KS 20122023

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

Jurnal Komunikasi Universitas Garut: Hasil Pemikiran dan Penelitian

E-ISSN: 2580-538X, Volume 8, No. 2, Oktober 2022, hlm. 925-944

Penyintas kekerasan seksual dalam film penyalin cahaya


Maudhy Sukma Permatasari*, Diana Amalia
Program Studi Ilmu Komunikasi, UPN Veteran, Jawa Timur, Indonesia
*Email: maudhysp@gmail.com

Diterima: 30 April 2022; Direvisi: 13 Oktober 2022; Terbit: 29 Oktober 2022

Abstract
Film is a medium of communication that has great ability and power. Besides being used as a medium
of entertainment, films are also used as a medium for public education. This makes the film as an
effective communication medium to convey messages with a specific purpose. Film Cahaya aims to
raise the issue of sexual violence, especially cases in universities. Copy of Cahaya tells the story of a
student's struggle in seeking justice for the case of her drunken photo that was spread. This film is full
of signs and symbols in describing the figure of Suryani as a survivor of sexual violence. This study
aims to explain the representation of survivors of sexual violence in the film Pengalin Cahaya. This
study uses a qualitative method through the semiotic approach of Roland Barthes, it can be seen the
meaning of denotation, connotation, and myths related to the depiction of survivors of sexual violence.
The number of corpus in this research is 7 scenes that depict the figure of survivors of sexual violence.
The results of this study indicate that survivors of sexual violence in the film Pengalin Cahaya are
described as subordinate individuals. The signs and symbols in this film show that survivors of sexual
violence are figures who have low power so that they have limitations in decisions and actions taken.
Survivors of sexual violence in the film Pengalin Cahaya in a denotative sense are a sign that survivors
of sexual violence do not get help and are made the wrong party. The victim was forced to make peace
and make a clarification video to recover the name of the perpetrator. In the end, the victim felt
disappointed with the situation.
Keywords: Film; survivor; sexual violence; semiotics.

