Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 23

Pengaruh Pola Asuh Orangtua Terhadap Kesehatan Mental Anak

(STUDI PADA WALI MURID TK BAIPAS MALANG)

SKRIPSI

untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S-1)

Oleh.

Nama : Maulidah Kahfi Hakimah

NIM : 1701010069

Program Studi : Psikologi

UNIVERSITAS WISNUWARDHA

MALANG

2021
Daftar Isi
BAB I.........................................................................................................................................4

PENDAHULUAN......................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................6

1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................................................6

1.4 Manfaat Penelitian............................................................................................................6

1.4.1 Manfaat Teoritis.........................................................................................................6

1.4.2 Manfaat Praktis..........................................................................................................6

BAB II........................................................................................................................................7

TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................7

2.1 Kesehatan Mental.............................................................................................................7

2.1.1 Definisi Kesehatan Mental.........................................................................................7

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesehatan Mental............................................14

2.2 Pola Asuh........................................................................................................................14

2.2.1 Definisi Pola Asuh...................................................................................................14

2.2.2 Aspek-aspek Pola Asuh...........................................................................................14

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh........................................................14

2.3 Pengaruh Pola Asuh terhadap Kesehatan Mental Anak.................................................14

2.4 Kerangka Pemikiran.......................................................................................................14

2.5 Hipotesis.........................................................................................................................15

3.1 Identifikasi Variabel Penelitian......................................................................................16

3.2 Definisi Operasional...........................................................................................................16

2.2.1 Definisi Kesehatan Mental..............................................................................................16

3.2.2 Definisi Pola Asuh..........................................................................................................16

3.3.1 Populasi...........................................................................................................................16

3.5 Validitas dan Reliabilitas................................................................................................18

3.5.1 Validitas...................................................................................................................18
3.5.2 Reliabilitas...............................................................................................................18

3.6.2 Uji Linearitas...................................................................................................................21

3.6.3 Uji Hipotesis................................................................................................................21


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

Orangtua adalah aspek utama dalam mempengaruhi tumbuh kembangan anak


baik dalam aspek fisik maupun psikologis, aspek fisik seperti yang kita ketahui
meliputi kebutuhan dasar diluar diri manusia yaitu sandang, pangan dan papan.
sedangkan untuk kebutuhan psikologis adalah hal-hal yang mebuat manusia merasa
aman dan bahagia. Menurut maslow manusia sendiri memiliki 5 aspek dasar untuk
menjalani hidup dengan baik, diantarannya adalah kebutuhan fisilogis atau kebutuhan
fisik seperti yang kita sebutkan diatas dan kebutuhan psikologis berupa salah satunnya
kebutuhan kasih sayang dan rasa memiliki, namun sayangnya tidak semua orangtua
memiliki kesadaran akan pentingnya kesehatan psikologis anak. Kasih sayang
orangtua adalah hal mendasar yang dapat menjadi pondasi kepribadian anak dimasa
kini dan masa depan. Ketidak sadaran orangtua akan pentingnya kesehatan psikologis
anak tersebut dapat menjadi hal buruk dikemudian hari untuk anak, seiring
bertambahnya usia kurangnya kasih sayang dan perhatian orangtua tersebut dapat
berpotensi menyebabkan anak melakukan kenakalan remaja untuk melampiaskan
kekurangan tersebut. Orangtuapun terkadang tidak menyadari apa saja hal-hal yang
harus diperhatikan saat mengasuh anak, terutama dalam hal psikologis. Sebagian
orangtua menganggap jika kebutuhan sandang, pangan dan papan anak sudah
terpenuhi maka tugasnya sebagai orangtua sudah terselesaikan.

Anak di masa pra sekolah (usia 0-6 tahun) belum mengetahui apa yang baik
dan tidak untuk dirinnya, maka peran orangtua pada masa tersebut sangat
berpengaruh. Pada masa ini anak mulai aktif meniru orang-orang disekitarnya,
sehingga pembentukan karakter anak mulai berlangsung pada fase ini. Jean Piaget
(1936) dengan teori Perkembangan kognitifnya mengatakan jika perkembangan
kognitif seorang anak bukan hanya tentang memperoleh pengetahuan, namun juga
harus mengembangkan atau membangun mental. Pada fase perkembangan fisik dan
mental ini maka pola asuh orangtua sangat berpngaruh akan baik tidaknya
perkembangan anak tersebut.

