Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 127

PROSPEK MAKANAN TRADISIONAL ACEH SEBAGAI

MAKANAN KESEHATAN: EKSPLORASI SENYAWA


ANTIMIKROB DARI MINYAK PLIEK U DAN PLIEK U

NURLIANA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

xvi
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Prospek Makanan Tradisional
Aceh sebagai Makanan Kesehatan: Eksplorasi Senyawa Antimikrob dari Minyak Pliek
u dan Pliek u adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2009

Nurliana
NRP B063040061
ABSTRACT

NURLIANA. The Prospect of Aceh Traditional Foods as a Healthy Food: The


Exploration of Antimicrobial Compounds from Pliek u oil and Pliek u. Under direction
of MIRNAWATI SUDARWANTO, LISDAR MANAF IDWAN SUDIRMAN and
AGATHA WINNY SANJAYA

Pliek u oil has been used as cooking oil and medicine for skin diseases, wound,
fever, headache and abdominal pain. Pliek u has been consumed as spices and
ingredient of hot sauce (sambal), and also used for poultry feed. This research was
undertaken to detect the antimicrobial activity of Aceh traditional fermented coconut
(pliek u oil and extracts of pliek u). The research was supposed to support the function
of this food, especially pliek u, as a new source of antimicrobial compounds and a
healthy food. Antimicrobial activity of pliek u oil and extracts of pliek u were
evaluated against Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli,
Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas
fluorescens and Candida albicans. Among antimicrobial extracts tested, crude ethanol
extract (EEP) obtained from pliek u extracted by ethanol was the most active against all
microbial strains. The ethanol extract (EERP) obtained from pliek u previously
extracted by hexane was only active against bacterial strains and crude hexane extract
(EHP) was only active against C. albicans. EEP showed antimicrobial activity at a
minimal inhibitory concentration (MIC) and a minimal microbicidal concentration
(MMC) at 2.5-10 mg/ml and 10-80 mg/ml, respectively. The LC50 value of EEP
concentration was 3.36 mg/ml by Artemia salina L bioassay. The antimicrobial activity
of EEP was stable at 100ºC, 121ºC for 15-60 minutes, 28ºC (room temperature) and
10ºC (refrigerator temperature) for 1-6 months and at pH of 3-11. EEP at 3.36 mg/ml
(LC50) reduced significantly the number of S. aureus and E. coli in 2-12 hours
compared to the control. The effect of EEP was detected on the number of microbe of
faeces, liver and kidney structure of mice. Single dose of EEP each 370 and 733 mg/kg
body weight were administered orally to the mice. On the fourth day, their body, liver
and kidney weight were measured. Liver and kidney organ were made into preparate
into HE staining. The result showed that there was no effect of crude EEP treatments on
the number of microbe of faeces and no change on the weight of liver and kidney per
body weight. Histopathological observation on the mice liver and kidney revealed
minor and middle damage at single dose of EEP treatments. The damage of liver and
kidney were not significantly differ (P>0.05) compared to control. EEP and EERP
separated into four and three bioautographic with different Rfs 0.93, 0.71, 0.19 and
0.10 and 0.77, 0.63 and 0.4 respectively, which were all shown to be active against S.
aureus. Identification of components of EEP and EERP were detected by GC-MS
represented 22 (99.89%) and 9 components (99.80%), respectively. The main
constituents of EEP were carboxylic acid (43.64%), esters (30.99%), aliphatic
hydrocarbon (22.45%) and alcohol (2.81%), while the main constituents of EERP were
alcohol (45.13%), esters (14.89%), carboxylic acid (4.25%) and other components
(35.53%). The research concluded that EEP showed strong antimicrobial activity,
stable and not toxic extract at concentration 370-733 mg/kg body weight of mice.

Keywords: Aceh traditional food, coconut, pliek u, antimicrobial activity, active


compounds

ii
RINGKASAN

NURLIANA. Prospek Makanan Tradisional Aceh sebagai Makanan Kesehatan:


Eksplorasi Senyawa Antimikrob dari Minyak Pliek u dan Pliek u. Dibimbing oleh
MIRNAWATI SUDARWANTO, LISDAR MANAF IDWAN SUDIRMAN dan
AGATHA WINNY SANJAYA.

Peran dan multifungsi berbagai bahan alami sebagai antimikrob biasanya


langsung dimanfaatkan dalam bentuk bahan dasar atau hasil ekstraknya (herbal,
rempah-rempah, jamu dan minyak). Salah satu tumbuh-tumbuhan yang sudah
dimanfaatkan oleh masyarakat sejak ratusan tahun yang lalu adalah kelapa (Cocos
nucifera L), terutama dengan memanfaatkan daging buah dan minyak kelapa. Begitu
juga dengan masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) secara turun-menurun
telah menggunakan daging buah dan minyak kelapa yang diperoleh dari hasil
fermentasi secara tradisional. Minyak kelapa tersebut dikenal dengan nama minyak
pliek u (minyeuk simplah dan minyeuk brok), sedangkan ampas yang diperoleh setelah
diambil minyaknya disebut pliek u. Minyak pliek u digunakan sebagai minyak goreng
dan obat untuk sakit kulit, luka, demam, sakit kepala dan sakit perut, sedangkan pliek u
dikomsumsi sebagai bumbu masak dan sambal, juga digunakan sebagai pakan ayam.
Proses fermentasi erat kaitannya dengan mikrob yang dapat mengubah bahan asal
menjadi produk yang lebih baik dan juga diketahui menghasilkan senyawa antimikrob
di dalam produk tersebut.
Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mendeteksi dan
melakukan karakterisasi aktivitas antimikrob dari minyak pliek u dan ekstrak dari pliek
u. Diharapkan minyak pliek u dan pliek u yang dihasilkan dari proses fermentasi daging
buah kelapa secara tradisional dari daerah Aceh (makanan khas tradisional Aceh) dapat
dijadikan sebagai sumber penghasil senyawa antimikrob yang mampu menghambat
pertumbuhan mikrob patogen sekaligus dapat mendukung makanan tersebut sebagai
makanan sehat.
Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap proses pembuatan
minyak pliek u dan pliek u di Desa Reudep Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam.
Pliek u diekstrak menggunakan pelarut heksan dan etanol 96%. Ekstrak kasar etanol
(EEP) diperoleh setelah diekstrak dengan etanol, sedangkan ekstrak etanol residu pliek
u (EERP) diperoleh dengan mengekstrak pliek u terlebih dahulu dengan heksan untuk
mendapatkan ekstrak kasar heksan (EHP), kemudian residunya diekstrak dengan
etanol. Aktivitas antimikrob minyak pliek u (minyeuk simplah dan minyeuk brok) serta
ekstrak dari pliek u dideteksi terhadap Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa,
Pseudomonas fluorescens dan Candida albicans menggunakan metode cakram kertas.
Hasil yang diproleh dari deteksi aktivitas antimikrob ekstrak dari pliek u menunjukkan
bahwa EEP mampu menghambat semua mikrob (bakteri dan C. albicans), EHP hanya
mampu menghambat C. albicans, sedangkan EERP hanya mampu menghambat
pertumbuhan bakteri.
Penelitian pada tahap selanjutnya hanya dilakukan terhadap ekstrak kasar etanol
dari pliek u (EEP). Pada tahap ini dilakukan karakterisasi terhadap EEP. Penetapan
konsentrasi EEP berdasarkan minimal inhibitory concentration (MIC) dan minimal
microbicidal concentration (MMC) pada konsentrasi 1.25, 2.5, 5, 10, 20, 40 dan 80
mg/ml terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis,
Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa dan Candida albicans menggunakan media

iii
cair. Uji ini menghasilkan MIC dan MMC masing-masing pada kisaran 2.5-10 mg/ml
dan 10-80 mg/ml pada bakteri dan C. albicans. Konsentrasi yang mampu membunuh
50% Artemia salina L dilakukan untuk mengetahui toksisitas awal EEP, yang
menghasilkan nilai LC50 dengan konsentrasi 3.36 mg/ml.
Pengaruh suhu dan lama pemanasan, suhu dan lama penyimpanan serta pH
menunjukkan bahwa EEP masih aktif terhadap bakteri dan C. albicans pada
pemanasan 100ºC, 121ºC selama 15-60 menit, masih stabil pada penyimpanan 28ºC
(suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 enam bulan dan tidak stabil pada
suhu freezer serta tetap aktif pada pH 3-11. Penambahan EEP pada konsentrasi LC50
(3.36 mg/ml) yang digunakan untuk menguji kemampuan EEP dalam susu ternyata
dapat menurunkan S. aureus dan E. coli masing-masing 2.80 log cfu/ml dan 2.52 log
cfu/ml selama dua jam serta 10.03 log cfu/ml dan 10.41 log cfu/ml selama 12 jam
dibandingkan dengan kontrol.
Pemberian EEP secara oral (pemberian akut) pada dosis tiga kali konsentrasi
LC50 atau setara dengan 370 mg/kg bb dan enam kali konsentrasi LC50 atau setara
dengan 733 mg/kg bb, tidak berpengaruh terhadap mikrob feses dan juga tidak
berpengaruh pada berat hati dan ginjal per berat badan mencit (P>0.05). Secara
histopatologi menunjukkan bahwa hati dan ginjal mencit hanya mengalami kerusakan
ringan hingga sedang, namun tidak ada perbedaan kerusakan yang nyata (P>0.05)
dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan parameter jumlah mikrob feses dan tingkat
kerusakan hati dan ginjal menunjukkan bahwa ekstrak kasar EEP tidak toksik bila
diberikan dosis akut sebagai antimikrob pada dosis 370 dan 733 mg/kg berat badan
mencit.
Deteksi aktivitas senyawa aktif EEP dan EERP terhadap S. aureus menggunakan
metode bioautografi memperlihatkan empat bercak zona hambatan dari EEP dan tiga
bercak zona hambatan dari EERP. Bercak zona hambatan pada bioautogram
memberikan nilai Rf yang berbeda, yaitu masing-masing pada EEP (0.93, 0.71, 0.19,
dan 0.10) dan EERP (0.77, 0.63 dan 0.40). Identifikasi komposisi kimia EEP dan EERP
menggunakan GC-MS teridentifikasi masing-masing 22 dan 9 komponen dengan
jumlah 99.89 dan 99.80%. Komponen EEP dan EERP didominasi oleh asam lemak dan
derivatnya mencapai lebih dari 50%. Komponen dalam ekstrak kasar EEP terdiri dari
golongan asam karboksilat (43.64%), ester (30.99%), hidrokarbon alifatik (22.45%)
dan alkohol (2.81%), sedangkan EERP didominasi dari golongan alkohol (45.13%),
ester (14.89%), asam karboksilat (4.25%) dan komponen lain (35.53%). Jumlah
komponen yang berbeda antara EEP dengan EERP menunjukkan bahwa EEP
merupakan antimikrob berspektrum luas.
Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP)
memiliki aktivitas antimikrob yang sangat baik, stabil dan bukan senyawa antimikrob
toksik bila diberikan per oral (dosis akut) pada konsentrasi 370-733 mg/kg bb mencit.
Oleh sebab itu pliek u bisa dijadikan sebagai sumber antimikrob. Penelitian ini perlu
dilanjutkan untuk isolasi dan identifikasi senyawa aktif dari EEP, isolasi dan
identifikasi mikrob yang berperan pada proses pembuatan pliek u, pengujian efek terapi
EEP serta peluangnya sebagai pengawet makanan.

Kata kunci: makanan tradisional Aceh, kelapa, pliek u, aktivitas antimikrob, senyawa
aktif

iv
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam
bentuk apapun tanpa izin IPB

v
PROSPEK MAKANAN TRADISIONAL ACEH SEBAGAI
MAKANAN KESEHATAN: EKSPLORASI SENYAWA
ANTIMIKROB DARI MINYAK PLIEK U DAN PLIEK U

NURLIANA

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

vi
Judul Disertasi : Prospek Makanan Tradisional Aceh sebagai Makanan Kesehatan:
Eksplorasi Senyawa Antimikrob dari Minyak Pliek u dan Pliek u
Nama : Nurliana
NRP : B063040061

Disetujui
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto


Ketua

Dr. Ir. Lisdar Manaf I. Sudirman Dr. drh. Agatha W. Sanjaya, MS.
Anggota Anggota

Mengetahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Sains Veteriner

Dr.drh. Bambang P. Priosoeryanto, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil A Notodiputro, MS

Tanggal Ujian : 12 Maret 2009 Tanggal Lulus :

vii
IKHLAS

HINGGA SEKARANG
HANYA KESEDIHAN YANG TERUS MENGIKUTIKU
AKIBAT GEMPA DAN TSUNAMI
ALLAH TLAH MENGAMBIL ANAKKU IKHLAS
AKU TAK PERNAH MENYANGKA
ALLAH SWT MEMBERI COBAAN BEGITU BERAT KEPADAKU
AIR MATAKU TERUS MENGALIR
BILA INGAT KATA KENANGAN DARI ANAKKU IKHLAS
MELALUI PESAN SMS YANG DIKIRIMNYA UNTUKKU
MALAM SEBELUM KEJADIAN ITU
YANG MENDORONGKU UNTUK SELALU KUAT
”IBU CEPAT SEKOLAHNYA BIAR IBU CEPAT PULANG
IKHLAS RINDU SAMA IBU”
SERTA KALIMAT SEMANGAT YANG SELALU KUDENGAR DARI
SUAMIKU DAN ANAKKU YAFIQ
”IBU GAK USAH MIKIRIN YANG LAIN,
YANG PENTING IBU BELAJAR DAN CEPAT PULANG”
TERIMAKASIH UNTUK ANAK-ANAKKU DAN SUAMIKU
ATAS CINTA DAN PENGORBANAN KALIAN UNTUKKU
TIDAK PERNAH KULUPAKAN KEIKHLASAN KALIAN
TERIMAKASIH SAYANG......TERIMAKASIH SAYANG.....
ATAS KEIKHLASANNYA

Kupersembahkan karyaku ini untuk

Kedua orangtuaku,
Suamiku,
Anak-anakku

viii
PRAKATA
Bismillaahirrahmaanirrahiim
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, yang telah menurunkan Al-Qur’an
yang suci dan mulia sebagai penerang dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.
Shalawat dan salam kepada pembawa risalah kebenaran al-Islam, Rasul Muhammad
SAW, juga kepada keluarga, para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Alhamdulillah atas rahmat dan karunia Allah, penulis dapat menyelesaikan penelitian
yang berjudul Prospek makanan tradisional Aceh sebagai makanan kesehatan:
Eksplorasi senyawa antimikrob dari minyak pliek u dan pliek u.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto,
Dr. Ir. Lisdar Manaf I. Sudirman dan Dr. drh. A. Winny Sanjaya MS, atas bimbingan,
saran dan arahan mulai dari penulisan proposal, pelaksanaan penelitian hingga
penyempurnaan penulisan ini.
Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Rektor Universitas Syiah Kuala
dan Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Syiah Kuala atas izin dan
kesempatan untuk melanjutkan pendidikan Doktor di Institut Pertanian Bogor serta
terimakasih kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi atas beasiswa BPPS dan
kepada Pemerintah Daerah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) atas beasiswa NAD
selama mengikuti pendidikan S3 di IPB.
Terimakasih yang sebesar-besarnya khusus penulis sampaikan kepada Prof Dr.
drh. Hj. Mirnawati Sudarwanto dan staf pengajar lainnya di laboratorium Kesmavet
IPB Bogor serta semua pihak yang sangat membantu penulis saat mengalami musibah
akibat gempa dan tsunami di Banda Aceh.
Penghargaan yang setulusnya kepada orang tua ayahanda M.Yusuf Anzib (Alm)
dan ibunda Hj. Ayu Ningsih Islamiati atas kasih sayang dan doa restunya, serta kepada
yang tercinta suami T. Trisna Viska SE, ananda T. Ikhlasul Amal (Alm) dan Cut Yafiq
Aliifah atas kasih sayang, kesabaran, pengorbanan dan dorongannya telah mengantar
penulis hingga bisa menyelesaikan studi S3. Teristimewa terimakasih ku kepada wo
Samsiah yang sudah banyak berkorban demi menjaga dan melindungi keluargaku.
Terimakasih kepada kakakku dr Quranayati dan adikku Fatahillah ST beserta keluarga
atas doanya, juga kepada bang Dedi dan bang Yose beserta keluarga. Teman setiaku Ir.
Sitti Wajizah MSi., Dr. drh. Widagdo S Nugroho, MSi. serta Dr. drh. Maya Purwanti
yang dengan setia menemaniku di perantauan. Rasanya tidak cukup ucapan terimakasih
yang dapat penulis sampaikan, hanya Allah SWT yang dapat membalasnya.
Terimakasih kepada pak Iwa yang banyak membantu selama penelitian
berlangsung, juga kepada mbak Endang di lt 3 PPSHB IPB Bogor serta kepada pak
Teddi dan Hendra di Laboratorium Kesmavet FKH IPB, kawan-kawan di FORKUB
dan IKAMAPA Universitas Syiah Kuala di Bogor serta kepada berbagai pihak atas
bantuan dan kerjasamanya selama penulis mengikuti pendidikan di Sekolah
Pascasarjana IPB Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Semoga Allah memberi rahmat bagi kita
semua. Amiin

Bogor, Maret 2009

Nurliana

ix
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banda Aceh pada tanggal 10 Mei 1969 sebagai puteri
kedua (tiga bersaudara) dari pasangan M. Yusuf Anzib (Alm) dan Ayu Ningsih
Islamiati. Pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan ditempuh di Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Syiah Kuala melalui jalur PMDK, lulus pada tahun 1993 dan gelar
Dokter Hewan diperoleh pada tahun 1994. Pada tahun 1994 penulis diterima di
Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan
pada jenjang program Doktor pada Program Studi Sains Veteriner Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2004 yang dibiayai oleh
beasiswa BPPS, Departemen Pendidikan Tinggi Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Nanggroe Aceh Darussalam sejak tahun 1995.
Bidang yang menjadi tanggung jawab peneliti adalah kesehatan masyarakat veteriner.

x
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 2
1.3 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 3
1.4 Hipotesis ........................................................................................................ 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Buah dan Minyak Kelapa serta Komposisi ................................................... 4
2.2 Minyak Pliek u dan Pliek u ........................................................................... 5
2.3 Aktivitas dan Efektivitas Daging Buah dan Minyak Kelapa sebagai
Antimikrob .................................................................................................... 6
2.4 Mekanisme Kerja Asam Lemak dan Minyak sebagai Antimikrob ............... 8
III. DETEKSI AWAL AKTIVITAS ANTIMIKROB MINYAK PLIEK U DAN
EKSTRAK PLIEK U
Abstract .............................................................................................................. 12
Pendahuluan ....................................................................................................... 12
Metode Penelitian ............................................................................................. 14
Hasil dan Pembahasan ....................................................................................... 16
Simpulan ............................................................................................................ 24
IV. PENENTUAN KONSENTRASI DAN NILAI LC50 EKSTRAK KASAR
ETANOL PLIEK U, MAKANAN FERMENTASI TRADISIONAL ACEH
Abstract ............................................................................................................. 25
Pendahuluan ...................................................................................................... 25
Metode Penelitian ............................................................................................. 26
Hasil dan Pembahasan ....................................................................................... 29
Simpulan ............................................................................................................ 33
V. STABILITAS EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U (EEP) TERHADAP
PEMANASAN, PENYIMPANAN DAN pH SERTA AKTIVITASNYA
DI DALAM SUSU
Abstract ............................................................................................................. 34
Pendahuluan ...................................................................................................... 34
Metode Penelitian ............................................................................................. 35
Hasil dan Pembahasan ...................................................................................... 38
Simpulan ............................................................................................................ 44
VI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U
TERHADAP JUMLAH MIKROB FESES, HATI DAN GINJAL MENCIT
Abstract ............................................................................................................ 45
Pendahuluan ..................................................................................................... 45
Metode Penelitian ............................................................................................ 46
Hasil dan Pembahasan ...................................................................................... 50

xi
Simpulan ......................................................................................................... 57
VII. DETEKSI DAN KARAKTERISASI AWAL SENYAWA ANTIMIKROB
DARI EKSTRAK ETANOL PLIEK U, MAKANAN TRADISIONAL ACEH
Abstract ............................................................................................................ 58
Pendahuluan ..................................................................................................... 58
Metode Penelitian ............................................................................................ 60
Hasil dan Pembahasan ...................................................................................... 63
Simpulan ........................................................................................................... 69
VIII. PEMBAHASAN UMUM ................................................................................ 70
IX. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 77
X. DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 79
LAMPIRAN ............................................................................................................. 91

xii
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Komposisi minyak pliek u dan pliek u berdasarkan analisis proksimat ……….….. 19
2 Sifat fisik minyak pliek u dan ekstrak pliek u ......................................................... 20
3 Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri
Gram positif dan Candida albicans ....................................................................... 21
4 Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri
Gram negatif ........................................................................................................... 22
5 MIC dan MMC ekstrak kasar etanol (EEP) terhadap bakteri dan fungi ................. 30
6 Pengaruh suhu dan lama pemanasan EEP terhadap zona hambatan
E. coli, S. aureus dan C. albicans .......................................................................... 38
7 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan EEP terhadap zona hambatan
E. coli, S. aureus dan C. albicans ......................................................................... 39
8 Pengaruh pH terhadap aktivitas ekstrak etanol pliek u (EEP) ............................... 40
9 Pengaruh penambahan ekstrak etanol dari pliek u (EEP) terhadap pertumbuhan
S. aureus dan E. coli dalam susu pada suhu penyimpanan 39ºC .......................... 41
10 Parameter dan tingkat kerusakan hati .................................................................... 49
11 Parameter dan tingkat kerusakan ginjal ................................................................. 49
12 Jumlah mikrob feses mencit setelah diberi EEP ..................................................... 50
13 Persentase berat hati dan ginjal per berat badan mencit setelah diberi
ekstrak EEP ............................................................................................................. 52
14 Tingkat kerusakan hati mencit …………...............……........................................ 53
15 Tingkat kerusakan ginjal mencit …...............…….................…...……...…….…. 55
16 Komposisi kimia EEP dan EERP berdasarkan GC-MS ......................................… 66

xiii
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Perbedaan permukaan sel bakteri Gram positif dan Gram negatif ………...…... 10
2 Mekanisme kerja antimikrob pada bakteri ........................................................... 11
3 Tahap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u ......................................... 17
4 Minyak pliek u dan pliek u …………………………........................................... 19
5 Ekstrak pliek u ……….…………………………................................................ 20
6 Zona hambatan yang terbentuk dari aktivitas EEP terhadap bakteri dan fungi 23
7 Pengaruh berbagai konsentrasi EEP terhadap (a) B. cereus, (b) S. aureus,
(c) S. Enteritidis (d) E. coli, (e) P. aeruginosa, (f) C. albicans ............................ 29
8 Larva udang-udangan (Artemia salina L) yang digunakan pada uji toksisitas
ekstrak kasar etanol dari Pliek u (EEP) .............................................................. 32
9 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol pliek u (EEP) terhadap
larva Artemia salina L ......................................................................................... 33
10 Aktivitas EEP terhadap S. aureus dalam susu ....................................................... 42
11 Aktivitas EEP terhadap E. coli dalam susu …...................................................... 42
12 Histologi jaringan hati mencit ............................................................................. 54
13 Histologi jaringan ginjal mencit .......................................................................... 56
14 Kromatogram dan bioautogram ekstrak etanol (EEP dan EERP) ....................... 64
15 Kromatogram komponen dalam ekstrak kasar EEP ........................................... 67
16 Kromatogram komponen dalam esktrak EERP .................................................. 67

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Tahapan umum pelaksanaan penelitian ................................................................ 91
2 Metode analisis proksimat kandungan gizi (AOAC 1980) .................................. 92
3 Tahapan ekstraksi pliek u (ekstraksi pertama) ..................................................... 94
4 Tahap ekstraksi pliek u (ekstraksi kedua) .......................................................... 95
5 Tahap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u .......................................... 96
6 Hasil pengujian minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap beberapa mikrob
menggunakan metode difusi cakram kertas ....................................................... 97
7 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP)
terhadap jumlah beberapa mikrob serta nilai MIC dan MMC ........................... 99
8 Pengaruh suhu dan lama pemanasan terhadap aktivitas antimikrob EEP .......... 101
9 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap aktivitas antimikrob EEP ....... 102
10 Pengaruh pH terhadap aktivitas antimikrob EEP ............................................... 105
11 Jumlah mikrob feses mencit (log cfu/g) setelah diberikan EEP per oral ............ 106
12 Pengaruh pemberian EEP per oral terhadap berat hati dan ginjal mencit .......... 107
13 Hasil pengukuran tingkat kerusakan hati mencit ............................................... 108
14 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal mencit ............................................ 109
15 Hasil identifikasi komponen di dalam ekstrak etanol (EEP dan EERP) ............. 110

xv
1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pengembangan dan pemberdayaan alam asal tumbuh-tumbuhan telah banyak
dimanfaatkan dengan mengeksplorasi bahan aktif yang terdapat didalamnya hingga
menjadi komoditas potensial, terutama sebagai bahan terapi berbagai penyakit dan
juga sebagai bahan pengawet makanan. Perhatian masyarakat terhadap bahan terapi
alami terus meningkat karena terbatasnya kemampuan antimikrob dan pemakaian
antimikrob yang tidak terkendali serta adanya resistensi mikrob terhadap antimikrob
tertentu (Pappas 2006; Barber et al. 2003; Pfaller et al. 1998; Reimer et al. 1997). Hal
tersebut menyebabkan penelitian terhadap kandungan senyawa antimikrob dan
antioksidan yang bersumber bahan-bahan alami seperti tumbuh-tumbuhan, bumbu dan
bahan makanan terus meningkat (Valero dan Salmeron 2003).
Peran dan multifungsi berbagai bahan alami sebagai antimikrob biasanya
dimanfaatkan dalam bentuk bahan dasar seperti herbal dan rempah-rempah serta hasil
ekstraknya seperti jamu dan minyak. Salah satu jenis tumbuh-tumbuhan yang sudah
dimanfaatkan oleh masyarakat sejak ratusan tahun adalah kelapa (Cocos nucifera L),
terutama daging buah dan minyak kelapa. Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD) secara turun menurun telah menggunakan minyak kelapa yang dihasilkan dari
proses fermentasi secara tradisional sebagai minyak goreng dan obat, sedangkan
ampasnya dijadikan sebagai bumbu masak dan pakan ayam. Proses fermentasi
makanan erat kaitannya dengan mikroorganisme atau enzim, yang menyebabkan
produk yang dihasilkan menjadi lebih baik dibandingkan bahan asal, dan juga
menghasilkan senyawa metabolit yang bersifat antimikrob (Djien 1982; Battcock dan
Azam-Ali 1998; Chisti 2000; Hoover 2000).
Minyak kelapa hasil fermentasi (minyak pliek u) meluas digunakan oleh
masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sebagai obat untuk menurunkan
panas, sakit persendian, luka, sakit kepala dan sakit perut, serta manfaat lain yang
belum dapat dijelaskan, yang digunakan baik secara topikal maupun per oral. Minyak
kelapa asal Aceh tersebut dikenal dengan nama minyeuk pliek u (minyeuk simplah dan
minyeuk brôk), sedangkan ampas yang diperoleh setelah diambil minyaknya disebut
pliek u (Bakar et al. 1985), yang digunakan sebagai bumbu masak, sambal dan pakan
ayam.
2

Daging buah dan minyak kelapa merupakan makanan fungsional yang


mengandung berbagai bahan aktif yang berpengaruh sebagai bahan terapi. Menurut
Kabara (2000) dan Shilhavy (2004), minyak kelapa mengandung asam laurat yang
tinggi (40-60%) yang menyebabkan minyak kelapa mempunyai aktivitas antibakteri,
antivirus, antijamur, antiprotozoa. Selain itu minyak kelapa juga dapat meningkatkan
sistem pertahanan tubuh. Oleh sebab itu pemanfaatan minyak kelapa terus meningkat
hingga saat ini, terutama sebagai bahan alternatif pengobatan pada manusia.
Aktivitas bahan alami sebagai antimikrob yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
seperti herbal, bumbu dan minyak dapat dilakukan dengan mendeteksi aktivitas
antimikrob berdasarkan kemampuannya menghambat berbagai mikrob. Diawali
dengan screening aktivitas antimikrob dari bahan yang diduga mengandung senyawa
antimikrob. Pengujian dilanjutkan terhadap sifat-sifat antimikrob, pengujian
kemanjuran dan kapasitasnya secara in vitro dan in vivo serta mekanisme kerja dan
analisis struktur senyawa antimikrob (Cowan 1999; Naidu 2000).
Sampai saat ini belum ada informasi yang jelas tentang minyak pliek u dan pliek
u serta aktivitas dan kapasitasnya. Diduga selama proses fermentasi daging buah
kelapa mengalami berbagai perubahan, sehingga dihasilkan berbagai metabolit yang
dapat ditemukan dalam minyak pliek u dan pliek u. Berdasarkan penelitian
pendahuluan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak kasar dari pliek u
mempunyai aktivitas lebih baik terhadap Bacillus subtilis dan Escherichia coli
dibandingkan aktivitas antimikrob yang diperlihatkan oleh minyak pliek u (Nurliana et
al. 2008).
Diduga selama proses pengolahan terjadi berbagai perubahan sehingga
menghasilkan berbagai metabolit yang dapat ditemukan dalam produk yang
dihasilkan, yang mungkin mempunyai aktivitas antimikrob terhadap bakteri dan
jamur. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengembangan terhadap potensi minyak pliek u
dan pliek u melalui penelusuran aktivitas antimikrobnya secara in vitro dan in vivo,
sehingga dapat mendukung makanan tradisional Aceh sebagai makanan yang sehat.

1.2. Tujuan Penelitian


1. Mendekteksi aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap
bakteri dan jamur.
2. Melakukan karakterisasi antimikrob yang mempunyai aktivitas terbaik yang
meliputi penetapan konsentrasi, stabilitasnya terhadap penyimpanan, suhu, pH dan
3

toksisitas secara in vivo terhadap jumlah mikrob feses, perubahan hati dan ginjal
mencit.
3. Melakukan identifikasi komponen yang terdapat di dalam antimikrob yang aktif.
4. Mendapatkan antimikrob terbaik dari minyak pliek u dan ekstrak pliek u yang
mampu menghambat bakteri dan jamur.

1.3. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai
makanan fermentasi tradisional Aceh (minyak pliek u dan pliek u), sehingga
mendukung penggunaannya sebagai makanan tradisional yang sehat. Selanjutnya
antimikrob yang dihasilkan dapat diaplikasikan pada bidang kesehatan masyarakat
dan keamanan pangan asal hewan.

1.4. Hipotesis
1. Minyak pliek u dan ekstrak pliek u mempunyai aktivitas antimikrob terhadap
bakteri dan jamur serta aktivitasnya tidak dipengaruhi oleh pemanasan,
penyimpanan dan pH.
2. Antimikrob yang aktif terhadap bakteri dan jamur tidak toksik dan tidak
mempengaruhi organ hati, ginjal dan mikrob feses mencit.
4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Buah dan Minyak Kelapa serta Komposisi


Hampir seluruh wilayah Indonesia, yaitu sekitar 3.7 juta hektar dan sebagian
besar wilayah Nanggroe Aceh Darussalam merupakan area yang banyak ditanami
pohon kelapa. Indonesia merupakan negara penghasil buah kelapa terbanyak di dunia,
yang 50% dari hasil buahnya dimanfaatkan menjadi minyak kelapa (Punchihewa dan
Arancon 2004). Sebagian besar daging buah kelapa lebih banyak dimanfaatkan untuk
mendapatkan minyak kelapa dibandingkan untuk lainnya. Kelapa yang sudah matang
memiliki berat antara 3-4 kg, terdiri dari sabut 35%, tempurung 12%, daging kelapa
22% dan air kelapa 25% (Grimwood 1975, diacu dalam Guarte et al. 1996).
Selanjutnya berdasarkan rata-rata, daging buah kelapa segar terdiri dari air 50%,
lemak 34%, karbohidrat 7.3%, protein 3.5%, serat 3.0% dan abu 2.2% (Banzon dan
Velasco 1982, diacu dalam Guarte et al. 1996).
Menurut Enig (2000), kelapa merupakan makanan fungsional yang sangat
berperan dalam kehidupan manusia karena mengandung komponen yang secara
fisiologis sangat bermanfaat. Komponen fungsional penting tersebut terletak pada
lemak kelapa yang terdapat pada daging buah dan minyak kelapa. Minyak kelapa
diklasifikasikan dalam minyak tumbuhan kelompok asam laurat, berbeda dengan
minyak tumbuhan lainnya dan menempati pangsa pasar dunia karena komposisinya
dapat digunakan sebagai bahan mentah untuk aplikasi oleokimia dalam berbagai
industri (industri makanan dan non-makanan). Menurut Libanan (2000), banyak
aplikasi non-makanan yang menggunakan minyak kelapa, yang berdasarkan lima
unsur oleokimia dasar, yaitu asam lemak, metil ester, lemak alkohol, lemak amin dan
gliserin.
Komposisi utama minyak dan daging buah kelapa terdiri dari asam lemak jenuh
rantai pendek dan rantai sedang, yaitu masing-masing terdiri dari panjang rantai
karbon C14, C12, C10, C8 dan C6, yang tidak berpengaruh buruk terhadap kesehatan
(Libanan 2000). Menurut Wang et al. (1993); Guarte et al. (1996), komponen utama
minyak kelapa adalah asam lemak jenuh (90-92%), yang didominasi oleh asam laurat
(45-48%), dan asam lemak rantai pendek dan sedang (30-36%), diantaranya asam
kaprilat (8%), asam kaprat (7%), dan asam kaproat (0.5%) dan sisanya dalam jumlah
yang sangat sedikit adalah asam lemak tidak jenuh (asam oleat, linoleat dan linolenat)
antara 3.7-8.3%. Oleh karena kadar asam lemak tak jenuhnya rendah maka minyak
5

kelapa tahan terhadap proses oksidatif (ketengikan), sehingga makanan yang


mengandung minyak kelapa lebih tahan lama (Hui 1996). Berdasarkan karakteristik
tersebut, maka selain sebagai minyak goreng, penggunaannya sangat meluas pada
produk permen, kue, dan juga sebagai bahan pembuatan margarin, sabun, deterjen,
minyak pelumas serta kosmetik. Selanjutnya gliserida rantai sedang dan pendek
digunakan dalam bidang kedokteran.
Ampas kelapa kering sudah banyak dimanfaatkan sebagai pakan sapi, babi dan
ayam karena masih mengandung protein, karbohidrat dan lemak yang seimbang.
Disamping itu juga sangat baik sebagai pakan sapi laktasi, yang bisa menghasilkan
butter dengan kualitas yang baik. Sapi-sapi tetap berproduksi dengan baik dan
menghasilkan kualitas susu dan aroma yang baik, namun biaya untuk memproduksi
pakan jenis ini sangat besar (Guarte et al. 1996).

