TK-2 DR - Yanuar

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 54

LEMBAR PENGESAHAN

Telah Dipresentasikan Acara Ilmiah Tinjauan Kepustakaan Dengan Judul:

Tatalaksana Obstruksi Jalan Napas Sentral

oleh:
dr. Yanuar
NIM: S602002008

Pembimbing:
Prof. Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR

Pada hari/tanggal :
Tempat : Ruang Diskusi SMF Paru RSUD dr. Moewardi Surakarta

Mengesahkan

Prof. Dr. dr. Yusup Subagio Sutanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR


PENDAHULUAN

Central airway obstruction atau obstruksi jalan napas sentral dapat terjadi
akibat berbagai proses penyakit dan menyebabkan morbiditas serta mortalitas yang
signifikan. Etiologi obstruksi jalan napas sentral atau central airway osbtruction
(selanjutnya disebut CAO) dapat berupa keganasan dan non keganasan, dengan
penyebab akibat keganasan lebih umum terjadi. Insidensi CAO akibat keganasan
diperkirakan sebesar 30 persen (%) pada kanker paru, dengan prognosis yang
buruk. Stenosis pasca intubasi dan stenosis trakea pasca trakeostomi dapat menjadi
penyebab CAO bukan keganasan, dengan insiden 10% hingga 22%. Tumor jalan
napas sebagian besar menampakkan gejala yang seringkali tidak spesifik, sehingga
dapat mengakibatkan keterlambatan diagnostik.1–3
Central airway obstruction dengan penyebab keganasan dapat
mengakibatkan penurunan besar dalam kualitas hidup dan memiliki prognosis yang
buruk. Diagnosis awal yang diikuti dengan tindakan membebaskan jalan napas
dengan segera dapat mencegah terjadinya henti jantung atau kerusakan otak
permanen yang terjadi dalam waktu singkat. Tatalaksana dimulai ketika diketahui
adanya suatu obstruksi dengan tujuan mempertahankan patensi jalan napas dan
jalur oksigen ke paru.2,4
Tanda dan gejala CAO sangat mengganggu dan mengancam jiwa.
Presentasi klinis CAO akibat keganasan dan non-keganasan mungkin serupa, tetapi
pendekatan tatalaksana dan prognosis sering berbeda secara signifikan. Manajemen
pasien dengan CAO harus mencakup multimodalitas dan tim multidisiplin ahli
radiologi toraks, anestesi, bedah toraks, dan pulmonologi intervensi. Intervensi
mendesak sangat penting untuk tatalaksana paliatif pada kasus yang sudah lanjut.
Metode invasif yang relatif lebih rendah risikonya perlu diadopsi sebagai solusi
untuk pasien yang tidak layak untuk ditatalaksana dengan prosedur bedah
definitif.2,5,6
Tatalaksana pulmonologi intervensi dapat memberikan hasil yang
signifikan terhadap perbaikan gejala dan menjadi bagian integral dalam
pengelolaan obstruksi saluran napas. Intervensi bronkoskopi yang berhasil dapat
mengembalikan patensi saluran napas sentral dan memberikan perbaikan gejala

1
serta peningkatan fungsional paru. Bronkoskopi fleksibel terapeutik yaitu terapi
laser, electrocauter, argon plasma coagulation (APC) dan penyisipan self-
expandable metallic stents (SEMS) telah menjadi pengobatan paliatif yang efektif
untuk pasien dengan CAO karena penyakit ganas atau tidak ganas.1,2,7

DEFINISI

Central airway obstruction atau obstruksi jalan napas sentral didefinisikan


sebagai oklusi atau penyempitan lebih dari 50% dari trakea, cabang utama bronkus,
bronkus intermedius, atau bronkus lobaris. Central airway obstruction dapat
berkembang secara bertahap atau akut dan dapat terjadi total atau parsial,
tergantung pada mekanisme atau penyebabnya. Obstruksi jalan napas yang total
dan obstruksi parsial yang onsetnya akut mungkin bisa berbahaya karena akan
dengan cepat menyebabkan hipoksia dan henti jantung.2,8

ANATOMI DAN FISIOLOGI SALURAN NAPAS SENTRAL

Traktus trakeobronkial merupakan bagian dari saluran pernafasan bawah


yang menghubungkan laring dan paru. Udara yang kita hirup akan masuk ke dalam
tubuh melalui saluran pernapasan yaitu hidung kemudian melewati faring, laring,
trakea, dan bronkus serta percabangannya sebelum akhirnya memasuki paru. Glotis
adalah ruang antara pita suara yang memungkinkan lewatnya udara masuk dan
keluar dari trakea melalui kontraksi diafragma dan otot pernafasan tambahan
lainnya. Saluran napas sentral adalah bagian dari traktus trakeobronkial yang tidak
memungkinkan terjadinya pertukaran gas dan disebut juga conducting airway.9–11
Trakea adalah saluran pernapasan berbentuk pipa yang terdiri dari tulang
rawan dan otot serta dilapisi oleh pseudostratified columnar cilliated epithelium
(epitel PCC). Trakea merupakan tabung yang datar pada bagian posterior pada
pemeriksaan endoskopi, dan tampak cincin tulang rawan di bagian anterior. Trakea
manusia dimulai dari bawah plica vocalis ke carina, dan terbagi menjadi dua
bronkus utama yang berakhir di hilus paru. Gambar penampang anterior trakea
dapat dilihat pada gambar satu.9–11

2
Os Hyoid
Membran
tirohyoid

Kartilago Lekuk tiroid


tiroid superior

Membran krikotiroid

Kartilago krikoid

Trakea

karina

Bronkus utama kanan Bronkus utama kiri

Gambar 1. Penampang anterior trakea.


Dikutip dari (11)
Kartilago trakea dan dinding membran posterior dilapisi oleh mukosa
pernapasan yang terdiri dari epitel kolumnar pseudostratifikasi bersilia. Kelenjar
lendir terdapat di submukosa dan terhubung ke permukaan mukosa melalui suatu
saluran. Paparan zat yang iritatif terhadap mukosa seperti asap rokok dapat
menghasilkan metaplasia skuamosa dan kerusakan silia.9,10
Trakea bercabang dua menjadi bronkus utama kanan dan kiri setinggi
vertebra toraks kelima. Bronkus utama kanan muncul sebagai kelanjutan vertikal
dari trakea dan berjarak sekitar 2 centimeter (cm) dari carina. Bronkus utama kiri
muncul sekitar 5 cm dari carina, sehingga aspirasi makanan, cairan, atau benda
asing jauh lebih mungkin terjadi di sisi kanan. Bronkus lobus kanan atas
meninggalkan cabang utama menunjuk ke arah lateral (arah jam 3), berukuran

3
sekitar 2 cm dan mengeluarkan tiga cabang yaitu anterior, apikal, dan posterior.
Bronkus intermedius memanjang dari ujung bawah bronkus lobus kanan ke
orificium lobus tengah yang keluar dari bronkus intermedius, di anterior (arah jam
12). Bronkus intermedius memiliki dua cabang yaitu lateral dan medial. Bronkus
lobus bawah kanan merupakan kelanjutan dari bronkus intermedius dan
mengeluarkan lima cabang.4,9,10
Cabang utama bronkus kiri keluar dari trakea dengan sudut sekitar 40
derajat (°) kemudian menjadi dua cabang utama yaitu bronkus kiri atas dan kiri
bawah. Bronkus kiri atas bercabang menjadi tiga subdivisi yaitu apikal, anterior,
dan posterior. Cabang bawah dari bronkus kiri atas bercabang menjadi cabang
lingularis superior dan inferior. Bronkus lobus bawah kiri terbagi menjadi lima
cabang terpisah yaitu superior, basal anterior, basal medial, lateral basalis dan
basalis posterior. Percabangan trakea menjadi bronkus dapat dilihat pada gambar
dua.9,10

Lobus
kanan atas
Lobus kiri
atas

Lobus media
Lobus
bawah

Lobus bawah

Gambar 2. Bronkus segmental


Dikutip dari (10)

4
Vaskularisasi
Aliran darah trakea dipasok oleh banyak pembuluh arteri terminalis kecil.
Trakea bagian atas diperdarahi terutama oleh cabang arteri tiroidea inferior,
sedangkan bagian bawah oleh cabang arteri bronkialis. Aliran darah bronkus
disuplai oleh arteri dan vena bronkial.9,12

Aliran Limfatik Saluran Napas Bawah


Drainase limfatik dari saluran pernafasan bagian bawah adalah melalui
pleksus limfatik dalam dari pleksus limfatik paru. Drainase limfatik mengalir ke
kelenjar getah bening trakeobronkial superior dan inferior secara bilateral dan
kemudian ke saluran kanan dan kiri yang dapat secara langsung menghubungkan
ke sudut vena, dari sebelah kiri aliran drainase ini menyatu dengan saluran toraks.
Kelenjar paratracheal mengalirkan getah bening dari trakea langsung ke saluran
limfatik kanan dan kiri.10,12

Persarafan Saluran Napas Bawah


Persarafan laring disuplai oleh nervus vagus (saraf kranial ke sepuluh) oleh
cabang laring superior secara langsung dan cabang laring rekuren yang penting
secara klinis. Saluran napas bawah menerima serat parasimpatis dari vagus,
beberapa di antaranya adalah saraf sensorik aferen yang mengirimkan sensasi batuk
dari reseptor khusus di mukosa serta reseptor peregangan dari otot bronkial dan
jaringan ikat inter-alveolar. Serabut eferen nervus vagus menyebabkan
penyempitan bronkus dan sekresi dari jaringan kelenjar di saluran napas. Serabut
simpatis eferen menyebabkan bronkodilatasi dengan menghambat aktivitas otot
polos saluran napas.1,9,12

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Central airway obstruction dapat diklasifikasikan menjadi dua pola yaitu


obstruksi jalan napas fokal dan penyempitan saluran napas difus. Lesi fokal dapat
dibagi lagi menjadi neoplasma jinak, neoplasma ganas dan kondisi non neoplastik.
Lesi difus dapat diklasifikasikan menjadi lesi dengan dilatasi lumen trakeobronkial,

5
lesi dengan stenosis, dan kolaps pernapasan (tracheobronchomalacia). Klasifikasi
dari obstruksi jalan napas sentral dapat dilihat pada tabel satu.1,13
Tabel 1. Klasifikasi obstruksi jalan napas sentral menjadi dua pola yang berbeda.
Penyempitan jalan napas trakeobronkial fokal
Striktur pasca-trauma: stenosis pasca-intubasi, stenosis pasca-trakeotomi, striktur pasca-
operasi anastomosis saluran napas (misalnya transplantasi paru-paru, lobektomi)
Striktur pasca infeksi (mis. tuberculosis, aspergillus, rinokleroma)
Neoplasia : neoplasia jinak (misalnya hamartoma, papiloma, lipoma, dll.), karsinoma
trakeobronkial primer, penyakit metastasis ke dinding trakeobronkial, neoplasia
mediastinum dengan invasi trakeobronkial
Penyakit inflamasi dengan atau tanpa gangguan autoimun : stenosis trakea subglotis
idiopatik, granulomatosis dengan poliangiitis, rheumatoid arthritis, penyakit radang
usus, penyakit terkait IgG4, sarkoidosis, amiloidosis
Kompresi ekstrinsik (misalnya jaringan tiroid, adenopati mediastinum, struktur
vaskular)
Penyempitan trakeobronkial difus
Striktur pasca-trauma: cedera inhalasi
Striktur pasca infeksi (misalnya, tuberculosis, aspergillus, dll.)
Neoplasia: ganas atau jinak (misalnya papiloma)
Penyakit inflamasi dengan atau tanpa gangguan autoimun: granulomatosis dengan
poliangiitis, sarkoidosis, polikondritis kambuhan, penyakit radang usus, amiloidosis,
tracheobronchopathia osteochondroplastica
Trakeobronkomalasia dinamis dan kolaps jalan napas dinamis ekspirasi
Keterangan : IgG4 = Imunoglobulin G Subkelas 4.
Dikutip dari (13)
Tumor saluran napas primer, karsinoma paru, kerongkongan, dan kelenjar
tiroid adalah penyebab paling umum dari keganasan obstruksi jalan naps sentral
(CAO). Mekanisme obstruksi saluran napas sentral oleh tumor dapat berupa
obstruksi lumen secara langsung oleh pertumbuhan endobronkial atau infiltrasi
saluran napas (intrinsik), kompresi ekstraluminal saluran napas (ekstrinsik), dan
campuran (gabungan intrinsik dan ekstrinsik).1,14
Kompresi ekstraluminal murni dikelola dengan dilatasi, dan jika diperlukan,
stent saluran napas yang mengerahkan gaya radial ke luar untuk melawan gaya
sentripetal. Obstruksi endoluminal murni terutama dikelola dengan modalitas yang
menghilangkan penyakit intraluminal. Kompresi saluran napas yang diakibatkan
penyakit endoluminal dan komponen ekstrinsik biasanya memerlukan terapi
multimodalitas dengan debulking endoluminal, diikuti dengan pemasangan stent
jalan napas. Klasifikasi anatomi CAO ganas dapat dilihat pada gambar tiga.1,13,14

6
Obstruksi endoluminal Obstruksi ekstraluminal Obstruksi campuran

Gambar 3. Tampilan bronkoskopi dari jenis CAO akibat keganasan.