Sering kita temui dalam berita baik dari surat kabar atau televisi kejadian
pembuangan bayi terutama di berita nasional, hal ini membuktikan jika tidak semua
orangtua memiliki kesiapan memiliki anak, baik kesiapan secara material dan
kesiapan secara mental. banyak juga kita dengar kejadian orangtua melakukan
kekerasan terhadap anak, dari kejadian-kejadian tersebut. Menurut National Institute
of Mental Health (NIMH), diperkirakan 11,2 juta orang dewasa di AS, atau sekitar 4,5
persen orang dewasa, memiliki kondisi psikologis yang parah pada 2017. Menurut
data survei Global Health Data Exchange 2017, ada 27,3 juta orang di Indonesia
mengalami masalah kesehataan kejiwaan. Artinya, satu dari sepuluh orang di negara
ini mengidap gangguan kesehatan jiwa. Sementara, National Alliance on Mental
Illness memperkirakan, 1 dari 5 orang dewasa mengalami masalah kesehatan mental
setiap tahunnya. Data terbaru yang dirilis oleh WHO saat pandemi corona,
menunjukkan, ada penambahan kasus gangguan kesehatan mental secara signifikan di
sejumlah negara. Menurut data dari situs resmi WHO, mereka melakukan survei di
130 negara. Hasilnya, ada dampak buruk Covid-19 pada akses layanan kesehatan
mental. Survei ini dilakukan pada Juni hingga Agustus 2020. Tujuan dilakukannya
survei ini adalah untuk mengevaluasi bagaimana penyediaan layanan mental,
neurologis, dan penggunaan zat telah berubah akibat Covid-19, jenis layanan yang
telah terganggu, dan bagaimana negara-negara beradaptasi untuk mengatasi tantangan
ini. Berikut hasil survei yang dilakukan WHO terhadap 130 negara yang melaporkan
gangguan kesehatan mental yang meluas: Lebih dari 60 persen melaporkan gangguan
layanan kesehatan mental bagi orang-orang yang rentan, termasuk anak-anak dan
remaja (72 persen); orang dewasa yang lebih tua (70 persen), dan wanita yang
membutuhkan layanan antenatal atau postnatal (61 persen). Sebanyak 67 persen
melihat gangguan pada konseling dan psikoterapi; 65 persen untuk layanan
pengurangan bahaya kritis; dan 45 persen untuk pengobatan pemeliharaan agonis
opioid untuk ketergantungan opioid.

1.2 Rumusan Masalah


Bedasarkan penjelasan dalam latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Apakah Pengaruh Pola Asuh Pada Kesehatan Mental Murid di TK
BAIPAS Malang?’’.

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui “Pengaruh Pola Asuh Pada
Kesehatan Mental Murid di TK BAIPAS Malang”.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber kajian bagi disiplin ilmu
psikologi, khususnya pengembangan teori psikologi sosial serta menjadi acuan
dalam pengembangan ilmu pengetahuan terkait Pengaruh Pola Asuh Pada
Kesehatan Mental Murid di TK BAIPAS Malang.

1.4.2 Manfaat Praktis


1) Bagi orangtua agar menjadi mawas terhadap kesehatan mental anak dan pola
asuh yang baik bagi anak.
2) Bagi pembaca supaya dapat menambah pemahaman tentang pola asuh dan
kesehatan anak.
3) Bagi Penelitian Selanjutnya untuk memperkaya referensi dan pengembangan
populasi, sampel, teknik sampling dan fenomena pengaruh pola asuh terhadap
kesehatan mental anak sebagai kajian ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesehatan Mental


2.1.1 Definisi Kesehatan Mental
Kesehatan mental atau Istilah psychological well being (PWB) dipopulerkan
oleh Ryff (1989) dengan konsep dasar yang berasal dari penelitian psikologi klinis,
psikologi perkembangan dan kesehatan mental. Konsep Ryff berawal dari adanya
keyakinan bahwa kesehatan yang positif tidak sekedar tidak adanya penyakit fisik saja.
Kesejahteraan psikologis terdiri dari adanya kebutuhan untuk merasa baik secara
psikologis (psychologically-well). Ryff (1989) menambahkan bahwa gambaran
karakteristik individu yang memiliki kesejahteraan psikologis merujuk pada beberapa
pandangan tokoh psikologi yang sesuai dengan teorinya. Konsep Rogers tentang orang
yang berfungsi penuh (fully-functioning person), pandangan Maslow tentang aktualisasi
diri, pandangan Jung tentang individuasi, konsep Allport tentang kematangan, dan
terakhir sesuai dengan konsep Erikson dalam menggambarkan individu yang mencapai
integrasi. Psychological well being (PWB) merupakan suatu konsep yang berkaitan
dengan apa yang dirasakan individu mengenai aktivitas dalam kehidupan sehari - 42
hari serta mengarah pada pengungkapan perasaan pribadi berdasarkan apa yang
dirasakannya sebagai hasil dari pengalaman. Seperti yang dikatakan Hurlock (1980)
bahwa Psychological well being adalah kebahagiaan seseorang yang bisa dicapai
melalui sikap penerimaan diri, kasih sayang, dan pencapaian tujuan hidup .
Psychological well being (Ryff, 1989) adalah keadaan atau kondisi dimana individu
mampu menerima dirinya dengan apa adanya serta mampu membentuk hubungan yang
hangat dengan orang lain, dapat menciptakan dan mengatur dirinya ditengah
lingkungan yang kompatibel sesuai kebutuhannya, dan memiliki kemandirian terhadap
tekanan sosial. Psychological well being (PWB) dapat ditandai dengan diperolehnya
kebahagiaan, kepuasan hidup dan tidak adanya gejala-gejala depresi dalam menjalani
hidupnya (Ryff, 1989). Kebahagiaan (hapiness) merupakan komponen penting dalam
psikologi positif dan merupakan tujuan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap
manusia. Menurut Darajat (dalam Bastaman, 2001) kesehatan mental adalah
terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan
terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya sendiri dan lingkungannya,
berlandaskan keimanan dan ketaqwaan, serta bertujuan untuk mencapai hidup yang
bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat. Definisi ini memasukkan unsur agama
yang sangat penting dan harus diupayakan penerapannya dalam kehidupan, sejalan
dengan penerapan prinsip-prinsip kesehatan mental dan pengembangan hubungan baik
dengan sesama manusia. Jaelani (2001) menambahkan bahwa ilmu kesehatan mental
merupakan ilmu kesehatan jiwa yang memasalahkan kehidupan rohani yang sehat,
dengan memandang pribadi manusia sebagai suatu totalitas psikofisik yang kompleks.