2.2. Minyak Pliek u dan Pliek u


Minyak pliek u dan pliek u merupakan salah satu makanan khas tradisional
Aceh, yang dihasilkan dari proses fermentasi daging buah kelapa. Fermentasi
merupakan salah satu bentuk teknologi pengawetan makanan tertua di dunia, yang
bertahun-tahun sudah dilakukan dan dikonsumsi khususnya oleh masyarakat
pedalaman atau pedesaan berdasarkan adat dan tradisi mereka (Battcock dan Azam-
Ali 1998, Prajapati dan Nair 2003). Tujuan fermentasi adalah untuk mengawetkan
makanan yang mudah rusak sehingga makanan yang dihasilkan mempunyai masa
simpan yang lebih lama dan dapat mempengaruhi kualitas nutrisi bahan makanan
tersebut.
Proses fermentasi adalah proses dekomposisi lambat dari substansi organik yang
disebabkan oleh mikroorganisme atau enzim dari bahan asal tumbuh-tumbuhan dan
hewan (Walker 1988, diacu dalam Battcock dan Azam-Ali 1998). Makanan
fermentasi sangat baik bagi tubuh karena selain mengandung bahan yang mudah
dicerna juga mengandung mikroorganisme, enzim dan/atau komponen aktif yang
dihasilkan selama berlangsungnya proses fermentasi. Makanan fermentasi yang
mengandung mikroorganisme yang sangat bermanfaat bagi kesehatan tubuh
merupakan makanan fungsional, yang juga dikenal dengan nama lain yaitu probiotik
(Farnworth 2003).
Pengetahuan tentang teknologi fermentasi tradisional biasanya diturunkan dari
satu generasi ke generasi selanjutnya selama berabad-abad. Produk fermentasi yang
dihasilkan secara tradisional biasanya jarang mengalami penyimpangan atau rusak.
6

Sama halnya dengan minyak pliek u dan pliek u, produk fermentasi ini menjadi bagian
yang tak terpisahkan dari menu sehari-hari masyarakat Aceh, terutama pliek u
digunakan sebagai bumbu masak. Secara turun menurun sejak berpuluh tahun bahkan
ratusan tahun yang lalu masyarakat NAD sudah memanfaatkan minyak pliek u atau
minyeuk brôk untuk menggoreng dan sebagai obat. Selain itu pliek u yang dihasilkan
juga dimanfaatkan sebagai bumbu untuk memasak sayur (gulé pi’u), sambal dan
bumbu rujak. Gulé pi’u merupakan makanan khas Aceh yang terdiri dari campuran
bumbu pliek u, sayur nangka muda, pisang muda, ikan kering (keumamah) dan teri
(karéng) (Hurgronje 1985).
Minyak pliek u memiliki nama-nama khusus sesuai dengan proses
pengolahannya. Berdasarkan kamus Aceh-Indonesia (Bakar et al. 1985), minyak
pliek u adalah minyeuk brôk, namun berdasarkan informasi dari wawancara yang
penulis lakukan di tempat produksi minyak pliek u dan pliek u menyebutkan bahwa
daging buah kelapa yang diperam (difermentasi) selama beberapa hari sehingga
menghasilkan minyak pliek u, diberi nama berdasarkan tahap proses fermentasi dan
penjemuran menggunakan sinar matahari, yaitu minyak pliek u yang tidak dijemur
disebut minyeuk simplah/minyeuk reték/minyeuk lepi, sedangkan yang dijemur disebut
minyeuk brôk.
Pliek u adalah ampas yang diperoleh dari daging buah kelapa yang telah diperam
dan diparut (dikukur) dan setelah diperoleh minyak pliek u. Pliek u memiliki nama-
nama yang lain seperti pi, piek atau piu (Bakar et al. 1985), nama-nama tersebut juga
tercantum dalam kamus Aceh-Belanda yaitu pi, pië’, plië’ dan pi oe (Djajadiningrat
dan Drewes 1934).

2.3. Aktivitas dan Efektivitas Daging Buah dan Minyak Kelapa sebagai
Antimikrob

Kandungan asam lemak jenuh (terutama rantai karbon pendek dan sedang)
dalam minyak kelapa ternyata memiliki aktivitas utama sebagai obat. Penelitian
terhadap minyak kelapa sudah dilakukan sejak tahun 1966, terutama terhadap aktivitas
asam laurat sebagai agen antimikrob (Kabara 1978; Enig 1998). Komponen terbesar
asam lemak jenuh pada daging buah dan minyak kelapa adalah asam laurat (48-50%),
yang sangat berperan dalam makanan berkaitan dengan fungsinya sebagai antibakteri,
antijamur, antivirus dan antiprotozoa (Enig 2000) serta tidak toksik terhadap mukosa
saluran pencernaan (Kabara 2000). Selain itu mengkonsumsi daging buah dan air
7

kelapa secara alami dapat menormalkan lemak tubuh, mencegah kerusakan hati akibat
alkohol, dan dapat meningkatkan sistem imun terhadap respon anti-inflammasi.
Kabara (1978), melaporkan bahwa asam lemak jenuh dengan panjang rantai
karbon sedang dan derivatnya (monogliserida) mempunyai aktivitas antimikrob
terhadap beberapa mikrob, yaitu terhadap bakteri, jamur dan virus penyebab infeksi
pada mukosa dan kulit. Asam laurat adalah asam lemak jenuh rantai sedang (C12)
yang fungsinya sangat penting karena dapat diubah menjadi monolaurat dalam tubuh
manusia dan hewan. Monolaurat bersifat antibakteri, antivirus dan antiprotozoa.
Monolaurat adalah monogliserida, paling aktif dibandingkan dengan asam laurat itu
sendiri, yang digunakan untuk menghancurkan mikrob patogen. Menurut Wang et al.
(1993), kandungan asam lemak jenuh rantai pendek dan rantai sedang yang sangat
tinggi di dalam minyak kelapa menyebabkan substrat ini penting untuk sintesis
monogliserida sebagai antimikrob.
Monogliserida yang diisolasi dari minyak kelapa yang sudah dipatenkan dengan
nama monolaurin mempunyai aktivitas antibakteri dan antivirus dan tidak
menimbulkan resistensi, namun monogliserida dalam bentuk sintetis tidak
memperlihatkan aktivitas antimikrob (Kabara 2000). Monolaurat (MC12) atau
monolaurin diketahui mempunyai aktivitas antimikrob yang baik terhadap bakteri
Gram positif, kapang dan khamir serta sebagian bakteri Gram negatif (Kabara 1993;
Wang dan Johnson 1992; Rohani-Razavi dan Griffith 1994). Pendapat tersebut
didukung oleh Isaacs dan Thormar (1991), yang menyatakan bahwa monolaurat
ternyata tidak aktif terhadap bakteri Gram negatif seperti E. coli yang diisolasi dari
saluran pencernaan dan Salmonellae Enteritidis.
Monolaurat juga aktif terhadap beberapa patogen seperti Listeria
monocytogenes, Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae grup A, F dan G,
dan juga sebagai antiprotozoa seperti Giardia lamblia. Beberapa hasil penelitian
menyatakan bahwa asam laurat mempunyai aktivitas antibakteri terhadap
Carnobacterium piscicola, Lactobacillus curvatus dan Lactobacillus sake (Quattara et
al. 1997). Pengujian aktivitas antimikrob dari monogliserida juga sedang dilakukan
terhadap Helicobacter pylori (Kabara 2000).
Monolaurin juga digunakan untuk mengobati HIV/AIDS (Dayrit 2000).
Penelitian yang dilakukan terhadap tujuh pasien HIV/AIDS yang diterapi dengan
monolaurin asal minyak kelapa pada dosis 2.4 g memberikan hasil yang sangat baik.
Pasien HIV/AIDS yang diterapi selama 3 bulan menunjukkan penurunan jumlah virus
8

pada 5 pasien, namun satu pasien meninggal setelah terapi 2 minggu. Dari lima pasien
tersebut yang pengobatannya diteruskan selama 6 bulan ternyata 2 pasien sembuh
total. Monolaurin juga efektif terhadap virus lain seperti cytomegalovirus (CMV),
measles, herpes simplex (HSV-1), virus penyebab vesicular stomatitis dan visna virus
(Enig 2000).
Penelitian semakin dikembangkan pada derivat asam lemak lainnya yaitu
monokaprat dari asam kaprat, efeknya hampir sama baiknya dengan asam laurat.
Asam kaprat juga merupakan asam lemak jenuh rantai sedang, yang akan berfungsi
jika diubah menjadi monokaprat di dalam tubuh manusia dan hewan. Menurut Enig
(2000), monokaprat juga aktif melawan HIV dan sedang diuji terhadap beberapa virus
lainnya, selain itu juga bersifat antibakteri terhadap Chlamydia sp.

2.4. Mekanisme Kerja Asam Lemak dan Minyak sebagai Antimikrob


Secara umum kerja asam lemak jenuh sebagai antimikrob adalah langsung
beraksi ke target membran sel sehingga menyebabkan kerusakan membran, walaupun
secara rinci mekanisme selanjutnya belum dapat dijelaskan (Kabara 2000). Penelitian
mengenai mekanisme antibakteri monogliserida masih terus dilakukan (Wang dan
Johnson 1992). Pada dasarnya mekanisme kerja agen antimikrob diperantarai adanya
interaksi agen antimikrob dengan stereospesifik, misalnya protein reseptor, enzim dan
lain-lain. Selain itu sifat-sifat fisikokimia antimikrob (tegangan dan hidrofobisitas)
merupakan faktor penentu utama efektivitas antimikrob.
Efektivitas suatu antimikrob sangat bergantung pada kemampuannya mencapai
target sasaran, terutama bagian-bagian sel sasaran dan sifat hidrofilik-hidrofobik
antimikrob ataupun sel mikrob (Hogan 2003). Menurut Davidson (2001), ada
beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antimikrob terhadap mikrob sasaran,
yaitu 1) merusak komponen penyusun sel, terutama pada bagian luar (permukaan sel),
2) adanya reaksi antimikrob dengan membran sel yang mengakibatkan perubahan
permiabilitas dan hilangnya komponen penyusun sel, 3) menghambat kerja enzim
yang berperan pada metabolisme sel, 4) mempengaruhi fungsi material genetik, dan 5)
mempengaruhi kandungan ion Mg2+ dan Ca2+ pada membran.
Sasaran awal antimikrob adalah permukaan luar sel mikrob, walaupun
permukaan setiap mikrob tidak sama sehingga akan mempengaruhi aktivitas
antimikrob. Asam lemak dan monogliserida mampu merusak penyelubung virus dan
membran sel bakteri. Sifat lipofilik dari monogliserida memungkinnya untuk
menembus membran plasma dan menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam
9

produksi energi atau transpor nutrisi (Wang dan Johnson 1992). Monolaurat diduga
mengakibatkan kerusakan membran, menyebabkan kebocoran protein intraseluler dan
asam nukleat, sehingga menurunkan aktivitas enzim yang berperan dalam
metabolisme (Kabara 1993).
Aktivitas monolaurin pada virus berkaitan dengan kemampuannya melarutkan
lemak dan fospolipid yang menyebabkan disintegrasi penyelubung virus. Selain itu
kerja monolaurin sebagai antivirus juga berpengaruh pada pembentukan virus dan
kematangan virus. Menurut Projan et al. (1994), aktivitas monolaurin sebagai
antibakteri adalah mempengaruhi atau mengganggu signal transduksi bakteri, hal yang
sama juga terjadi pada asam laurat terhadap perangkat virus (Hornung et al. 1994).
Sebagian asam lemak jenuh, seperti asam laurat (C12) mempunyai aktivitas tinggi
sebagai antiviral dibandingkan asam kaprilat (C8), asam kaprat (C10) atau asam
miristat (C14). Gabungan antara beberapa monogliserida seperti gabungan
monolaurin dengan monokaprin sangat efektif membunuh bakteri Gram negatif
seperti E. coli.
Aktivitas antibakteri asam lemak dan monogliserida dapat bersifat bakterisidal
yang mengakibatkan distorsi irreversible karena efeknya seperti surfaktan pada
membran sel bakteri dan menyebabkan dislokasi komponen sistem energi pada
mitokondria dan menghambat sistesa ATP (Kabara 1993). Asam lemak dan
monogliserida menyebabkan penurunan glikolisis dan menstimulasi glukoneogenesis.
Pengaruh kerja dari asam lemak dan monogliserida terhadap sistem oksidasi NADH2
memiliki kesamaan. Aktivitas sistem ini menurun 50%. Pengaruh kedua antimikrob
ini adalah terhadap respirasi seluler, namun ada perbedaan aksi diantara keduanya.
Efek penghambatan monogliserida terhadap sistem enzim menunjukkan bahwa
monogliserida hanya bekerja pada sisi oksigen dan gugus flavin dari NADH2
dehidrogenase, sedangkan asam lemak merupakan penghambat kurang spesifik yang
aktivitasnya beraksi pada beberapa sisi dan aksinya belum jelas.
Perbedaan membran sel antara bakteri Gram positif dengan bakteri Gram negatif
menyebabkan perbedaan kemampuan antimikrob. Bakteri Gram positif mengandung
90% peptidoglikan yang terdiri dari turunan gula, asam amino L-alanin, D-alanin, D-
glutamat dan lisin serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat (Lay dan
Hastowo 1992). Pada bagian luar bakteri Gram negatif terdapat peptidoglikan yang
sangat tipis (5-20%) yang berbeda dengan bakteri Gram positif (Gambar 1), namun
dilapisi oleh membran luar yang terdiri dari lipopolisakarida, fosfolipid dan protein.
10

Membran luar bakteri, terutama membran luar bakteri Gram negatif berfungsi
untuk mempertahankan permiabilitas sel, yang bertanggung jawab terhadap masuknya
molekul lain, seperti antibiotik, deterjen, pewarna untuk mencapai membran
sitoplasma (Galvez et al. 1991). Hanya molekul yang bersifat hidrofilik yang mampu
melewati lipopolisakarida membran sel bakteri Gram negatif. Pada bakteri Gram
positif tidak ada lapisan lipopolisakarida, sehingga molekul yang bersifat hidrofilik
dan hidrofobik mampu melewati permukaan luar sel.

flagella
Bakteri Gram negatif
Bakteri Gram positif lipopolisakarida
kait
Asam teikoat lipoprotein porin

Protein M
Lipid A
Membran luar

Jembatan silang peptida


Peptidoglikan
Ruang periplasma

Membran sitoplasma

protein
rotor
fosfolipid

Gambar 1 Perbedaan permukaan sel bakteri Gram positif dan Gram negatif
(Moat dan Foster 1988)

Mekanisme kerja antimikrob yang berasal dari lemak kelapa dapat disebabkan
struktur lemak senyawa tersebut, yaitu monogliserida yang lebih aktif sebagai
antimikrob dibandingkan asam lemaknya (Kabara 2000). Selain itu hanya
monogliserida yang aktif sebagai antimikrob, sedangkan digliserida dan trigliserida
tidak aktif.
Efek senyawa antimikrob minyak sangat dipengaruhi oleh spesifikasi minyak,
misalnya metode untuk memperoleh minyak atau cara ekstraksinya (penggunaan
larutan organik untuk ekstraksi) (Maguire 2000). Secara umum mekanisme kerja
minyak sebagai antibakteri terjadi dalam dua kategori, yaitu 1), secara langsung
merusak membran sel, dan 2), secara tidak langsung berinteraksi dengan membran
melalui peningkatan permiabilitas, yang akhirnya sama-sama menyebabkan sel pecah
(Gambar 2).
11

antimikrob

Bakteri Gram
Bakteri Gram negatif
positif
tidak bisa
masuk
Membran luar
porin

antimikrob

Ruang periplasma

peptidoglikan

Membran sitoplasma

Antimikrob

Bakteri berfilamen
lisis

Bakteri berfragmen

Gambar 2 Mekanisme kerja antimikrob pada bakteri (Maguire 2000)

Pada kategori pertama minyak bisa bertindak seperti deterjen atau larutan
organik, melarutkan lemak pada membran bakteri dan langsung merusaknya. Pada
kategori kedua, interaksi terjadi lebih spesifik pada lemak bilayer pada membran dan
membentuk lubang atau sumur, yang menyebabkan berbagai macam bahan masuk ke
dalam sel, sehingga sel membengkak dan pecah. Pada beberapa kasus, minyak
kemungkinan mempunyai lebih banyak interaksi spesifik dengan beberapa bagian
pelengkap metabolik pada sel, sehingga minyak dengan mudah dapat menghambat
kerja enzim yang membantu fungsi sel pada proses metabolisme, sehingga minyak
menjadi toksik bagi bakteri.
12

III. DETEKSI AWAL AKTIVITAS ANTIMIKROB MINYAK PLIEK U DAN


EKSTRAK PLIEK U

(The Initial Detection of Antimicrobial Activity of Pliek u Oil


and Extracts of Pliek u)

Abstract
Pliek u oil has been used as cooking oil and medicinal of skin diseases, wound,
fever, headache and abdominal pain. Pliek u has been consumed as spices and
ingredient of hot sauce (sambal), and also used for poultry feed. These foods collected
from home industry in Reudep village at Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam.
The process to make pliek u oil and pliek u was observed to give more information
about Aceh traditional fermented foods made from coconut meat. Antimicrobial
activity of pliek u oil and extracts of pliek u were evaluated against seven bacterial
strains (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, Salmonella
Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa, Pseudomonas fluorescens) and
one fungal strain (Candida albicans). The antimicrobial activity was detected by
using paper disc method. Among antimicrobials extracts tested, crude ethanol extract
of pliek u (EEP) was most active against all microbial strains. The ethanol extract of
pliek u residue (EERP) obtained from pliek u previously extracted by hexane was
active toward bacterial strains and crude hexane extract of pliek u (EHP) was only
active against C. albicans. The research concluded that crude ethanol extract of pliek
u (EEP) showed significant (P<0.05) antimicrobial activity.

Keywords: Aceh fermented food, coconut, pliek u oil, pliek u, antimicrobial activity

Pendahuluan
Kelapa (Cocos nucifera L) telah digunakan baik sebagai makanan maupun obat
selama berabad-abad di seluruh negara, termasuk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
Indonesia. Masyarakat Aceh secara turun menurun telah menggunakan daging buah
dan minyak kelapa terfermentasi (diperam) yang diproses secara tradisional. Proses
fermentasi makanan erat kaitannya dengan mikroorganisme atau enzim, yang
menyebabkan produk yang dihasilkan menjadi lebih baik dibandingkan bahan asal,
dan juga menghasilkan senyawa metabolit yang bersifat antimikrob (Djien 1982;
Battcock dan Azam-Ali 1998). Salah satu makanan fermentasi tradisional yang
didalamnya mengandung senyawa antimikrob adalah tempe, yang dihasilkan oleh
Rhizopus oligoporus selama proses fermentasi (Wang dan Hesselltine 1979; Djien
1979, Ginandjar 2000).
Minyak kelapa yang dihasilkan dikenal dengan nama minyak pliek u terdiri dari
minyeuk simplah dan minyeuk brok yang digunakan sebagai minyak goreng dan juga
dimanfaatkan sebagai obat untuk sakit kepala, luka, menurunkan panas, sakit
persendian dan sakit perut. Ampas kelapa yang diperoleh setelah diambil minyaknya
13

disebut pliek u (patarana), yang digunakan sebagai bumbu masak dan sambal serta
pakan unggas.
Minyak kelapa mengandung berbagai bahan aktif yang berpengaruh sebagai
bahan terapi. Secara tradisional, pengobatan yang menggunakan minyak kelapa
dilakukan untuk mengobati beragam gangguan kesehatan, yaitu mulai dari pengobatan
penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza (Fife 2005).
Minyak kelapa digunakan sebagai media dalam pemberian obat melalui oral (Mahran
1991). Kandungan lemak dalam daging dan minyak kelapa merupakan komponen
fungsional yang sangat bermanfaat secara fisiologis, terutama sebagai antimikrob
(Enig 2002). Asam lemak bebas dan monogliseridanya terbukti memiliki aktivitas
antimikroba terhadap berbagai mikrob (Nair et al. 2005), serta tidak menimbulkan
resistensi (Kabara 2000).
Aktivitas bahan alami sebagai antimikrob yang berasal dari tumbuh-tumbuhan
seperti herbal, bumbu dan minyak dapat dilakukan dengan mengetahui spektrum
aktivitas antimikrob berdasarkan kemampuannya menghambat berbagai mikrob.
Menurut Cowan (1999, Naidu 2000), aktivitas antimikrob senyawa yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan dapat diawali dengan mendeteksi ada tidaknya aktivitas
antimikrob, kemudian pengujian terhadap sifat-sifat antimikrob, kemanjuran secara in
vitro dan in vivo serta identifikasi struktur, mekanisme dan kapasitasnya.
Diduga selama proses pengolahan minyak pliek u dan pliek u terjadi berbagai
perubahan sehingga menghasilkan berbagai metabolit yang mempunyai aktivitas
antimikrob. Senyawa tersebut dapat terbentuk dari bahan asal ataupun juga karena
dihasilkan oleh mikrob selama proses fermentasi. Senyawa alami yang dihasilkan oleh
mikrob pada proses fermentasi dapat diekstraksi dan dipurifikasi, serta dapat
digunakan sebagai antimikrob untuk mengawetkan makanan (Hoover 2000).
Oleh sebab itu perlu dilakukan penelusuran kandungan senyawa aktif di dalam
minyak pliek u dan pliek u, sehingga potensi makanan fermentasi tradisional Aceh
bisa dikembangkan sebagai sumber untuk menghasilkan bahan baku antimikrob.
Sampai saat ini informasi mengenai minyak pliek u dan pliek u masih sangat sedikit
terutama yang berkaitan dengan proses, kemampuan serta manfaatnya sebagai
makanan kesehatan. Penelitian ini merupakan suatu kajian awal sehingga pengamatan
terhadap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u juga dilakukan untuk
memperoleh informasi ilmiah yang mendukung manfaat makanan tradisional Aceh
sebagai makanan sehat.
14

Metode Penelitian

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia dan di
Laboratorium Satwa Langka dan Konservasi Alam, Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan
Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sejak Januari 2006 sampai September 2007.
Tahap 1, 2, dan 3 pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Minyak Pliek u dan Pliek u


Makanan tradisional Aceh merupakan bahan utama dalam penelitian ini, yang
terdiri dari minyak pliek u dan pliek u. Bahan tersebut diperoleh dari tempat produksi
rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam
(NAD). Pada penelitian ini juga dilakukan pengamatan terhadap proses pembuatan
minyak pliek u dan pliek u (tahap 1 pada Lampiran 1).

Kultur Mikrob
Kultur mikrob terdiri dari Bacillus subtilis (koleksi Dr. Ir. Lisdar I. Sudirman).
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, isolat yang diperoleh dari Laboratorium
Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Salmonella Enteritidis, yang
diperoleh dari Laboratorium pribadi milik J. Sri Poernomo, Cimanggu Bogor. Bacillus
cereus BCC 2118, Pseudomonas aeruginosa BCC 2137 dan Pseudomonas fluorescens
FNCC 070 berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan Fakultas Teknologi
Pertanian IPB. Candida albicans, isolat klinik dari Laboratorium Mikologi Fakultas
Kedokteran Hewan IPB.

Uji Kandungan Gizi Minyak Pliek u dan Pliek u


Pengujian terhadap kandungan gizi (kadar lemak, protein, karbohidrat, air dan
abu) minyak pliek u dan pliek u dilakukan dengan uji proksimat berdasarkan AOAC
(1980). Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Ekstraksi Pliek u
Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006)
dan Sudirman (2005a). Ekstraksi pliek u merupakan tahap 2 pada tahapan penelitian
(Lampiran 1). Ekstraksi pertama dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam
200 ml heksan (1:10 b/v). Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated
15

incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA) dengan
kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian disaring menggunakan fritted glass
filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali
dengan heksan (1:10 b/v) sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang
diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu
40-50oC dengan tekanan 335 mBAR untuk heksan, menghasilkan ekstrak kasar
heksan dari pliek u (EHP). Tahap proses ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 3.
Residu pliek u yang diperoleh setelah diekstrak dengan heksan, diekstrak
kembali dengan etanol 96% (1:10 b/v) dengan cara yang sama sebanyak tiga kali
(lampiran 3). Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar
(Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-50oC dengan tekanan 175 mBAR. Selanjutnya
ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara untuk
mendapatkan ekstrak etanol dari residu setelah pliek u diekstrak dengan heksan
(EERP).
Ekstraksi yang kedua dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam 200
ml etanol 96% (1:10 b/v). Campuran tersebut dikocok menggunakan refrigerated
incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA) dengan
kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted glass
filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi kembali
dengan etanol (1:10 b/v) sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang
diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu
40-50oC dengan tekanan 175 mBAR. Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekat
ulang menggunakan kompresor udara untuk mendapatkan ekstrak kasar etanol dari
pliek u (EEP). Tahap proses ekstraksi dapat di lihat pada Lampiran 4.

Uji Aktivitas Antimikrob (Metode Difusi Agar Cakram Kertas)


Pengujian aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak dari pliek u
dikerjakan sesuai prosedur Sudirman (2005a), menggunakan cakram kertas diameter
13 mm. Prosedur penelitian ini termasuk ke dalam tahap 3 (Lampiran 1). Minyak
pliek u (minyeuk simplah/MS dan minyeuk brok/MB), serta ekstrak pliek u (EHP,
EERP dan EEP), masing-masing sebanyak 100 μl (99.0-100.5 mg) diteteskan di atas
kertas cakram (Schleicher & Schuell, MicroScience GmbH, Dassel Germany),
kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering rambut (International compact,
220V 350 W) pada suhu 40-42ºC. Selanjutnya disterilisasi dengan sinar UV (254 nm)
selama 30 menit di dalam laminar airflow cabinet (Formagro Karyanusa).
16

Cakram kertas diletakkan di atas media agar yang mengandung mikrob uji (106
cfu/ml), dipreinkubasi pada suhu 10ºC selama 3 jam, lalu diinkubasi pada suhu
pertumbuhan optimal masing-masing mikrob uji. Suhu inkubasi untuk bakteri 37ºC
selama 24 jam, sedangkan untuk C. albicans pada suhu kamar (26-28ºC) selama 2-3
hari. Sebagai kontrol digunakan pelarut heksan dan etanol, minyak kelapa yang dijual
secara komersil yaitu Virgin Coconut Oil serta antibiotik (amoksisilin, kloramfenikol,
tetrasiklin, Kimia Farma) yaitu masing-masing 25 μg dalam 100 μl akuades steril per
cakram kertas dan candistin (Pharos) sebanyak 100 μl yang mengandung 10000 IU
nystatin per cakram kertas. Media agar yang digunakan untuk bakteri digunakan agar
Mueller-Hinton, sedangkan untuk C. albicans digunakan agar Potato Dextrose.
Kriteria penetapan aktivitas antimikrob berdasarkan Ela et al. (1996), diacu dalam
Elgayyar et al. (2001), yaitu antimikrob aktif dan sangat aktif (zona hambatan >11
mm), aktif sedang (6 mm < zona hambatan <11 mm) dan tidak aktif (zona hambatan
<6 mm).

Analisis Data
Rata-rata zona hambatan yang terbentuk merupakan data aktivitas antimikrob
minyak pliek u dan ekstrak dari pliek u yang dianalisis dengan Anova. Apabila
terdapat perbedaan maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Sebelum
dianalisis, data ditransformasikan ke dalam √ karena ada data dalam angka nol. Data
ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD). Analisis statistik dilakukan
dengan bantuan program SPSS versi 13 for windows. Data ditampilkan dalam bentuk
gambar dan tabel.

Hasil dan Pembahasan


Hasil Pengamatan Proses Pembuatan Minyak Pliek u dan Pliek u
Penelitian ini diawali dengan mengamati proses pembuatan minyak pliek u dan
pliek u (Gambar 3 dan Lampiran 5). Proses membuat minyak pliek u dan pliek u
dilakukan selama beberapa hari (± 20 hari) dengan cara mengeramkan (fermentasi
secara tradisional) daging buah kelapa tanpa menambahkan mikrob apapun.
Menurut masyarakat Aceh, produk ini diproses secara turun menurun dari orang
tua mereka dan terjadi tanpa disengaja. Proses fermentasi ini terdiri dari tiga tahap
fermentasi, yaitu pengeraman buah kelapa, pengeraman daging buah kelapa dan
pengeraman serta penjemuran daging buah kelapa. Pada tahap pertama, buah kelapa
17

dibelah (tidak sampai terbuka) dan airnya dibuang, kemudian dibiarkan selama 4-5
hari. Setelah itu daging buah kelapa dikukur dan ditempatkan dalam wadah tertutup.
Selanjutnya dibiarkan selama beberapa hari (4-5 hari) pada suhu kamar (29-36°C)
yang tidak terpapar cahaya. Tahap ini merupakan tahap kedua (Lampiran 5). Minyak
yang terbentuk pada tahap ini didiambil, minyak tersebut adalah minyeuk
simplah/minyeuk retek.

a b c

d e f

g h i

Gambar 3 Tahap proses pembuatan minyak pliek u dan pliek u. (a) buah kelapa
yang sudah dibuang airnya dan dibiarkan 4-5 hari; (b,c,d) daging buah
kelapa yang sudah dikukur dan dibiar 5 hari sampai keluar minyeuk
simplah; (e,f,g,h,i) proses penjemuran, pengeraman dan pemerasan untuk
memperoleh minyeuk brok dan pliek u.

Tahap selanjutnya adalah tahap ketiga. Pada tahap ini dilakukan penjemuran,
pengeraman (fermentasi) dan pengepresan terhadap residu yang dihasilkan pada tahap
2, yang dilakukan selama beberapa hari (≥5 hari) pada suhu kamar (29-36°C). Minyak
yang diperoleh pada tahap ini disebut minyeuk brok. Residu yang diperoleh disebut
pliek u atau patarana, tetapi masyarakat umumnya menyebut pliek u. Makanan yang
berbahan mentah dari tumbuh-tumbuhan ini (daging buah kelapa) memberikan
manfaat beragam bagi masyarakat Aceh, yaitu sebagai makanan dan juga sebagai
18

obat. Pliek u dijadikan bumbu masak untuk membuat masakan Gulé pi’u yang
dicampur dengan sayuran dan ikan kering (Hurgronje 1985).
Nama-nama yang diberikan untuk produk yang dihasilkan pada proses
fermentasi tersebut sejak lama sudah dikenal, yang dapat dilihat pada kamus Aceh
Indonesia dan juga Aceh Belanda (Bakar et al. 1985; Djajadiningrat dan Drewes
1934). Selama pembuatan minyak pliek u dan pliek u tidak sedikitpun menggunakan
pembakaran, namun hanya penjemuran menggunakan sinar matahari setelah minyak
pliek u pertama diambil. Proses untuk membuat minyak pliek u dan pliek u juga
memerlukan alat-alat khusus, yang terdiri dari klah, peungarat, prah dan linông
(Djajadiningrat dan Drewes 1934), dan apet awe (informasi dari masyarakat). Alat-
alat tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.
Perkembangan makanan fermentasi pada awalnya terkait dengan masa simpan
yang singkat dari suatu bahan pangan dan kebutuhan manusia akan zat gizi. Proses
fermentasi merupakan proses pengawetan makanan tertua kedua setelah pemanasan,
yang terjadi secara sengaja atau tanpa disengaja. Selama berabad-abad, pengetahuan
tentang teknologi fermentasi tradisional diturunkan dari orang tua kepada anaknya
(teradaptasi dari satu generasi ke generasi berikutnya). Produk dan cara yang mereka
lakukan menghasilkan produk yang lebih baik dari bahan asal (Battcock dan Azam-
Ali 1998).
Masyarakat Indonesia memiliki beragam budaya yang juga terkait dengan
beragam makanan tradisional yang dihasilkan, termasuk makanan fermentasi
tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (Winarno 1982). Produk-produk
fermentasi tradisional dari Indonesia yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan sudah
sangat dikenal diantaranya tempe, oncom, tape, brem, kecap, tauco, nata dan
tempoyak (Ginandjar 2000). Beberapa makanan fermentasi tradisional tersebut
memberikan kontribusi yang baik bagi manusia sebagai sumber protein, kalori dan
vitamin.

Minyak Pliek u, Pliek u dan Ekstrak dari Pliek u


Proses fermentasi daging buah kelapa merupakan proses ekstraksi alami untuk
mendapatkan minyak kelapa secara tradisional. Bentuk fisik minyak pliek u dan pliek
u yang sudah digunakan sebagai makanan sejak lama oleh masyarakat NAD dapat
dilihat pada Gambar 4. Minyeuk simplah (Gambar 4a) berwarna kuning pucat seperti
minyak virgin coconut oil (VCO). Minyeuk simplah tidak begitu mengeluarkan bau
menyengat khas minyak pliek u dibandingkan minyeuk brok (Gambar 4b). Setelah
19

minyak diperoleh, maka residu (ampas) yang dihasilkan disebut pliek u (Gambar 4c).
Minyak pliek u dan pliek u mudah dikenal karena memberikan bau dan rasa yang
khas.

a b c

Gambar 4 Minyak pliek u dan pliek u. (a) Minyeuk simplah; (b) Minyeuk brok;
(c) Pliek u

Informasi mengenai gizi minyeuk pliek u dan pliek u perlu diketahui berkaitan
dengan fungsinya sebagai makanan yang menjadi konsumsi masyarakat dan juga
sebagai pakan ayam. Berdasarkan analisis proksimat pada minyak pliek u dan pliek u
(Tabel 1) menunjukkan bahwa pliek u masih mengandung lemak, walaupun kadar
lemaknya lebih rendah dibandingkan kadar lemak dalam daging buah kelapa (Thieme
1968, diacu dalam Ketaren 2005). Komponen gizi yang masih terdapat dalam pliek u
bisa dijadikan sebagai informasi yang dapat mendukung fungsi pliek u sebagai
makanan. Kadar lemak minyak pliek u sangat tinggi hampir mencapai 100%,
sedangkan kadar lemak pliek u hanya 4.94%.

