Mirza Muttaqin Kelompok 2

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

REINTERPRETASI HADITS PERINTAH ISTRI BERSUJUD KEPADA SUAMI

PERSPEKTIF HERMENEUTIKA JORGE J. E. GRACIA

Hima Roiku Dinia¹, Mawaddatul Jannah²


Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
hima.rdinia@gmail.com, mawaddahtuljannah@gmail.com

ABSTRACT
Among the hadiths about the primacy of women, there are also hadiths that are literally
offensive, such as the hadith about a wife's prostration to her husband. This hadith has
received a lot of criticism from contemporary Muslim intellectuals because textually it
seems to differentiate the position and role of women from men. This research aims to
reinterpret the hadith regarding the obedience/command of wives to prostrate to their
husbands by using Jorge G.E Gracia's hermeneutics which pays attention to textual
aspects: History, meaning, and implications as well as non-textual aspects. This research
is descriptive qualitative research using the literature study method. The data sources for
this research were obtained from books and journals that were relevant to the research.
The results of this research show that in the analysis of the historical, socio-cultural
function of Arab society, it still prioritized the role of men over women, so this hadith
cannot be understood textually. Then the chain of narration of the hadith comes from Abu
Hurairah which is factually very problematic. Then, in the analysis of the meaning
function, linguistically this hadith uses analogical language. which means if I can order
and the one who says this is the Messenger of Allah, which means that if interpreted in
general it means that the Messenger of Allah cannot order and must not bow down to
anyone other than Allah, as in Surah An-Nahl Verse 49. Then in the analysis of the
implicative function, the obedience of a wife towards the husband is an obligation as long
as the husband does not order him to commit a disobedience. Then, the non-textual
analysis of this hadith implicitly teaches its followers not to prostrate themselves to fellow
humans or prostrate themselves to anyone other than God, the Creator.

Keywords: Reinterpretation; hadith; husband and wife; hermeneutics Jorge J.E Gracia

ABSTRAK
Diantara hadis-hadis tentang keutamaan perempuan, terdapat juga hadis yang secara
harfiah menyudutkan, seperti hadis tentang sujud seorang istri pada suami. Hadis ini
banyak mendapat kritikan para intelektual muslim kontemporer karena secara tekstual
terlihat membedakan kedudukan dan peran perempuan dari laki-laki. Penelitian ini
bertujuan untuk mereinterpretasi hadist tentang ketaatan/perintah istri bersujud kepada
suami dengan menggunakan hermeneutika Jorge G.E Gracia yang memperhatikan aspek
tekstual: History, makna, dan implikasinya serta aspek non tekstualnya. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode studi pustaka. Sumber data
penelitian ini didapat dari buku dan jurnal yang relevan dengan penelitian. Hasil penelitian
ini menunjukkan dalam analisis fungsi historis, sosial-kultural masyakarat Arab dulu masih
mengutamakan peran laki-laki dari pada Perempuan, maka hadis tersebut tidak dapat
dipahami secara tekstual. Kemudian rantai periwayatan hadits tersebut bersumber dari Abu
Hurairah yang secara faktual sangat problematis. Kemudian dalam analisis fungsi makna,
secara linguistik hadis ini menggunakan bahasa analogis. yaitu bermakna jikalau saya
boleh memerintahkan dan yang berkata disini adalah Rasulullah saw yang berarti jika
dimaknai secara umum berarti Rasulullah tidak dapat memerintahkan dan tidak boleh
sujud kepada manusia selain Allah, seperti Surat An-Nahl Ayat 49. Kemudian pada
analisis fungsi implikatif, ketaatan seorang istri terhadap suami merupakan kewajiban
selama suami tidak memerintahkan kepadanya untuk melakukan suatu kemaksiatan.
Kemudian analisis non tekstual secara tersirat hadis tersebut mengajarkan kepada umatnya
untuk tidak bersujud kepada sesama manusia ataupun bersujud kepada selain Tuhan Sang
Pencipta.

