Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 24

SEJARAH PERADILAN ISLAM PADA MASA REFORMASI

Wildi Ikram – 21103050145 , Alfi Syahrizain - 21103050142


Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia

ABSTRACT

Islamic justice in Indonesia experienced a significant transformation during the


Reformation period (1998-present). The reform brought winds of change that opened
up space for judicial reform, including religious justice. This abstract reviews the
history of Islamic justice during the Reformation period, with a focus on the changes
that occurred, both institutionally and in authority.
Institutional Changes:Before the Reformation, religious courts were under the
Ministry of Religion.The reform brought changes by placing religious courts under the
Supreme Court.
This change aims to realize the independence of the religious judiciary.
Changes in Authority:Before the Reformation, the authority of religious courts was
limited to marriage, inheritance and waqf matters.The reform expanded the authority
of religious courts, including sharia economic matters.
This expansion of authority is intended to accommodate the increasingly complex
needs of the Muslim community.
Challenges and Opportunities:Islamic courts still face various challenges, such as a
lack of infrastructure and human resources. On the other hand, there are
opportunities to improve the quality of religious justice through bureaucratic reform
and increasing the capacity of judges.
Conclusion: The history of Islamic justice during the Reformation period shows
significant developments. The reform brought positive changes in terms of the
independence and authority of the religious judiciary. Even though there are still
various challenges, religious courts have the opportunity to continue to develop and
provide quality services to the community.

Keywords: Islamic Justice, Reform, Independence, Authority, Challenges,


Opportunities.

ABSTRAK

Peradilan Islam di Indonesia mengalami transformasi signifikan pada masa


Reformasi (1998-sekarang). Reformasi membawa angin perubahan yang membuka
ruang bagi reformasi peradilan, termasuk peradilan agama. Abstrak ini mengulas
sejarah peradilan Islam pada masa Reformasi, dengan fokus pada peruba han-
perubahan yang terjadi, baik secara kelembagaan maupun kewenangan. Perubahan
Kelembagaan: Sebelum Reformasi, peradilan agama berada di bawah Departemen
Agama. Reformasi membawa perubahan dengan menempatkan peradilan agama di
bawah Mahkamah Agung. Perubahan ini bertujuan untuk mewujudkan independensi
peradilan agama.
Perubahan Kewenangan: Sebelum Reformasi, kewenangan peradilan agama
1
terbatas pada perkara perkawinan, waris, dan wakaf. Reformasi memperluas
kewenangan peradilan agama, termasuk perkara ekonomi syariah. Perluasan
kewenangan ini dimaksudkan untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat Muslim
yang semakin kompleks.Tantangan dan Peluang: Peradilan Islam masih
menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya infrastruktur dan sumber daya
manusia. Di sisi lain, terdapat peluang untuk meningkatkan kualitas peradilan agama
melalui reformasi birokrasi dan peningkatan kapasitas hakim. Perjalanan sejarah
peradilan Islam pada masa Reformasi menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Reformasi membawa perubahan positif dalam hal independensi dan kewenangan
peradilan agama. Meskipun masih terdapat berbagai tantangan, peradilan agama
memiliki peluang untuk terus berkembang dan memberikan pelayanan yang
berkualitas kepada masyarakat.

Kata Kunci: Peradilan Islam, Reformasi, Independensi, Kewenangan, Tantangan,


Peluang.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keadilan agama adalah kekuasaan negara untuk menerima, memeriksa,


mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara perkawinan, warisan, wasiat, hibah,
harta benda dan shodaqah di kalangan umat Islam untuk menjaga hukum dan keadilan.
Penyelenggaraan peradilan agama dilaksanakan oleh pengadilan agama tingkat
pertama dan Pengadilan Agama Tinggi pada tingkat banding. Dalam kasasi,
Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi di suatu negara bagian.
Salah satu penyebab dimulainya masa reformasi di Indonesia pada tahun 1998 adalah
adanya pengaruh perubahan nilai-nilai terhadap perilaku politik, ekonomi, dan hukum.
Oleh karena itu, reformasi mencakup 3 (tiga) aspek yaitu politik, ekonomi dan hukum.
Reformasi di bidang hukum bertujuan untuk mengembalikan supremasi
hukum.Dalam rangka menegakkan supremasi hukum, lembaga yang paling banyak
disorot adalah lembaga peradilan. Sebagai salah satu ciri negara hukum, lembaga
peradilan itu haruslah bebas dan tidak memihak. Peradilan harus independent serta
impartial (tidak memihak). Peradilan yang bebas pada hakikatnya berkaitan dengan
keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan
kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh ataupun campur tangan pihak lain.
Tugas dan fungsi pengadilan tidak sekedar menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari
2
itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum dalam masyarakat (Sulistiyono, 2005:
152-184)1.