Tabel 1 Komposisi minyak pliek u dan pliek u berdasarkan analisis proksimat

Komponen Minyeuk simplah Minyeuk brok Pliek u


(%) (%) (%)
Air 0.27 4.40 18.97
Lemak 99.05 99.12 4.94
Protein 0.31 0.52 23.56
Karbohidrat - - 47.44
Serat kasar - - 15.72
Total Abu - - 8.34

Ekstrak Pliek u
Pengamatan terhadap ekstrak pliek u yang diekstrak dari 20 gr pliek u yang
menggunakan etanol dan heksan memberikan hasil sebagai berikut, yaitu ekstrak
kasar etanol dari pliek u (EEP) menghasilkan ekstrak lebih banyak 14.4 g
20

dibandingkan dengan ekstrak kasar heksan dari pliek u (EHP) sebesar 7.03 g dan
ekstrak etanol dari residu pliek u (EERP) sebesar 6.65 g (Tabel 2 dan Gambar 5).
Kandungan lemak dalam minyak kelapa mempunyai peran sangat berarti bagi
minyak kelapa yaitu sebagai sumber nutrisi juga sebagai antimikrob (Enig 2002).
Aktivitas antimikrob dipengaruhi oleh jenis lemak yang terdapat di dalam minyak
kelapa yaitu monogliserida yang disintesis dari asam lemak rantai sedang yang
memberi aktivitas antimikrob terhadap beberapa mikroorganisme (Wang dan Johnson
1992; Kabara 2000).

Tabel 2 Sifat fisik minyak pliek u dan ekstrak pliek u

Nama Bahan Ciri-ciri fisik


Warna Konsistensi Volume ekstrak Bau/Rasa
(g)
Minyak Minyeuk Kuning pucat Cair - menyerupai bau khas
pliek u simplah (MS) minyak kelapa
Minyeuk brok kuning Cair - Bau asam khas
(MB) minyak pliek u
Ekstrak Ekstrak kasar Kuning pucat Cair 7.03 menyerupai bau khas
kasar heksan (EHP) minyak kelapa
pliek u Ekstrak Kuning gel 6.65 Bau sepat/pahit
Etanol (EERP) kecoklatan
Ekstrak kasar Coklat Cair-endapan 14.4 Bau sepat/pahit dan
Etanol (EEP) kehitaman asam khas pliek u

a b c

Gambar 5 Ekstrak pliek u. (a) Ekstrak kasar etanol (EEP), (b) Ekstrak kasar
heksan (EHP), (c) Ekstrak etanol residu (EERP)

Pengamatan terhadap bau, rasa, warna, volume ekstrak dan konsistensi masing-
masing ekstrak menunjukkan adanya perbedaan. Ekstrak kasar heksan tidak
mengeluarkan bau yang menyengat seperti minyak pliek u (minyeuk brok) dan pliek u.
Ekstrak etanol residu dan ekstrak kasar etanol mengeluarkan bau yang hampir sama
dengan bau khas pliek u, berbau dan berasa sepat atau pahit.
21

Aktivitas Antimikrob Minyak Pliek u dan Ekstrak Pliek u


Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u menghasilkan zona
hambatan yang bervariasi terhadap bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif dan
C. albicans, disajikan pada Tabel 3 dan 4, Gambar 6 serta Lampiran 6.
Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang nyata
(P<0.05) pada zona hambatan masing-masing mikrob uji. Hasil uji lanjut jarak
berganda Duncan menunjukkan bahwa aktivitas antimikrob EEP dan EERP
mempunyai aktivitas yang sama terhadap bakteri Gram positif, sedangkan EHP tidak
aktif terhadap bakteri. EHP mempunyai aktivitas lebih besar terhadap C. albicans
dibandingkan EEP, sedangkan EERP tidak aktif terhadap C. albicans.

Tabel 3 Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri
Gram positif dan Candida albicans

Rata-rata Zona Hambatan (mm)


Jenis Antimikrob Bacillus cereus Bacillus Staphylococcus Candida
BCC 2118 subtilis aureus albicans
Minyak Pliek u MS 2.67±0.47b 0a 0a 2±0 b
c a b
MB 4.67±0.94 0 5.33±0.94 8±0.8 c
d a
Ekstrak Pliek u ekstrak heksan (EHP) 6.67±0.47 0 0 17.33±0.94 f
a

Ekstrak etanol (EERP) 19.67±0.47 f 10.33±0.94 c 18.33±0.47 d 0a


f c
Ekstrak etanol (EEP) 20.33±0.47 10.67±0.47 19.33±0.47 10.67±0.47 d
d

a a
Amoksisilin 0 0 0a TD
f a a
Kloramfenikol 21.33±0.94 0 0 TD
Tetrasiklin 12.00±0 e 7.00±0 b 13.33±0.94 c TD
Nystatin TD TD TD 13.67±1.24 e
Keterangan: TD (Tidak Diuji); a-e Superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata
(P>0.05)

Apabila kriteria aktivitas antimikrob yang diuji berdasarkan pada pendapat Ela
et al. (1996), diacu dalam Elgayyar et al. (2001), maka minyak pliek u, yaitu MS
tergolong tidak aktif, sedangkan MB digolongkan aktif sedang terhadap C. albicans.
EEP tergolong sangat aktif terhadap bakteri dan aktif sedang terhadap C. albicans.
EERP sangat aktif terhadap bakteri, namun tidak aktif terhadap C. albicans,
sedangkan EHP tidak aktif terhadap bakteri, namun sangat aktif terhadap C. albicans.
Aktivitas antibakteri yang disebabkan oleh EERP hampir sama dengan EEP
dengan rata-rata masing-masing zona hambatan adalah 18.05 mm dan 17.99 mm
(Tabel 3 dan Tabel 4). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ketahanan
dan sensitifitas mikrob terhadap antimikrob berbeda diantara strain mikrob. Secara
umum terdapat perbedaan sensitifitas antara bakteri Gram negatif dan bakteri Gram
positif yang diakibatkan oleh EERP dan EEP. Hal tersebut dapat ditunjukkan dengan
22

rata-rata zona hambatan yang bervariasi antara bakteri uji (Tabel 3 dan Tabel 4).
Minyeuk simplah tidak aktif terhadap bakteri dan C. albicans. Ekstrak kasar EHP
hanya mempunyai aktivitas kecil terhadap B. Cereus. Berdasarkan pengamatan
menunjukkan bahwa EEP, EHP dan minyeuk brok aktif terhadap C. albicans.

Tabel 4 Aktivitas antimikrob minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap bakteri
Gram negatif

Rata-rata Zona Hambatan (mm)


Pseudomonas Pseudomonas Escherichia Salmonella
Jenis Antimikrob aeruginosa fluorescens coli Enteritidis
BCC 2137 FNCC 070
MS 0a 0a 0a 0a
a b
Minyak Pliek u MB 0 1.67±0.47 1.67±0.47 b 2.67±0.94 b
a b
Ekstrak heksan (EHP) 0 3.00±0.81 0a 0a
b d
Ekstrak Pliek u Ekstrak etanol (EERP) 20.33±1.24 20.33±0.47 16.00±0 c 21.33±1.24 d
Ekstrak etanol (EEP) 18.67±1.24 b 18.33±1.69 d 15.33±0.47 c 23.33±0.47 d
Amoksisilin 0a 0a 0a 13.66±1.24 c
a c
Kloramfenikol 0 9.33±0.47 15.33±0.47 c 22.66±1.69 d
Tetrasiklin 0a 9.33±0.94 c 0a 28.33±0.47 e
a-e
Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata (P>0.05)

Aktivitas antimikrob sangat dipengaruhi oleh 1) jenis antimikrob (konsentrasi


dan polaritas), 2) jenis mikrob, dan 3) metode uji yang digunakan (Maguire 2000).
Pengujian menggunakan metode difusi agar cakram kertas dipengaruhi oleh jenis dan
ukuran cakram kertas, pH dan sifat media, konsentrasi dan kemampuan antimikrob
berdifusi ke dalam media, jenis mikrob yang digunakan serta komponen yang terdapat
di dalam senyawa tersebut (Branen 1993).
Perbedaan ukuran zona hambatan dari satu mikrob uji yang disebabkan oleh
senyawa antimikrob (minyak pliek u dan ekstrak pliek u) yang berbeda mungkin
dipengaruhi oleh cara/proses untuk mendapatkan senyawa antimikrob tersebut dan
tahap proses fermentasi (Gambar 6). Berdasarkan pengujian menunjukkan bahwa
minyak tidak mempunyai aktivitas terhadap bakteri uji, karena minyak pliek u
mungkin belum mengandung senyawa antimikrob yang bisa berpengaruh terhadap
bakteri dan C. albicans. Minyak pliek u yang diperoleh dari proses tahap pertama
menunjukkan tidak memiliki aktivitas penghambat. Kemungkinan proses fermentasi
pada tahap pertama hanya berperan menarik minyak dari jaringan, sehingga minyeuk
simplah belum mengandung senyawa antimikrob.
Minyeuk brok yang dihasilkan pada tahap kedua kemungkinan sudah mendekati
proses fermentasi yang hampir sempurna, sehingga hanya memperlihatkan aktivitas
23

terhadap C. albicans. Aktivitas antimikrob dari ekstrak yang diperoleh dari pliek u
yang berasal dari proses tahap ketiga memberikan aktivitas hambatan yang tergolong
tinggi dan zona hambatan yang bervariasi terhadap mikrob uji. Pliek u berasal dari
fermentasi yang sudah sempurna, yang menyebabkan senyawa dalam pliek u sudah
aktif sebagai antimikrob. Proses tahap ketiga merupakan proses fermentasi yang
dikombinasikan dengan penjemuran dan pengepresan.

T
EEP

EEP MS EHP
MB

EERP MS

a b

K
MS MB

A
T
EEP Cd
EEP

c d
Gambar 6 Zona hambatan yang terbentuk dari aktivitas EEP terhadap bakteri dan
fungi. (a) S. aureus, (b) E. coli,(c) B. cereus dan (d) C. albicans. Ekstrak
kasar etanol (EEP), ekstrak etanol residu (EERP), ekstrak kasar heksan
(EHP), tetrasiklin (T), amoksisilin (A), kloramfenikol (K), candistin (Cd),
minyeuk simplah (MS), minyeuk brok (MB)

Ekstraksi adalah suatu cara untuk mendapatkan minyak dari bahan yang diduga
mengandung minyak yaitu dengan cara rendering, mechanical expression dan solvent
extraction (Ketaren 2005). Antimikrob dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dan
purifikasi (Hoover 2000). Menurut Maguire (2000), efek senyawa antimikrob seperti
minyak sangat tergantung dari metode ekstraksinya apakah menggunakan larutan
organik atau tidak.
Ekstraksi dengan pelarut non-polar (ekstrak kasar heksan/EHP) hanya aktif
terhadap C. albicans sedangkan ekstrak yang bersifat polar (ekstrak kasar etanol
residu/EERP) yang diperoleh dari residu heksan hanya aktif terhadap bakteri. Tidak
24

adanya aktivitas EERP terhadap C. albicans menunjukkan bahwa ada komponen yang
mungkin sudah terekstrak sebelumnya di dalam ekstrak kasar heksan (EHP). EEP
yang diperoleh dari ekstraksi pliek u dengan etanol menyebabkan EEP mengandung
sebagian senyawa non-polar, sehingga mempunyai aktivitas terhadap C. albicans,
walaupun aktivitasnya lebih kecil dibandingkan EHP.
Penelitian ini menunjukkan bahwa C. albicans lebih sensitif terhadap komponen
yang bersifat non polar, sedangkan bakteri lebih sensitif kepada komponen yang
mengarah ke polar. Pada umumnya tumbuh-tumbuhan obat, bumbu, dan tumbuh-
tumbuhan yang diduga memberikan efek yang baik terhadap kesehatan mempunyai
aktivitas antimikrob sangat baik setelah diekstrak dengan pelarut yang lebih polar
seperti etanol dan metanol (Duraipandiyan et al. 2006; Gupta et al. 2006; Rojas et al.
2006; Iroegbu dan Nkere 2005; Barbour et al. 2004; Voravuthikunchai et al. 2004;
Shah et al. 2004; Okeke et al. 2001).
Polaritas suatu senyawa antimikrob mempengaruhi kemampuannya sebagai
antimikrob yang berdasarkan sifat hidrofilik-lipofiliknya, sehingga kerja antimikrob
lebih maksimum (Kanazawa et al. 1995). Sifat hidrofilik-lipofilik antimikrob
menjamin aktivitasnya sebagai antimikrob, karena dapat mempengaruhi
keseimbangan hidrofobik dinding sel mikrob (Branen 1993). Secara umum efek
antibakteri minyak terjadi dalam dua kategori, yaitu, 1) secara langsung merusak
membran sel, dan 2) secara tidak langsung berinteraksi dengan membran melalui
peningkatan permiabilitas sel (Maguire 2000).

Simpulan
Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) berpotensi sebagai senyawa antimikrob,
sedangkan ekstrak kasar heksan (EHP) dan minyak pliek u (MB) berpotensi sebagai
senyawa antikandida dan ekstrak etanol residu (EERP) berpotensi sebagai antibakteri.
Minyak pliek u (MS) tidak mempunyai aktivitas antimikrob. Perbedaan tahap proses
pembuatan minyak pliek u dan pliek u berpengaruh pada aktivitas antimikrob.
Antimikrob yang bersifat polar lebih aktif terhadap bakteri, sedangkan antimikrob
yang bersifat non-polar lebih aktif terhadap. C. albicans
25

IV. PENENTUAN KONSENTRASI DAN NILAI LC50 EKSTRAK KASAR


ETANOL PLIEK U, MAKANAN FERMENTASI
TRADISIONAL ACEH

(Determination of Concentration and LC50 value of Crude Ethanol Extract


of Pliek u, Aceh fermented traditional food)

Abstract
Pliek u has been consumed as spices and ingredient of hot sauce (sambal) and
also used as poultry feed. These foods obtained from home industry in Reudep village
at Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam. The crude ethanol extract of pliek u was
obtained by extraction of pliek u with ethanol 96%. The concentration of crude
ethanol extract of pliek u (EEP) was determined with the dilution method against five
bacterial strains (Staphylococcus aureus, Bacillus cereus, Escherichia coli,
Salmonella Enteritidis and Pseudomonas aeruginosa,) and one fungal strain (Candida
albicans). The initial test of toxicity has been detected by using Artemia salina L.
Lethality Test is conducted to determine the toxic concentration based on the LC50
value of EEP. The results indicated that crude EEP showed antimicrobial activity at a
minimal inhibitory concentration (MIC) and a minimal microbicidal concentration
(MMC) at 2.5-10 mg/ml and 10-20 mg/ml, respectively. The lethality concentration
of crude EEP resulted the LC50 value at 3.36 mg/ml. The research concluded that
crude EEP was not toxic for A. salina L and needed further evaluation for
characterization antimicrobial compound of crude EEP.

Keywords: pliek u, Aceh fermented coconut, MIC, toxicity.

Pendahuluan
Ekstrak alami yang berbahan dasar tumbuh-tumbuhan seperti herbal, rempah-
rempah lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan, bumbu bahkan sebagai obat.
Salah satu jenis tumbuh-tumbuhan yang sudah dimanfaatkan oleh masyarakat sejak
ratusan tahun yang lalu adalah kelapa (Cocos nucifera L). Daging buah dan minyak
kelapa digunakan sebagai makanan dan obat untuk mengobati penyakit kulit, saluran
pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza (Fife 2005). Komponen terbesar asam
lemak jenuh pada daging buah dan minyak kelapa adalah asam laurat (48-50%), yang
sangat berperan dalam makanan karena berkaitan dengan fungsinya sebagai
antibakteri, antijamur, antivirus dan antiprotozoa (Enig 2000) serta tidak toksik
terhadap mukosa (Kabara 2000).
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil beragam makanan fermentasi,
seperti tempe, oncom, tempoyak. Tempe merupakan produk fermentasi tradisional
yang mengandung senyawa antimikrob (Winarno 1982; Ginandjar 2000). Pliek u
merupakan salah satu produk fermentasi asal Aceh. Pliek u diperoleh dari daging buah
kelapa yang difermentasi tanpa disengaja selama beberapa hari untuk mendapatkan
minyak pliek u (Bakar et al. 1985; komunikasi langsung). Berdasarkan penelitian
26

sebelumnya ekstrak kasar etanol dari pliek u mempunyai aktivitas antimikrob terhadap
bakteri Gram positif, bakteri Gram negatif dan Candida albicans (Nurliana et al.
2009, sedang proses publikasi di Forum Pascasarjana).
Aktivitas suatu antimikrob tidak berarti apabila antimikrob tersebut tidak efektif
pada saat diaplikasikan, sehingga diperlukan pengujian efektivitas bahan tersebut.
Salah satu pengujian tahap awal yang sangat penting dilakukan adalah mengetahui
efikasinya secara invivo (Cowan 1999). Metode pengujian toksisitas dengan
menggunakan larva Artemia salina L merupakan uji yang sangat sederhana dan cepat
serta dapat dijadikan sebagai uji awal untuk mengetahui toksisitas senyawa antimikrob
(Khrisnaraju et al. 2005).
Kemampuan bahan uji membunuh larva Artemia salina L berdasarkan 50%
kematian larva (Kanwar 2007). Metode tersebut juga memberikan hasil yang sangat
baik untuk menguji toksisitas bahan kimia, ekstrak tumbuh-tumbuhan dan produk-
produk alami, limbah, ion-ion metal, bahan kimia pertanian, bahan tambahan
makanan, produk-produk pembersih rumah dan obat-obatan (Lieberman 1999;
Carballo et al. 2002; Nunes et al. 2006; Kiviranta et al. 2007).
Untuk mendukung manfaat pliek u sebagai makanan kesehatan dan peluangnya
sebagai sumber antimikrob, maka perlu dilanjutkan kajian terhadap aktivitas senyawa
antimikrob berdasarkan konsentrasi efektif dalam menghambat dan membunuh bakteri
dan jamur. Penelitian ini dilakukan untuk melengkapi informasi terhadap karakterisasi
ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) yang memberikan aktivitas terbaik sebagai
antimikrob.

Metode Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sejak Januari 2006 sampai
September 2007. Tahap penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pliek u
Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, diperoleh dari tempat
produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD).
27

Kultur Mikrob
Kultur mikrob terdiri dari Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, yang
diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor.
Salmonella Enteritidis, berasal dari Laboratorium pribadi milik J. Sri Poernomo,
Cimanggu Bogor. Bacillus cereus BCC 2118 dan Pseudomonas aeruginosa BCC
2137 berasal dari Laboratorium Mikrobiologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian
IPB. Candida albicans, isolat klinik dari Laboratorium Mikologi Fakultas Kedokteran
Hewan IPB.

Ekstraksi Pliek u
Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006)
dan Sudirman (2005a). Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam
200 ml etanol 96% (Bratachem). Campuran tersebut dikocok menggunakan
refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick Scientific, Edison, USA)
dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted
glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi
kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh setiap 24
jam dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-
50oC dengan tekanan 175 mBAR untuk etanol. Ekstrak yang diperoleh dipekat ulang
dengan kompresor udara menjadi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP).

Penetapan Minimal Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimal Microbicidal


Concentration (MMC)

Pengujian daya hambat senyawa antimikrob terhadap mikrob uji dilakukan


dalam media cair berdasarkan prosedur Kim et al. (2004) yang sudah dimodifikasi.
Untuk mendapatkan konsentrasi EEP 0, 1.25, 2.5, 5, 10, 20, 40 dan 80 mg/ml, maka
prosedur pengujian dilakukan dengan menambahkan EEP masing-masing sebanyak 0,
5, 10, 20, 40, 80, 160 dan 320 mg ke dalam 4 ml media cair Mueller-Hinton atau
potato dextrose yang sudah mengandung mikrob uji (106-108cfu/ml), kemudian
dikocok dengan vorteks selama 10 menit. Suhu inkubasi disesuaikan untuk masing-
masing mikrob uji. Jumlah masing-masing mikrob (jumlah mikrob awal dan jumlah
mikrob akhir setelah waktu inkubasi) dihitung berdasarkan metode hitung cawan
menggunakan pengenceran desimal dari 1:101 – 1:109 (Swanson et al. 1992). Nilai
MIC dihitung menurut Kubo (1992) adalah konsentrasi terendah yang mampu
menghambat mikrob (>90%), sedangkan MMC dihitung berdasarkan Courvalin et al.
28

(1990), diacu dalam Canillac dan Mourey (2001) adalah konsentrasi ekstrak yang
menyebabkan mikrob yang hidup hanya 0.01 – 0.1 %. MIC dan MMC, dihitung
dengan cara sebagai berikut :

jumlah mikrob akhir


(MIC) % = 100% - x 100%
jumlah mikrob awal

jumlah mikrob akhir


(MMC) % = x 100%
jumlah mikrob awal

Penentuan Nilai LC50 berdasarkan Uji Toksisitas menggunakan Artemia salina L


Pengujian toksisitas tahap awal terhadap senyawa antimikrob (EEP) berdasarkan
prosedur yang dilakukan oleh Khrisnaraju et al. (2005). Pengujian ini menggunakan
telur A. salina L yang diperoleh dari toko penjual makanan ikan. Telur A. Salina L (1
g/L) diinkubasi selama 48 jam dalam bak air berisi air steril yang sudah dicampur
dengan garam laut 35 g/L dengan pH 8.5. Bak air dilengkapi dengan aerator. Setelah
48 jam larva yang aktif dilihat dibawah mikroskop stereo pembesaran 40x dilengkapi
dengan Olympus optikal, kemudian diambil menggunakan pipet tetes sebanyak 10
ekor untuk setiap perlakuan dan dimasukkan dalam vial yang mengandung air garam
laut. Perlakuan terdiri dari kontrol (air garam), penambahan EEP dengan konsentrasi
1,25; 2,5; 5; dan 10 mg/ml. Jumlah larva yang mati dihitung setelah 24 jam inkubasi.
Persentase kematian ditentukan berdasarkan Seen (2005), dengan rumus :
jumlah larva yang mati
% kematian = x 100
jumlah larva hidup + jumlah larva mati

Analisis Data
Data dari hasil penentuan konsentrasi berdasarkan MIC dan MMC dianalisis
secara deskriptif, sebelumnya data ditansformasikan terlebih dahulu menjadi log
cfu/ml. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD), ditampilkan
dalam bentuk tabel dan gambar. Nilai LC50 diplotkan menggunakan analisis persaman
regresi linier menggunakan bantuan program excell for windows. Data yang diperoleh
ditampilkan dalam bentuk grafik.
29

Hasil dan Pembahasan

Konsentrasi Ekstrak Kasar Etanol Pliek u (EEP) berdasarkan Minimal


Inhibitory Concentration (MIC) dan Minimal Microbicidal Concentration (MMC)

Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap
bakteri Gram positif dan Gram negatif serta C. albicans dapat dilihat pada Gambar 7
dan Lampiran 4.
Jumlah Bacillus cereus cfu/ml

12 14

Jumlah Staphylococcus aureus


12.55
9.44 9.83 9.25 12 10.79
10
8.2
10 8.41

cfu/ml (log 10)


8
6.14 7.41
(log 10)

8
6 4.5
3.74 3.87 6 4.51
4 2.57 3.54
4 2.54 2.07
2
2 0.9
0
0
0* 0** 1.25 2.5 5 10 20 40 80 0* 0** 1.25 2.5 5 10 20 40 80

a Konsentrasi ekstrak etanol (mg/ml) b Konsentrasi ekstrak e tanol (mg/ml)

14 12
Jumlah Salmonella Enteritidis

Jumlah Escherichia coli cfu/ml

10.46
11.57
12 10 8.39
10 7.75
cfu/ml (log 10)

7.47 7.46 7.9 8 6.46


7.25
(log 10)

8 6.44
6
6
3.54 3.64
4 2.93 2.98 2.82
4
2.07
1.47 2
2
0
0 0
0* 0** 1.25 2.5 5 10 20 40 80 0* 0** 1.25 2.5 5 10 20 40 80

c konsentrasi ekstrak etanol (mg/ml) d Konse ntrasi e kstrak e tanol (mg/ml)


Jumlah Pseudomonas aeruginosa

9.43
Jumlah Candida albicans cfu/ml

12 10.81 10

10 8
7.3
cfu/ml (log 10)

8 5.8
6.32 6 5.39 5.14
(log 10)

5.39
6 4.46
4 3.44
4 2.56
1.77 1.3
2 2
0 0 0 0 0
0 0
0* 0** 1.25 2.5 5 10 20 40 80 0* 0** 1.25 2.5 5 10 20 40 80
e Konsentrasi ekstrak etanol (mg/ml) f Konsentrasi ekstrak etanol (mg/ml)

Gambar 7 Pengaruh berbagai konsentrasi EEP terhadap (a) B. cereus, (b) S. aureus,
(c) S. Enteritidis (d) E. coli, (e) P. aeruginosa, (f) C. albicans. (0*) jumlah
mikrob awal tanpa perlakuan, (0**) jumlah mikrob setelah inkubasi tanpa
perlakuan, waktu inkubasi 24 jam untuk bakteri; waktu inkubasi 2 hari
untuk C. albicans
30

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan terhadap aktivitas senyawa


antimikrob (EEP) yang memberikan aktivitas antimikrob terbaik terhadap bakteri dan
fungi. Penambahan berbagai konsentrasi EEP (1.25, 2.5, 5, 10, 20, 40 dan 80 mg/ml)
menyebabkan penurunan yang bervariasi dari jumlah masing-masing mikrob uji
dibanding kontrol. Penambahan konsentrasi EEP 20-80 mg/ml menyebabkan tidak
ada pertumbuhan P. aeruginosa, sedangkan konsentrasi EEP 80 mg/ml menunjukkan
tidak ada pertumbuhan S. Entiritidis dan konsentrasi EEP 40-80 mg/ml juga
menunjukkan tidak ada pertumbuhan C. albicans (Gambar 7).
Konsentrasi MIC yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif
adalah 10 dan 5 mg/ml untuk B.cereus dan S. aureus. Konsentrasi MIC terhadap
bakteri Gram negatif (S. Enteritidis, E. coli dan P. aeruginosa) masing-masing 10, 2.5
dan 5 mg/ml dan konsentrasi MIC terhadap C. albicans adalah 5 mg/ml. Konsentrasi
mikrobisida (MMC) yang menyebabkan kematian mikrob uji berkisar 10-20 mg/ml,
yaitu pada konsentrasi 10 mg/ml untuk bakteri, sedangkan untuk C. albicans adalah
20 mg/ml.
Berdasarkan penentuan MIC menunjukkan bahwa E. coli sangat sensitif
terhadap EEP dibandingkan mikrob uji lainnya, sedangkan B. cereus dan S. Enteritidis
sangat tahan, yang membutuhkan EEP dengan konsentrasi paling besar (Tabel 5).

Tabel 5 MIC dan MMC ekstrak kasar etanol (EEP) terhadap bakteri dan fungi

Mikrob Jumlah mikrob Jumlah mikroba MIC MMC MMC/MIC


awal (log cfu/ml) akhir (log cfu/ml) (mg/ml) (mg/ml)
B. cereus 1,4 x 106 3,2 x 104 (4.5) 10 8
2
(6.14) 3,8 x 10 (2.57) 80
7 4
S. aureus 2,6 x 10 3,28 x 10 (4.51) 5 2
(7.41) 3,5 x 103 (3.54) 10
S. Enteritidis 1,8 x 107 2,8 x 106 (6.44) 10 2
2
(7.25) 1,2 x 10 (2.07) 20
E. coli 2,5 x 108 2,9 x 106 (6.46) 2.5
(8.39) 4,4 x 103 (3.54) 10 4
7 4
P. aeruginosa 2,0 x 10 2,9 x 10 (4.46) 5
1
(7.3) 6,0 x 10 (1.77) 10 2
C. albicans 2,5 x 105 2,8 x 103 (3.44) 5
(5.39) 2,0 x 101 (1.3) 20 4

Apabila dianalogkan dengan antibiotik berdasarkan ratio MMC/MIC ≤ 4 maka


strain mikrob dikategorikan sensitif dan jika rationya > 4 digolongkan lebih toleran
(Courvalin et al. 1990, diacu dalam Canillac dan Mourey 2001). Apabila 1< ratio
31

MMC/MIC <8 maka antimikrob digolongkan bersifat bakteriostatik. Berdasarkan


klasifikasi tersebut B. cereus tergolong lebih toleran terhadap EEP, sedangkan S.
aureus, S. Enteritidis, E. coli, P. aeruginosa dan C. albicans digolongkan strain
mikrob yang rentan (susceptible) terhadap EEP, maka EEP dapat digolongkan
antimikrob bersifat bakteriostatik.
Sensitifitas mikrob bisa sangat dipengaruhi oleh jenis mikrob (strain yang
berbeda), jumlah awal dan bahan antimikrob yang digunakan serta fase pertumbuhan
mikrob (Entani et al. 1998). Senyawa antimikrob mempunyai pengaruh yang kecil
pada saat proses sintesis sel selama fase statis, sehingga tidak semua mikrob akan
menurun jumlahnya dengan dosis MIC. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh
komponen-komponen yang terkandung di dalam media pertumbuhan mikrob dan
interaksinya dengan dinding sel dan membran mikrob. Pertumbuhan mikrob pada
fase log atau fase eksponensial lebih sensitif dan lebih mudah dibunuh dibandingkan
pada fase stasioner (Corre et al. 1990, diacu dalam Carson et al. 2002).
Menurut Kabara (2000), aktivitas antibakteri dari monogliserida dan asam lemak
bebas adalah dengan merusak pertahanan permiabilitas membran sel dan menghambat
pengambilan asam amino. Helicobacter pylori yang diinkubasi selama 1 jam dengan
monogliserida lemak jenuh (panjang karbon dari C10:0-C14:0) menunjukkan
penurunan jumlah bakteri tersebut sebesar 4 log, namun tidak demikian dengan
menambahkan C9:0, C15:0, dan C16. Interaksi dengan struktur hidrofobik
merupakan kunci utama aksi antimikrob hidrokarbon (Sikkema et al. 1995).
Menurut Maguire (2000), secara umum kerja agen antimikrob bereaksi secara
langsung dan tidak langsung ke target membran sel, walaupun secara detail
mekanismenya belum begitu jelas. Efektivitas suatu antimikrob sangat tergantung
pada kemampuannya mencapai target sasaran (Hogan 2003), terutama terhadap
bagian-bagian sel sasaran. Efek antibakteri dapat beraksi pada beberapa target sasaran
pada membran bakteri, sehingga menyebabkan kerusakan atau autolisis dan juga
terhambatnya pertumbuhan atau bahkan kematian sel (Ahn et al. 2004). Maguire
(2000), menambahkan bahwa sifat-sifat fisikokimia antimikrob, seperti tegangan dan
hidrophobisitas merupakan faktor penentu utama keefektifan dari antimikrob.
32

Penentuan Nilai LC50 Ekstrak Kasar Etanol dari Pliek u (EEP) Berdasarkan Uji
Toksisitas Menggunakan Artemia salina L

Penelitian ini menggunakan organisme uji yaitu udang-udangan air asin


(Artemia salina L). Setelah 15 sampai 20 jam diinkubasi dalam air garam maka telur-
telur udang-udangan akan menetas dan beberapa jam kemudian berenang dengan
sempurna untuk mendapatkan nutrisi. Selanjutnya setelah inkubasi 48 jam menjadi
bentuk nauplii (larva tahap instar III atau IV). Bentuk dewasa akan terjadi pada hari
kedelapan (Treece 2000).
Penelitian terhadap toksisitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP)
menghasilkan uji yang cepat dan sangat sederhana. Sesuai pendapat Khrisnaraju et al.
(2005), yang menguji bioaktivitas tumbuh-tumbuhan obat asal India dan sangat
mendukung penggunaan obat-obat tersebut secara tradisional, sehingga metode ini
bisa diandalkan untuk uji bioaktivitas dan toksisitas suatu bahan uji. Pengujian dengan
brine shrimp bioassay menggunakan larva Artemia salina L merupakan metode
alternatif yang dapat menggantikan penelitian yang menggunakan hewan-hewan
besar, mengurangi angka kesakitan dan stres (Kanwar 2007). Penentuan tahap awal
suatu bahan yang diduga toksik terhadap konsentrasi moderat dan tinggi dapat
dideteksi dengan bioassay menggunakan Artemia salina L, dimana suatu senyawa
yang toksik bisa menjadi tidak toksik apabila digunakan hewan coba yang lebih besar
(Kiviranta et al. 2007).
Pengamatan terhadap larva A. salina L yang diberikan EEP dalam media air
garam menunjukkan bahwa larva yang mati terlihat berwarna coklat, kemungkinan
larva memakan ekstrak pliek u, sedangkan yang masih hidup terlihat masih berwarna
jingga (Gambar 8).

Gambar 8 Larva udang-udangan (Artemia salina L) yang digunakan


pada uji toksisitas ekstrak kasar etanol dari Pliek u (EEP).
33

Hasil uji toksisitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap larva A.
Salina L setelah pengamatan 24 jam menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi
EEP menyebabkan peningkatan persentase kematian larva (Gambar 9). Nilai
konsentrasi LC50 EEP diperoleh berdasarkan analisis persamaan regresi linier adalah
3.36 mg/ml. Dosis EEP tersebut tidak toksik terhadap A. salina L. Suatu ekstrak
dikatakan toksik jika memiliki nilai LC50 (konsentrasi yang mampu membunuh 50%
larva A. Salina L) <1000 µg/ml untuk ekstrak kasar dan <200 µg/ml untuk ekstrak
murni setelah waktu kontak 24 jam (Meyer et al. 1982).
% Kematian Larva udang (Artemia

90
80 80.67
70 70.33
60 y = 17.83 x - 9.97
salina )

50
40
30 30
20 20
16.67
10
0
0 1.25 2.5 5 10
Konsentrasi Esktrak Etanol dari Pliek u (m g/m l)

Gambar 9 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol


dari Pliek u (EEP) terhadap larva Artemia salina L

Toksisitas suatu bahan juga dipengaruhi oleh jenis ekstraknya. Penelitian yang
dilakukan oleh Chaudhry et al. (2003), menunjukkan bahwa tumbuhan obat yang
diekstrak dengan metanol tidak memperlihatkan aktivitas biologik pada uji brine
shrimp bioassay dibandingkan dengan ekstrak diklorometan. Akan tetapi ekstrak air
dari akar dan batang tumbuhan Terminalia brownii memiliki aktivitas toksik yang
sangat tinggi (Mbwambo et al. 2007).

