Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

Penel Gizi Makan 2021, 44(2):79-92 ISSN 02159717

e-ISSN 2338-8358
PENELITIAN GIZI DAN MAKANAN
(The Journal of Nutrition and Food Research)

FAKTOR DETERMINAN BALITA STUNTING PADA DESA LOKUS


DAN NON LOKUS DI 13 KABUPATEN LOKUS STUNTING DI INDONESIA TAHUN 2019
(DETERMINANT FACTORS OF UNDER-FIVE CHILDREN STUNTING AT LOCUS AND NON-
LOCUS VILLAGES IN 13 STUNTING LOCUS DISTRICTS IN INDONESIA IN 2019)

Yurista Permanasari, Ika Saptarini, Nurillah Amaliah, Aditianti, Amalia Safitri, Nuzuliyati Nurhidayati, Yunita
Diana Sari, Prisca Petty Arfines, Irlina Raswanti Irawan, Dyah Santi Puspitasari, Febriani, Budi Setyawati, Rika
Rachmawati, Elisa Diana Julianti, Rika Rachmalina, Andi Susilowati, Novianti, Dwi Sisca Kumala Putri

Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat, Badan Penelitian dan Pengembanagan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Jl. Percetakan Negara no 29 Jakarta, Indonesia
E-mail: yurista.permanasari@gmail.com

Diterima: 26-11-2021 Direvisi: 24-12-2021 Disetujui: 29-12-2021

ABSTRACT
The implementation of government policies in stunting prevention has been carried out from the central level to
the village level. The Ministry of Home Affairs annually establishes stunting locus villages in 34 provinces. At
the stunting locus village, sensitive and specific interventions were carried out. Many factors influence the
prevalence of stunting. This study aims to determine the determinants of stunting in locus and non-locus
villages in 13 stunting locus districts in Indonesia. This study was a quantitative study with a cross-sectional
design. The study was conducted in 13 districts of stunting locus. Each district was chosen one sub-district
which was then selected one locus of stunting village and one village of non locus. In each village 90 children
were selected. Data analysis was carried out univariate, bivariate, and multivariate with logistic regression test
to see the relationship between independent and dependent variables after being controlled by several
variables. The results showed that 20 percent lower chance of stunting in locus villages than non locus villages.
Toddlers who are breastfed for more than 24 months have a 1.7 times risk of becoming stunted. Toddlers who
do not do early initiation of breastfeeding have a 1.5 times risk of becoming stunted compared to toddlers who
do early initiation of breastfeeding. High maternal education can prevent stunting 2 times compared to mothers
with low education. The selection of stunting locus villages affects the prevalence of stunting. In addition,
several determinant factors influence the incidence of stunting, namely the sex of the child, the duration of
breastfeeding more than 24 months, the child's age, early initiation of breastfeeding, growth monitoring, the
mother's age and the mother's education.

Key word: stunting, locus village, determinant

ABSTRAK
Implementasi kebijakan pemerintah dalam pencegahan stunting telah dilaksanakan mulai dari tingkat pusat
sampai tingkat desa. Kementerian Dalam Negeri setiap tahun menetapkan desa lokus stunting di 34 provinsi.
Pada desa lokus stunting dilakukan intervensi sensitif dan spesifik. Banyak faktor yang mempengaruhi
prevalensi stunting. Studi ini bertujuan untuk mengetahui faktor determinan kejadian stunting pada desa lokus
dan non lokus di 13 kabupaten lokus stunting di Indonesia. Studi ini merupakan studi kuantitatif dengan desain
potong lintang. Penelitian dilakukan di 13 Kabupaten lokus stunting, setiap kabupaten dipilih satu kecamatan
yang kemudian dipilih satu desa lokus stunting dan satu desa non lokus. Pada setiap desa dipilih 90 balita.
Analisis data dilakukan secara univariat, bivariat, dan multivariat dengan uji regresi logistik untuk melihat
hubungan variabel bebas dan terikat setelah dikontrol oleh beberapa variabel. Hasil penelitian memperlihatkan
bahwa peluang terjadinya stunting 20 persen lebih rendah di desa lokus dibanding desa non lokus. Balita yang
mendapatkan ASI lebih dari 24 bulan berisiko 1,7 kali menjadi stunting. Balita yang tidak melakukan inisiasi
menyusui dini (IMD) berisiko 1,5 kali menjadi stunting dibandingkan dengan balita yang melakukan IMD.
Pendidikan ibu yang tinggi dapat mencegah kejadian stunting 2 kali dibandingkan ibu berpendidikan rendah.
Pemilihan desa lokus stunting memengaruhi kejadian stunting. Selain itu, terdapat beberapa faktor determinan
yang memengaruhi kejadian stunting yaitu jenis kelamin anak, durasi menyusui ASi lebih dari 24 bulan, usia
anak, IMD, pemantauan pertumbuhuan, umur ibu dan pendidikan ibu. [Penel Gizi Makan 2021, 44(2):79-92]

Kata kunci: stunting, desa lokus, determinan

79
Penelitian Gizi dan Makanan, Desember 2021 Vol. 44 (2): 79-92

PENDAHULUAN dengan risiko berat badan rendah sehingga

S
berdampak pada pertumbuhan anak
alah satu sasaran pembangunan
selanjutnya9.
kesehatan yang akan dicapai pada tahun
Upaya penurunan prevalensi stunting di
2025 adalah menurunkan prevalensi gizi
Indonesia salah satunya melalui program
kurang pada balita1. World Health
“Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi”
Assembly (WHA) menargetkan penurunan
yang telah ditetapkan oleh presiden tahun 2013.
prevalensi stunting sebanyak 40 persen pada
Upaya lain yang dilakukan dalam percepatan
tahun 2013 menjadi 22 persen pada tahun
pencegahan stunting yaitu dengan menetapkan
20252. Prevalensi stunting di Indonesia setiap
wilayah prioritas dan strategi percepatan
tahun, cenderung menurun, yang ditunjukkan
pencegahan stunting serta menyiapkan
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yaitu
strategi kampanye nasional stunting. 2 Tim
pada tahun 2007 sebesar 36,8 persen3tahun
nasional percepatan penanggulangan
2013 sebesar 37,2 persen.4 dan tahun 2018
kemiskinan (TNP2K) pada tahun 2017 telah
menunjukkan angka 30,8 persen5.
menetapkan lokus untuk intervensi penurunan
Anak tergolong stunting apabila panjang
stunting yaitu sebanyak 8 kabupaten/kota
atau tinggi badannya berada di bawah minus
sebagai tahap awal, kemudian tahun 2018
dua standar deviasi panjang atau tinggi anak
sebanyak100 kabupaten/kota, tahun 2019
seumurnya2. Stunting pada masa kanak-kanak
daerah lokus diperluas menjadi160
memiliki konsekuensi jangka pendek dan
kabupaten/kota kemudian tahun 2020 menjadi
jangka panjang, yang akan memengaruhi
390 kabupaten/kota dan tahun 2021
kesehatan dan perkembangan selanjutnya,
direncanakan sebanyak 514 kabupaten/kota
yang pada akhirnya akan berpengaruh pada
dan akan terus diperluas secara bertahap
kualitas sumber daya manusia. Selain
sampai tahun 202410,11.
pertumbuhan fisik yang buruk, stunting
Pencegahan stunting memerlukan
memengaruhi risiko infeksi dan kematian pada
intervensi gizi yang terpadu yaitu intervensi gizi
masa kanak-kanak, perkembangan kognitif dan
sensitif dan spesifik. Intervensi gizi sensitif
motorik, kapasitas belajar dan prestasi sekolah.
untuk mengatasi penyebab tidak langsung dan
Kemudian memengaruhi produktivitas, upah
sebagai sasarannya adalah ibu hamil sampai
yang diterima, dan kesehatan reproduksi.
anak balita, mencakup: peningkatan akses
Stunting yang diikuti dengan penambahan
pangan bergizi; peningkatan kesadaran dan
berat badan yang berlebihan pada masa
komitmen serta praktik pengasuhan gizi ibu
kanak-kanak dapat meningkatkan risiko
dan anak; peningkatan akses dan kualitas
penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit
pelayanan gizi-kesehatan; peningkatan
jantung6.
penyediaan air bersih dan sarana sanitasi.
Kejadian stunting disebabkan oleh
Intervensi gizi spesifik untuk mengatasi
berbagai faktor seperti asupan gizi, pola asuh,
penyebab langsung terjadinya stunting meliputi:
infeksi dan lingkungan. Berdasarkan hasil
kecukupan asupan makanan dan gizi,
sistematik review yang dilakukan oleh Dwan
pemberian makan, perawatan dan pola asuh,
dkk mendapatkan bahwa mikotoksin yang
pengobatan penyakit infeksi 11.
terdapat dalam makanan, sanitasi yang kurang
Implementasi kebijakan pemerintah dalam
memadai, lantai tanah pada rumah, bahan
pencegahan stunting baik intervensi gizi
bakar memasak berkualitas buruk, dan
pembuangan limbah yang tidak memadai sensitif maupun intervensi gizi spesifik telah
menjadi faktor terjadinya stunting7. penelitian di dilaksanakan mulai dari tingkat pusat, provinsi
Nepal mendapatkan bahwa bayi yang lahir sampai tingkat desa seharusnya sudah
dengan kondisi keluarga yang miskin memiliki dilaksanakan. Kementerian Dalam Negeri,
resiko menjadi stunting sebanyak 1,51 kali melalui Direktorat Bina Pembangunan Daerah,
dibandingkan dengan keluarga yang lebih setiap tahun menetapkan desa lokus prioritas
mapan, begitu juga dengan pendidikan ibu stunting di 34 provinsi sebagai bentuk
yang rendah menyebabkan resiko stunting pelaksanaan program yang merata di seluruh
lebih besar 1,57 kali8. Penelitian lain yang Indonesia. Hingga akhir Oktober 2020, terdapat
dilakukan oleh Joemer dkk dengan sampel ibu 10.937 desa/kelurahan yang merupakan lokus
muda (14-24 tahun) mendapatkan bahwa ibu
terintegrasi stunting dari 2018 hingga 202110.
yang mempunyai kehamilan sebelumnya
Usulan desa/kelurahan lokus stunting ke
menyebabkan resiko stunting diusia 12 sampai
24 bulan sebanyak 1,51 kali dibandingkan ibu Kemendagri berasal dari pemerintah daerah.
yang belum pernah hamil, hal ini diprediksi Pada desa lokus stunting dilakukan intervensi
karena nutrisi ibu yang tidak adekuat pada saat sensitive dan spesifik. Penyebab stunting
hamil sehingga menyebabkan anak lahir umumnya tidak berdiri sendiri, tetapi kombinasi