Terdapat enam (6) dimensi psychological well being yang merupakan intisari dari
teori positive functioning psychology yang di rumuskan oleh Riff (1989):

A. Dimensi penerimaan diri (self acceptence) Dimensi ini merupakan ciri utama
kesehatan mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri,
berfungsi optimal, dan kematangan. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan
kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut memungkinkan
seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan kehidupan yang
dijalaninya. Hal tersebut menurut Ryff (1989) menandakan psychological well
being yang tinggi. Individu yang mimiliki tingkat penerimaan diri yang baik
ditandai dengan bersikap positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima
berbagai aspek yang ada dalam dirinya baik positif maupun negatif, dan memiliki
pandangan positif terhadap masa lalunya. Demikian pula sebaliknya, seseorang
bisa dikatakan rendah dalam dimensi penerimaan dirinya apabila ia memunculkan
perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, merasa kecewa dengan apa yang terjadi
pada masa lalu, dan memiliki pengharapan untuk tidak menjadi dirinya saat ini.
B. Hubungan positif dengan orang lain Dimensi ini berulangkali ditekankan sebagai
dimensi yang penting dalam konsep psychological well being. Kemampuan
mencintai seseorang di anggap kemampuan utama dari kondisi mental yang sehat.
Ryff menekankan pentingnya menjalin hubungan saling percaya dan hangat
dengan orang lain. Individu yang tinggi atau baik dalam dimensi hubungan positif
dengan orang lain ini ditandai dengan adanya hubungan yang hangat, memuaskan
dan saling percaya dengan orang lain. Begitu sebaliknya jika seseorang tidak
memiliki hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan ketidak percayaan
kepada lingkungan, ia akan menjadi pribadi yang tertutup dan tidak peduli dengan
orang lain, merasa terisolasi dari lingkungannya dan tidak ingin berkompromi
dengan lingkungan untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain.
C. Dimensi otonomi (autonomy) Dimensi otonomi menjelaskan mengenai
kemandirian, kemampuan untuk menentukan diri sendiri, dan kemampuan untuk
mengatur tingkah laku. Ciri individu yang memiliki otonomi yang tinggi ditandai
dengan adanya penolakan terhadap tekanan sosial untuk berpikir dan bertingkah
laku dengan cara-cara tertentu, serta dapat mengevaluasi diri sendiri dengan
standar personal. Begitu juga dengan individu yang kurang baik dalam dimensi
otonomi ini akan memperhatikan harapan dan evaluasi dari orang lain, membuat
keputusan berdasarkan penilaian orang lain, cenderung bersikap konformis dan
bertingkah sesuai dengan penilian serta harapan orang lain.
D. Kemampuan penguasaan lingkungan (environmental mastery) Salah satu
karakteristik kondisi sehat secara mental adalah bagaimana menciptakan
lingkungan yang kondusif secara psikis. Dimensi ini menjelaskan mengenai
kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Alport (1961)
mengatakan bahwa manusia yang matang akan mampu berpartisipasi dalam
aktivitas diluar dirinya (dalam Riff, 1989). Individu dengan PWB yang baik
memiliki kemampuan untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan kondisi fisik dirinya. Individu tersebut mempunyai kemampuan dalam
menghadapi kejadian- kejadian diluar dirinya, mampu untuk memanipulasi
keadaan sehingga sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi yang dianutnya,
serta mampu untuk mengembangkan diri secara kreatif melalui aktivitas fisik
maupun mentalnya. Begitupula individu yang kurang baik dalam dimensi ini akan
menampakkan ketidakmampuan untuk mengatur kehidupan sehari-hari, dan
kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan luar.
E. Dimensi tujuan hidup Kondisi mental yang sehat memungkinkah individu untuk
menyadari bahwa ia memiliki tujuan tertentu dalam hidupnya dan mampu
menjalani segala konsekuensi kehidupannya. Dimensi ini menjelaskan mengenai
kemampuan individu untuk mencapai tujuan dalam hidupnya. Seseorang yang
memiliki dimensi tujuan hidup baik akan mempunyai rasa keterarahan dalam
hidupnya, ia akan memiliki perasaan bahwa kehidupan saat ini dan masa lalunya
mempunyai keberartian, dan mempunyai target yang ingin dicapai dalam hidup.
Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini mempunyai perasaan
bahwa tidak ada tujuan yang ingin dicapai dalam hidup, tidak melihat adanya
manfaat dalam masa lalu kehidupannya, hilangnya keterarahan hidupnya dan tidak
mempunyai kepercayaan yang dapat membuat hidup lebih berarti.
F. Dimensi pertumbuhan pribadi (personality growth) Kebutuhan aktualisasi diri
untuk mengembangkan potensi diri individu adalah tujuan utama dari pada
dimensi ini. Pengoptimalan fungsi psikologis tidak hanya sebatas pencapaian
karakteristik saja namun pada sejauh mana seseorang terus dapat
mengembangkan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya dan
meningkatkan kualitas positif dirinya. Dimensi ini dibutuhkan oleh setiap individu
agar dapat mengoptimalkan dirinya untuk berfungsi secara psikologis. Salah satu
hal penting dalam dimensi ini adalah adanya kebutuhan untuk mengaktualisasikan
diri, misalnya dengan keterbukaan terhadap pengalaman. Seseorang yang baik
dalam dimensi ini mempunyai perasaan untuk terus berkembang bahwa
perkembangan hidupnya berkesinambungan, melihat diri sendiri sebagai sesuatu
yang bertumbuh, menyadari potensi yang terdapat di dalam dirinya untuk
dikembangkan, dan mampu melihat peningkatan dalam diri dan tingkah laku dari
waktu ke waktu. Sebaliknya, seseorang yang kurang baik dalam dimensi ini akan
menampilkan ketidakmampuan untuk mengembangkan sikap dan tingkah laku
baru, mempunyai perasaan bahwa ia adalah seorang pribadi yang tidak dapat
mengembangkan potensinya, dan tidak tertarik dan bosan dengan kehidupan yang
dijalani.

