Filsafat Ilmu KLP 10

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Cabang-Cabang Ilmu Pengetahuan, Batas dan Relativitas Ilmu

Pengetahuan, serta Penjelasan tentang Postulat, Asumsi,


Hipotesa, dan Teori
Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampun: Muhammad Nur, M. Hum.

Disusun oleh
Dwi Wulandari 2031060271
M. Dandi Kurniawan 2031060227
Valleria Valentina 2031060261

PRODI PSIKOLOGI ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
TH. 2022 M/ 1443 H
Kata Pengantar

Puji syukur Alhamdulillah senantiasa kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
guna memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Filsafat Ilmu dengan judul “Cabang-
cabang Ilmu Pengetahuan, Batas dan Relativitas Ilmu Pengetahuan, serta Penjelasan
tentang Postulat, Asumsi, Hipotesa, dan Teori” yang diberikan oleh Bapak Muhammad
Nur, M. Hum., selaku dosen pengampu mata kuliah.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
di dalamnya sehingga kami sangat menerima, saran dan kritik sehingga kami dapat menjadi
lebih baik kedepannya.

Akhir kata, kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh terima kasih dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat serta menambah wawasan baik bagi kami maupun para
pembaca. Kami meminta maaf apabila terdapat kesalahan pada penulisan makalah ini dimana
tidak ada unsur kesengajaan di dalamnya. Sekian, Terima kasih.

Lampung, 22 April 2022

Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar............................................................................................................................i

Daftar Isi....................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................................................3

1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................4

2.1 Cabang-Cabang Ilmu Pengetahuan .................................................................................4

2.2 Batas dan Relativitas Ilmu Pengetahuan..........................................................................5

2.3 Penjelasan Postulat, Asumsi, Hipotesa dan Teori............................................................8

BAB III PENUTUP..................................................................................................................11

3.1 Kesimpulan......................................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengetahuan

Pengetahuan (pengetahuan biasa, knowledge) dengan pengetahuan umum (science)


merupakan dua hal yang berbeda. "Pengetahuan yang tidak amat sadar," kata Prof. I.R.
Pudjawijadna, "pun pengetahuan tentang hal-hal yang berlaku umum dan tetap serta pasti dan
yang terutama dipergunakan untuk keperluan sehari hari itulah yang kami namai pengetahuan
biasa, atau dengan singkat: pengetahuan." 1

Sementara itu Dr. Muhammad Hatta menulis, “Pengetahuan yang didapat daripada
pengalaman disebut ‘Pengetahuan pengalaman’ atau ringkasnya: pengetahuan. Pengetahuan
yang didapat dengan jalan keterangan disebut ilmu”.2

“Adapun pengetahuan itu," kata DR M.J. Langeveld, Guru Besar di Rijk Universiteit
Utrecht, “ialah kesatuan subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Suatu kesatuan
dalam mana objek itu dipandang oleh subjek sebagai diketahuinya” 3

James K. Feibleman merumuskan, “Knowledge: relation between objek and subjek"4


Sedangkan dalam ensiklopedia Indonesia, kita mendapatkan uraian yang lebih luas.

.... menurut epistemologi, setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari
berkontraknya dua macam besaran, yaitu:

a. Benda atau yang diperiksa, diselidiki, dan akhirnya di ketahui (objek);


b. Manusia yang melakukan berbagai pemeriksaan dan penyelidikan, dan
akhirnya mengetahui (mengenal) benda atau hal tadi. 5

1
I.R. Pudjawijadna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat. Jakarta, 1963, p.5 (Dalam Ilmu, Filsafat, & Agama, hal
63)
2
Mohammad Hatta, Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan. Jakarta, 1954, p.5 (Dalam Ilmu, Filsafat, &
Agama, hal 63)
3
M.J Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat, terj. G.C. Claessen, Jakarta, 1956, p.29 (Dalam Ilmu, Filsafat,
& Agama, hal 64)
4
James K. Feibleman, “Knowledge”, Dalam Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, New Jersey, 1963,
p.21 (Dalam Ilmu, Filsafat, & Agama, hal 64)
5
T.S.G Mulia dan K.A.H Hidding, Ensiklopedia Indonesia, Jilid N-Z, artikel: Subjek, p. 1284

1
Selanjutnya, kita temukan keterangan “Pengetahuan: paham suatu subyek mengenai
obyek yang dihadapinya.” Yang disebut subyek disini adalah manusia sebagai kesatuan
berbagai macam kesanggupan (akal, panca indra, dan sebagainya) yang digunakan untuk
mengetahui sesuatu, jelasnya manusia sebagai kesadaran, 6 ... yang disebut obyek dalam
pengetahuan adalah benda atau suatu hal yang diselidiki oleh pengetahuan tersebut, sedangkan
benda (hal) itu merupakan realitas bagi manusia yang menyelidiki.

