administrative
decision implementation makes legal circumstances back to the first position, prior to the
administrative decision disputed; and postponing the administrative decision
implementation restricts to apply the principle of the legal presumption. Due to the
influence of the postponement stipulation of the administrative decision implementation, it
is necessary to put philosophically and theoretically and juridically legal reasons on the
judge decision. The public interest reason is not required, because the administrative
decision on the public interest has not become the State Administrative Court authority
since the first time. The legal instruments used to postpone the execution of the
administrative decision is an interlocutory decision not stipulation.
99
Asmuni, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
puluh) tahun dwi dasawarsa 14 Januari sistem pemerintah daerah bersifat hierar-
1991-2011. khi sehingga dalam jiwa dan Pasal 116
Dibandingkan dengan lingkungan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
peradilan yang lain di bawah Mahkamah eksekusi bersifat hierarkhis. Berlakunya
Agung Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Peradilan Umum (Peradilan Negeri), tentang Pemerintah Daerah, bahwa
Peradilan Agama, dan Peradilan Militer Daerah kabupaten bukan lagi di bawah
dari segi usia perjalanannya, Peradilan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah
Tata Usaha Negara atau Peradilan Propinsi tidak mempunyai hierarkhi
Administrasi dapat dikatakan masih dengan Pemerintah Pusat membuat
relatif muda. Meskipun relatif muda, eksekusi sesuai Pasal 116 Undang Nomor
Undang-Undang yang mengaturnya telah 9 Tahun 2004 tidak lagi bersifat sesuai
mengalami 2 (dua) kali perubahan yaitu, jenjang hierarkhis.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 Pengadilan Tata Usaha Negara
tentang Perubahan Atas Undang-Undang mempunyai tugas pokok yaitu memerik-
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan sa, memutus dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara yang diundangkan Tata Usaha Negara sesuai ketentuan
pada tanggal 29 Maret 2004 Lembaran Pasal 47 Undang-Undang Nomor 51
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Nomor 35 dan Undang-Undang Nomor Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
51 Tahun 2009 tentang Perbuahan Kedua 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Atas Undang-Undang Nompr 5 Tahun Negara. Frasa “menyelesaikan sengketa
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Tata Usaha Negara” bermakna bahwa
Negara yang diundangkan pada tanggal perlindungan hukum terhadap rakyat
29 Oktober 2009 Lembaran Negara khsusunya yustisiabelen (pencari keadil-
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor an) harus tuntas dan final sampai kepada
160. pelaksanaan produk dari lembaga
Perubahah-perubahan terhadap peradilan yaitu berupa penetapan dan
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha putusan, jangan sampai ada penetapan
Negara merupakan implikasi terkait pengadilan dan putusan lembaga per-
dengan perubahan konstitusi Undang- adilan yang bersifat floating (meng-
Undang dasar Tahun 1945 yang berkaitan ambang). Jika hal ini terjadi, fungsi
dengan sistem kekuasaan kehakiman. perlindungan negara khususnya per-
Sebelum era reformasi lembaga Peradilan lindungan oleh lembaga peradilan sama
untuk urusan yang bersifat organisatoris dengan tidak bermakna.