80
Faktor determinan balita stunting pada desa lokus dan non lokus ... (Permanasari Y; dkk )

dari beberapa penyebab stunting. Diperlukan puskesmas yang membawahi desa lokus dan
kerja sama semua komponen masyarakat non lokus, kemudian sampel dipilih secara
dalam upaya penurunan stunting10. Menurut acak. Kriteria inklusi sampel balita ialah anak
Penelitian di Desa Lokus Stunting, Kabupaten yang berusia 0-59 bulan pada saat
Pati, 1) kurangnya asupan makanan; 2) pola pengumpulan data dan berdomisili di desa
asuh yang kurang memadai; 3) keturunan lokasi penelitian. Kriteria eksklusi balita ialah
mempunyai cacat fisik atau kelainan bawaan
pendek; 4) tidak mendapatkan ASI eksklusif; 5)
sehingga sulit diukur antropometri. Variabel
tidak mendapatkan IMD; 6) sanitasi lingkungan
terikat pada studi ini adalah prevalensi stunting
yang kurang; 7) BBLR; 8) ibu saat hamil dengan dua kriteria yaitu normal dan stunting.
mengalami anemia1214. Berdasarkan hal Sedangkan variabel bebas yang dikumpulkan
tersebut, artikel ini ingin untuk mengetahui meliputi desa lokus dan non lokus.
faktor determinan prevalensi stunting pada Total sampel sebelum dilakukan cleaning
desa lokus dan non lokus di 13 kabupaten data sebanyak 2.068 responden. Setelah
lokus stunting di Indonesia berdasarkan riset dilakukan data cleaning dengan tidak
evaluasi program nasional percepatan mengikutsertakan variabel missing didapatkan
penanggulangan stunting pada kabupaten sebanyak 1.981 responden diikutkan dalam
prioritas (2019). analisis yang terdiri dari 1.030 (52%)
responden dari desa lokus dan 951 (42%) dari
METODE desa non lokus. Untuk mengetahui determinan
prevalensi stunting, penelitian ini memasukkan
Studi ini merupakan studi kuantitatif variabel-variabel yaitu faktor lingkungan dan
dengan desain potong-lintang. Pengumpulan rumah tangga, anak, dan ibu. Variabel
data dilakukan dengan menggunakan lingkungan berupa kategori desa lokus yang
kuesioner terstruktur yang telah diujicobakan dibagi menjadi dua yaitu desa lokus dan desa
serta pengukuran antropometri. Penelitian non-lokus. Penelitian ini juga memasukkan
dilakukan di 13 Kabupaten lokus stunting yang variabel karakteristik rumah tangga yaitu
dipilih secara purposive dari untuk mewakili 3 jumlah balita dan sumber air minum. Jumlah
regional yaitu regional barat, tengah, dan timur. balita dibagi menjadi dua kategori yaitu satu
Adapun 13 kabupaten tersebut adalah: Rokan balita dan lebih dari satu balita. Sedangkan
Hulu (Riau), Lampung Tengah (Lampung), sumber air minum dikategorikan menjadi layak
Tasikmalaya (Jawa Barat), Cianjur (Jawa dan tidak layak. Sumber air minum
Barat), Pemalang (Jawa Tengah), Brebes dikategorikan layak jika sumber air minum
(Jawa Tengah), Ketapang (Kalimantan Barat), didapatkan dari air ledeng/PDAM atau air
Hulu Sungai Utara (Kalimantan Selatan), ledeng eceran/membeli atau sumur bor/pompa
Lombok Tengah (NTB), Gorontalo (Gorontalo), atau sumur gali terlindung atau mata air
Mamuju (Sulawesi Barat), Maluku Tengah terlindung atau penampungan air hujan.
(Maluku), dan Lanny jaya (Papua). Faktor ibu terdiri dari usia, pendidikan,
Dari setiap kabupaten dipilih satu pekerjaan, konsumsi TTD selama kehamilan,
kecamatan yang desanya termasuk ke dalam PMT ibu hamil dan tempat persalinan. Umur
desa lokus stunting. Pada setiap kecamatan ibu dibagi menjadi empat kategori yaitu <25
dipilih 2 desa yaitu satu desa lokus stunting tahun, 25-34 tahun, 35-44 tahun dan ≥45 tahun.
dan satu desa non lokus. Desa lokus Pendidikan ibu dibagi menjadi empat kategori
ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah. yaitu ≤tamat SD, Tamat SMP, Tamat SMA dan
Dalam penelitian ini daftar data desa lokus Tamat PT. Sedangkan pekerjaan ibu dibagi
diperoleh dari pemerintah daerah setempat. menjadi dua yaitu bekerja dan tidak bekerja.
Pemilihan desa dilakukan secara purposive Konsumsi tablet tambah darah selama
dengan mempertimbangkan desa dengan kehamilan dibagi menjadi dua kategori yaitu
angka prevalensi stunting tinggi. Penentuan ≥90 tablet dan <90 tablet. PMT selama
prevalensi stunting berdasarkan data bulan kehamilan dibagi menjadi dua mendapatkan
penimbangan terakhir (bulan Februari 2019). PMT dan tidak mendapat PMT. Tempat
Jumlah balita yang akan menjadi sampel persalinan dibagi menjadi dua kategori yaitu
dihitung berdasarkan perhitungan sampel, persalinan di fasilitas kesehatan (RS,
sehingga masing-masing desa dipilih Puskesmas, Pustu, Klinik atau praktek nakes)
sebanyak 90 balita. Penentuan sampel balita di dan non fasyankes.
setiap desa dilakukan dengan cara membuat Faktor anak meliputi jenis kelamin, usia,
listing nama balita menggunakan data bulan inisiasi menyusui dini (IMD), durasi
penimbangan balita (bulan Februari 2019) yang mendapatkan ASI, kejadian diare, kecacingan
diperoleh dari Tenaga Pelaksana Gizi (TPG) dan ISPA, mendapatkan PMT Balita serta