Kata kunci: Reinterpretasi; hadist; suami istri; hermeneutika Jorge G.E Gracia
PENDAHULUAN
Hadis sebagai sumber hukum Islam mempunyai peran signifikan dalam membangun
peradaban manusia. Hadis mempunyai peran yang cukup berpengaruh, yaitu pada satu sisi
menjadi tafsir dari ayat-ayat alquran yang bersifat umum, tetapi pada sisi lain hadis juga
mempunyai peran mandiri sebagai sumber hukum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
perilaku keagamaan seorang banyak mengambill dari pemahaman hadis dibandingkan
sumber-sumber lain (Mohammad Muhtador, 2018). Meski demikian, bukan berarti bahwa
hadis nabi adalah sesuatu yang bernilai transenden secara keseluruhan, karena pada sisi lain
hadis mengandung banyak kritikan yaitu terkait otentisitas yang mencakup kritik sanad dan
matan, konteks nabi dalam menyabdakan hadis yaitu apakah beliau sebagai nabi atau rasul,
dan pemahaman hadis yaitu terkait dengan hadis-hadis yang bernilai diskriminatif
(Djamaluddin, 2018)(Hauqola, 2016).
Perkembangan periwayatan hadis telah melewati waktu panjang. Dengan bahasa yang
sederhana, hadis telah melewati fase panjang dimana pada tiap masa mempunyai ciri dan
karakter sendiri. Pada tataran ini para feminis Islam mensinyalir adanya kepentingan-
kepentingan kaum laki-laki dalam usaha menguatkan posisinya. Karakter yang melingkupi
perjalanan hadis menjadi bagian integral dengan budaya patriarki. Dimana ajaran telah
terselimuti kepentingan kelompok tertentu sehingga mulai dari awal penghimpunan,
penyuntingan, dan penulisan hadis telah bercampur dengan budaya patriarki. Hal ini
berimplikasi terhadap redaksi atau matan hadis yang berkembang pada masa selanjutnya.
Lebih jauh, adanya redaksi hadis dengan bias gender memberi peluang untuk dipahami secara
tekstual yang berimplikasi pada posisi perempuan pada sektor publik maupun domistik
(Alfansuri et al., 2023).
Di sisi lain banyak sekali ayat Al-quran ataupun hadis yang menunjukkan Islam
sangat memuliakan perempuan. Islam menganggap mereka sebagai manusia yang sama
kedudukannya dengan laki-laki. Islam juga memberikan hak-hak dan tanggung jawab kepada
mereka baik di sektor domestik maupun publik, sehingga menjadikan mereka berhak
menyandang kemuliaan dan penghormatan setinggi-tingginya (Soleha & Miski, 2022).
Namun, diantara hadis-hadis yang berbicara tentang keutamaan perempuan, terdapat juga
hadis-hadis yang secara harfiah menyudutkan mereka, seperti hadis tentang sujud seorang
istri pada suami. Hadis ini banyak sekali mendapat kritikan, para intelektual muslim
kontemporer saat ini, karena secara tekstual hadis-hadis di atas terlihat membedakan
kedudukan dan peran perempuan dari laki-laki.
Khaled M. Abou el-Fadl salah satu dari sekian banyak intelektual muslim yang
melakukan kajian terhadap persoalan perempuan, juga telah membahas hadis-hadis yang
dinilai negatif tersebut. Dalam bukunya “Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority,
and Women” (dalam versi bahasa Indonesia “Atas Nama Tuhan: dari Fikih Otoriter ke Fikih
Otoritatif”) ia mengkritik ulama yang menyandarkan fatwanya kepada hadis-hadis di atas,
baik fatwa perseorangan atau pun yang tergabung dalam suatu lembaga resmi tertentu, seperti
al Lajnah ad-Da’imah lil Buhuts al-Ilmiyah wa al-Ifta’ (lembaga resmi riset ilmiah dan fatwa
di Saudi Arabia, yang diberikan kepercayaan untuk mengeluarkan fatwa), yang dibaca secara
luas oleh para akademisi. Menurut Profesor Hukum Islam di Fakultas Hukum UCLA
(University of CaliforniaLos Angeles) USA ini, pelandasan fatwa secara tekstual terhadap
hadis-hadis di atas akan berdampak pada teologis, moral, dan sosial yang serius.Yaitu
perendahan terhadap status moral perempuan secara umum dan meletakkan kehormatan
perempuan di bawah kekuasaan laki-laki, serta menjadikan perempuan sebagai makhluk
sekunder dalam kehidupan Masyarakat (Abduh & Bellyta, 2022).
Pembacaan hadis atas relasi suami istri ini terkesan bias gender. Hadis-hadis tersebut
diyakini sebagai ajaran yang harus diaplikasikan dalam kehidupan berumah tangga, tetapi
pada posisi tertentu hadis tersebut mempunyai problem yang mengganggu eksistensi
perempuan, karena perempuan dipahami sebagai obyek kekuasaan laki-laki (Parwanto,
2022). Hadis tersebut berpeluang dipahami secara patriarki dan endosentrisme. Pemahaman
atas hadis misoginis sarat akan kepentingan, kepentingan-kepentingan yang melibatkan
kelompok gender tertentu dalam menguatkan budaya patriarki. Adanya kepentingan yang
melingkupi pembaca dalam memahami hadis akan mempengaruhi produk pemahamannya,
ketika seorang berada dalam lingkar patriarki maka dapat dipastikan hasil pemahamannya
menjadi bias gender.
Dengan demikian, dibutuhkan kontekstualisasi pemahaman atas hadis tersebut.
Kontekstualisasi tersebut merupakan usaha penyesuaian dengan dan dari hadis untuk
mendapatkan pandangan yang sejati, orisinal, dan memadai bagi perkembangan atau
kenyataan yang dihadapi dengan perkembangan zaman. Modernisasi yang berkembang pada
masa sekarang merupakan keniscayaan dari peradaban manusia. Hadis sebagai ajaran
otoritatif dalam Islam tidak bisa menutup mata adanya modernisasi, tetapi bukan berarti
memaksakan hadis untuk meradaptasi atau mengikuti arus modernisasi. Begitu juga dengan
modernisasi tidak harus dipaksakan atau mengikuti ajaran hadis, karena hadis lahir terlebih
dahulu dari pada modernisasi sehingga terpisah oleh jarak yang begitu panjang. Dalam hal ini
peneliti akan mereinterpretasi hadits perintah istri bersujud kepada suami menggunakan pisau
analisis hermeneutika Jorge G. E. Gracia.
Konsep hermeneutika Gracia cukup komprehensif. Dalam bukunya A Theory of
Textuality, Gracia berpendapat bahwa teks adalah entitas historis dalam arti bahwa teks itu
diproduksi oleh pengarang atau muncul pada waktu tertentu dan tempat tertentu (Gracia et
al., 2020). Secara etimologis, Gracia menjelaskan bahwa istilah interpretation berasal dari
kata interpres yang berarti menyebarkan keluar (Zamawi, 2016). Interpretasi bisa
didefinisikan dalam tiga bentuk pengertian, di antaranya: 1) Pemahaman (understanding)
yang dimiliki seseorang terhadap makna teks; 2) Proses atau aktivitas di mana seseorang
mengembangkan pemahaman terhadap teks; 3) Interpretasi merujuk pada teks yang
melibatkan tiga hal, yaitu: teks yang ditafsirkan (interpretandum), penafsir, dan keterangan
tambahan (interpretans) yaitu tambahan-tambahan ungkapan yang dibuat oleh penafsir
sehingga interpretandum lebih dapat dipahami (Lutfiani, 2017).
Fungsi umum interpretasi menurut Gracia adalah menciptakan di benak audiens
kontemporer pemahaman terhadap teks yang sedang ditafsirkan. Fungsi ini dibagi ke dalam
tiga macam fungsi spesifik (Akastangga, 2020), yaitu:
a. Fungsi historis (historical function) yaitu menciptakan kembali di benak audiens
kontemporer pemahaman yang dimiliki oleh pengarang teks dan audiens historis.
b. Fungsi makna (meaning function) yaitu menciptakan di benak audiens kontemporer
pemahaman di mana audiens kontemporer itu dapat menangkap dan mengembangkan
makna dari teks, terlepas dari apakah makna tersebut memang secara persis
merupakan apa yang dimaksud oleh pengarang teks dan audiens historis atau tidak.
c. Fungsi implikatif (implicative function) yaitu memunculkan di benak audiens
kontemporer suatu pemahaman sehingga mereka memahami implikasi dari makna
teks yang ditafsirkan.
Ketiga fungsi inilah yang merupakan teori interpretasi yang nantinya dapat
diaplikasikan dalam penafsiran yang subyektif plus obyektif dengan mempertimbangkan
fungsi historis dan fungsi makna kemudian dinetralkan dengan fungsi implikatif. Kemudian
Gracia membagi interpretasi ke dalam dua bagian (Toni, 2017): 1) Interpretasi tekstual,
merupakan upaya menangkap makna dari teks yang ditafsirkan yang bertujuan menangkap
makna orisinal/historis dari interpretandum; dan 2) Interpretasi non tekstual, yaitu menguak
dibalik makna tekstual dengan tujuan menciptakan pemahaman yang melibatkan teks yang
ditafsirkan, makna dan implikasinya, juga relasi teks dengan halhal lain.
Adapun penelitian mengenai hadist tersebut atau penelitian tentang hadist misioginis
sudah banyak dilakukan, diantaranya: 1) Penelitian Reni Kumalasari tahun 2020 tentang
hadist ketundukan istri pada suami. Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban dari
persoalan pokok, yaitu bagaimana pemahaman yang sesungguhnya hadis ketaatan istri
tersebut (Reni Kumalasari, 2020); 2) Penelitian Irsan tahun 2021 tentang esensi dari ketaatan
istri kepada suami yang berpersepsi bahwa ketaatan ini bersifat mengekang bahkan tidak
manusiawi. Penelitian ini bertujuan meneliti hubungan antara ketaatan istri kepada suami
dan status manusiawi istri dalam tinjauan hukum Islam (Irsan, 2021); 3) Penelitian Marhany
Malik dan Andi Alda Khairul Ummah pada tahun 2021 tentang analisis hadits tersebut
menggunakan metode tahlili untuk menjelaskan makna kosa kata dan penjelasan hadis
tersebut (Malik & Ummah, 2021); 4) Penelitian Muhamad Abduh, Erizka Putri Bellyta pada
tahun 2022 tentang analisis hadits tersebut dengan hermeneutika negosiasif dari Khaled M.
Abou el Fadl yang memperhatikan aspek peran pengarang, teks, dan pembaca dalam
menentukan makna (Abduh & Bellyta, 2022).
Adapun penelitian ini bertujuan pada mereinterpretasi hadist tentang ketaatan/perintah
istri bersujud kepada suami dengan menggunakan hermeneutika Jorge G.E Gracia yang
memperhatikan aspek tekstual: History, makna, dan implikasinya serta aspek non
tekstualnya.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode
studi pustaka. Terdapat dua sumber data yang digunakan, yaitu: sumber data yang terkait
dengan hadits tentang perintah istri bersujud kepada suami dan sumber data yang membahas
hermeneutika Jorge J. E. Gracia. Kemudian data peneliti analisis menggunakan pisau analisis
hermeneutika Jorge J. E. Gracia dan ditampilkan dalam bentuk deskriptif.