Dikutip dari (14)
Neoplasma Ganas

Karsinoma Sel Skuamosa


Keganasan trakea primer yang paling umum adalah karsinoma sel skuamosa yang
terdiri dari sekitar 50-60% kasus klinis. Histologi tumor ini identik dengan
karsinoma sel skuamosa paru. Honings et al., tahun 2009 melaporkan 59 kasus
karsinoma sel skuamosa trakea yang tercatat dari 1985 hingga 2008 pada
Netherlands Cancer Registry, ditemukan bahwa 24% berdiferensiasi baik, 49%
berdiferensiasi sedang dan 27% berdiferensiasi buruk. Faktor prognostik yang tidak
menguntungkan termasuk ekstensi tumor ke dalam kelenjar tiroid dan invasi
limfatik, sedangkan keratinisasi, diskeratosis, nekrosis, dan ketebalan tumor tidak
memprediksi prognosis.14–16
Karsinoma Kistik Adenoid
Karsinoma kistik adenoid adalah keganasan primer kedua yang paling
umum pada tumor trakea. Karsinoma kistik adenoid terjadi pada 10-15% kasus di
studi epidemiologi. Karsinoma kistik adeoid secara histologis berasal dari kelenjar
ludah, namun dapat juga ditemukan di lokasi lain seperti trakea, lidah, bronkus,
paru-paru, jaringan subkutan, dan saluran pendengaran eksternal. Karsinoma kistik
adenoid muncul pada pasien usia paruh baya (40-50 tahun), dan sama antara laki-
laki dan perempuan, serta tidak terkait dengan merokok atau konsumsi alkohol.
Diagnosis karsinoma kistik adenoid biasanya tertunda karena merupakan tumor

7
yang tumbuh lambat. Pertumbuhan karsinoma kistik adenoid mungkin polipoid
atau annular, menyebabkan obstruksi endotrakeal.3,7,15
Tumor Trakea Ganas Primer Lainnya
Tumor trakea primer ganas yang lebih jarang yaitu karsinoid, limfoma,
melanoma, karsinoma mukoepidermoid, dan sarkoma. Reseksi tumor diindikasikan
pada pasien tertentu dengan kelainan yang relatif terbatas. Limfoma sering
menginvasi trakea, akan tetapi jarang diperlukan reseksi setelah kemoterapi dan
hanya dilakukan pada kondisi ketidakstabilan struktural.3,16

Neoplasma Jinak
Papiloma Sel Skuamosa
Papiloma sel skuamosa adalah neoplasma jinak trakea yang paling umum
dengan proliferasi epitelium skuamosa berlapis di sekitar inti jaringan
fibrovaskular. Papiloma saluran napas dapat berupa multipel atau soliter. Bentuk
multipel yang disebut juga laringotrakeal papilomatosis disebabkan oleh infeksi
human papilloma virus (HPV) tipe 6 dan 11. Keterlibatan saluran napas sentral
terjadi pada 5% pasien dengan laringeal papilloma serta keterlibatan jalan napas
kecil dan paru-paru terjadi pada 1% pasien. Manifes keterlibatan paru dapat berupa
nodul paru yang sering berbentuk kavitas dan berisi air-fluid levels yang sering
terdapat pada dada belakang bagian tengah.15–17
Hamartoma
Hamartoma terdiri dari tulang rawan, lemak, tulang, sel otot polos, dan
jaringan ikat. Hamartoma biasanya ditemukan di paru-paru dan hadir sebagai nodul
insidental tanpa gejala. Endobronkial hamartoma terdapat lebih dari 1,4 % - 3% dari
seluruh hamartoma, dan hamartoma trakeal lebih jarang. Hamartoma endobronkial
mengandung lebih banyak lemak dan komponen tulang rawan dibandingkan
dengan hamartoma parenkim. Sel inflamasi kronis dan metaplasia skuamosa juga
dapat terlihat di permukaan lesi, serupa dengan yang ditemukan dalam pengaturan
pada karsinoma bronkogenik. Hamartoma saluran napas biasanya eksofitik,
polipoid, massa sesil dengan batas halus.15–17

8
Hemangioma
Hemangioma trakea adalah neoplasma mesenkim yang kebanyakan terjadi
pada anak-anak. Hemangioma kapiler merupakan massa subglotis paling banyak
pada anak-anak, yang biasanya hadir dengan gejala stridor. Pemeriksaan computed
tomography (CT) scan hemangioma biasanya muncul dengan massa jaringan lunak
berbatas tegas yang terletak di posterior atau posterolateral trakea aspek
subglotis.15,16
Tumor Sel Granular
Tumor sel granular atau myoblastoma, merupakan neoplasma jinak yang
jarang terjadi dan berasal dari neuroektodermal. Tumor sel granular dapat terjadi
di dalam dada, kerongkongan, dan trakeobronkial. Ipakchi et al., tahun 2004
melaporkan sekitar dua pertiga dari kasus tumor sel granular berada di dalam trakea
servikal dan sepertiganya berada di intratoraks. Tumor sel granular lebih umum
terjadi pada wanita daripada pria. Penampakan CT scan dari tumor sel granular
biasanya berupa massa jaringan lunak polipoid, tidak spesifik. Tumor sel granular
paling banyak pada intra luminal, dapat terjadi tumor ekstraluminal, dan dapat juga
multisentris.11,15,16
Kondroma
Kondroma merupakan tumor jinak dengan karakteristik histologis kartilago
hialin. Kondroma cenderung sebagai lesi berbatas tegas dengan kalsifikasi internal.,
Kondroma seringkali tidak dapat dibedakan dari hamartoma apabila dilihat melalui
pencitraan karena adanya kalsifikasi. Kondroma memiliki fitur yang berbeda dari
tumor jalan napas jinak lain yaitu pada kondroma tidak ada penebalan dinding dan
ekstensi trakea.16,17

Neoplasma Jinak Lainnya


Mucous gland adenoma (kistadenoma mucinous) jarang terjadi, dan
dilaporkan terdapat di bronkus lobus utama dengan beberapa kasus ditemukan di
trakea. Lesi cenderung berbentuk bola, halus, atau bertangkai. Tumor pleomorfik
adenoma dengan elemen mesenkim dan epitel yang muncul dari kelenjar ludah,
jarang terjadi pada trakea dan bronkus. Tumor pleomorfik adenoma umumnya
terjadi pada kelenjar parotis dan submandibular. Neoplasma jinak trakeobronkial

9
langka lainnya termasuk leiomyoma, schwannoma, neurofibroma, dan
fibroma.3,15,16

Penyebab Non Keganasan Lainnya


Stenosis Trakeal Pasca Intubasi dan Pasca Trakeostomi
Stenosis trakea pasca intubasi terjadi pada 1 hingga 21% pasien yang
diintubasi, dan hanya 1 hingga 2% pasien yang mengalami stenosis dengan gejala
yang berat. Faktor risiko utama berkembangnya stenosis trakea pasca intubasi
adalah durasi intubasi yang berkepanjangan, terutama jika lebih dari tujuh hari.
Stenosis trakea pasca trakeostomi terjadi karena trauma pada trakea. Penyembuhan
luka yang tidak normal dengan pembentukan jaringan granulasi yang berlebihan,
kerusakan tulang rawan, dan sepsis merupakan faktor yang diduga berkontribusi
terhadap perkembangan stenosis jenis ini. Stenosis trakea pasca intubasi dapat
dilihat pada gambar empat.1,11

Gambar 4. Stenosis trakea pasca intubasi


Keterangan: A= Gambar bronkoskopi menunjukkan stenosis trakea
aaaaaaaaaaaaaaadifus akibat cedera intubasi; B= Gambar koronal computed
aaaaaaaaaaaaa tomography (CT) dada dari stenosis trakea segmen panjang
aaaaaaaaaaaaaaasekunder akibat cedera intubasi.
Dikutip dari (1)

10
Stenosis secara umum dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sederhana
dan kompleks. Stenosis sederhana mengacu pada stenosis membranosa menyerupai
jaring dan konsentris, yang panjangnya kurang dari satu cm dan tidak melibatkan
kerusakan pada tulang rawan. Stenosis kompleks adalah stenosis dengan
keterlibatan yang lebih luas, panjang lebih dari satu cm, melibatkan tulang rawan
atau malacia, atau berbentuk melingkar dan berbentuk jam pasir.1,11,18
Stenosis Akibat Pemasangan Stent
Salah satu komplikasi stent jalan napas yaitu dapat menyebabkan stenosis
trakeobronkial. Gaissert et al., tahun 2003 melaporkan dalam tinjauan retrospektif
dari 15 pasien dengan stenosis trakeobronkial jinak yang menjalani penempatan
SEMS, bahwa striktur dan granulasi terjadi pada saluran napas yang sebelumnya
normal. Riwayat obstruksi jalan napas struktural sebelumnya dapat memprediksi
pembentukan jaringan granulasi setelah penempatan SEMS. Indikasi penempatan
dan lokasi stent tidak terkait secara independen dengan tingkat komplikasi. Gambar
stenosis akibat pemasangan stent dapat dilihat pada gambar lima.1,19

Gambar 5. Stenosis akibat pemasangan stent dengan jaringan granulasi menyumbat


bagian proksimal dari stent trakea.
Dikutip dari (1)

11
Cedera Inhalasi
Cedera inhalasi adalah penyebab stenosis laringotrakeal yang tidak umum.
Cedera awal disebabkan oleh kombinasi gas iritan, seperti asam klorida, amonia,
aldehida, dan efek panas lokal. Trakeobronkitis yang dalam dan pengelupasan
mukosa saluran napas mengikuti cedera awal yang mengakibatkan cedera
transmural yang luas, granulasi, striktur, dan stenosis. Cedera inhalasi dapat juga
disebabkan oleh aspirasi berbagai obat-obatan, misalnya aspirasi pil besi. Penilaian
aspirasi pil dan tatalaksana yang cepat penting untuk mengurangi komplikasi
saluran napas jangka panjang dengan tindakan bronkoskopi termasuk dilatasi balon
dan pemasangan stent, meskipun intervensi bedah mungkin diperlukan dalam
beberapa kasus.2,20,21

Penyakit Inflamasi Sistemik


Proses Kartilaginosa
Relapsing polychondritis adalah suatu penyakit inflamasi langka yang
diperantarai imun yang mempengaruhi struktur kartilaginosa tubuh, terutama mata,
telinga, hidung, sendi, dan saluran napas besar. Keterlibatan laringotrakeal yang
bervariasi terlihat pada lebih dari setengah pasien dengan relapsing polychondritis
(RPC) hingga 21% mengalami penyakit saluran napas yang berat. Manifestasi RPC
meliputi trakeobronchial malacia fokal dan difus, penebalan dinding
trakeobronkial nonspesifik (dengan dan tanpa kalsifikasi), stenosis glotis, subglotis,
dan trakeobronkial. 1,21,22
Terapi andalan untuk RPC dan komplikasinya adalah pengobatan medis
empiris dengan agen anti-inflamasi. Intervensi endobronkial digunakan untuk
menjembatani pasien saat terapi sistemik dimulai dan bervariasi berdasarkan kasus
per kasus. Laporan dari Hong dan Kim tahun 2013 pada 12 pasien dengan stenosis
trakeobronkial terkait RPC, baik pelebaran balon dan pemasangan stent silikon
memberikan hasil yang baik dengan perbaikan klinis pada semua pasien. Penyakit
saluran napas biasanya menandakan prognosis yang buruk dengan banyak yang
membutuhkan penempatan trakeotomi untuk mencegah kematian mendadak akibat
obstruksi jalan napas. Gambaran trakeostenosis akibat penyakit RPC dapat dilihat
pada gambar enam.1,2,5

12
Gambar 6. Pemeriksaan bronkoskopi pada pasien relapsing polychondritis (RPC)
menunjukkan stenosis berat pada bronkus utama kiri.
Dikutip dari (2)
Tracheobronchopathia osteochondroplastica adalah kelainan jinak langka
yang ditandai dengan akumulasi kalsium fosfat di submukosa saluran napas yang
menyebabkan osifikasi tulang rawan di trakeobronkial. Cincin trakea yang cacat,
pengurangan membran posterior, dan nodul kartilaginosa dengan atau tanpa
kalsifikasi, terutama pada dua pertiga distal trakea, secara khas terlihat, meskipun
tidak secara seragam. Bronkoskopi dianggap sebagai baku emas untuk diagnosis
dan evaluasi luas serta keparahan penyakit.1,15,16
Proses Granulomatous
Granulomatosis with polyangiitis sebelumnya dikenal sebagai wegener
granulomatosis adalah autoantibodi sitoplasma antineutrofil terkait vaskulitis
granulomatosa nekrotikans yang dapat melibatkan saluran pernapasan atas dan
bawah serta parenkim paru. Keterlibatan saluran napas sering berbahaya dan mudah
terlewatkan atau salah diagnosis, meskipun ditemukan dari 15 hingga 55% pasien
dengan granulomatosis with polyangiitis (GPA), terutama pada mereka yang
berusia di bawah 30 tahun dan pada wanita. Kelainan saluran napas bervariasi,
termasuk massa endobronkial, polip, serta stenosis trakea dan bronkial. Stenosis