81
Penelitian Gizi dan Makanan, Desember 2021 Vol. 44 (2): 79-92

pemantauan pertumbuhan. Usia anak dibagi 95% Convidence Interval. Jika nilai p kurang
menjadi dua kategori yaitu <24 bulan dan 24- dari 0,05 maka dianggap memiliki hubungan
59 bulan. Sedangkan IMD dibagi menjadi dua bermakna secara statistik. Studi ini telah
yaitu IMD dan tidak IMD. Anak dikategorikan mendapatkan persetujuan etik penelitian dari
IMD jika setelah lahir segera ditempel ke dada Komisi Etik Penelitian Badan Penelitian dan
ibu minimal satu jam. Durasi mendapat ASI Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI.
dikategorikan menjadi empat kategori yaitu <6 Dengan Nomor: LB.02.01/2/ KE.069/2019 yang
bulan, 6-11 bulan, 12-23 bulan dan ≥24 bulan. dikeluarkan pada tanggal 14 Maret 2019.
Kejadian diare dan ISPA diukur selama satu Seluruh responden dalam studi ini
bulan sebelum wawancara. Sedangkan mendapatkan penjelasan sebelum persetujuan
kecacingan diukur selama umur responden. sebelum menandatangani informed consent
PMT balita dikategorikan menjadi dua yaitu yang menyatakan kerelaan untuk berpartisipasi.
mendapat PMT dan tidak mendapat PMT.
Sedangkan pemantauan pertumbuhan HASIL
dikategorikan menjadi dua melakukan dan
Hasil penelitian yang dilakukan pada 13
tidak melakukan. Anak dikategorikan
kabupaten lokus stunting menunjukan bahwa
melakukan pemantauan pertumbuhan jika
persentase balita stunting sebesar 41,8 persen.
selama satu tahun terakhir dilakukan
Apabila dilihat berdasarkan desa lokus dan
penimbangan minimal delapan kali dan di plot
lokus maka persentase stunting lebih tinggi
di buku pemantauan pertumbuhan.
pada desa non lokus (44,7%) dibanding desa
Penilaian status gizi dilakukan
lokus (39,0%) (Gambar 1).
berdasarkan hasil pengukuran antropometri
Tabel 1. memperlihatkan hasil analisis
Tinggi Badan/Panjang badan balita.
deskriptif distribusi proporsi stunting menurut
Pengukuran dilakukanmenggunakan alat ukur
karakteristik responden. Variabel yang
multifungsi dengan kapasitas ukur 2 meter dan
berhubungan secara statistik pada karakteristik
ketelitian 0,1 cm. Pengukuran antropometri
anak adalah jenis kelamin, usia anak, IMD dan
dilakukan oleh enumerator dengan latar
durasi ASI, pemberian PMT Balita dan
belakang pendidikan gizi dan kesehatan yang
pemantauan pertumbuhan. Terlihat bahwa
sebelumnya sudah dilatih oleh tim peniliti.
persentase stunting lebih tinggi pada anak laki-
Balita digolongkan stunting bila dari hasil
laki (43%) dibandingkan perempuan, dan lebih
analisis pengukuran nilai Z-score kurang dari -2
tinggi (48%) pada kelompok umur 24-59 bulan.
standar deviasi dan normal bila nilai Z-score ≥-
Persentase anak stunting yang tidak
2 standar deviasi.
mendapatkan IMD pada saat kelahiran lebih
Analisis data univariat, bivariat dan
besar (42,5%), dan durasi pemberian ASI
multivariat dilakukan dengan menggunakan
paling tinggi pada umur ≥24 bulan (54%)
software SPSS versi 21. Analisis deskriptif
dibandingkan pada kelompok umur lainnya.
dilakukan untuk mengetahui gambaran umum
Balita yang mengalami stunting lebih banyak
variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
mendapat PMT (44%), serta lebih banyak yang
Selanjutnya dilakukan uji regresi logistik
mendapatkan pemantauan pertumbuhan
multivariat untuk melihat hubungan antara
(44,5%). Variabel yang tidak berhubungan
variabel bebas dan terikat setelah dikontrol
bermakna secara statistik pada karakterisktik
oleh beberapa variabel. Hasil dari uji ini
anak adalah kejadian diare, kecacingan, dan
ditampilkan sebagai Odds Ratio (OR) dengan
ISPA.

Gambar 1
Persentase Stunting Menurut Desa Lokus dan Non Lokus

82
Faktor determinan balita stunting pada desa lokus dan non lokus ... (Permanasari Y; dkk )

Tabel 1
Distribusi Proporsi Stunting berdasarkan Karakteristik Responden
Normal Stunting
Variabel p-value
n (%) n (%)
Karateristik Anak
Jenis kelamin anak
Laki-laki 577 (56,0) 453 (43,0) 0.036*
Perempuan 577 (60,7) 374 (39,3)
Usia anak
<24 bulan 479 (69,9) 206 (30,1) 0.000***
24-59 bulan 675 (52,1) 621 (47,9)
IMD
IMD 108 (66,3) 55 (33,7) 0.031*
Tidak IMD 1046 (57,5) 772 (42,5)
Durasi ASI
<6 bulan 198 (65,6) 104 (34,4) 0.000***
6-11 bulan 203 (73,3) 74 (26,7)
12-23 bulan 455 (60,4) 298 (39,6)
≥24 bulan 298 (45,9) 351 (54,1)
Diare
Ya 125 (54,6) 104 (45,4) 0.231
Tidak 1029 (58,7) 723 (41,3)
Kecacingan
Ya 51 (54,8) 42 (45,2) 0.494
Tidak 1103 (58,4) 785 (41,6)
ISPA
Ya 171 (58,2) 123 (41,8) 0.973
Tidak 983 (58,3) 704 (41,7)
PMT Balita
Mendapat 607 (56,1) 476 (43,9) 0.029*
Tidak 547 (60,9) 351 (39,1)
Pantau Pertumbuhan
Ya 637 (55,5) 510 (44,5) 0.004**
Tidak 517 (62,0) 317 (38,0)
Karateristik Ibu
Umur ibu
<25 tahun 231 (65,6) 121 (34,4) 0.001**
25-34 tahun 589 (58,5) 417 (41,5)
35-44 tahun 303 (54,9) 249 (45,1)
≥45 tahun 31 (43,7) 40 (56,3)
Pendidikan ibu
≤ tamat SD 461 (53,9) 395 (46,1) 0.000***
Tamat SMP 334 (56,3) 259 (43,7)
Tamat SMA 279 (66,3) 142 (33,7)
Tamat PT 80 (72,1) 31 (27,9)
Pekerjaan ibu
Tidak bekerja 753 (59,0) 524 (41,0) 0.386
Bekerja 401 (57,0) 303 (43,0)
Konsumsi TTD
≥90 tablet 425 (58,2) 305 (41,8) 0.981
<90 tablet 729 (58,3) 522 (41,7)
PMT ibu hamil
Mendapat 551 (58,2) 396 (41,8) 0.952
Tidak 603 (58,3) 431 (41,7)
Tempat persalinan
Fasyankes 880 (59,5) 600 (40,5) 0.061
Non fasyankes 1154 (54,7) 827 (45,3)
Karateristik RUTA
Jumlah balita
1 balita 1039 (58,3) 743 (41,7) 0.889
>1 balita 115 (57,8) 84 (42,2)
Sumber air minum
Layak 740 (57,2) 553 (42,8) 0.206
Tidak layak 414 (60,2) 274 (39,8)
Ket: *p value <0,05, ** p value <0,01, ***p value <0,001. (Uji chi-square)