PEMBAHASAN
Dalam epistemologi teks dijelaskan salah satunya mengenai interpretasi. Menurut
Gracia ada tiga faktor yang memainkan peranan dalam penafsiran: teks yang ditafsirkan
(interpretandum), komentar tambahan (interpretans), dan penafsir (interpreter).
Interpretandum merupakan teks historis yang menjadi objek penafsiran. Adapun interpretans
adalah teks baru yang ditambahkan oleh penafsir untuk menjelaskan interpretandum kepada
audiens kontemporer. Bentuknya bisa berupa terjemahan, pemaparan, atau komentar.
Sedangkan, interpreter adalah orang yang melakukan aktivitas penafsiran. Gabungan antara
interpretandum dan interpretans ini disebut sebagai sebuah penafsiran (Aynun &
Faridatunnis, 2020).

Matan Hadis atau Interpretandum


Teks hadis disebut sebagai interpretandum dalam istilah Gracia (Imam, 2016). Dalam
penelitian ini, hadis yang akan peneliti analisis adalah hadis Hadits Abu Daud Nomor 1828
yang diriwayatkan Qais Ibn Said seperti sebagai berikut:

‫ت‬ َ َ‫س بْ ِن َس ْع ٍد ق‬
ُ ‫ال أَتَ ْي‬ ِ ‫َّعِ ِب َع ْن قَ ْي‬
‫ص ْْي َع ْن الش ْ ي‬
ٍ ‫ف َعن َش ِر‬
ٍ َ ‫يك َع ْن ُح‬ ْ َ ‫وس‬
ِ ْ ‫َحدَّثَنَا َع ْمرو بْن َعو ٍن أ‬
ُ ُ‫َخ ََبَََن إ ْس َح ُق بْ ُن ي‬ ْ ُ ُ
‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّى‬ َّ ِ‫ت الن‬
َِّ ‫ول‬ ٍ ِ ِ
َ ‫َّب‬ ُ ‫ال فَأَتَ ْي‬
َ َ‫َح ُّق أَ ْن يُ ْس َج َد لَهُ ق‬
َ ‫اَّلل أ‬ ُ ‫ت َر ُس‬
ُ ْ‫ا ْْلريَةَ فَ َرأَيْتُ ُه ْم يَ ْس ُج ُدو َن ل َم ْرُزََبن ََلُْم فَ ُقل‬
َِّ ‫ول‬ ٍ ِ ِ ‫فَ ُقلْت إِِّن أَتَي‬
‫ت‬
َ ‫ت لَ ْو َمَرْر‬
َ ْ‫ال أ ََرأَي‬
َ َ‫ك ق‬
َ َ‫َح ُّق أَ ْن نَ ْس ُج َد ل‬
َ ‫اَّلل أ‬ َ ْ‫ت ا ْْلريَةَ فَ َرأَيْتُ ُه ْم يَ ْس ُج ُدو َن ل َم ْرُزََبن ََلُْم فَأَن‬
َ ‫ت ََي َر ُس‬ ُْ ‫ُ ي‬
‫ت النيِ َساءَ أَ ْن‬ ٍ ‫ال فَ ََل تَ ْفعلُوا لَو ُكنْت ِآمرا أَح ًدا أَ ْن يسج َد ِِل‬
ُ ‫َحد َِل ََم ْر‬
َ ُ َْ َ ً ُ ْ َ َ َ‫ت ََل ق‬
ُ ْ‫ال قُل‬ َ ْ‫بَِق َِْبي أَ ُكن‬
َ َ‫ت تَ ْس ُج ُد لَهُ ق‬

َّ ‫يَ ْس ُج ْد َن ِِل َْزَو ِاج ِه َّن لِ َما َج َع َل‬


‫اَّللُ ََلُْم َعلَْي ِه َّن ِم ْن ا ْْلَ ِيق‬
Artinya: “Dari Qais Ibn Sa’id berkata: Ketika aku singgah di Hirah aku melihat para
penduduknya sujud kepada panglima mereka. Maka aku berkata:“Rasulullah adalah orang
yang paling berhak untuk diberikan sujud.” Kemudian Qais menemui Nabi dan berkata: “Aku
singgah di Hirah dan aku melihat para penduduknya sujud kepada panglima mereka. :Wahai
Rasulullah, Sesungguhnya Engkaulah orang yang paling berhak untuk diberikan sujud,”
Jawab Nabi, “Bagaimana pendapatmu andaikata engkau melewati kuburku, akankah kau
bersujud pada kuburan itu?” Aku jawab, “Tidak.” Nabi bersabda lagi, “Maka janganlah
engkau sekalipun melakukan hal itu. Sekiranya aku orang yang memerintahkan untuk
bersujud pada yang lain, tentu akan kuperintahkan perempuan untuk bersujud pada suaminya
karena hak suami yang telah Allah tetapkan terhadap mereka”.
Dalam versi lain misalnya: Dari Anas Ibn Malik, Nabi bersabda: “Tidak ada seorang
manusia pun yang boleh bersujud kepada sesamanya, dan jika seorang manusia
diperbolehkan bersujud kepada sesamanya, saya akan menyuruh seorang istri bersujud
kepada suaminya karena begitu besarnya hak seorang suami terhadap istrinya. Demi Allah,
jika seorang istri menjilat bisul yang tumbuh di sekujur tubuh suaminya, dari ujung kaki
hingga ujung rambut, maka hal itu masih belum cukup sebagai pemenuhan kewajibannya
kepada suaminya.”
Hadis tersebut diriwayatkan dalam berbagai versi dan melalui berbagai rantai
periwayatan oleh Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad Ibn Hanbal, al-Nasai dan Ibn
Hibban. Sedangkan derajat autentisitas hadis-hadis tersebut beragam, mulai dari yang dhaif
hingga hasan gharib. Selain itu semuanya adalah hadis ahad dan belum mencapai derajat
mutawatir. Akan tetapi hadis tersebut memberi pengaruh yang besar terhadap pola relasi
gender dalam keluarga. Selain itu juga mempunyai dampak teologis, moral dan sosial yang
sangat besar. Hadis tersebut tidak hanya mendukung penetapan-penetapan CRLO tentang
ketaatan istri terhadap suami, tetapi juga bertanggung jawab terhadap perendahan status
moral Perempuan (Abduh & Bellyta, 2022).
Hadis-hadis gender, termasuk hadis ketaatan istri pada suami, banyak dikretisi dan
ditolak keautentikannya oleh para feminis.Namun tidak dapat dipungkiri bahwa
kenyataannya, ulama-ulama hadis terdahulu telah menerima sebagian besar otentisitas hadis
tersebut. Bahkan Abu Daud sebagai perawi dan pentakhrij hadis terkemuka telah mengakui
keotentikan sebagian besar hadis-hadis tersebut dengan memasukkannya ke dalam kitab hadis
mereka (Reni Kumalasari, 2020). Jika demikian maka menurut penulis hadis tentanga
ketundukan seorang istri pada suami perlu dianalisis kembali, terutama pada bagian
matannya, hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah makna sesungguhnya hadis di atas
benar-benar mendiskriminasi kaum perempuan atau hadis- hadis ini memiliki makna
alternatif lainnya.
Kemudian unsur interpretasi lain adalah interpretans atau keterangan tambahan dari
seorang penafsir. Ketika menghadirkan sebuah interpretans, penjelasannya bisa saja tidak
sesuai dengan maksud author. Namun, tanpa ada keterangan tambahan sangat sulit bagia
audiens kontemporer untuk memahami teks. Hal ini dikarenakan penafsir tidak mempu nyai
akses terhadap pengarang untuk mengkonfirmasi pemahamannya. Inilah yang disebut sebagai
dilema penafsiran. Untuk mengatasi hal ini Gracia menawarkan langkah metodis yang
disebut tiga fungsi interpretasi. Tiga fungsi tersebut adalah historical function, meaning
function, dan implicative function.