Simpulan
Ekstrak etanol kasar dari pliek u (EEP) berpotensi sebagai senyawa antimikrob
dengan konsentrasi penghambat minimal (MIC) EEP adalah 2.5-10 mg/ml dan
konsentrasi mikrobisida (MMC) EEP adalah 10- 20 mg/ml. Nilai konsentrasi LC50
EEP adalah 3.36 mg/ml dan tidak toksik terhadap A. salina L.
34

V. STABILITAS EKSTRAK KASAR ETANOL DARI PLIEK U TERHADAP


PEMANASAN, PENYIMPANAN DAN pH SERTA
AKTIVITASNYA DI DALAM SUSU

(The Stability of Crude Ethanol Extract of Pliek u toward Heating,


Storage, pH and its Antimicrobial Activity in Milk)

Abstract
Crude ethanol extract of pliek u (a traditional spice of Aceh) has been reported to
exert antimicrobial activity against bacteria and fungi. The objective of this study was
to investigate the stability of crude ethanol extract of pliek u (EEP) toward heating,
storage, pH and its ability in milk as antimastitis in vitro. The antimicrobial activity
was detected by using paper disc method. The antibacterial effect of crude EEP as
antimastitis agent was assayed by inoculation of bacteria (S. aureus or E. coli) in milk
then measured the bacterial reduction. The crude EEP was still active at 100ºC, 121ºC
for 15-60 menit, 28ºC (room storage), 10ºC (refrigerator temperature), both for 1-6
months and at pH from 3-11. The effect of 3.36 mg/ml of crude EEP reduced the
number of S. aureus and E. coli at 2.8 cfu/ml log and 2.52 cfu/ml log in two hours
compared to the control or at 10.03 cfu/ml log and 10.41 cfu/ml log in 12 hours
respectively. Because of the stability of crude EEP and the antibacterial activity in
milk, thus needed further investigation of EEP in order to clinical applications in vivo,
especially in controlling of clinical mastitis.

Keyword: pliek u, stability, antimastitis.

Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan beragam makanan


fermentasi, diantaranya adalah pliek u (makanan fermentasi asal Aceh). Pliek u
diperoleh dari daging buah kelapa yang difermentasi tanpa disengaja selama beberapa
hari untuk mendapatkan minyak pliek u (Bakar et al. 1985). Pliek u atau patarana
dimanfaatkan secara turun menurun oleh masyarakat Aceh sebagai bumbu masak dan
sambal (Hurgronje 1985) serta sebagai pakan unggas. Sampai sekarang makanan ini
tidak pernah lepas dari menu sehari-hari masyarakat Aceh.
Kelapa (Cocos nucifera L) sudah lama dimanfaatkan daging buah dan
minyaknya sebagai makanan dan obat untuk mengobati penyakit kulit, saluran
pencernaan, penyakit kelamin dan influenza (Fife 2005). Asam-asam lemak bebas dan
monogliserida yang terdapat dalam daging buah dan minyak kelapa mempunyai
aktivitas antimikrob, tidak toksik dan tidak menimbulkan resistensi (Nair et al. 2005
dan Kabara 2000).
Ada beberapa syarat jaminan yang diperlukan untuk mengembangkan bahan
obat baru agar efektivitasnya tetap baik (stabil). Syarat jaminan yang diperlukan
adalah stabilitas bahan obat terhadap berbagai faktor luar dan dalam, seperti faktor
35

penyimpanan, suhu penyimpanan dan faktor fisika-kimia serta bahan pelarut yang
digunakan. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi kandungan bahan aktif, sifat
sensorik, toksikologis dan aktivitasnya sebagai bahan obat (efek terapi) atau
aplikasinya sebagai bahan pengawet (Voigt 1994).
Sesuai dengan keputusan International Dairy Federation (IDF), bahwa penelitian
yang mengarah kepada tujuan terapi terhadap kasus-kasus mastitis diprioritaskan pada
memaksimalkan daya tahan inang dan efektifitas metode-metode terapeutik (Hillerton
1998). Sampai saat ini pencegahan dan pengobatan mastitis tetap menjadi perhatian
terutama terhadap jenis dan bentuk terapi yang diberikan. Terbatasnya kemampuan
antibiotik karena adanya faktor resistensi dan besarnya resiko pemakaian antimikrob
sintetis, menyebabkan para peneliti mencari mekanisme pertahanan secara alami
untuk mengontrol mastitis (Pfaller et al. 1998; Reimer et al. 1997; O’Brien et al.
2001; Nair et al. 2005; Pappas 2006).
Sejumlah cara pengendalian dan pengobatan mastitis telah dilakukan seperti
terapi alternatif telah banyak dilakukan, dan sebagian besar menunjukkan hasil positif.
Beberapa diantaranya lebih ditujukan dengan menggunakan bahan-bahan alami, yang
tidak menimbulkan efek samping. Bahan-bahan alami tersebut dapat meningkatkan
daya tahan inang dan mematikan mikrob penyebab mastitis, sehingga penelitian-
penelitian kearah penggunaan terapi alternatif semakin dikembangkan. Proses
pengujian terlebih dahulu dilakukan sebelum suatu bahan terapi diaplikasikan melalui
pengujian secara in vitro. Tujuannya adalah untuk melihat kemampuannya dalam
mereduksi mikroorganisme dan tanpa menimbulkan efek toksik secara langsung pada
inang (Nair et al. 2005).
Oleh sebab itu untuk mendukung manfaat pliek u sebagai makanan kesehatan
dan peluangnya sebagai sumber antimikrob, perlu dilakukan pengujian aktivitas
senyawa antimikrob ekstrak kasar etanol dari pliek u terhadap beberapa faktor yang
mempengaruhi stabilitasnya sebagai antimikrob. Penelitian ini bertujuan untuk
melengkapi informasi terhadap karakterisasi ekstrak kasar etanol dari pliek u yang
memberikan aktivitas terbaik sebagai antimikrob.

Metode Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan
36

Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor sejak Januari 2006 sampai


September 2007. Tahap pada penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pliek u
Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, diperoleh dari tempat
produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD).

Kultur Mikrob
Kultur mikrob terdiri dari Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, isolat
klinik berasal dari Laboratorium Bakteriologi FKH IPB, Bogor. Candida albicans,
isolat klinik dari Laboratorium Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Ekstraksi Pliek u
Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006)
dan Sudirman (2005a). Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam
200 ml etanol 96% (Bratachem). Campuran tersebut dikocok menggunakan
refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA)
dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted
glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi
kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh setiap 24
jam dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-
50oC dengan tekanan 175 mBAR. Ekstrak yang diperoleh dipekat ulang
menggunakan kompresor udara menjadi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP).

Stabilitas Ekstrak Kasar dari Pliek u (EEP) terhadap Suhu dan Lama
Pemanasan, Suhu dan Lama Penyimpanan, serta pH

Aktivitas antimikrob EEP diuji stabilitasnya terhadap suhu dan lama pemanasan
menggunakan autoklaf pada suhu 100ºC dan 121ºC selama 15, 30, 45 dan 60 menit.
Pengaruh suhu dan lama penyimpanan dilakukan dengan menyimpan EEP pada suhu
kamar (25-28ºC), suhu refrigerator (10ºC) dan suhu freezer (-20ºC) selama 1, 2, 3, 4, 5
dan 6 bulan. Pengaruh pH dilakukan dengan mengatur pH media menjadi 3, 5, 7, 9
dan 11, kemudian diinkubasi pada suhu kamar selama 2 jam. Untuk pH asam
digunakan HCl 0.1 N, sedangkan pH basa digunakan NaOH 0.1 N.
Masing-masing pengujian di uji dengan metode difusi agar cakram kertas, sesuai
dengan prosedur yang dikerjakan oleh Sudirman (2005a). EEP sebanyak 100 μl
37

diteteskan di atas cakram kertas, kemudian dikeringkan menggunakan alat pengering


rambut pada suhu 40-42°C. Selanjutnya disterilisasi dengan sinar UV (254 nm)
selama 30 menit di dalam laminar airflow cabinet. Cakram kertas diletakkan di atas
media agar yang mengandung mikrob uji, dilakukan preinkubasi pada suhu 10°C
selama 3 jam, lalu inkubasi pada suhu optimal bagi masing-masing mikrob uji. Suhu
inkubasi untuk bakteri 37°C selama 24 jam, sedangkan untuk C. albicans pada suhu
kamar (26-28°C) selama 2-3 hari. Pengujian menggunakan metode cakram kertas
dilakukan pengulangan tiga kali. Kriteria aktivitas antimikrob berdasarkan Ela et al.
(1996), diacu dalam Elgayyar et al. (2001), yaitu antimikrob aktif dan sangat aktif: ++
(zona hambatan >11 mm), aktif sedang: + (6 mm < zona hambatan <11 mm) dan tidak
aktif: - (zona hambatan <6 mm).

Aktivitas Ekstrak Kasar dari Pliek u (EEP) di dalam Susu

Pengujian aktivitas ekstrak kasar dari pliek u (EEP) dalam susu dilakukan
berdasarkan prosedur yang dilakukan oleh Nair et al. (1995) yang telah dimodifikasi.
Susu segar berasal dari Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas
Kedokteran Hewan IPB Bogor. Sebelum perlakuan susu disteril dengan autoklaf pada
suhu 121ºC selama 15 menit. Penetapan konsentrasi EEP ditetapkan sesuai dengan
nilai konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml). EEP sebanyak 67.2 mg ditambahkan ke dalam
masing-masing botol yang mengandung 20 ml susu. Semua sampel susu masing-
masing diinokulasi dengan 20 μl S. aureus dan E. coli untuk mendapatkan jumlah sel
107-108 cfu/ml. Sampel kontrol tidak ditambahkan EEP. Sampel untuk masing-masing
mikrob uji dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, yaitu kontrol dan penambahan
EEP. Setiap perlakuan disimpan pada suhu 39ºC (disesuaikan dengan suhu tubuh
sapi), kecuali pengamatan jam ke 0. Pengamatan terhadap laju pertumbuhan masing-
masing bakteri dilakukan pada jam ke 0, 2, 4, 6, 8, 10 dan 12. Jumlah bakteri dihitung
berdasarkan metode hitung cawan (Swanson et al. 1992).

Analisis Data
Data dari hasil masing-masing pengujian dianalisis secara deskriptif. Data dari
hasil uji aktivitas EEP dalam susu ditansformasikan terlebih dahulu menjadi log
cfu/ml. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ± standar deviasi (SD), disajikan
dalam bentuk tabel dan gambar.
38

Hasil dan Pembahasan

Stabilitas Ekstrak Kasar etanol dari Pliek u (EEP) terhadap Suhu dan Lama
Pemanasan, Suhu dan Lama Penyimpanan serta pH

Hasil uji stabilitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap suhu dan
lama pemanasan berdasarkan zona hambatan yang terbentuk dibandingkan dengan
aktivitas antimikrob EEP sebelum dipanaskan yaitu E. coli (15.33±0.47), S. aureus
(19.33±0.47) dan C. albicans (10.67±0.47). Selain itu aktivitas antimikrob EEP juga
berpedoman pada kriteria aktivitas berdasarkan Ela et al. (1969), diacu dalam
Elgayyar et al. (2001). Hasil penelitian menunjukkan adanya zona hambatan yang
bervariasi dan juga terjadi penurunan zona hambatan. EEP tetap aktif dan stabil pada
pemanasan 100oC selama 15, 30, 45 dan 60 menit dan 121oC selama 15, 30 dan 45
menit, namun EEP tergolong aktif sedang pada suhu 121oC selama 60 menit (Tabel 6
dan Lampiran 8).

Tabel 6 Pengaruh suhu dan lama pemanasan EEP terhadap zona hambatan E. coli,
S. aureus dan C. albicans

Pemanasan Rata-rata Zona Hambatan (mm)


Suhu menit Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans
o
100 C 15 16.67±0.57 (++) 19.33±0.57 (++) 11.00±0 (++)
30 15.33±2.88 (++) 18.33±0.57 (++) 10.33±1.15 (+)
45 15.67±1.53 (++) 18.33±0.57 (++) 10.00±1.73 (+)
60 15.33±0.57 (++) 17.67±0.57 (++) 9.33±1.53 (+)
o
121 C 15 12.67±1.15 (++) 16.67±1.53 (++) 10.33±0.58 (+)
30 12.67±1.53 (++) 14.33±2.31 (++) 7.67±0.57 (+)
45 13.33±2.31 (++) 13.00±2.67 (++) 5.67±0.58 (+)
60 9.33±0.58 (+) 10.33±1.15 (+) 6.00±0 (+)
Keterangan : (++) sangat aktif atau aktif; (+) aktif sedang dan (-) tidak aktif

Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) yang dipanaskan pada suhu 121oC dari
15-60 menit masih sangat aktif sebagai antibakteri, namun pemanasan pada suhu
121oC dari 30-60 menit menyebabkan penurunan aktivitas EEP terhadap C. albicans.
Menurut Martindale (1982), minyak kelapa dapat disteril dengan mempertahankannya
pada suhu 150oC selama satu jam tanpa mempengaruhi komponen di dalam minyak.
Pengujian yang dilakukan dengan memanaskan EEP pada suhu 100oC dan
121oC selama 15, 30, 45 dan 60 menit menunjukkan adanya perbedaan zona hambatan
yang terbentuk pada masing-masing mikrob uji. Perbedaan zona hambatan tersebut
39

disebabkan sensitivitas masing-masing mikrob uji berbeda terhadap EEP. Walaupun


terjadi penurunan aktivitas antimikroba pada suhu 121oC, namun EEP tetap aktif
(zona hambatan antara 6-10.33 mm). Agar aktivitasnya tetap baik, sebaiknya EEP
tidak dipanaskan pada suhu 121oC lebih dari 60 menit.
Stabilitas EEP terhadap aktivitas antimikrobanya berdasarkan suhu dan lama
penyimpanan disajikan pada Tabel 7 dan Lampiran 9. Pengujian pengaruh suhu dan
lama penyimpanan terhadap aktivitas antimikrob EEP berdasarkan metode cakram
kertas menghasilkan zona hambatan yang bervariasi pada masing-masing mikrob uji
terjadi penurunan aktivitas apabila disimpan pada suhu freezer (Tabel 7).

Tabel 7 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan EEP terhadap zona hambatan
E. coli, S. aureus dan C. albicans

Penyimpanan Rata-rata Zona hambatan (mm)


Suhu Lama Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans
Suhu Kamar 1 bulan 15.67±2.89 (++) 14.67±2.31(++) 9.33±1.53 (+)
(25-28ºC) 2 bulan 12.00±1.73 (++) 17.00±0 (++) 10.67±0.58 (+)
3 bulan 11.67±2.08 (++) 16.00±0 (++) 10.67±1.53 (+)
4 bulan 11.33±0.58 (++) 15.67±0.58 (++) 8.67±0.58 (+)
5 bulan 8.67±1.53 (+) 15.00±0 (++) 10.00±0 (+)
6 bulan 7.67±2.52 (+) 15.30±30.58 (++) 9.33±2.31(+)
Suhu Refrigerator 1 bulan 8.33±2.31 (+) 13.00±1.73 (++) 8.33±0.58 (+)
(10ºC) 2 bulan 9.67±1.53 (+) 12.00±0(++) 9.00±0 (+)
3 bulan 5.67±0.58 (+) 10.67±1.15 (++) 7.33±0.58 (+)
4 bulan 5.67±1.15 (+) 11.33±1.15 (++) 3.67±0.58 (-)
5 bulan 5.67±0.58 (+) 8.67±0.58 (+) 3.00±0 (-)
6 bulan 5.33±0.58 (-) 7.67±1.15 (+) 3.33±0.58 (-)
Suhu Frezeer 1 bulan 4.67±1.15 (-) 8.67±0.58 (+) 4.67±0.58 (-)
(-20ºC) 2 bulan 4.67±0.58 (-) 8.00±0 (+) 5.00±0 (-)
3 bulan 4.00±0 (-) 5.67±0.58 (+) 3.67±0.58 (-)
4 bulan 3.00±0 (-) 6.00±0 (+) 4.00±0 (-)
5 bulan 3.00±0 (-) 4.33±1.15 (-) 3.67±0.58 (-)
6 bulan 3.00±0 (-) 4.00±0 (-) 3.67±0.58 (-)
Keterangan : (++) sangat aktif atau aktif, (+) aktif sedang dan (-) tidak aktif

Apabila dibandingkan dengan aktivitas antimikrob EEP sebelum perlakuan yaitu


E. coli (15.33±0.47), S. aureus (19.33±0.47) dan C. albicans (10.67±0.47) maka
secara umum penyimpanan pada suhu kamar (28ºC) sampai 6 bulan dan suhu
refrigerator (10ºC) selama 2-4 bulan tidak menurunkan aktivitas antimikrob dari EEP,
namun penyimpanan pada suhu freezer (-20ºC) sampai 6 bulan menurunkan aktivitas
antimikrob EEP. Minyak kelapa sebaiknya disimpan pada suhu 25ºC di dalam
40

kemasan kedap udara berwarna gelap dan tertutup rapat serta terlindung dari cahaya
(Martindale 1982).
Kriteria stabilitas bahan obat baru ditetapkan berdasarkan daya simpan dan
faktor fisika-kimianya. Pengujian masa simpan dan suhu merupakan penentuan wajib
terhadap stabilitas suatu bahan obat (Voigt 1994). Hal utama yang mempengaruhi
stabilitas bahan obat, adalah 1) labilitas bahan itu sendiri dan bahan pembantunya, 2)
faktor luar, seperti suhu, kelembaban udara dan cahaya. Sering terjadi pada suatu
bahan obat memiliki efektivitas yang baik namun bahan tersebut tidak stabil sehingga
kualitasnya tidak baik (mengalami berbagai perubahan sehingga terjadi
penyimpangan).
Faktor lain yang sangat mempengaruhi stabilitas suatu bahan obat selain suhu
dan daya simpan adalah pH. Stabilitas EEP terhadap pH disajikan pada Tabel 8 dan
Lampiran 10. Aktivitas antimikrob EEP masih sangat aktif pada pH 3-11. pH EEP
sebelum diuji adalah 4,6. Selain pemanasan dan penyimpanan, pH juga berperan
terhadap kestabilan bahan obat. Pengujian pH erat kaitannya dengan aplikasi secara
oral atau kontak dengan komponen-komponen lain dalam suatu media (bahan
pembantu). Toleransi terhadap pH biasanya berkaitan dengan sifat fisika-kimia
antimikrob.

Tabel 8 Pengaruh pH terhadap aktivitas ekstrak etanol dari pliek u (EEP)

Rata-rata Zona Hambatan (mm)


pH Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans
3 15.67±0.58 (++) 20.33±0.58 (++) 9.00±0.00 (+)
5 16.67±0.58 (++) 19.33±0.58 (++) 9.67±1.15 (+)
7 16.67±1.15 (++) 19.00±0.00 (++) 10.33±1.15 (+)
9 16.33±1.15 (++) 19.33±1.15 (++) 11.00±0.00 (+)
11 15.33±0.58 (++) 18.67±0.58 (++) 8.67±0.58 (+)
Keterangan : (++) sangat aktif atau aktif, (+) aktif sedang dan (-) tidak aktif

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas antimikrob EEP tidak


dipengaruhi oleh pH. Aktivitas EEP stabil pada rentang pH mulai dari 3-11.
Monogliserida dan asam lemak bebas masih bersifat bakterisida setelah diinkubasi
selama 15 menit pada pH asam dan netral (Kabara 2000). Senyawa antimikrob dengan
daya larut lemak sangat tinggi mempunyai aktivitas lebih besar dan aktif pada rentang
pH yang luas (Branen 1993).
41

Aktivitas Ekstrak Kasar Etanol dari Pliek u (EEP) terhadap S. aureus dan E. coli
di dalam Susu

Hasil pengujian aktivitas antimikrob EEP pada nilai konsentrasi LC50 (3.36
mg/ml) terhadap S. aureus dan E. coli dalam susu dapat dilihat pada Tabel 9.
Pengamatan terhadap jumlah S. aureus dan E. coli dalam susu yang diinkubasi pada
suhu 39ºC sampai masa inkubasi 12 jam menunjukkan adanya penurunan jumlah
kedua bakteri tersebut dibandingkan dengan kontrol. Berdasarkan setiap pengamatan
menunjukkan bahwa jumlah S. aureus dan E. coli menurun dibandingkan dengan
kontrol, kecuali pada 0 jam penyimpanan (Tabel 9).

Tabel 9 Pengaruh penambahan ekstrak etanol dari pliek u (EEP) terhadap


pertumbuhan S. aureus dan E. coli dalam susu pada penyimpanan 39ºC

Jumlah bakteri dalam susu pada penyimpanan 39ºC


Pengamatan (jam ke) S. aureus (log cfu/ml) E. coli (log cfu/ml)
Kontrol EEP* kontrol EEP*
0 8.23 8.23 8.47 8.47
2 8.57 5.77 8.83 6.31
4 10.36 3.29 10.39 5.75
6 11.38 3.29 11.01 3.46
8 11.58 2.95 11.96 3.24
10 12.17 2.90 12.33 2.54
12 12.59 2.86 12.86 2.45
Keterangan : * EEP ( 3.36 mg/ml)

Penambahan EEP pada konsentrasi 3.36 mg/ml sangat cepat menurunkan jumlah
S. aureus pada penyimpanan 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 jam dengan selisih penurunan
masing-masing menjadi 2.8, 7.03, 8.09, 8.63, 9.27 dan 9.73 log cfu/ml dibandingkan
dengan kontrol (Tabel 9). EEP mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan S.
aureus dalam susu yang disimpan pada suhu 39ºC (Gambar 10).
Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa penambahan EEP pada
konsentrasi 3.36 mg/ml dalam susu terhadap penurunan jumlah S. aureus ternyata
tidak berbeda antara penyimpanan 6 dengan 8 jam, begitu juga pada penyimpanan 10
dengan 12 jam. Adanya sedikit selisih penurunan jumlah S. aureus setelah
penambahan EEP pada penyimpanan 4, 6, 8, 10 dan 12 jam mungkin dapat
disebabkan pola pertumbuhan bakteri dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pertumbuhannya. Sensitifitas mikrob bisa sangat dipengaruhi oleh jenis mikrob
(strain yang berbeda), jumlah awal dan bahan antimikrob yang digunakan serta fase
pertumbuhan mikrob (Entani et al. 1998).
42

14

Jumlah S. aureus (log cfu/ml)


12.17 12.59
12 11.58
11.38
10 10.36

8.23 8.57
8 Kontrol EEP
6 5.77
4
3.29 3.29 2.95 2.9 2.86
2

0
0 2 4 6 8 10 12

Waktu pengamatan (jam)

Gambar 10 Aktivitas EEP terhadap S. aureus dalam susu

Senyawa antimikrob mempunyai pengaruh yang kecil pada saat proses sintesis
sel selama fase stasioner, sehingga mikrob mungkin tidak akan menurun dengan cepat
jumlahnya dibandingkan pada lag. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh komponen-
komponen yang terkandung didalamnya dan interaksinya dengan dinding sel dan
membran mikrob. Pertumbuhan sel pada fase log atau fase eksponensial lebih sensitif
dan lebih mudah dibunuh dibandingkan pada fase stasioner (Corre et al. 1990, diacu
dalam Carson et al. 2002).
Kemampuan EEP dengan konsentrasi 3.36 mg/ml dalam susu yang disimpan
pada suhu 39ºC dapat menurunkan jumlah E. coli sangat besar yaitu 10.41 log cfu/ml
dibandingkan dengan kontrol dalam 12 jam penyimpanan (Tabel 9 dan Gambar 11).

14
12.86
Jumlah E. coli (log cfu/ml)

12 11.96 12.33
11.01
10 10.39
8.47 8.83
8 Kontrol EEP
6 6.31
5.75
4 3.46 3.24
2 2.54 2.45

0
0 2 4 6 8 10 12
Waktu pengamatan (jam)

Gambar 11 Aktivitas EEP terhadap E. coli dalam susu


43

Jumlah E. coli menurun lebih sedikit 2.5 dan 4.64 log cfu/ml dibandingkan
dengan penurunan pada S. aureus 2.8 dan 7.03 log cfu/ml selama penyimpanan 2 dan
4 jam, namun pada 10 dan 12 jam penyimpanan menunjukkan penurunan jumlah yang
hampir sama dari kedua bakteri tersebut (9.79 dan 10.41 log cfu/ml). Penelitian yang
dilakukan oleh Nair et al. (2005) menunjukkan aktivitas asam lemak dan
monogliserida (asam kaprilat dan monokaprilin) mampu menurunkan pertumbuhan
lima patogen penyebab mastitis >5.0 log cfu/ml setelah 6 jam inkubasi dalam susu,
namun E. coli sedikit lebih toleran kepada kedua antimikroba tersebut. Apabila jumlah
mikrob menurun >1 log menunjukkan bahwa senyawa antimikrob tersebut aktif di
dalam media pertumbuhannya.
Beberapa penelitian terhadap aktivitas asam lemak sebagai antimikrob
memperlihatkan aktivitas yang bervariasi terhadap mikroba uji, dimana bakteri Gram
positif lebih sensitif dibandingkan bakteri Gram negatif (Quattara et al.1997). Pada
penelitian ini tidak ada perbedaan aktivitas antimikrob dari EEP antara bakteri Gram
positif dengan bakteri Gram negatif. Oleh karena EEP bukan ekstrak murni,
kemungkinan komponen-komponen yang terkandung di dalam EEP bersifat
sinergisme sehingga campuran beberapa komponen dapat menghambat mikrob uji.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Wang et al. (1993) menunjukkan
bahwa gabungan beberapa monogliserida yang berasal dari minyak kelapa lebih
efektif sebagai anti-listeria dibandingkan hanya dengan menambahkan monolaurin
saja di dalam susu pasteurisasi. Kombinasi beberapa monogliserida terutama
monokaprin dan monolaurin memperlihatkan aktivitas sinergisme lebih besar
menghambat L. monocytogenes dalam susu pasteurisasi dibandingkan dengan
menambahkan monolaurin.
Wang dan Johnson (1992), menyatakan bahwa monolaurin tidak mampu
menghambat Listeria monocytogenes dalam susu dengan kandungan lemak yang
tinggi. Aktivitas asam lemak sebagai antibakteri di dalam susu juga dipengaruhi oleh
kandungan lemak susu dan suhu. Antibakteri asam lemak dalam susu skim
pasteurisasi yang disimpan pada suhu 4ºC lebih aktif dibandingkan bila disimpan pada
suhu 13ºC atau 23ºC (Wang et al.1993). Aktivitas menghambat yang disebabkan
asam lemak dan monogliserida juga dipengaruhi oleh komposisi media, karena
komponen dalam makanan mampu berinteraksi dengan asam lemak sehingga
ketersediaan antimikroba tersebut dapat menurun (Wang dan Johnson 1992 dan
Quattara et al. 1997).
44

Kemampuan senyawa antibakteri dalam media pertumbuhan dipengaruhi oleh


pH, suhu, protein, lemak, karbohidrat dan aktivitas air (Nychas dan Tassou 2000). pH
EEP sebelum perlakuan adalah 4.6 maka dengan penambahan EEP dapat menurunkan
pH susu menjadi 5.7-5.9, yang mungkin mempengaruhi jumlah bakteri dalam susu.
Aktivitas asam lemak sebagai antimikrob juga sangat dipengaruhi oleh struktur asam
lemak dan sifat polaritasnya, selain itu dipengaruhi juga oleh gabungan beberapa
senyawa antimikrob, pH dan suhu penyimpanan media (Řiháková et al. 2001; Yuste
dan Fung 2004). Kim dan Fung (2004) menambahkan bahwa penggunaan ekstrak
alami asal tumbuh-tumbuhan tanpa dicampur dengan antimikrob lain memerlukan
dosis yang lebih besar sehingga akan berpengaruh pada organoleptik makanan.
Tekanan terhadap pemakaian antibiotik yang terbatas dalam pangan asal hewan
menjadi tantangan dalam industri susu, walaupun antibiotik masih digunakan untuk
melawan mastitis (Bradley 2002). Hal tersebut menyebabkan banyak penelitian
dilakukan untuk mendapatkan strategi alternatif untuk pengobatan mastitis. Adanya
sinergisme dari mekanisme aktivitas antimikrob asam lemak dan monogliserida
terhadap membran mikrob memungkinkan aktivitasnya baik terhadap mikrob yang
sudah resisten terhadap antimikrob lain (Bergsson et al. 1999, diacu dalam Nair et al.
2005).

Simpulan
Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) stabil dan tetap aktif sebagai antimikrob
pada suhu dan lama pemanasan 100ºC dan 121ºC selama 15-60 menit, suhu dan lama
penyimpanan pada suhu 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6
bulan serta pH dari 3-11, namun tidak stabil pada suhu dan lama penyimpanan -20ºC
(suhu freezer) 1-6 bulan.
Konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) pada 3.36 mg/ml susu yang
diinkubasi pada suhu 39ºC (suhu tubuh sapi) selama 12 jam mampu menurunkan
jumlah S. aureus dan E. coli. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) bisa
dikembangkan sebagai antimastitis dan pengawet makanan melalui beberapa
penelitian lanjutan.
45

VI. PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KASAR ETANOL PLIEK U


TERHADAP JUMLAH MIKROB FESES, HATI DAN GINJAL MENCIT

(The effects of crude ethanol extract of pliek u on


the number of microbes of faeces, liver and kidney of mice)

Abstract
Acute treatments of crude ethanol extract of pliek u (EEP), Aceh traditional
fermented food was evaluated in mice. In the present study, the effects of a single oral
dose of crude EEP from each concentration at 370 and 733 mg/kg body weight were
detected to their effect on the number of microbes in faeces, the liver and the kidney
structure of mice at the fourth day, hence the most toxic of crude EEP doses can also
be screened. The average of mice body weight were 26-29 g. The number of microbes
of faeces was measured by Total Plate Count method. The preparation of liver and
kidney were made by using paraffin method and hematoxyllin-eosin staining. There
were not significantly differ of EEP treatments on the microbes in faeces (P>0.05), but
there was an inclined reduction of microbes count at 1.1 log cfu/g after EEP treatment
at 733 mg/kg body weight of mice. The results showed that there were not
significantly differ of the change of the liver and the kidney weight (P>0.05).
Histopathological results revealed minor damage in liver and kidney tissue of mice,
but no significantly differ of EEP treatments on the damage of liver and kidney
compared to control (P>0.05). Based on the number of microbes of faeces and
parameters of liver and kidney, crude EEP was not toxic as antimicrobial compound in
single oral dose (acute treatment). It is suggested that needed further detection of
chronic treatment of EEP at 370 and 733 mg/kg body weight of mice.

Keywords: toxicity, pliek u, microbial in faeces, liver, kidney, mice

Pendahuluan
Kelapa telah digunakan baik sebagai makanan maupun obat selama berabad-
abad di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Minyak kelapa telah digunakan untuk
mengatasi beragam masalah kesehatan, mulai dari pengobatan penyakit kulit, saluran
pencernaan, penyakit kelamin hingga influenza (Fife 2005). Telah diketahui bahwa
minyak kelapa tidak memberi pengaruh yang buruk terhadap tubuh karena kandungan
asam lemak jenuhnya sangat baik untuk tubuh. Kandungan asam laurat yang tinggi
(40-60%) dalam daging buah dan minyak kelapa menyebabkan minyak kelapa
mempunyai aktivitas antimikrob dan sekaligus dapat meningkatkan sistem imun
(Kabara 2000; Shilhavy 2004).
Pada umumnya antimikrob yang berasal dari tumbuhan, hewan dan
mikroorganisme dalam bentuk bahan asal atau hasil ekstraknya dapat berperan pada
mekanisme pertahanan tubuh (Hsieh et al. 2001; Lopez-Malo et al. 2000, diacu dalam
Kim dan Fung 2004). Beberapa ekstrak asal tumbuhan mampu melindungi organ
tubuh terhadap bahan-bahan kimia yang berbahaya (Manna et al. 2006 dan Rajesh
46

dan Latha 2004). Sebaliknya ekstrak asal tumbuh-tumbuhan dapat merusak hati dan
ginjal apabila diberikan dalam dosis yang tinggi dan pemberian waktu yang lama
(chronic treatment) sampai tiga bulan (Al-Ashban et al. 2005).
Masyarakat Aceh secara turun menurun menggunakan minyak kelapa hasil
fermentasi (minyeuk pliek u) sebagai minyak goreng, selain itu juga digunakan sebagai
obat untuk menurunkan panas, sakit persendian, luka, sakit kepala dan sakit perut
(informasi dari lapangan). Pliek u merupakan residu yang diperoleh dari proses
pemeraman daging buah kelapa setelah diambil minyaknya (Bakar et al. 1985,
komunikasi langsung). Pliek u tidak pernah lepas dari menu sehari-hari masyarakat
Aceh sebagai bumbu, dan juga digunakan sebagai pakan ayam. Sampai sekarang tidak
ada laporan sakit karena mengkonsumsi pliek u dan olahannya dan tidak ada informasi
yang berkaitan dengan keamanan mengkonsumsi pliek u. Untuk melengkapi data
mengenai pliek u dan ekstraknya, maka karakterisasi toksisitasnya perlu dilakukan
apabila diaplikasikan untuk kesehatan dengan pemberian secara oral.
Salah satu cara masuknya bahan-bahan berbahaya ke dalam tubuh adalah
melalui saluran pencernaan (Omaye 2004). Banyak faktor yang mempengaruhi
jumlah flora dalam usus diantaranya adalah kondisi fisik inang, kekebalan inang,
makanan, interaksi antar flora (bakteri), antibiotik dan makanan yang terkontaminasi
dengan mikrob (Mitsuoka 1978). Pemberian antibiotik dapat menurunkan bakteri
normal dalam usus sehingga dapat meningkatkan infeksi yang disebabkan bakteri lain.
Pemberian antibiotik juga menyebabkan patogenitas suatu bakteri yang pada awalnya
digolongkan patogenitas rendah menjadi tinggi. Pemberian antibiotik secara rutin
selama 7-10 hari akan membunuh sebagian besar bakteri dalam saluran pencernaan
(Linder 1992).
Penelitian lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak kasar
etanol dari pliek u (EEP) sebagai antimikrob terhadap flora saluran pencernaan,
perubahan hati dan ginjal mencit. Diharapkan hasil penelitian dapat memberikan
informasi ilmiah mengenai toksisitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP).