Abstrak
Film merupakan media komunikasi yang memiliki kemampuan dan kekuatan yang besar. Selain
digunakan sebagai media hiburan, film juga digunakan sebagai media edukasi masyarakat. Hal tersebut
menjadikan film sebagai media komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan dengan tujuan
tertentu. Film Cahaya bertujuan untuk mengangkat isu kekerasan seksual, terutama kasus di perguruan
tinggi. Penyalin Cahaya menceritakan tentang perjuangan seorang mahasiswi dalam mencari keadilan
atas kasus foto mabuknya yang tersebar. Film ini sarat akan tanda dan lambang dalam menggambarkan
sosok Suryani sebagai penyintas kekerasan seksual. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan
representasi penyintas kekerasan seksual dalam film Penyalin Cahaya. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif melalui pendekatan semiotika Roland Barthes, dapat diketahui makna denotasi,
konotasi, dan mitos yang berkaitan dengan penggambaran sosok penyintas kekerasan seksual. Jumlah
koprus pada penelitian kali ini adalah 7 scene yang menunjukkan penggambaran sosok penyintas
kekerasan seksual. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyintas kekerasan seksual pada film
Penyalin Cahaya digambarkan sebagai individu subordinat. Tanda dan lambang pada film ini
menunjukkan bahwa penyintas kekerasan seksual merupakan sosok yang memiliki kekuasaan rendah
sehingga memiliki keterbatasan dalam keputusan dan tindakan yang diambil. Penyintas kekerasan
seksual dalam film Penyalin Cahaya dalam makna denotasi adalah penanda bahwa penyintas kekerasan
seksual tidak mendapat bantuan dan dijadikan pihak yang salah. Korban terpaksa harus berdamai dan
membuat video klarifikasi untuk memulihkan nama pelaku. Pada akhirnya, korban merasa kecewa
dengan keadaan.
Kata-kata kunci: Film; penyintas; kekerasan seksual; semiotika.
Pendahuluan
Maraknya isu kekerasan seksual menuai pro dan kontra di masyarakat. Kekerasan
seksual didefinisikan sebagai tindakan yang berhubungan dengan keintiman dan seksualitas
yang tidak wajar sehingga menyebabkan kerugian dan dampak yang serius bagi korban.
Dampak yang dialami korban dapat bersifat fisik dan psikis dengan jangka waktu yang
panjang dan permanen (Kristiani, 2014). Kelompok masyarakat subordinat diposisikan
sebagai pihak yang terus mengalami kekerasan. Ketimpangan kuasa antara pelaku dan
penyintas adalah penyebab adanya kekerasan seksual. Berdasarkan data Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2021, jumlah kasus kekerasan
seksual yang terjadi dari bulan Januari-November 2021 adalah 8.800 kasus (Rahmadwiyanti,
2021). Faktor pendorong meningkatnya kasus kekerasan seksual adalah adanya rape culture.
Rape culture adalah istilah untuk menggambarkan lingkungan atau masyarakat yang
menganggap tindak kekerasan seksual sebagai hal yang sepele (Riki & Alaydrus, 2020).
Masyarakat terkesan mengesampingkan korban dan hanya berfokus pada peristiwa dan
pelaku. Tidak hanya isu mengenai kekerasan seksual, terdapat beberapa isu sosial yang
diangkat dalam film ini. Seperti isu mengenai pria yang bisa menjadi korban kekerasan
seksual, korban yang dipaksa untuk berdamai, korban yang takut untuk speak up dan
diintimidasi, korban yang harus menyelesaikan masalahnya sendiri, kekerasan seksual di
lingkungan perguruan tinggi, hingga kasus kekerasan seksual yang tak terselesaikan (Asih,
2022). Proyek #NamaBaikKampus tahun 2019 menyatakan bahwa dari total 207 testimoni
yang didapat, sebanyak 174 kasus kekerasan seksual yang berkaitan dengan perguruan tinggi.
Testimoni tersebut tidak hanya meliputi kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus atau
pelaku yang merupakan sivitas akademika. Tetapi meliputi kasus kekerasan seksual yang
terjadi di luar kampus namun berkaitan dengan perguruan tinggi. Contohnya kasus yang terjadi
pada acara resmi perguruan tinggi seperti magang, KKN (kuliah kerja nyata), atau acara
kemahasiswaan. Dari banyaknya kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, hanya 20 persen
yang melaporkan peristiwa tersebut (Zuhra, 2019).
Penjelasan tersebut membuktikan bahwa isu terkait penyintas sosial merupakan isu
yang penting untuk dibicarakan di masyarakat saat ini. Salah satunya melalui film. Karena
film mampu menyampaikan pesan secara efektif kepada audiens. Pesan yang disampaikan
dapat bersifat linguistik maupun non-verbal (Indriani & Rosfiantika, 2018). Oleh karena itu,
film yang mengangkat isu tersebut diharapkan mampu menghapus stigma negatif masyarakat
terhadap penyintas atau korban kekerasan seksual.
Selaras dengan misi perfilman nasional indonesia yang menggunakan film nasional
sebagai media hiburan dan edukasi dalam rangka nation and character building (Magfiroh,
2017). Film juga digunakan sebagai salah satu cara untuk mengkritik dan mengubah pola pikir
masyarakat. Sebagai karya seni dan media informasi, film digunakan sebagai sarana hiburan
dan edukasi bagi para audiens. Film memiliki kekuatan dan kemampuan untuk menjangkau
berbagai kelompok masyarakat. Hal ini membuat para ahli menyimpulkan bahwa film
berpotensi mempengaruhi masyarakat (Fitranisa, 2016). Selain itu, adanya kritik publik dan
keberadaan lembaga sensor film membuktikan bahwa film memiliki dampak yang sangat
besar. Dengan kekuatan tersebut, film dianggap mampu menyebarluaskan nilai-nilai budaya
baru (Nisa, 2015). Para pembuat film secara tidak langsung menyampaikan pesan atas
keresahan yang ada di masyarakat dan berharap cara pandang masyarakat berubah.
Film adalah gambaran kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa film dan kehidupan
masyarakat tidak dapat dipisahkan. Kemampuan untuk menciptakan efek komunikasi bagi
para penonton menjadikan film sebagai media komunikasi yang efektif (Sutorini et al., 2019).
Pesan yang terkandung dalam film didasari oleh realita yang ada di kehidupan masyarakat.
Dengan cara yang mudah dipahami dan diterima, film mampu menunjukkan problematika
yang ada di masyarakat (Indriani & Rosfiantika, 2018). Pesan yang terkandung dalam film
dapat diketahui melalui tanda-tanda atau signs. Melalui tanda-tanda (signs) yang terkandung
dalam suatu teks, maka dapat diketahui pesan-pesan berupa ekspresi emosi dan kognisi
pembuat film. Salah satu film yang membahas mengenai isu kekerasan seksual adalah Film
Penyalin Cahaya. Film drama thriller Indonesia ini tidak hanya mengangkat isu kekerasan
seksual, namun mengangkat permasalahan lain seperti perpeloncoan di kampus, sikap
birokrasi kampus terhadap kasus kekerasan seksual, serta relasi kuasa antara orang kaya dan
para petinggi (abuse of power). Film karya Wregas Bhanuteja dengan berani menyindir
berbagai pihak, terutama birokrasi kampus (Arifin, 2021).
Film ini berkisah tentang seorang mahasiswi bernama Suryani (Shenina Cinnamon).
Sur bergabung dengan klub teater bernama Mata Hari dan bertugas sebagai website developer.
Setelah pertunjukan teater Mata Hari sukses, tim mengadakan pesta di rumah Rama yang