13
subglotis ditemukan pada 16 hingga 23% pasien. Terapi imunosupresif sistemik
sebagai andalan pengobatan, meskipun pendekatan intervensi sering diperlukan
untuk menghilangkan gejala selama perjalanan penyakit. Injeksi kortikosteroid
intralesi dengan dilatasi balon merupakan suatu tatalaksana yang efektif.
Tatalaksana dengan balon dilatasi pada stenosis subglotis dapat dilihat pada gambar
tujuh.13,17,23

Gambar 7. Tatalaksana balon dilatasi pada stenosis subglotis pasien granulomatosis


with polyangiitis (GPA).
Keterangan : A = Pasien dengan granulomatosis dengan poliangitis dan
stenosis berat pada bronkus utama kiri; B = Tampilan
jalan napas setelah perawatan dengan pemotongan radial
dengan laser diikuti dengan pelebaran balon; C =
Peningkatan yang signifikan pada diameter bronkus
batang utama kiri setelah pelebaran balon.
Dikutip dari (17)
Sarkoidosis adalah gangguan granulomatosa multisistemik yang melibatkan
sistem pernapasan pada lebih dari 90% pasien. Peradangan granulomatosa non
kaseosa pada saluran napas dapat menyebabkan penipisan mukosa, fibrosis, dan
akhirnya stenosis saluran napas. Distorsi jalan napas juga dapat terjadi dari nodul
endobronkial atau dari kompresi eksternal karena pembesaran kelenjar getah bening
mediastinum dan hilus yang signifikan. Nodul endobronkial sarkoidosis dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas bila terletak di trakea dan carina utama.
Stenosis lebih sering terjadi di saluran napas distal dengan obstruksi di trakea dan
bronkus utama yang jarang terjadi. Bronkoskopi terapeutik berperan dalam
pengelolaan stenosis jalan napas, terutama pada pasien yang tidak merespon terapi
obat. Teo et al., tahun 2010 melaporkan kombinasi dilatasi balon dengan pemberian
mitomycin C topikal dapat meningkatkan patensi jalan napas, tetapi kekambuhan

14
stenosis terjadi pada satu tahun. Stenosis pada saluran napas distal dapat dilihat
pada gambar delapan.1,11,24

Gambar 8. Stenosis pada saluran nafas bawah bagian distal.


Keterangan : Kanan = gambaran CT scan dada potongan coronal pada
pasien sarkoidosis endobronkial; Kiri = gambaran
bronkoskopik pada pasien sarkoidosis endobronkial
menunjukkan mukosa yang tampak fibrotik abnormal
dengan stenosis parah pada bronkus lobus tengah dan
bawah kanan.
Dikutip dari (1)

Inflammatory Bowel Disease


Inflammatory bowel disease termasuk kolitis ulserativa dan penyakit Crohn,
yang berkaitan dengan berbagai gangguan pada parenkim paru dan gangguan
saluran napas, termasuk penyakit paru interstisial, pneumonia, sindrom Schinzel-
Giedion, bronkiektasis, dan fistula paru-paru. Dalam tinjauan yang dilaporkan
Kuźniar pada tahun 2000 terhadap 33 pasien inflammatory bowel disease (IBD)
dengan keterlibatan bronkopulmonal, 16% pasien menunjukkan gejala saluran
napas sebagai manifestasi awal IBD. Penyakit IBD ditandai dengan infiltrasi
granulomatosa nekrotikans, namun gangguan saluran napas awal seringkali intens,
dengan inflamasi mukosa nonspesifik dan supurasi bronkus. Penyakit saluran napas
ditatalaksana dengan kombinasi kortikosteroid sistemik dan inhalasi.1,25,26
Amiloidosis
Amiloidosis adalah penyakit sistemik yang melibatkan deposisi serat (fibril)

15
amiloid jaringan ekstraseluler. Deposisi fibril sebagian besar merupakan subunit
protein lembaran beta-pleated antiparalel. Amiloidosis rantai ringan adalah bentuk
primernya, yang disebabkan oleh diskrasia sel plasma. Amiloidosis amiloid A
adalah bentuk sekunder dari berbagai penyakit kronis di mana peradangan
berkelanjutan terjadi dan menghasilkan serum amiloid A yang berlebihan.
Keterlibatan paru dalam amiloidosis termasuk penyakit trakeobronkial, efusi
pleura, dan nodul parenkim. Evaluasi bronkoskopi dapat menunjukkan adanya
nodul, massa, atau stenosis trakeobronkial yang menghalangi selain kerapuhan
mukosa atau hiperemia. Evaluasi bronkoskopi pada amiloidosis dapat dilihat pada
gambar sembilan.1,27,28

Gambar 9. Endobronkial amiloidosis dengan penebalan bernodul pada mukosa


saluran nap saluran napas dan stenosis trakea
Dikutip dari (1)
Pendekatan pengobatan amiloidosis terbagi dalam tiga kategori yaitu
rekanalisasi bronkoskopik, radiasi sinar eksternal, dan pengobatan farmakologis
dengan agen seperti colchicine dan kortikosteroid potensial. Prosedur intervensi
harus dilakukan dengan hati-hati karena dapat menyebabkan perdarahan dari
jaringan yang diinfiltrasi amiloid. Pemantauan gejala pasien dengan pencitraan CT

16
reguler penting untuk mengidentifikasi peningkatan ukuran dan penebalan daerah
amiloid.1,27,28

Obstruksi Jalan Nafas akibat Penyakit Infeksi


Reccurent Respiratory Papillomatosis
Reccurent respiratory papillomatosis adalah penyakit yang disebabkan oleh
HPV tipe 6 dan 11, dengan perkiraan kejadian 1,8 per 100.000 untuk tipe onset
dewasa. Papiloma tampak lunak, gembur, massa eksofitik atau nodul yang dapat
berupa sessile atau bertangkai (pedunculated). Papilomatosis memiliki potensi
untuk bertransformasi ganas menjadi karsinoma sel skuamosa, dan diperlukan
tindakan biopsi untuk menilai perubahan signifikan dalam pola pertumbuhan.
Tatalaksana reccurent respiratory papillomatosis (RRP) difokuskan pada
mempertahankan patensi jalan napas melalui eksisi lesi, walaupun kekambuhan lesi
sering terjadi. Gambaran papiloma dapat dilihat pada gambar sepuluh.25,29,30

Gambar 10. Papiloma tampak lunak, gembur, massa eksofitik atau nodul yang dapat
berupa sessile atau bertangkai/pedunculated.
Dikutip dari (25)
Endobronchial Tuberculosis
Insiden endobronchial tuberculosis sangat bervariasi dari 6 sampai 50%.
Dalam satu penelitian yang dilaporkan Jung et al., pada tahun 2015 di Korea,
terdapat 54,3% pasien dengan tuberkulosis paru memiliki endobronchial
tuberculosis (EBTB). Temuan bronkoskopi EBTB dapat diklasifikasikan menjadi
tujuh subtipe yaitu kaseosa aktif, edematous-hiperemik, fibrostenotic, tumorous,

17
granular, ulseratif, dan bronkitis nonspesifik. Durasi gejala lebih dari 4 minggu dan
jenis kelamin perempuan adalah prediktor utama adanya EBTB. Lokasi paling
umum yang sering terinfeksi EBTB yaitu bronkus lobar dengan panjang rata-rata
lebih dari dua cm. Sembilan belas persen pasien dengan EBTB memiliki
bronkostenosis persisten yang menyebabkan lebih dari sepertiga penyempitan jalan
napas, bahkan setelah pengobatan antituberkulosis. Pengobatan utama EBTB
adalah terapi antituberkulosis. Berbagai modalitas terapi tambahan telah digunakan
untuk mengobati fibrostenosis EBTB, termasuk pelebaran, penempatan stent, dan
aplikasi mitomycin-C.1,31,32
Infeksi jamur endobronkial
Berbagai spesies jamur telah teridentifikasi sebagai penyebab obstruksi
jalan napas akibat infeksi termasuk aspergillus, fusarium, mucormycosis, dan
cryptococcus. Marchioni et al., pada tahun 2018 melaporkan bahwa endobronchial
aspergillosis menyumbang 10,8% dari lesi jalan napas jinak dan biasanya
diidentifikasi pada pasien immunocompromised yang memiliki gambaran CT yang
menunjukkan keganasan. Gambaran obstruksi jalan napas akibat endobronchial
aspergillosis dari pemeriksaan bronkoskopi dapat dilihat pada gambar sebelas.1,25,33

Gambar 11. Endobronchial aspergillosis.


Keterangan : A = Panah menunjukkan trakeobronkitis pseudomembran
Aspergillus yang melibatkan trakea distal dan
menyebabkan obstruksi pada batang utama kanan
(panah); B = Obstruksi lobus kanan atas.
Dikutip dari (33)
Aspergillosis saluran napas dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu
pseudomembran aspergillus tracheobronchitis (ATB), ATB colitis, obstructing
ATB, dan ATB invasif. Temuan bronkoskopi berkisar dari edema dinding dan

18
pseudomembran hingga massa nekrotik keputihan/kuning yang menonjol ke
saluran napas dengan lokasi lebih sering ditemukan di paru kiri. Intervensi
bronkoskopi seperti debulking, dilatasi balon, terapi laser, APC, cryotherapy, dan
pemasangan stent merupakan moda terapi yang digunakan untuk infeksi jamur
obstruktif selain terapi antijamur. Lesi endobronkial telah dihilangkan
menggunakan forceps, baskets, dan snares.1,25,33
Rhinoscleroma
Rhinoscleroma adalah penyakit infeksi granulomatosa kronis yang jarang
terjadi pada saluran napas atas, terutama mempengaruhi rongga hidung dan sinus
dan jarang menyebabkan stenosis trakea. Penyakit ini endemik di Meksiko,
Amerika Tengah, Afrika Utara, Eropa Tengah, dan Timur Tengah. Penyakit ini
dibagi secara klinis dan patologis ke dalam tiga fase yaitu tahap catarrhalatrophic,
granulomatous dan fibrotic. Biopsi menunjukkan granuloma yang mengandung sel
Mikulicz (makrofag dengan vakuola yang mengandung bakteri), tetapi kultur
jaringan mungkin hanya positif untuk klebsiella rhinoskleromatis pada 45 hingga
60% kasus berdasarkan laporan dari de Pontual et al., tahun 2008. Hasil kultur
jaringan yang negatif tidak mengecualikan penyakit. Pengobatan terdiri dari terapi
antibiotik jangka panjang, biasanya dengan fluorokuinolon selama 3 sampai 9
bulan. Lesi trakea obstruktif dapat diobati dengan dilatasi balon dan eksisi laser.
Beberapa pasien memerlukan trakeotomi segera.1,17,25

Idiophatic Laringotracheal Stenosis


Idiophatic laringotracheal stenosis adalah kelainan langka dengan etiologi
yang tidak diketahui yang ditandai dengan stenosis segmen pendek pada trakea atas
dan laring bawah. Diagnosis Idiophatic laringetrakeal stenosis (ILTS) merupakan
eksklusi setelah imunologi, infeksi, dan etiologi trauma disingkirkan. Penyakit
ILTS terutama mempengaruhi wanita dalam dekade kelima kehidupan dan sebagian
pasien ILTS awalnya salah didiagnosis dengan asma. Penyakit refluks
gastroesofageal adalah komorbiditas yang umum, diidentifikasi hingga 64,9%
pasien. Sebuah penelitian oleh Fiz et al., tahun 2018 di Stuttgart, Jerman
menunjukkan ketidakseimbangan antara reseptor estrogen-alfa, reseptor estrogen-
beta, dan reseptor progesteron pada spesimen bedah dari pasien ILTS wanita.