1
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga Peradilan Indonesia Di Era Reformasi, Vol. IV
Nomor 2,Juli-Desember 2008.

3
Dalam perkembangannya Peradilan Agama mengalami pertumbuhan dan
perkembangan dalam rentang waktu yang panjang, sejak Islam menjadi kekuatan politik
di Indonesia pada masa munculnya kerajaan-kerajaan Islam sampai yang kita lihat saat
ini.

Mencermati perjalanan kewenangan Peradilan Agama, ternyata penuh dengan


pasang surut dan tidak bisa dilepaskan dari dinamika politik yang terjadi. Namun,
kewenangan tersebut tetap ada meskipun ada upaya menghapuskan Peradilan Agama
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman. Bahkan, perkembangannya
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan dalam konteks pelaksanaan hukum
Islam di Indonesia.2

Pada era Reformasi telah terjadi perubahan dalam kondisi perpolitikan di


Indonesia, dimana di era sebelumnya di masa Orde Baru cenderung bersifat otoriter dan
sentralistik, sedangkan di era Reformasi cenderung bersifat demokratis. Pada masa ini
Peradilan Agama sebagai salah satu institusi peradilan yang juga berfungsi sebagai
instrumen untuk mewujudkan supremasi hukum pada masa reformasi ini.

Sesungguhnya masih menyisakan berbagai macam persoalan, baik


menyangkut optimalisasi peran institusi/ kelembagaan maupun menyangkut sumber
daya manusia, terutama hakim, sehubungan dengan adanya kompetensi baru di bidang
ekonomi syari’ah, termasuk masalah belum tersusunnya hukum materil dalam bentuk
undang-undang yang menyangkut tentang keseluruhan kewenangan Peradilan Agama,
baik untuk ekonomi syariah maupun untuk bidang kewenangan lainnya.

Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang diakui


eksistensinya dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman,
merupakan lembaga peradilan khusus yang ditunjukkan kepada umat Islam dengan
lingkup kewenangan yang khusus pula, baik perkaranya ataupun para pencari
keadilannya.

Pada masa Orde Baru pemerintah terkesan memarginalkan umat Islam, namun

2
Moh Sutomo, dkk, Akar Historis Pengadilan Agama Masa Orde Baru, Jurnal
Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan

4
di era Reformasi yang demokratis pemerintah terlihat membuka peluang yang sebesar-
besarnya bagi kemajuan Peradilan Agama, namun terkesan masih setengah hati.
Sehingga dari hal tersebut perlu dicari jawaban terhadap persoalan bagaimana
sebetulnya dinamika politik Peradilan Agama di era Orde Baru dan era Reformasi,
sehingga dari hal tersebut kemudian berpengaruh terhadap political will pemerintah
dalam menyikapi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia.

Alasan penyusun dalam membandingkan kondisi Peradilan Agama di era orde


baru dengan era Reformasi, adalah dengan melihat dua masa yang berbeda dan dalam
situasi yang berbeda pula maka akan dapat diketahui faktor-faktor apa saja yang
berpengaruh terhadap pasang-surut kemajuan dan kemunduran Peradilan Agama baik
di era Orde Baru maupun era Reformasi. Sehingga dari hasil yang didapat dari tulisan
ini diharapkan dapat diketahui hal-hal (situasi/dinamika politik) yang mendorong
terhadap kemajuan Peradilan Agama agar dapat dikembangkan, serta hal-hal yang
menghambat kemajuan Peradilan Agama agar dapat dihindari.

Disamping itu kondisi perpolitikan nasional di era Reformasi bila


dibandingkan dengan era sebelumnya (era Orde baru) sudah sangat berbeda, karena
karena di era Orba cenderung bersifat otoriter dan sentralistik. sementara di era
Reformasi cenderung demokratis, di samping kewenangan Peradilan Agama yang lebih
luas dibanding era Orba.

Tulisan ini berupaya untuk membandingkan kondisi Peradilan Agama pada


masa Orde Baru dengan pada masa Orde Reformasi, khususnya dinamika politik pada
masa Orde Baru dan masa Reformasi dan pengaruhnya terhadap kondisi PA di
Indonesia. Dengan harapan pembaca akan mendapatkan pemahaman yang matang dari
hasil perbandingan tersebut. 3

3
Malik Ibrahim, Peradilan Agama di Era Orde Baru dan Reformasi Suatu
Studi Perbandingan, (Yogyakarta: Supremasi Hukum, 2015, hal. 304-308

5
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Sejarah Peradilan Agama pada masa Reformasi?