merupakan penulis naskah drama untuk teater Mata Hari. Sur yang awalnya menolak ajakan
tersebut akhirnya terpaksa datang karena tawaran pekerjaan dari ayah Rama untuk mengelola
website. Ditemani Amin, Sur pun datang ke rumah Rama untuk mengikuti pesta. Pesta tersebut
diakhiri dengan kegiatan minum alkohol. Permainan medusa membuat Sur harus meminum
minuman beralkohol. Peristiwa itu yang menjadi awal mula tragedi yang membuat hidup Sur
berantakan. Swafotonya dalam keadaan mabuk tersebar di media sosial dan sampai ke dewan
beasiswa. Sur yang dikenal sebagai mahasiswa cerdas berubah menjadi mahasiswa yang akrab
dengan dunia malam dan suka mabuk. Akibatnya, beasiswa Sur dicabut karena dianggap tidak
memenuhi kriteria penerima beasiswa. Merasa dirinya dijebak, Sur berupaya mencari tahu
kebenaran dari kasus tersebut (Anisa, 2021). Ketika proses penelusuran tersebut, ia
menemukan hal yang tidak terduga. Masalah tersebut tidak hanya menyangkut beasiswanya,
namun berkaitan dengan martabatnya.
Film Penyalin Cahaya melakukan pemutaran perdananya di Busan International Film
Festival 2021 pada 8 Oktober 2021 (Hilmanita, 2021). Kemudian melanjutkan perjalanannya
ke Main Competition Jogja NETPAC Asian Film Festival 2021. Beberapa penghargaan yang
berhasil diraih adalah 12 penghargaan Piala Citra 2021 kategori Film Panjang Terbaik,
Sutradara Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, Penata
Busana Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Penata
Musik Terbaik, Penata Suara Terbaik, Pencipta Lagu Tema Terbaik, Pengarah Artistik
Terbaik, dan Pengarah Sinematografi Terbaik (Nita, 2021). Dan penghargaan lainnya yaitu 3
penghargaan Festival Film TEMPO kategori Film Pilihan TEMPO, Sutradara Pilihan
TEMPO, dan Skenario Pilihan TEMPO. Tidak sampai disitu saja, film Penyalin Cahaya
berhasil masuk ke dalam Top 10 Global Netflix di 26 negara. Diantaranya yaitu Indonesia,
Malaysia, Singapura, dan lainnya (Suherlan, 2022).
Film Penyalin Cahaya tidak hanya amenuai kontroversi dengan prestasi yang
diraihnya. Skandal terkait penulis yang dilaporkan sebagai pelaku kekerasan seksual berhasil
merubah respon publik. Sebagai bentuk pertanggungjawaban terhadap penghapusan
kekerasan seksual, Rekata Studio dan Kaninga Pictures selaku rumah produksi film Penyalin
Cahaya serta Wregas selaku sutradara film tersebut mengunggah pernyataan bahwa nama kru
yang terlapor telah dihapus dari kredit film dan tidak lagi menjadi bagian dari film Penyalin
Cahaya dan Rekata Studio lagi (Swaragita, 2022). Terdapat kecurigaan bahwa film Penyalin
Cahaya merupakan fetish dari si penulis skenario film yang merupakan terduga pelaku
kekerasan seksual. Kemungkinan bahwa beberapa adegan dalam film merupakan kejadian
nyata yang dialami penulis menjadikan film tersebut sarat akan makna yang tersembunyi. Film
mengandung pesan yang disampaikan melalui tanda dan lambang yang digunakan (Aji, 2015).
Suatu film memiliki tanda dan simbol yang sangat kompleks, sehingga diperlukan analisis
semiotik untuk mengkaji dan menelaah tujuan dan arti digunakannya sebuah tanda dan simbol
dalam film serta makna yang tersirat didalamnya. Semiotika mampu mengkaji suatu teks,
skenario, gambar, dan adegan dalam film menjadi suatu yang dapat dimaknai.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif menawarkan cara
pandang yang berbeda, yakni pandangan mengenai realitas sosial bersifat subjektif, relatif,
dan interpretatif. Dimana realitas tidak bisa lepas dari diri manusia, akan tetapi ada dalam diri
manusia. Karena ditujukan untuk menemukan teori baru, maka penelitian kualitatif sering
disebut sebagai penelitian yang deskriptif-eksploratif (Haryono, 2020). Semiotika Roland
Barthes hampir digunakan dalam segala bidang kehidupan, seperti sastra, film, iklan, fotografi,
dan mode busana. Barthes tidak hanya sebatas meneliti penanda dan petanda, namun meneliti
terkait hubungan yang mengikat keseluruhannya (Akhbar & Supratman, 2018). Aspek penting
dalam teori Barthes adalah peran pembaca atau the reader. Keaktifan pembaca dibutuhkan
agar konotasi yang merupakan sifat asli tanda dapat berfungsi (Mudjiono, 2011) Teori Barthes
melalui dua tahap signifikasi. Pada tahap signifikasi pertama, dihasilkan makna denotasi atau
makna yang sebenarnya. Makna denotasi adalah hubungan eksplisit antara tanda dan realitas
dalam pertandaan. Sedangkan pada signifikasi tahap kedua menghasilkan makna konotasi.
Makna konotasi merupakan makna yang berkaitan dnegan emosi dan nilai kebudayaan serta
ideology. Pada tahap signifikasi kedua inilah dapat diketahui mitos yang ada (Wahjuwibowo,
2018).
Makna konotasi yang terbentuk pada signifikasi tahap kedua identic dengan ideologi
yang disebut dengan mitos. Mitos disini bertujuan untuk mengungkapkan dan memberi
pembenaran atas nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Herwendo,
2014). Setelah terbentuk sistem tanda, penanda, dan petanda, tanda tersebut akan menjadi
tanda baru. Jika suatu tanda memiliki makna konotasi yang kemudian berkembang menjadi
makna denotasi, maka makna denotasi tersebut yang akan membentuk sebuah mitos (Irman et
al., 2021). Metode semiotika Roland Barthes digunakan karena Barthes menganggap tanda
sebagai bahan berpikir dan bisa dipersepsi berdasarkan pengenalan penggunanya (Pusparani
& Putri, 2019). Aspek mitos dalam teori barthes dapat dikatakan sebagai tanda yang bekerja
di ranah kebudayaan yang mengkaji suatu aspek realitas yang ada (Wibawa et al., 2021). Mitos
berkaitan dengan sterotipe atau stigma yang ada di masyarakat. Dalam penelitian kali ini,
peneliti ingin melihat hubungan antara penggambaran penyintas kekerasan seksual dengan
realitas sosial yang sebenarnya. Dan realitas sosial tersebut dapat terlihat dari bagaimana
stereotype yang berkembang di masyarakat terhadap penyintas kekerasan seksual. Maka dari
itu, metode analisis semiotika Roland Barthes dinilai sangat tepat untuk membedah film
Penyalin Cahaya hingga tahapan mitos dan mengaitkannya dengan stereotip yang ada di
masyarakat.
Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian kali ini adalah
Dokumentasi, observasi, dan riset perpustakaan. Teknik tersebut digunakan untuk
mengumpulkan data guna menunjang penelitian ini. Selain itu, unit analisis yang digunakan
adalah scene yang menunjukkan penyintas kekerasan seksual. Jumlah scene yang akan
dianalisa sebanyak 5 scene dari keseluruhan film. Untuk menganalisa data yang telah
dikumpulkan, penulis melakukan reduksi data, penyajian dan analisis data, serta penarikan
kesimpulan.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Film berdurasi 130 menit ini menceritakan tentang perjuangan Suryani dalam
mengungkap kebenaran atas tragedi foto selfie mabuknya yang tersebar. Tragedi tersebut
membuatnya kehilangan beasiswa. Akan tetapi masalah tersebut tidak hanya menyangkut
beasiswanya, namun berkaitan dengan martabat.