19
Intervensi bronkoskopi termasuk pelebaran balon, koagulasi plasma argon, radiasi
laser dioda, krioterapi, penempatan stent, dan penempatan tabung T-Montgomery
dapat dipertimbangkan untuk stenosis sederhana atau pada pasien dengan stenosis
kompleks yang tidak memenuhi syarat untuk manajemen operatif. 2,22,34

PRESENTASI KLINIS

Sebagian besar tumor saluran napas menghasilkan gejala yang tidak


spesifik. Gejala obstruksi jalan napas sentral (CAO) maligna dapat bersifat
asimptomatik, dan dapat menampakkan gejala ringan seperti batuk dan dispnea saat
beraktivitas. Pasien dengan diagnosis kanker yang belum tegak akan sering datang
setelah menerima beberapa pengobatan untuk penyebab dispnea dan mengi yang
lebih umum seperti asma dan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK), terutama
ketika tumor tumbuh lambat. Perkembangan dispnea terjadi setelah lumen trakea
tersumbat 50%. Obstruksi pada diameter trakea kurang dari delapan milimeter
(mm) dapat menyebabkan dispnea saat beraktivitas, yang dapat berkembang
menjadi dispnea saat istirahat ketika diameter lumen trakea berkurang menjadi
kurang dari lima mm. Sesak napas dan suara mengi yang tidak respon dengan
bronkodilator dapat dicurigai adanya tumor pada trakea. 5,13,18,21
Gejala lain yang terkait dengan tumor trakea yaitu batuk, mengi, hemoptisis,
atau stridor. Gejala disfagia, suara serak, dan elevasi diafragma (dari invasi saraf
phrenicus) lebih jarang terjadi. Suara serak mungkin ada ketika tumor berasal dari
dekat atau di dalam ruang subglotis, tetapi suara serak tidak berkorelasi baik dengan
kelumpuhan pita suara atau invasi saraf laringeus reccurent.13,14,16
Pasien dengan karsinoma sel skuamosa umumnya memiliki riwayat
merokok. Penderita yang bukan perokok harus dipertimbangkan adanya riwayat
paparan terhadap karsinogen alternatif, seperti hidrokarbon yang terinhalasi.
Gaissert et al., tahun 2004 melaporkan sekitar 25% pasien karsinoma sel skuamosa
memiliki riwayat reseksi kanker sebelumnya, menunjukkan pentingnya surveilans
bronkoskopi jangka panjang pada pasien dengan riwayat kanker paru yang berisiko
tinggi untuk terjadinya displasia skuamosa saluran napas sentral.3,15,21

20
Presentasi klinis CAO non keganasan tergantung pada etiologi yang
mendasari, lokasi, dan tingkat perkembangan serta komorbiditas pasien. Pasien
dengan stenosis trakea dapat datang dengan dispnea saat aktivitas, sesak napas,
stridor, atau mengi dengan durasi gejala yang berlangsung beberapa tahun. Stridor
saat istirahat menyiratkan diameter jalan napas kurang dari lima mm. Stridor juga
dapat ditimbulkan dengan meminta pasien untuk inspirasi cepat dengan mulut
terbuka pada kasus yang lebih ringan.1,14,25

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan Rontgen Toraks
Radiografi dada atau chest x-rays adalah pemeriksaan yang umum pada
sebagian besar pasien dengan gejala pernapasan dan merupakan langkah yang
pertama dalam pemeriksaan radiologi. Radiografi dada posterior anterior (PA) dan
lateral adalah pemeriksaan konvensional untuk evaluasi awal pada kelainan trakea
dan saluran napas sentral. Radiografi polos dapat memberikan nilai klinis dan
terkadang menjadi satu-satunya modalitas pencitraan yang tersedia dalam situasi
pasien tidak dapat berbaring datar untuk pencitraan aksial karena ortopnea dan
hipoksia. Foto polos toraks dapat menegakkan diagnosis pasien dengan tumor
trakea hanya kurang dari 30% berdasarkan laporan dari Sherani et al., tahun 2015,
sehingga diperlukan evaluasi lebih lanjut dengan pencitraan CT potongan
melintang.11,14,25
Computed Tomography Scan
Pemeriksaan computed tomography scan adalah modalitas pencitraan
pilihan untuk pencitraan trakea dan bronkus. Pemeriksaan CT scan telah lama
diakui sebagai modalitas pencitraan pilihan untuk pasien dengan CAO dan dapat
memberikan informasi untuk perencanaan prosedural melalui estimasi yang relatif
akurat dari panjang lesi, derajat penyempitan jalan napas dan hubungan anatomis
dengan struktur yang mengelilingi saluran napas. Hasil pemeriksaan CT scan pada
CAO dapat dilihat pada gambar dua belas.11,14,16

21
Gambar 12. Computed Tomography Scan polos dari obstruksi endoluminal cabang
utama bronkus kiri sekunder dari karsinoma sel skuamosa
Keterangan : A = potongan axial; B = potongan coronal; C = potongan
sagital. CT Scan dari obstruksi tipe campuran cabang
utama kiri bronkus kiri sekunder dari karsinoma kistik
adenoid D = potongan axial; E = potongan coronal; F =
potongan sagital.
Dikutip dari (14)
Multi detector computed tomography telah menjadi modalitas pencitraan
pilihan dalam deteksi dan perencanaan prabedah dari neoplasma saluran napas
dalam waktu dekade terakhir. Gambar seluruh jalan napas dengan data voxel
isotropik set dapat diperoleh dalam hitungan detik. Gambar sumber aksial
menggambarkan keberadaan, lokasi, dan ukuran lesi intraluminal atau penebalan
dinding saluran napas. Perpanjangan ekstraluminal dari tumor, invasi struktur yang
berdekatan, pembesaran kelenjar getah bening mediastinum atau hilus, atelektasis
pasca tobstruktif, air trapping, infeksi, dan metastasis paru dan tulang juga
divisualisasikan dengan baik pada gambar-gambar aksial.11,14,16
Lesi lebih kecil dari 2-3 mm tidak terdeteksi sebagai penyimpangan halus
non patologis dari saluran napas dan dapat terjadi akibat tulang rawan trakea atau
bronkial yang menonjol. Mikroinvasi mediastinum dan saraf dapat saja tidak
terdeteksi dan sulit untuk membedakan lesi jinak seperti papiloma dari lesi

22
neoplasma ganas berdasarkan temuan CT. Pembesaran kelenjar getah bening pada
CT dapat mewakili keterlibatan ganas atau hiperplasia reaktif.10,25
Magnetic Resonans Imaging
Trakea dan bronkus utama umumnya tervisualisasi dengan baik pada
pemeriksaan magnetic resonans imaging (MRI). Salah satu peran pemeriksaan
MRI pada pasien anak-anak atau dewasa muda yang membutuhkan pencitraan
berulang untuk mengurangi risiko paparan radiasi. Pemeriksaan MRI juga
menguntungkan dalam pencitraan trakea yang mengalami kompresi atau invasi oleh
massa mediastinum atau pembuluh darah atau anomali vaskular lainnya yang dapat
menekan trakea. Pencitraan resonansi magnetik biasanya kurang dapat direproduksi
dibandingkan pemeriksaan CT. Waktu yang diperlukan dalam prosedur
pemeriksaan MRI cukup lama sehingga terkadang sulit untuk ditoleransi oleh
pasien dengan gejala pernapasan akut. Pemeriksaan MRI otak diindikasikan ketika
metastasis otak dicurigai secara klinis.11,16,17
Positron Emission Tomography
Fluorine-18-fluorodeoxyglucose pada pemeriksaan positron emission
tomography (PET) telah semakin digunakan dalam evaluasi berbagai neoplasma.
Pemeriksaan PET sangat membantu dalam mendeteksi metastasis jarak jauh, yang
pada gilirannya mencegah operasi yang tidak perlu. Pemeriksaan PET dapat
membantu menentukan tingkat penyakit (stadium), dan dapat membantu
membedakan histologi tumor karena kanker sel skuamosa memiliki serapan
radiotracer lebih banyak dibandingkan dengan kanker adenoid kistik. Bronkoskopi
PET atau CT virtual dapat meningkatkan deteksi dan karakterisasi neoplasma
saluran napas dan deteksi dini penyakit berulang setelah pengobatan. 11,15

Tes Fungsi Paru


Spirometri dapat menjadi alat yang berguna untuk menilai keterbatasan
aliran udara dari CAO dan mendokumentasikan efek pasca perawatan. Central
airway obstruction biasanya tidak menghasilkan pengurangan yang signifikan
dalam volume ekspirasi paksa pada detik 1 (VEP1) atau kapasitas vital (KV) sampai
obstruksi relatif parah. Laju aliran inspirasi puncak dan laju aliran ekspirasi puncak
sering berkurang secara signifikan.1,14,30

23
Terdapat tiga karakteristik pola kurva volume-aliran pada CAO yaitu
terfiksir atau menetap, variabel intratorakal, dan variabel ekstratorakal. Variabel
obstruksi disebabkan oleh lesi yang berubah dengan siklus pernapasan.
Karakteristik kurva volume-aliran pada CAO dapat dilihat pada gambar tiga
belas.1,14,30

Gambar 13. Kurva volume-aliran pada CAO


Keterangan : a = obstruksi jalan napas atas menetap; b = obstruksi
aaaaaaaaaaaaaekstratorakal; c = obstruksi intratorakal.
Dikutip dari (14)
Kurva aliran inspirasi dan ekspirasi mengalami pendataran pada pola
obstruksi terfiksir atau menetap, mencerminkan resistensi jalan napas yang tidak
tergantung pada perubahan dalam tekanan transmural. Dataran tinggi pada lengan
kurva inspirasi dari kurva volume-aliran menunjukkan obstruksi variabel ekstra-
toraks, seperti kelumpuhan pita suara, gondok ekstra-toraks, dan tumor laring.
Bentuk kurva tersebut menggambarkan tekanan transmural yang sangat negatif
mengeksaserbasi obstruksi, sedangkan kurva fase ekspirasi tetap normal. Pola
obstruksi variabel intratoraks terjadi akibat tekanan intrapleural yang negatif, jalan
napas melebar dan menurunkan derajat obstruksi dengan kurva inspirasi normal dan
suatu pendataran lengan kurva ekspirasi.1,3,14
Kelemahan pemeriksaan kurva volume-aliran yaitu tidak terlalu sensitif.
Kelainan belum terdeteksi bila lumen trakea masih berkisar 8 sampai 10 mm.
Kelemahan lain dari prosedur tes fungsi paru pada pasien dengan obstruksi jalan
napas yaitu dapat menyebabkan distres pernapasan.1,14

24
Bronkoskopi
Standar emas untuk evaluasi CAO adalah bronkoskopi diagnostik.
Bronkoskopi memungkinkan dokter untuk menemukan lesi, mendapatkan
pengukuran diameter dan panjang lesi, menilai dampak pernapasan spontan pada
lesi, dan evaluasi jaringan sekitarnya. Tujuan dari bronkoskopi diagnostik yaitu
untuk mendapatkan informasi tentang jalan napas sebanyak mungkin,
mendokumentasikan temuan terkait dengan video atau foto, dan untuk menghindari
pemicuan krisis saluran napas.35–37
Prosedur bronkoskopi dapat membantu menentukan tingkat keparahan,
lokasi stenosis, dan lesi yang divisualisasikan dapat diambil sampelnya dengan
biopsi endobronkial, penyikatan, aspirasi jarum halus dan bilasan bronkus.
Penggunaan teknik spektroskopi selama bronkoskopi memungkinkan untuk
membedakan antara lesi mukosa jinak dan ganas. Bronkoskopi juga memberikan
informasi paling spesifik untuk perencanaan operasi, karena pengukuran dapat
dilakukan untuk menilai apakah tumor dapat direseksi berdasarkan lokasi dan
ukurannya.35–37
Terdapat dua prosedur bronkoskopi yaitu bronkoskop rigid dan bronkoskop
fleksibel. Bronkoskop rigid dapat dipergunakan untuk melebarkan stenosis secara
langsung dengan scope yang rigid, ventilasi melalui bagian samping, dan
tamponade bila ada pendarahan. Bronkoskop rigid dapat menjaga patensi jalan
napas sehingga lebih dipertimbangkan pada obstruksi jalan napas total. Bronkoskop
fleksibel sebagai alat diagnostik dapat memberikan penilaian CAO secara real-time
dengan kemampuan untuk membedakan tumor dari darah, sekresi atau jaringan
nekrotik dan merupakan standar emas dalam menilai morfologi dan derajat CAO.
Keuntungan utama dari bronkoskop fleksibel bila dibandingkan dengan CT adalah
kemampuan untuk melakukan biopsi lesi untuk mengetahui subtipe histologis
sebagai faktor penting ketika mempertimbangkan intervensi terapeutik.8,14,37
Bronkoskop fleksibel dalam tatalaksana CAO dapat memiliki risiko yang
signifikan. Bronkoskop fleksibel dapat memperburuk obstruksi dengan
menginduksi perdarahan, batuk, dan edema. Manipulasi tumor yang lembut
sekalipun dapat menyebabkan perdarahan dan edema yang dapat mengubah jalan

25
napas parsial yang sebelumnya merupakan obstruksi stabil berubah menjadi kondisi
yang darurat. Tim yang melakukan tindakan harus berpengalaman dan memahami
prinsip-prinsip tatalaksana kedaruratan obstruksi jalan napas untuk menjaga patensi
jalan napas dan oksigenasi setiap saat. Penggunaan obat penenang terutama agen
penghambat neuromuskular harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena
berpotensi untuk menginduksi obstruksi jalan napas lengkap sekunder akibat
hilangnya tonus otot penggerak pernapasan.1,14,25

