Professional Documents
Culture Documents
Upaya Percepatan Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera
Upaya Percepatan Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera
Dina Amalia
Direktorat Jalan Bebas Hambatan, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian PUPR
Jalan Pattimura, No. 20, Jakarta Selatan
E-mail: dina15amalia@gmail.com
Abstract
Infrastructure is one of the supporting economic drivers to support the flow of goods and
services, increase production capacity, reduce logistics costs, and improve economic
efficiency. Until now, the length of toll roads in Indonesia has reached 2,499 km with a
distribution in Java Island of 66% and the rest is spread throughout Indonesia. This shows that
toll roads are still focused on Java Island with high economic and financial viability. To support
regional development on Sumatra Island, support from the Government is needed in building
infrastructure, especially in the construction of toll roads so that the Government assigned PT
Hutama Karya to build the Trans Sumatra Toll Road (JTTS) in accordance with Presidential
Regulation Number 100 of 2014 concerning Acceleration of Toll Road Development in
Sumatra. In its implementation, there are several strategic issues including the low daily traffic
of JTTS which has been operating, the low inflation rate which has caused PT Hutama Karya's
financial condition to become unhealthy, the implementation of clear zones and capping layer
that cause high construction costs, limited loan sources in the government support schemes,
and limited state budget in land acquisition. Thus, efforts are needed to accelerate the
development of JTTS, especially in terms of funding sources.
Keywords: Trans Sumatera Toll Road, strategic issues, acceleration.
Abstrak
Infrastruktur adalah salah satu penggerak ekonomi yang berkontribusi untuk mendukung
kelancaran arus barang dan jasa, peningkatan kapasitas produksi, serta penurunan biaya
logistik sehingga dapat terwujud efisiensi ekonomi. Sampai dengan saat ini, panjang jalan tol
di Indonesia mencapai 2.499 km dengan sebaran di Pulau Jawa sebesar 66%, dan sisanya
tersebar di seluruh Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan jalan tol masih
berfokus di Pulau Jawa dengan tingkat kelayakan ekonomi dan finansial proyek jalan tol yang
cukup tinggi. Untuk mendukung pengembangan wilayah di Pulau Sumatera, maka dibutuhkan
dukungan dari Pemerintah dalam membangun infrastruktur, terutama dalam pembangunan
jalan tol sehingga Pemerintah menugaskan PT Hutama Karya untuk membangun Jalan Tol
Trans Sumatera (JTTS) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 100 tahun 2014 tentang
Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatra dan perubahannya. Dalam pelaksanaannya,
terdapat beberapa isu strategis diantaranya adalah rendahnya realisasi lalu lintas harian JTTS
yang telah beroperasi serta tingkat inflasi yang rendah yang menyebabkan kondisi keuangan
PT Hutama Karya menjadi tidak sehat, terdapat penerapan clear zone dan capping layer
yang menyebabkan tingginya biaya pembangunan sehingga tingkat kelayakan finansial
semakin rendah, keterbatasan sumber pinjaman pada skema dukungan konstruksi, dan
keterbatasan APBN dalam pendanaan pengadaan tanah. Dengan demikian, dibutuhkan
upaya-upaya dalam percepatan pembangunan JTTS terutama dalam hal kepastian sumber
pendanaan.
Kata-Kata Kunci: Jalan Tol Trans Sumatera, isu strategis, upaya percepatan.
1. Pendahuluan
Infrastruktur adalah salah satu penggerak ekonomi yang berkontribusi untuk
mendukung kelancaran arus barang dan jasa, peningkatan kapasitas produksi, serta
penurunan biaya logistik sehingga dapat terwujud efisiensi ekonomi. Indonesia telah
memiliki cita-cita besar pada tahun 2045 yaitu tercapainya Indonesia Emas dimana salah
satu pilar untuk mencapai hal tersebut adalah pemerataan pembangunan. Berdasarkan data
yang dirilis oleh Bank Dunia, biaya logistik di Indonesia terhitung mencapai 24% dari PDB,
dimana kondisi ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara maju seperti Jepang, Korea
Selatan, dan Singapura yang biaya logistiknya di bawah 10%. Untuk itu, masih diperlukan
pembangunan infrastruktur yang memadai di Indonesia, yang salah satunya melalui
pembangunan jalan bebas hambatan dan/atau jalan tol.