Hawari (1997) juga mengatakan bahwa pengertian kesehatan mental menurut


paham ilmu kedokteran adalah satu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik,
intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan
selaras dengan keadaan orang lain. Oleh karena itu makna kesehatan mental
mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi-segi
dalam penghidupan manusia dan dalam hubungannya dengan manusia lain (Bukhori,
2006). Darajat mengungkapkan bahwa kesehatan mental dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor dari dalam
diri individu yang terdiri dari : kepribadian, kondisi fisik, perkembangan dan
kematangan, kondisi psikologis, keberagamaan, sikap menghadapi problema hidup dan
keseimbangan dalam berfikir. Dan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari
luar diri individu yang terdiri dari : keadaan ekonomi, budaya dan kondisi lingkungan,
baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun lingkungan pendidikan.

Menurut Mental Health Foundation di Amerika (2004), anak yang sehat secara
mental mempunyai kemampuan untuk:
1. Berkembang secara psikologis, emosional, kreatif, intelektual dan spiritual
2. Mengambil inisiatif, mengembangkan dan mempertahankan kelangsungan relasi
personal yang memuaskan
3. Memanfaatkan kesendirian (solitude) dan menikmatinya
4. Menjadi sadar akan orang lain dan berempati dengan mereka
5. Bermain dan belajar
6. Mengembangkan rasa benar dan salah
7. Menghadapi problem dan kemalangan serta belajar dari peristiwa-peristiwa ini,
dalam cara-cara yang selaras dengan tingkat usia mereka.