TATALAKSANA

Intervensi bronkoskopi bertujuan untuk memulihkan patensi jalan napas,


memungkinkan ekstubasi dan meningkatkan status fungsional pada banyak pasien
sakit kritis dengan obstruksi jalan napas sentral (CAO). Temuan bronkoskopi
dinilai selama inspeksi jalan napas dengan bronkoskop fleksibel atau bronkoskop
rigid. Dilatasi dengan bronkoskop rigid diikuti dengan penempatan stent
merupakan pilihan terapi yang baik, jika ditemukan kompresi ekstrinsik murni
tanpa kerusakan mukosa saluran napas. Bronkoskopi dilatasi juga merupakan
pilihan pada obstruksi yang disebabkan oleh massa yang mengganggu lumen jalan
napas, tetapi pembuangan massa baik secara mekanis atau dengan bantuan
instrumen koagulasi seperti laser neodymium-doped yttrium aluminium garnet (Nd-
YAG), koagulasi plasma argon, atau elektrokauter lebih sering dilakukan.
Pemasangan stent dipertimbangkan untuk menjaga patensi saluran napas. Pilihan
terapi dapat dikombinasikan untuk membuka jalan napas pada lesi campuran.8,20,38
Colt et al., tahun 1997 melaporkan bahwa intervensi bronkoskopi terapeutik
dalam pasien dengan CAO menghasilkan pemulihan segera yang berhasil dari
ventilasi mekanis di 87% dari populasi pasien mereka dan memungkinkan transfer
segera ke tingkat perawatan yang lebih rendah di 89% dari pasien dengan penyebab
CAO jinak. Shaffer dan Allen pada tahun 1998 melakukan studi retrospektif kecil
tentang penggunaan stent logam yang dapat melebar untuk memfasilitasi ekstubasi
pada pasien dengan obstruksi jalan napas luas. Murgu et al., tahun 2012 melaporkan
bahwa intervensi bronkoskopi mengakibatkan ekstubasi segera dan penghentian

26
ventilasi mekanis pada 75% pasien dengan kanker paru-paru bukan sel kecil dan
kegagalan pernapasan akut yang disebabkan oleh CAO.8,30,38

Balloon Bronchoplasty
Balloon bronchoplasty adalah teknik dilatasi sederhana menggunakan balon
bertekanan untuk meringankan gejala akibat CAO dengan segera. Dilatasi balon
adalah prosedur paling sering digunakan untuk melebarkan saluran napas sebelum
penempatan stent pada pasien stenosis trakeobronkial akibat keganasan dengan
predominan kompresi ekstrinsik. Prosedur dilatasi balon juga digunakan untuk
melebarkan saluran napas yang telah ditempatkan stent sebelumnya dan untuk
membuka stent Dumon yang terlipat. Dilatasi balon juga dapat digunakan untuk
memfasilitasi pemasangan kateter brachytherapy di lesi obstruksi.14,38,39
Prosedur dilatasi balon memiliki peran yang penting dalam pengelolaan
stenosis saluran napas sekunder yang diakibatkan berbagai penyebab jinak seperti
stenosis trakea pasca-intubasi dan tuberkulosis. Tatacara dilatasi balon yaitu balon
dalam keadaan datar dimasukkan menggunakan scope melewati area obstruksi dan
dengan visualisasi langsung balon ditiup menggunakan perangkat syringe.
Diameter inflasi balon bervariasi dari 4-20 mm dan panjang balon bervariasi dari
4-8 cm. Sebagian besar pasien dengan obstruksi jalan napas mengalami perbaikan
gejala dengan cepat. Shitrit et al., tahun 2010 melaporkan rata-rata 10%
peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) ditemukan satu bulan
setelah prosedur.13,20,21
Dilatasi balon memiliki peran yang berguna dalam pengelolaan pasien
dengan stenosis jalan napas jinak yang tidak cocok untuk tindakan operasi, dengan
biaya murah dan tekniknya mudah dipelajari. Kekuarangan prosedur dilatasi balon
yaitu manfaatnya tidak berkelanjutan dan sebagian besar pasien membutuhkan
pelebaran jalan napas lebih lanjut atau memerlukan prosedur tambahan seperti
penempatan stent untuk menghilangkan gejala. Dilatasi balon biasanya dilakukan
dengan katup mitral balon valvuloplasti, balon esofagus, atau kateter Fogarty.
Prosedur dilatasi saluran napas dengan balon cukup aman. Komplikasi seperti
perdarahan, perforasi jalan napas, dan pneumomediastinum jarang terjadi.8,20,21,39

27
Laser
Terapi laser photo resection adalah teknik ablatif yang banyak digunakan
untuk tumor debulking yang dapat dilakukan dengan menggunakan bronkoskopi
fleksibel atau bronkoskop rigid dengan gas yang berbeda. Laser adalah amplifikasi
cahaya dengan emisi radiasi terstimulasi yang memanfaatkan sifat unik dari
koherensi dan kolimasi spasial dan temporal untuk mengirimkan sinar energi panas
yang tepat ke area yang ditargetkan. Energi panas dari laser cahaya digunakan untuk
mengentalkan dan menguapkan lesi endobronkial. Efek laser pada jaringan
tergantung pada panjang gelombang sinar cahaya yang dipancarkan, dan warna
jaringan target.5,14,20
Terapi laser tunggal atau kombinasi dengan alat lain, efektif dalam
mengelola obstruksi jalan napas maligna. Prosedur laser dapat memperbaiki patensi
jalan napas (terutama pada obstruksi trakea atau bronkial), meningkatkan tampilan
radiografi pneumonia pasca-obstruktif dan atelektasis, memperbaiki gejala, dan
mengontrol pendarahan. Terapi laser yang diberikan melalui bronkoskopi dapat
dilihat pada gambar empat belas.5,14,20

Gambar 14. Koagulasi karsinoma sel skuamosa yang menghalangi trakea distal
aaaa dengan laser neodymium-doped yttrium aluminium garnet (Nd-YAG)
melalui bronkoskop rigid.
Dikutip dari (20)

28
Beberapa laser yang tersedia untuk digunakan dalam traktus trakeobronkial
yaitu Nd-YAG, neodymium-doped yttrium aluminium perovskite (Nd-YAP), dioda
dan laser karbon dioksida (CO2). Neodymium-doped yttrium aluminium garnet
adalah laser yang paling sering digunakan karena memiliki efek koagulasi dan
jaringan ablatif yang unggul. Properti yang sering digunakan laser jalan napas dapat
dilihat pada tabel dua.13,14,21
Tabel 2. Properti yang sering digunakan laser jalan napas
Laser Properti Efek pada Keterangan
jaringan

Panjang gelombang : Pemotongan: Penyerapan yang buruk oleh darah


Nd-YAG 1.064 nm; buruk; dan air, penetrasi jaringan dalam,
kedalaman penetrasi: koagulasi: baik meningkatkan risiko perforasi
5–15 mm; sekali; jalan napas; beberapa mode emisi
penyerapan : protein penguapan: baik dapat digunakan yang dapat
sekali mengubah efek jaringan

Panjang gelombang : Pemotongan: Sifat yang mirip dengan Nd-YAG


Nd-YAP 1.340 nm; kedalaman buruk; dengan kedalaman penetrasi yang
penetrasi: 5-10 mm; koagulasi: baik lebih sedikit; lebih hemat biaya
penyerapan: air sekali; dan portabel daripada Nd-YAG
penguapan:
lumayan baik

Ho-YAG Panjang gelombang : Pemotongan: Dapat digunakan dalam mode


2.100 nm; kedalaman baik; kontak atau non-kontak;
penetrasi: 0,5 mm; koagulasi: luar kemampuan gabungan untuk
penyerapan: air biasa; memotong dan mengental;
penguapan: baik kedalaman penetrasirendah; risiko
kerusakan jaringan minimal

Diode Pa Panjang gelombang : Pemotongan: Tersedia sebagai sistem portabel ;


bervariasi; Kedalaman sangat baik; efek yang mirip dengan Ho-YAG
penetrasi : 1-5 mm; koagulasi: baik;
penyerapan : air penguapan: buruk

CO2 Panjang gelombang: Pemotongan: Efek pemotongan yang presisi;


10.600 nm; sangat baik; efek koagulasi yang sangat buruk;
kedalaman penetrasi: koagulasi: buruk; ditransmisikan oleh cermin serat
0,1 mm; penguapan: luar optik pada bronkoskopi
penyerapan: air biasa
Keterangan : nm = nanometer; mm = milimeter; Nd-YAG = neodymium-doped
aaaa aluminium garnet; Nd-YAP = neodymium-doped yttrium aluminium
perovskite; Ho-YAG = holmium yttrium aluminum garnet; CO2 =
= Carbond carbondioxide
Dikutip dari (21)

29
Terapi paliatif pada tumor saluran napas sentral eksofitik yang simtomatik
dan tidak dapat di reseksi, stenosis subglotis dan trakea adalah indikasi penggunaan
laser photo resection (LPR) yang paling umum. Prosedur LPR juga telah digunakan
untuk tatalaksana granuloma endobronkial, bronkolit, dan pada polip inflamasi.
Prosedur laser Nd-YAP sangat efektif untuk obstruksi jalan napas tipe intraluminal
dan campuran dan kurang cocok untuk kompresi ekstraluminal. Lesi yang terletak
di trakea dan bronkus batang utama lebih cocok untuk LPR daripada lesi di lokasi
yang lebih distal.2,21,30
Kontraindikasi dari tindakan LPR yaitu adanya infiltrasi atau kompresi
langsung arteri pulmonalis oleh massa tumor yang terlihat pada pemeriksaan CT
scan dada. Kekurangan tindakan LPR yaitu biaya terapi yang tinggi dan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi yaitu pendarahan, kebakaran endobronkial,
pneumotoraks, dan emboli udara.30,37,40
Elektrokauter
Elektrokauter adalah modalitas ablatif kontak termal yang menggunakan
aliran listrik frekuensi tinggi menghasilkan pemanasan yang menyebabkan nekrosis
koagulatif pada suhu rendah atau penguapan jaringan pada suhu tinggi. Energi
listrik disalurkan ke jaringan endobronkial menggunakan berbagai probe yang
diterapkan melalui bronkoskop rigid atau fleksibel. Efek biologis pada jaringan
tergantung pada jumlah panas yang dihasilkan. 20,21,30
Reseksi elektrokauter merupakan salah satu tindakan tepat untuk mengobati
lesi yang menyebabkan gangguan pernapasan akut dengan biaya yang relatif murah
dibandingkan sinar laser. Prosedur elektrokauter dapat dilakukan di bawah sedasi
sadar menggunakan bronkoskop fleksibel. Pasien dengan obstruksi jalan napas
simptomatik yang disebabkan oleh bronkogenik karsinoma yang bukan kandidat
operatif merupakan salah satu indikasi untuk dilakukan tindakan reseksi dengan
elektrokauter. Elektrokauter endobronkial juga dapat digunakan untuk mengobati
lesi obstruksi jinak pada saluran napas sentral seperti jaringan granulasi,
hamartoma, papiloma, dan lipoma. Berbagai alat yang tersedia sebagai penghantar
arus elektrokauter dapat dilihat pada gambar lima belas.14,20,21,40

30
Gambar 15. Instrumen elektrokauter yang tersedia secara komersial untuk
aaaaaaaaa bronkoskopi fleksibel.
Keterangan : A= pisau elektokauter; B = forceps elektokauter;
aaaaaaa aaaaaaaaaaaaaC = snare elektorkauter.
Dikutip dari (14)
Coulter dan Mehta tahun 2000 melakukan 47 prosedur elektrokauter pada
38 pasien dengan tumor saluran napas sentral atau lesi jinak menggunakan
bronkoskop fleksibel. Hasil yang sukses dicapai dalam 89% dari prosedur, sehingga
meniadakan kebutuhan untuk terapi tambahan dengan LPR. Sebuah studi
retrospektif besar dari Duke Medical Center University, Carolina Utara pada tahun
2011 membahas keberhasilan dan keamanan elektrokauter pada pasien dengan
obstruksi jalan napas jinak atau ganas. Bronkoskop rigid digunakan pada 62%
pasien. Gejala membaik pada 71% pasien. Perbaikan radiologis juga dilaporkan
dalam proporsi yang signifikan dari pasien. 13,20,21
Penggunaan elektrokauter harus dihindari pada kompresi ekstrinsik dengan
mukosa yang intak karena dapat menghasilkan lubang di bronkus. Elektrokauter
juga tidak cocok untuk mengontrol perdarahan saluran napas dan kehilangan
efektivitas pada kondisi saluran napas dengan perdarahan yang signifikan.
Penggunaan elektrokauter juga harus dihindari jika fraksi oksigen inspirasi (FiO2)
tidak dapat diturunkan hingga di bawah 0,4. Fraksi oksigen harus dipertahankan di
bawah 0,4, dan idealnya di bawah 0,3 untuk mencegah kebakaran saluran napas.
Elektrokauter dengan elektroda unipolar dapat mengacaukan program alat pacu
jantung atau implan defibrillator dan harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien

31
tersebut. Penggunaan snare elektrokauter dan bronkoskop kaku pada lesi polipoid
dapat dilihat pada gambar enam belas.20,30,41