Analisis fungsi historis


Historical function, pada tahap ini penafsir mempunyai tujuan yang ingin ditunjukkan
kepada audiens kontemporer yakni untuk menciptakan di benak mereka suatu pema- haman
yang sama dengan yang dimiliki oleh pengarang teks dan audiens historis (Muslim HD,
2019). Untuk memahami maksud pengarang dan audiens historis harus memperhatikan
konteks historis yang berkembang. Parameter dari pemahaman dalam fungsi ini adalah tidak
melebihi pemahaman pengarang dan audiens historis.
Pada tahap ini penafsir kembali ke masa lalu, pada waktu teks diproduksi. Hal ini
dimaksudkan untuk menangkap original meaning dari interpretandum. Oleh karena itu, ketika
proses memahami teks-teks hadis, penafsir harus memasuki horizon nabi dan sahabat sebagai
author dan audiens pertama (Imam, 2016). Dengan memahami maksud pengarang dan
audiens historis, pembaca diharapkan melakukan dialog imajinatif dengan keduanya. Salah
satu metode hadis untuk mengungkap hal tersebut adalah melakukan analisis sosio-historis
yang berkaitan dengan kemunculan hadis, baik itu analisis mikro maupun makro. Dalam
istilah ilmu hadis dikenal dengan asbāb al-wurūd.
Kata asbāb al-wurūd terdiri dari dua kata asbāb dan wurūd. Menurut bahasa asbab
bermakna tali yang berarti segala sesuatu yang dijadikan sebagai sarana untuk menggapai hal
lain. Sementara itu, wurūd bermakna datang atau sampai. Jadi, definisi asbāb al-wurūd secara
terminologi adalah sebab-sebab datangnya sesuatu. Dalam konteks ilmu hadis, asbāb al-
wurūd ialah ilmu yang menunjukkan sebab-sebab suatu hadis muncul beserta konteks historis
yang mengitarinya. Analisis mikro dan makro merupakan dua cara untuk mengetahui asbab
al-wurud. Asbāb al-wurūd mikro berarti menelusuri keterangan-keterangan yang
menunjukkan peristiwa atau pertanyaan yang mendorong Nabi bersabda dan melakukan
sesuatu. Sedangkan, asbāb al-wurūd makro yaitu pembacaan terhadap sosio-kultural yang
berkembang saat suatu hadis muncul. Penafsir menghadirkan kondisi masyarakat Mekah dan
Madinah ketika hadis diproduksi (Ulummudin, 2018).
Sisi historis hadis tersebut pada awalnya terkait erat dengan budaya lokal temporal
dengan nilai patriarki yang menguatkan posisi laki-laki (Mohamad Muhtador, 2017). Secara
tekstual hadis tentang ketaatan memang menegaskan adanya perintah bersujud pada suami,
dan hadis yang lainnya menegaskan adanya ajakan suami. Tetapi hal yang tidak dapat
dilupakan ialah adanya sosial-kultural masyakarat Arab dulu yang masih mengutamakan
peran laki-laki dari pada perempuan. Dengan demikian, hadis tersebut tidak dapat dipahami
secara tekstual, karena hadis tersebut bersifat temporal dan sangat mungkin hadis yang
konteksnya adalah larangan Rasulullah untuk bersujud kepadanya, mengalami penambahan
keharusan istri untuk bersujud kepada suami, bahkan muncul tambahan tentang bisul,
punggung onta dan sebagainya.
Sebab yang mendasari hadis ini adalah dari Abdillah ibnu Abi ‘Auf berkata: tatkala
sahabat Muadz datang dari negeri Syam maka ia bersujud kepada Rasulullah saw, maka Nabi
berkata: “apa ini wahai Muadz?” Muadz menjawab: “aku mendatangi Syam, kemudian aku
mendapati mereka sujud kepada uskup-uskup dan para pendeta mereka, maka terbesit hatiku
melakukan hal itu terhadap engkau. “kemudian Rasulullah saw bersabda: janganlah kalian
melakukan hal itu sesungguhnya jika aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada
selain Allah tentu aku akan memerintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya,
demi Dzat dan jiwaku ada ditangan-Nya wanita itu tidak akan menunaikan hak tuhannya
sampai ia menunaikan hak suaminya, dan seandainya ia (suami) meminta dirinya untuk
melayaninya sedangkan istri sedang memasak maka ia tidak boleh menolaknya (Fadhilah,
2016).
Kemudian dalam Riwayat lain, konteks hadis perintah bersujud kepada suami ini
bermula dari kunjungan Nabi ke sebuah kebun. Kemudian di dalam kebun tersebut, Nabi
didekati oleh seseorang dan langsung bercerita tentang untanya yang tidak mau berjalan
untuk menggerakkan roda air sebagaimana biasanya. Unta orang tersebut justru
memperlihatkan tingkah yang bertentangan dengan kehendak tuannya dengan menendang
dirinya saat didekati. Kemudian Nabi berusaha mendekati unta tersebut. Akan tetapi, dilarang
olek laki-laki pemiliknya karena khawatir jika Nabi mengalami hal yang sama seperti dirinya
yang ditendang unta. Namun ternyata yang terjadi, unta tersebut bersujud dan mengikuti
perintah Nabi untuk kembali bekerja. Dalam pandangan El Fadl, penetapan di atas
problematis, selain soal pemahaman teks yang masih tidak mendalam (tekstual), sisi lain
tidak mempertimbangkan adanya penafsiran lain. Hadits yang di jadikan sandaran penetapan
tersebut masih dipertanyakan legalitasnya (Taufiqotuzzahro’, 2019).
Kemudian dengan menyelidiki rantai periwayatan dan kondisi lingkungan orang yang
terlibat dalam proses kepengarangan akan diketahui bahwa kebanyakan versi hadis tentang
sujudnya istri terhadap suami tersebut bersumber dari Abu Hurairah yang secara faktual
sangat problematis. Dimana kebanyakan hadis-hadis yang merendahkan perempuan
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, orang yang dipandang agak kontroversial dalam sejarah
awal Islam serta kredibilitasnya banyak dikritik. Kritik yang paling menonjol yaitu bahwa dia
masuk Islam tiga tahun sebelum Nabi wafat, tetapi meriwayatkan hadis yang dinisbatkan
kepada Nabi lebih banyak dibanding hadis yang diriwayatkan sahabat-sahabat Nabi selama
sekitar dua puluh tahun. Dalam sebuah riwayat yang serupa, Ali pernah menegur Abu
Hurairah karena terlalu bebas meriwayatkan hadis.Ia juga pernah ditegur oleh Umar, dalam
sebuah riwayat Umar mengancam akan memukul Abu Hurairah, apabila ia terus menerus
meriwayatkan hadis. Namun setelah Umar wafat Abu Hurairah semakin semangat dalam
meriwayatkan hadis (Irsan, 2021). Oleh karena itu keseluruhan kondisi tersebut perlu
dipertimbangkan dalam menguji tingkat kepercayaan kita terhadap hadis. Harus ada
hubungan proposional antara dampak teologis dan sosial sebuah hadis dengan bobot
pembuktian yang mesti dipenuhinya. Oleh karena jika hadis tersebut dicurigai, maka hadis
tersebut tidak bisa dijadikan sandaran, kecuali jika autentitasnya dapat dibangun secara
meyakinkan.