2. Bagaimana Perkembangan peradilan pada masa reformasi sampai sekarang?
3. Bagaimana Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung pada masa
reformasi sampai sekarang

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mendeskripsikan mengenai Sejarah Peradilan Agama pada masa era


Reformasi.
2. Untuk mengetahui Perkembangan peradilan pada masa reformasi sampai
sekarang.
3. Untuk mengetahui Pengangkatan dan Pemberhentian Hakim Agung pada masa
reformasi sampai sekarang.

6
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERADILAN SEBELUM REFORMASI SAMPAI AWAL


REFORMASI

Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu
Peradilan Pradata dan Perdilan Padu. Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari
ajaran Hindhu dan ditulis dalam Papakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan
hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam
prakteknya, Peradilan Pradata menangani persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan wewenang raja, sedangkan Peradilan Padu menangani persoalan
-persoalan yang tidak berhubungan dengan wewenang raja.

Keberadaan dua sistem peradilan ini berakhir setelah raja Mataram


menggantinya dengan sistem Peradilan Surambi yang berasaskan Islam. Penggantian
ini bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah kerajaan Mataram.
Peradilan pada masa Orde Baru terlihat bersifat otoriter dan sentralistik. Hal
ini dapat dilihat dari pelaksanaan peradilan terlihat masih adanya intervensi pihak
eksekutif terhadap yudikatif, sehingga menunjukkan bahwa pemerintahan tidak
mengehendaki adanya manifestasi independensi peradilan. 4
Pergeseran kekuasaan dari rezim Orde Baru ke era Reformasi membawa serta
merta berbagai perubahan dalam ranah sosial, politik, dan hukum. Perubahan

4
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dan Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), Ed.
1, Cet. 1; xxii, hal.294.

7
mendasar dalam bidang hukum pada masa reformasi, yaitu dengan dilakukannya
amandemen atas UUD 1945 yang berbunyi: “penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya
dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Agama,
Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi". Ketentuan Konstitusi ini ditindaklanjuti dengan
lahirnya UU No.35 Tahun 1999 tentang Sistem Peradilan Satu Atap, UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Amandemen atas UU No. 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman), dan UU No.48 Tahun 2009
(Amandemen atas UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). 5

Peradilan Agama sebagai bagian dari mekanisme penyelenggaraan kenegaraan


pernah mengalami pasang surut ketika Sultan Agung meninggal dan digantikan oleh
Amangkurat I. Amangkurat I pernah menutup Peradilan Agama dan menghidupkan
kembali Peradilan Pradata. Setelah masa ini Peradilan Agama eksis kembali. Hal ini
dibuktikan dengan diterbitkannya sebuah kitab hukum Islam “Shirath al-Mustaqim”
6yang ditulis Nurudin Ar-Raniri. Kitab ini menjadi rujukan para hakim di Indonesia.
Pada tahun 1642, terbit Statuta Batavia yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku
adalah hukum Islam.

Namun, ketika lahirnya UU No. 35 Tahun 1999 terjadi polemik pro dan kontra
mengenai pengalihan Peradilan Agama kepada Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan
oleh karena adanya satu pasal yang menyebutkan bahwasannya pengalihan Peradilan
Agama ke Mahkamah Agung tidak diberikan batas waktu yang ditentukan, berbeda
dengan peradilan lain yang maksimal masa peralihannya adalah 5 tahun. Sehingga,
menimbulkan penafsiran bahwasannya waktu yang tidak ditentukan tersebut bisa

5
Kosim, Peradilan Agama Pada Masa Reformasi dalam Perspektif Teori Sosial, Teori Hukum
Ketatanegaraan dan Teori Living Law, Al Mahkamah, Vol 1 No. 1 2013, hal. 4.

6
Kitab Shirath al-Mu staqim ditulis berdasarkan mazhhab syafi’i. kitab ini diklaim sebagai kitab hukum
pertama yang ditulis oeh ahli hukum Indonesia.