Sampai dengan saat ini panjang jalan tol di Indonesia mencapai 2.499 km dengan
sebaran di Pulau Jawa sebesar 66%, dan sisanya tersebar di seluruh Indonesia.
Pembangunan jalan tol yang sampai dengan saat ini berfokus di Pulau Jawa dikarenakan
tingginya tingkat kelayakan ekonomi dan finansial jalan tol. Untuk mendorong
pengembangan wilayah, maka dibutuhkan pembangunan infrastruktur jalan tol khususnya
di Pulau Sumatera, mengingat bahwa Jalan Tol di Sumatra akan menjadi bagian dari Asian
Network Highway. Selain itu, Jalan Tol Trans Sumatra Aceh-Lampung telah tercantum
dalam RPJMN 2020-2024 sebagai major project dalam mendukung visi pemerataan
pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Kementerian PUPR bersama dengan
KOICA pada tahun 2010 tentang “Development Plan of Sumatera Island”, disampaikan
hanya Jalan Tol Bakauheni-Palembang dan Pekanbaru-Medan yang layak secara ekonomi,
dan tidak ada ruas dengan kelayakan finansial yang cukup sehingga membutuhkan
subsidi/dukungan dari Pemerintah yang mencapai 84% dari total nilai konstruksi untuk
pembangunan jalan tol tersebut (target FIRR 16% dan tingkat inflasi 6%/tahun). Untuk itu,
PT Hutama Karya sebagai BUMN ditugaskan oleh Presiden untuk melaksanakan
pengusahaan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor
100 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Jalan Tol di Sumatera dan
perubahannya.
Dalam pelaksanaan penugasan pengusahaan JTTS oleh PT Hutama Karya, terdapat
beberapa isu strategis diantaranya rendahnya realisasi lalu lintas harian JTTS yang telah
beroperasi serta tingkat inflasi yang rendah yang menyebabkan kondisi keuangan PT
Hutama Karya menjadi tidak sehat, terdapat penerapan clear zone dan capping layer yang
menyebabkan tingginya biaya pembangunan sehingga tingkat kelayakan finansial semakin
rendah, keterbatasan sumber pinjaman pada skema dukungan konstruksi, dan keterbatasan
APBN dalam pendanaan pengadaan tanah. Untuk itu, dalam memenuhi amanat presiden
dalam RPJMN 2020-2024, dibutuhkan upaya-upaya dalam percepatan pembangunan JTTS
terutama dalam hal kepastian sumber pendanaan.
2. Tinjauan Pustaka
2.1 Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU)
Investasi yang dibutuhkan dalam penyediaan infrastruktur di Indonesia pada tahun
2015–2019 adalah Rp 4.796 trilyun dan dari jumlah tersebut lebih kurang 40% berasal dari
sektor PUPR (Wibowo, 2016). Berdasarkan data yang diperolah dalam studi Bappenas-JICA
pada tahun 2014, Pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah
(APBN/D) hanya mampu menutup sekitar 41,25 %-nya saja; sisanya diharapkan dapat
dibiayai oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebesar 22,23% dan badan usaha sebesar
36,52%. Untuk itu, investasi dari pihak swasta dalam pendanaan infrastruktur sangat
dibutuhkan yaitu melalui skema Kerjasama Pemerintah Badan Usaha (KPBU).