Analisis fungsi makna


Meaning function, penafsir menciptakan di benak audiens kontemporer suatu
pemahaman dari makna sebuah teks, terlepas makna tersebut persis seperti yang dipahami
oleh pengarang dan audiens historis, atau tidak. Seorang penafsir menyajikan makna teks
kepada audiens yang mana makna tersebut tidak dimiliki oleh pengarang dan audiens historis.
Pada tahap ini makna teks mengalami pengembangan sesuai dengan kapasitas penafsir
(Ahmad, 2020; Zawawi, 2016). Dalam tahap ini penafsir melakukakan kajian linguistik
terhadap matan hadis dengan memperhatikan korelasi antara kata-kata yang terdapat di dalam
teks. Selain itu, arti kata-kata kunci dalam teks sangat perlu untuk dikemukakan lebih jauh.
Secara tersurat, hadis ini memang berseru mengenai perintah istri untuk bersujud
kepada suami. Namun, secara tidak langsung hal itu sama dengan merendahkan kaum
perempuan. Secara linguistik hadis ini menggunakan bahasa analogis. Bentuk analogi tidak
dapat dipahami secara tekstual karena mempunyai makna yang relatif dan pada posisi
tersendiri teks mempunyai makna asli di luar makna pengarang (Taufiqotuzzahro’, 2019).

َّ ‫ت النيِ َساءَ أَ ْن يَ ْس ُج ْد َن ِِل َْزَو ِاج ِه َّن لِ َما َج َع َل‬


‫اَّللُ ََلُْم َعلَْي ِه َّن ِم ْن ا ْْلَ ِيق‬ ٍ ‫لَو ُكْنت ِآمرا أَح ًدا أَ ْن يسج َد ِِل‬
ُ ‫َحد َِل ََم ْر‬
َ ُ َْ َ ً ُ ْ
Makna kosa kata:

‫ِآمًرا‬
Kata ini bermakna memerintahkan, kata memerintahka disini jika di lihat dari kata
sebelumnya yaitu bermakna jikalau saya boleh atau sekiranya aku orang yang memerintahkan
dan yang berkata disini adalah Rasulullah saw yang berarti jika dimaknai secara umum
berarti Rasulullah tidak dapat memerintahkan.

‫ أَ ْن يَ ْس ُج َد‬kata ini bermakna sujud menundukkan kepala sampai ketanah yang berarti jika boleh
Rasulullah memerintahkan untuk bersujud.
ِ
َ‫الني َساء‬, kata ini bermakna perempuan, perempuan yang dimaksud di sini ialah seorang istri.
‫أ َْزَو ِاج ِه َّن‬, kata ini bermakna kepada suaminya.
Quraish Shihab mengartikan kata sujud dengan ketundukan dan kerendahan diri,
digunakan juga dalam arti menundukkan kepala, dan dalam arti mengarahkan pandangan
kepada sesuatu. Sujud adalah meletakkan dahi di lantai yang di mana ini merupakan salah
satu gerakan dalam salat. Sujud selalu terkait dengan konteks hubungan antara makhluk
dengan tuhannya. Jadi matan hadis di atas menjelaskan bahwa tidak dibenarkan untuk sujud
kepada makhluk selain kepada Allah, hadis ini hanya mengindikasikan bahwa kewajiban atau
wajibnya seorang istri untuk taat kepada suaminya (Habudin, 2012).
Hadis ini sangat populer di masyarakat dan selalu dijadikan sebagai rujukan untuk
melegitimasi ketaatan istri terhadap suaminya. Bahkan ada yang menambahkan riwayat, jika
seorang istri disuruh merubah gunung merah menjadi gunung hitam dan sebaliknya, atau
diperintahkan menjilati bisul yang ada di seluruh tubuh suaminya, maka si istri harus
menaatinya. Khaled mengkaji kembali kopetensi hadis ini di dalam bukunya, sebab pengaruh
hadis ini di dalam masyarakat sangat serius, yaitu terjadinya kesenjangan status perempuan di
dalam masyarakat, terutama dalam kehidupan rumah tangga. Hadis tentang ketundukan
seorang istri terhadap suaminya, menurut Khaled perlu diteliti kembali, di bawah ini hal-hal
yang perlu diteliti menurut Khaled (Fadhilah, 2016):
1. Matan hadis di atas memiliki struktur yang janggal. Maksudnya, pertanyaan yang
diajukan kepada Rasulullah beliau alihkan kepada persolan relasi suami istri.
2. Jika dilihat secara luas hadis tersebut tidak sesuai dengan konsep al- Quran. Yang
dimana al-Quran menjelaskan bahwa pernikahan itu didalamnya harus terdapat cinta
dan kasih sayang, bukan tentang atasan bawah, seperti surat ar-rum ayat 21.
3. Jika dilihat dari perilaku Rasullah saw, hadis ini tidak mencontoh perilaku Rasullah
saw. sebab mengapa Rasulullah sebagai seorang suami yang menyenangkan, dan
penuh cinta kasih kepada istri-istrinya, bahkan beliau sering meminta pendapat dari
istri-istrinya.
4. Kita harus mempertimbangkan, bagaimana masyarakat Arab sebelum adanya islam.
yang dimana mereka sangat membenci kaum perempuan.
5. Kemudian, Khaled menyarankan untuk mempertimbangkan kredibilitas periwayat
hadis tersebut. Periwayat hadis ini adalah Abu Hurairah, yang menurut beliau harus
dipertimbangkan karena Abu Hurirah paling banyak meriwayatkan hadis padahal
beliau masuk Islam tiga tahun sebelum Rasulullah wafat.
Dalam memahami hadis, yang sangat penting dan perlu diperhatikan adalah konteks
dan sasaran hadis tersebut ketika diucapkan oleh Rasulullah saw. Hadis ini memang tampak
telah terjadi pergeseran tujuan atau sasarannya, yaitu pertanyaan yang diajukan oleh para
sahabat kepada Rasulullah saw, mengatakan bahwa “apakah boleh menyembah Rasulullah
saw” dan kemudian Rasulullah menjawab. Akan tetapi terdapat pengalihan, Rasulullah
mengalihkan kepada persoalan relasi suami dan istri. Dapat dikatakan bahwa dari pengalihan
ini begitu besar kewajiban seorang istri untuk taat kepada suaminya. Namun, pada hakikatnya
hadis ini menegaskan bahwa tidak boleh sujud kepada selain Allah swt.