83
Penelitian Gizi dan Makanan, Desember 2021 Vol. 44 (2): 79-92

Pada karakteristik ibu, terlihat bahwa balita stunting yang mendapatkan PMT balita
persentase stunting lebih besar terjadi pada terbesar di daerah non lokus (50,2%). Untuk
balita yang memiliki ibu berumur 45 tahun atau kegiatan pemantauan pertumbuhan banyak
lebih (56,3%)dan persentase terendah pada dilakukan oleh balita stunting di desa non lokus
ibu dengan umur <25 tahun (34,4%). (51,6%).
Berdasarkan pendidikan ibu, persentase Pada desa lokus semakin tua umur ibu
stunting tertinggi pada balita dengan ibu peluang terhadap stunting semakin besar,
berpendidikan tidak tamat SD atau tidak sedangkan pada desa non lokus peluang
sekolah (46%), sedangkan ibu berpendidikan stunting sebarannya hampir sama dan paling
tamat Perguruan Tinggi memiliki persentase tinggi pada kelompok umur 35-44 tahun
terendah (28%) untuk melahirkan anak stunting. (53,8%). Untuk desa lokus semakin tinggi
Kedua variable tersebut bermakna secara Pendidikan ibu semakin kecil peluang untuk
statistik. Sedangkan variabel yang tidak terjadinya stunting pada balita. Namun hal
berhubungan secara statistik adalah pekerjaan sebaliknya untuk desa non lokus, dimana
ibu, konsumsi tablet tambah darah (TTD), semakin tinggi Pendidikan ibu semakin besar
pemberian PMT ibu hamil, dan tempat proporsi balita untuk menjadi stunting. Proporsi
persalinan. kejadian stunting pada balita di desa lokus
Pada karakteristik rumah tangga bahwa banyak terjadi pada ibu yang tidak bekerja
dua variabel yaitu jumlah balita dan sumber air (52,4%), namun tidak demikian dengan halnya
minum tidak berhubungan bermakna dengan di desa non lokus, dimana proporsi kejadian
stunting. stunting lebih besar pada ibu yang bekerja
Tabel 2 menunjukkan proporsi stunting (57,8%). Proporsi ibu yang mengonsumsi TTD
menurut desa lokus maupun non lokus. Pada ≥90 tablet selama kehamilan ternyata hampir
karateristik anak tidak terlihat adanya separuhnya mempunyai balita stunting baik di
hubungan yang bermakna terhadap stunting desa lokus (49,5%) maupun di desa non lokus
pada balita yang di desa lokus maupun non (50,5%). Demikian juga dengan konsumsi PMT
lokus. Proporsi stunting menurut jenis kelamin selama kehamilan, dimana 47,7% ibu hamil
baik pada laki-laki maupun perempuan, lebih yang mendapatkan PMT di desa lokus dan
dari 50 persen banyak berada di desa non 52,3 persen di desa non lokus mempunyai
lokus. Demikian juga dengan variable usia anak balita stunting. Proporsi ibu di desa lokus
anak, dimana lebih dari separuh anak balita di yang melakukan persalinan diluar fasilitas
desa non lokus sudah mengalami stunting pelayanan Kesehatan mempunyai proporsi
ketika berada di usia kurang dari 24 bulan kejadian balita stunting sebesar 54,6 persen,
(51,5%). Jika dilihat dari IMD yang dilakukan hal ini berbeda dengan di desa non lokus,
ketika anak baru lahir maka anak yang dimana ibu yang melakukan persalinan di
melakukan IMD pada desa lokus lebih banyak fasyankes mempunyai proporsi kejadian balita
mengalami stunting (52,7%) dibandingkan stunting sebesar 53,7 persen. Pada karateristik
dengan desa non lokus (47,3%). ibu ada 2 variabel yang berhubungan
Pada desa lokus, stunting terjadi pada bermakna secara statistic dengan kejadian
balita yang mendapatkan ASI kurang dari 6 stunting yaitu variable pekerjaan ibu dan
bulan (58,6%) dan ada kecenderung menurun tempat persalinan dimana nilai p-value <0,05.
sesuai dengan bertambahnya usia. Sedangkan Pada karateristik rumah tangga tidak ada
untuk desa non lokus terlihat kecenderungan variable yang bermakna secara statistic
semakin lama balita mendapatkan ASI maka terhadap stunting. Rumah tangga yang
proporsi balita menjadi stunting semakin tinggi mempunyai lebih dari satu balita di desa non
(41,4%) pada usia <6 bulan menjadi 52,7 lokus mempunyai anak yang stunting sebesar
persen pada usia ≥24 bulan. Kejadian penyakit 55,9 persen dibandingan dengan desa lokus
yang diderita oleh balita stunting berupa diare, (44,1%). Rumah tangga yang mempunyai
kecacingan dan ISPA proporsinya hampir sumber air minum yang layak di desa non
sama baik pada desa lokus ,maupun non lokus lokus ternyata mempunyai proporsi stunting
(50,0%) kecuali untuk ISPA yang lebih banyak yang lebih tinggi (51,9%) dibandingkan dengan
terjadi di desa non lokus (52,1%). Proporsi desa lokus (48,1%).

84
Faktor determinan balita stunting pada desa lokus dan non lokus ... (Permanasari Y; dkk )

Tabel 2
Distribusi Proporsi Stunting menurut desa Lokus dan Non Lokus
Lokus Non Lokus
Variabel p-value
n (%) n (%)
Karateristik Anak
Jenis kelamin anak
Laki-laki 225 (49,7) 228 (50,3) 0,502
Perempuan 177 (47,3) 197 (52,7)
Usia anak
<24 bulan 100 (48,5) 106 (51,5) 0,983
24-59 bulan 302 (48,6) 319 (51,4)
IMD
IMD 29 (52,7) 26 (47,3) 0,527
Tidak IMD 373 (48,3) 399 (51,7)
Durasi ASI
<6 bulan 61 (58,6) 43 (41,4) 0,112
6-11 bulan 39 (52,7) 35 (47,3)
12-23 bulan 136 (45,6) 162 (54,4)
≥24 bulan 166 (47,3) 185 (52,7)
Diare
Ya 52 (50,0) 52 (50,0) 0,762
Tidak 350 (48,4) 373 (51,6)
Kecacingan
Ya 21 (50,0) 21 (50,0) 0,853
Tidak 381 (48,5) 404 (51,5)
ISPA
Ya 59 (47,9) 64 (52,1) 0,877
Tidak 343 (48,7) 361 (51,3)
PMT Balita
Mendapat 237 (49,8) 239 (50,2) 0,429
Tidak 165 (47,0) 186 (53,0)
Pantau Pertumbuhan
Ya 247 (48,4) 263 (51,6) 0,897
Tidak 155 (48,9) 162 (51,1)
Karateristik Ibu
Umur ibu
<25 tahun 60 (49,6) 61 (50,4) 0,840
25-34 tahun 207 (49,6) 210 (50,4)
35-44 tahun 115 (46,2) 134 (53,8)
≥45 tahun 20 (50,0) 20 (50,0)
Pendidikan ibu
≤ tamat SD 204 (51,7) 191 (48,3) 0,415
Tamat SMP 120 (46,3) 139 (53,7)
Tamat SMA 64 (45,1) 78 (54,9)
Tamat PT 14 (45,2) 17 (54,8)
Pekerjaan ibu
Tidak bekerja 274 (52,3) 250 (47,7) 0,005
Bekerja 128 (42,2) 175 (57,8)
Konsumsi TTD
≥90 tablet 151 (49,5) 154 (50,5) 0,693
<90 tablet 251 (48,1) 271 (51,9)
PMT ibu hamil
Mendapat 189 (47,7) 207 (52,3) 0,627
Tidak 213 (49,4) 218 (50,6)
Tempat persalinan
Fasyankes 278 (46,3) 322 (53,7) 0,033
Non fasyankes 124 (54,6) 103 (45,4)
Karateristik RUTA
Jumlah balita
1 balita 365 (49,1) 378 (50,9) 0,377
>1 balita 37 (44,1) 47 (55,9)
Sumber air minum
Layak 266 (48,1) 287 (51,9) 0,678
Tidak layak 136 (49,6) 138 (50,4)
Ket: uji chi-square