Metode Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Pembuatan preparat dan
pengamatan histopatologi dilakukan di Laboratorium Bagian Patologi Fakultas
47

Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tahap penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Pliek u
Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, diperoleh dari tempat
produksi rumah tangga, berlokasi di Desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD).

Hewan Uji
Mencit jantan (Mus musculus) dijadikan sebagai hewan uji, berjumlah 9 ekor
diperoleh dari ruang hewan percobaan Laboratorium Patologi FKH-IPB. Mencit
berumur 7-8 minggu dengan berat badan 26-29 g. Mencit ditempatkan dalam bak
plastik yang beralas sekam dengan tutup jeruji. Ditempatkan dalam ruang yang
bersuhu 25-28ºC dan cahaya yang diatur 12 jam terang dan 12 jam gelap serta diberi
makan (pakan ikan SPA 5) dan minum ad libitum. Pemilihan hewan coba berdasarkan
prosedur yang dilakukan Holzhűtter et al. (2003), diacu dalam Luo et al. (2004); Al-
Ashban et al. (2005).

Ekstraksi Pliek u
Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006)
dan Sudirman (2005a). Ekstraksi dilakukan dengan menambahkan pliek u 20 g dalam
200 ml etanol 96% (Bratachem). Campuran tersebut dikocok menggunakan
refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific, Edison, USA)
dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring menggunakan fritted
glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu pliek u diekstraksi
kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang diperoleh setiap 24
jam dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-
50oC dengan tekanan 175 mBAR untuk etanol 96%. Ekstrak yang diperoleh dipekat
ulang menggunakan kompresor udara menjadi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP).
Tahap ekstraksi dapat dilihat pada Lampiran 4.

Penentuan Dosis dan Cara Pemberian EEP


Penentuan dosis dilakukan berdasarkan Supartinah-Noer et al. (2003) yang telah
dimodifikasi. Dosis EEP (perlakuan akut) yang digunakan berdasarkan konsentrasi
nilai LC50 pada uji toksisitas awal ekstrak kasar etanol dari pliek u yang menggunakan
larva udang-udangan (Artemia salina L), yaitu 3.36 mg/ml. Dosis LC50 dikalikan tiga
48

dan enam, sehingga diperoleh dosis perlakuan masing-masing 10.08 mg/mencit (370
mg/kg bb) dan 20.16 mg/mencit (733 mg/kg bb). Mencit berjumlah 9 ekor dibagi
dalam tiga kelompok perlakuan, yaitu kontrol hanya diberikan akuades steril,
sedangkan dua kelompok perlakuan yang lain masing-masing diberikan EEP dosis
tunggal 370 mg/kg bb (EEP I) dan 733 mg/kg bb (EEP II) mencit. Pemberian bahan
uji dilakukan per oral menggunakan sonde lambung. Sebelum perlakuan, mencit
dipuasakan selama 12 jam dan ditimbang berat badannya.

Pengamatan terhadap Jumlah Mikrob Feses Mencit


Setelah perlakuan (pemberian akut) dosis EEP I dan EEP II, tingkah laku dan
keadaan mencit diamati (Shah et al. 1998). Jumlah mikrob feses dan histopatologi hati
dan ginjal diamati pada hari keempat. Pengamatan terhadap jumlah mikrob feses
dilakukan berdasarkan metode hitung cawan (Swanson et al. 1992). Feses dari setiap
mencit langsung diambil dari usus dan rektum. Pengujian dilakukan secara duplo
untuk masing-masing pengenceran. Jumlah mikrob dihitung berdasarkan jumlah
koloni yaitu colony forming unit per gram feses (cfu/g).

Pengamatan terhadap Kerusakan Hati dan Ginjal Mencit


Pengaruh ekstrak kasar EEP terhadap organ hati dan ginjal diamati pada hari
keempat. Sebelum dinekropsi berat badan mencit ditimbang, kemudian dibius
menggunakan eter berlebih. Organ hati dan ginjal juga ditimbang dan dilihat
perubahan patologinya. Organ dimasukkan dalam larutan formalin 10%, dilanjutkan
dengan membuat preparat sayatan dengan metode parafin dan pewarnaan
hematoksilin-eosin. Sayatan histologis hati dan ginjal diamati di bawah mikroskop
cahaya pembesaran 10 dan 100x (Shah et al. 1997, diacu dalam Al-Ashban et al.
2005). Penilaian kerusakan organ hati dilakukan di Laboratorium Bagian Patologi
FKH-IPB berdasarkan komunikasi langsung dengan Dr. drh. Sri Estuningsih.
Pengukuran parameter histopatologi organ hati dan ginjal berdasarkan
pengamatan 10 lapang pandang dengan memberi skor pada parameter sitoplasma, inti
sel dan pembuluh darah, yang disajikan pada Tabel 10. Pemeriksaan sitologi ginjal
meliputi glomuerulus,ruang Bowman dan sel-sel tubulus, selain itu diamati juga
perdarahan yang terjadi pada jaringan. Pemberian skor secara kualitatif ditetapkan
hanya pada glomerulus dan tubulus berdasarkan 10 lapang pandang dapat dilihat pada
Tabel 11.
49

Tabel 10 Parameter dan tingkat kerusakan hati

Skor Parameter
Sitoplasma Inti sel Pembuluh darah
0 Normal (homogen) Normal Normal
1 Degenerasi parenkim; atau Ada yang normal; Radang sangat sedikit
Degenerasi hidrofik Piknosis sangat sedikit (<<)
(<<)
2 Degenerasi parenkim; Ada yang normal; Radang sedang (<)
Degenerasi hidrofik(<); Piknosis sedang (<)
Degenerasi lemak sangat
sedikit (<<);
3 Degenerasi parenkim>;atau Ada yang normal; Radang banyak
Degenerasi hidrofik(>); Piknosis sedang-
Degenerasi lemak sedikit (<) banyak (>)
4 Degenerasi parenkim; Nekrosis nekrosis
Degenerasi lemak sangat
banyak (>>); nekrosis
Keterangan: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang,
3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah

Tabel 11 Parameter dan tingkat kerusakan ginjal

Skor Parameter
Glomerulus Tubulus
0 Normal (homogen) (N) normal (N)
1 Edema (E) Degenerasi parenkim/berbutir/granul sel
tubulus (DP)
2 Nekrosa (inti menghilang sebagian) degenerasi hidrofik (sel membengkak,
(Ns) berisi air) (DH)
3 Radang (di sekitar glomerulus) (R) degenerasi lemak (vakuolisasi sel tubulus)
(DL)
4 Atrofi (inti hilang, pengecilan nekrosa, ada protein dalam lumen tubulus
glomerulus), ada protein di ruang (Ns,P)
bowman (A)
Keterangan: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang,
3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah

Analisis Data
Data jumlah mikrob feses, berat hati dan ginjal dianalisis dengan Anova, apabila
berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Data jumlah
mikrob ditansformasikan menjadi log cfu/g feses. Data parameter tingkat kerusakan
hati dan ginjal dianalisis dengan uji Kruskal-Wallis, apabila hasil berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji multiple comparison. Perhitungan statistik dilakukan dengan
50

menggunakan SPSS versi 13 for windows. Semua data ditampilkan sebagai rata-rata ±
standar deviasi (SD) dan disajikan dalam bentuk Tabel dan Gambar.

Hasil dan Pembahasan

Pengaruh Ekstrak Kasar Etanol dari Pliek u (EEP) terhadap Jumlah Mikrob
Feses Mencit

Pengujian terdahulu secara in vitro tidak bisa memprediksikan efek antimikrob


terhadap inang, sehingga uji toksisitas lanjutan secara in vivo. Uji ini perlu dilakukan
untuk mengetahui aktivitas ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) sebagai antimikrob
dan efeknya pada flora normal saluran pencernaan, serta toksisitasnya pada hati dan
ginjal mencit. Pengaruh pemberian EEP (pemberian akut) dengan dosis 370 (EEP I)
dan 733 mg/kg bb (EEP II) terhadap jumlah mikrob feses mencit disajikan pada Tabel
12 dan Lampiran 11.

Tabel 12 Jumlah mikrob feses mencit setelah diberi EEP

Perlakuan Rata-rata jumlah mikrob feses (log cfu/g)


EEP 0 (kontrol) 7.63 ±0.17
EEP I (370 mg/kg bb) 7.53 ±0.04
EEP II (733 mg/kg bb) 6.54±0.08

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian EEP dengan


dosis yang berbeda tidak mempengaruhi jumlah mikrob feses mencit (P>0.05)
dibandingkan dengan kontrol (Tabel 12). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
pemberian dosis 370 dan 733 mg/kg berat badan mencit tidak menurunkan jumlah
mikrob feses mencit. Walaupun secara statistik tidak ada perbedaan yang nyata, tetapi
jumlah mikrob cenderung turun setelah pemberian EEP 6 x dosis LC50 . Penurunan
jumlah mikrob adalah 1.1 log cfu/g feses mencit dibandingkan dengan kontrol,
sedangkan pemberian EEP 3 x dosis LC50 hanya menurunkan 0.1 log cfu/g feses
mencit. Penurunan jumlah mikrob > 1 log menunjukkan adanya aktivitas antimikrob,
walaupun tidak diberikan secara rutin. Hal ini mengindikasikan bahwa pemberian
akut EEP sebanyak 733 mg/kg berat badan atau 6 x dosis LC50 tidak baik bila
diberikan secara rutin. Pemberian antibiotik secara rutin selama 7-10 hari akan
membunuh sebagian besar bakteri dalam saluran pencernaan (Linder 1992).
Jumlah mikrob (bakteri ) yang terdapat dalam feses mencit pada penelitian ini
masih berada dalam kisaran jumlah normal bakteri feses saluran pencernaan bila
51

dibandingkan dengan jumlah bakteri saluran pencernaan manusia. Jumlah bakteri


dalam usus kecil manusia yang sehat berkisar antara 105-108/g atau 103-109/g,
sedangkan dalam usus besar mencapai lebih dari 1011-1012 g (Mitsuoka 1978; Hao dan
Lee 2004). Ada lebih dari 400 spesies dan subspesies bakteri dalam saluran
pencernaan. Bakteri yang lazim ditemukan dalam usus mencit, tikus, tupai dan
marmut adalah lactobacilli dan bakteri anaerobik. Bakteri golongan koli lebih tinggi
jumlahnya pada tikus dan tupai dibandingkan pada mencit (Mitsuoka 1978). Secara
umum jumlah mikrob normal dalam saluran pencernaan manusia dan hewan
dipengaruhi oleh sekresi lambung. Mikroorganisme sudah ada dipermukaan tubuh
manusia dan hewan sejak lahir dan menjadikannya sebagai tempat yang sesuai untuk
pertumbuhan hidupnya (Hao et al. 2004).
Hasil penelitian terhadap jumlah bakteri pada mencit yang telah dilakukan oleh
Bergonzelli et al. (2003), menunjukkan bahwa pemberian beberapa minyak essensial
dapat menghilangkan infeksi Helicobacter pylori 20-30%, walaupun tidak mampu
menurunkan jumlah Helicobacter pylori secara signifikan dibandingkan dengan
kontrol. Bergonzelli et al (2003) juga menyarankan agar minyak essensial tidak
digunakan sebagai anti-Helicobacter, namun dapat digunakan sebagai bahan
tambahan dalam makanan pasien untuk menunjang pengobatan terhadap infeksi yang
disebabkan oleh Helicobacter pylori.
Pada penelitian ini tidak menunjukkan penurunan jumlah bakteri normal feses
mencit secara signifikan (P>0.05), namun untuk menjaga flora normal saluran
percernaan maka dapat dipertimbangkan pemberian EEP dengan dosis tunggal tidak
lebih dari 733 mg/kg berat badan.

Pengaruh Pemberian Ekstrak Kasar EEP terhadap Hati dan Ginjal Mencit
Pengaruh pemberian EEP peroral terhadap hati dan ginjal diawali dengan
menimbang berat hati dan ginjal yang dinyatakan dalam persen terhadap berat badan
mencit disajikan pada Tabel 13 dan Lampiran 12. Pemberian EEP dengan satu kali
pemberian pada dosis rendah maupun tinggi tidak mempengaruhi (P>0.05) berat hati
dan ginjal. Persentase berat hati dan berat ginjal per berat badan menunjukkan tidak
ada perbedaan yang nyata (P>0.05) dibandingkan dengan dengan kontrol.
Berdasarkan pengukuran berat hati dan ginjal mencit yang diberi EEP 733 mg/kg bb
cenderung memperlihat sedikit peningkatan jika dibandingkan dengan kontrol (Tabel
13).
52

Perubahan berat hati dan organ mungkin hanya bersifat sementara. Perubahan
berat organ merupakan petunjuk awal efek toksik pada organ sasaran (Lu 1995). Berat
organ yang lebih besar menunjukkan terjadinya steatosis, yaitu perlemakan dalam sel
hati yang dipandang sebagai gejala efek toksik secara langsung (Vandenberghe 1996;
Al-Ashban et al. 2005). Berat organ yang lebih rendah dapat disebabkan oleh
banyaknya sel hati yang mengalami nekrosis, dimana nekrosis merupakan suatu
manifestasi toksik yang berbahaya. Perubahan berat hati tidak selalu berakibat fatal
(kritis), karena hati merupakan organ yang mempunyai kapasitas pertumbuhan yang
luar biasa (reversible) (Lu 1995).

Tabel 13 Persentase berat hati dan ginjal per berat badan mencit setelah diberi
EEP

Perlakuan Rataan berat organ/berat badan (%)


hati ginjal
EEP 0 (kontrol) 6.05±1.36 1.79±0.19
EEP I (370 mg/kg bb) 6.96±0.69 1.89±0.10
EEP II (733 mg/kg bb) 7.72±0.72 2.01±0.09

Berdasarkan pengamatan secara histopatologi pada beberapa parameter organ


hati menunjukkan bahwa secara umum struktur jaringan hati terlihat normal,
kerusakan ringan hingga kerusakan sedang (Tabel 14 dan Gambar 12). Berdasarkan
10 lapang pandang hanya sekitar 1-2 lapang pandang yang mengalami kerusakan
ringan pada struktur hati, baik pada kontrol maupun yang diberi EEP I dan EEP II
(Lampiran 13). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa struktur hati
tidak berbeda nyata (P>0.05) antar perlakuan.
Pengamatan terhadap rata-rata parameter hati pada perlakuan kontrol, pemberian
EEPI dan EEP II menyebabkan kerusakan ringan pada hati mencit. Berdasarkan
komunikasi langsung dengan Dr. drh. Sri Estuningsih dan pengamatan hasil penelitian
menunjukkan bahwa organ hati mengalami kongesti, namun vena sentralis terlihat
normal dan susunan sel masih teratur. Inti sel yang tidak normal hanya sedikit dan
sitoplasma yang tidak homogen ditemukan dalam jumlah sedang (Gambar 12).
53

Tabel 14 Tingkat kerusakan hati mencit

Perlakuan No Mencit Parameter


Sitoplasma nukleus P. darah
EEP 0 1 1.4 0 1.4
2 2.2 0.9 0.7
3 1.9 1 1.2
Rataan 1.83±0.40 0.83±0.55 1.1±0.36
EEP I 1 1.8 0.8 0.7
(EEP 370 2 1.4 1.4 2.2
mg/kg bb) 3 2.6 1 0.7
Rataan 1.93±0.81 1.07±0.30 1.2±0.87
EEP II 1 1 1 0.3
(EEP 733 2 2.7 1.3 2.1
mg/kg bb) 3 1 0.7 0.7
Rataan 1.57±0.98 1.00±0.30 1.03±0.95
Parameter: 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang,
3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah

Struktur hati normal pada mencit ditandai dengan pembuluh darah lebar, inti sel
normal, susunan sel normal, sinusoid utuh, sitoplasma homogen (Gambar 12A).
Kerusakan ringan pada jaringan hati ditandai dengan pembuluh darah masih lebar, inti
sel masih normal, tapi ada sedikit tidak normal (piknosis), kemudian sitoplasma
sebagian tidak homogen (ada sedikit degenerasi parenkim atau degenerasi hidrofik),
susunan sel masih normal dan tidak ada radang (Gambar 12B, 12C dan 12D). Menurut
Supartinah-Noer et al. (2003), kerusakan ringan ditandai dengan vena sentralis
melebar, susunan sel tidak teratur, inti sel tidak normal, sinusoid tidak utuh dan
sitoplasma homogen.
Kerusakan yang ringan pada hati semua mencit pada penelitian ini bila
dibandingkan dengan kontrol mungkin tidak disebabkan oleh pemberian EEP, namun
dapat disebabkan ada faktor lain yang mempengaruhi organ hati, seperti pakan dan
lingkungan. Menurut Manna et al. (2006), senyawa-senyawa organik (kimia)
termasuk obat dan toksikan yang berasal dari makanan dan lingkungan dapat
menyebabkan kerusakan sel-sel organ hingga terjadi peningkatan aktivitas metabolik
tubuh. Adanya perubahan jaringan organ hati dapat dipengaruhi oleh jenis tumbuhan
dan komponen toksik yang terkandung di dalam ekstrak. Mencit yang diberi ekstrak
tumbuhan Apocynaceae (jenis tumbuhan alamanda, ginje dan kamboja) memberi
kerusakan yang bervariasi pada jaringan hati mulai dari kerusakan ringan hingga
parah dan dipengaruhi oleh jenis tumbuhannya dan zat toksik seperti glikosida
(Supartinah-Noer et al. 2003).
54

VS

VS
SS
K

VS
DP
SI
50μm 50μm

A B

DH

DH

DP
50μm
50μm
C D

Gambar 12 Histologi jaringan hati mencit. Hati normal pembesaran 10x (A) dan
tingkat kerusakan ringan pada kontrol pembesaran 100x (B), kerusakan ringan
pada hati mencit kelompok EEP 370 mg/kg pembesaran 100x (C), kerusakan
ringan pada hati mencit kelompok EEP 733 mg/kg pembesaran 100x (D).
vena sentralis (VS), susunan sel (SS), sinusoid (SI), kongesti (K), degenerasi
parenkim (DP), degenerasi hidrofik (DH), sel mengalami piknosis (P).
Pewarnaan HE

Berdasarkan pengamatan secara histologi pada jaringan ginjal menunjukkan


secara umum struktur jaringan ginjal terlihat normal hingga mengalami kerusakan
yang tidak berarti (kerusakan ringan) (Tabel 15 dan Gambar 13). Pengamatan pada
struktur jaringan ginjal yang diberikan EEP 370 dan 733 mg/kg berat badan mencit
55

(pemberian satu kali) menunjukkan tidak berbeda nyata (P>0.05) dibandingkan


dengan kontrol (Tabel 15). Berdasarkan pengamatan dari 10 lapang pandang pada
jaringan ginjal terlihat normal hingga mengalami kerusakan ringan (Lampiran 14).
Kongesti juga terjadi pada semua ginjal mencit (Gambar 13). Pengamatan terhadap
kerusakan ginjal meliputi perubahan pada glomerulus, ruang Bowman, tubulus (sel-sel
tubulus proksimalis atau sekitar glomerulus dan perdarahan dalam jaringan (ruang
Bowman dan di dalam serta antara tubulus).

Tabel 15 Tingkat kerusakan ginjal mencit

Perlakuan Ulangan Parameter


Glomerulus Tubulus
EEP 0 1 0.7 2.3
(kontrol) 2 0.6 1.3
3 0.7 1.4
Rataan 0.67±0.05 1.67±0.55
EEP I 1 1.5 1
(EEP 370 2 1 1
mg/kg bb) 3 1.3 1.9
Rataan 1.27±0.25 1.3±0.51
EEP II 1 1 1.1
(EEP 733 2 1 1
mg/kg bb) 3 1 1.1
Rataan 1±0 1.07±0.05
Parameter : 0 = normal, 1 = kerusakan ringan, 2 = kerusakan sedang,
3 = kerusakan sedang-parah, 4 = kerusakan parah

Pemberian ekstrak kasar EEP dengan satu kali pemberian (acute treatment) baik
dosis rendah maupun dosis tinggi tidak bersifat toksik pada ginjal. Perubahan organ
ginjal yang terjadi secara histopatologik pada mencit kontrol dan yang diberi EEP
hanya degenerasi parenkim dan degenerasi hidrofik (sel yang membengkak) (Gambar
13). Reaksi toksik pada ginjal terhadap toksikan ditandai adanya pendarahan,
ditemukannya eritrosit di antara dan dalam tubulus serta sekitar glomerulus dan ruang
Bowman.
Pada penelitian ini tidak ditemukan pendarahan di ruang Bowman, namun
pendarahan ada terjadi di dalam pembuluh darah dan sedikit antara tubulus ginjal.
Diduga adanya kongesti tidak disebabkan oleh ekstrak kasar EEP, namun faktor lain
seperti cara pembiusan terhadap mencit atau karena sebelumnya sudah terpajan
(terpapar) dengan toksikan. Adanya perubahan sel tubulus (degenerasi parenkim dan
56

hidrofik) pada semua mencit diduga sudah ada sebelum perlakuan (Gambar 13B, 13C
dan 13D).

TD K
DP
G
TP

50μm 50μm
A B

DP

RB
DP

DH

DH
50μm
50μm
C D

Gambar 13 Histologi jaringan ginjal mencit. Ginjal normal pembesaran 10x (A) dan
tingkat kerusakan ringan pada kontrol, pembesaran 100x (B), kerusakan ringan
pada ginjal mencit kelompok EEP 370 mg/kg, pembesaran 100x (C),
kerusakan ringan pada ginjal mencit kelompok EEP 733 mg/kg, pembesaran
100x (D). glomerulus (G), TP: tubulus proksimal, TD: tubulus distal, RB:
Ruang Bowman, K: kongesti, DP: degenerasi parenkim, DH: degenerasi
hidrofik. Pewarnaan HE
.
57

Parameter kerusakan ginjal akibat zat toksik adalah perubahan struktur


glomerulus dan ruang Bowman (diameternya berubah) serta kematian sel tubulus.
Selain perubahan struktur ginjal, pengaruh zat toksik juga ditandai dengan
peningkatan nitrogen urea dan kreatinin dalam serum darah (Manna et al. 2006).
Selain pengaruh toksikan, kerusakan ginjal juga dipengaruhi oleh faktor luar ginjal
yang dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, sehingga sulit untuk
memastikan bahwa kerusakan yang timbul disebabkan oleh toksikan.
Kerusakan yang terjadi pada hati dan ginjal merupakan kerusakan yang
cenderung menjadi pulih kembali (reversible). Hal tersebut terjadi bila tubuh terpapar
dengan zat toksik pada kadar yang rendah atau dalam waktu yang singkat dan sifat
toksikan serta keadaan hewan coba (Lu 1995). Pertahanan permukaan tubuh terhadap
bahan-bahan kimia (antimikrob) seperti asam-asam lemak, polipeptida dan enzim
dapat terjadi karena adanya hubungan yang erat antara mukosa dan epitel terutama
sel-sel epitel, perpindahan cairan dan pergerakan mukus oleh silia (Janeway et al.
2001). Pemberian EEP secara oral memberi pengaruh yang tidak nyata terhadap flora
usus, hati dan ginjal. Hal tersebut mungkin disebabkan peran pertahanan permukaan
saluran pencernaan terutama sel-sel epitel saluran pencernaan atau kemungkinan
komponen yang terdapat di dalam EEP tidak toksik.

Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian dosis satu
kali (acute treatment) EEP pada mencit dengan dosis 370 dan 733 mg/kg tidak
mempengaruhi jumlah mikrob saluran pencernaan. Mencit perlakuan dan kontrol
hanya mengalami kerusakan ringan pada hati dan ginjal. EEP tidak toksik bila
diberikan satu kali pemberian pada dosis 370-733 mg/kg berat badan.
58

VII. DETEKSI DAN KARAKTERISASI AWAL SENYAWA ANTIMIKROB


DARI EKSTRAK ETANOL PLIEK U, MAKANAN TRADISIONAL ACEH

(Detection and preliminary characterization of antimicrobial compounds of


ethanol extracts of pliek u, Aceh traditional food)

Abstract
Pliek u (obtained by traditionally fermentation of coconut meat) is a potential
source of antimicrobial compounds. This research was aimed to detect their active
compounds by bioautographic method and to analyze their chemical composition by
GC-MS. For this purposes, pliek u was extracted with ethanol 96% to get crude
ethanol extract of pliek u (EEP) and to get ethanol extract of residual pliek u (EERP)
which was previously extracted by hexane. Crude EEP separated into four
bioautographic spots with different Rfs (0.93, 0.71, 0.19, and 0.10) which were all
shown to be active against Staphyloccoccus aureus. Similar result was shown by
EERP, but only three bioautographic spots (Rfs 0.77, 0.63, and 0.4). Crude EEP
consisted of 22 components representing 99.98% with fatty acids, ester, and alcohol as
major constituents and aliphatic hydrocarbon. EERP consisted of 9 components
representing 99.80% with alcohol as major constituents and fatty acids, ester, 4-
Dibenzofuramine and amine as minor constituents. The present of many active
compounds in pliek u supports the use of pliek u as spice to improve the quality of
food and encourages further studies to determine those active compounds.

Keyword: Antimicrobe detection; chemical composition; pliek u

Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara yang menghasilkan beragam makanan
fermentasi tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Produk-produk fermentasi
tradisional tersebut banyak ditemukan dalam bentuk minuman, saos, bumbu dan
makanan berprotein tinggi. Pliek u adalah salah satu produk fermentasi tradisional dari
Aceh, yang diperoleh dari fermentasi daging buah kelapa tanpa disengaja selama
beberapa hari. Produk ini merupakan hasil dari fermentasi terakhir yang diperoleh
setelah melewati fermentasi tahap 1 dan fermentasi tahap 2 dan tahap 3 (untuk
mendapatkan minyak pliek u) (komunikasi langsung dengan masyarakat, Bakar et al.
1985). Pliek u sudah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu dan meluas
penggunaannya di NAD secara tradisional sebagai bumbu masak untuk membuat
berbagai menu makanan tradisional Aceh.
Makanan fermentasi tradisional diperoleh dari fermentasi bahan dasar yang
masih mentah atau hanya dipanaskan, sehingga menghasilkan produk yang memiliki
sifat-sifat karakteristik yang khas. Makanan fermentasi tradisional mempunyai nilai
nutrisi yang tinggi karena dapat menurunkan senyawa toksik, mudah dicerna serta
menghasilkan vitamin dan antibiotik (Wolf 1997; Campbell-Platt 2000). Masyarakat
59

mempercayai bahwa mengkonsumsi makanan fermentasi tradisional dapat melindungi


mereka dari berbagai penyakit. Beberapa negara menghasilkan makanan fermentasi
tradisional yang digunakan sebagai anti infeksi, seperti Koumiss dari Rusia yang
diberikan untuk mengobati tubercolusis, pulque dari Meksiko dan bubur fermentasi
dari Tanzania, Sudan dan Kenya yang diberikan kepada anak-anak sebagai antidiare
serta tempe dari Indonesia yang juga menghasilkan senyawa antimikrob (Dirar 1992;
Watson et al. 1996; Svanberg 1992; Gandjar 2000; Farnworth 2003).
Fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan makanan tertua di dunia,
yang sejak lama (ratusan tahun) secara turun temurun sudah dilakukan dan produknya
dikonsumsi lebih banyak oleh masyarakat pedalaman atau pedesaan berdasarkan adat
dan tradisi mereka (Battcock dan Azam-Ali 1998; Prajapati dan Nair 2003). Produk-
produk fermentasi dihasilkan dari proses biokimia atau proses dekomposisi lambat
yang disebabkan oleh mikroorganisme atau enzim (Walker 1988). Proses fermentasi
sangat tergantung pada jenis, jumlah dan aktivitas mikroorganisme, komposisi kimia
bahan dasar dan lingkungan, sehingga produk yang dihasilkan bisa menjadi lebih baik
dibandingkan bahan asal (Djien 1982; Battock dan Azam-Ali 1998; Chisti 2000).
Makanan fermentasi mengandung asam organik, bakteriosin, alkohol, asam-
asam lemak dan enzim yang dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme
pembusuk dan patogen. Hal tersebut menyebabkan senyawa-senyawa alami yang
dihasilkan dari fermentasi kultur dapat diekstrak dan dipurifikasi, yang digunakan
sebagai pengawet makanan atau antimikrob (Hammes dan Tichazek 1994; Ottogali
dan Galli 1997; Mortajemi et al. 1996; Hoover 2000). Akhir-akhir ini makanan
fermentasi menjadi populer karena dapat memperpanjang masa simpan tanpa
penambahan bahan pengawet.
Secara tradisional, minyak kelapa digunakan untuk beragam masalah kesehatan,
seperti pengobatan penyakit kulit, saluran pencernaan, penyakit kelamin hingga
influenza (Fife 2005). Minyak kelapa juga digunakan sebagai bahan campuran obat
yang diberikan melalui oral (Mahran 1991). Berdasarkan beberapa laporan, daging
buah dan minyak kelapa mengandung berbagai bahan aktif yang berpengaruh sebagai
bahan terapi.
Kandungan lemak dalam kelapa seperti asam-asam lemak dan derivatnya
merupakan komponen fungsional yang sangat bermanfaat secara fisiologis, terutama
sebagai antimikrob (Kabara 2000; Enig 2002). Asam-asam lemak bebas (jenuh rantai
sedang) dan monogliseridanya terbukti memiliki aktivitas antimikroba terhadap
60

berbagai mikroba seperti bakteri, jamur dan virus serta tidak menimbulkan resistensi
(Kabara 1978; Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993; Nair et al. 2005).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ekstrak kasar
etanol (EEP) mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram
negatif serta fungi (C. albicans), sedangkan ekstrak etanol (EERP) hanya mampu
menghambat bakteri Gram positif dan Gram negatif. Oleh sebab itu untuk
mengetahui perbedaan aktivitas kedua ekstrak tersebut maka perlu dideteksi
kandungan senyawa aktif di dalam ekstrak EEP dan EERP untuk mengetahui jumlah
dan karakter komponennya berdasarkan mentode bioautografik dan analisis GC-MS.
Penelitian ini dilakukan juga untuk mendukung makanan fermentasi tradisional Aceh
(pliek u) sebagai makanan kesehatan.

Metode Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi-Biokimia, Pusat
Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB)-Lembaga Penelitian dan
Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Pemeriksaan komposisi kimia
ekstrak EEP dan EERP dilakukan di Laboratorium Pemeriksaan Doping dan
Kesehatan Masyarakat Daerah Propinsi DKI, Jakarta.

Pliek u
Pliek u merupakan bahan utama dalam penelitian ini, yang diperoleh dari tempat
produksi rumah tangga, berlokasi di desa Redeup, Aceh Besar, Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD).

Ekstraksi Pliek u
Ekstraksi pliek u dikerjakan sesuai dengan prosedur Duraipandiyan et al. (2006)
dan Sudirman (2005a). Ekstraksi pertama dilakukan terhadap pliek u untuk mendapat
esktrak etanol residu pliek u (EERP), yang diawali mengekstrak pliek u dengan
heksan, kemudian residunya diekstrak dengan etanol. Ekstraksi ini dilakukan dengan
menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml heksan. Campuran tersebut dikocok
menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific,
Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring
menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu
pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang
61

diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu


40-50oC pada tekanan 335 mBAR untuk heksan, menghasilkan ekstrak kasar heksan
(EHP). Residu yang diperoleh setelah diekstrak dengan heksan diekstrak lagi dengan
etanol 96% dengan cara yang sama, filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan
evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu 40-50oC pada tekanan 175 mBAR.
Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara
untuk mendapatkan ekstrak etanol residu (EERP).
Ekstraksi yang kedua dilakukan hanya mengekstrak pliek u dengan etanol 96%
untuk mendapatkan ekstrak etanol (EEP). Ekstraksi ini dilakukan dengan
menambahkan pliek u 20 g dalam 200 ml etanol 96%. Campuran tersebut dikocok
menggunakan refrigerated incubator shaker Innova 4230 (New Branswick scientific,
Edison, USA) dengan kecepatan 130 rpm pada suhu 28oC, kemudian di saring
menggunakan fritted glass filter yang disambungkan dengan pompa vakum. Residu
pliek u diekstraksi kembali sebanyak dua kali dengan cara yang sama. Filtrat yang
diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator putar (Bütchi, Switzerland) pada suhu
40-50oC pada tekanan 175 mBAR untuk etanol, menghasilkan ekstrak. Selanjutnya
ekstrak yang diperoleh dipekat ulang menggunakan kompresor udara untuk
mendapatkan ekstrak kasar etanol (EEP).