Analisis fungsi implikasi


Implicative function, menciptakan dalam benak audiens kontemporer suatu
pemahaman mengenai implikasi-implikasi makna teks yang ditafsirkan, terlepas implikasi
makna tersebut telah diketahui oleh pengarang dan audiens historis, atau belum (Nasruddin,
2023). Pada tahap ini penafsiran bukan lagi semata-mata memahami arti sebuah teks, tetapi
sudah berkembang. Untuk mengungkap implikasi makna diperlukan pemahaman terhadap
makna teks sebagai prasyaratnya.
Penafsir dalam hal ini hanya bertujuan agar audiens melakukan sesuatu sebagai efek
pemahaman terhadap makna yang dipahami oleh pembaca (Ulummudin, 2019). Kaitannya
dengan hadis, pada tahap ini hadis dipandang tidak hanya bersifat normatif-statis, tetapi
menjadi sesuatu yang hidup kembali di tengah-tengah masyarakat saat ini. Adanya tindakan
dari pembaca adalah proses akhir memahami hadis. Hal itu mengindikasikan bahwa hadis
bukan hanya sekedar teks statis, melainkan pedoman yang penuh inspirasi untuk menjawab
masalah kontemporer.
Hadis ketaatan pada suami banyak dipahami dan menjadi bagian bab sendiri, seperti
yang diungkapkan oleh al-Jauzi dalam kitab Ahkam Nisa’ dan Muhammad Zainuddin dalam
kitab Tafsir, menyatakan bahwa perempuan bagaikan benda yang dimiliki suami (Abdullah,
2021). Tidak jauh berbeda dengan al-Jauzi, dalam bukunya Ensiklopedi Keluarga Sakinah
Muhammad Thalib menyatakan, bahwa hadis tersebut merupakan kewajiban bagi seorang
istri untuk selalu taat kepada suaminya selama perintah suami tidak melanggar ketentuan
syariat Allah. Ketaatan istri pada suami merupakan hak yang bersifat kodrati, karena suami
telah diberikan kedudukan istimewa dalam rumah tangga. Ketaatan istri pada suami bersifat
total selama tidak melanggar perintah agama, ketika istri melanggar perintah suami yang
berhubungan dengan rumah tangga berarti istri telah melanggar perintah Allah. Kesamaan
taat pada suami dan Tuhan terletak pada penyerahan istri pada suami yang di gambarkan
dengan bersujud pada suaminya (Haitomi, 2021).
Dominannya posisi suami dalam rumah tangga ditengarai adanya pemahaman yang
patriaki yang menjadi keyakininan masyarakat, termasuk hadis-hadis yang diasoasikan
dengan hadis bersujud pada suami. Dapat dirasakan betapa kuatnya posisi suami dalam
rumah tangga, sehingga masalah yang seharusnya besifat privasi digambarkan secara lugas
dan dipahami dengan model patriarki yang bias gender (Matswah, 2014). Pemahaman atas
hadis-hadis di atas tersebut bertentangan dengan dasar teologi Islam. Dalam ajaran teologi
hanya Tuhan yang mempunyai otoritas untuk ditaati dengan mediasi bersujud hal ini banyak
ditegaskan dalam alquran, sehingga peribadatan yang menundukkan kepada menandakan
adakan penghambaan yang sangat total terhadap Tuhan. Adapun kebaikan yang dilakukan
oleh manusia akan dibalas dengan kebaikan juga oleh Tuhan dan tidak bergantung pada
kekuasan laki-laki seperti pemahaman di atas, sebagaimana firmannya dalam Q.S. al-
Zalzalah 7-8. Dengan demikian, secara subtansial agama tidak mengajarkan dominasi
kelompok tertentu dalam melakukan kebaikan dalam hubungan horizontal dan ketakwaan
terhadap Tuhannya perspektif vertikal.
Sujud adalah salah satu bentuk ketundukan, sehingga dalam hadis yang diangkat
dalam pembahasan kali ini mengandung makna bahwa di mana suami mendapatkan hak atas
ketaatan seorang istri kepadanya. Akan tetapi, dijelaskan dalam hadis tersebut bahwa
“seandainya bisa” jadi tidak boleh sujud kepada manusia selain Allah sang pencipta, seperti
Surat An-Nahl Ayat 49:

‫ض ِم ْن دَ ا بَّةٍ َوا لْ َم ََل ئِ َك ةُ َو ُه ْم ََل يَ ْس تَ ْك َِبُو َن‬ ِ ‫الس م او‬


ِ ‫ات َومَ ا ِِف ْاِل َْر‬ ِِ
َ َ َّ ‫ج ُد مَ ا ِِف‬
ُ ‫َو ََّّلل يَ ْس‬
Artinya: Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua
makhluk yang melata di bumi dan (juga) para ma]aikat, sedang mereka (malaikat) tidak
menyombongkan diri.
Telah diketahui bahwa sujud hanya boleh diperuntukkan kepada Allah swt, bahkan
Rasulullah saw sendiri tidak berhak mendapat sujud kita, memberikan isyarat bahwa
pengabdian seorang istri kepada suami, seandainya boleh mempertuhankan suami, maka
Rasul memerintahkan kita untuk mempertuhankan suami, atau mengabdi pada suami seperti
mengabdi pada tuhan.

Pembacaan non-tekstual hadits


Sementara itu, interpretasi non tekstual didefinisikan oleh Gracia dengan : “Penafsiran
non tekstual adalah meskipun penafsirannya mungkin didasarkan pada interpretasi tekstual,
tetapi mempunyai sesuatu yang lain sebagai tujuan utamanya, meskipun tujuan tersebut
melibatkan atau merupakan jenis pemahaman juga (Habibi, 2019). Dalam hal ini adanya
pemaknaan yang jauh lebih dalam dari sekedar yang ditampilkan teks. Penafsiran ini
meniscayakan adanya keterlibatan unsur lain di luar teks sebagai sarana untuk memahaminya
(Wathani, 2017). Dengan kata lain penafsir berusaha untuk mengungkap makna tersirat
sebuah teks. Di sini terlihat adanya perbedaan fungsi dari penafsiran tekstual dengan non
tekstual. Penafsiran tekstual diarahkan untuk mengungkap makna sebuah teks beserta
implikasi-implikasinya. Sedangkan, non tekstual mengungkap sesuatu di balik makna yang
tekstual
Penafsir juga mengumpulkan data di luar interpretandum seperti menguak ide-ide
yang tidak diungkapkan oleh pengarang dalam tulisannya, teks-teks lain yang ditulis oleh
pengarang yang sama atau beda dengan interpretandum, dan hubungan sebab akibat di antara
teks (Qomariyah, 2020). Dengan kata lain, penafsir tidak hanya melakukan kajian terhadap
tiga fungsi interpretasi (interpretasi tekstual), tetapi juga melakukan kajian sejarah (hal-hal
lain di luar teks) dan interteks.
Namun, penafsiran non tekstual dapat diterima jika memenuhi dua syarat. Pertama,
penafsir tidak menyebut hasil penafsirannya sebagai penafsiran tekstual karena subyektifitas
penafsir akan terlihat sebagai ekses dari penggunaan sudut pandang tertentu. Kedua,
penafsiran tersebut dibangun atas dasar pemahaman bukan kesalahpahaman (Abdurrahman,
2015). Artinya, penafsir telah melewati tahapan penafsiran tekstual sebelum melakukan
penafsiran non tekstual karena penafsiran tekstual menjadi syarat mutlak untuk menghindari
kesalahpahaman dalam memahami penafsiran non tekstual. Dengan begitu, penafsir mencoba
mengungkap makna tersurat dari sebuah hadis yang tidak disadari oleh pembaca tekstual.
Hadis bertransformasi bukan hanya semata-mata dipandang sebagai teks keagamaan yang
identik dengan doktrin keilahiyan, tetapi juga dipandang sebagai teks yang mempunyai nilai-
nilai universal yang mampu menjawab problem kontemporer
Dalam implementasinya, ketaatan seorang istri terhadap suami merupakan kewajiban
selama suami tidak memerintahkan kepadanya untuk melakukan suatu kemaksiatan. Sebab
tidak ada kepatuhan kepada makhluk untuk kemaksiatan kepada Allah swt. kewajiban
menaati suami itu seperti, melayani suami dengan baik, mendengarkan apa kata suami selama
perbuatan itu tidak dilarang oleh agama islam. Sedangkan ketaatan selain perbuatan maksiat
kepada Allah swt akan menjadikan keluarga tenang (Malik & Ummah, 2021).
Dan diriwayatkan pula, telah bercerita kepadaku Muhammad bin Shobbah telah
bercerita kepada kami Isma'il bin Zakariya' dari 'Ubaidullah dari Nafi' dari Ibnu 'Umar
radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mendengar dan taat
adalah haq (kewajiban) selama tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila diperintah berbuat
maksiat maka tidak ada (kewajiban) untuk mendengar dan taat".
Berdasarkan hadis di atas, apabila suami memerintahkan istrinya untukbermaksiat
kepada Allah swt, maka istri tidak boleh menaati perintah tersebut. Ini tidak bertentangan
dengan dalil-dalil yang memerintahkan seorang istri untuk menaati suami dan berusaha
mendapatkan keridhaannya, karena ketaatan yang diperintahkan adalah pada perkara-perkara
yang ma’ruf, yaitu yang diakui dan ditetapkan oleh syariat, serta tidak diingkarinya. Sehingga
seandainya ada suami yang memerintahkan istrinya untuk berbuat maksiat kepada Allah swt,
maka istri wajib menolak suruhan tersebut. Lalu kalau si suami memukul istrinya karena hal
itu, maka ia berdosa (Shofa, 2020).
Maka, hadis mengenai ketaatan seorang istri terhadap suaminya sebenarnya selaras
dengan al-Quran, yang di mana di dalam al- Quran menjelaskan bahwa suami atau laki-laki
itu adalah pemimpin dalam rumah tangga. Taat dan hormat kepada pemimpin merupakan hal
yang wajar dan lumrah (Muslimah, 2021). Hadis ini menuntut seorang istri untuk patuh
terhadap suminya, akan tetapi bukan berarti seorang suami bisa bersikap semena-mena
terhadap istrinya, merendahkan keluarganya, dan merasa gengsi untuk melakukan atau
membantu pekerjaan rumah tangga. Dalam pernikahan baik suami maupun istri, harus saling
melengkapi dan harus ada keseimbangan atau keselarasan dalam saling mencintai,
memberikan perhatian terhadap pasangan masing-masing, saling membantu, menasihati, dan
yang paling penting adalah adanya kesadaran hubungan timbal balik di antara mereka. Hal-
hal ini dapat menciptakan keluarga yang penuh cinta kasih, ketenangan dan kenyamanan.
Keluarga yang harmonis yang berlandaskan cinta dan kasih sayang (sakinah mawaddah wa
rahmah) seperti yang di gambarkan oleh al-Quran dalam surat ar- Rum ayat 21.
Sebelumnya telah diketahui bahwa hadis tersebut secara tersurat menyebutkan bahwa
istri diperintah untuk bersujud kepada suami. Namun secara tersirat hadis tersebut tidak
berarti seperti itu. Nabi menuturkan hadis tersebut karena memang ia tidak ingin
mengajarkan kepada umatnya untuk tidak bersujud kepada sesama manusia ataupun bersujud
kepada selain Tuhan Sang Pencipta.