85
Penelitian Gizi dan Makanan, Desember 2021 Vol. 44 (2): 79-92

Tabel 3
Faktor Determinan yang berhubungan terhadap kejadian stunting
Odds ratio kejadian stunting
Variabel
COR (95% CI) p-value AOR (95% CI) p-value
Jenis desa
Non lokus Referensi Referensi
Lokus 0.79 (0.66-0.95) 0.011 0.80 (0.66-0.96) 0.019
Jenis kelamin anak
Laki-laki Referensi
Perempuan 0.79 (0.66-0.96) 0.015
Umur ibu
<25 tahun Referensi
25-34 tahun 1.27 (0.97-1.67) 0.081
35-44 tahun 1.31 (0.97-1.76) 0.075
≥45 tahun 2.04 (1.18-3.51) 0.01
Pendidikan ibu
≤ tamat SD Referensi
Tamat SMP 0.99 (0.79-1.23) 0.92
Tamat SMA 0.66 (0.51-0.85) 0.002
Tamat PT 0.49 (0.31-0.78) 0.002
Pekerjaan ibu
Tidak bekerja Referensi
Bekerja 1.10 (0.90-1.35) 0.368
Sumber air minum
Layak Referensi
Tidak layak 0.91 (0.74-1.11) 0.347
Tempat persalinan
Fasyankes Referensi
Non fasyankes 1.19 (0.95-1.48) 0.122
Durasi ASI
<6 bulan Referensi
6-11 bulan 0.78 (0.54-1.13) 0.185
12-23 bulan 1.18 (0.88-1.58) 0.275
≥24 bulan 1.69 (1.25-2.31) 0.001**
Usia anak
<24 bulan Referensi
24-59 bulan 1.59 (1.25-2.03) 0.000***
Jumlah balita
1 balita Referensi
>1 balita 1.13 (0.82-1.55) 0.472
Konsumsi TTD
≥90 tablet Referensi
<90 tablet 1.04 (0.85-1.27) 0.679
IMD
IMD Referensi
Tidak IMD 1.48 (1.04-2.12) 0.031*
Diare
Ya Referensi
Tidak 0.78 (0.58-1.04) 0.088
Kecacingan
Ya Referensi
Tidak 0.10 (0.64-1.55) 0.992
ISPA
Ya Referensi
Tidak 1.00 (0.77-1.31) 0.962
PMT ibu hamil
Mendapat Referensi
Tidak 0.95 (0.78-1.16) 0.623
PMT balita
Mendapat Referensi
Tidak 0.97 (0.79-1.19) 0.778
Pantau pertumbuhan
Ya Referensi
Tidak 0.77 (0.63-0.94) 0.009**
Ket.: *p value <0,05, ** p value <0,01, ***p value <0,001. (Uji Regresi logistik)

86
Faktor determinan balita stunting pada desa lokus dan non lokus ... (Permanasari Y; dkk )

Tabel 3 menunjukkan bahwa desa lokus intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi
stunting mempunyai hubungan yang signifikan sensitif pada kelompok ibu hamil, ibu menyusui
secara statisik, baik sebelum dikontrol ataupun dan anak berusia 0-23 bulan atau rumah
setelah dikontrol dengan menggunakan tangga 1000 hari pertama kehidupan.
variabel kontrol. Sebelum dikontrol, peluang Beberapa program kegiatan yang dilakukan
terjadinya stunting 21 persen lebih rendah di diantaranya adalah imunisasi dasar, ASI
desa lokus dibanding desa lokus (COR: 0.79; eksklusif, keragaman makanan, air minum dan
95% CI 0.66-0.95). Setelah dikontrol, peluang sanitasi, Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),
terjadinya stunting 20 persen lebih rendah di program pertanian dan proteksi sosial (akta
desa lokus dibanding desa non lokus (AOR: kelahiran)13.
0.80; 95% CI 0.66-0.96). Hal ini menunjukkan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
bahwa penetapan desa lokus merupakan faktor desa lokus stunting mempunyai hubungan
proteksi terjadinya stunting. proteksi sebesar 0,79 artinya desa lokus dapat
Berdasarkan jenis kelamin anak mencegah terjadinya stunting sebesar 1,3 kali
perempuan mempunyai hubungan proteksi dibandingkan dengan desa non lokus. Hal ini
terhadap kejadian stunting, dengan besar membuktikan bahwa pengimplementasian
proteksi 0,79 artinya anak perempuan dapat berbagai program dan kegiatan dari berbagai
terhindar dari kejadian stunting sebesar 1,21 sektor di daerah lokus dapat memberikan
kali dibandingkan dengan anak laki-laki. Jika dampak peningkatan status kesehatan dari
dilihat dari tingkat pendidikan, maka tingkat masyarakat terutama sasaran rumah tangga
pendidikan tinggi mempunyai hubungan 1000 HPK. Penelitian yang menggambarkan
proteksi terhadap kejadian stunting sebesar upaya pemerintah dan masyarakat dalam
0,49 artinya tingkat pendidikan ibu yang tinggi mengatasi masalah Stunting pada anak balita
dapat mencegah kejadian stunting sebesar 2,0 telah dilakukan di Kenagarian Kambang Barat
kali dibandingkan dengan tingkat pendidikan Kecamatan Lengayang Kabupaten Pesisir
ibu yang rendah. Perilaku tidak melakukan Selatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemantauan pertumbuhan mempunyai pemerintah telah berupaya mengatasi
hubungan proteksi terhadap kejadian stunting, permasalahan stunting di Kabupaten Pesisir
dengan besar proteksi 0,77 yang artinya balita Selatan terkhusus di Kenagarian Kambang
yang tidak melakukan pemantauan Barat. Program tersebut seperti mendirikan pos
pertumbuhan dapat terhindar dari kejadian gizi setiap nagari, mengadakan sosialisasi
stunting sebesar 1,3 kali dari balita yang terkait permasalahan stunting, dan
melakukan pemantaun pertumbuhan. Umur ibu memberikan PMT bagi ibu hamil dan balita.
45 tahun atau lebih berisiko 2 kali mempunyai Upaya tersebut memberikan manfaat bagi
anak balita stunting dibanding dengan ibu yang masyarakat yakni memberi pendidikan dan
berusia lebih muda. Balita yang mendapatkan pengetahuan kepada masyarakat terkait
ASI lebih dari 24 bulan berisiko 1,7 kali menjadi stunting, memperbaiki dan meningkatkan
stunting dan usia anak diatas 24 bulan status gizi anak, dan memantau pertumbuhan
mempunyai risiko 1,6 kali menjadi stunting balita14.
dibandingkan dengan usia dibawahnya. Untuk Salah satu upaya yang dilakukan
balita yang tidak melakukan IMD berisiko 1,5 pemerintah dalam penanggulangan masalah
kali menjadi stunting dibandingkan dengan stunting adalah meningkatkan pengetahuan
balita yang melakukan IMD. dan pemahaman serta peran serta masyarakat
dalam pelaksanan program. Penelitian yang
BAHASAN dilakukan di Wonokromo Surabaya
menunjukkan bahwa dengan memberikan
Berdasarkan hasil penelitian ini
penyuluhan pada masyarakat mengenai status
menunjukkan prevalensi stunting yang masih
gizi balita, pencegahan dan penanggulangan
tinggi terutama di daerah non lokus stunting
stunting dapat meningkatkan pengetahuan
yaitu sebesar 44,7 persen. Prevalensi tersebut
masyarakatnya dan diharapkan dapat
lebih tinggi dibanding daerah lokus stunting
meningkatkan motivasi masyarakat dalam
yaitu 39 persen. Kebijakan pemerintah dalam
program deteksi dini stunting, pencegahan dan
penanganan dan pencegahan stunting tertuang
penanggulangan stunting.15. Bagian
dalam Strategi Nasional Percepatan
masyarakat yang memegang peranan penting
Pencegahan Stunting yang merupakan
dalam pelaksanaan program pencegahan dan
panduan untuk mendorong terjadinya
penanggulangan stunting, diantaranya adalah
kerjasama antar lembaga untuk memastikan
kader. Kader sebagai ujung tombak pelaksana
konvergensi seluruh program/kegiatan terkait
program di posyandu juga harus memiliki
pencegahan anak kerdil (stunting). Utamanya
tingkat pengetahuan dan pemahaman yang
untuk meningkatkan cakupan dan kualitas