Tabel 1. Scene 37

Visual dan dialog/situasi Durasi

00:24:04

Bapak Sur berkata bahwa Sur


bukan bagian dari keluarganya
lagi

00:24:40

Sur mencoba untuk menjelaskan


apa yang sebenarnya terjadi

00:25:05
Bapak Sur marah karena Sur
pulang dalam keadaan mabuk
hingga membuat beasiswanya
dicabut
Makna denotasi pada scene 37 adalah Bapak Sur marah karena Suryani pulang dalam
keadaan mabuk dan mengakibatkan beasiswanya dicabut. Suryani mencoba untuk
menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Namun Bapak Sur sudah terlalu emosi sehingga
tidak ingin mendengarkan penjelasan Sur. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua dalam
keadaan emosi tidak akan menghiraukan penjelasan anaknya. Makna konotasi pada scene 37
terletak pada dialog “Itu artinya kamu udah bukan bagian dari keluarga ini lagi.” Bapak Sur
menganggap bahwa berpesta dan meminum minuman beralkohol adalah perilaku tidak terpuji.
Dialog tersebut menunjukkan bahwa bapak Sur malu memiliki anak seperti Suryani dan
menganggap Sur sebagai aib. Melalui dialog tersebut, Suryani yang merupakan sosok
penyintas kekerasan seksual digambarkan sebagai aib keluarga. Wanita dianggap sebagai
simbol dari kesucian dan kehormatan. Maka ketika perempuan mengalami kekerasan seksual,
ia akan dianggap sebagai aib (Liadi, 2019).
Pakaian berwarna putih yang dikenakan oleh Bapak Sur mampu menunjukkan
karakternya. Warna putih memiliki arti kesucian dan terkesan dingin. Orang yang sering
menggunakan pakaian berwarna putih merupakan tipe incividu yang perfeksionis dan
berusaha mencapai kesempurnaan (Rahmadinna, 2020). Dengan karakter tersebut, Bapak Sur
merasa Suryani telah mempermalukan keluarganya. Karena sifat perfeksionis itulah akhirnya
Bapak Sur mengusir Sur agar tidak mencoreng nama baik keluarganya. Pencahayaan low key
digunakan untuk menciptakan efek dramatis (Fisipol, n.d.) Sedangkan pencahayaan yang
dibuat minim menunjukkan bahwa Suryani berada dalam masa suram. Latar tempat berupa
warung Ibu Sur menunjukkan bahwa Sur berasal dari keluarga yang sederhana. Hal ini
mempengaruhi pola pikir keluarganya yang lebih mementingkan pandangan dan pendapat
orang lain. Mitos yang terdapat dalam scene 37 adalah masyarakat menganggap penyintas
kekerasan seksual sebagai aib keluarga. Label “keluarga gagal” atau “wanita nakal” yang
diperuntukkan oleh keluarga dengan korban kekerasan seksual. Korban kerap dianggap
sebagai aib apabila mengalami pelecehan seksual. Stereotip seperti itulah yang menjadikan
korban mengambil pilihan untuk diam (Hidayat, 2021).
Sebagai orang tua, Bapak Sur merasa benar dan tidak ingin mendengarkan penjelasan
dari anaknya terlebih dahulu. Dengan stigma yang diberikan kepada Suryani, maka bapak Sur
menganggap Suryani adalah aib yang akan mempermalukan keluarga. Hal ini merupakan
penggambaran penyintas kekerasan seksual yang ada di Indonesia.
Tabel 2. Scene 67