Endang Saifuddin Anshari, dalam bukunya yang berjudul Ilmu, Filsafat, & Agama
menyampaikan beberapa catatan:

Pertama, di dalam bukunya yang dimaksud pengetahuan ialah pengetahuan biasa;

Kedua, pengetahuan ilmiah (ilmu pengetahuan) dan Pengetahuan filosofis (filsafat);

Ketiga, berdasarkan keterangan tentang pengetahuan termaksud di atas, jelaslah bahwa:

a. Pengetahuan teologis (Pengetahuan agama), bukanlah agama itu sendiri,


melainkan pengetahuan tentang agama;
b. Agama (yakni agama Wahyu) bukanlah pengetahuan melainkan
pemberitahuan dari Tuhan kepada Manusia;
c. Jadi, pengetahuan keagamaan tidaklah lain pengetahuan tentang pemberitahuan
dari Tuhan (dalam hal ini pemberitahuan Tuhan atau agama-wahyu itu adalah obyek
yang diketahui oleh manusia sebagai subjek yang mengetahui); dengan kata lain lain,
pengetahuan agama atau pengetahuan keagamaan ialah paham subyek mengenai
obyek, yang dalam hal ini adalah agama.

Arti ilmu pengetahuan

Salah satu corak pengetahuan ialah pengetahuan yang ilmiah, yang lazim disebut ilmu
pengetahuan atau singkatnya ilmu yang ekuivalen artinya dengan science dalam bahasa Inggris
dan Perancis, wissenschaft (Jerman) dan wetenscahp (Belanda).

Sebagaimana juga science yang berasal dari kata scio, scire (Bahasa Latin) yang berarti
tahu, begitupun ilmu berasal dari kata ‘alima (Bahasa Arab) yang juga berarti tahu. Jadi, baik
ilmu maupun science secara epistimologis berarti pengetahuan. Namun secara terminologis

6
Ibid., artikel: subyek, p.1284

2
ilmu dan science itu semacam pengetahuan yang memiliki diri-diri, tanda-tanda dan syarat-
syarat yang khas.

Ada berbagai perbedaan pendapat oleh para ahli mengenai arti ilmu. Maka, dapat
disimpulkan bahwa yang membedakan satu ilmu dari yang lainnya adalah obyeknya. Apabila
kebetulan obyek materialnya sama, maka yang terutama membedakan suatu ilmu dengan yang
lainnya ialah objek formalnya, yaitu sudut pandang tertentu yang menentukan macam ilmu.

1.2 Rumusan Masalah


 Apa saja cabang-cabang ilmu pengetahuan ?
 Bagaimana batas dan relativitas ilmu pengetahuan ?
 Apa penjelasan mengenai postulat, asumsi, hipotesa, dan teori ?

1.3 Tujuan Penulisan


 Untuk mengetahui apa saja cabang-cabang ilmu pengetahuan
 Untuk memahami batas dan relativitas ilmu pengetahuan
 Untuk mengetahui penjelasan mengenai postulat, asumsi, hipotesa, dan teori

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Cabang-Cabang Ilmu Pengetahuan

Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan dengan demikian juga jumlah cabang-
cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada suatu bidang telaahan yang
memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan obyek forma (obyek
ontologis) dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Diperkirakan sekarang ini terdapat
sekitar 650 cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal oleh orang-orang awam.

Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni
Filsafat Alam yang kemudian menjadi rumpun Ilmu-ilmu Alam (the natural sciences) dan
Filsafat Moral yang kemudian berkembang kedalam cabang ilmu-ilmu Sosial (the social
sciences). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua lagi yaitu Ilmu Alam (the physical sciences)
dan ilmu Hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang
membentuk alam semesta sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi Fisika
(mempelajari massa dan energy), Kimia (mempelajari substansi zat), Astronomi (mempelajari
benda-benda langit) dan ilmu Bumi (the earth sciences yang mempelajari ilmu tentang Bumi).

Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru seperti Fisika berkembang


menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan magnetisme, fisika
nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini maka kelompok ilmu ini termasuk kedalam ilmu-ilmu
murni. Ilmu-ilmu murni ini kemudian berkembang menjadi ilmu-ilmu terapan seperti 7:

Ilmu Murni Ilmu Terapan


a) Mekanika Mekanika Teknik
b) Hidrodinamika Teknik Aeronautikal/Teknik & desain kapal

7
Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teotitis yang belum dikaitkan dengan
masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupkan aplikasi ilmu murni kepada masalah-
masalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis. (Dalam Filsafat Ilmu : Sebuah pengantar popular, oleh
Jujun S. Suriasumantri, hlm.94)

4
c) Bunyi Teknik Aukustik
d) Cahaya & Optik Teknik Iluminasi
e) Kelistrikan / Magnetisme Teknik Kelistrikan
f) Fisika Nuklir Teknik Niklir

Cabang-cabang ini berkembang menjadi banyak sekali, kimia saja misalnya yang
mempunyai sekitar 150 disiplin.

Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan dengan ilmu-ilmu alam. Pada
pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia
dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses metal dan kelakuan
manusia), ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya melalui
proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik
(mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).

Cabang-cabang utama ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang-cabang lagi sepeti
umpamanya seperti Antropologi yang terpecah menjadi 5 yaitu Arkeologi, Antropologi Fisik,
Linguistik, etnologi dan Antropologi Sosial / Kultural. Dari ilmu-ilmu tersebut diatas yang
dapat kita golongkan ke dalam ilmu murni meskipun tidak sepenuhnya, 8 berkembang ilmu
sosial terapan yang merupakan aplikasi berbagai konsep dari ilmu-ilmu sosial murni kepada
suatu bidang telaahan sosial tertentu. Pendidikan, umpamanya merupakan ilmu sosial terapan
yang mengaplikasikan konsep-konsep dari psikologi, antropologi, dan sosiologi. Demikian
juga manajemen juga menerapkan konsep psikologi, ekonomi, antropologi, dan sosiologi.

2.2 Batas dan Relativitas Ilmu Pengetahuan

Jean Paul Sartre (1905-1980) adalah seorang filsuf dan pengarang roman dan cerita
sandiwara bangsa Prancis, salah satu tokoh eksistensielisme yang berdasarkan atheisme. Ketika
berbicara tentang Student Power dan Peranan Universitas, Sartre antara lain mengemukakan:

8
The Human Meaning of the Social Science (Cleveland, Ohio : Meridian, 1962), hlm.183 (Dalam Filsafat Ilmu :
Sebuah pengantar popular, oleh Jujun S. Suriasumantri, hlm.95)

5
“Apakah ilmu pengetahuan ? Ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu hal yang sudah
selesai terpikirkan, sesuatu hal yang tidak pernah mutlak, sebab selalu akan disisihkan oleh
hasil-hasil penelitian dan percobaan-percobaan baru yang dilakukan dengan metode-metode
baru, atau karena adanya perlengkapan-perlengkapan yang lebih sempurna. Dan penemuan-
penemuan baru ini akan disisihkan pula oleh ahli-ahli lainya, kadang-kadang kembali mundur,
tapi seringnya lebih maju. Begitulah selalu akan terjadi, seperti Teori Einstein yang
berdasarkan atas studi mengenai percobaan-percobaan Michelsou dan Morley yang
menyisihkan ketentuan fisik dari Newton. Teori Relativitas Einstein akan terus hidup hingga
30 tahun kedepan, hingga kemudian disisihkan oleh ilmu baru lainnya.”

Prof. Harsojo, mengatakan bahwa yang perlu diingat adalah bahwa kebenaran di ilmu
itu tidaklah absolut dan final sifatnya. Kebenaran-kebenaran ilmiah selalu terbuka untuk
peninjauan kembali berdasarkan atas adanya fakta-fakta baru yang sebelumnya tidak diketahui.
Kebenaran ilmiah tidak tergantung kepada siapa yang menghasilkan ilmu itu. Ilmu mengoreksi
dirinya, dan ini merupakan satu bagian yang penting dari kehidupan ilmu.