dipegang oleh Pemerintah, sedangkan Problem yang mendasar dalam
urusan yang bersifat teknis diurus oleh perjalanan lembaga Peradilan Tata Usaha
Mahkamah Agung, setelah era reformasi Negara dalam kurun waktu dwi
urusan organisatoris dan teknis kesemua- dasawarsa 14 Januari 1991 sampai
nya menjadi urusan Mahkamah Agung dengan 2011 di antaranya adalah
(satu atap). Perubahan sistem otonomi berkaitan dengan eksekusi. Pada Per-
daerah berpengaruh pula terhadap meka- adilan Tata Usaha Negara, eksekusi tidak
nisme eksekusi. Sebelum era reformasi saja terkait dengan putusan pengadilan
101
Asmuni, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
yang telah memperoleh kekuatan hukum 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
tetap (vonnis in kracht van gewisjde), Negara, Undang-Undang Nomor 9 Tahun
akan tetapi eksekusi terkait pula dengan 2004 tentang Perubahan Atas Undang-
Penetapan Penundaan pelaksanaan Ke- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
putusan Tata Usaha Negara. Di negara- Peradilan Tata Usaha Negara, dan
negara dengan sistem hukum civil law, Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
penetapan penundaan pelaksanaan Ke- tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
putusan Tata Usaha Negara seperti di Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Belanda dikenal dengan istilah schorsing, Peradilan Tata Usaha Negara. Kondisi
sedangkan di Perancis dikenal dengan yang demikian dapat dikatagorikan
istilah le sursis d’exetcution ties actes Undang-Undang dalam keadaan diam
administratifs. (silentio of wet) atau terjadi kekosongan
Penetapan penundaan pelaksana- hukum (Ieemten in het recht) terkait
an Keputusan Tata Usaha Negara dalam dengan mekanisme maupun upaya yang
praktik Peradilan Tata Usaha Negara di dapat dilakukan jika penetapan penunda-
Indonesia lebih populer dengan istilah an pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
schorsing, yaitu suatu tindakan atau sikap Negara tidak dilaksanakan oleh Badan
yang diambil oleh Pengadilan Tata Usaha atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Negara, dalam hal ini bisa dilakukan oleh Tidak saja terjadi kekosongan
Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Tata hukum (leemten in het recht) dalam
Usaha Negara, Majelis Hakim, Hakim eksekusi Penetapan Penundaan Pelak-
Tunggal atas dasar permohonan dari sanaan Keputusan Tata Usaha Negara
pihak penggugat untuk menunda pe- (aspek substansi hukum), problem yang
laksanaan Keputusan Tata Usaha Negara lain adalah keengganan Badan atau
yang menjadi obyek sengketa selama Pejabat Tata Usaha untuk melaksanakan
pemeriksaan sengketa berlangsung sam- penetapan penundaan pelaksanaan Ke-
pai ada putusan pengadilan yang mem- putusan Tata Usaha Negara (aspek
peroleh kekuatan hukum tetap yang di- kultur/budaya hukum) yang dikeluarkan
tuangkan dalam bentuk penetapan. oleh Pengadilan Tata Usaha Negara turut
Konsekuensi yuridis dengan adanya menambah problem eksekusi pada
penetapan penundaan pelaksanaan Ke- lembaga Peradilan Tata Usaha Negara.
putusan Tata Usaha Negara (schorsing) Pengaruh dan aspek substansi hukum dan
adalah bahwa seluruh tindakan pelak- dan aspek kultur/budaya hukum adalah
sanaan Keputusan Tata Usaha Negara bahwa penegakan hukum (law enforce-
terhenti oleh karena yang ditunda adalah ment) di bidang eksekusi pelaksanaan
daya berlakunya. putusan/penetapan tidak dapat berjalan
Tidak terdapat adanya pengaturan sesuai dengan tujuan dibentuknya Per-
secara yuridis normatif berkaitan dengan adilan Tata Usaha Negara yaitu memberi-
eksekusi terhadap Penetapan Penundaan kan perlindungan kepada rakyat pencari
Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha keadilan (yutisiabelen).
Negara dalam Hukum Acara Peradilan Problem eksekusi di lembaga
Tata Usaha Negara sebagaimana diatur Peradilan Tata Usaha Negara merupakan
dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun suatu gejala yang bersifat umum sebagai-
102
Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 1 Mei 2016 : 99-121
nya kepada: Ketua Mahkamah Negara, jika Badan atau Pejabat Tata
Agung RI, Menteri Kehakiman Usaha Negara tidak mematuhi Penundaan
RI, Menteri Pendayagunaan Apa- Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
ratur Negara RI (Surat Menpan