KESIMPULAN
Interpretasi hadis didasarkan pada tiga fungsi interpretasi hermeneutika Gracia, yaitu
historical function, meaning function, dan implicative function. Dalam analisis fungsi
historis, sosial-kultural masyakarat Arab dulu memang masih mengutamakan peran laki-laki
dari pada perempuan. Maka, hadis tersebut tidak dapat dipahami secara tekstual, karena hadis
tersebut bersifat temporal dan sangat mungkin hadis yang konteksnya adalah larangan
Rasulullah untuk bersujud kepadanya, mengalami penambahan keharusan istri untuk bersujud
kepada suami. Kemudian dengan menyelidiki rantai periwayatan, kebanyakan versi hadis
tentang sujudnya istri terhadap suami tersebut bersumber dari Abu Hurairah yang secara
faktual sangat problematis. Kemudian dalam analisis fungsi makna, secara tersurat, hadis ini
memang berseru mengenai perintah istri untuk bersujud kepada suami. Secara linguistik hadis
ini menggunakan bahasa analogis. yaitu bermakna jikalau saya boleh memerintahkan dan
yang berkata disini adalah Rasulullah saw yang berarti jika dimaknai secara umum berarti
Rasulullah tidak dapat memerintahkan dan tidak boleh sujud kepada manusia selain Allah
sang pencipta, seperti Surat An-Nahl Ayat 49. Kemudian pada analisis fungsi implikatif,
hadis tersebut selaras dengan al-Quran, yang di mana di dalam al- Quran menjelaskan bahwa
suami atau laki-laki itu adalah pemimpin dalam rumah tangga. Namun dalam
implementasinya, ketaatan seorang istri terhadap suami merupakan kewajiban selama suami
tidak memerintahkan kepadanya untuk melakukan suatu kemaksiatan. Kemudian analisis non
tekstual secara tersirat hadis tersebut mengajarkan kepada umatnya untuk tidak bersujud
kepada sesama manusia ataupun bersujud kepada selain Tuhan Sang Pencipta.