Selanjutnya Prof. Harsojo kembali mengatakan, bahwa ilmu tidak bermaksud mencari
kebenaran yang mutlak. Ilmu mendasarkan kebenaran-kebenaran ilmiahnya atas beberapa
Postulat, yang secara apriori telah diterima sebagai suatu kebenaran. Malahan teori-teori dalam
ilmu sering digugurkan oleh teori-teori yang lain. Dan boleh dikatakan bahwa tujuan diadakan
penyelidikan ilmu terutama adalah menggugurkan teori-teori yang sebelumnya telah diterima.

Dr. Mr. D.C. Mudler di dalam brosurnya Iman dan Ilmu Pengetahuan menuliskan
bahwa tiap-tiap ahli ilmu vak menghadapi soal-soal yang tak dapat dipecahkan dengan melulu
memakai pengetahuan vak itu sendiri.

Al-ustadz H. Abdullah bin Nuh ketika beliau berbicara tentang “Atheisme, Agama, dan
Ilmu Pengetahuan” menerangkan bahwa “... Karena itu jelalah kata-kata seperti 'kebenaran
ilmiah hanya mengandung arti yang sangat terbatas sekali, dan tidak boleh diambil artinya yang
sebenarnya, sebagaimana sering dilakukan oleh orang banyak. Sebetulnya tidak ada suatu
kebenaran ilmiah dalam arti yang mutlak. Peribahasa Ad veritatem perscientiam9 adalah hal
yang mustahil"

Lincoln Barnett mengemukakan “Yang sesungguhnya manusia ketahui mengenai alam


hanyalah alam hasil ciptaan manusia sendiri.” Jadi suatu "mental construct", bukan alam

9
Artinya adalah menuju kebenaran dengan ilmu pengetahuan

6
ciptaan Allah. Alam yang merupakan obyek penelitian ilmu pengetahuan alam, diibaratkan
sebagai sebuah gunung es. Kira-kira sepersepuluh bagian, yang ada dipermukaan samudra ialah
alam yang menampakkan dirinya kepada Manusia.

J.I.G.M. Drost S.J. dalam karangan nya Agama dan Ilmu Pengetahuan Alam
menuliskan bahwa “Ilmu pengetahuan alam adalah ilmu tentang semesta alam sejauh berada
dalam waktu dan ruang. Tapi waktu dan ruang baru ada pada waktu belum ada. Maka titik dan
saat terjadinya sendiri terletak diluar sudut pandangan ilmu pengetahuan alam. Apalagi cara-
cara terjadinya tersebut.”

Kemudian, Prof. Harsojo memberi peringatan bahwa ilmu yang dimiliki umat manusia
dewasa ini belum lah seberapa dibandingkan dengan rahasia alam semesta yang melindungi
manusia. Ilmuwan-ilmuwan besar biasanya diganggu oleh perasaan agung semacam
kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak bahwa yang diketahui itu masih meragu-
ragukan, serta tidak pasti yang menyebabkan lebih gelisah lagi. Dan biasanya ilmuwan-
ilmuwan besar adalah orang yang rendah hati dan menundukkan kepala, bagai buah padi,
makin berisi makin runduk.

Sejalan dengan peringatan dari Prof. Harsojo, Al-ustadz H. Abdullah bin Nuh juga
memberikan catatan, yakni “.. Dan oleh karena kita tidak mempunyai alat lain untuk
mengetahui dan melukiskan alam kecuali apa-apa yang disodorkan oleh indra-indra, dan
perasaan-perasaan, atau kesanggupan-kesanggupan kecerdasan (oleh sel-sel otak kita ) maka
haruslah kita berhati-hati dan sekali-kali jangan lupa nisbiahnya (realitivity) dari gambaran
yang kita bentuk (suatu nisbiah bagi alat rekam manusia).”

Lalu apakah batas yang merupakan lingkup penjelajahan ilmu ? Di manakah ilmu
berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain ? Maka
berdasarkan pendapat-pendapat para ahli diatas, jawabannya adalah sangat sederhana yakni
“Ilmu memulai penjelajahan nya pada pengalaman manusia dan berhenti dibatas pengalaman
manusia. Ilmu tidak mempelajari hal ihwal seperti surga dan neraka, sebab surga dan neraka
berada diluar jangkauan pengalaman manusia. Begitu pula ilmu tidak mempelajari sebab
musabab kejadian terjadinya manusia karena kejadian itu berada diluar jangkauan
pengalaman manusia, baik hal yang terjadi selama hidup manusia maupun yang terjadi setelah
kematian.”