Visual dan dialog/situasi Durasi

00:53:36

Sur melaporkan kasusnya kepada


dekan

00:54:11

Sur berkata kalau ia


membutuhkan bantuan pihak
kampus untuk menyelidi kasusnya

00:54:18

Dekan berkata jika tidak ada bukti


maka tidak bisa diproses

Makna denotasi dalam scene 67 ialah Suryani melaporkan masalah yang menimpanya
kepada dekan fakultas, yaitu foto Suryani yang tersebar di media sosial. Video hasil rekaman
teman-temannya ditujukan kepada dekan fakultas dengan harapan pihak kampus akan
membantunya. Akan tetapi dekan fakultas dengan tegas berkata bahwa kasus Sur tidak bisa
diproses karena tidak ada bukti yang relevan. Dapat disimpulkan bahwa pihak otoritas tidak
akan melakukan penyelidikan jika tidak ada bukti yang jelas. Makna konotasi dalam scene ini
terdapat pada dialog “Tapi kalau gak ada bukti yang kuat, saya kan juga gak bisa proses” yang
diucapkan oleh Bapak Dekan. Ketika Suryani datang untuk meminta bantuan pihak kampus,
nyatanya bantuan yang diharapkan tidak dapat terwujud. Melalui dialog tersebut, dapat dilihat
bahwa pihak kampus tidak dapat memberikan bantuan kepada Suryani karena tidak adanya
bukti yang kuat. Sedangkan bukti-bukti tersebut bisa didapatkan jika pihak kampus
memberikan bantuan untuk penyelidikan lebih lanjut. Suryani yang merupakan penyintas
kekerasan seksual memiliki beban ganda, yaitu beban sebagai korban dan beban untuk mencari
bukti (Safutra, 2021).
Warna hijau mencerminkan sifat komunikatif (Kasiyan, 2013). Pakaian berwarna hijau
digunakan untuk menunjukkan karakter Suryani yang komunikatif dalam memberikan
penjelasan dan mengutarakan pemikirannya kepada Bapak Dekan. Tone warna yang gelap
menekankan emosi tokoh. Sedangkan kaos hitam yang digunakan Suryani mencerminkan
karakternya yang memiliki keinginan kuat namun memberikan kesan yang sedih (Voi, 2021).
Suryani berkeinginan kuat untuk menyelidiki kasusnya. Hal ini terlihat dari usahanya untuk
mencari informasi dan menyampaikan keresahannya kepada Bapak Dekan. Pencahayaan
dalam scene ini juga memiliki arti tersendiri. Minimnya pencahayaan menggambarkan
harapan yang Suryani miliki sangat kecil. Pada menit ke 54:18 terdapat suara latar orang
tertawa yang berasal dari video yang diputar Suryani. Suara tawa tersebut seolah
menertawakan nasib Suryani yang tidak bisa mendapatkan bantuan dari pihak kampus untuk
menyelidiki kasusnya. Kasus kekerasan seksual seringkali dijadikan sebagai bahan candaan
oleh masyarakat Indonesia. Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
mengatakan bahwa kasus kekerasan seksual adalah masalah yang penting dan tidak dapat
ditoleransi. Kasus kekerasan seksual tidak boleh dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak jelas
atau abu-abu (Zaking, 2021).
Mitos dalam scene ini adalah penyintas kekerasan seksual tidak akan mendapatkan
bantuan jika tidak ada bukti yang kuat. Para aparat tidak akan melakukan penyelidikan terkait
kasus yang dilaporkan tanpa adanya bukti yang kuat. Meskipun para pelapor sudah
memberikan kesaksian terkait peristiwa nahas yang menimpanya, namun para pelapor dituntut
untuk memiliki bukti jika ingin kasusnya diproses. Mitos bahwa penyintas kekerasan seksual
mengalami masalah psikis membuat aparat tidak bisa mempercayai keterangan penyintas.
Penyintas dianggap tidak kredibel sehingga kesaksiannya tidak dapat dipercaya. Namun
keresahan para penyintas terjawab pada 12 April 2022 saat RUU TPKS disahkan (Putsanra,
2022). Mengacu pada pasal 44 ayat 2 dan pasal 45 ayat 1, maka kesaksian korban dan surat
keterangan psikolog/psikiater sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah. Hal
ini menjadi solusi dari permasalahan terkait kasus kekerasan seksual yang tidak bisa diselidiki
karena kurangnya bukti. Keputusan yang diambil DPR tentu membantu para penyintas
kekerasan seksual mendapat keadilan.
Tabel 3. Scene 97