Deteksi Senyawa Antimikrob dengan Metode Bioautografi


Pengujian aktivitas senyawa antimikrob EEP dan EERP dilakukan berdasarkan
prosedur yang dikemukan oleh Sudirman (2005b) menggunakan kromatografi lapis
tipis yaitu lempengan dengan gel silika (60 F-254 ref.5714, Merck, ketebalan 0.1 mm
20 x 5 cm). Bakteri uji yang digunakan adalah S. aureus berdasarkan Nakamura et al.
(1999). S. aureus diperoleh dari Laboratorium Bakteriologi, FKH IPB, Bogor.
Inokulum S. aureus yang berasal satu ose dari koloni yang berwarna hitam pada media
Vogel Johnson Agar diinokulasi ke dalam 10 ml Mueller Hinton broth dan diikubasi
pada suhu 37°C selama 24 jam yang akan digunakan untuk uji bioautografi.
Pengujian dengan metode bioautografi dilakukan untuk melihat bercak yang
menunjukkan aktivitas senyawa antimikrob. Ekstrak etanol (EEP dan EERP) masing-
masing sebanyak 10 µl diteteskan diatas lempengan gel silika ukuran 20 x 5 cm
dengan jarak tetesan dari pinggir bawah lempengan 2,5 cm. Lempengan dimasukkan
dalam bejana pengembang yang sudah mengandung campuran larutan butanol: asam
asetat: air pada perbandingan 3:1:1 v/v yang sebelumnya campuran larutan tersebut
dijenuhkan selama 1-2 jam dalam bejana pengembang. Jarak campuran larutan kira-
62

kira 1 cm dari pinggir bawah lempengan. Lempengan di uji secara duplikat, satu
lempengan digunakan sebagai referensi khromatogram yang divisualisasi dengan sinar
UV 366 nm, sedangkan satu lempengan yang lain diuji bioautografi.
Lempengan TLC ditempatkan dalam wadah bertutup steril yang bagian
bawahnya ada kertas saring yang dituang dengan akuades steril secukupnya, semua
dikerjakan dalam laminar yang telah di UV. Sebelumnya lempengan dihilangkan
pelarutnya dengan membiarkan lempengan dalam lemari asam selama 24 jam.
Selanjutnya lempengan dilapisi dengan agar Vogel Johnson yang mengandung S.
aureus (106-107cfu/ml) sampai menyebar merata diatas lempengan uji. Setelah
mengeras lempengan dipreinkubasi selama 2-3 jam pada suhu 10ºC, kemudian
diinkubasi pada suhu 37ºC selama 24 jam. Zona hambatan yang terbentuk
menunjukkan adanya spot-spot senyawa yang aktif sebagai antibakteri. Pertumbuhan
koloni S. aureus pada media agar VJA berwarna hitam dan zona kuning dipinggir
koloni. Semua lempengan TLC didokumentasikan. Nilai Rf pada bioautogram
dihitung dengan membagi jarak bercak (zona hambatan) yang terbentuk dengan jarak
yang ditempuh oleh garis depan campuran larutan. Data dianalisis secara deskriptif.

Karakterisasi Senyawa Antimikrob


Prosedur dikerjakan berdasarkan Simonsen et al. (2006), yang dilaksanakan di
Laboratorium Pemeriksaan Doping dan Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Komponen
yang terdapat dalam bahan uji diidentifikasi dengan metode FAMES 1 M
menggunakan alat Gas Chromatography-Mass Spectrometry (GC-MS).
Bahan uji dipreparasi terlebih dahulu berdasarkan AOAC (1995). Bahan uji 100
mg dilarutkan dengan 4 ml NaOH 0,5 N (dibawah gas Nitrogen), ditutup rapat,
dikocok dan dipanaskan pada suhu 100ºC selama 5 menit. Selanjutnya ditambahkan
Boran triflorioit (BF3) 7% dalam 5 ml metanol, ditutup rapat, dikocok dan dipanaskan
pada suhu 100ºC selama 45 menit, kemudian ditambahkan 5 ml heksan, diinkubasi
selama 5 menit, ditutup rapat dan dikocok selama 30 detik. Selanjutnya ditambahkan 5
ml larutan NaCl jenuh, ditutup dan dikocok selama 10 menit, lalu didiamkan 10 menit
dan dikocok 10 menit, kemudian disentrifus selama 10 menit. Fase organik
(supernatan) diambil dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat serta didiamkan selama 10
menit kemudian dipekatkan dengan heksan menjadi ± 150 µg.
Alat Gas Chromatograph (Agilent Technologies 6890) dihubungkan dengan
auto sampler dan Mass Selective Detector 5973 serta data system Chemstation yang
dihubungkan dengan kolom kapiler Innowax panjang 30m x diameter 0.25mm, film
63

thickness 0.25 μm. Suhu oven diprogram pada 250ºC, dengan suhu awal 130ºC selama
2 menit, kemudian dinaikkan 6ºC/menit menjadi 170ºC dipertahankan selama 2 menit,
kemudian ditingkatkan lagi 3ºC/menit sampai mencapai 215ºC dipertahankan selama
1 menit, lalu ditingkatkan lagi 40ºC/menit menjadi 250ºC dan dipertahankan selama
10 menit. Suhu injeksi adalah 250ºC, suhu sumber ion 230ºC, suhu interface 280ºC
dan suhu quadropole 140ºC serta , dan voltase ionisasi Electron Impact 70 eV. Gas
pembawa yang digunakan adalah Helium dengan aliran konstan 1.5 µl/menit. Volume
injeksi adalah 5 µl (mode split) pada perbandingan 100:1. Analisa kuantitas
ditampilkan sebagai persentase (%) puncak area. Puncak yang muncul pada layar GC-
MS diidentifikasi dengan pencarian komputer pada referensi pada kepustakaan spektra
massa database Wiley 275.L. Data yang dihasilkan dikelompokkan berdasarkan
Fessenden dan Fessenden (1997).

Hasil dan Pembahasan

Deteksi Senyawa Antimikrob Ekstrak Etanol dari Pliek u (EEP dan EERP)
berdasarkan Metode Bioautografi

Deteksi senyawa antimikrob EEP dan EERP pada kromatografi lapis tipis (KLT)
masing-masing menghasilkan empat dan tiga bercak zona hambatan (Gambar 14).
Zona hambatan yang terbentuk berwarna merah jambu yang dikelilingi oleh S. aureus
(koloni berwarna hitam pada media VJA). Nilai Rf dari zona hambatan EEP adalah
Rf1: 0.10; Rf2: 0.19; Rf3: 0.71; Rf4 :0.93 (Gambar 14b), sedangkan EERP memberikan
tiga zona hambatan dengan nilai Rf , yaitu Rf1: 0.40; Rf2 : 0.63; Rf3: 0.77 (Gambar
20d). Berdasarkan pengamatan menunjukkan bahwa zona hambatan yang terbesar
dihasilkan oleh Rf3 : 0.71 dari EEP, mempunyai nilai Rf yang hampir sama dengan
zona hambatan dari nilai Rf3: 0.77 dari EERP, walaupun zona hambatannya kecil di
bawah sinar UV 366 nm (Gambar 14a dan 14c).
Pengujian dengan metode bioautografi merupakan metode yang sangat
menguntungkan dan lebih efisien untuk mendeteksi senyawa antimikrob. Metode ini
hanya memerlukan sedikit sampel uji dibandingkan dengan metode cakram kertas.
Pada penelitian ini hanya memerlukan sampel uji EEP dan EERP masing-masing 10
µl dibandingkan dengan metode difusi kertas cakram memerlukan sampel uji 100 µl.
Metode bioautografi merupakan gabungan dua metode yaitu metode kimia
(kromatogram) dan mikrobiologi yang dapat menghasilkan zona hambatan yang
terpisah karena aktivitas senyawa yang terpisah pada kromatogram dan lebih sensitif
64

dibandingkan metode difusi cakram kertas (Rahalison et al. 1991, diacu dalam
Runyoro et al. 2006; Rosner dan Aviv 1980, diacu dalam Sudirman 2005b).
Pada saat kromatogram dari hasil bioautografi belum dikeringkan
memperlihatkan zona hambatan masih berwarna merah jambu yang dikelilingi oleh
koloni berwarna hitam dan media berwarna kuning, sehingga kromatogram terlihat
kontras karena aktivitas penghambat yang disebabkan senyawa dari EEP dan EERP.
Metode bioautografi dalam penelitian ini sudah dimodifikasi dengan menggunakan
media agar spesifik untuk S. aureus, yaitu agar Vogel Johnson Agar yang ditambah
dengan larutan tellurite 1%. Media ini merupakan media spesifik untuk menumbuhkan
S. aureus dengan ciri khas koloni berwarna hitam yang dikelilingi zona berwarna
kuning. Koloni yang tidak tumbuh menandakan adanya aktivitas senyawa antibakteri
dari EEP dan EERP (Gambar 14).

EEP EERP

Rf 4 : 0.93
Rf 3 : 0.77
Rf 3 : 0.71
Rf 2 : 0.63

Rf 1 : 0.40

Rf 2 : 0.19
Rf 1 : 0.10

a b c d

Gambar 14 Kromatogram dan bioautogram ekstrak etanol (EEP dan EERP)


Kromatogram setelah disinar dengan UV 366 nm, EEP (a) dan EERP (c);
Bioautogram setelah uji bioautografi, EEP (b) dan EERP (d)

Bercak zona hambatan yang terbentuk pada bioautogram menunjukkan adanya


perbedaan senyawa aktif antara EEP dengan EERP. Bercak-bercak yang terbentuk
bisa dideteksi dengan pewarnaan revelasi kimia seperti yang dikerjakan oleh
Sudirman (1994). Penyemprotan menggunakan reagen vanillin dalam asam sulfat
berdasarkan Stahl (1969) terhadap EEP dan EERP memberikan warna ungu hingga
65

hitam (data tidak diperlihatkan). Hasil penyemprotan tidak bisa dibandingkan dengan
bercak zona hambatan yang terbentuk, sedangkan deteksi menggunakan sinar UV
masih bisa dibandingkan dengan bercak zona hambatan yang dihasilkan (Gambar 14).
Hal tersebut mungkin dapat disebabkan jumlah ekstrak yang ditetes di atas lempeng
TLC masih terlalu besar (10 μl).
Deteksi menggunakan metode bioautografi pada kromatogram TLC
menunjukkan bahwa EEP dan EERP masing-masing mengandung 4 dan 3 senyawa
antimikrob yang aktif terhadap S. aureus. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh
proses ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak EERP. EERP diperoleh dengan
mengekstrak pliek u terlebih dahulu dengan heksan, kemudian residunya diekstrak
dengan etanol, sehingga ada komponen aktif yang mungkin terekstrak terlebih dahulu.
Hasil ini juga menguatkan penelitian terdahulu, dimana EEP aktif terhadap bakteri dan
jamur. Komponen yang tidak terdeteksi pada EERP namun terdeteksi pada EEP
mungkin aktif terhadap bakteri dan jamur. Walaupun zona hambatan terbesar pada
penelitian ini diperlihatkan oleh nilai Rf 0.71, namun dengan terdeteksinya tiga zona
hambatan lainnya pada EEP menunjukkan bahwa adanya sinergisme antar komponen
sehingga memiliki aktivitas terbaik terhadap bakteri dan jamur.
Pelarut etanol dan metanol yang digunakan pada proses ekstraksi menyebabkan
banyak komponen aktif bersifat polar yang terlarut, sehingga memperlihatkan
aktivitas antimikrob yang berspektrum luas terhadap bakteri dan fungi seperti yang
telah dikerjakan oleh Okeke et al. (2001); Barbour et al. (2004); Voravuthikunchai et
al. (2004); Shah et al. (2004); Nkere dan Iroegbu (2005); Runyoro et al. ( 2006);
Duraipandiyan et al. (2006); Gupta et al. (2006); Rojas et al. (2006).

Identifikasi Komponen Ekstrak Etanol dari Pliek u


Hasil identifikasi senyawa kimia pada EEP dan EERP menggunakan GC-MS
disajikan pada Tabel 16, Gambar 15, Gambar 16 dan Lampiran 15. Berdasarkan hasil
uji GC-MS dapat diidentifikasi 22 komponen dari 99.89% EEP, sedangkan dari
99.80% EERP diidentifikasi hanya 9 komponen, namun jenis dan jumlah
komponennya ada yang berbeda.
Hampir sebagian besar senyawa yang terkandung dalam EEP adalah asam lemak
dan derivatnya, seperti asam kaprilat, asam kaprat, asam laurat, asam miristat, asam
palmitat,asam palmitoleat, asam stearat, asam oleat, asam linoleat, 7,10,13-asam
heksadekatienoat, 9,12,15-asam oktadekatrienoat dan asam tetradekanedioat serta
ester dan alkohol. Masing-masing secara berurutan memberikan % area sebesar
66

43.64, 30.99, 2.81 % dan terdapat komponen lain dalam jumlah yang kecil yaitu
hidrokarbon alifatik (22.45%) (Tabel 16).

Tabel 16 Komposisi kimia EEP dan EERP berdasarkan GC-MS


No Komponen Golongan Area (%)
EEP EERP
1 Decanoic acid (asam kaprat) (C10:0) Asam karboksilat 0.91
2 Decanoic acid methyl ester Ester 0.49
3 Dodecanoic acid (asam laurat) (C12:0) Asam karboksilat 10.76 0.85
4 Dodecanoic acid, methyl ester Ester 8.05
5 Dodecanoic acid, 2 hydroxy-1 Alkohol 31.47
6 Tetradecanoic acid (asam miristat) (C14:0) Asam karboksilat 5.24 0.55
7 Tetradecanoic acid methyl ester Ester 7.34
8 Hexadecanoic acid (asam palmitat) (C16:0) Asam karboksilat 10.24 0.01
9 Hexadecanoic acid methyl ester Ester 6.15
10 Hexadecanoic acid 2,3-dihydroxy Alkohol 13.66
11 Hexadecanoic acid, 2 hydroxy-1 Alkohol 2.81
12 9-Hexadecenoic acid (asam palmitoleat) (C16:1) Asam karboksilat 2.39
13 Octadecanoic acid (asam stearat) (C18:0) Asam karboksilat 1.55
14 Octadecanoic acid methyl ester Ester 3.70 14.89
15 9-Octadecenoic acid (asam oleat) (C18:1) Asam karboksilat 9.69 2.84
16 9-Octadecenoic acid methyl ester Ester 4.57
17 9,12-Octadecadienoic acid (asam linoleat) (C18:2) Asam karboksilat 0.74
18 9,12-Octadecadienoic acid methyl ester Ester 0.69
19 7,10,13-hexadecatienoic acid Asam karboksilat 1.06
20 9,12,15-octadecatrienoic acid Asam karboksilat 0.23
21 3-Dodecendiena Hidrokarbon alifatik 19.36
22 1,4-cyclononadiena Hidrokarbon alifatik 3.09
23 Tetradecanedioic acid (C14:2) Asam karboksilat 0.51
24 Octanoic acid (asam kaprilat) (C8:0) Asam karboksilat 0.32
25 4-Dibenzofuramine 22.82
26 Etyl-2,2-difluoro-2-(4-propen-3’(piperadine) Amina 12.71
Total 99.89 99.80
EEP (Ekstrak kasar etanol dari pliek u), EERP (Ekstrak etanol dari residu)

Kandungan utama EERP adalah asam lemak dalam jumlah yang sedikit (asam
laurat, asam miristat dan asam oleat) dan derivatnya (ester dan alkohol) dengan % area
masing-masing 4.25, 14.89 dan 45.13%, serta komponen lain seperti 4-
Dibenzofuramine (22.82%) dan etyl-2,2-difluoro-2-(4-propen-3(piperadine) (12.71%)
(Tabel 16). Pengelompokkan asam lemak dan derivatnya menjadi asam karboksilat,
ester dan alkohol berdasarkan Fessenden dan Fessenden (1997).
67

Gambar 15 Kromatogram komponen dalam ekstrak kasar EEP

Gambar 16 Kromatogram komponen dalam ekstrak EERP

Berdasarkan hasil analisis GC-MS menunjukkan bahwa komponen yang


terdapat di dalam ekstrak kasar EEP lebih banyak asam lemak jenuh dengan panjang
rantai karbon C8, C10, C12, C14, C16 dan C18 sebesar 29.02%, sedangkan derivat
esternya sebesar 25.73%. Secara keseluruhan memberikan % area paling besar yaitu
54.75% pada EEP, sedangkan EERP hanya mengandung asam lemak jenuh sebesar
1.41% dengan panjang rantai karbon C12, C14 dan C16 dan hanya mengandung
komponen golongan ester sebesar 14.89%, dengan jumlah secara keseluruhan 16.3%
(Tabel 16 dan Lampiran 15).
Berbagai asam lemak bebas terutama derivatnya telah dilaporkan mempunyai
aktivitas antimikrob dengan rentang yang luas terhadap berbagai mikrob (bakteri,
68

jamur dan virus) dan aktivitas lebih besar apabila adanya kombinasi atau gabungan
senyawa antimikrob (Wang dan Johnson 1992; Kabara 2000; Řiháková et al. 2001;
Nair et al. 2005). Tidak semua asam lemak memberikan aktivitas yang sama sebagai
antimikrob, asam lemak seperti C12, C14, C16, C16:1, C18, C18:1, C18:2 dan C18:3
tidak aktif terhadap bakteri Gram negatif dan hanya C12 dan C16:1 yang aktif
terhadap bakteri Gram positif (Quattara et al. 1997).
Monogliserida dari asam lemak dengan panjang rantai sedang, terutama
monogliserida dari asam laurat lebih aktif sebagai antibakteri dibandingkan asam
lemak bebasnya, namun ada beberapa derivat asam lemak lainnya juga mempunyai
aktivitas antimikrob dengan spektrum luas (Kabara 1978; Nair et al. 2005).
Monogliserida seperti monolaurat (MC12) mempunyai aktivitas antimikrob yang
paling baik, selain itu monokaprilat (MC8), monokaprat (MC10) dan monomiristat
(MC14) ternyata juga mempunyai aktivitas antimikrob, sedangkan monopalmitat
(MC16), monostearat (MC18), monooleat (MC18:1) dan monolinoleat (MC18:2)
tidak mempunyai aktivitas antimikrob (Kabara 1978; Wang et al. 1993; Wang dan
Johnson 1992).
Asam karboksilat dan komponen hidroksil yang terdapat di dalam EEP dan
EERP mungkin menyebabkan kedua ekstrak tersebut mempunyai aktivitas antibakteri.
Aktivitas tersebut mungkin dapat disebabkan besarnya golongan hidroksil di dalam
ekstrak. Menurut Cowan (1999) banyaknya komponen hidroksil dalam ekstrak
tumbuh-tumbuhan menyebabkan aktivitas antimikrob menjadi lebih besar. Begitu
juga dengan ekstrak herbal, bumbu dan tumbuh-tumbuhan obat yang didalamnya
mengandung asam karboksilat ternyata mempunyai aktivitas antimikrob yang baik
(Chen Xie et al. 2004; Paraschos et al. 2007).
Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya ternyata EEP mempunyai aktivitas
yang paling baik dibandingkan EERP. Hal tersebut mungkin dapat disebabkan
komponen aktif sebagai antimikrob di dalam ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP)
dapat disebabkan senyawa golongan asam karboksilat sebesar 43.64%, sedangkan
asam karboksilat di dalam EERP hanya 4.25%.
Secara umum, polaritas antimikrob erat kaitannya dengan komponen yang
terkandung didalamnya. Penggunaan etanol untuk ekstraksi secara sendiri untuk
mengekstrak pliek u (tanpa didahulukan dengan ekstraksi menggunakan heksan) dapat
menyebabkan komponen yang mengarah non polar juga bisa ikut larut, sehingga
menyebabkan adanya sinergisme antar komponen (gabungan komponen non polar dan
69

polar) yang menyebabkan mikrob menjadi lebih sensitif. Lain halnya dengan EERP
yang mungkin lebih banyak mengandung komponen yang mengarah ke polar dan
sangat aktif sebagai antibakteri. Daya kelarutan asam lemak lebih besar di dalam
pelarut non polar dan agak polar dibandingkan dengan komponen gliseridanya.
Semakin panjang rantai karbon maka semakin sukar untuk larut. Asam lemak tidak
jenuh lebih mudah larut dalam pelarut non polar dibandingkan asam lemak jenuh
dengan panjang rantai karbon yang sama. Asam lemak yang bermolekul besar sangat
mudah larut dalam pelarut non polar dan dapat melindungi bakteri dari senyawa
antibakteri, namun asam-asam lemak tersebut dapat sangat aktif sebagai antikandida.
Terdeteksinya beberapa komponen aktif di dalam ekstrak pliek u mendukung
penggunaannya dalam makanan, terutama sebagai bumbu. Banyak bumbu yang
mengandung berbagai senyawa antimikrob yang sifatnya sinergisme dan
menghasilkan aktivitas antimikrob lebih baik. Oleh sebab itu penggunaan bumbu-
bumbu dalam makanan dapat mencegah infeksi oleh kuman patogen penyebab
penyakit. Salah satu bumbu yang menghasilkan berbagai senyawa antimikrob adalah
bawang putih, mengandung 33 senyawa sulfur, 17 asam amino dan sejumlah senyawa
lain. Ekstrak bawang putih aktif terhadap S. aureus dan C. albicans (Elnima et al.
1983; Block 1985).

Simpulan
Deteksi aktivitas antibakteri terhadap S. aureus berdasarkan bioautografi
terhadap EEP menghasilkan empat bercak zona hambatan pada Rf (0.93, 0.71, 0.19
dan 0.10) dan bioautografi terhadap EERP menghasilkan tiga bercak zona hambatan
pada Rf (0.77, 0.63 dan 0.4). Identifkasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP)
menghasilkan 22 komponen sebanyak 99.89% sedangkan esktrak etanol dari residu
heksan (EERP) menghasilkan 9 komponen sebanyak 99.80%. EEP lebih banyak
mengandung asam lemak dan derivat ester (>50%) dibanding EERP hanya
mengandung <20%.
70

VIII. PEMBAHASAN UMUM

Kelapa (Cocos nucifera L) merupakan tumbuhan yang sangat bermanfaat bagi


masyarakat secara fungsional, terutama daging buah dan minyak kelapa. Daging buah
dan minyak kelapa mengandung hampir 50% asam laurat, yang mempunyai aktivitas
sebagai antimikrob terhadap bakteri, jamur dan virus (Kabara 1978; Quattara et al.
1995; Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993;Kabara 2000; Bergsson et al. 2002).
Menurut Fife (2005), penggunaan minyak kelapa untuk pengobatan secara tradisional
dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan seperti penyakit kulit, gangguan saluran
pencernaan, penyakit kelamin dan influenza.
Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sejak lama sudah menggunakan
minyak kelapa (minyak pliek u) dan ampasnya (pliek u) yang diperoleh dari
pengolahan daging buah kelapa dengan cara fermentasi secara tradisional (Bakar et al.
1985). Pada awalnya minyak pliek u dan pliek u dihasilkan dari proses fermentasi
tidak disengaja selama beberapa hari. Menurut masyarakat NAD, produk yang
dihasilkan tersebut terkait dengan faktor penyimpanan, dimana panen buah kelapa
yang berlimpah hanya mempunyai masa simpan yang tidak terlalu lama (paling lama
dua bulan). Sampai sekarang produk tersebut masih diproduksi dengan cara yang
sama dan tidak bisa terlepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat NAD sebagai
makanan maupun obat. Fermentasi merupakan salah satu metode pengawetan tertua
setelah metode pengeringan, dimana produk yang dihasilkan bisa lebih baik dari
bahan asalnya, bahkan menghasilkan senyawa aktif yang bersifat antimikrob
(Battcock dan Azam-Ali 1995).
Minyak pliek u dan pliek u dihasilkan dari proses fermentasi daging buah kelapa
secara tradisional, memungkinkan di dalam produk tersebut mengandung senyawa
antimikrob yang bisa berasal dari bahan asal atau karena proses fermentasi. Informasi
dari hasil kajian aktivitas antimikrob untuk mengetahui keberadaan dan pengaruh
senyawa antimikrob yang berasal dari makanan tersebut dapat melengkapi informasi
mengenai makanan tradisional Aceh (minyak pliek u dan pliek u) dan dapat
mendukung manfaat produk tersebut sebagai makanan kesehatan serta berpeluang
menghasilkan senyawa antimikrob sebagai produk farmasi yang dapat digunakan
sebagai pencegah dan terapi berbagai penyakit melalui uji yang lebih spesifik.
Deteksi aktivitas antimikrob minyak pliek u dan pliek u diawali dengan
melakukan ekstraksi terhadap pliek u, karena pengujian secara langsung dengan
meletakkan pliek u diatas media agar yang mengandung mikrob uji hanya ada sedikit
71

hambatan pertumbuhan mikrob uji (<2 mm) (data tidak ditampilkan). Deteksi aktivitas
antimikrob dari minyak pliek u dan ekstrak kasar dari pliek u menunjukkan hanya
pliek u yang diekstrak dengan etanol (96%) (EEP) yang secara sekaligus aktif
terhadap bakteri dan Candida albicans. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) sangat
aktif menghambat semua mikrob uji (Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus,
Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Bacillus cereus, Pseudomonas aeruginosa,
Pseudomonas fluorescens dan C. albicans).
Ekstrak kasar heksan dari pliek u (EHP) dan minyeuk brok (MB) hanya
mempunyai aktivitas antimikrob terhadap C. albicans sedangkan ekstrak etanol
(EERP) dari residu pliek u (setelah diekstrak dengan heksan) hanya mempunyai
aktivitas antimikrob terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif. Minyak pliek u
(minyeuk simplah) digolongkan tidak aktif sebagai antimikrob. Perbedaan aktivitas
MS, MB, EHP, EERP dan EEP dapat disebabkan perbedaan tahap proses fermentasi
pada pengolahan daging buah kelapa menjadi produk minyak pliek u dan pliek u.
Aktivitas antimikrob yang luas diperlihatkan oleh ekstrak dari pliek u, mungkin
disebabkan proses fermentasi yang sudah sempurna.
Polaritas ekstrak mempengaruhi aktivitasnya sebagai antimikrob. Tidak ada
aktivitas antibakteri EHP mungkin disebabkan komponen yang terekstrak lebih
banyak didominasi oleh trigliserida minyak dan asam lemak yang tidak aktif terhadap
bakteri dan bahkan dapat melindungi bakteri dari senyawa antimikrob. Akibatnya
ekstrak heksan tidak mampu berdifusi dan menghambat pertumbuhan bakteri serta
hanya aktif sebagai antikandida. Lain halnya dengan EERP yang hanya aktif sebagai
antibakteri, kemungkinan komponen yang terlarut lebih bersifat polar dan sangat aktif
sebagai antibakteri. Monogliserida dan asam lemak rantai pendek dan sedang (C8-
C14) sangat aktif sebagai antimikrob.
Polaritas senyawa antimikrob merupakan sifat fisik yang penting dari
antimikrob, karena polaritas optimum senyawa antimikrob akan memberikan aktivitas
antimikrob yang maksimum. Adanya perbedaan kepolaran antar ekstrak uji
memberikan aktivitas antimikrob yang berbeda dan hasil yang bervariasi. Perbedaan
tersebut dapat disebabkan karena adanya perbedaan keseimbangan hidrofilik dan
lipofilik antimikrob (Kanazawa et al. 1995, Hilmarsson et al. 2005). Sifat hidrofilik
antimikrob dapat menjamin senyawa tersebut larut dalam air dimana air merupakan
faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikrob, namun senyawa yang aktif dan
bekerja pada membran sel yang bersifat hidrofobik memerlukan sifat lipofilik,
72

sehingga mutlak keseimbangan hidrofilik-lipofilik antimikrob sangat diperlukan, agar


aktivitasnya sebagai antimikrob lebih optimal (Branen 1993).
Aktivitas antibakteri yang diperlihatkan oleh EEP berbeda dengan aktivitas
EERP. Hal tersebut terkait dengan komponen yang terkandung di dalam kedua ekstrak
tersebut. Ada komponen yang hilang dalam EERP berdasarkan metode bioautografi,
kemungkinan komponen yang tidak terdeteksi tersebut sangat berperan sebagai
antikandida. Menurut Kabara (2000); Bergsson et al. (2001), bahwa asam laurat
dengan konsentrasi yang kecil sekalipun mampu menghambat pertumbuhan C.
albicans, namun asam kaprat lebih cepat dan efektif sebagai antikandida. Asam lemak
rantai pendek dan sedang serta monogliseridanya mempunyai aktivitas sebagai
antibakteri sangat larut dalam fase air (Kabara 2000).
Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) hanya diekstrak dengan etanol mungkin
juga dapat mengekstrak komponen yang aktif terhadap fungi, walaupun dalam jumlah
yang sedikit (terlihat dari bentuk fisik rendemen yang dihasilkan), sehingga
mempunyai aktivitas sebagai antikandida. Aktivitasnya sebagai antikandida sedikit
lebih kecil dibandingkan aktivitas yang diperlihatkan ekstrak kasar EHP. Tingginya
konsentrasi komponen asam laurat dalam EEP menyebabkan ekstrak ini memiliki
aktivitas yang sama dengan EHP sebagai antikandida, sedangkan dalam EERP sangat
sedikit (cenderung tidak berpengaruh). Aktivitas antifungi hanya disebabkan oleh
asam laurat dan monogliseridanya (Řiháková et al. 2001).
Deteksi aktivitas antimikrob hanya dilakukan pada ekstrak kasar dan tidak ada
proses purifikasi, sehingga faktor kombinasi beberapa senyawa antimikrob
berpengaruh terhadap aktivitas antimikrob. Adanya kombinasi kerja senyawa
antimikrob dapat dideteksi dengan metode bioautografi, menunjukkan bahwa EEP
menghasilkan bercak zona hambatan lebih banyak (empat bercak) dibandingkan
EERP (tiga bercak), sehingga esktrak kasar EEP lebih aktif sebagai antimikrob.
Adanya sinergisme antara senyawa antimikrob (kemungkinan beberapa asam lemak
dan derivatnya) menyebabkan aktivitas antimikrob menjadi lebih baik, misalnya
gabungan dua monogliserida seperti monokaprin dengan monolaurin sangat aktif
terhadap Listeria monocytogenes (Wang dan Johnson 1992; Wang et al. 1993).
Komponen yang terdapat dalam EEP didominasi asam lemak dan derivat
esternya yang terdiri golongan asam karboksilat (43.64%), ester (30.99%),
hidrokarbon alifatik (22.45%) dan alkohol (2.81%), namun komponen utama dalam
EERP didominasi oleh derivat asam lemak yaitu golongan alkohol (45.13%),
73

kemudian diikuti oleh golongan ester (14.89%), asam karboksilat (4.25%) dan
komponen lain (35.53%).
Adanya kkomponen asam lemak dan derivat yang hampir sama antara EEP
dengan EERP mungkin berpengaruh pada kesamaan aktivitas antibakteri dari kedua
ekstrak tersebut sebagai antibakteri terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif,
walaupun di dalam EERP komponen asam laurat sedikit (0.85%) dan asam laurat
esternya tidak ada dibandingkan dalam EEP dimana kandungan asam lauratnya cukup
besar (10.76%) dan asam laurat esternya (8.05%). Aktivitas EERP mungkin bisa
disebabkan oleh komponen asam laurat kelompok alkohol yang sangat besar
(31.47%). Adanya perbedaan kelompok polar dari alkohol dan asam lemak (kelompok
hidroksil versus kelompok karboksil) menghasilkan aktivitas antimikrob yang
bervariasi (Hilmarsson et al. 2005)
Mengingat pliek u tidak terlepas dari menu sehari-hari masyarakat Aceh dan
sering dikomsumsi oleh masyarakat Aceh paling sedikit sekali seminggu dalam
keadaan mentah maupun sebagai bumbu masak, maka kajian toksisitas awal pada
EEP dapat memberi tambahan informasi mengenai produk makanan fermentasi
tradisional ini. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) pada konsentrasi 3.36 mg/ml
tidak toksik berdasarkan Artemia salina L bioassay. Suatu ekstrak dikatakan toksik
jika memiliki nilai LC50 (konsentrasi yang mampu membunuh 50% larva A. Salina L)
<1000 µg/ml untuk ekstrak kasar atau <200 µg/ml untuk ekstrak murni setelah waktu
kontak 24 jam (Meyer et al. 1982).
Konsentrasi 3.36 mg/ml masih berada pada rentang kisaran nilai MIC dan MMC
antara 2.5-10 mg/ml dan 10-20 mg/ml terhadap mikrob uji (Staphylococcus aureus,
Bacillus cereus, Escherichia coli, Salmonella Enteritidis, Pseudomonas aeruginosa
dan Candida albicans). Rentang konsentrasi yang agak jauh bisa disebabkan
perbedaan strain mikrob uji dan kepekaan masing-masing mikrob tidak sama terhadap
satu jenis antimikrob. Terdapat perbedaan kepekaan antara dua bakteri Gram negatif
(Helicobacter pylori dan Escherichia coli) setelah diberi perlakuan antimikrob lipid
yang sama (Bergsson et al. 2002).
Pengujian lanjutan untuk mendukung penggunaan pliek u sebagai makanan
kesehatan dan juga sebagai sumber antimikrob dilakukan dengan memberikan EEP
secara oral pada mencit hanya dengan satu kali pemberian (acute treatment).
Pengujian lanjut ini dilakukan untuk melihat toksisitas lanjutan dari EEP, yang
mungkin pada uji awal tidak bisa mewakili pemakaian esktrak (EEP) pada hewan
74

besar. Penentuan toksisitas tahap awal suatu bahan yang diduga toksik terhadap
konsentrasi moderat dan tinggi dapat dideteksi dengan bioassay menggunakan
Artemia salina L, dimana suatu senyawa yang toksik bisa menjadi tidak toksik apabila
digunakan hewan coba yang lebih besar (Kiviranta et al. 2007).
Dosis EEP yang diberikan berdasarkan tiga dan enam kali konsentrasi LC50
(3.36 mg/ml) yaitu 10.08 mg/mencit (370 mg/kg bb) dan 20.16 mg/mencit (733 mg/kg
bb) tidak mempengaruhi jumlah mikrob feses mencit. Walaupun secara statistik tidak
ada perbedaan jumlah mikrob, namun terlihat sedikit penurunan jumlah pada
pemberian EEP 6 x dosis LC50 yaitu 1.09 log cfu/g dibanding kontrol, sedangkan
pemberian EEP 3 x dosis LC50 hanya menurunkan 0.1 log cfu/g feses. Penurunan
jumlah mikrob > 1 log menunjukkan adanya aktivitas antimikrob. namun dosis 733
mg/kg berat bada mencit dapt menurunkan jumlah mikrob saluran pencernaan.
Kedua dosis EEP tersebut menyebabkan kerusakan ringan hingga sedang pada
hati mencit, namun kerusakan tersebut juga terlihat pada mencit perlakuan kontrol.
Hal yang sama juga terjadi pada ginjal mencit, dimana kerusakan ringan terjadi pada
kontrol dan pemberian EEP. Hasil yang diperlihatkan pada uji toksisitas ini tidak bisa
menyatakan bahwa kerusakan yang terjadi pada organ hati dan ginjal disebabkan oleh
EEP. EEP dari 370-733 mg/kg berat badan tidak toksik jika diberikan secara acute
traetment dan mungkin komponen yang terdapat di dalam ekstrak kasar EEP tidak
toksik terhadap tubuh.
Toksisitas ekstrak kasar EEP tidak terlihat pada hati dan ginjal, karena bisa
dikatakan bahwa mungkin EEP yang diberikan secara oral terlebih dahulu akan
berakumulasi dan larut dalam kandungan saluran pencernaan mencit. Menurut
Kabara (2000), asam-asam lemak akan larut dalam saluran pencernaan, kemudian
asam lemak dengan panjang rantai karbon pendek dan sedang beberapa saat akan
diserap, berikatan dengan albumin dan dibawa langsung ke hati melalui vena porta.
Dilain pihak asam lemak rantai panjang terlebih dahulu dibawa melalui sirkulasi
limfatik dan sistemik dalam bentuk kilomikron, yang akhirnya akan sampai ke hati.
Asam-asam lemak dan monogliseridanya yang berasal dari trigliserida dengan
panjang rantai karbon (MC6:0-MC12:0), yang diberikan dalam makanan ataupun
secara intravenous tidak memperlihatkan toksisitas pada sistemik (Kabara 1978;
Kabara 2000). Monolaurat (monolaurin) dan monokaprat (monokaprin) yang berasal
dari lemak kelapa dan susu pada konsentrasi yang aktif terhadap bakteri dan virus
dikelompokkan sebagai GRAS (generally recognized as safe), serta dinyatakan oleh
75