Kemudian mengapa ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berada dalam batas
pengalaman manusia ? Hal itu dikarenakan terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam

7
kehidupan manusia, yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi masalah-
masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga


disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara
empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah di luar batas pengalaman empirisnya, bagaimana
kita melakukan pembuktian secara metodologis? Bukankan ini merupakan suatu kontradiksi
yang menghilangkan kesahihan metode ilmiah?

Kalau begitu maka sempit sekali batas penjelajahan ilmu, kata seorang, cuma sepotong
dari sekian permasalahan kehidupan. Memang demikian, jawab filsuf ilmu, bahkan dalam batas
manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan.
tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral,
tentang indah dan jelek, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik.

Dengan adanya batasan pada ilmu pengetahuan, di samping menunjukkan kematangan


keilmuan dan profesionalitas seorang ilmuwan, juga dimaksudkan agar ilmuwan mengenal
tetangga-tetangga (cabang ilmu lain). Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu
bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan "pandangan" dari disiplin lainnya.

Saling pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-


disipliner membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya
harus jelas bagi semua. Dimana disiplin seseorang berhenti dan dimana disiplin orang lain
mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi-disipliner tidak akan bersifat
konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (ruang penjelajahan keilmuan).

2.3 Pengertian Postulat, Asumsi, Hipotesa, dan Teori

Ada beberapa istilah yang erat berpautan dengan ilmu pengetahuan, khususnya dengan
metode ilmiah, yaitu postulat, asumsi, hipotesis, dan teori.

A. Postulat

Dalam ilmu pasti, postulat sama artinya dengan aksioma. Aksioma ialah perjanjian
tetap, tetapi dibuat semau-mau nya sebagai dasar sesuatu dalam ilmu pasti. Agar supaya dapat
dipakai dalam praktik hendaknya cocoklah aksioma-aksioma sesuatu pengetahuan dengan
pengalaman-pengalaman sehari-hari, dengan kebenaran-kebenaran dasar yang tidak

8
membutuhkan bukti lagi. Dalam filsafat, postulat berarti dalil yang dianggap benar, meskipun
ke benarannya tak dapat dibuktikan. Misalnya dalil tentang adanya Tuhan dalam filsafat Kant,
menurut Kant dalil tentang adanya Tuhan itu merupakan postulat yang perlu, supaya hidup
manusia berlaku secara susila. Prof. Harsojo menulis sebagai berikut, “ilmu-ilmu itu dalam
mengemukakan konklusinya bersandar kepada postulat-postulat tertentu atau kebenaran-
kebenaran apriori, atau kebenaran-kebenaran yang telah diterima sebelumnya secara mutlak.”

Sutrisno Hadi dalam bukunya yang berjudul “Metode Research” menguraikan postulat-
postulat pokok tentang alam semesta dan tentang kemampuan manusia. Tentang yang pertama
diajukan lima macam:

(1) postulat jenis;


(2) postulat keajegan.
(3) postulat sebab-akibat,
(4) postulat keterbatasan sebab akibat; dan
(5) postulat variabilitas gejala alam.
Tentang yang kedua diajukan tiga macam:
(1) Postulat tentang realibilitas pengamat
(2) Postulat tentang realibilitas ingatan; dan
(3) Postulat tentang Realibilitas pemikiran

B. Asumsi

Asumsi (assumption) dan Anggapan Dasar ialah anggapan yang sudah dianggap benar,
yang tidak diragukan lagi, terutama oleh si penyelidik itu sendiri—merupakan dasar dan titik
tolak segala pandangan kegiatan yang dihadapi oleh si penyelidik. Ada dua kemungkinan
penyelidik dalam mengambil sumber Anggapan Dasarnya.

Pertama, mengambilnya dari postulat atau kebenaran-kebenaran apriori, yaitu dalil


yang dianggap benar walaupun kebenarannya tak dapat dibuktikan; kebenaran yang sudah
diterimanya sebelumnya secara mutlak. Kedua, mengambil dari teori sarjana/ahli yang lain
terdahulu, yang kebenarannya tidak disangsikan lagi oleh masyarakat, terutama oleh si
penyelidik itu sendiri.