Adz-Dzaky (2001) mengatakan bahwa deteksi dilakukan untuk mengenali gejala-


gejala abnormalitas (ketidakwajaran) pada mental atau pada jiwa. Pendekatan diagnosis
ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kekalutan mental yang lebih parah yang dapat
merusak kepribadian. Hal tersebut dapat membantu individu dalam mengembangkan
cara berfikir, cara berperasaan, dan cara berperilaku yang baik dan benar, sehingga
eksistensi seseorang bisa diterima dan diakui dalam lingkungan sosialnya sebagai sosok
insan yang sehat secara sempurna. Perkembangan pada usia 3-4 tahun anak mulai
bicara dengan baik, banyak bertanya, mendengarkan cerita cerita, menunjukkan rasa
sayang terhadap saudarasaudaranya, melakasanakan tugas sederhana dan lain
sebagainya. Jika hal tersebut tidak terjadi pada anak maka anak dicurigai terjadi
penyimpangan karena Usia prasekolah diantara 3 sampai 6 tahun bertujuan membantu
meletakkan dasar kearah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan daya cipta
yang diperlukan untuk anak dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk
pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya (Marmi dan Raharjo, 2012). Usia juga
memiliki peranan penting dalam perkembangan anak dan kestabilan emosi anak, karena
memiliki pengaruh terhadap perilaku anak (Susilaningrum, 2013). Anak memiliki
kebutuhan emosional yaitu dicintai, dihargai, merasa aman, merasa kompeten dan
mengoptimalkan kompetensi. Apabila kebutuan emosi ini dapat dipenuhi akan
meningkatkan kemampuan anak dalam mengelola emosi, terutama yang bersifat
negatif. Anak mengkomunikasikan emosi melalui verbal, gerakan dalam bahasa 3
tubuh.Bahasa tubuh ini perlu dicermati karena bersifat spontan dan seringkali dilakukan
tidak sadar. Bahasa tubuh yang dapat diamati antara lain ekspresi wajah, napas, ruang
gerak, pergerakan tangan dan lengan (Yusuf, 2012). Data penelitian menunjukkan
bahwa mayoritas jenis kelamin anak perempuan sebanyak 17 anak (56,7%), sedangkan
jenis kelamin laki-laki sebanyak 13 anak (43,3%). Dari 5 responden dengan risiko
gangguan mental emosional, mayoritas adalah dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak
3 anak dan 2 lainnya adalah perempuan. Hal tersebut dipengaruhi sejak awal pada masa
kanak-kanak yang telah dilatih untuk berpikir dan bertindak dengan cara yang dianggap
sesuai dengan jenis kelamin mereka, hal ini tercermin dalam arti yang mereka
asosiasikan dengan berbagai contoh dan pengalaman. Wanita ketika mulai usia 2 tahun
menunjukkan perkembangan yang lebih dibandingkan pria. Fungsi reproduksi pada
anak perempuan berkembang lebih cepat daripada laki-laki, akan tetapi setelah
melewati masa pubertas, pertumbuhan anak laki-laki akan lebih cepat (Adriana, 2017).
Akan tetapi pria lebih mampu mengendalikan emosi dari wanita. tetapi pria juga
dianggap mempunyai emosi yang tidak menyenangkan yang lebih kuat dari wanita
misalnya amarah, rasa takut. Emosi wanita yang dominan distereotipkan sebagai emosi
yang menenangkan, misalnya kegembiraan yang menyenangkan dalam berbagai bentuk
dan kasih sayang. Perbedaan antara jenis kelamin yang paling nyata dalam stereotip
peran seks tampak pada ciri kepriadian. Sebagai contoh pola kepribadian feminim yang
khas, ditandai oleh ketergantungan, kepasifan, dan kepatuhan. Sebaliknya, pola
kepribadian maskulin yang khas adalah pola orang yang dominan, agresif dan aktif
(Hurlock, 2012). Anak memiliki kebutuhan emosional, yaitu dicintai, dihargai, merasa
aman, merasa kompeten dan mengoptimalkan kompetensi. Apabila kebutuhan emosi ini
dapat dipenuhi akan meningkatkan kemampuan anak dalam mengelola emosi, terutama
yang bersifat negatif (Yusuf, 2012).

Emosi menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan. Emosi dapat mempengaruhi


keseimbangan dalam tubuh, terutama emosi yang muncul sangat kuat, sebagai contoh
kemarahan yang cukup besar. Selain itu, emosi mengganggu aktivitas mental. Kegiatan
mental seperti berpikir, berkonsentrasi, belajar, sangat dipengaruhi oleh kestabilan
emosi. Oleh karena itu, pada anak-anak yang mengalami gangguan dalam
perkembangan emosi dapat mengganggu aktivitas mentalnya (Djaali, 2017). Masalah
mental emosional yang tidak diselesaikan akan memberikan dampak negatif terhadap
perkembangan anak, terutama terhadap pematangan karakternya, hal ini mengakibatkan
terjadinya gangguan mental emosional yang dapat berupa perilaku berisiko tinggi.
Penanganan dan menganalisis kebutuhan emosi anak usia prasekolah diperlukan deteksi
dini tumbuh kembang. Melalui deteksi dini dapat diketahui penyimpangan tumbuh
kembang anak secara dini, sehingga upaya pencegahan, stimulasi, penyembuhan serta
pemulihan dapat diberikan dengan indikasi yang jelas pada masa-masa kritis proses
tumbuh kembang. Gangguan mental emosional merupakan suatu keadaan yang
mengindikasikan individu mengalami perubahan emosional yang dapat berkembang
menjadi keadaan patologis terus berlanjut sehingga perlu diantisipasi agar kesehatan
jiwa masyarakat tetap terjaga (Susilaningrum, 2013). Perkembangan mental emosional
mencakup kemampuan anak untuk mengerti dan mengendalikan emosi. Apabila anak
tidak memiliki keseimbangan mental emosional maka anak sulit berinteraksi secara
sosial yang berdampak di masa depannya (Rahmayanti, 2012). Masalah mental
emosional yang tidak diselesaikan akan memberikan dampak negatif terhadap
perkembangan anak, terutama terhadap pematangan karakternya, hal ini mengakibatkan
terjadinya gangguan mental emosional yang dapat berupa perilaku berisiko tinggi
(Maramis, 2013). Sama seperti orang dewasa, anak-anak juga bisa memiliki gangguan
mental. Hanya terkadang anak-anak mengekspresikannya berbeda dengan orang
dewasa. Contoh, anak yang depresi dominan menunjukkannya dengan kemarahan,
sementara orang dewasa dengan kesedihan. Jenis-jenis gangguan mental yang dapat
dialami anak-anak adalah :