DAFTAR PUSTAKA
Abduh, M., & Bellyta, E. P. (2022). KHALED M. ABOU EL FADL: Menuju Pembacaan
Otoritatif Atas Hadis Nabi Melalui Hermeneutika Negosiatif. Tahdis: Jurnal Kajian
Ilmu Al-Hadis, 12(2), 116–131. https://doi.org/10.24252/tahdis.v12i2.21105
Abdullah, Z. (2021). Peran Perempuan Dalam Dunia Pendidikan Perspektif Hamka. Jurnal
Kajian Ilmu Dan Budaya Islam, 4(01), 115–135.
Abdurrahman, U. (2015). METODOLOGI TAFSIR FALSAFI DAN TAFSIR SUFI. ’Adliya,
9(1), 246–268.
Ahmad, F. (2020). Hoaks Dalam Perspektif Al-Qur’an (Pendekatan Hermeneutika Jorge J.E
Gracia). 9(2), 19–46.
Akastangga, M. D. B. (2020). Air Mensucikan Dan Menajiskan Pada Naskah Muqaddimah
Imam Bafadal Al-Hadramy Karya Al-Haitami (Tinjauan Filologi). IJAS: Indonesian
Journal of Arabic Studies, 2(1), 31. https://doi.org/10.24235/ijas.v2i1.5437
Alfansuri, M. R., Shidiq, S., Abu, R., & Askar, B. (2023). Materi Pendidikan Pra Nikah
dalam Kitab Qurratul Uyun dan Relevansinya dengan Isu-Isu Pernikahan Kontemporer.
JIIP (Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan), 6(10), 7800–7810.
Aynun, N., & Faridatunnis, N. (2020). Qiradah dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib dan Tafsir
Ruh Al- Ma ’ ani : Perspektif Hermeneutika Jorge Gracia. Jurnal Al-Mubarak: Jurnal
Kajian Al-Qur’an Dan Tafsir, 3(1), 20–34.
Djamaluddin, A. (2018). Wanita Karier Dan Pembinaan Generasi Muda. Al-MAIYYAH :
Media Transformasi Gender Dalam Paradigma Sosial Keagamaan, 11(1), 111–131.
https://doi.org/10.35905/almaiyyah.v11i1.546
Fadhilah, I. (2016). APLIKASI HERMENEUTIKA DALAM FIQH PEREMPUAN (Studi
Pemikiran Khaled Abou el Fadl tentang fiqh Perempuan dalam Fatwa CRLO). Iqtisad,
3(1), 22. https://doi.org/10.31942/iq.v3i1.2459
Gracia, J. J. E., Abdullah, O., & Al Haidary, H. (2020). Islamisme dan Konsep al-Ḥākimīyah
Sayyid Quṭb Perspektif Teori Fungsi Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam.
Habibi, M. D. (2019). Interpretasi Hermeneutika Jorge J.E. Gracia Dalam Al-Qur’an Surah
Al-Maidah: 51. Qof, 3(2), 195–204. https://doi.org/10.30762/qof.v3i2.1377
Habudin, I. (2012). KONSTRUKSI GAGASAN FEMINISME ISLAM KHALED M .
ABOU EL-FADL Relevansinya Dengan Posisi Perempuan Dalam Keluarga. Al-Ahwal,
5(2), 1–30.
Haitomi, F. (2021). Reinterpretasi Hadis Ketaatan Istri Terhadap Suami Perspektif Qira’ah
Mubadalah. Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur’an Dan Al-Hadits, 15(2), 209–226.
https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.9764
Hauqola, N. (2016). HERMENEUTIKA HADIS: Upaya Memecah Kebekuan Teks. Jurnal
THEOLOGIA, 24(1), 261–284. https://doi.org/10.21580/teo.2013.24.1.324
Imam, K. (2016). Relevansi Hermeneutika Jorge J. E. Gracia Dengan Kaidah-Kaidah
Penafsiran Al-Qur’an. ESENSIA: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 17(2), 251.
https://doi.org/10.14421/esensia.v17i2.1291
Irsan. (2021). Hubungan antara Ketaatan Istri kepada Suami dan Status Manusiawi Istri
dalam Prespektif Hukum Islam. Prosiding Seminar Nasional Hukum Keluarga Islam,
3(1), 20–39.
http://journal.unilak.ac.id/index.php/JIEB/article/view/3845%0Ahttp://dspace.uc.ac.id/h
andle/123456789/1288
Lutfiani, N. F. (2017). Hak-Hak Perempuan Dalam Surat Al-Ahzab Ayat 33: Sebuah
Pendekatan Hermeneutik. Jurnal Pendidikan Islam, X(2), 63–83.
Malik, M., & Ummah, A. A. K. (2021). Ketaatan Istri Terhadap Suami Perspektif Nabi SAW.
Jurnal Ushuluddin, 23(1), 94–104.
Matswah, A. (2014). PENDIDIKAN GENDER DALAM KELUARGA : TELAAH
TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG RELASI LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
DALAM KELUARGA. Al-Adabiya : Jurnal Kebudayaan Dan Keagamaan, 9(1), 1–20.
Muhtador, Mohamad. (2017). Membaca Perempuan dalam Hadis Misoginis: Usaha
Kontekstualisasi Nilai Kemanusiaan. BUANA GENDER : Jurnal Studi Gender Dan
Anak, 2(1), 59–72. https://doi.org/10.22515/bg.v2i1.783
Muhtador, Mohammad. (2018). Memahami Hadis Misoginis Dalam Perspektif Hermeneutika
Produktif Hans Gadamer. Diya Al-Afkar: Jurnal Studi Al-Quran Dan Al-Hadis, 6(02),
257. https://doi.org/10.24235/diyaafkar.v6i02.3787
Muslim HD, A. T. (2019). Diskursus Fertilitas Dalam Perspektif Hadis (Aplikasi
Hermeneutik Fungsionalisme Jorge J. E. Gracia). Jurnal Living Hadis, 3(2), 277–297.
https://doi.org/10.14421/livinghadis.2018.1695
Muslimah. (2021). HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PERKAWINAN. AAINUL HAQ:
Jurnal Hukum Keluarga Islam, 1(1), 62–75.
Nasruddin, M. R. (2023). Perintah Perang dalam Q . S . Al-Baqarah [ 2 ]: 191 dan
Relevansinya dengan Konsep Moderasi Beragama ( Analisis Fungsi Interpretasi Jorge J .
E . Gracia ). Ulumul Qur’an: Jurnal Ilmu Al-Qur’an Dan Tafsir, 3(1), 97–112.
Parwanto, W. (2022). Penafsiran Ulang Konsep “Kontekstualisasi” dalam Hadis: Kajian atas
Hadis Tentang Kepemimpinan Perempuan. Lathaif: Literasi Tafsir, Hadis Dan Filologi,
1(2), 109. https://doi.org/10.31958/lathaif.v1i2.7808
Qomariyah, S. L. (2020). Penciptaan Perempuan Perspektif Hermeneutika George J.E.
Gracia. Al-Dhikra, 2(1), 97.
http://journal.ushuluddin.ptiq.ac.id/index.php/aldhikra/article/view/7
Reni Kumalasari. (2020). PEREMPUAN DAN KETAATAN:Analisis Terhadap Hadis
Ketundukan Istri pada Suami. SETARA: Jurnal Studi Gender Dan Anak, 2(2), 35.
Shofa, I. K. (2020). KONSEPSI SUJUD DALAM AL-QUR’AN (Analisis Komparatif Surah
al-Baqarah: 34 dan al-Kahfi: 50 Perspektif Sayyid Quthb dan Imam al-Qurthubi).
Journal of Indonesian Tafsir Studies, 2(1), 30–34. http://jurnal.idaqu.ac.id/index.php/at-
taisir/article/view/33
Soleha, S., & Miski. (2022). CITRA PEREMPUAN SALIHAH DALAM AKUN YOUTUBE
YUFID.TV: AL-QUR’AN, HADIS, KONSTRUKSI, DAN RELEVANSI. QOF: Jurnal
Studi Al-Qur’an Dan Tafsir, 6(1), 67–88.
Taufiqotuzzahro’, ’Azzah Nurin. (2019). Pembacaan Hermeneutika Hadis tentang Perintah
Istri Bersujud kepada Suami: Perspektif Hans-George Gadamer. Jurnal Living Hadis,
4(1), 45. https://doi.org/10.14421/livinghadis.2019.1616
Toni, A. (2017). MENUJU HISTORIS SOSIALIS DALAM ISLAM Pendahuluan Titik
Singgung Paradigm Tektual dan Konteksstual dalam Islam. El-Wasathiya: Jurnal Studi
Agama, 5.
Ulummudin. (2018). Hadith on the Prohibition of Women Traveling without a Maḥram
(Application of Hermeneutic Theory of Jorge J.E. Gracia). Journal of Hadith Studies,
1(1), 28–42. http://www.journal.islamicateinstitute.co.id/index.php/johs/article/view/361
Ulummudin. (2019). Tafsir Kontemporer Atas “Ayat Perang” Qs Al-taubah (9): 5-6:
Perspektif Hermeneutika Jorge Je Gracia. Aqlam: Journal of Islam and Plurality, 4(9),
215–232. http://journal.iain-
manado.ac.id/index.php/AJIP/article/view/1013%0Ahttp://journal.iain-
manado.ac.id/index.php/AJIP/article/download/1013/740
Wathani, S. (2017). Hermeneutika Jorge J.E. Gracia Sebagai Alternatif Teori Penafsiran
Tekstual Alqur’an. Al-A’raf : Jurnal Pemikiran Islam Dan Filsafat, 14(2), 193.
https://doi.org/10.22515/ajpif.v14i2.945
Zamawi, B. (2016). Aplikasi Teori Fungsi Interpretasi Jorge J.E, GraciaTentang Hadith
Kebiri. Marâji‘: Jurnal Studi Keislaman, 2, 400–434.
Zawawi, B. (2016). Apliaksi Teori Fungsi Interpretasi Jorge J.E. Gracia Tentang Hadith
Kebiri. Maraji’: Jurnal Studi Keislaman, 2(2), 400–434.

You might also like