Gambar 16. Instrumen elektrokauter yang tersedia secara komersial untuk


aaaaaaaaaa bronkoskopi fleksibel
Keterangan : A = massa pada trakeal; B = ablasi dengan probe kaku;
aaaaaa C = snare elektorkauter diletakkan di sekeliling lesi;
D = trakea setelah eksisi menggunakan snare
Dikutip dari (20)
Komplikasi elektrokauter endobronkial dan koagulasi plasma argon terjadi
pada kurang dari 1% dari prosedur. Risiko pendarahan bertambah besar karena
kontak antara ujung probe dengan lesi target. Perforasi dan kerusakan jalan napas
dapat terjadi, sehingga durasi dan kekuatan elektrokauter harus diperhatikan.20,30,41

Argon Plasma Coagulation


Argon plasma coagulation adalah bentuk teknik bedah listrik atau
elektrokauter nonkontak yang digunakan dalam manajemen obstruksi jalan naps
sentral (CAO) dan hemoptisis. Plasma argon adalah gas dari partikel bermuatan
yang diproduksi di endobronkial ketika frekuensi tinggi, kemudian arus tegangan

32
tinggi dikirim ke elektroda dan mengionisasi argon melalui kateter teflon
menyebabkan nekrosis koagulasi dan penguapan. Laser plasma argon, dengan
panjang gelombang 514 nanometer (nm), memberikan cahaya biru-hijau ke jalan
napas melalui monofilamen fleksibel. Energi laser diserap dengan baik oleh
hemoglobin dan air, sehingga penetrasi terhadap jaringan minimal. Laser plasma
argon adalah metode yang sangat baik untuk fotokoagulasi.20,21,30,41
Indikasi untuk argon plasma coagulation (APC) yaitu pengangkatan polip
jinak, hemostasis, debridemen jaringan granulasi di sekitar stent endobronkial,
sebagai pendekatan baru untuk pengobatan infeksi paru-paru seperti abses,
neoplastik dan fistula pasca pembedahan. Keuntungan dari APC adalah
kemampuannya untuk mencapai lesi yang terletak lateral dari probe atau di sekitar
tikungan dan sudut yang sulit dilakukan dengan terapi fotoreseksi laser. Pasien
dengan predominan lesi intraluminal yang terletak di trakea atau batang bronkus
utama, dengan lumen distal dan fungsional paru yang paten adalah kandidat yang
paling cocok untuk tatalaksana dengan APC. Penggunaan terapi APC dengan
bronkoskop fleksibel dapat dilihat pada gambar tujuh belas.20,21,30

Gambar 17. Penggunaan terapi koagulasi plasma argon dengan bronkoskopi


aaaaaa fleksibel.
Keterangan : A = Probe argon plasma coagulation (APC) digunakan
untuk lesi endobronkial; B = parut tersisa setelah
aaplikasi APC.
Dikutip dari ( 21)
Argon plasma coagulation menunjukkan hasil yang baik pada tatalaksana
CAO. Beberapa seri kasus telah membahas kegunaan APC dalam tatalaksana

33
penyakit saluran napas. Reichle et al., tahun 2000 melakukan 482 prosedur APC
pada 364 pasien untuk berbagai indikasi. Tindakan APC dilakukan untuk
manajemen saluran napas sentral pada 186 pasien, dengan patensi saluran napas
dapat dipulihkan pada 67% pasien. Morice et al., tahun 2004 melaporkan 70
prosedur APC pada 60 pasien di unit bronkoskopi Rumah Sakit Anderson Cancer
Center Universitas Texas untuk pengelolaan obstruksi jalan napas neoplastik dan
untuk mengontrol hemoptisis. 20,21,39
Keuntungan utama dari APC adalah biaya rendah dan kemanjuran yang
sangat baik dalam mengontrol pendarahan superfisial dari lesi endobronkial. Lee et
al., tahun 2015 melaporkan perbaikan gejala dispnea dan skor VEP 1 setelah
dilakukan prosedur APC, selain pengurangan tumor yang signifikan. Argon plasma
coagulation digunakan sebagai bagian dari pendekatan multi-modalitas untuk
tumor debulking, karena memiliki efek superfisial dan keunggulan dalam
hemostasis.21,30
Du Rand et al., tahun 2011 melaporkan tingkat komplikasi APC adalah
sekitar 2%. Komplikasi yang berhubungan dengan APC adalah perforasi jalan
napas dan yang paling parah adalah emboli gas intrakardiak dan emboli serebral.
Komplikasi emboli gas dapat dihindari dengan menjaga aliran gas kurang dari 0,8
liter per menit di saluran napas dengan penyedotan dan dengan menghindari
penggunaannya dalam suatu ruang terbatas (yaitu, scope terjepit di suatu segmen).
Kebakaran saluran napas dapat dicegah dengan menjaga FiO2 kurang dari 0,4
selama aplikasi. Keamanan scope dipastikan dengan menjaga batas keamanan
hanya di luar ujung bronkoskop.20,21,30,42
Krioterapi
Krioterapi adalah teknik ablasi jaringan yang menggunakan suhu dingin
sangat rendah (−70º Celcius), dengan jangka waktu tertentu untuk mendapatkan
kerusakan permanen dalam jaringan patologis. Suhu rendah mengakibatkan
pembekuan air intraseluler dan ekstraseluler yang kemudian mengkristal kembali
saat dicairkan mengakibatkan dehidrasi seluler. Krioterapi juga menginduksi
iskemia jaringan melalui vasokonstriksi lokal, peningkatan viskositas aliran darah
dan agregasi trombosit yang mengarah ke pembentukan mikrotrombus dan

34
akhirnya, kematian sel melalui apoptosis. Prosedur krioterapi dapat dilakukan
dengan bronkoskop rigid atau fleksibel.20,30,39,43
Krioterapi diindikasikan untuk memulihkan patensi jalan napas dari tumor
endobronkial. Indikasi lainnya adalah pengobatan kanker paru stadium awal, biopsi
endobronkial, dan pengangkatan benda asing. Keuntungan utama menggunakan
krioterapi dibandingkan teknik debulking lainnya adalah keamanannya yang tinggi.
Struktur fibrokartilaginosa dinding trakeobronkial tidak dapat rusak oleh suhu
rendah, bahkan ketika digunakan untuk waktu yang lama atau bila digunakan
berulang kali dalam pengaturan yang sama krioterapi dapat digunakan dengan aman
untuk mengobati lesi kecil atau lesi pada bronkus kaliber kecil. Aplikasi metode
krioterapi pada lesi endobronkial dapat dilihat pada gambar delapan belas.20,42,43

Gambar 18. Aplikasi metode krioterapi pada lesi endobronkial.


Keterangan : A = Lesi endobronkial bronkus utama kiri distal; B =
aaaaaKrioterapi dengan probe fleksibel; C = Bronkus utama kiri setelah
aaaaakrioterapi.
Dikutip dari (20)

35
Kerugian utama dari krioterapi adalah efek tertunda pada jaringan, sehingga
tidak cocok untuk pengobatan obstruksi jalan napas sentral (CAO) akut atau
simtomatik. Pasien biasanya perlu tindakan bronkoskopi ulang beberapa hari
setelah krioterapi untuk menghilangkan puing-puing jaringan nekrotik melalui
mekanik debridement. Kontraindikasi krioterapi terutama obstruksi jalan napas
ekstra-luminal dan jaringan yang resisten terhadap cryo seperti jaringan kolagen,
tumor seluler yang buruk, dan bekas luka dengan jaringan parut fibrosa. Krioterapi
tidak diindikasikan pada stenosis trakea atau bronkial jinak yang disebabkan oleh
fibroma, lipoma, atau stenosis pasca-intubasi. Hetzel et al., tahun 2004 melaporkan
komplikasi krioterapi yang paling umum adalah hemoptisis (4-10%),
bronkospasme (4,5%), aritmia jantung (11%), dan kematian (1,3%).1,14,20
Krioekstraksi
Aplikasi krioterapi lainnya disebut krioekstraksi atau krio-rekanalisasi.
Prosedur krio-rekanalisasi adalah teknik debulking cepat tumor jalan napas sentral,
terdiri dari pembekuan tumor dan pengangkatan jaringan yang segera efektif dan
tidak memerlukan pembersihan bronkoskopi sehingga dapat diaplikasikan pada
pasien dengan gejala akut. Cryoprobe dibawa ke dalam kontak dengan target lesi,
lesi dibekukan selama 3 hingga 5 detik, dan kemudian bronkoskop fleksibel dan
cryoprobe dikeluarkan beserta jaringan yang melekat. Prosedur krio-rekanalisasi
juga dapat dilakukan secara fleksibel melalui tabung endotrakeal atau melalui
bronkoskop kaku dan dapat digunakan untuk menghilangkan gumpalan darah
besar, lendir yang menyumbat, atau benda asing.20,21,39
Cryospray
Cryospray menggunakan nitrogen cair semprot tanpa kontak melalui kateter
bronkoskopi untuk menginduksi siklus beku-cair dan kematian sel dengan suhu
yang sangat rendah hingga mencapai 196°C. Area yang luas dapat dengan cepat
diliputi dengan efek yang seragam. Satu hingga dua siklus 5 detik semprot diikuti
dengan periode pencairan 1 menit.8,38
Mathur et al., tahun 1996 melaporkan pengalaman mereka menggunakan
metode krioterapi pada 20 pasien dengan CAO ganas dan 2 pasien dengan stenosis
jalan napas sentral pasca transplantasi paru. Patensi jalan napas tercapai pada 18

36
dari 20 pasien dengan CAO ganas, dan tersisa 2 pasien dengan stenosis saluran
napas transplantasi paru. Schumann et al., pada tahun 2010 melaporkan
pengalaman kriorekanalisasi pada 225 pasien. Patensi jalan napas dicapai pada 91%
kasus, akan tetapi APC diperlukan untuk mengendalikan perdarahan pada 8%
pasien. Finley et al., pada tahun 2012 merawat 80 pasien dengan cryospray. Patensi
jalan napas dicapai pada 98% pasien, namun tingkat komplikasi intraoperatif yang
tinggi sebesar 19% terlihat, termasuk tiga pneumotoraks dan lima kematian.
Krioterapi semprot melalui kateter bronkoskopi dapat dilihat pada gambar sembilan
belas.14,20,43

Gambar 19. Krioterapi semprot menggunakan nitrogen cair melalui bronkoskopi.


Dikutip dari ( 43)
Indikasi prosedur cryospray yaitu pada CAO akibat keganasan, terutama
pada kanker paru stadium awal dan pada jaringan granulasi yang menyumbat pada
jalan napas. Risiko pendarahan sangat tinggi saat dilakukan krioekstraksi,
kombinasi APC dan salin dingin digunakan untuk mencapai hemostasis.
Komplikasi pada cryospray yaitu tension pneumothorax, pneumomediastinum, dan
kematian karena ekspansi gas yang cepat di jalan napas menyebabkan
barotrauma.8,38
Stent jalan napas
Stent adalah prostesis silindris berongga yang mempertahankan patensi
luminal dan memberikan dukungan untuk cangkok atau anastomosis. Stent

37
endobronkial adalah pilihan utama untuk meringankan kompresi jalan napas
ekstraluminal dan juga untuk meredakan CAO tipe intraluminal dan campuran saat
dikombinasikan dengan terapi endobronkial lainnya. Stent yang ideal harus cukup
kuat, tidak bermigrasi, mudah dipasang dan dilepas, cukup fleksibel untuk meniru
fisiologi jalan napas, tidak mengganggu pembersihan mukosiliar, tidak
menginduksi pembentukan jaringan granulasi, dan hemat biaya.19,30,38
Stent secara luas diklasifikasikan berdasarkan bahan penyusunnya sebagai
logam silistik atau bahan metal yang dapat mengembang sendiri. Stent silikon harus
dipasang dengan bronkoskopi kaku di bawah anestesi umum. Stent silikon yang
paling banyak tersedia secara komersial adalah stent Dumon, yang memiliki dua
jenis utama yaitu stent lurus dan bercabang. Ukuran, panjang dan diameter dipilih
sebelum operasi dan dapat disesuaikan dengan pemotongan. Stent silikon mudah
dipasang dan dilepas, sehingga direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama
dan sangat cocok untuk lesi jinak dalam jangka waktu yang lebih lama. Kelemahan
utama dari stent silikon termasuk kebutuhan anestesi umum, tingkat migrasi yang
lebih tinggi, penyumbatan lendir, dinding lebih tebal dan menyebabkan diameter
internal yang sempit.1,14,30
Stent logam efektif dalam meredakan gejala obstruksi jalan napas,
memfasilitasi pembebasan dari ventilator, meningkatkan fungsi paru dan status
performa. Stent logam juga merupakan pilihan alternatif pada penyakit jinak jika
pasien adalah kandidat bedah yang buruk atau jalan napasnya sangat buruk berliku-
liku. Pemasangan stent jalan napas yang tepat waktu sebelum terjadinya komplikasi
cukup penting. Pasien CAO ganas dengan status performa sedang memiliki harapan
kelangsungan hidup yang lebih baik setelah stenting jalan napas.1,28
Self-expanding metallic stents terdiri dari paduan logam nitinol (nikel dan
titanium). Nitinol memiliki karakteristik super-elastis dan memori bentuk yang
menguntungkan yang memungkinkan stent berubah bentuk selama pemasangan
dan kembali bentuk aslinya saat dipanaskan pada suhu transformasinya di dalam
saluran napas. Keuntungan utama SEMS dibandingkan dengan stent silikon
termasuk kemudahan pemasangan, rasio diameter dalam dan luar yang lebih tinggi,
dan kemampuan beradaptasi di saluran napas yang berkelok. 7,14,20

38
Self-expanding metallic stents terutama digunakan untuk mengobati
obstruksi jalan napas atau fistula trakeoesofageal karena keganasan. Prosedur
SEMS dapat diaplikasikan melalui bronkoskop rigid dan fleksibel. Self-expanding
metallic stents terbagi menjadi 3 jenis yaitu stent tertutup sebagian, tertutup penuh,
dan tidak tertutup. Stent tertutup lebih disukai pada lesi ganas dan khususnya cocok
untuk menutupi fistula trakeoesofageal. Stent yang tidak tertutup terutama
digunakan pada stenosis yang sangat terdistorsi. Variasi bentuk stent jalan napas
dapat dilihat pada gambar dua puluh.2,30,38

Gambar 20. Variasi bentuk stent jalan napas.