 Gangguan kecemasan, anak-anak yang memiliki gangguan kecemasan, seperti


gangguan obsesif-kompulsif, gangguan stres pasca-trauma, fobia sosial dan gangguan
kecemasan biasanya mengalami kecemasan secara terus menerus dan dapat
mengganggu kegiatan sehari-hari mereka.

 Beberapa kekhawatiran adalah hal normal bagi setiap anak, seringkali kekhawatiran
terjadi karena anak berubah dari satu tahap perkembangan ke tahap perkembangan
selanjutnya. Namun, ketika kekhawatiran sudah menyulitkan anak untuk menjalankan
kehidupan sehari-harinya. Maka patut dipertimbangkan.

 Attention-deficit / hyperactivity disorder (ADHD) merupakan kondisi yang dapat


membuat anak sulit memperhatikan sesuatu, hiperaktif, dan impulsif.

 Autism spectrum disorder (ASD) adalah gangguan perkembangan serius yang


biasanya muncul pada anak usia dini (sebelum usia 3 tahun). Selain gejala ASD dan
tingkat keparahannya bervariasi, ASD juga memengaruhi kemampuan anak untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain.
 Gangguan makan ada berbagai macam seperti anoreksia nervosa, bulimia nervosa
dan gangguan makan berlebihan. Itu semua merupakan kondisi yang serius, bahkan
dapat mengancam jiwa.

 Gangguan mood contohnya adalah depresi dan gangguan bipolar. Gangguan mood
yang dimiliki anak ini dapat menyebabka anak tersebut merasakan perasaan sedih
yang terus-menerus atau perubahan suasana hati yang ekstrem dan parah.

 Skizofrenia, penyakit mental kronis ini menyebabkan anak kehilangan kontak dengan
kenyataan (psikosis) maksudnya anak menjadi sering berhalusinasi. Skizofrenia
paling sering muncul pada remaja akhir hingga 20-an.

2.1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesehatan Mental


2.1.3 Aspek-aspek Kesehatan Mental

2.2 Pola Asuh


2.2.1 Definisi Pola Asuh

2.2.2 Aspek-aspek Pola Asuh

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh

2.3 Pengaruh Pola Asuh terhadap Kesehatan Mental Anak

2.4 Kerangka Pemikiran


Berdasarkan penjelasan diatas maka peneliti mengajukan kerangka pemikiran sebagai

berikut:

KESEHATAN POLA ASUH (Y)


MENTAL (X)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan gambar kerangka pemikiran, maka variabel X dalam penelitian ini


adalah Kesehatan Mental dan variabel Y adalah Pola Asuh. Variabel X diukur dengan
skala Kesehatan Mental yang disusun berdasarkan aspek-aspek Kesehatan Mental
menurut Tasios dan Giannouli (2017) terdiri dari (1) sifat pekerjaan , (2) gaji, (3)
promosi, (4) supervisi, (5) rekan kerja. Sementara variabel Y yaitu Pola Asuh diukur
menggunakan skala kohesivitas kelompok yang disusun berdasarkan aspek-aspek
Kesehatan Mental menurut De Witte (2019) yaitu (1) kemungkinan segera kehilangan
pekerjaan, (2) dapat mempertahankan pekerjaan, (3) merasa tidak aman tentang masa
depan pekerjaan, (4) kehilangan pekerjaan dalam waktu dekat

2.5 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan adalah adanya Pengaruh antara Pola Asuh dengan
Kesehatan Mental pada murid TK BAIPAS di kota Malang yang artinya jika pola asuh
orangtua baik, maka anak tersebut memiliki kesehatan mental yang baik, dan sebaliknya
jika pola asuh orangtua kurang baik, maka Kesehatan Mental anak pun kurang baik.
BAB III

METODE PENELITAN

3.1 Identifikasi Variabel Penelitian


Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel Independen (Y) : Pola Asuh
b. Variabel Dependen (X) : Kesehatan Mental