Negara yang dikeluarkan oleh lembaga
Nomor B.471/4/1991 tanggal 29
Mei 1991 tentang Pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara, didasarkan
Putusan Tata Usaha Negara. atas argumentum a silentio, artinya
pengambilan kesimpulan berdasar diam-
Tidak cukup dengan SEMA RI nya undang-undang.9 Lintong Oloan
tersebut di atas, Mahkamah Agung RI Siahaan mengemukakan bahwa berbicara
dalam Pedoman Teknis Administrasi dan tentang pelaksanaan putusan penundaan,
Teknis Peradilan Tata Usaha Negara berarti secara tidak langsung juga mem-
Buku II yang pemberlakuannya bicarakan ketentuan-ketentuan hukum
berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah tentang bagaimana seharusnya putusan
Agung RI Nomor: KMA/O32/SSK/IV/ itu dilaksanakan (hukum formil atau
2006 tanggal 4 April 2006 huruf H angka hukum acara). Undang-undang tidak
5. r. menentukan: mengatur secara khusus tentang pelak-
Penetapan Penundaan yang tidak sanaan putusan penundaan itu. Hal itu
dipatuhi oleh Tergugat, secara berkembang sendiri di dalam praktik
kasuistis dapat diterapkan PasaI dengan mempedomani segala ketentuan
116 Undang-Undang PERATUN tentang hukum eksekusi.10 Isu pelaksana-
sebagaimana yang diterapkan
an putusan PTUN sebetulnya meliputi
terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum pelaksanaan putusan penundaan.11
tetap. Dikaji dari perspektif filsafat
hukum, realitas tersebut di atas
Dengan demikian, Surat Edaran dimungkinkan terjadi. Immanuel Kant
Mahkamah Agung Republik Indonesia penganut mazhab hukum alam rasional
Nomor 2 Tahun 1991 angka VI.4 tanggal berpandangan bahwa hukum alam ber-
9 Juli 1991 dan Keputusan Ketua sumber kepada katagorische imperatif
Mahkamah Agung Republik Indonesia (hukum sebagai suatu keharusan) yang
Nomor KMA/032/SSKK/IV/2006 huruf mempunyai dua sifat, yaitu rasionalitas
H angka 5.r tanggal 4 April 2006 menjadi dan idealistis. Dalam sifatnya yang
landasan pembenar (justifikasi) berlaku- idealitas dimungkinkan terjadi tindakan
nya ketentuan Pasal 116 Undang-Undang manusia yang berbeda dengan apa yang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 9
N.E. Algra, H.R.W. Gokkel (terjemahan Saleh
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Adiwinata, et. Al), 1983, Kamus lstilah Hukum
Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta,
Negara terkait dengan pelaksanaan hal. 34.
(eksekusi) terhadap penetapan penundaan 10
Lintong Oloan Siahaan, 2005, Prospek PTUN
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Sebagai Pranata Penyelesaian Sengketa
Administrasi di Indonesia Studi tentang
Negara. Keberadaan PTUN Selama Satya Dasawarsa
Dalam Perspektif teori ilmu 1991-2001, Jakarta: Perum Percetakanan Negara
Rl, hal. 235.
hukum, penggunaan ketentuan Pasal 116 11
Adrian W. Bedner, 2010, Peradilan Tata
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Usaha Negara Di Indonesia, Jakarta: Huma Van
Vollen Insitute KITLV, hal. 364.
104
Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 1 Mei 2016 : 99-121
105
Asmuni, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
c. A formula expressing the fact that membawa kita kepada pemikiran bahwa
with us the law of constitution, the penegakan hukum selalu dengan force
rules which in foreighn countries sehingga ada yang berpendapat, bahwa
naturally form part of a constitutional penegakan hukum hanya bersangkutan
code, are not the source but the dengan hukum pidana saja. Pikiran
consequence of the right of individual seperti ini diperkuat dengan kebiasaan
as defined and enforced by the kita menyebut penegak hukum itu polisi,
courts.14 jaksa, dan hakim. Tidak disebut pejabat
administrasi yang sebenarnya juga
Memperhatikan konsep rechts- menegakkan hukum. Penegakan hukum
staat dan konsep rule of law tidak dalam hal eksekusi terhadap penetapan
terdapat perbedaan yang mendasar, justru penundaan pelaksananan Keputusan Tata
persamaan yang menonjol, dimana sama- Usaha Negara dan penegakan hukum
sama menekankan pada adanya sup- terhadap eksekusi putusan Pengadilan
remasi hukum dalam setiap tindakan Tata Usaha Negara yang telah mem-
yang dilakukan oleh penguasa negara peroleh kekuatan hukum tetap sangat
yang harus tunduk kepada hukum yang ditentukan oleh Badan atau Pejabat Tata
berlaku. Usaha Negara itu sendiri.