Keterangan : Self-expanding metallic stents : A = stent logam terbuka
dan tertutup sebagian =; B = stent tertutup; C = stent
aaaasilikon.
Dikutip dari (30)
Indikasi penempatan stent adalah untuk melindungi lumen saluran napas
dari tumor atau pertumbuhan jaringan granulasi, mengimbangi tekanan ekstrinsik
yang diberikan pada saluran napas, atau keduanya. Indikasi lain pemasangan stent
jalan napas yaitu untuk memulihkan kembali patensi jalan napas terkompresi atau
stenosis, untuk menopang kartilago yang melemah pada tracheo-bronchomalacia
serta menutup fistula esofagus trakeobronkial. Indikasi pemasangan stent pada
saluran napas dapat dilihat pada tabel tiga. 2,21,25

39
Tabel 3. Indikasi stent saluran napas
Neoplasma Ganas 1. Obstruksi jalan napas dari kompresi bronkial ekstrinsik atau
penyakit submukosa
2. Obstruksi dari tumor endobronkial saat patensi jalan napas
kurang dari 50% setelah terapi laser bronkoskopi
3. Pertumbuhan tumor endobronkial yang agresif dan adanya
kekambuhan meskipun mendapat terapi laser berulang
4. Hilangnya tulang rawan akibat dari kerusakan yang disebabkan
tumor
5. Pemasangan stent saluran napas dan esofagus pada fistulas
trakeoesofageal

Penyakit Saluran Napas Bekas luka fibrotik atau penyempitan “leher botol”
1. Pasca trauma: intubasi, trakeostomi, laser, bronkoplasti balon
Jinak
2. Pasca infeksi: endobronchial tuberculosis, histoplasmosis-
fibrosing mediastinitis, virus herpes, difteri, klebsiella
rhinoscleroma
3. Pasca inflamasi: granulomatosis Wegener, sarkoidosis, pada
inflammatory bowel disease; aspirasi benda asing
4. Anastomosis komplikasi pasca transplantasi paru

Tracheobronchomalacia
1. Difus: idiopatik, polikrondritis berulang,
tracheobronchomegaly (Mounier-Kuhn sindroma)
2. Fokal: trakeostomi, terapi radiasi, pasca transplantasi paru

Tumor jinak
1. Papilomatosis
2. Amiloidosis
Dikutip dari (25)
Komplikasi dari SEMS termasuk malposisi stent, migrasi, fraktur, impaksi
mukus, halitosis, kolonisasi bakteri dan pembentukan jaringan granulomatosa.
Stent yang tidak tertutup dan tertutup sebagian dapat merangsang re-epitelisasi dan
pembentukan granulasi berlebihan di tepi dan menyebabkan kesulitan dalam
pelepasan stent. Obstruksi jalan napas dan perforasi dapat terjadi akibat stent yang
patah. Gottlieb et al., tahun 2009 di Jerman melaporkan pada pasien penerima
transplantasi paru, kelangsungan hidup 5 tahun secara signifikan lebih rendah pada
pasien yang menerima pemasangan stent logam. Re-stenosis dan kolonisasi bakteri
saluran napas adalah masalah utama.2,7,30

Photodynamic Therapy
Photodynamic therapy adalah modalitas pengobatan yang menggabungkan
proses fotofisika dan fotokimia untuk menghasilkan efek biologis. Prosedur
photodynamic therapy (PDT) menggunakan agen fotosensitisasi diikuti oleh

40
paparan laser non-termal dengan panjang gelombang tertentu untuk
menghancurkan tumor saluran napas pusat. Prosedur PDT bekerja dengan
mengaktivasi sel tumor photosensitizer yang telah diberikan sebelumnya. Agen
fotosensitisasi diberikan secara sistemik atau topikal yang secara selektif
terakumulasi dalam sel tumor. Natrium porfimer atau photofrin adalah agen
fotosensitisasi yang paling umum digunakan. Terdapat dua sumber cahaya laser
yang dapat digunakan, yaitu fiber mikrolensa lampu depan atau fiber silinder
dengan cahaya 360º yang dapat dilihat pada gambar dua puluh satu.14,21,44

A B

Gambar 21. Dua jenis fiber yang digunakan sebagai sumber cahaya laser pada terapi
fotodinamik.
Keterangan : A = fiber silinder dengsn cahaya 360 deajat; B = fiber
aaaaaaaaaaaaaaaamikrolensa lampu depan.
Dikutip dari (21)
Terapi fotodinamik memiliki peran dalam pengobatan paliatif kanker
saluran napas sentral stadium lanjut. Keuntungan nyata dari PDT adalah dapat
digunakan pada pasien yang bukan kandidat bedah, yang tidak dapat mentolerir
anestesi umum dan ketika kebutuhan oksigen terlalu tinggi untuk menggunakan
teknik ablatif termal. Prosedur PDT memiliki banyak keunggulan yaitu bersifat
selektif, dapat merusak jaringan tumor dan tetap menjaga sel normal, sehingga tidak
menimbulkan kecacatan yang membutuhkan perawatan tambahan di masa yang
akan datang, tidak menimbulkan efek samping jangka panjang, prosedur dapat
diulang berkali-kali, memiliki toksisitas sistemik yang rendah, dan tidak bersifat
mutagenik.14,21,44

41
Reaksi fotodinamik diperoleh dengan asosiasi cahaya dan fotosensitisasi
dengan adanya oksigen, dan menghasilkan perubahan struktural yang
menyebabkan pembunuhan sel tumor secara selektif. Kematian sel diperoleh
melalui lebih dari satu mekanisme dan terutama melibatkan apoptosis atau nekrosis,
kerusakan pembuluh darah, reaksi inflamasi, dan respon imun. Dokumentasi
bronkoskopi selama dan setelah PDT karsinoma in situ di lobus kiri atas dan batang
utama kiri distal dapat dilihat pada gambar dua puluh dua.14,21,39

Gambar 22. Dokumentasi bronkoskopi selama dan setelah PDT karsinoma in situ
di lobus kiri atas dan batang utama kiri distal.
Keterangan : A = fiber optik dengan ujung diffuser silinder 20 mm;
B = kateter PDT (panah) selama penyinaran lobus kiri
atas dan cabang utama kiri distal; C = pengelupasan lendir
di distal kiri utama batang; D = lobus kiri atas dua hari
setelah PDT.
Dikutip dari (39)
Keunggulan lain prosedur PDT dibandingkan teknik bronkoskopi lainnya
untuk pengobatan obstruksi jalan napas sentral (CAO) yaitu prosedur ini secara
teknis mudah dilakukan. Prosedur PDT dapat dilakukan di bawah sedasi sadar
menggunakan bronkoskop fleksibel. Risiko perforasi jalan napas dan perdarahan
rendah serta tidak ada risiko terjadinya kebakaran endobronkial.14,21,39

42
Prosedur PDT memiliki keterbatasan diantaranya biaya prosedurnya mahal,
dan memerlukan tindakan bronkoskopi berulang. Efek samping paling umum
terkait dengan PDT adalah gejala pernapasan seperti batuk, ekspektorasi tumor
nekrotik, dispnea, dan atelektasis. Prosedur PDT dapat meyebabkan pengelupasan
mukosa sehingga dapat meningkatkan resiko kegagalan pernapasan. Hemoptisis
yang tidak fatal dilaporkan terjadi pada 18% pasien. Efek samping penting dari PDT
adalah fotosensitifitas kulit. Komplikasi lain yang dilaporkan dari PDT yaitu
bronkitis, pneumonia, dan kandidiasis endotrakeal berat.14,21,44

Brakiterapi
Brakiterapi adalah pengiriman radiasi ke tumor dari sumber yang terletak
sangat dekat dengan tumor yang memungkinkan radiasi dosis tinggi, namun
meminimalkan paparan radiasi ke jaringan sehat. Terdapat beberapa metode untuk
menempatkan sumber radiasi di dekat tumor yaitu endoluminal, interstisial, dan
perkutan. Brakiterapi endoluminal digunakan untuk pengobatan kuratif dan paliatif
tumor endobronkial.14,30,45
Tujuan mendasar dari brakiterapi adalah untuk tatalaksana paliatif
mengatasi gejala seperti batuk, dispnea, dan hemoptisis pada pasien dengan tumor
saluran napas sentral yang tidak dapat menjalani pembedahan atau memiliki fungsi
paru-paru yang sangat buruk untuk memungkinkan radiasi eksternal. Tumor paru
dengan kelenjar getah bening negatif dan tidak adanya metastasis jauh dapat
ditatalaksana secara kuratif. Brakiterapi dapat diindikasikan pada tumor
endoluminal primer atau metastatik yang tidak menunjukkan infiltrasi esofagus
untuk menghindari pembentukan fistula.13,20,21
Indikasi lain brakiterapi adalah kekambuhan setelah operasi atau radioterapi
eksternal pada kanker paru stadium lanjut untuk menghindari obstruksi jalan napas.
Brakiterapi adalah pilihan yang berguna untuk tumor berulang setelah pasien
menerima terapi radiasi sinar eksternal yang dapat ditoleransi secara maksimal.
Brakiterapi cocok untuk mengontrol tumor yang terletak di luar tulang rawan dan
dinding bronkus yang tidak dapat di terapi dengan menggunakan metode lain
seperti fotoreseksi laser, elektrokauter atau dilatasi balon.21,39,45

43
Keuntungan utama dari endobronkial brakiterapi adalah efeknya yang tahan
lama dan penetrasi jaringan yang lebih besar dibandingkan dengan terapi
endobronkial antineoplastik lainnya. Brakiterapi juga menghancurkan jaringan di
luar dinding bronkus dan di belakang jaringan tulang rawan. Prosedur brakiterapi
dengan high dose rate, dosis iradiasi tinggi dapat diterapkan dalam waktu singkat
dengan meminimalkan kerusakan pada saluran napas dan parenkim paru di
sekitarnya. Prosedur brakiterapi yang dilakukan terhadapa pasien dengan kelainan
saluran napas dapat dilihat pada gambar dua puluh tiga.20,30,39

Gambar 23. Pemindaian CT pada tindakan brakiterapi dengan pemasangan kateter


untuk lesi cabang utama/bronkus intermedius kanan
Keterangan : A = penampang coronal; B = penampang potongan
aaaaaaaaaaaaaaksial; C = Perkiraan dosis radiasi: merah muda: 700
aaaaaaaaaaaaacentigray (cGy), hijau: 400 cGy, biru: 50 cGy.
Dikutip dari (39)
Kontraindikasi prosedur brakiterapi yaitu adanya obstruksi endotrakeal atau
endobronkial yang signifikan dan membutuhkan tindakan segera, karena
dibutuhkan waktu hingga 3 minggu agar tumor mengalami regresi setelah
penerapan terapi radiasi. Brakiterapi tidak cocok untuk kompresi jalan napas akibat
lesi ekstrinsik di mana stent jalan napas adalah pilihan yang paling logis.
Kontraindikasi lain dari prosedur brakiterapi yaitu adanya fistula antara bronkus
dan struktur sekitarnya.2,14,39

44
Kerugian utama prosedur brakiterapi adalah potensi efek samping yang
serius dan mahalnya peralatan yang dibutuhkan. Fasilitas brakiterapi terbatas pada
pusat perawatan tersier yang besar, dan memerlukan kolaborasi yang erat antara
ahli bronkoskopi dan ahli onkologi radiasi yang dapat menyebabkan konflik
penjadwalan interdisipliner.1,21,46
Komplikasi akut pada saat prosedur brakiterapi termasuk batuk,
bronkospasme, bronkorea, dan pneumotoraks atau nyeri dada pleuritik karena
penempatan kateter. Ulserasi dapat terjadi jika tabung sangat dekat dengan dinding
mukosa. Komplikasi hemoptisis fatal dapat terjadi dan muncul selama perawatan
atau beberapa hari setelah selesainya sesi. Stenosis simptomatik atau nekrosis
dinding bronkus di area lesi, serta perkembangan fistula trakeobronkial esofagus
juga dapat terjadi.14,20,39