87
Penelitian Gizi dan Makanan, Desember 2021 Vol. 44 (2): 79-92

baik. Penelitian berupa pemberian pelatihan Inisisai Menyusu Dini (IMD) disini
yang dilakukan di Jatinangor Kabupaten didefinisikan sebagai usaha aktif bayi untuk
Sumedang menunjukkan bahwa kader menyusu segera, dalam satu jam pertama
posyandu dapat lebih memahami mengenai kelahiran, baik pada persalinan normal maupun
gizi seimbang, deteksi dini stunting. Kader seksio sesaria dengan difasilitasi oleh tenaga
posyandu juga dapat mengambil peran penting kesehatan. Bayi diletakkan di perut dan dada
dalam menginformasikan gizi optimal pada ibu segera setelah lahir dan diberi kesempatan
1000 HPK sebagai upaya pencegahan stunting untuk mulai menyusu sendiri dengan cara
serta mengidentifikasi faktor risiko penyebab merangkak mencari payudara dan membiarkan
stunting di wilayah kerja posyandu16. kontak kulit bayi dan ibu setidaknya selama
Hasil analisis multaviariat menunjukkan satu jam bahkan lebih sampai bayi menyusu
bahwa stunting dipengaruhi oleh status lokus sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
stunting desa, juga dipengaruhi oleh jenis sebanyak 41,8 persen anak umur 6–59 bulan
kelamin balita, umur balita, umur ibu, mengalami stunting dan 42,5 persen
pendidikan ibu, durasi menyusui, status IMD, diantaranya tidak IMD, artinya bayi tidak
dan status pemantauan pertumbuhan balita. diperkenalkan untuk menyusu segera setelah
Hal ini sejalan dengan hasil studi literature lahir. Hasil analisis menunjukkan bahwa anak
review yang mengemukakan bahwa faktor yang tidak diberikan kesempatan untuk IMD
yang berhubungan dengan stunting pada balita setelah lahir, menjadi faktor risiko yang
di Indonesia diantaranya adalah jenis kelamin signifikan terhadap terjadinya stunting pada
laki-laki dan rendahnya pendidikan ibu.17 Studi anak umur 6-59 bulan (p = 0,031; AOR 1,5;
lain di Zambia dan Rwanda juga 95% CI: 1,04–2,12). Penelitian ini menunjukkan
mengonfirmasi hal ini, yaitu determinan bahwa anak yang tidak mendapatkan inisiasi
stunting diantaranya adalah jenis kelamin dan menyusu dini memiliki kemungkinan 1,5 kali
umur balita, umur dan pendidikan ibu, dan lebih besar untuk menjadi stunting
durasi menyusui.18,19Oleh karena itu, faktor- dibandingkan dengan mereka yang diberi ASI
faktor tersebut sangat penting untuk dini. Hasil penelitian ini memperkuat hasil
dipertimbangkan dalam merancang strategi penelitian lain di Jambi yang melaporkan
intervensi pencegahan dan penurunan stunting bahwa anak umur 6-59 bulan yang tidak
pada balita Indonesia. mendapatkan IMD memiliki kemungkinan 1,3
Dalam hasil penelitian menunjukkan kali lebih besar untuk menjadi stunting
bahwa durasi menyusui pada anak 0-59 bulan dibandingkan dengan anak yang IMD (p= 0.024;
menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. AOR = 1.3; 95% CI: 1.0–1.6)26.
Anak balita dengan lama menyusui lebih dari Hasil tersebut menunjukkan bahwa IMD
12 bulan pada status ekonomi rendah dapat menurunkan risiko stunting pada anak di
mempunyai peluang 1,8 kali untuk menjadi usia selanjutnya. Inisiasi menyusu dini
stunting20. Penelitian di Pakistan dan merupakan salah satu pintu masuk
Bostwana menunjukkan hasil yang sama keberhasilan menyusui di kemudian hari dan
dimana durasi menyusui memiliki hubungan memastikan anak mendapat asupan nutrisi
significant dengan kejadian stunting21,22. yang tepat. IMD memiliki dampak positif jangka
Penelitian tahun 2011 di Nepal dan tahun 2013 panjang bagi anak. Peluang ini dapat dicapai
di Nigeria menunjukkan bahwa durasi jika ibu bayi baru lahir menyadari manfaat dan
menyusui lebih dari 12 bulan meningkatkan proses menyusui dini. IMD memiliki manfaat
risiko stunting dan severe stunting.23,24 Adanya baik untuk ibu maupun bayi. Sentuhan dan
hubungan antara durasi menyusui yang isapan pada payudara ibu mendorong
panjang dengan kejadian stunting keluarnya oksitosin. Oksitosin menyebabkan
kemungkinan disebabkan karena anak kontraksi pada uterus sehingga membantu
mengalami keterlambatan dalam mengenal keluarnya plasenta dan mencegah perdarahan.
makanan tambahan atau bisa juga karena Oksitosin juga menstimulasi hormon-hormon
kurangnya sumber daya dalam rumah tangga lain yang menyebabkan ibu merasa aman dan
untuk menyediakan makanan pelengkap bagi nyaman sehingga ASI keluar dan lancar. Bukti
anak. Akibatnya anak tidak bisa saat ini menunjukkan bahwa kontak kulit-ke-
mengembangkan nafsu makan yang sehat kulit antara ibu dan bayi segera setelah lahir
terhadap pemberian makanan pendamping ASI. membantu untuk memulai menyusui dini dan
Hal ini membuat anak lebih bergantung pada meningkatkan kemungkinan pemberian ASI
ASI, menganggu kemampuan mengunyah eksklusif. Bayi yang melakukan kontak kulit-ke-
makanan, menurunkan sistem kekebalan tubuh kulit awal dengan ibu mereka juga tampak lebih
dan gangguan tumbuh kembang25. banyak berinteraksi dengan ibu mereka dan
lebih jarang menangis. Sedangkan manfaat