Visual dan dialog/situasi Durasi

01:30:34

Dekan fakultas menyalahkan Sur


karena dokumen miliknya viral

01:31:15

Sur berkata bahwa dokumen itu ia


serahkan ke dewan kode etik

Makna denotasi dalam scene 97 adalah dekan fakultas memanggil Suryani untuk
diinterogasi tentang dokumen miliknya yang viral. Dekan menyalahkan Suryani atas masalah
tersebut. Dokumen itu berisi tentang bukti terkait dugaan kekerasan seksual yang dilakukan
Rama Soemarno. Suryani dengan tegas membela dirinya dari tuduhan bapak dekan. Ia
mengatakan bahwa dokumen itu ia serahkan ke dewan kode etik untuk pengusutan lebih lanjut
dan seharusnya dewan kode etik yang diinterogasi terkait viralnya dokumen tersebut. Makna
konotasi dalam scene ini terletak pada dialog yang diucapkan salah satu petinggi fakultas, “Dia
berniat melaporkan kamu ke polisi karena pencemaran nama baik.” Dialog tersebut
menunjukkan bahwa laporan yang diajukan Sur selaku penyintas kekerasan seksual dianggap
sebagai pencemaran nama baik. Di Indonesia, korban yang melaporkan tindakan kekerasan
seksual seringkali dinilai sebagai tindakan pencemaran nama baik. Dan para terdakwa
menggunakan alasan tersebut untuk berdalih. Maria Ulfah Anshor selaku Komisioner Komnas
Perempuan memberikan pernyataan bahwa korban kekerasan seksual kerap dikriminalisasi,
entah itu tuduhan pencemaran nama baik atau yang lainnya. Hal ini menyebabkan korban sulit
mendapat keadilan (Ameliya, 2021).
Tidak hanya itu, dialog “Saya tidak ingin kampus ini terseret kalau ini sampai ke
pengadilan” yang diucapkan oleh dekan fakultas juga memiliki arti tersendiri. Kasus
kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi umumnya mendapatkan respon yang
kurang baik dari pihak kampus. Kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi
sengaja disembunyikan dengan alasan nama baik kampus (Dianti, 2021). Hal ini terjadi karena
adanya relasi kuasa yang dimiliki pelaku, seperti dengan oknum para petinggi, dosen, hingga
senior (Andriansyah, 2021). Pihak kampus seolah mengutamakan nama baik universitas
dibandingkan dengan korban. Bahkan pihak kampus tidak segan untuk menutupi kasus yang
beresiko merusak image universitas.
Makna konotasi lain terlihat melalui dialog yang diucapkan petinggi fakultas, “Saya
juga sudah bicara dengan Rama supaya kita bicarakan masalah ini secara kekeluargaan.”
Dialog tersebut menggambarkan realita yang ada di Indonesia. Solusi yang diberikan kepada
para korban kekerasan seksual adalah menyelesaikan secara kekeluargaan. Solusi ini tidak
hanya diberikan oleh aparat, namun orang terdekat korban pun ada yang memberikan solusi
seperti itu. Fenomena tersebut membuat korban harus berdamai dengan pelaku yang telah
membuat hidupnya menderita.
Wardrobe yang dikenakan Suryani berhasil mencerminkan karakter yang ingin
ditampilkan. Parka berwarna hijau menunjukkan karakter Suryani yang komunikatif (Kasiyan,
2013). Suryani dengan lantang mengutarakan pikirannya dan berdebat dengan para dekan
fakultas. Warna hijau gelap melambangkan martabat Suryani yang sedang dipertaruhkan.
Kaos hitam yang dikenakan Suryani menekankan keresahan Suryani dan menggambarkan
karakternya yang berkeinginan kuat (Gross, n.d.). Suryani berkeinginan kuat untuk
mengutarakan pendapatnya untuk menyangkal tuduhan para dekan fakultas. Pakaian batik
dengan corak yang penuh mencerminkan karakter para dekan yang rumit dan kompleks. Corak
batik yang rumit juga menggambarkan sikap perguruan tinggi yang rumit dalam mengatasi
kasus kekerasan seksual. Properti berupa tas yang dipakai Suryani menggambarkan beban atau
masalah yang ia punya. Tas yang dipikul Suryani memiliki ukuran yang besar dan terlihat
berat. Sehingga dapat dimaknai sebagai penggambaran terhadap masalah yang sedang
dihadapi oleh Suryani.
Dibalik itu semua, terdapat dialog yang berhasil menunjukkan penyintas kekerasan
seksual sebagai sosok yang kuat dan pemberani. Penggambaran tersebut terletak pada adegan
dimana Suryani membela diri dan dialog “Pak, saya tidak memviralkan tuduhan itu, Pak. Saya
memberikan data itu kepada dewan kode etik untuk pengusutan lebih lanjut. Seharusnya
mereka yang ditanya soal pemviralan itu, Pak.” Suryani ditampilkan sebagai sosok yang kuat,
hal ini merupakan suatu penggambaran yang jarang diberikan kepada para penyintas
kekerasan seksual. Meskipun demikian, namun Suryani digambarkan sebagai sosok yang kuat
dan berani karena adanya tekanan dari berbagai pihak. Hal ini menyebabkan Suryani mau
tidak mau harus kuat dan berani untuk membela dirinya sendiri.
Mitos yang terdapat pada scene ini adalah penyintas kekerasan seksual identik dengan
sosok yang lemah. Maka dari itu dekan fakultas memberikan peringatan agar Suryani tidak
meneruskan kasus ini ke pengadilan. Dekan fakultas tidak ingin kasus tersebut mempengaruhi
nama baik universitas. Akan tetapi mitos tersebut berhasil dipatahkan melalui penggambaran
Suryani sebagai sosok yang kuat dalam scene ini. Penyintas kekerasan seksual yang biasanya
digambarkan sebagai sosok yang lemah diubah menjadi sosok yang kuat melalui adegan
Suryani membela diri atas tuduhan yang diberikan kepadanya. Mitos lain yang terdapat dalam
scene 97 adalah para penyintas yang melaporkan kasus kekerasan seksual akan dituduh
melakukan pencemaran nama baik. Hal ini merupakan fenomena nyata dimana para terdakwa
yang memiliki kekayaan dan kuasa akan membela diri dengan dalih pencemaran nama baik.
Dengan segala kuasanya, para terdakwa akan kembali menyerang pelapor.
Tabel 4. Scene 100

Visual dan dialog/situasi Durasi

01:35:21

Orang-orang merekam dan


melihat Sur membuat video
klarifikasi atas kasusnya

01:36:32

Sur berkata bahwa ia dan Rama


Soemarno sepakat untuk damai

Makna denotasi dalam scene 100 ialah Suryani membuat video klarifikasi sebagai
penyelesaian atas kasusnya. Video tersebut merupakan permintaan Rama Soemarno untuk
memulihkan nama baiknya. Video tersebut direkam langsung oleh bapak Sur dan
pembuatannya disaksikan oleh beberapa orang yang terlibat dengan kasus ini. Suryani
meminta maaf karena membuat laporan palsu dan sepakat untuk menyelesaikan kasus ini
dengan damai. Video tersebut diputar di universitas dan ditonton oleh banyak orang. Makna
konotasi pada scene ini terdapat pada dialog “Saya dan keluarga Rama Soemarno telah sepakat
untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan jalur kekeluargaan dan damai.” Dialog Suryani
itu menunjukkan bahwa solusi untuk penyelesaian kasus kekerasan seksual adalah dengan cara
berdamai. Fenomena korban dipaksa berdamai dengan pelaku merupakan salah satu bentuk
perilaku menyalahkan korban (victim blaming). Korban yang seharusnya mendapat bantuan
dan perlindungan justru menjadi pihak yang salah. Bentuk-bentuk victim blaming yaitu tidak
mempercayai ucapan korban, merendahkan tingkat serangan yang diterima, serta tanggapan
tidak sesuai oleh pihak yang mempunyai otoritas (Wulandari & Krisnani, 2020)
Orang tua, dekan, dan teman-teman Sur yang menyaksikan pembuatan video
klarifikasi Suryani menunjukkan bahwa mereka terlibat dalam proses pembuatan video
tersebut. Orang tua Sur yang memiliki peran besar dalam keputusan pembuatan video karena
memaksa Sur untuk berdamai agar masalah segera selesai. Rama Soemarno sebagai pelaku
yang menyuruh Sur untuk membuat video klarifikasi. Dekan yang menyarankan Sur untuk
berdamai dengan Rama. Serta teman-teman teater Mata Hari yang tidak percaya dengan
ucapan Suryani. Mereka semua terlibat dan menjadi alasan mengapa Suryani pada akhirnya
memilih untuk berdamai dan membuat video klarifikasi.
Close-up digunakan untuk memperlihatkan ekspresi wajah tokoh dengan jelas dan
detail (Ricart, 2018). Type of shot ini biasanya digunakan untuk adegan dialog yang lebih
intim. Dengan framing seperti ini, ekspresi serta emosi Suryani dapat terlihat dengan jelas.
Suryani terlihat sedih dan kecewa atas keputusan yang dipilihnya. Namun, Suryani juga
menunjukkan kekecewaan terhadap respon dari orang-orang disekitarnya terkait kasusnya.
Perspektif eye level digunakan untuk memberikan kesan tegang dan serius (Vahreza & Jasjfi,
2020). Mitos yang terdapat dalam scene ini adalah video klarifikasi menjadi solusi
penyelesaian masalah. Mitos tersebut berkembang di masyarakat dan menjadi budaya di era
digital saat ini. Adanya budaya tersebut membuat Rama Soemarno meminta Sur membuat
klarifikasi sebagai syarat damai. Contoh nyata di Indonesia adalah kasus pelecehan di KPI.
Korban dipaksa untuk membuat pengakuan dan rilis guna memulihkan nama-nama pelaku
(Arifin, 2021). Selain itu, penyintas kekerasan seksual seringkali dipaksa untuk berdamai
dengan pelaku. Hal ini terjadi karena pelaku kekerasan seksual umumnya memiliki kekuatan
dan kuasa yang lebih tinggi dari penyintas. Keputusan untuk berdamai dipilih oleh korban
karena aparat dan pelaku yang kerap menyalahkan dan meneror korban. Pola yang sering
dilakukan oleh pelaku dan aparat penegak hukum disebut dengan DARVO. DARVO adalah
deny, attack, reverse victim, dan offender. Pola ini hampir mirip dengan gaslighting yang
menyerang dan meragukan kredibilitas (Dzulfikar, 2022).
Tabel 5. Scene 135
Visual dan dialog/situasi Durasi