FDA (food and drug administration) sebagai senyawa antimikrob yang tidak toksik
dan tidak berbahaya bagi tubuh. Hal tersebut mendukung hasil penelitian ini yang
menunjukkan bahwa esktrak kasar EEP tidak toksik sekalipun pada dosis yang besar
apabila diberikan dalam bentuk acute treatment .
Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) berpeluang sebagai produk farmasi yang
bisa digunakan sebagai pencegah dan terapi infeksi, sehingga stabilitas EEP terhadap
berbagai faktor sangat mempengaruhinya untuk aplikasi selanjutnya. Syarat jaminan
yang diperlukan dalam mengembangkan bahan obat baru adalah efektifitasnya tetap
baik (stabil) terhadap berbagai faktor luar dan dalam seperti faktor penyimpanan, suhu
dan faktor fisika-kimia serta bahan pelarutnya. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi
kandungan bahan aktif, sifat sensorik, toksikologis dan aktivitasnya sebagai bahan
obat (efek terapi) atau aplikasi lainnya (bahan pengawet) (Voight 1994).
Penentuan utama dan wajib dilakukan terhadap stabilitas bahan obat baru adalah
berdasarkan dua faktor, pengaruh masa simpan dan suhu (Voigt 1994). Aktivitas
antimikrob EEP dipengaruhi oleh berbagai suhu dan pemanasan, suhu dan
penyimpanan serta pH. EEP stabil dan tetap aktif sebagai antimikrob pada suhu dan
lama pemanasan 100ºC dan 121ºC selama 15-60 menit, suhu dan lama penyimpanan
pada suhu 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 bulan serta pH
3-11, namun tidak stabil pada suhu dan lama penyimpanan -20ºC (suhu freezer)
selama 1-6 bulan. Pada penelitian ini EEP dikemas dengan kemasan berwarna gelap
namun tidak kedap udara. Menurut Martindale (1982), minyak kelapa sebaiknya
disimpan pada suhu 25ºC di dalam kemasan kedap udara berwarna gelap dan tertutup
rapat serta terlindung dari cahaya. Selanjutnya Martindale (1982) juga menyebutkan
bahwa minyak kelapa dapat disteril dengan mempertahankannya pada suhu 150oC
selama satu jam dan tidak mempengaruhi komponen di dalam minyak.
Aplikasi EEP dalam susu dapat mendukung penggunaannya sebagai bahan
pengawet makanan dan juga dapat dikembangkan sebagai antiinfeksi khususnya
antimastitis melalui serangkaian penelitian lanjutan lainnya. Konsentrasi EEP 3.36
mg/ml dapat menurunkan jumlah S. aureus dan E. coli dalam susu yang diikubasi
pada suhu 39oC (suhu tubuh sapi). Hasil penelitian yang telah dilakukan Nair et al.
(2005) menunjukkan bahwa asam kaprilat dan monokaprilat di dalam susu steril
efektif membunuh lima mikrob patogen mastitis (Streptococcus agalactiae,
Streptococcus dysagalactiae, Streptococcus uberis, Staphylococcus aureus dan
Escherichia coli), namun pendapat tersebut tidak sama dengan penelitian yang telah
76

dilakukan oleh Wang dan Johnson (1992), dimana asam lemak dengan rantai karbon
C12 dan C14 serta monolaurin tidak aktif terhadap L. monocytogenes di dalam susu,
namun aktif di dalam broth Brain Heart Infusion.
Pada penelitian ini ekstrak digunakan adalah ekstrak kasar, tidak menggunakan
ekstrak murni, sehingga kemungkinan aktivitas antimikrob disebabkan adanya
kombinasi kerja dari komponen yang ada di dalam ekstrak kasar EEP. Hal ini juga
didukung berdasarkan uji GC-MS, dimana komponen asam lemak dan derivatnya
dengan panjang rantai karbon pendek hingga sedang lebih banyak terdapat dalam
EEP. Aktivitas antimikrob asam lemak sangat dipengaruhi oleh panjang rantainya,
aktivitasnya semakin berkurang apabila panjang rantainya bertambah, dimana asam
lemak rantai sedang lebih besar aktivitasnya dibandingkan asam lemak rantai panjang
(Wang dan Johnson 1992 dan Quattara et al. 1995). Adanya perbedaan kepekaan
mikrob terhadap aktivitas antimikrob dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis
antimikrob dan juga pengaruh permukaan luar mikrob. Selain itu kemungkinan
dengan adanya sinergisme kerja antar beberapa antimikrob menyebabkan mikrob
menjadi lebih peka.
Berdasarkan beberapa rangkaian penelitian yang telah dilakukan memberikan
hasil dimana EEP dapat dijadikan antimikrob yang berpotensi sebagai antiinfeksi atau
aplikasinya dalam sistem pangan, namun masih harus melalui serangkaian penelitian
lanjutan yang dapat mendukung aplikasi tersebut. Mengingat proses fermentasi untuk
membuat pliek u tidak dalam keadaan asepsis sehingga kajian terhadap proses
pembuatan minyak pliek u dan pliek u serta keamanan produk tersebut perlu
dilakukan. Selain itu perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendeteksi mikrob
yang berperan pada proses fermentasi berdasarkan tahap prosesnya.
77

IX. SIMPULAN DAN SARAN


9.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pliek u dapat dijadikan
sebagai sumber antimikrob melalui ekstraksi menggunakan pelarut etanol 96% dan
heksan serta berpeluang sebagai makanan kesehatan. Pliek u yang diekstrak
menggunakan etanol 96% (EEP) aktif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif,
bakteri Gram negatif dan fungi (Candida albicans). Pliek u yang diekstrak dengan
pelarut heksan (EHP) dan minyeuk brok hanya aktif menghambat C. albicans,
sedangkan residu heksan yang diekstrak dengan pelarut etanol 96% (EERP) hanya
aktif menghambat bakteri. Minyak pliek u (minyeuk simplah) tidak mempunyai
aktivitas antimikrob.
Aktivitas antimikrob ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) terhadap bakteri dan
fungi menghasilkan MIC dan MMC pada konsentrasi antara 2.5-10 mg/ml dan 10-20
mg/ml, serta tidak toksik pada konsentrasi LC50 (3.36 mg/ml) berdasarkan Artemia
salina L Bioassay. Ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP) tetap stabil dan aktif
sebagai antimikrob setelah dipanaskan pada suhu 100ºC dan 121ºC selama 15-60
menit, penyimpanan 28ºC (suhu kamar) dan 10ºC (suhu refrigerator) selama 1-6 enam
bulan, serta tetap aktif pada pH 3-11. Penambahan EEP dalam susu pada konsentrasi
LC50 (3.36 mg/ml) dapat menurunkan jumlah S. aureus dan E.coli.
Pemberian EEP dosis akut pada mencit secara oral dengan dosis tiga kali
konsentrasi LC50 atau setara dengan 370 mg/kg bb dan enam kali konsentrasi LC50
atau setara dengan 733 mg/kg bb, tidak menurunkan jumlah mikrob feses dan juga
tidak menyebabkan kerusakan hati dan ginjal (tidak toksik pada dosis akut).
Senyawa antimikrob dalam EEP yang aktif berdasarkan bioautografi
memperlihatkan empat komponen aktif menghambat pertumbuhan S. aureus yang
memberikan nilai Rf (0.93, 0.71, 0.19 dan 0.10). Identifikasi komponen dalam EEP
menghasilkan 22 komponen dengan jumlah 99.89 %. Kandungan utama dalam EEP
adalah asam karboksilat (43.64%), ester (30.99%), hidrokarbon alifatik (22.45%) dan
alkohol (2.81%).

9.2. Saran
Kajian lanjutan sangat perlu dilakukan terhadap isolasi dan identifikasi
mikroorganisme mikrob yang berperan aktif pada proses fermentasi pada pembuatan
pliek u, sehingga pliek u dapat dibuat secara terkontrol dan dapat distandarisasi.
Selanjutnya kajian EEP sangat perlu dilanjutkan pada efek terapinya serta peluangnya
78

sebagai antimikrob dalam makanan serta tahap isolasi, purifikasi dan identifikasi
senyawa aktif yang terkandung didalamnya. Penelitian ini perlu juga dilanjutkan
terhadap ekstrak heksan dari pliek u (EHP) yang berpeluang sebagai antifungi.
Terkait dengan pengembangan makanan tradisional Aceh (pliek u) sebagai makanan
kesehatan maka perlu dilakukan kajian terhadap keamanan dan mutu pliek u.
79

X. DAFTAR PUSTAKA

Abriouel H, Valdivia E, Galvez A, Maqueda M. 1998. Response of Salmonella


choleraesuis LT2 spheroplasts and permeabilized cells to the bacteriocin AS-
48. Appl Environ Microbiol 64:4624-4626.

Ahn J, Grün IU, Mustapha A. 2004. Antimicrobial and antioxidant activities of


natural extracts in vitro and in ground beef. J Food Protect 67(1):148-155.

Al-Ashban RM, Barrett DA, Shah AH. 2005. Effects of chronic treatment with
ethanolic extract of Teucrium polium in mice. J Herbs, Spices & Med Plants
11 (4):27-36. [Terhubung berkala]. http: //www. haworthpress. com/ web/
JHSMP. 16 Juli 2008.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1980. Animal Feed, Chapter 4.


Washington DC. AOAC Official Methods of Analysis.

[AOAC] Association of Official Analytical Chemists. 1995. Fatty Acid Oils and Fats.
Washington DC

Bakar AB, Sulaiman MA, Hanafiah ZA, Ibrahim, Syarifah H. 1985. Kamus Aceh
Indonesia 2 Seri 2 M-Y. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Banzon JA, Velasco JR. 1982. Coconut production and utilization. Manila, PCRDF.

Barber DA, Miller GY, Mc Namara PE. 2003. Models of antimicrobial resistance
and foodborne illness: examining assumptions and practical applications. J
Food Protect 66: 700-709.

Barbour EK, Al Sharif M, Sagherian VK, Habre AN, Talhouk RS, Talhouk SN. 2004.
Screening of selected indigenous plants of Lebanon for antimicrobial activity.
J Ethnopharmacol 93: 1-7.

Battcock M, Azam-Ali S. 1998. Fermented fruitis and vegetables a global perspective.


Food and Agriculture Organization United Nation, Rome, Itali. FAO
Agricultural Services Bulletin 134.

Begue WJ, Kline RM. 1972. The use of tetrazolium salts in bioautographic
procedures. J Chromatogr 64:182-184.

Bergsson G, Steingrimssons O, Thormar H. 1999. In vitro susceptibilities of Neisseria


gonorahoeae to fatty acids and monoglyserides. Antimicrob Agents
Chemother 43: 2790-2792.

Bergsson G, Steingrimssons O, Thormar H. 2002. Bactericidal effects of fatty acids


and monoglyserides on Helicobacter pylori.Int J Antimicrob Agents 20: 258-
262.
80

Bergsson G, Arnfinnsson J, Steingrimssons O, Thormar H. 2001. In vitro killing of


Candida albicans by fatty acids and monoglyserides. Antimicrob Agents
Chemother 45(11):3209-3212.

Bergonzelli GE, Donnicola D, Porta N, Corthésy-Theulaz IE. 2003. Essential oils as


components of a diet-based approach to management of Helicobacter
infection. Antimicrob Agents Chemother 10:3240-3246.

Block E. 1985. The chemistry of garlic and onions. Scientific American 252:114-119.

Bradley AJ. 2002. Bovine mastitis: an evolving disease. Vet J 164:116-128.

Branen AL. 1993. Introduction to use of Antimicrobials. Di dalam: Davidson PM,


Branen AL, editor. Antimicrobials in Foods. 2nd ed. New York: Marcell
Dekker Inc. hlm 1-9.

Campbell-Platt G. 2000. Fermented Foods. Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel
PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 2. London: Academic
Pr. hlm 736-739.

Canillac N, Mourey A. 2001. Antibacterial activity of the essential oil of Picea


excelsa on Listeria, Staphylococcus aureus and coliform bacteria. Food
Microbiol 18:261-268.

Carballo JL, Hernadez-Inda ZL, Perez P, Garcia-Gravalos MD. 2002. A comparison


between two brine shrimp assays to detect in vitro cytotoxicity in marine
natural products. BMC Biotechnology 2(17). [terhubung berkala]. http: //
www. biomedcentral. com / 1472-6750 / 2 / 17. [10 April 2007]

Carson CF, Mee BJ, Riley TV. 2002. Mechanism of action of Melaleuca alternifolia
(tea tree) oil on Staphylococcus aureus detemined by time-kill, lysis, leakage,
and salt tolerance assays and electron microscopy. Antimicrob Agents
Chemother 6:1914-1920.

Chaudry BA, Syad MY, Janbaz KH, Dasti AA, Loothar BA. 2003. Biological
activities of Polygonum barbatum. J Res Sci 14(2): 169-175.

Chen Xie, Kokubun T, Houghton PJ, Simmonds MSJ. 2004. Antibacterial activity of
the Chinese traditional medicine, Zi Hua Di Ding. Phytotherapy Res
18(6):497-500. (Abstract). [terhubung berkala]. 2004.copyright@2004 John
Wiley&sons. [24 April 2005].

Chisti Y. 2000. fermentation (Industrial). Di dalam: Robinson RK, Batt CA, Patel PD,
editor. Encyclopedia of Food Microbiology, Vol 2. London: Academic Pr.
hlm 663-674.

Conner DE, Beuchat LR. 1984. Effect of essential oils from plants on growth of
spoilage yeasts. J Food Sci 49:429-434.
81

Corre J, Lucchini JJ, Mercier GM, Cremieux A. 1990. Antibacterial activity of


phenethyl alcohol and resulting membrane alterations. Res Microbiol
141:483-497.

Courvalin P, Drugeon H, Flandrois JP, Goldstein F. 1990. Bactéricidie. Aspects


théoriques et thérapeutiques. Paris, Maloine. hlm 374

Cowan MM. 1999. Plant produtcs as antimicrobial agents. Clinical Microbiol 10:564-
582.

Davidson PM. 2001. Chemical Preservatives and Natural Antimicrobial Compounds.


Di dalam: Doyle MP, Beuchat LR, Montville TJ, editor. Food Microbiology.
Washington DC: ASM Pr.

Dayrit SC. 2000. Coconut oil in health and disease : its and monolaurin’s potential as
cure HIV/AIDS. Di dalam: Sustainable Coconut Industry in the 21st Century.
Proceeding of the XXXVII Cocotech Meeting/ICC 2000; Chennai 24-28 Juli
2000, India: APCC Asian and Pacific Coconut Community. hlm 110-122.

Dirar H. 1992. Sudan’s Fermented Food Heritage, in “Application of Biotechnology


to Traditional Fermented Foods”. Washington DC: National Academic Pr.

Djajadiningrat H, Drewes GWJ. 1934. Atjēhsch-Nederlandsch Woordenboek met


Nederlandsch-Atjēhsch Register. Uitggeven op last der Regeering Deel II.
Batavia, Landsdrukkerij.

Djien KS. 1979. Some Aspects Concerning the Microbiological Safety of Traditional
Fermented Foods in Tropical Asia. Proceedings International Symposium on
Microbiological Aspects of Foodstorage, Processing and Fermentation in
Tropical Asia. Cisarua, Bogor, Indonesia. Dec. 10-13.

Djien KS. 1982. Safety Aspects of Food Fermentation. In: Traditional Food
Fermentation as Industrial Resources in ASCA Countries. Saono S, Winarno
FG, Karjadi D (ed). Proceedings of a technical seminar. Medan. February 9-
11, 1981, Jakarta, The Indonesian Intitute of Science (LIPI)

Duraipandiyan V, Ayyanar M, Ignacimuthu S. 2006. Antimicrobial activity of some


ethnomedicinal plants used by Paliyar tribe from Tamil Nadu, India. BMC
Complement Alternative Med 6:35. [terhubung berkala]. http: // www.
biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 35. [22 Februari 2008].

Ela MA, El-Shaer NS, Ghanem NB. 1996. Antimicrobial evaluation and
chromatographic analysis of some essential and fixed oils. Pharmazie
51:993-995.

Elgayyar M, Draughon FA, Golden DA, Mount JR. 2001. Antimicrobial activity of
essential oils from plants against selected pathogenic and saprophytic
microorganism. J Food Protect 64: 1019-1024.

Elnima E et al. 1983. The antimicrobial activity of garlic and anion extract.
Pharmazie 38:747-748
82

Enig MG. 1998. Lauric oils as antimicrobial agents: theory of effect, scientific
rationale, and dietary applications as adjunct nutritional support for HIV-
infected individuals. Di dalam: Watson RR, editor. Nutrients and Foods in
AIDS. Boca Raton: CRC Pr.

Enig MG. 2002. Coconuts : In Support of Good Health in the 21st Century. Extracted
from Nexus Magazine. 9(2). [Terhubung berkala]. editor @ nexusmagazine.
com [24 April 2005].

Entani E, Asai M, Tsujihata S, Tsukamoto Y, Ohta M. 1998. Antibacterial action of


vinegar against food-borne pathogenic bacteria including Escherichia coli
O157:H7. J Food Protect 61: 953-959.

Farnworth ER, editor.. 2003. Handbook of Fermented Functional Foods.


Washington DC: CRC Pr.

Fessenden RJ, Fessenden JS. 1997. Dasar-dasar Kimia Organik. Di dalam: Maun S,
Anas K, Sally TS, penerjemah. Fundamentals of Organics Chemistry. Jakarta:
Binarupa Aksara.

Fife B. 2005. Makan agar Menjadi Lebih Sehat. Ed ke-2. Di dalam: Rahmalia A,
penerjemah, Ardi FU, editor. Coconut Oil Miracle. Jakarta: PT Bhuana Ilmu
Populer kelompok Gramedia. hlm 235-268

Galvez A, Maqueda M, Bueno MM, Valdivia E. 1991. Permeation of bacteria cell,


permeation of cytoplasmic and artificial membrane vesicles and channel
formation on lipid bilayers by peptide antibiotic AS-48. J Bacteriol 173:886-
892.

Gandjar I. 2000. Fermentations of the Far East. Di dalam: Robinson RK, Batt CA,
Patel PD, editor. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol 2. London:
Academic Pr. hlm 767-773.

Guarte RC, Mühlbauer W, Kellert M. 1996. Drying characteristic of copra and quality
of copra and coconut oil. Postharvest Biol Technol 9:361-372.

Gupta M, Mazumder UK, Gomathi P, Selvan VT. 2006. Antiinflammatory evaluation


of leaves of Plumeria acuminata. BMC Complement and Alternative Med
6:36. [terhubung berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 /
6 / 36. [22 Februari 2008].

Grimwood BE. 1975. Coconut palm products. Rome: FAO.

Hammes WP, Tichazek PS. 1994. The potencial of lactic acid bacteria for production
of safe and wholesome food. Zeitschrift fűr Lebenmitteltechnol.

Hao WL, Lee YK. 2004. Microflora of the gastrointestinal tract: a review. Methods
Mol Biol 268:491-502.
83

Hillerton JE. 1998. Mastitis treatment-A welfare Issue. Proceeding of the British
Mastitis Conference. Axient/Institute for Animal Health, Milk Development
Council/Novartis Animal Health: hlm 3-8.

Hilmarsson H, Kristmundsdottir T, Thormar H. 2005. Virucidal activities of medium-


and long-chain fatty alcohols, fatty acid and monoglycerides agains herpes
simplex virus types 1 and 2: comparison at different pH levels. Apmis 113:
58-65.

Hogan J. 2003. Resistance of microbial cells to antimicrobial agents by efflux. Trinity


Student Medicinal J.

Holzhűtter HG, Genshow E, Diener W, Schelede E. 2003. Dermal and inhalation


acute toxic class methods: test procedures and biometric evaluation for the
globally harmonized classification system. Arch Toxicol 77:243-254.

Hoover DG. 2000. Microorganisms and their Products in the Preservation of Food. Di
dalam: Lund BM, Baird-Parker TC, Gould GW, editor. The Microbiological
Safety and Quality of Food Vol 1. Gaithersburg, Maryland: Aspen publisher.
hlm 251-268..

Hornung B, Amtmann E, Sauer G. 1994. Lauric acid inhibits the maturation of


vesicular stomatitis virus. J General Virol 75:353-361.

Hsieh P, Mau J, Huang S. 2001. Antimicrobial effect of various combination of plants


extracts. Food Microbiol 18:35-43.

Hui YH. 1996. Vegetable Oils. Ed ke-5, Vol 1. Di dalam Hui YH, editor. Bailey’s
Industrial Oil and Fat Products. Edible oil and Fat Products: General
Applications. New York: Wiley-Interscience.

Hurgronje CS. 1985. Aceh di mata kolonialis. Jilid I. O’Sullivan AWS, penerjemah.
Jakarta: Yayasan Soko Guru. Terjemahan dari : The Achehnese.

Iroegbu CU, Nkere CK. 2005. Evaluation of the antibacterial properties of Picralima
nitida steambark extracs. Int J Mol Med Adv Sci 1: 182-189.

Isaacs CE, Thormar H. 1991. The role of milk-derived antimicrobial lipids as


antiviral and antibacterial agents. Di dalam: J Mestecky, et al. (editor).
Immunology of Milk and the Neonate. New York: Plenum Pr.

Janeway CA, Travers P, Walport M, Sclomchik M. 2001. Innate immunity.


Immunobiology: the immune system in health and disease. S. Gibbs New
York: Garland Pub. hlm 35-91

Kabara JJ. 1978. Fatty acids and derivatives as antimicrobial agents: A review. Di
dalam: JJ Kabara, The Pharmacological Effect of Lipids American Oil.
Chemists' Society, Champaign III.
84

Kabara JJ. 2000. Health oils from the tree of life (nutritional and health aspects of
coconut oil). Di dalam: Sustainable Coconut Industry in the 21st Century.
Proceeding of the XXXVII Cocotech Meeting/ICC 2000; Chennai, 24-28 Juli
2000. India: APCC Asian and Pacific Coconut Community. hlm 101-109.

Kanazawa A, Ikeda T, Endo T. 1995. A Novel approach to made of action on cationic


biocides: morphology effect on antibacterial activity. J App Bacteriol 78:55-
60.

Kanwar AS. 2007. Brine shrimp’Artemia salina’ a marine animal for simple and rapid
biological assays. (Review). J Chinese Clinic Med 2(4). [terhubung berkala].
http: // www. cjmed.net / html / 2007424-63. html?PHP. [22 Februari 2008].

Ketaren S. 2005. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia,.

Kim S, Fung YC. 2004. Antibacterial effect of water-soluble Arrowroot (Puerariae


radix) tea extracts on foodborne pathogens in ground beef and mushroom
soup. J Food Protect 67(9):1953-1956.

Kim JW, Kim YS, Kyung KH. 2004. Inhibitory activity of Essential oils of garlic
and onion against bacteria and yeast. J Food Protect 67(3):499-504.

Kiviranta J, Sivonen K, Niemela SI, Huovinen K. 2007. Detection of toxicity of


cyanobacteria by Artemia salina bioassay. [terhubung berkala]. http: //
www3. interscience. wiley. com / cqi-bin / abstract / 112502097 /
ABSTRACT. [22 Februari 2008].

Krishnaraju AV, Rao TVN, Sundararaju D, Vanisree M, Tsay Hsin-Sheng, Subbaraju


GV. 2005. Assesment of bioactivity of Indian meadicinal plants using brine
shrimp (Artemia salina) lethality assay. Int J Appl Sci Eng 3: 125-134.

Kubo I. 1992. Antimicrobial activity of green tea flavour components (effectiveness


against Streptococcus mutans) Di dalam: Teranishi R, Buttery RG, Sugisama
H, editor. Bioactive Volatile Compounds for Plants. American Chemical
Society, Washington.

Lay BW, Hastowo S. 1992. Mikrobiologi. Ed ke-1. Jakarta: Rajawali Pers.

Libanan A. 2000. Coconut product diversification and processing: cocochemicals. Di


dalam: Sustainable Coconut Industry in the 21st Century. Proceeding of the
XXXVII Cocotech Meeting/ICC 2000; Chennai 24-28 Juli 2000, India: APCC
Asian and Pacific Coconut Community. hlm 58-73.

Lieberman M. 1999. A brine shrimp bioassay for measuring toxicity and remediation
of chemicals. J Chem Edu 76 (12) :1689-1691. [terhubung berkala]. http: //
jchemed. chem. wisc. Edu / Contributors / Author / Journal / Laboratory /
example 03 / p1689. pdf. [22 Februari 2008].
85

Linder MC, editor. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Prakkasi A, penerjemah;
Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and
Metabolism. hlm 21.

Lopez-Malo A, Alzamora SM, Guerrero S. 2000. Natural antimicrobials from plants.


Di dalam: SM Alzamora, MS Tapia, A Lopez-Malo, editor. Minimally
processed fruits and vegetables. Gaithersburg: Aspen Pub.

Luo M, Li-Ke Jiang, Guo-Lin Zou. 2005. Acute and genetic toxicity of essential oil
extracted from Litsea cubeba (lour.) Pers. J Food Protect. 68: 581-588.

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar : Asas, organ, sasaran dan penilaian. Edisi ke-1. E
Nugroho, penerjemah. Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari : Basic Toxicology:
fundamentals, target organ and risk assessment.

Maguire M. 2000. Re:how do essential oil interact with bacteria to suppress bacterial
growth? MadSci Network:Biochemistry. [terhubung berkala]. Webad min @
www. madsci. org. [22 Des 2004].

Mahran GH. 1991. Recent Research on Medicinal Plants in the African Region. Di
dalam: Wijesekera ROB, editor. The Medicinal Plant Industry. Boca Raton:
CRC Pr. hlm 209-222.

Manna P, Sinha M, Sil PC. 2006. Aqueous extract of Terminalia arjuna prevents
carbon tetrachloride induced hepatic and renal disorders. BMC Complement
and Alternative Med 6(33): 1-10. [Terhubung berkala]. http: // www.
biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 33. [16 Juli 2008].

Martindale. 1982. The Extra Pharmacopoeia. Ed ke-28. Reynolds EF and Prasad AB,
editor. London. The pharmaceutical Pr.

Mbwambo ZH, Moshi MJ, Masimba PJ, Kapingu MC, Nondo RSO. 2007.
Antimicrobial activity and brine shrimp toxicity of extracs of Terminalia
brownii roots and stem. BMC Complement and Alternative Med. [terhubung
berkala]. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 7 /9. [22 Februari
2008].

Meyer BN, Ferigni NR, Putnam JE, Ja Cobsen LB, Nichols DE, McLaughlin JL.
1982. Brine Shrimp: A Conventient General Bioassay for Active Plant
Constituent. Planta Medica 45:3145.

Mitsuoka T. 1978. Intestinal Bacteria and Health. Watanabe S, Leung WCT,


penerjemah. Tokyo: Iwanami Shoten. Terjemahan dari: Chonaisaikin no
hanashi.

Moat AG, Foster JW. 1988. Microbial Physiology. New York, A Wiley-Interscience
Pub.

Motarjemi Y et al. 1996. Food Fermentation a safety and Nutritional Assesment.


Switzerland. Bulletin of the World Health Organisation.
86

Naidu AS. 2000. Natural Food Antimicrobial System. Washington DC: CRC Pr.

Nair MKM, Joy J, Vasudevan P, Hinckley L, Hoagland TA, Venkitanarayanan KS.


2005. Antibacterial effect of Caprylic acid and monocaprylin on major
bacterial mastitis pathogens. J Dairy Sc . 88:3488-3495.

Nakamura CV, Ueda-Nakamura T, Bando E, Melo AFN, Cortez DAG, Filho BPD.
1999. Antibacterial activity of Ocimum gratissimum L. essential oil. Mem
Inst Oswaldo Cruz 94: 675-678.

Nevas M, Korhonen A-R, Lindstrom M, Turkki P, Korkeala H. 2004. Antibacterial


Efficiency of finish spice essential oils against pathogenic and spoilage
bacteria. J Food Protect 67: 199-202.

Nkere CK, Iroegbu CU. 2005. Evaluation of the antibacterial properties of Picralima
nitida steambark exracts. Int J Mol Med Adv Sci 1: 182-189.

Nunes BS, Carvalho FD, Guilhermino LM, Stappen GV. 2006. Use of the genus
Artemia in ecotoxicity testing. Environment Pollu 144: 453-462. [terhubung
berkala]. www. sciencedirect. com [8 Juli 2008].

Nurliana, Sudarwanto M, Sudirman LI, Sanjaya AW. 2008. Pengujian awal aktivitas
antibakteri dari minyak pliek u dan pliek u: makanan tradisional Aceh. J
Kedokteran Hewan 2: 150-156.

Nychas GJE, Tassou CC. 2000. Traditional Preservatives-Oils and Spices. Di dalam
Robinson RK, Batt CA, Patel PD, editor. Encyclopedia of Food
Microbiology Vol 1. London: Academic Pr.

O’Brien CN, Guidry AJ, Douglass LW, Westhoff DC. 2001. Immunization with
Staphylococcus aureus Lysate incorporated into microsphere. J Dairy Sci
84:1791-1799.

Okeke MI, Iroegbu CU, Jideofor CO, Okoli AS, Esimone CO. 2001. Anti-microbial
activity of ethanol extracts of two indigenous Nigerian spices. J Herbs
Spices Medicinal Plants 8: 39-46.

Oliva MM, Demo MS, Lopez AG, Lopez ML, Zygadlo JA. 2005. Antimicrobial
activity and composition of Hyptis mutabilis essential oil. J Herbs Spices
Med plants 11: 57-63.

Omaye ST. 2004. Food and Nutritional Toxicology. Boca Raton Florida: CRC Pr.

Ottogalli G, Galli A. 1997. Fermented Foods in the Past and in the Future. Italy,
Annali di Microbiologia ed Enzimologia.

Pappas PG. 2006. Invasive candidiasis. Infect Dis Clin North Am 20(3):485-506.
[terhubung berkala]. http: // www. ncbi. nml. nih. Gov / pubmed / 17223626.
[14 Agustus 2008]. (Abstract).
87

Parachos S et al. 2007. In Vitro and in vivo activities of Chios Mastis Gum extracts
and constituents against Helicobacter pylori. Antimicrob Agents Chemother
51:551-559.

Pfaller MA, Jones RN, Doern GV, Sader HS, Hollis RJ, Messer SA, the SENTRY
participant group. 1998. International surveillance of bloodstream infections
due to Candida spesies: frequency of occurance and antifungal
susceptibilities of isolates collected in 1997 in the United States, Canada and
South America for the SENTRY program. J Clin Micribiol 36:1886-1889.

Pfaller MA, Jones RN, Doern GV, Sader HS, Messer SA, Houston A, Coffman S,
Hollis RJ, the SENTRY participant group. 2000. Bloodstream infectiouns
due to Candida spesies: SENTRY antimicrobial surveillance program in
North America and Latin America, 1997-1998. Antimicrob agents
Chemother 3:747-751.

Pfaller MA, Diekema DJ. 2007. Epidemyology of invasive candidiasis: a persistent


public health problem. Clin Microbiol Rev 20(1):133-163. [terhubung
berkala]. http: // www. ncbi. nml. nih. Gov / pubmed / 16984866. [14
Agustus 2008]. (Abstract).

Prajapati JB, Nair BM. 2003. The History of Fermented Foods. Di dalam: Farnworth
ER, editor. Handbook of Fermented Functional Foods. Washington DC:
CRC Pr hlm 3-8.

Projan SJ, Brown-Skrobot S, Schlievert PM, Vandenesch F, Novick RP. Glycerol


monolaurate inhibits the production of ß-lactamase, toxic shock syndrome
toxin-1, and other staphylococcal exoproteins by interfering with signal
transduction. J Bacteriol 176:4204-4209.

Punchihewa PG, Arancon RN. 2004. Coconut: postharvest operations. Chapter XV.
Asian and Pacific Coconut Community. [Terhubung berkala] http: // www.
apcc. org. sg/. [22 Des 2004].

Quattara B, Simard RE, Holley RA, Piette GJ-P, Bégin A. 1997. Antibacterial activity
of selected fatty acids and essential oils against six meat spoilage organism.
Int J Food Microbiol 37: 155-162.

Rahalison L, Hamburger M, Hostettmann K, Monod M, Frenk E. 1991. A


bioautographic agar overlay method for the detection of anti-fungal
compounds from higher plants. Phytochem Anal 2: 199-203.

Rajesh MG, Latha MS. 2004. Protective activity of Glycyrrhiza glabra Linn. on
carbon tetrachloride-induced peroxidative damage. Indian J Pharmacol,
36:284-287.