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015, KPBU adalah kerjasama
antara pemerintah dan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur untuk kepentingan umum
dengan mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Menteri/Kepala
Lembaga/Kepala Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yang
sebagian atau seluruhnya menggunakan sumber daya badan usaha dengan memperhatikan
pembagian risiko di antara para pihak. Skema KPBU mengatasi masalah yang muncul pada
sistem pengadaan konvensional.
Dalam rangka mendorong implementasi proyek KPBU di Indonesia, pemerintah
memperkuat kerangka legal KPBU sejak tahun 2015 dengan menerbitkan regulasi yang
lengkap dan jelas. Regulasi mengenai KPBU di antaranya Peraturan Presiden Nomor 38
Tahun 2015 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Menteri Perencanaan
Pembangunan Nasional No. 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan KPBU dalam
Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Menteri Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
No. 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha KPBU dalam
Penyediaan Infrastruktur, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 260/PMK.08/2016 tentang
Tata Cara Pembayaran Ketersediaan Layanan Pada Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan
Badan Usaha Dalam Rangka Penyediaan Infrastruktur, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 96 Tahun 2016 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan.
Total biaya investasi JTTS sepanjang 2.839 km adalah Rp 531 T, yang terdiri dari Rp
307 T untuk ruas utama (backbone) sepanjang 1.847 km dan Rp 224 T untuk ruas pendukung
(feeder) sepanjang 992 km. Dari total kebutuhan investasi sebesar Rp 531 T, terdapat
kekurangan pendanaan (funding gap) pada tahun 2020-2024 sebesar Rp 456 T, dimana Rp
218,8 T diantaranya untuk ruas tol utama yang harus dipenuhi dalam waktu 4 tahun.
Untuk pendanaan JTTS Tahap 1, PMN yang sudah dialokasikan pada TA 2015-2020
sebesar Rp 27,1 T. Untuk memenuhi target penyelesaian tahap 1 sampai dengan tahun 2024,
diajukan usulan besaran Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 74,508 T yang terdiri
atas PMN PT Hutama Karya (Persero) sebesar Rp 66,608 T dan PMN PT Waskita Karya
(Persero) sebesar Rp 7,9 T, dengan jadwal pencairan PMN sebagai berikut:
BPJT
1
2
4
Annuity
Tarif dari
Pengguna
EPC+F
Kontraktor
KETERANGAN
1. HK menandatangani PPJT dengan BPJT atas nama Kementerian
PUPR. Perjanjian Kerjasama dengan HK dengan lingkup Design
Build Finance Operate Maintenance (DBFOM) untuk ruas Tahap II
selain ruas dengan dukungan konstruksi.
2. Atas pembangunan yang dilakukan oleh HK, Pemerintah melalui
Kementerian PUPR melakukan pembayaran tahunan selama 15
tahun berdasarkan pada pemenuhan ketersediaan layanan.
3. Kementerian PUPR mengalokasikan sisa anggaran untuk
pembayaran Annuity .
4. HK bertanggung jawab atas aspek operasional jalan tol termasuk
pengumpulan tol. Pendapatan tol digunakan untuk membangun ruas
JTTS selanjutnya.
5.2 Saran
Upaya percepatan pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera:
a. Penyusunan revisi Perpres JTTS sehingga terdapat kepastian pendanaan dan dukungan
percepatan lainnya.
b. Dukungan konstruksi dari ruas jalan tol lain (Misalnya: Japek Selatan).
c. Fokus penyelesaian pada ruas-ruas utama (backbone) JTTS.
d. Berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait dalam hal percepatan pembebasan
lahan JTTS dan pinjaman luar negeri.
e. Penerapan skema pembiayaan kreatif seperti asset recycling dan estafet financing.
f. Percepatan pendanaan pengadaan tanah secara hybrid melalui pembayaran langsung
dan dana talangan tanah.
g. Percepatan pengadaan kontraktor pada segmen dukungan pemerintah melalui
penunjukan langsung kepada PT Hutama Karya (Persero) dan pelaksanaan konstruksi
untuk beberapa paket secara bersamaan.
6. Daftar Pustaka