02:05:49

Farah memfotokopi wajahnya

02:05:51

Wajah Farah yang difotokopi


memiliki berbagai macam emosi

02:05:54

Tariq ikut memfotokopi wajahnya

02:06:06

Suryani turut memfotokopi


wajahnya dengan berbagai macam
emosi

Makna denotasi pada scene ini adalah Farah, Tariq, dan Suryani memfotokopi
wajahnya. Ketiganya menunjukkan ekspresi yang hampir sama. Untuk menampilkan ekspresi
ketiganya dengan detail, maka digunakan framing close-up. Farah dengan kondisi mata
terbuka menunjukkan ekspresi marah dan kecewa. Suryani juga menunjukkan ekspresi yang
hampir sama dengan Farah. Sedangkan Tariq dengan mata tertutup menunjukkan ekspresi
sedih dan pasrah. Makna konotasi scene 135 terletak pada adegan dimana Farah, Tariq, dan
Suryani yang merupakan penyintas kekerasan seksual memfotokopi wajah mereka. Adegan
ini terjadi setelah adegan dimana mereka memfotokopi dokumen yang menjadi bukti kasus.
Secara tidak langsung, adegan memfotokopi wajah mereka memiliki makna bahwa bukti dari
kasus kekerasan seksual adalah para korban itu sendiri. Tindakan kekerasan seksual berkaitan
erat dengan tubuh seseorang. Maka fenomena dimana kasus kekerasan seksual tidak bisa
diselidiki karena kurangnya bukti harusnya sudah tidak terjadi lagi. Kesaksian korban
harusnya dapat dijadikan sebagai bukti dalam kasus kekerasan seksual. Hal ini didukung oleh
RUU TPKS yang menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual dapat diselidiki dengan
kesaksian korban dan surat keterangan psikolog/psikiater (Hutasoit, 2022). Hal ini menjadi
angin segar bagi para penyintas kekerasan seksual.
Penggunaan mesin fotokopi memiliki makna konotasi tersendiri selain sebagai judul
film. Mesin fotokopi dalam bahasa inggris disebut sebagai photocopier. Penyalin Cahaya
berasal dari kata Photos dan Copy. Dalam konteks ini, cahaya memiliki arti harapan. Sehingga
arti dari penyalin cahaya adalah seseorang yang menyalin atau melipatgandakan harapan.
Orang tersebut nantinya akan melawan ketidakadilan atas kasus kekerasan seksual dan
memperbanyak harapan bagi para korban dengan cara menyalin semangat (Halakrispen,
2021). Adegan ketika Suryani, Farah, dan Tariq memfotokopi wajah mereka menunjukkan
bahwa merekalah sang penyalin cahaya. Mereka yang nantinya akan melawan ketidakadilan
dan melipatgandakan harapan para penyintas kekerasan seksual.
Pakaian yang digunakan Farah berwarna hitam menunjukkan penekanan terhadap
emosi sedih. Sama halnya dengan Farah, Tariq juga mengenakan kaos berwarna cokelat.
Warna cokelat identic dengan kesedihan (Majidah et al., 2019).Warna tersebut digunakan
untuk menunjukkan emosi sedih dari karakter Tariq yang merupakan penyintas kekerasan
seksual. Sedangkan Suryani mengenakan kebaya berwarna hijau. Kebaya itu adalah kebaya
yang ia kenakan pada saat pesta. Namun selain karena alasan itu, warna hijau dianggap sebagai
warna yang membawa pesan seksual dan memiliki arti negatif yakni kerusakan. Warna hijau
juga dilambangkan sebagai penyembuhan (Putri, 2021). Hal ini selaras dengan tujuan film
Penyalin Cahaya yang ingin mengangkat isu mengenai penyintas kekerasan seksual. Penyintas
kekerasan seksual yang mengalami dampak psikis dan fisik yang merusak hidupnya. Tidak
heran jika penyintas kekerasan seksual membutuhkan proses penyembuhan yang lama dan
berat.
Framing close-up berhasil menunjukkan ekspresi para tokoh dengan detail (Irawan,
2021). Framing ini digunakan untuk adegan emosional dan dramatis yang ingin disampaikan
para pembuat film. Framing close-up digunakan untuk menekankan kepada para penonton
bahwa apa yang mereka lihat merupakan hal yang penting dalam film (McGregor, 2020). Pada
scene 135, framing close up memperlihatkan ekspresi Farah, Tariq, dan Suryani dengan jelas.
Emosi dari ketiganya pun berhasil tersampaikan. Suryani dan Farah dengan mata terbuka
menunjukkan emosi marah, kecewa, dan kuat. Sedangkan Tariq dengan kondisi mata tertutup
menggambarkan bahwa ia sedih, pasrah, namun juga lega karena berhasil menunjukkan
dirinya yang merupakan seorang penyintas kekerasan seksual. Tujuan dari penggunaan
framing close-up adalah memberikan penekanan kepada penonton bahwa scene ini adalah
scene yang penting dari film Penyalin Cahaya.
Mitos yang terdapat pada scene ini adalah kasus kekerasan seksual tidak akan diproses
oleh aparat penegak hukum jika bukti kasus dirasa kurang. Meskipun korban sudah
memberikan kesaksian atas peristiwa yang terjadi, namun kesaksian tersebut tidak dianggap
kredibel karena kondisi psikis yang kurang stabil. Hal ini dibuktikan dari beberapa penelitian
yang menyatakan bahwa para perempuan korban kekerasan tidak ditangani dengan baik dan
bahkan diabaikan oleh sistem peradilan pidana (Triananda, 2011). Fakta ini membuat para
penyintas atau korban memilih untuk menangani kasusnya sendiri dan enggan untuk meminta
bantuan.
Kesimpulan
Penyintas kekerasan seksual dalam film Penyalin Cahaya dalam makna denotasi
adalah penanda bahwa penyintas kekerasan seksual tidak mendapat bantuan dan dijadikan
pihak yang salah. Korban terpaksa harus berdamai dan membuat video klarifikasi untuk
memulihkan nama pelaku. Pada akhirnya, korban merasa kecewa dengan keadaan. Makna
konotasi penyintas kekerasan seksual dalam film Penyalin Cahaya adalah penanda bahwa
penyintas kekerasan seksual dianggap sebagai aib dan memberi pengaruh buruk kepada
lingkungan sekitar. Kerabat maupun masyarakat yang memiliki peran penting justru
melakukan victim blaming dan penyintas dikriminalisasi atas tuduhan pencemaran nama baik.
Ketidakpercayaan terhadap cerita penyintas membuat penyintas memilih jalan damai.
Meskipun pada kenyataannya bukti dari tindakan kekerasan seksual adalah para penyintas itu
sendiri. Maka penyintas kekerasan seksual harus berani untuk berjuang bersama melawan
ketidakadilan terhadap kasus kekerasan seksual.
Penyintas kekerasan seksual dalam film Penyalin Cahaya dalam makna mitos adalah
penanda bahwa penyintas kekerasan seksual dianggap sebagai aib, pihak yang bersalah, tidak
memiliki kekuatan, tidak kredibel, tidak akan mendapat bantuan jika tidak memiliki bukti,
dituduh mencemarkan nama baik pelaku, harus berdamai, dan kesaksiannya tidak dapat
dijadikan sebagai bukti. Berdasarkan makna denotasi, konotasi, dan mitos diatas. Dapat
disimpulkan bahwa penyintas kekerasan seksual digambarkan sebagai individu subordinat.
Tanda dan lambang pada film ini menunjukkan bahwa penyintas kekerasan seksual
merupakan sosok yang memiliki kekuasaan rendah sehingga memiliki keterbatasan dalam
keputusan dan tindakan yang diambil.