C. Hipotesis

9
Sebelum sampai pada sebuah dalil (yang berarti teori yang terbukti kebenarannya),
seorang penyelidik mula-mula membuat teori sementara. Dengan teori yang bersifat sementara
ini, ia mencari data dan melihat apakah teori yang sementara itu benar atau kah salah. Selama
data belum terkumpulkan ia berpedoman kepada teori sementara itu sebagai petunjuk
sementara ke arah pemecahan masalah. Teori sementara yang berfungsi demikian itulah yang
disebut hipotesis. Secara etimologis hipotesis berarti sesuatu yang masih kurang dari (hypo)
sebuah kesimpulan pendapat (thesis). Dengan kata lain, hipotesis adalah sebuah kesimpulan,
tetapi kesimpulan ini belum final, masih harus dibuktikan kebenarannya.

Hipotesis adalah suatu jawaban duga yang dianggap besar kemungkinannya untuk
menjadi jawaban yang benar. Bila dengan data yang terolah dapat disimpulkan bahwa hipotesis
itu benar, dicapailah konklusi dan pada saat ini hipotesis sudah berhenti menjadi hipotesis,
maka hipotesis berubah menjadi tesis. (Dalam mencapai gelar sarjana, masih sering dikatakan
seorang calon sarjana mempertahankan sebuah “tesis”, yang artinya mempertahankan
kesimpulan pengujian “hipotesis”.

D. Teori

Dari uraian tentang hipotesis tersebut, yang seutuhnya merupakan kutipan dari buku Dr.
Winarno Surachmad oleh Endang SA., maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa yang disebut
teori itu tidaklah lain daripada hipotesis yang sudah menjadi tesis (thesis), karena sudah
terbukti kan kebenarannya di atas batu ujian empiris, riset, dan eksperimental. Dan manakala
teori keilmuan tertentu itu sudah diterima secara merata oleh masyarakat ketika itu sehingga
sudah menjadi milik masyarakat dan umat manusia, maka teori ilmu termaksud sudah
meningkat menjadi dalil atau hukum ilmu pengetahuan. Sebagai mana disinggung di atas, di
samping penyelidik dapat mengambil sebagai Anggapan Dasar-nya dari postulat, maka dia
dapat mengambilnya pula dari teori ilmu, dan dalil atau hukum ilmu pengetahuan.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ilmu berkembang dengan sangat pesat dan dengan demikian juga jumlah
cabang-cabangnya. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari
dua cabang utama yakni Filsafat Alam yang kemudian menjadi rumpun Ilmu-ilmu
Alam (the natural sciences) dan Filsafat Moral yang kemudian berkembang
kedalam cabang ilmu-ilmu Sosial (the social sciences). Cabang-cabang ini
berkembang menjadi banyak sekali, diperkirakan sekarang ini terdapat sekitar 650
cabang keilmuan yang kebanyakan belum dikenal oleh orang-orang awam.

Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia,


selain karena fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan manusia, juga disebabkan
karena metode yang dipergunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya
secara empiris.

Dengan adanya batasan pada ilmu pengetahuan, di samping menunjukkan kematangan


keilmuan dan profesionalitas seorang ilmuwan, juga dimaksudkan agar ilmuwan mengenal
tetangga-tetangga (cabang ilmu lain). Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu
bidang keilmuan maka sering sekali diperlukan "pandangan" dari disiplin lainnya.

Saling pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-


disipliner membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang berdekatan. Artinya
harus jelas bagi semua. Dimana disiplin seseorang berhenti dan dimana disiplin orang lain
mulai. Tanpa kejelasan batas-batas ini maka pendekatan multi-disipliner tidak akan bersifat
konstruktif melainkan berubah menjadi sengketa kapling (ruang penjelajahan keilmuan).

Sedangkan postulat, asumsi, hipotesis, dan teori merupakan istilah yang erat kaitan nya
dengan ilmu pengetahuan, khususnya dengan metode ilmiah.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anshari, Endang S, Ilmu, Filsafat, & Agama, Dunia Pustaka Jaya: Bandung, 2018.
(iPusnas/PDF)

Suriasumantri, Jujun. S, Filsafat Ilmu: Pengantar Populer, Sinar Harapan: Jakarta, 1984

12

You might also like