Supremasi hukum harus diikuti Berdasarkan diskripsi tentang
pula dengan penegakan hukum (law penegakan hukum tersebut, penegakan
enforcement/rechtshandhaving), dalam hukum tidak saja merupakan domain dan
Black’s Law Dictionary yang dimaksud penegak hukum, seperti lembaga
dengan law enforcement adalah, the Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan
detection and punishment of violation of akn teapi juga menjadi domain dan
the law. This term is not limited to the Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
enforcement of criminal laws.15 Penegak- itu sendiri bahkan masyarakat ikut ber-
an hukum dimaksud tidak hanya terbatas peran serta peraturan perundang-
pada penegakan hukum pidana saja, akan undangannya. Intinya fungsi eksekutif,
tetapi dalam arti yang luas yaitu deteksi legislatif dan fungsi yudikatif ber-
dan penjatuhan sanksi atas pelanggaran- pengaruh dalam fungsi penegakan
pelanggaran hukum. Menurut Muladi, hukum.
penegakan hukum merupakan usaha Berbicara tentang Penegakan
untuk menegakkan norma-norma hukum hukum dilihat aspek lembaga peradilan,
dan sekaligus nilai-nilai yang ada di bisa dilaksanakan secara ideal hanya
belakang norma tersebut.16 Dalam dapat dilaksanakan oleh suatu sistem
pandangan Andi Hamzah istilah penegak- peradilan yang baik. Menurut Bagir
an hukum dalam bahasa Indonesia Manan fungsi pengadilan dan peradilan
dapat ditinjau dari berbagai segi yaitu:
14
A V Diecy, 1962, Introduction to the study of 1. Segi tujuan bernegara. Negara dan
the law of the Constitution, London: Macmilland
and Co, hal. 202-203. Pemerintah RI didirikan dengan
15
Bryn A.Garner (eds), 1999, Black’s Law tujuan antara lain, memajukan ke-
Dictionary, sevent edition, West Group, p, 549. sejahteraan umum dalam wujud se-
16
Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik dan
Sistem Peradilan Pidana, Cet. Ke-2, Semarang: besar-besarnya kemakmuran dan
BP Undip, hal. 69-70.
107
Asmuni, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
19 21
Ibid, hal. 244. Komisi NasionaI, 2010, Dalam Puslitbang
20
Ibid. Hukum dan Peradilan, Jakarta: MA RI, hal. 19.
109
Asmuni, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
22
Mochtar Kusumaatmadja, ”Pemantapan Cita
Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional di Masa
Kini dan Masa yang Akan Datang ”, Makalah, 24
Azhary, 1995, Negara Hukum Indonesia
Jakarta, hal. 1. Analisis Yuridis Normatif tentang Unsur-
23
Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, Unsurnya, Jakarta: UI Press, hal. 19.
25
Yogyakarta: UII Press, hal. 10. Ibid, hal. 55.
110
Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 1 Mei 2016 : 99-121
dipandangnya paling baik sesuai dengan andalkan tenaga kerja tidak memiliki
ajaran Adam Smith.26 bargaining position. Kondisi yang
Pada negara hukum liberalis atau demikian didukung oleh corak hukum
negara hukum klasik yang diutamakan yang mencerminkan aturan-aturan yang
ialah terjaminnya hak-hak asasi berupa menjamin dan memperkuat posisi
kemerdekaan baik dalam bidang politik kegiatan ekonomi kapitalisme30
maupun dalam bidang sosial-ekonomi. Masyarakat kapitalis semakin hari
Diakuinya dan adanya jaminan kebebasan semakin kuat, sebaliknya masyarakat
individu (individual freedom), kemer- buruh (masyarakat kebanyakan)
dekaan mendapatkan hak milik semakin lemah dan tidak berdaya.
27
(ownership of property). Dengan demikian dalam negara
Dalam negara hukum klasik, selain hukum klasik yang mengagung-
jaminan pemilikan individu, juga dijamin agungkan kebebasan (freedom) dan
kebebasan bersaing dan melakukan per- keadilan (equity), tetapi tidak dapat
janjian/kontrak (freedom of contract).28 menciptakan kesejahteraan bagi semua
Akibat kemerdekaan bersaing dalam warga negara. Bahkan sebaliknya,
hubungannya dengan kebebasan ber- justeru menimbulkan penderitaan dan
serikat dan berkontrak, menimbulkan penyengsaraan rakyat banyak. Inilah
kelompok-kelompok usaha raksasa sebagian bukti keburukan dan ke-
yang memonopoli penguasaan peng- kurangan dari tipe negara liberalis atau
gunaan sumber daya alam, akhirnya negara hukum klasik.
membunuh kemerdekaan bersaing itu Sedangkan negara hukum
sendiri. Terjadilah hal yang tragis: sosialis merupakan konsep yang dianut
kemerdekaan membunuh kemerdeka- oleh negara-negara komunis/sosialis.