3.2 Definisi Operasional


2.2.1 Definisi Kesehatan Mental
Kesehatan mental adalah terbebasnya diri dari meliputi tiga komponen yaitu:
pikiran, emosional dan spiritual
3.2.2 Definisi Pola Asuh
Pola asuh merupakan gabungan dari penerimaan, respon, aturan serta tuntutan yang
diberikan oleh orang tua kepada anak. pola asuh orangtua dibagi mejadi tiga jenis ,
yaitu : authoritarian, authoritative dan

3.3 Populasi, Sampel, Teknik Sampling

3.3.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek dengan
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulan. Populasi penelitian ini adalah orangtua murid TK
BAIPAS Kota Malang yang berjumlah 340 orang, terdiri dari 2 orangtua siswa dari
80 murid kelompok A dan 90 murid kelompok B.
3.3.2 Sampel
Sampel adalah sebagai bagian dari populasi yang bersifat representatif (mewakili)
populasi dalam sebuah penelitian (Gunawan Muhamad Ali, 2015). Bila populasi
besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi,
misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti dapat
menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Sampel dalam penelitian ini
diambil berdasarkan penentuan tabel Izaac taraf kesalahan 5% yang berjumlah 170
orang.
3.3.3 Teknik Sampling
Teknik Sampling adalah suatu proses menyeleksi yang digunakan dalam
menentukan sample yang digunakan dalam sebuah penelitian. Kemudian dari
populasi yang ada, sehingga jumlah sample akan mewakili keseluruhan populasi
yang ada (Hidayat, 2015). Teknik yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah
random simple sampling. Random simple sampling adalah teknik untuk
mendapatkan sampel yang langsung dilakukan pada unit sampling. Dengan
demikian setiap unit sampling sebagai unsur populasi yang terpencil memperoleh
peluang yang sama untuk menjadi sampel atau untuk mewakili populasi. Cara
demikian dilakukan bila anggota populasi dianggap homogen.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini berupa kuesioner yang berisi butir-
butir pertanyaan. Penyusunan kuesioner tersebut didasarkan pada konstruksi teoritik
yang telah disusun sebelumnya. Kemudian atas dasar teoritik tersebut dikembangkan
dalam indikator-indikator dan selanjutnya dikembangkan dalam butir-butir pertanyaan.
Kuesioner dilengkapi dengan skala likert , dimana responden menyatakan tingkat setuju
atau tidak setuju mengenai berbagai pernyataan, dan fungsinya adalah untuk mengukur
suatu sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang suatu
fenomena social. Instrumen ini disusun dengan menggunakan Skala likert. Dalam skala
likert terdapat dua macam pernyataan sikap yaitu pernyataan Favorable(mendukung
atau memihak padaobyek sikap) dan unfavorable (tidak mendukung obyek sikap)
(Azwar, 2015). Penilaian atas responden menggunakan skala likert dan menghasilkan
pengukuran variabel dalam skala interval yaitu.

No Pernyataan Keterangan Jumlah Skor


.
1. (SS) Sangat Setuju (skor 4)
2. (S) Setuju (skor 3)
3. .(N) Netral (skor 2)
4. (TS) Tidak Setuju (skor 1)
Penelitian ini menggunakan angket atau kuisioner yang berisi butir-butir pertanyaan
yang diberikan pada responden untuk diberikan jawaban atau tanggapan.

3.5 Validitas dan Reliabilitas


3.5.1 Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauh mana
ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar,
2016). Kriteria pemilihan aitem bedasarkan korelasi aitem total biasaya digunakan
batasan rix ≥ 0,30. Semua aitem mencapai koefisien korelasi minimal 0,30 daya
pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki nilai dari ≤ 0,30 dapat
diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah dan batasan
ini merupakan suatu konvensi (Azwar, 2016).
Penguji validitas ini akan menggunakan rumus :
N ∑ xy - (∑x) (∑y)
rxy = -----------------------------------------------

√ {N ∑ x −(∑ x ¿ ) }{N ∑ y −( ∑ y ) }¿
2 2 2 2

Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi.
N = Jumlah sampel yang digunakan.
∑x = Jumlah skor item.
∑y = Jumlah skor total.
∑xy = Jumlah perkalian skor item dan skor total.
x2 = Jumlah kuadrat skor item.
y2 = Jumlah kuadrat skor total.