Radiasi Sinar Eksternal


Terapi radiasi sinar eksternal memiliki tempat penting dalam pengobatan
kanker paru-paru lanjut dan tidak dapat dioperasi. Radioterapi sinar eksternal
adalah modalitas yang mudah diakses, lebih sedikit memakan waktu daripada
brakiterapi endobronkial dan dapat berguna untuk pengobatan lesi obstruktif.
Radiasi sinar dapat dipertimbangkan setelah lumen jalan napas dipulihkan dengan
teknik bronkoskopi.21,46,47
Respon radiologis dan aerasi paru yang kolaps terdapat pada 21-74% pasien
dengan terapi radiasi sinar eksternal. Studi yang dilaporkan Reddy et al., pada tahun
1990, sebanyak 71% pasien dengan atelektasis yang menerima radiasi mengalami
re-ekspansi lengkap paru-paru mereka dalam waktu 2 minggu dan sebanyak 23%
mengalami respon yang sama setelah 2 minggu. Penelitian oleh Reinfuss et al.,
tahun 2011 pada 1.250 pasien di Polandia, perbaikan gejala dicapai pada 68%
pasien untuk hemoptisis, 54% untuk batuk, 51% untuk nyeri, dan 38% untuk
dispnea. Kekurangan terapi radiasi sinar eksternal yaitu efek terapinya tertunda,
sedangkan edema mukosa dan inflamasi akibat terapi radiasi berpotensi
menyebabkan perburukan gejala pada pasien yang sudah mengalami penyempitan
saluran napas sentral yang kritis. Salah satu dokumentasi radiologis dari pasien

45
kanker paru dengan sumbatan jalan napas yang diterapi dengan terapi radiasi sinar
eksternal dapat dilihat pada gambar dua puluh empat.21,46,47

Gambar 24. Foto toraks dan CT scan seorang pasien dengan karsinoma sel kecil
aaaaaaaaaaaamengalami pneumopati obstruktif di lobus kanan atas dan menerima
aaaaaaaaaaaadosis radiasi dari 30 Gray (Gy) dalam 10 pecahan.
Keterangan : A = Ada lesi obstruktif di lobus kanan atas pada rontgen
dada awal dan CT scan; B = Distribusi dosis radiasi pada
gambar CT aksial dan koronal; C = Tindak lanjut rontgen
dada dan CT menunjukkan perbaikan obstruksi di lobus
kanan atas 7 hari setelah radioterapi sinar eksternal.
Dikutip dari (47)

46
SIMPULAN
1. Obstruksi jalan napas sentral (CAO) dapat berupa ekstrinsik, intrinsik, atau
campuran, tetap atau dinamis, jinak atau ganas, dengan berbagai gejala mulai
dari sesak napas ringan hingga gagal napas.
2. Bronkoskopi intervensi memungkinkan pemulihan patensi jalan napas dan
memainkan peran penting dalam pengobatan dan paliatif untuk obstruksi jalan
napas sentral.
3. Modalitas yang tersedia saat ini untuk memulihkan patensi jalan napas dengan
cepat meliputi debulking mekanis, alat termal, krioterapi, dan stent jalan napas.
4. Metode bronkoskopi tertunda seperti terapi fotodinamik, brakiterapi, radiasi
sinar eksternal dapat digunakan pada pasien tertentu dengan obstruksi non-
emergency.
5. Pemilihan teknik pada pasien tergantung pada tingkat keparahan dan jenis
CAO, kecepatan bantuan yang dibutuhkan, ketersediaan keahlian, preferensi
pasien dan biaya.
6. Bronkoskopi intervensi yang tepat waktu harus dipertimbangkan dengan hati-
hati karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi dibanding manfaat yang
diharapkan, terutama dalam situasi yang mendesak.

47
Daftar Pustaka

1. Oberg CL, Holden VK, Channick CL. Benign central airway obstruction.
Semin Respir Crit Care Med. 2018;39(6):731-46.
2. Chen CH, Wu BR, Cheng WC, Chen CY, Chen WC, Hsia TC, et al.
Interventional pulmonology for patients with central airway obstruction: An
8-year institutional experience. Medicine. 2017;96(2):1-6.
3. Madariaga MLL, Gaissert HA. Overview of malignant tracheal tumors. Ann
Cardiothorac Surg. 2018;7(2):244-54.
4. Yildirim E. Principles of urgent management of acute airway obstruction.
Thorac Surg Clin. 2018;28(3):415-28.
5. Mohan A, Shrestha P, Madan K, Hadda V, M Pandey Ravindra, Upadhyay
A, et al. A prospective outcome assessment after bronchoscopic
interventions for malignant central airway obstruction. J Bronchol Interv
Pulmonol. 2020;27(2):95-105.
6. Ta’uro IF, Nancy O, Sabir M. Tracheostomy sebagai penanganan obstruksi
jalan napas pasien. J Med Prof. 2019;3(3):230-6.
7. Verma A, Phua CK, Wu QM, Sim WY, Chuan Rui AW, Goh SK. Our
clinical experience of self-expanding metal stent for malignant central
airway obstruction. J Clin Med Res. 2017;9(1):58-63.
8. Ogake S, Bellinger C. Role of therapeutic and interventional bronchoscopy
in the intensive care unit. Clin Pulm Med. 2018;25(3):107-9.
9. Furlow PW, Mathisen DJ. Surgical anatomy of the trachea. Ann
Cardiothorac Surg. 2018;7(2):255-60.
10. Mehran RJ. Fundamental and practical aspects of airway anatomy: from
glottis to segmental bronchus. Thorac Surg Clin. 2018;28(2):117-25.
11. Shepard JAO, Flores EJ, Abbott GF. Imaging of the trachea. Ann
Cardiothorac Surg. 2018;7(2):197-209.
12. Mete A, Akbudak İH. Functional anatomy and physiology of airway. In:
Erbay RH, editor. Tracheal intubation. London: Intech Open; 2018. p. 1-16.

48
13. Singh S. Bronchoscopy in intensive care. In: Herth FJ, Shah PL
Gompelmann D, editors. Interventional pulmonology. ERS Monograph.
Sheffield: ERS Pub; 2020. p. 40-8.
14. Mudambi L, Miller R, Eapen GA. Malignant central airway obstruction. J
Thorac Dis. 2017;9(10):1087-110.
15. Diaz-Mendoza J, Debiane L, Peralta AR, Simoff M. Tracheal tumors. Curr
Opin Pulm Med. 2019;25(4):336-43.
16. Chyntia C, Anne Jo. Airway neoplasms. Roentgenology. 2017;48(4):354-64.
17. Barnes D, Gutiérrez CJ, Benegas M, Perea RJ, de Caralt TM, Ramirez J, et
al. Central airway pathology: Clinic features, CT findings with pathologic
and virtual endoscopy correlation. Insights Imaging. 2017;8(2):255-70.
18. Wright CD, Li S, Geller AD, Lanuti M , Gaissert H, Muniappane A, et al.
Post intubation tracheal stenosis : Management and results 1993 to 2017.
Ann Thorac Surg. 2019;108(5):1471-7.
19. Sabath BF, Ost DE. Update on airway stents. Curr Opin Pulm Med. 2018;24
(4):343-9.
20. Dammad T, Jalil BA. Flexible bronchoscopy. In: Díaz-Jimenez JP,
Rodriguez AN, editors. Interventions in pulmonary medicine. 2nd ed. Cham:
Springer; 2017. p. 15-29.
21. Hadique S, Jain P, Mehta AC. Therapeutic bronchoscopy for central airway
obstruction. In: Mehta A, Jain P, editors. Interventional bronchoscopy.
London: Humana Press; 2013. p. 143-75.
22. Aravena C, Almeida FA, Mukhopadhyay S, Ghosh S, Lorenz R, Murthy SC,
et al. Idiopathic subglottic stenosis: A review. J Thorac Dis.
2020;12(3):1100-11.
23. Sattui SE, Lally L. Localized granulomatous with polyangiitis (GPA):
Varied clinical presentations and update on treatment. Curr Allergy Asthma
Rep. 2020;20(10):1-8.
24. Franquet T, Franks TJ, Galvin JR, Marchiori E, Giménez A, Mazzini S, et
al. Non-Infectious granulomatous lung disease: Imaging findings with
pathologic correlation. Korean J Radiol. 2021;22(8):1416-35.

49
25. Keshishyan S, DeLorenzo L, Hammoud K, Avagyan A, Assallum H, Harris
K. Infections causing central airway obstruction: Role of bronchoscopy in
diagnosis and management. J Thorac Dis. 2017;9(6):1707-24.
26. Brett P, Stilwill SE, Jensen LE, Shaaban AM. Beyond the bowel :
Extraintestinal manifestations of inflammatory. Radiographics.
2017;37(1):1135-60.
27. Milani P, Basset M, Russo F, Foli A, Palladini G, Merlini G, et al. The lung
in amyloidosis. Eur Respir Rev. 2017;26(145):1700-46.
28. Crain MA, Lakhani DA, Balar AB, Hogg JP, Adelanwa A, Hailemichael E.
Case report tracheobronchial amyloidosis : A case report and review of
literature. Radiol Case Rep. 2021;16(9):2399-403.
29. Derkay CS, Bluher AE. Update on recurrent respiratory papillomatosis.
Otolaryngol Clin North Am. 2019;52(4):669-79.
30. Lin CY, Chung FT. Central airway tumors: Interventional bronchoscopy in
diagnosis and management. J Thorac Dis. 2016;8(10):1168-76.
31. Shahzad T, Irfan M. Endobronchial tuberculosis-a review. J Thorac Dis.
2016;8(12):3797-802.
32. Siow WT, Lee P. Tracheobronchial tuberculosis : A clinical review.
2017;9(1):71-7.
33. Huang D, Li B, Chu H, Zhang Z, Sun Q, Zhao L et al. Endobronchial
aspergilloma: A case report and literature review. Exp Ther Med.
2017;14(1):547-54.
34. Costantino CL, Mathisen DJ. Idiopathic laryngotracheal stenosis. J Thorac
Dis. 2017;8(5):204-9.
35. Madariaga ML, Gaissert HA. Secondary tracheal tumors: A systematic
review. Ann Cardiothorac Surg. 2018;7(2):183-96.
36. Shafiq M, Lee H, Yarmus L, Feller-Kopman D. Recent advances in
interventional pulmonology. Ann Am Thorac Soc. 2019;16(7):786-96.
37. Chew WH, Marwan AA, Daut UN, Ismail R, Nasaruddin MZ, Rahman JAA.
Central airway obstruction tumour debulking using rigid bronchoscopy and
cryotherapy: A case report. Malaysian J Med Heal Sci. 2020;16(8):75-7.

50
38. Defranchi HA, Defranchi S. Interventional pulmonology in the intensive care
unit. In: Díaz-Jimenez JP, Rodriguez AN, editors. Interventions in
pulmonary medicine. 2nd ed. Cham: Springer Int. Pub; 2017. p. 575-664.
39. Lahm Tim, Sheski, Francis D. Update on cryotherapy, brachytherapy, and
aaaaaaphotodynamic therapy. In : Beamis JR, John F, Mathur P, Mehta AC,
aaaaaaeditors. Lung biology in health and disease. Intervention in pulmonary
aaaaaamedicine. 2nd ed. New York: Informa Health Care. 2012. p. 25-42.
40. Mahajan AK, Ibrahim O, Perez R, Oberg CL, Majid A, Folch E.
Electrosurgical and laser therapy tools for the management of malignant
central airway obstructions. Chest. 2019;157(2):446-53.
41. Jantz MA, Silvestri G. Fire and ice: Laser bronchoscopy, electrocautery and
cryotherapy. In: Simoff MJ, Sterman DH, Ernst A, editors. Thoracic
endoscopy : Advances in interventional pulmonology. 1st ed. Boston:
Blackwell Futura; 2006. p. 150-70.
42. Wang Z, Wang W, Wu G. Clinical efficacy of argon plasma coagulation
combined with cryotherapy for central airway stenosis caused by lung
cancer. J Cardiothorac Surg. 2019;14(1):155-62.
43. DiBardino DM, Lanfranco AR, Haas AR. Bronchoscopic cryotherapy:
Clinical applications of the cryoprobe, cryospray, and cryoadhesion. Ann
Am Thorac Soc. 2017;13(8):1405-15.
44. Dos Santos AF, De Almeida DRQ, Terra LF, Baptista MS, Labriola L.
Photodynamic therapy in cancer treatment - an update review. J Cancer
Metastasis Treat. 2019;5(25):1-25.
45. Stewart A, Parashar B, Patel M, Farrell D, Biagioli M, Devlin P, et al.
Guidelines for thoracic brachytherapy for lung cancer. ABS. 2016;15(1):1-
11.
46. Choi HS. Role of radiotherapy in the management of malignant airway
obstruction. Thoracic Cancer. 2020;11(1):2163–69.

51

You might also like