an.29 Konsep negara hukum sosialis berbeda
Meskipun demikian, tidak dengan konsep Barat, karena dalam
berarti kegiatan ekonomi hanya bagi socialist legality hukum ditempatkan di
warga negara yang menguasai sumber bawah sosialisme. Hukum adalah
daya ekonomi, melainkan juga terbagi sebagai alat untuk mencapai sosialisme.
pada setiap warga negara. Akan tetapi Hak perseorangan dapat disalurkan
interaksi antara warga negara yang kepada prinsip-prinsip sosialisme,
menguasai sumber daya alam (kapitalis) meskipun hak tersebut patut mendapat
dengan warga negara yang tidak perlindungan.31
menguasai sumber daya alam (buruh) Karena itu, konsep socialist
terdapat ketimpangan, sebab bagi warga legality sulit dikatakan sebagai suatu
negara (buruh) yang hanya meng- konsep negara hukum yang bersifat
universal. Konsep ini dilihat dari
26
Le Sueur AP & Herberg JR', 1995, kepentingan negara-negara komunis/
Constitutional & Administrative Law, London:
Cavendish Publishing Limited, p. 53. sosialis merupakan konsep yang mereka
27
Mustanun Daeng Matutu, 1972, “Selayang pandang sesuai dengan doktrin
Pandang (Tentang) Perkembangan Tipe-Tipe
Negara Modern,” (Orasi Ilmiah), Ujung Pandang:
FH-UNHAS, hal. 9.
28
Le Sueur AP & Herberg JW, Loc. Cit. -
30
Ronald Z. Titahelu, Op. cit., hal. 90. Bagir Manan, Politik........ Op. cit. hal. 9.
29 31
Mustamin Daeng Matutu, Op. cit. hal. 10. Muhammad Tahir Azhary, Op., cit, hal. 91.
111
Asmuni, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
116
Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 1 Mei 2016 : 99-121
117
Asmuni, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Peradilan Tata Usaha Negara sudah dua
Negara di mana tidak diatur sama sekali kali dilakukan perubahan masing-masing
mekanisme eksekusi putusan penundaan dengan Undang Nomor 9 tahun 2004
pelaksanaan Keputusan Tata Usaha tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Negara. Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Mahkamah Agung RI sebagai Tata Usaha Negara dan terakhir dengan
pengadilan negara tertinggi dari badan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009
peradilan di dalam keempat lingkungan tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
peradilan telah mengeluarkan petunjuk Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
jika tergugat tidak mau mematuhi Peradilan Tata Usaha Negara.
putusan penundaan pelaksanaan Keputus- Prinsip eksekusi (pelaksanaan
an Tata Usaha Negara yang disengketa- putusan) yang dianut oleh ketiga Undang-
kan yaitu: Undang tersebut di atas adalah bersifat
1. Surat Edaran Mahkamah Agung RI self resfect tergantung atas kehendak
Nomor 2 Tahun 1991 angka VI. 4. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Menentukan: yang berkedudukan sebagai Tergugat,
Apabila ada Penetapan Penundaan artinya Badan atau Pejabat Tata Usaha
dimaksud yang tidak dipatuhi oleh Negara adalah sebagai eksekutor bagi
Tergugat, maka ketentuan Pasal 116 dirinya sendiri, sedangkan Fungsi Ketua
ayat (4), (5) dan (6) dapat dijadikan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam hal
pedoman dan dengan menyampaikan pelaksanaan putusan Pengadilan hanya
tembusannya kepada : ketua bersifat mengawasi sebagaimana di-
Mahkamah Agung RI, Menteri maksudkan di dalam Pasal 119 Undang-
Kehakiman RI, Menteri Undang Nomor 5 tahun 1986 sebagai
Pendayagunaan Aparatur Negara RI berikut: “Ketua Pengadilan wajib
(Surat Menpan Nomor B.471/4/1991 mengawasi pelaksanaan putusan yang
tanggal 29 Mei 1991 tentang telah memperoleh kekuatan hukum
Pelaksanaan Putusan Tata Usaha tetap”.