3.5.2 Reliabilitas
Uji reliabilitas berguna untuk mendapatkan apakah instrument yang dalam hal
ini kuisioner dapat digunakan lebih dari satu kali, paling tidak oleh responden yang
sama akan menghasilkan data yang konsisten (Ietje, 2016). Reliabilitas
menunjukkan konsistensi dan stabilitas dari suatu skor (skala pengukuran). Uji
reliabilitas pada penelitian ini menggunakan metode Cronbach Alpha untuk
menentukan apakah setiap instrumen reliabel atau tidak. dimana secara umum
dianggap reliabel apabila nilai Alfa Cronbach-nya > 0,6, Pada penelitian ini, uji
reliabilitas diuji menggunakan program SPSS versi 16. Dengan rumus:

Keterangan:
r = Reliabilitas Instrumen
k = Jumlah pertanyaan
= Varian butir pertanyaan
= Varian skor tes

Apabila variabel yang diteliti mempunyai cronbach’s alpha (α) > 60%
(0,60) maka variabel tersebut dikatakan reliabel, sebaliknya cronbach’s alpha (α) <
60% (0,60) maka variabel tersebut dikatakan tidak reliabel.

3.1 Analisa Data


3.6.1 Uji Normalitas
Metode yang digunakan untuk menguji normalitas adalah dengan melihat
penyebaran data atau titik pada sumbu diagonal dari grafik normalitas. Jika data
menyebar di sekitar garis diagonal maka model regresi memenuhi asumsi
normalitas. Jika data menyebar jauh dari garis diagonal atau tidak mengikuti arah
garis diagonal, maka model korelasi tidak memenuhi normalitas. Uji normalitas
bertujuan untuk melihat apakah subyek yang dijadikan sampel dalam penelitian
benar-benar telahmewakili populasi. Uji normalitas dalam penelitian ini akan
dianalisis dengan menggunakan tes Kolmogorof-Smirnov. Adapun kriteria
pengujiannya adalah:
1). Jika nilai signifikansi (p) > 0,05 maka distribusi adalah normal.
2). Jika nilai signifikansi (p) < 0,05 maka distribusi adalah tidak normal.
3.6.2 Uji Linearitas

Uji linearitas dilakukan untuk mengetahui apakah kedua variabel dalam


penelitian memiliki hubungan yang linier atau tidak.Bila hubungan antara variabel
bebas dan variabel terikat tidak linear maka korelasi yang dihasilkan bisa sangat
rendah.Uji linearitas dilakukan dengan menggunakan uji F untuk melihat apakah
kedua variabel berhubungan secara langsung atau tidak. Suatu hubungan dapat
dikatakan linier apabila memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05(p<0,05).

3.6.3 Uji Hipotesis


Uji hipotesis bertujuan untuk mengetahui hubungan pola asuh orangtua dengan
kesehatan mental murid TK BAIPAS di Kota Malang. Uji hipotesis dalam penelitian
ini menggunakan teknik korelasi Product-Moment Pearson yang dihitung
menggunakan bantuan program SPSS version 20.0 for windows. Kegunaan uji
Product-Moment Pearson atau analisis korelasi adalah untuk mencari hubungan
variabel bebas (X) dengan variabel terikat (Y), serta data berbentuk interval dan
ratio (Riduwan, 2004). Hasil uji hipotesis akan menunjukkan apakah hipotesis yang
diajukan dalam penelitian dapat diterima atau tidak. Salah satu ukuran yang
menyatakan korelasi hubungan adalah koefisien korelasi. Korelasi dilambangkan (r)
dengan ketentuan nilai r tidak lebih dari (-1≤ r ≤ +1), apabila r = -1 artinya korelasi
negatif sempurna, r = 0 artinya tidak ada korelasi, dan r = 1 berarti korelasinya
sempurna positif (sangat kuat). Untuk memudahkan melakukan interpretasi
mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel, maka berikut disajikan tabel
interpretasi koefisien korelasi menurut Arikunto (2006).Uji hipotesis dalam
penelitian ini menggunakan Penguji validitas ini akan menggunakan rumus :

N ∑ xy - (∑x) (∑y)

rxy = -----------------------------------------------

√ {N ∑ x −(∑ x ¿ ) }{N ∑ y −( ∑ y ) }¿
2 2 2 2

Keterangan:
rxy = Koefisien korelasi.
N = Jumlah sampel yang digunakan.
∑x = Jumlah skor item.
∑y = Jumlah skor total.
∑xy = Jumlah perkalian skor item dan skor total.
x2 = Jumlah kuadrat skor item.
y2 = Jumlah kuadrat skor total.
DAFTAR PUSTAKA
Sochib, Moch. 2000. Pola Asuh Orang Tua. Dalam Membantu Anak Mengembangkan
Disiplin Diri. Rineka Cipta: Jakarta.
Gunarsa, Singgih. 2002, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Jakarta: Gunung Mulia.
Hurlock, EB. 1978. Perkembangan Anak (terjemahan). Erlangga: Jakarta
Fadillah, Ika dkk. 2010 . Hubungan Tipe Pola Asuh Orang Tua dengan Emotional Quotient
pada Anak Usia Prasekolah di TK Islam AlFatihah Sumampir Purwokwrto Utara.
Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), Volume 5, No.1,
Maret 2010.

You might also like