88
Faktor determinan balita stunting pada desa lokus dan non lokus ... (Permanasari Y; dkk )

bagi bayi adalah saat bersentuhan dengan ibu sedikit.33 Namun, studi lain menunjukkan hasil
untuk pertama kali menimbulkan ketenangan yang berbeda dimana anak dengan umur ibu
sehingga napas dan denyut jantung bayi 15-19 tahun berisiko 8 kali mengalami stunting
menjadi teratur. Selain itu bayi memiliki dibandingkan dengan ibu berumur 20 tahun ke
kesempatan untuk memperoleh kolustrum. atas34. Ibu dengan tingkat pendidikan yang
Seperti yang sudah diketahui bahwa kolustrum baik memiliki perilaku kesehatan yang baik
mengandung antibodi dan merupakan untuk keluarganya, misalnya dengan
imunisasi pertama. Disamping itu kolustrum mempraktikkan pemberian makan anak yang
juga mengandung faktor pertumbuhan yang tepat, pola makan yang baik ketika hamil dan
membantu usus bayi berfungsi secara efektif, menyusui, pemanfaatan fasilitas kesehatan,
sehingga mencegah miikroorganisme dan mengadopsi praktik medis modern, dan
penyebab alergi lain untuk masuk ke dalam memiliki kesempatan lebih besar dalam
tubuh bayi27. pengambilan keputusan24,35,36. Pentingnya
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor pendidikan ibu didukung oleh hasil studi
stunting lebih banyak terjadi pada balita laki- di Etiopia yang menunjukkan bahwa durasi
laki dibandingkan dengan balita perempuan hal pendidikan ibu setiap tahun berasosiasi
ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan dengan penurunan stunting balita sebesar 7
oleh Hasanah (2018), Rufaida, et.al (2020), persen36.
Cruz et.al dan Daeli (2018).28,29,30 Berdasarkan Pemantauan pertumbuhan balita
penelitian Elsmen et.al (2004) menduga jika hal seharusnya menjadi faktor yang menurunkan
ini akibat dari kerentanan anak laki-laki risiko anak menjadi stunting. Namun penelitian
terhadap infeksi dan penyakit lain yang dapat ini menunjukkan hasil yang berbeda, dimana
mengganggu pertumbuhan anak.31 Bila ibu yang melakukan pemantauan pertumbuhan
berdasarkan usia anak, hasil penelitian berisiko memiliki anak stunting. Bila dilihat dari
menunjukkan usia 24-59 lebih berisiko menjadi karakteristik responden penelitian yaitu ibu
stunting dibandingkan usia 0-23 bulan. Hasil yang mempunyai anak balita, lebih banyak
Riskesdas 2018 juga menunjukkan proporsi dengan tingkat pendidikan rendah (SD dan
stunting yang cenderung lebih besar sejalan SMP). Tingkat pendidikan memiliki keterkaitan
pertambahan usia. Studi Tumbuh Kembang dengan tingkat pengetahuan gizi ibu. Ibu yang
Anak mendapatkan bahwa gangguan pada tidak memiliki pengetahuan yang baik dalam
pencapaian panjang badan anak mulai terjadi menindaklanjuti hasil pemantauan tumbuh
sejak anak berusia satu bulan, dan terus terjadi kembang anaknya, misalnya praktik pemberian
di usia selanjutnya dengan rentang perbedaan makan yang buruk atau pencarian pelayanan
yang semakin lebar dibandingkan standar kesehatan yang kurang ketika anak terpantau
pertumbuhan panjang/tinggi badan. Dimana memiliki masalah dengan status gizinya. Hal ini
faktor determinan untuk bertahan sehingga didukung oleh studi yang menyatakan bahwa
tidak menjadi stunting pada anak 0-59 bulan praktik pemberian makan dan pelayanan
ialah berat badan lahir dan tinggi ibu.32 Hal ini kesehatan primer merupakan faktor utama
dapat terjadi karena stunting biasanya sudah berkorelasi dengan stunting pada anak 6-23
dimulai sejak anak masih dalam kandungan bulan37. Oleh karena itu perlu intervensi
yang terjadi karena tidak memadainya asupan pemantauan pertumbuhan ini diperkuat dengan
gizi ibu ketika hamil yang akan berdampak edukasi gizi pada orangtua untuk
pada berat anak yang rendah ketika lahir. Anak meningkatkan pengetahuan misalnya melalui
yang lahir dengan kondisi ini jika tidak konseling gizi38. Aksi pencegahan dan
mendapatkan asupan yang cukup dalam penurunan stunting balita telah menjadi
periode panjang, bahkan diperburuk dengan program prioritas nasional yang terintregasi
sanitasi dan higiene rumah yang tidak dalam dokumen perencanaan pembangungan
memadai maka akan meningkatkan risiko daerah. Hasil studi ini dapat menjadi dasar
terhadap penyakit infeksi dan selanjutnya dalam penentuan prioritas program intervensi
menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan spesifik pada sasaran rumah tangga 1000 HPK,
perkembangan anak24. seperti konseling untuk meningkatkan
Faktor ibu seperti umur ibu 35 tahun ke pengetahuan ibu terhadap pemberian
atas dan pendidikan yang rendah berisiko ASI/makan anak, termasuk di dalamnya
untuk memiliki balita stunting. Ibu dengan umur pemantauan pertumbuhan. Kajian Bappenas
yang lebih tua dan dengan jumlah melahirkan juga mendapatkan belum konprehensifnya
lebih banyak cenderung lebih jarang manajemen penanganan masalah gizi tanpa
menggunakan fasilitas kesehatan ibu dukungan yang memadai melalui kegiatan
dibandingkan dengan ibu yang berusia muda konseling39. Meskipun berbagai program telah
dan memiliki jumlah kelahiran yang lebih dilaksanakan sebagai langkah preventif

89
Penelitian Gizi dan Makanan, Desember 2021 Vol. 44 (2): 79-92

menuntaskan stunting, terutama kegiatan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap


edukasi, namun program dan upaya tersebut prevalensi stunting tersebut. Intervensi
perlu lebih dioptimalkan kembali. dilakukan secara menyeluruh tidak hanya di
Studi ini menggunakan desain potong desa lokus stunting dengan membuka akses
lintang sehingga memiliki keterbatasan dalam agar ibu dan calon ibu dapat memperoleh
menginterpretasikan hubungan sebab akibat pendidikan yang baik dan fasilitas kesehatan
antara faktor risiko yang diamati dengan
yang memadai, yang disertai dengan edukasi
stunting pada balita. Selain itu ada
gizi dan kesehatan untuk anak. 3)
keterbatasan variabel yang diteliti seperti faktor
pola konsumsi makanan anak, ketahanan Menggalakkan/menggiatkan Program
pangan keluarga, dan indeks massa tubuh atau intervensi spesifik yang disertai pemberian
tinggi badan ibu ketika hamil yang merupakan edukasi gizi dan kesehatan pada kelompok
kovariat penting terkait status gizi balita yang sasaran program sehingga didapati
tidak dianalisis dalam studi ini. Terlepas dari pemahaman yang baik dan benar agar dapat
keterbatasan ini, studi ini memiliki kekuatan merubah perilaku kearah yg lebih baik.
dengan jumlah sampel yang cukup besar
memberikan informasi terkait faktor yang UCAPAN TERIMAKASIH
berhubungan dengan stunting balita di daerah Terimakasih disampaikan kepada Bapak
lokus stunting. Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan
Masyarakat atas kesempatan yang diberikan
KESIMPULAN kepada penulis untuk melakukan analisis data
Penetapan desa lokus stunting oleh ini, kepada teman peneliti yang telah
pemerintah merupakan salah satu upaya berkontribusi dalam penyusunan artikel ini
dalam program percepatan pencegahan yang tidak bisa disebutkan satu persatu, serta
semua pihak yang terlibat.
stunting dan mempengaruhi terhadap
prevalensi stunting di wilayah tersebut yang
RUJUKAN
mana prevalensi stunting di desa lokus lebih
rendah dibanding desa non lokus. Hal ini 1. Indonesia, Kementerian PPN/Badan
menunjukan bahwa pengimplementasian Perencanaan Pembangunan Nasional
berbagai program dan kegiatan dari berbagai [Bappenas]. Rencana Pembangunan
sektor di daerah lokus dapat memberikan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Jakarta: Badan Perencanaan
dampak peningkatan status kesehatan dari
Pembagunan Nasional [Bappenas], 2018.
masyarakat terutama sasaran rumah tangga 2. Indonesia, Kementerian PPN/ Badan
1000 HPK. Berkaitan dengan itu, terdapat Perencanaan Pembangunan Nasional
beberapa faktor yang mempengaruhi [Bappenas]. Strategi Nasional Percepatan
prevalensi stunting yaitu faktor balita dan faktor Pencegahan Anak Kerdil (stunting).
ibu. Faktor balita terdiri dari jenis kelamin, umur, Jakarta: Jakarta: Badan Perencanaan
durasi menyusui, status inisiasi menyusu dini, Pembagunan Nasional [Bappenas], 2018.
dan status pemantauan pertumbuhan, 3. Indonesia, Badan Penelitian dan
sedangkan faktor ibu yaitu umur dan tingkat Pengembangan Kesehatan, Kementerian
pendidikan. Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia
SARAN tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Berdasarkan hasil analisis dalam artikel ini, Kesehatan RI, 2008
maka penelitian ini merekomendasikan:1) 4. Indonesia, Badan Penelitian dan
Mendorong daerah non lokus stunting untuk Pengembangan Kesehatan, Kementerian
bisa dijadikan daerah lokus stunting. Karena Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset
daerah/desa lokus dinilai dapat Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia
mengimplementasikan berbagai program dan tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
kegiatan di multi sektor sehingga dapat Pengembangan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan RI 2013
memberikan dampak positif terhadap
5. Indonesia, Badan Penelitian dan
peningkatan status kesehatan bagi masyarakat Pengembangan Kesehatan, Kementerian
terutama bagi sasaran rumah tangga yang Kesehatan RI. Laporan Hasil Riset
menjadi target 1000 HPK. 2) Strategi intervensi Kesehatan Dasar (Riskesdas) Indonesia
dapat diprioritaskan dengan menyasar pada tahun 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan

90
Faktor determinan balita stunting pada desa lokus dan non lokus ... (Permanasari Y; dkk )

Pengembangan Kesehatan, Kementerian of children : a systematic review and meta


Kesehatan RI, 2018. analysis. Italian Journal of Pediatrics.
6. World Health Organization [WHO]. The 2019; 45(77). doi: https://doi.
Healthy Growth Project . Geneva: World org/10.1186/s13052-019-0666-2
Health Organization [WHO], 2020. 19. Nshimyiryo A, Hedt-gauthier B,
7. Vilcins D, Sly PD, Jagals P. Environmental Mutaganzwa C, Kirk CM, Beck K,
Risk Factors Associated with Child Ndayisaba A, et al. Risk factors for
Stunting: A Systematic Review of the stunting among children under five years :
Literature. Ann Glob Heal. a cross-sectional population-based study
2018;84(4):551–62. in Rwanda using the 2015 Demographic
8. Budhathoki SS, Bhandari A, Gurung R, and Health Survey. BMC Public Health.
Gurung A, Kc A. Stunting Among Under 5- 2019;1–10.
Year-Olds in Nepal: Trends and Risk 20. Cetthakrikul N, Topothai C,
Factors. Matern Child Health J. Suphanchaimat R, Tisayaticom K,
2020;24(s1):39–47. Limwattananon S, Tangcharoensathien V.
9. Maravilla JC, Betts K, Adair L, Alati R. Childhood stunting in Thailand: When
Stunting of children under two from prolonged breastfeeding interacts with
repeated pregnancy among young household poverty. BMC Pediatr.
mothers. Sci Rep. 2020;1–9. 2018;18(1):1–9.
10. Indonesia, Kementerian PPN/ Badan 21. Syeda B, Agho K, Wilson L, Maheshwari
Perencanaan Pembangunan Nasional GK, Raza MQ. Relationship between
[Bappenas]. Pedoman Pelaksanaan breastfeeding duration and undernutrition
Intervensi Penurunan Stunting conditions among children aged 0–3
Terintegrasi di Kabupaten/Kota. Jakarta: Years in Pakistan. Int J Pediatr Adolesc
Kementerian PPN/ Badan Perencanaan Med. 2021;8(1):10–7.
Pembangunan Nasional [Bappenas], 2018. 22. Mahgoub SEO, Nnyepi M, Bandeke T.
11. Tim Nasional Percepatan Factors Affecting Prevalence of
Penanggulangan Kemiskinan [TNP2K]. Malnutrition Among Children Under Three
100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Years of Age in Botswana. African J Food
Intervensi Anak Kerdil (Stunting). Jakarta: Agric Nutr Dev. 2006;6(1).
Tim Nasional Percepatan Penang- 23. Tiwari R, Ausman LM, Agho KE.
gulangan Kemiskinan [TNP2K], 2017. Determinants of stunting and severe
12. Ernawati A. Gambaran Penyebab Balita stunting among under-fives: Evidence
Stunting di Desa Lokus Stunting from the 2011 Nepal Demographic and
Kabupaten Pati. J Litbang Media Inf Health Survey. BMC Pediatr.
Penelitian, Pengemb dan IPTEK. 2014;14(1):1–15.
2020;16(2):77–94. 24. Akombi BJ, Agho KE, Hall JJ, Merom D,
13. Indonesia, Sekretariat Wakil Presiden RI. Astell-Burt T, Renzaho AMN. Stunting and
Strategi Nasional Percepatan Pencegahan severe stunting among children under-5
Anak Kerdil (Stunting) 2018-2024. Jakarta; years in Nigeria: A multilevel analysis.
Sekretariat Wakil Presiden RI, 2018 BMC Pediatr. 2017;17(15). doi:10.1186/
14. Sari RPP, Montessori M. Upaya s12887-016-0770-z
Pemerintah dan Masyarakat dalam 25. Przyrembel H. Timing of introduction of
Mengatasi Masalah Stunting pada Anak complementary food: Short- and long-term
Balita. J Civ Educ. 2021;4(2):129–36. health consequences. Ann Nutr Metab.
15. Laili U, Andriani RAD. Pemberdayaan 2012;60(suppl. 2):8–20.
Masyarakat Dalam Pencegahan Stunting. 26. Muldiasman M, Kusharisupeni K,
J Pengabdi Masy IPTEKS. 2019;5(1):8. Laksminingsih E, Besral B. Can early
16. Megawati G, Wiramihardja S. Peningkatan initiation to breastfeeding prevent stunting
Kapasitas Kader Posyandu dalam in 6–59 months old children?. J Heal Res.
Mendeteksi dan Mencegah Stunting. 2018;32(5):334–41.
Dharmakarya. 2019 Sep 6;8(3):154. 27. Perdani FP, Laksono AD, Chalidyanto D.
17. Beal T, Tumilowicz A, Sutrisna A, Izwardy The Undernutrition Prevalence of Under-
D, Neufeld LM. A review of child stunting Two-Years Infant in Indonesia : Do
determinants in Indonesia. Matern Child breastfeeding practices ecologically
Nutr. 2018;14(4):1–10. matter ?, Indian J of Forensic Med &
18. Gizaw Z, Worku A. Effects of single and Toxicology. 2021;15(4):1113-1119.
combined water , sanitation and hygiene 28. Hasanah Z. Faktor-faktor Penyebab
(WASH) interventions on nutritional status Kejadian Stunting pada Balita di Wilayah

91
Penelitian Gizi dan Makanan, Desember 2021 Vol. 44 (2): 79-92

Kerja Puskesmas Kotagede I Yogyakarta. factor for child undernutrition in Tamale


Naskah Publikasi. Yogyakarta: Universitas Metropolis, Ghana. BMC Res Notes..
Aisyiyah Yogyakarta, 2018. 2018;11(1):1–5. [cited Sept 25,
29. Rufaida FD, Raharjo AM, Handoko A. The 2021].Available from: https://doi.org/10.
Correlation of Family and Household 1186/s13104-018-3980-7
Factors on The Incidence of Stunting on 35. Akombi BJ, Agho KE, Hall JJ, Wali N,
Toddlers in Three Villages Sumberbaru Renzaho AMN, Merom D. Stunting,
Health Center Work Area of Jember. J wasting and underweight in Sub-Saharan
Agromedicine Med Sci. 2020;6(1):1-6. Africa: A systematic review. Int J Environ
30. Daeli DK. Hubungan Karakteristik Balita Res Public Health. 2017;14(8):1–18.
(Jenis Kelamin, Berat Badan Lahir) Dan 36. Amaha ND. Maternal factors associated
Tinggi Badan Ibu Dengan Kejadian with moderate and severe stunting in
Stunting Pada Anak Usia 6-23 Bulan Di Ethiopian children : analysis of some
Wilayah Kerja Puskesmas Jati Makmur environmental factors based on 2016
Binjai Utara. Skripsi. Medan: Politeknik demographic health survey. Nutr J.
Kesehatan Medan, 2018 2021;6:1–9.
31. Pollak A, Birnbacher R. Preterm male 37. Tafese Z, Anato A. Child Feeding Practice
infants need more initial respiratory and Primary Health Care as Major
support than female infants. Acta Paediatr Correlates of Stunting and Underweight
Int J Paediatr. 2004;93(4):447–8. among 6- to 23-Month-Old Infants and
32. Widodo Y, Salimar, Yunianto A, Setyawati Young Children in Food-Insecure
B, Rahmawati R, Christijani R, et al. Households in Ethiopia. Curr Dev Nutr.
Laporan Studi Kohor Tumbuh Kembang 2020;4:(10):1–10.
Anak Tahun 2019. Jakarta: Puslitbang 38. Ashworth A, Shrimpton R, Jamil K. Growth
Uoaya Kesehatan Masyarakat, monitoring and promotion: Review of
Balitbangkes, 2019. evidence of impact. Matern Child Nutr.
33. Samson Agbaje O. Child Care Practices 2008;4(Suppl.1):86–117.
and Associated Factors among Women of 39. Indonesia, Kementerian PPN/Badan
Childbearing Age Attending Health Perencanaan Pembangunan Nasional
Facilities in Dekina, North-Central, Nigeria. [Bappenas]. Pembangunan Gizi di
Sci J Public Heal. 2016;4(5):366. Indonesia. Jakarta: Kementerian
34. Wemakor A, Garti H, Azongo T, Garti H, PPN/Bappenas. 2019.
Atosona A. Young maternal age is a risk

92

You might also like