Daftar Pustaka
Akhbar, G. S., & Supratman, L. P. (2018). Analisis Semiotika Roland Barthes Dalam Film
American History X Sebagai Representasi Neo Fasisme. EProceedings of
Management, 5(2).
https://openlibrarypublications.telkomuniversity.ac.id/index.php/management/article/
view/6770.
Ameliya, T. M. (2021). Komnas Perempuan: Korban kekerasan seksual kerap alami
kriminalisasi. Antaranews.Com.
https://m.antaranews.com/amp/berita/2539029/komnas-perempuan-korban-
kekerasan-seksual-kerap-alami-kriminalisasi
Andriansyah, A. (2021). Marak Kasus Dugaan Pelecehan Seksual di Kampus, Komnas
Perempuan: Fenomena Gunung Es. Voaindonesia.Com.
https://www.voaindonesia.com/amp/marak-kasus-dugaan-pelecehan-seksual-di-
kampus-komnas-perempuan-fenomena-gunung-es/6352132.html
Anisa, A. (2021, December 22). Nonton Film Penyalin Cahaya: Sinopsis dan Jadwal Tayang
di Netflix. Tirto.Id. https://tirto.id/nonton-film-penyalin-cahaya-sinopsis-dan-jadwal-
tayang-di-netflix-gmr4
Arifin, R. F. (2021). Kepada VOI MS Bercerita Bagaimana Pelecehan yang Sesungguhnya Ia
Alami di KPI. Voi.Id. https://voi.id/amp/109795/kepada-voi-ms-bercerita-bagaimana-
pelecehan-yang-sesungguhnya-ia-alami-di-kp
Asih, R. W. (2022). Resmi Rilis di Netflix, Penyalin Cahaya Soroti Isu Sosial Ini.
Solopos.Com. https://www.solopos.com/resmi-rilis-di-netflix-penyalin-cahaya-soroti-
isu-sosial-ini-1236900
Aji, R. S. (2015). Pesan Moral Dalam Film Di Bawah Lindungan Kaâ’bah Karya Buya
Hamka (Analisis Isi film Di Bawah Lindungan KaÂ’bah). Universitas Muhammadiyah.
Dzulfikar, L. T. (2022). Pakar Menjawab: kenapa banyak korban kekerasan seksual malah
minta maaf atau menarik laporannya?. Theconversation.Com.
https://theconversation.com/amp/pakar-menjawab-kenapa-banyak-korban-kekerasan-
seksual-malah-minta-maaf-atau-menarik-laporannya-177460
Dianti, T. (2021). Kekerasan Seksual di Kampus Menjamur, Regulasi Dinilai Tak Cukup.
Dw.Com. https://www.dw.com/id/kekerasan-seksual-di-kampus/a-59838953
Dzulfikar, L. T. (2022). Pakar Menjawab: kenapa banyak korban kekerasan seksual malah
minta maaf atau menarik laporannya?. Theconversation.Com.
https://theconversation.com/amp/pakar-menjawab-kenapa-banyak-korban-kekerasan-
seksual-malah-minta-maaf-atau-menarik-laporannya-177460
Fitranisa, I. (2016). Membaca Film Indonesia Bertema Religi (Studi Film Discourse
Interpretation Tentang Identitas Keislaman dalam Film 99 Cahaya Di Langit Eropa
dan Haji Backpacker). Universitas Airlangga, Surabaya.
https://repository.unair.ac.id/45699/
Fisipol. (n.d.). Memahami Pencahayaan Sinematografi. Retrieved April 28, 2022, from
https://ilmukomunikasi.uma.ac.id/2021/08/04/memahami-pencahayaan-
sinematografi/
Gross, R. (n.d.). Arti Warna dan Simbolisme: Terapkan Kekuatan Warna pada Merek Anda.
Canva.Com. Retrieved April 28, 2022, from https://www.canva.com/id_id/belajar/arti-
warna-dan-simbol-dari-merk/
Haryono, C. G. (2020). Ragam Metode Penelitian Kualitatif Komunikasi - Google Books.
https://www.google.co.id/books/edition/Ragam_Metode_Penelitian_Kualitatif_Komu
n/7RwREAAAQBAJ?hl=id&gbpv=1
Herwendo, R. (2014). Analisis Semiotika Representasi Perilaku Masyarakat Jawa Dalam
Film Kala. WACANA: Jurnal Ilmiah Ilmu Komunikasi, 13(3), 230–245.
https://doi.org/10.32509/wacana.v13i3.151
Halakrispen, S. (2021). Film Penyalin Cahaya Ingatkan Pentingnya Melawan Kekerasan
Seksual. Medcom.Id. https://m.medcom.id/amp/4KZ29m6K-film-penyalin-cahaya-
ingatkan-pentingnya-melawan-kekerasan-seksual
Hidayat, I. (2021). Meningkatnya Kekerasan, dan Biasnya Pandangan Masyarakat.
Mubadalah.Id. https://mubadalah.id/meningkatnya-kekerasan-biasnya-pandangan-
masyarakat/
Hilmanita, N. (2021). 8 Peran di Film Penyalin Cahaya, Tayang di Busan Film Festival. IDN
Times. https://www.idntimes.com/hype/entertainment/novita-hilmanita-1/film-
penyalin-cahaya-biff-c1c2
Indriani, S. S., & Rosfiantika, E. (2018). Pesan Rasisme Dalam Episode The Vinyards Pada
Film American History X. ProTVF, 2(1), 87–100.
https://doi.org/10.24198/PTVF.V2I1.19879
Irman, I. A., Hairunnisa, & Alfando, J. (2021). Analisis Semiotika Dalam Film Parasite. Dunia
Komunikasi: EJournal Ilmu Komunikasi, 9(3), 1–15.
https://doi.org/10.89765/00987.V2I1.908745
Irawan, A. W. A. (2021). Teknik Sinematografi Pada Film Fiksi Pendek Anisa Binti Albertus
Wongsoyudo. Universitas Muhammadiyah, Malang. https://eprints.umm.ac.id/80841/
https://repository.unair.ac.id/96504/
Indriani, S. S., & Rosfiantika, E. (2018). Pesan Rasisme Dalam Episode The Vinyards Pada
Film American History X. ProTVF, 2(1), 87–100.
https://doi.org/10.24198/PTVF.V2I1.19879
Kristiani, N. M. D. (2014). Kejahatan Kekerasan Seksual (Perkosaan) Ditinjau Dari
Perspektif Kriminologi. Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law
Journal), 3(3). https://doi.org/10.24843/JMHU.2014.V03.I03.P02.
Liadi, S. A. (2019). Hubungan Antara Just World Belief Dengan Tendensi Victim Blaming
Pada Kasus Kekerasan Seksual. Universitas Airlangga, Surabaya.
Majidah, Hasfera, D., & Fadli, M. (2019). Penggunaan Warna Dalam Disain Interior
Perpustakaan Terhadap Psikologis Pemustaka. Ristekdik : Jurnal Bimbingan Dan
Konseling, 4(2), 95–106. https://doi.org/10.31604/RISTEKDIK.2019.V4I2.95-106
Magfiroh, F. N. (2017). Representasi Kekerasan Seksual Pada Anak Tuna Rungu Dalam Film
Silenced (Analisis Semiotika Roland Barthes). Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
Banten. http://kom.fisip-untirta.ac.id
McGregor, L. (2020). 10 Types of Shots and Angles Every Filmmaker Should Know.
Shutterstock,Com. https://www.shutterstock.com/blog/10-types-of-shots-every-
filmmaker-should-know
Nisa, I. (2015). Institutional Repository UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Analisis Semiotika
Pesan Moral Dalam Film Jokowi. UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/26866
Nita, D. (2021). Film “Penyalin Cahaya” Borong 12 Penghargaan di Piala Citra FFI 2021.
Kompas. https://www.kompas.tv/article/230827/film-penyalin-cahaya-borong-12-
penghargaan-di-piala-citra-ffi-2021?page=2
Putsanra, D. V. (2022). Apa Itu RUU TPKS yang Disahkan dan Link Unduh RUU TPKS PDF.
Tirto.Id. https://tirto.id/apa-itu-ruu-tpks-yang-disahkan-dan-link-unduh-ruu-tpks-pdf-
gq9R
Pusparani, I. D., & Putri, I. P. (2019). Pesan Toleransi Dalam Film Toba Dreams (Analisis
Semiotika Dengan Model Roland Barthes). EProceedings of Management, 6(2).
https://openlibrarypublications.telkomuniversity.ac.id/index.php/management/article/
view/10576
Putri, D. A. (2021). Psikologi Warna: Arti & Pengaruh 9 Warna Terhadap Psikologi
Seseorang. Doktersehat. https://doktersehat.com/psikologi/psikologi-warna/
Ricart, J. R. (2018). 20 Types of Shots, Camera Angles, and Movements All Videographers
Should Know. Wix. https://www.wix.com/blog/photography/types-of-shots
Swaragita, G. (2022). Penyalin Cahaya: Puncak Gunung Es Isu Kekerasan Seksual Perfilman.
Tirto.Id. https://tirto.id/penyalin-cahaya-puncak-gunung-es-isu-kekerasan-seksual-
perfilman-gnCG https://ojs.uph.edu/index.php/KOMA-DKV/article/view/3004
Sutorini, M. P., Alif, M., & Sarwani. (2019). Semiotika Gender dalam Film Brave. ProTVF,
3(1), 101–112. https://doi.org/10.24198/PTVF.V3I1.21246
Triananda, K. (2011). Viktimisasi sekunder oleh sistem peradilan pidana terhadap perempuan
korban kekerasan. Universitas Indonesia, Jakarta.
https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=20312838#
Voi. (2021). Membaca Karakter Seseorang Berdasarkan Warna Baju Yang Digunakan. VOI.
https://voi.id/amp/27886/membaca-karakter-seseorang-berdasarkan-warna-baju-
yang-digunakan
Voi. (2021). Membaca Karakter Seseorang Berdasarkan Warna Baju yang Digunakan. VOI.
https://voi.id/amp/27886/membaca-karakter-seseorang-berdasarkan-warna-baju-
yang-digunakan
Vahreza, A., & Jasjfi, E. F. (2020). Kesan Multiperspektif Sinematografi Dalam Teknik
Pengambilan Gambar Film “Birdman”. KOMA DKV: Prosiding Konferensi
Mahasiswa Desain Komunikasi Visual, 1(20).
https://doi.org/10.24198/SHARE.875432.8976
Wahjuwibowo, I. S. (2018). Semiotika Komunikasi Edisi III: aplikasi praktis untuk penelitian
dan skrip... - Google Books.
https://www.google.co.id/books/edition/SEMIOTIKA_KOMUNIKASI_EDISI_III/qs
KHDwAAQBAJ?hl=id&gbpv=1&dq=semiotika+roland+barthes&printsec=frontcov
er
Wulandari, E. P., & Krisnani, H. (2020). Kecenderungan Menyalahkan Korban (Victim-
Blaming) Dalam Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Sebagai Dampak
Kekeliruan Atribusi. Share : Social Work Journal, 10(2), 187–197.
https://doi.org/10.24198/SHARE.V10I2.31408
Wibawa, R. S., Shalsabila, I. A., & Asriandhini, B. (2021). Analisis Semiotika Roland Barthes
Dalam Film Pendek “Wedok”. AGUNA: Jurnal Ilmu Komunikasi, 1(2), 16–32.
https://ejournal.amikompurwokerto.ac.id/index.php/AGUNA/article/view/1216/597
Zuhra, W. U. N. (2019). Testimoni Kekerasan Seksual: 174 Penyintas, 79 Kampus, 29 Kota.
Tirto.Id. https://tirto.id/testimoni-kekerasan-seksual-174-penyintas-79-kampus-29-
kota-dmTW
Zaking, S. (2021). Nadiem Geram Kekerasan Seksual Kerap Dijadikan Bahan Candaan.
Jawapos. https://www.jawapos.com/nasional/pendidikan/27/04/2021/nadiem-geram-
kekerasan-seksual-kerap-dijadikan-bahan-candaan/

You might also like