Negara). Menurut Pasal 116 Undang-
2. Buku II Pedoman Tekhnis Undang Nomor 5 Tahun 1986, sistem
Administrasi dan Pedoman Tekhnis eksekusi yang dianut adalah sistem
Peradilan Tata Usaha Negara Edisi hirarkhi jabatan, sedangkan sistem
2009 halaman 52 huruf r. eksekusi yang dianut oleh Pasal 116
Menentukan: Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004
Penetapan penundaan yang tidak tentang Perubahan Atas Undang-Undang
dipatuhi oleh tergugat, secara Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
kasuistis dapat diterapkan Pasal 116 Tata Usaha Negara adalah sistem upaya
Undang-Undang Nomor tentang paksa. Dengan diundangkannya Undang-
PERATUN sebagimana yang Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
diterapkan terhadap putusan yang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
telah berkekuatan hukum tetap. Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Ketentuan Pasal 116 Undang- Tata Usaha Negara, sistem eksekusi
Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang menggunakan sistem campuran antara
118
Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 1 Mei 2016 : 99-121
hierarkhi jabatan tidak murni dan dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a,
sistem Upaya Paksa. keputusan tata usaha negara yang
Mekanisme hierarkhi jabatan pada disengketakan itu tidak mempunyai
era Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 kekuatan hukum lagi;
tahun 1986 adalah cocok dengan sistem (3) Dalam hal tergugat ditetapkan harus
pemerintahan pada waktu itu zaman orde melaksanakan kewajiban sebagai-
baru yang serba sentralistik pengaruh mana dimaksud dalam Pasal 97 ayat
atasan secara berjenjang sangat kuat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian
sekali. Setelah masa reformasi dengan setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja
lahirnya Undang-Undang Nomor 22 ternyata kewajiban tersebut tidak
tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dilaksanakan, maka penggugat meng-
tidak lagi menganut sistem sentralistik ajukan permohonan kepada ketua
tapi menganut sistem otonomisasi pengadilan sebagaimana dimaksud
sehingga tidak ada lagi hierarkhi jabatan pada ayat (1), agar pengadilan meme-
antara Pemerintah Kabupaten/Kota rintahkan tergugat melaksanakan
dengan Pemerintah Provinsi sehingga putusan pengadilan tersebut;
tepat menggunakan sidstem upaya paksa. (4) Dalam hal tergugat tidak bersedia
Dengan diberikannya petunjuk melaksanakan putusan pengadilan
oleh Mahkamah Agung RI untuk yang telah memperoleh kekuatan
menerapkan secara kasuistis ketentuan hukum tetap, terhadap pejabat yang
Pasal 116 tentang PERATUN jika bersangkutan dikenakan upaya paksa
Tergugat tidak mau melaksanakan berupa pembayaran sejumlah uang
putusan penundaan pelaksanaan paksa dan/atau sanksi administratif;
Keputusan Tata Usaha Negara, maka (5) Pejabat yang tidak melaksanakan
perlu dilihat mekanisme yang diatur di putusan pengadilan sebagaimana di-
dalam Pasal 116 tersebut sehingga maksud pada ayat (4) diumumkan
didapat gambaran yang menyeluruh. pada media massa cetak setempat
Di dalam Pasal 116 disebutkan: oleh panitera sejak tidak terpenuhinya
(1) Salinan putusan pengadilan yang ketentuan sebagaimana dimaksud
telah memperoleh kekuatan hukum pada ayat (3);
tetap, dikirimkan kepada para pihak (6) Disamping diumumkan pada media
dengan surat tercatat oleh panitera massa cetak setempat sebagaimana
pengadilan setempat atas perintah dimaksud pada ayat (5), ketua
Ketua Pengadilan yang mengadilinya pengadilan harus mengajukan hal ini
pada tingkat pertama selambat- kepada Presiden sebagai pemegang
lambatnya dalam waktu 14 (empat) kekuasaan tertinggi untuk meme-
hari kerja; rintahkan pejabat tersebut melaksana-
(2) Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kan putusan pengadilan, dan kepada
kerja putusan pengadilan yang telah lembaga perwakilan rakyat untuk
memperolehkekuatan hukum tetap menjalankan fungsi pengawasan;
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (7) Ketentuan mengenai besaran uang
diterima tergugat tidak melaksanakan paksa, jenis sanksi administratif, dan
kewajibannya sebagaimana dimaksud tata cara pelaksanaan pembayaran
119
Asmuni, Eksekutabilitas Penetapan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara
120
Perspektif Hukum, Vol. 16 No. 1 Mei 2016 : 99-121
121