Reimer LG, Wilson ML, Weinstein MP. 1997. Update on detection of bacteremia and
fungemia. Clin Microbiol Rev 10:444-465.
88

Rhayour, Khadija, Bouchikhi, Touria, Tantaoui-Elaraki, Abdelrhafour, Sendide,


Khalid, Remmal, Adnane. 2003. The mechanism of bactericidal action of
oregano and clove essential oils and of their phenolic major components on
Escherichia coli and Bacillus subtilis. [Terhubung berkala] J Essent Oil Res
Jul/Aug. [10 Maret 2006].

Řiháková Z, Plocková M, Filip V. 2001. Antifungal activity of lauric acid derivates


against Aspergillus niger. Eur Food Res Technol 213:488-490.

Rohani-Razavi SM, Griffiths MW. 1994. The effect of mono and polyglycerol laurat
on spoilage and pathogenic bacteria associated with food. J Food Safety 14:
131-151.

Rojas JJ, Ochoa VJ, Ocampo SA, Muňoz JF. 2006. Screening for antimicrobial
activity of ten medicinal plants used in Colombian folkloric medicine: a
possible alternative in the treatment of non-nosocomial infections. BMC
Complementary and Alternative Medicine 2006 6:2. [terhubung berkala].
http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 2. [22 Februari 2008].

Rosner A, Aviv H. 1980. Gentamicin bioautography assay vs. The microbiological


disk test. J Antibiot 33:600-603.

Runyoro DKB, Matee MIN, Ngassapa OD, Joseph CC, Mbwambo ZH. 2006.
Screening of Tanzania medicinal plants for anti-Candida activity. BMC
Complement Alternative Med 6(11): 1-10. [terhubung berkala]. http: // www.
biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 11. [ 20 Feb 2008].

Sara B. 2004. Essential oil: their antibacterial properties and potential applications in
food. Review. Int J Food Microb 94:223-253.

Seen A. 2005. Toxicity testing (Teacher notes). Australian School Innovation in


Science, Technology and Mathematics Project. [terhubung berkala]. http: //
www. cyut. edu.tw / ~ijase / 2005 / IJASE203-2-6. pdf. [10 April 2007].

Shah A, Cross RF, Palombo EA. 2004. Identification of the antibacterial component
of an ethanolic extract of the Australian medicinal plant, Eremophila duttoni.
Phytotherapy Res 18: 615-618

Shah AH, Al-Shareef AH, Qureshi S, Ageel AM. 1998. Toxicity studies on some
common spices: Cinnamon zylanicum and Piper longum. Plant Fd. Hum. Nutr.
–Qualitas Plantarum 52:231-241.

Shah AH, Khan ZA, Baig ZA, Qureshi S, Al-Bekairi AM. 1997. Gastroprotective
effect of pre-treatment with Zizyphus sativa fruits against txic damage in
rats. Fitoterapia LXVIII:226-234.

Shilhavy B. 2004. The myth of enzymes and coconut oil. [terhubung berkala] http: //
www. bewell. com / virgin / coconut / oil / facts. Html / 18. [23 Des 2004].

Sikkema J, de Bont JAM, Poolman B. 1995. Mechanisms of membrane toxicity of


hidrocarbons. Microbiol Rev 59:201-222.
89

Simonsen HT et al. 2006. Ethnopharmacological evaluation of radal (leaves of


Lomatia hirsute) and isolation of 2-methoxyjuglone. BMC Complement
Alternative Med 6:29. http: // www. biomedcentral. com / 1472-6882 / 6 / 29.

Sudirman LI, Lefèbvre, Kiffer E, Botton B. 1994. Purification of antibiotics produced


by Lentinus squarrosulus and preliminary characterization of a compound
active against Rigidoporus lignosus. Current Microbiol 29:1-6.

Sudirman LI. 2005a. Antimicrobial compounds from tropical mushrooms. Di dalam:


International Seminar on Microbial Biotechnology and Bioprospecting;
Jakarta, 3 Desember 2005. Indonesia: Fakultas Biotechnology, Universitas
Katolik Atmajaya.

Sudirman LI. 2005b. Deteksi senyawa antimikrob yang diisolasi dari beberapa
Lentinus tropis dengan Metode bioautografi. Hayati 12(2):67-72.

Supartinah-Noer I, Kusmoro J, Anugrawati, Pasaribu ART, Ramlan A. 2003.


Toksisitas beberapa tumbuhan Apocynaceae pada hati dan ginjal mencit
swiss-ebster. J Biotika 2: 30-43.

Svanberg B. 1992. Fermentation of cereals: traditional Household Technology with


Nutritional Benefits for Young Children. Canada: IDRC Currents.

Swanson KMJ, Busta FF, Peterson EH, Johnson MG. 1992. Colony Count Methods.
Di dalam: Vanderzant C, Splittstoesser DF, editor. Ed ke-3. Compendium of
Methods for the Microbiological Examination of Foods. USA: American
Public Health Ass. hlm 75-96.

Thieme JG. 1968. Coconut oil Processing. Paper. Rome: FAO Agriculture
Development.

Trecee GD. 2000. Artemia production for marine larval fish culture. [terhubung
berkala]. http://www.mblaquaculture.com/content/download/articles/SRAC-
Artemia-Production.php. [10 April 2007].

Valero M, Salmeron MC. 2003. Antibacterial activity of 11 essential oils against


Bacillus cereus in tyndallized carroth broth. Intl J Food Microbiol 85:73-81.

Vandenberghe J. 1996. Hepatotoxicology: Structure, Fuction and Toxicological


Pathology. Dalam JM Raymond, J de Vrien and AH Manfried (Eds).
Toxicology Principles and Application. New York: CRC Pr.

Voigt R.1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi ke-5. Noerono S,


penerjemah; Reksohadiprodjo MS, editor. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Pr. Terjemahan dari: Lehrbuch der Pharmazeutischen
Technologie.

Voravuthikunchai S, Lortheeranuwa A, Jeeju W, Sririrak T, Phongpaichit S, Supawita


T. 2004. Effective medicinal plants against enterohaemorrhagic Escherichia
coli 0157:H7. J Ethnopharmacol 94: 49-54
90

Walker PMB. 1988. Chambers science and Technology Dictionary. London: Oxford
University Pr.

Wang lih-ling, Johnson EA. 1992. Inhibition of Listeria monocytogenes by fatty


acids and monogliserida. Appl Environ Microbiol 2:624-629.

Wang lih-ling, Yang Bao-kang, Parkin KL, Johnson EA. 1993. Inhibition of Listeria
monocytogenes by monoacylglycerols synthesized from coconut oil and
milkfat by lipase-catalized glycerolysis. J Agric Food Chem 41:1000-1005.

Watson FE, Ngesa A, Onyango J, Alnwick D, Tomkins AM. 1996. Fermentation-a


Traditional Anti-Diarrheal Practice Lost. Int J Food Sci Nutri.

Wolf G. 1997. Traditional fermented food. Di dalam: Anke T, editor Fungal


Biotechnology. London: Chapman&Hall. hlm 3-5.

Yuste J, Fung DYC. 2004. Inactivation of Salmonella Typhimurium and Escherichia


coli 0157:H7 in apple juice by a combination of nisin and cinnamon. J Food
Protect 67: 371-377.
91

Lampiran 1. Tahapan Umum Pelaksanaan Penelitian

MAKANAN FERMENTASI TRADISIONAL ACEH

TAHAP 1
MINYAK PLIEK U PENGAMATAN PLIEK U
PEMBUATAN

EKSTRAK EKSTRAK EKSTRAK


TAHAP 2 KASAR ETANOL KASAR
EKSTRAKSI HEKSAN RESIDU ETANOL

TAHAP 3
UJI AKTIVITAS ANTIMIKROB

(+) AKTIVITAS TERBAIK


MENGHAMBAT BAKTERI & FUNGI

TAHAP 4
UJI LANJUT

MIC & MMC TOKSISITAS AKUT


TOKSISITAS AWAL
PENETAPAN LC50
IDENTIFIKASI
SENYAWA AKTIF
STABILITAS

HASIL/DATA
92

Lampiran 2. Metode analisis proksimat kandungan gizi (AOAC 1980)

1. Kadar air:
Sampel segar sebanyak 1 g dimasukkan dalam botol timbangan dipanaskan
dalam oven pada suhu 105 ºC selama 8 ajm, lalu ditimbang. Kadar air dihitung dengan
rumus: Bobot sampel (segar-kering)
Kadar air = x 100%
Bobot sampel segar
2. Kadar abu:
Sampel segar sebanyak 1 g ditempatkan dalam wadah porselin dan dibakar
sampai tidak meresap, kemudian diabukan dalam tanur bersuhu 600 ºC selama 1 jam,
lalu ditimbang.

Bobot abu
Kadar abu = x 100%
Bobot sampel kering
3. Kadar lemak kasar:
Sampel kering sebanyak 2 g disebar di atas kapas yang beralas kertas saring
dan digulung membentuk thimble, lalu dimasukkan dalam labu soxhlet. Selanjutnya
dilakukan ekstraksi selama 6 jam dengan menggunakan pelarut lemak berupa heksana
sebanyak 150 ml. Lemak yang terekstrak kemudian dikeringkan dalam oven pada
suhu100 ºC selama 1 jam.

Bobot lemak terekstrak


Kadar lemak = x 100%
Bobot sampel kering
4. Kadar protein kasar:
Sampel kering sebanyak 0.25 g ditempatkan dalam labu Kjeldahl ukuran 100
ml dan ditambahkan 0.25 g Selenium dan 3 ml H2SO4 pekat. Selanjutnya dilakukan
destruksi (pemanasan dalam keadaan mendidih) selama 1 jam sampai larutan jernih.
Setelah dingin ditambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NaOH 40%, lalu ditestilasi.
Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3
2% dan 2 tetes indikator Brom cresol Green-Methyl Red berwarna merah muda.
Setelah volume hasil tampungan (destilat) menjadi 10 ml dan berwarna hijau
kebiruan, destilasi dihentikan dan destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berwarna
merah muda yang tidak hilang. Dengan metode ini diperoleh kadar Nitrogen total
yang dihitung dengan rumus:
93

(S-B) x NHCl x 14
%N = x 100%
w x 1000

Keterangan: S = volume titran sampel (ml); B = volume titran blanko (ml); w = bobot
sampel kering (mg)

Kadar protein diperoleh dengan mengalikan kadar Nitrogen dengan 4.38 (faktor
perkalian umum). Faktor perkalian untuk berbagai bahan pangan berkisar 6.25
(AOAC 1980).
5. Kadar serat kasar:
Sampel kering sebanyak 1 g dilarutkan dengan 100 ml H2SO4 1.25%
dipanaskan hingga mendidih lalu dilanjutkan dengan destruksi selama 30 menit.
Selanjutnya disaring menggunakan kertas saring Watman (Ø 10 cm) dan dengan
bantuan corong Buchner. Residu hasil saringan dibilas dengan 20-30 ml air mendidih
dan dengan 25 ml air sebanyak 3 kali. Residu didestruksi kembali dengan 100 ml
NaOH 1.25% selama 30 menit. Lalu disaring dengan cara seperti di atas dan dibilas
berturut-turut dengan 25 ml H2SO4 1.25% mendidih, 2.5 ml air sebanyak tiga kali dan
25 ml alkohol. Residu beserta kertas saring dipindahkan ke cawan porselin dan
dikeringkan dalam oven 130 ºC selama 2 jam. Setelah dingin residu beserta cawan
porselin ditimbang (A), lalu dimasukkan dalam tanur 600 ºC selama 30 menit, lalu
didinginkan dan ditimbang kembali (B).
Bobot serat kasar
Kadar serat kasar = x 100%
Bobot sampel kering

Keterangan :
w – wº = bobot serat kasar
w = bobot residu sebelum dibakar dalam tanur
= A – (bobot kertas saring+cawan); A: bobot residu + kertas saring + cawan
W = bobot residu setelah dibakar dalam tanur
= B – (bobot cawan); B: bobot residu + cawan
6. Kadar kabohidrat:
Kadar karbohidrat total ditentukan dengan metode carbohydrate by difference
yaitu: 100% - (kadar air + abu + protein + lemak). Kadar karbohidrat N-free
menunjukkan besarnya kandungan karbohidrat yang dapat dicerna dari suatu bahan
pangan. Ditentukan dengan cara 100% - (kadar air + abu + protein + lemak + serat
kasar).
94

Lampiran 3. Tahap Ekstraksi Pliek u (Ekstraksi Pertama)

Pliek u

Ekstrak
Ekstraksi heksan 1 Heksan I
(20 g pliek u + 200 ml heksan)

Ekstrak
Ekstraksi heksan 2 Heksan II EHP
(residu pliek u + heksan) (1:10b/v)

Ekstraksi heksan 3 Ekstrak


(residu pliek u + heksan) (1:10 b/v) Heksan III

residu pliek u

Ekstraksi etanol 1
(residu pliek u + etanol) (1:10 b/v) Ekstrak
Etnol I

Ekstraksi etanol 2 Ekstrak


(residu pliek u+ etanol) (1:10 b/v) Etanol II EERP

Ekstraksi etanol 3 Ekstrak


(residu pliek u + etanol) (1:10 b/v) Etanol III
95

Lampiran 4. Tahap Ekstraksi Pliek u (Ekstraksi Kedua)

Pliek u

Ekstraksi etanol 1
Ekstrak
(20 g pliek u + 200 ml etanol)
Etanol I

Ekstraksi etanol 2 Ekstrak


EEP
(residu pliek u + etanol) Etanol II
(1:10 b/v)

Ekstraksi etanol 3 Ekstrak


(residu pliek u + etanol) Etanol III
(1:10 b/v)
96

Lampiran 5. Tahap Proses Pembuatan Minyak Pliek u dan Pliek u

Kelapa

dibelah (kelapa tetap utuh)


Tahap I
Airnya dibuang

Difermentasi (4-5 hari)


Pada suhu kamar (29-36°C)

Daging buah dikukur

Tahap II
Difermentasi (4-5 hari)
Minyeuk simplah
Pada suhu kamar (29-36°C)
(diambil setiap
tanpa kena sinar matahari
hari)
& tertutup

Ampas tanpa minyeuk simplah


(warna keabu-abuan)

Fermentasi dan penjemuran


(terbuka). Pengepresan
dilakukan setelah minyak Minyeuk brok
Tahap III terlihat keluar. (diambil setiap
(Proses ini berlangsung ≥ 5 hari)
hari)

Pliek u (sudah kering


tanpa minyeuk brok)
97

Lampiran 6 Hasil pengujian minyak pliek u dan ekstrak pliek u terhadap beberapa
mikrob menggunakan metode difusi cakram kertas

Diameter Zona Hambatan (mm)*


Jenis Antimikrob Bacillus cereus Bacillus Staphylococcus Candida
BCC 2118 subtilis aureus 168 albicans
3 0 0 2
MS 2 0 0 2
3 0 0 2
Minyak Pliek u
4 0 4 9
MB 4 0 6 8
6 0 6 7
7 0 0 18
Ekstrak heksan
(EHP) 7 0 0 18
6 0 0 16
19 9 18 0
Ekstrak Pliek u Ekstrak etanol
residu (EERP) 20 11 19 0
20 11 18 0
21 10 19 10
Ekstrak kasar
etanol (EEP) 20 11 20 11
20 11 19 11
Amoksisilin 0 0 0 0
0 0 0 0
0 0 0 0
Kloramfenikol 22 0 0 0
20 0 0 0
22 0 0 0
Tetrasiklin 12 7 14 0
12 7 12 0
12 7 14 0 EER
Nystatin (Candistin) td td td 14
15
12
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
98

Lanjutan Lampiran 6

Diameter Zona Hambatan (mm)*


Jenis Antimikrob Pseudomonas Pseudomonas Escherichia Salmonella
aeurogenosa fluorescens Coli Enteritidis
BCC 2137 FNCC 070
0 0 0 0
MS 0 0 0 0
0 0 0 0
Minyak Pliek u
0 2 2 2
MB 0 1 2 2
0 2 1 4
0 3 0 0
Ekstrak heksan
(EHP) 0 4 0 0
0 2 0 0
19 20 16 20
Ekstrak etanol
residu (EERP) 20 21 16 21
Ekstrak Pliek u
22 20 16 23
17 16 15 23
Ekstrak kasar
etanol (EEP) 19 20 16 24
20 19 15 23
0 0 0 15
Amoksisilin 0 0 0 12
0 0 0 14
0 9 16 25
Kloramfenikol 0 10 15 21
0 9 15 22
0 10 0 29
Tetrasiklin 0 8 0 28
0 10 0 28
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
99

Lampiran 7 Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak kasar etanol dari pliek u (EEP),
terhadap jumlah beberapa mikrob serta nilai MIC dan MMC

Jenis Mikrob (Jumlah mikrob Konsentrasi Jumlah mikrob MIC (>90%) MMC
awal) EEP (mg/ml) akhir (0.01%)
B. cereus 1,4 x 106 0 2,8 x 109
1.25 6,9 x 109
2.5 1,8 x 109
5 1,6 x 108
10 3,2 x 104 *
20 5,6 x 103
40 7,5 x 103
80 3,8 x 102 **
S. aureus 2,6 x 107 0 3,6 x 1012
1.25 6,30 x 1010
2.5 2,63 x 108
5 3,28 x 104 *
10 3,5 x 103 **
20 3,5 x 102
40 1,2 x 102
80 0,8 x 101
E. coli (2,5 x 108) 0 2,9 x 1010
1.25 5,7 x 107
2.5 2,9 x 106 *
5 3,5 x 103
10 4,4 x 103 **
20 8,6 x 102
40 9,6 x 102
80 6,7 x 102
S. Enteritidis 1,8 x 107 0 3,8 x 1011
1.25 3,0 x 107
2.5 2,9 x 107
5 8,0 x 107
10 2,8 x 106 *
20 1,2 x 102 **
40 3,0 x 101
80 0
100

Lanjutan Lampiran 7

Jenis Mikroba (Jumlah mikroba Konsentrasi Jumlah MIC (>90%) MMC (0.01%)
awal) EEP (mg/ml) mikroba akhir
P. aeruginosa 2,0 x 107 0 6,5 x 1010
1.25 2,1 x 106
2.5 2,5 x 105
5 2,9 x 104 *
10 6,0 x 101 **
20 0
40 0
80 0
C. albicans 2,5 x 105 0 2,7 x 109
1.25 6,4 x 105
2.5 1,4 x 105
5 2,8 x 103 *
10 3,7 x 102
20 2,0 x 101 **
40 0
80 0
101

Lampiran 8 Pengaruh suhu dan lama pemanasan terhadap aktivitas antimikrob EEP

Suhu Waktu Diameter Zona Hambatan (mm)*


(menit) Ulangan
Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans
o
100 C 15 n1 16 20 9
n2 17 19 11
n3 17 19 11
Σ 50 58 31
rataan ±SD 16,67±0,57 19,33±0,57 10,33±1,15
30 n1 12 18 11
n2 17 19 11
n3 17 18 11
Σ 46 55 33
rataan ± SD 15,33±2,88 18,33±0,57 11±0
45 n1 16 19 8
n2 14 18 8
n3 17 18 7
Σ 47 55 23
rataan ± SD 15,67±1,53 18,33±0,57 7,67±0,57
60 n1 15 17 9
n2 16 18 8
n3 15 18 11
Σ 46 53 28
rataan ± SD 15,33±0,57 17,67±0,57 9,33±1,53
121oC 15 n1 12 15 10
n2 12 17 10
n3 14 18 11
Σ 38 50 31
rataan ± SD 12,67±1,15 16,67±1,53 10,33±0,58
30 n1 14 17 8
n2 13 13 11
n3 11 13 11
Σ 38 43 30
rataan ± SD 12,67±1,53 14,33±2,31 10±1,73
45 n1 12 16 6
n2 16 12 5
n3 12 11 6
Σ 40 39 17
rataan ± SD 13,33±2,31 13±2,67 5,67±0,58
60 n1 10 9 6
n2 9 11 6
n3 9 11 6
Σ 28 31 18
rataan ± SD 9,33±0,58 10,33±1,15 6±0
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
102

Lampiran 9 Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap aktivitas antimikrob


EEP

Suhu Lama Diameter Zona Hambatan (mm)


Penyimpanan Penyimpanan Ulangan Escherichia Staphylococcus Candida
coli aureus albicans
1 bulan n1 14 12 9
Suhu
Kamar n2 19 16 8
(28ºC) n3 14 16 11
Σ 47 44 28
rataan ± SD 15,67±2,89 14,67±2,31 9,33±1,53
2 bulan n1 14 17 11
n2 11 17 11
n3 11 17 10
Σ 36 51 32
rataan ± SD 12±1,73 17±0 10,67±0,58
3 bulan n1 10 16 11
n2 11 16 12
n3 14 16 9
Σ 35 48 32
rataan ± SD 11,67±2,08 16±0 10,67±1,53
4 bulan n1 11 16 9
n2 11 15 9
n3 12 16 8
Σ 34 47 26
rataan ± SD 11,33±0,58 15,67±0,58 8,67±0,58
5 bulan n1 7 15 10
n2 10 15 10
n3 9 15 10
Σ 26 45 30
rataan ± SD 8,67±1,53 15±0 10±0
6 bulan n1 5 15 12
n2 8 16 8
n3 10 15 8
Σ 23 46 28
rataan ± SD 7,67±2,52 15,3±30,58 9,33±2,31
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
103

Lanjutan Lampiran 9

Suhu Lama Diameter Zona Hambatan (mm)*


Penyimpanan Penyimpanan Ulangan Escherichia Staphylococcus Candida
coli aureus albicans
1 bulan n1 7 12 8
Suhu
Refrigerator n2 11 12 9
(10oC) n3 7 15 8
Σ 25 39 25
rataan ± SD 8,33±2,31 13±1,73 8,33±0,58
2 bulan n1 8 12 9
n2 10 12 9
n3 11 12 9
Σ 29 36 27
rataan ± SD 9,67±1,53 12±0 9±0
3 bulan n1 5 10 8
n2 6 12 7
n3 6 10 7
Σ 17 32 22
rataan ± SD 5,67±0,58 10,67±1,15 7,33±0,58
4 bulan n1 7 10 3
n2 5 12 4
n3 5 12 4
Σ 17 34 11
rataan ± SD 5,67±1,15 11,33±1,15 3,67±0,58
5 bulan n1 5 8 3
n2 6 9 3
n3 6 9 3
Σ 17 26 9
rataan ± SD 5,67±0,58 8,67±0,58 3±0
6 bulan n1 5 7 3
n2 6 9 3
n3 5 7 4
Σ 16 23 10
rataan ± SD 5,33±0,58 7,67±1,15 3,33±0,58
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
104

Lanjutan lampiran 9

Suhu Lama Diameter Zona Hambatan (mm)*


Penyimpanan Penyimpanan Ulangan Escherichia Staphylococcus Candida
coli aureus albicans
Suhu Freezer 1 bulan n1 4 9 4
(-20ºC) n2 6 9 5
n3 4 8 5
Σ 14 26 14
rataan ± SD 4,67±1,15 8,67±0,58 4,67±0,58
2 bulan n1 5 8 5
n2 5 8 5
n3 4 8 5
Σ 14 24 15
rataan ± SD 4,67±0,58 8±0 5±0
3 bulan n1 4 6 4
n2 4 5 3
n3 4 6 4
Σ 12 17 11
rataan ± SD 4±0 5,67±0,58 3,67±0,58
4 bulan n1 3 6 4
n2 3 6 4
n3 3 6 4
Σ 9 18 12
rataan ± SD 3±0 6±0 4±0
5 bulan n1 3 5 4
n2 3 5 3
n3 3 3 4
Σ 9 13 11
rataan ± SD 3±0 4,33±1,15 3,67±0,58
6 bulan n1 3 4 4
n2 3 4 3
n3 3 4 4
Σ 9 12 11
rataan ± SD 3±0 4±0 3,67±0,58
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
105

Lampiran 10 Pengaruh pH terhadap aktivitas antimikrob EEP

pH Ulangan Diameter Zona Hambatan (mm)*


Escherichia coli Staphylococcus aureus Candida albicans
3 n1 16 20 9
n2 15 21 9
n3 16 20 9
Σ 47 61 27
rataan ± SD 15,67±0,58 20.33±0,58 9±0
5 n1 17 19 11
n2 17 19 9
n3 16 20 9
Σ 50 58 29
rataan ± SD 16,67±0,58 19,33±0,58 9,67±1,15
7 n1 18 19 11
n2 16 19 11
n3 16 19 9
Σ 50 57 31
rataan ± SD 16.67±1,15 19±0 10,33±1,15
9 n1 15 18 11
n2 17 20 11
n3 17 20 11
Σ 49 58 33
rataan ± SD 16,33±1,15 19,33±1,15 11±0
11 n1 16 18 8
n2 15 19 9
n3 15 19 9
Σ 46 56 26
rataan ± SD 15,33±0,58 18,67±0,58 8,67±0,58
Keterangan: * dikurangi dengan diameter cakram kertas 13 mm.
106

Lampiran 11 Jumlah mikrob feses mencit (log cfu/g) setelah diberikan EEP per oral

Jumlah mikrob feses mencit


Mencit EEP I EEP II EEP 0
6 5
n1 34.10 41 . 10 47 . 106
n2 37.106 35 . 105 57 . 106
n3 31.106 29 . 105 26 . 106
total 102 .106 105 . 105 130 . 106
rata-rata 3.4 .107 3.5 . 106 4.33 . 107
log cfu/g 7.53 6.54 7.63
Keterangan: EEP I (370 mg/kg berat badan), EEP II (733 mg/kg berat badan), EEP 0 (kontrol)
107

Lampiran 12 Pengaruh pemberian EEP per oral terhadap berat hati dan ginjal mencit

Tabel 1 Pengaruh pemberian EEP per oral terhadap berat hat mencit

Perlakuan Mencit Berat hati Berat badan Berat hati/berat badan Rataan ± SD
(g) (g) (%)
EEP 0 1 1.58 28.15 5.61
2 1.35 27.2 4.96 6.05±1.36
3 2.23 29.43 7.58
EEP I 1 1.89 30.64 6.17
2 2.17 28.91 7.50 6.96±0.69
3 2.08 28.82 7.21
EEP II 1 2.45 29.11 8.42
2 2.05 29.42 6.97 7.73±0.72
3 2.35 30.13 7.79
Keterangan: EEP I (370 mg/kg bb), EEP II (733 mg/kg bb), EEP 0 (kontrol)

Tabel 2 Pengaruh pemberian EEP per oral terhadap berat ginjal mencit

Perlakuan Mencit Berat ginjal Berat badan Berat ginjal/berat badan Rataan ± SD
(g) (g) (%)
EEP 0 1 0.52 28.15 1.85
2 0.43 27.2 1.58 1.79±0.19
3 0.57 29.43 1.94
EEP I 1 0.59 30.64 1.93
2 0.57 28.91 1.97 2.01±0.1
3 0.61 28.82 2.12
EEP II 1 0.57 29.11 1.96
2 0.61 29.42 2.07 2.02±0.5
3 0.61 30.13 2.02
Keterangan: EEP I (370 mg/kg bb), EEP II (733 mg/kg bb), EEP 0 (kontrol)
108

Lampiran 13 Hasil pengukuran tingkat kerusakan hati mencit

Tabel 1 Hasil p engukuran tingkat kerusakan hati berdasarkan 10 lapang pandang pada
mencit yang tidak diberikan EEP

Ulangan Parameter Lapang pandang


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
IK1 Sitoplasma 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1
nukleus 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
P. darah 1 1 1 1 1 2 2 2 2 1

IK2 Sitoplasma 1 1 3 3 3 2 2 3 2 2
nukleus 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1
P. darah 1 1 1 0 0 1 1 1 0 1

K3 Sitoplasma 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2
nukleus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
P. darah 0 2 2 2 0 0 0 2 2 2

Tabel 2 Hasil pengukuran tingkat kerusakan hati berdasarkan 10 lapang pandang pada
mencit yang diberikan EEP (370 mg/kg bb)

Ulangan Parameter Lapang pandang


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
EK1 Sitoplasma 1 1 1 1 1 3 3 3 3 1
Nukleus 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1
P. darah 1 0 0 0 1 1 1 1 1 1

EK2 Sitoplasma 2 1 1 1 1 1 1 2 2 2
Nukleus 1 2 2 2 0 0 2 2 2 1
P. darah 1 1 1 1 3 3 3 3 3 3

EK3 Sitoplasma 3 2 2 2 3 3 3 3 3 2
Nukleus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
P. darah 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1

Tabel 3 Pengukuran tingkat kerusakan hati berdasarkan 10 lapang pandang pada


mencit yang diberikan EEP (733 mg/kg bb)

Ulangan Parameter Lapang pandang


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
FK1 Sitoplasma 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
nukleus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
P. darah 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0

FK2 Sitoplasma 3 2 3 3 3 2 3 3 3 2
nukleus 1 1 2 2 0 0 2 2 2 1
P. darah 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3

FK3 Sitoplasma 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
nukleus 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1
P. darah 0 0 1 0 1 1 1 2 0 1
109

Lampiran 14 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal mencit

Tabel 1 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal berdasarkan 10 lapang pandang


pada mencit yang tidak diberikan EEP

Ulangan Parameter Lapang pandang


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
IK1 Glomerulus 1 0 1 0 0 1 1 1 1 1
Tubulus 4 3 1 1 1 3 1 3 3 3

IK2 Glomerulus 0 0 1 1 1 0 0 1 1 1
Tubulus 1 1 1 1 1 1 1 4 1 1

IK3 Glomerulus 1 1 0 0 1 1 1 0 1 1
Tubulus 4 1 1 1 1 1 1 2 1 1

Tabel 2 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal berdasarkan 10 lapang pandang


pada mencit yang diberikan EEP (370 mg/kg bb)

Ulangan Parameter Lapang pandang


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
EK1 Glomerulus 4 1 1 4 1 1 0 1 1 1
Tubulus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

EK2 Glomerulus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Tubulus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

EK3 Glomerulus 4 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Tubulus 1 1 1 1 4 1 4 4 1 4
Radang interstisial 20%

Tabel 3 Hasil pengukuran tingkat kerusakan ginjal berdasarkan 10 lapang pandang


pada mencit yang diberikan EEP (733 mg/kg bb)

Ulangan Parameter Lapang pandang


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
FK1 Glomerulus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Tubulus 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Radang interstial 10%
FK2 Glomerulus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Tubulus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1

FK3 Glomerulus 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Tubulus 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1
110

Lampiran 15 Hasil identifikasi komponen di dalam ekstrak etanol (EEP dan EERP)

Tabel 1. Hasil identifikasi komponen dalam EEP menggunakan GC-MS


No Komponen Jumlah RT dan area (%) Jumlah
1 Decanoic acid (asam kaprat) RT 14.51
Area (%) 0.91 0.91
2 Decanoic acid methyl ester RT 3.87
Area (%) 0.49 0.49
3 Dodecanoic acid (asam laurat) RT 19.23 19.76
Area (%) 9.61 1.15 10.76
4 Dodecanoic acid, methyl ester RT 6.35 6.91
Area (%) 6.06 1.99 8.05
5 Tetradecanoic acid (asam miristat) RT 24.14
Area (%) 4.73 5.24
6 Tetradecanoic acid methyl ester RT 9.32 9.94
Area (%) 4.63 2.71 7.34
7 Hexadecanoic acid (asam palmitat) RT 27.39 28.05 28.27 29.59
Area (%) 0.53 7.16 2.08 0.47 10.24
8 Hexadecanoic acid methyl ester RT 13.06 13.87
Area (%) 3.59 2.56 6.15
9 Hexadecanoic acid 2,3-dihydroxy RT 27.01
Area (%) 2.81 2.81
10 9-Hexadecenoic acid (asam palmitoleat) RT 28.56
Area (%) 2.39 2.39
11 Octadecanoic acid (asam stearat) RT 27.77 31.63
Area (%) 0.16 1.39 1.55
12 Octadecanoic acid methyl ester RT 17.55 18.44
Area (%) 2.32 1.38 3.7
13 9-Octadecenoic acid (asam oleat) RT 32.24 32.36 45.94
Area (%) 2.8 1.25 5.64 9.69
14 9-Octadecenoic acid methyl ester RT 17.96 18.77
Area (%) 2.84 1.73 4.57
15 9,12-Octadecadienoic acid (asam linoleat) RT 33.46
Area (%) 0.74 0.74
16 9,12-Octadecadienoic acid methyl ester RT 18.99
Area (%) 0.69 0.69
17 7,10,13-hexadecatienoic acid RT 46.47
Area (%) 1.06 1.06
18 9,12,15-octadecatrienoic acid RT 44.15
Area (%) 0.23 0.23
19 3-Dodecendiena RT 42.37 42.44
Area (%) 13.40 5.96 19.36
20 1,4-cyclononadiena RT 35.50
Area (%) 3.09 3.09
21 Tetradecanedioic acid RT 22.32
Area (%) 0.51 0.51
22 Octanoic acid (asam kaprilat) RT 10.37
Area (%) 0.32 0.32
Total 99.89
111

Lanjutan Lampiran 15

Tabel 2 Hasil identifikasi komponen dalam EERP menggunakan GC-MS

No Komponen Jumlah RT dan Area (%) Jumlah


1 Dodecanoic acid (asam laurat) RT 19.26 19.77
Area (%) 0.80 0.05 0.85
2 Dodecanoic acid, 2 hydroxy-1 RT 29.10 29.29 32.98 33.15
Area (%) 7.83 8.54 7.34 7.76 31.47
3 Tetradecanoic acid (asam miristat) RT 24.43
Area (%) 0.55 0.55
4 Hexadecanoic acid (asam palmitat) RT 24.95
Area (%) 0.01 0.01
5 Hexadecanoic acid 2,3-dihydroxy RT 28.02 29.63 35.96
Area (%) 1.45 11.60 0.61 13.66
6 Octadecenoic acid methyl ester RT 22.06 27.14 27.58 27.73 28.22
Area (%) 0.22 1.15 4.06 1.11 4.04
RT 28.41 28.58 35.67 37.08
Area (%) 1.91 1.52 0.80 0.08 14.89
7 9-Octadecenoic acid (asam oleat) RT 27.88 35.54
Area (%) 2.12 0.72 2.84
8 4-Dibenzofuramine RT 30.90 31.60
Area (%) 8.39 14.43 22.82
9 Etyl-2,2-difluoro-2-(4-propen-3 (piperadine) RT 33.57
Area (%) 12.71 12.71
Total 99.80

You might also like