8
terjadi secepatnya atau malah tertunda dan tidak akan terjadi penyatuatapan. 7

Atas hal tersebut, maka tim kerjasama antara Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama dan Fakultas Syari’ah IAIN Jakarta pada tahun 2000 melakukan penelitian
mengenai “Respon hakim, panitera, karyawan Peradilan Agama, dan masyaraat
muslim terhadap UU No. 35/1999”. Hasilnya menunjukkan bahwasannya 97% dari
kalangan Peradilan Agama menyetjui adanya penyatuatapan. Sedangan dari kalangan
mahasiswa, dosen, dan tokoh Islam hanya 23% responden yang menyetujui adanya
penyatuatapan.11 Pro dan kontra tersebut berlangsung lama dan dalam rangka
mewujudkan peradilan satu atap maka disusunlah empat buah RUU, yaitu RUU
Kekuasaan Kehakiman, RUU Perubahan UU MA, RUU Perubahan Peradilan Umum
dan RUU Perubahan PTUN yang akhirnya sampai pada diundangkannya UU No.4
Tahun 2004 mengenai Kekuasaan Kehakiman. 8

Dalam Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman


adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya
negara hukum Indonesia. Penyelenggaraannya sebagaimana dalam Pasal 1 tersebut
dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan
Militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi.

Dengan demikian, atas tuntutan reformasi di bidang kekuasaan kehakiman


maka terjadi peningkatan independensi kekuasaan kehakiman yang menghendaki agar
kekuasaan kehakiman benar-benar merdeka serta bebas dari campur tangan kekuasaan
lain. Sehingga, terdapat dua lembaga yang memegang kekuasaan kehakiman (yudicial
power) yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. UU No.7 Tahun 1989 ini

7
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dan Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), Ed.
1, Cet. 1; xxii, hal. 302

8
Atho Mudzhar, Perdadilan Satu Atap dan Profesi Advokat, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama,
2005), hal.97.

9
disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember tahun 1989 ditempatkan dalam
Lembaran Negara RI No. 49 Tahun 1989 dan tambahan dalam lembaran negara nomor
3400. Isi dari UU No. 7 Tahun 1989 terdiri atas tujuh bab, meliputi 108 pasal.

1
0
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat
pengakuan secara resmi. Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad
No. 152 yang merupakan pengakuan resmi.terhadap eksistensi Peradilan Agama dan
hukum Islam di Indonesia. Staatsblad ini dapat dianggap sebagai titik awal dimulainya
interaksi dua sistem peradilan, Islam dan Barat. Selanjutnya pada tahun 1931
pemerintah kolonial membentuk sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa
depan Peradilan Agama. Hasil dari komisi ini berupa dikeluarkannya Staatsblad No. 53
yang terdiri dari tiga bagian; bagian I tentang perubahan nama Pengadilan dari
Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht. Bagian II memuat aturan tentang campur
tangan landrad dalam soal peradilan harta bagi orang- orang Indonesia asli. Bagian III
memuat pembentukan Balai Harta Peninggalan bagi orang Indonesia asli.Karena
Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori reseptie, maka pada tahun
1937 keluarlah staatsblad 1937 No. 116.

Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam
persoalan waris dan masalah masalah lain yang berhubungan dengan harta benda,
terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah
perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa
Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri,
melainkan harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.

Pengurangan terhadap kompetensi Peradilan Agama tersebut tentunya sangat


mengecewakan masyarakat muslim Indonesia karena Peradilan Agama pada waktu itu
betul betul mereka anggap sebagai lembaga peradilan layaknya lembaga peradilan,
bukan sebagai lembaga agama semata. Belum lagi pada masa ini Peradilan Agama
hanya dapat menghidupi dirinya sendiri melalui ongkos perkara yang diterimanya. Hal
ini dilakukan karena pemerintah kolonial tidak pernah mensubsidi PeradilanAgama
untuk pengelolaan administrasinya, termasuk tidak menggaji hakim dan pegawainya.
Kenyataan bahwa hakim dan pegawai Peradilan Agama menerima uang dari mereka
yang menggunakan jasa peradilan inilah yang belakangan dipakai

1
1
sebagai alat oleh Belanda untuk mengatakan bahwa Peradilan Agama adalah sarang
korupsi. Demikianlah liku-liku eksistensi Peradilan Agama pada masa kerajaan serta
penjajahan Belanda. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang tidak ada perubahan
signifikan tentang eksistensi Peradilam Agama sampai memasuki kemerdekaan dan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Pada masa awal pasca-kemerdekaan atau Pra-Reformasi
Ternyata teori resepsi masih mendominasi pikiran para pengacara Indonesia,
khususnya yang bekerja di lembaga legislatif dan yudikatif. Hal ini ditunjukkan
melalui berlakunya hukum adat dalam kerangka hukum nasional, khususnya
berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) yang diatur dalam UU No. 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Pertanian (UUPA). Bahkan seolah-olah semuanya terus
berjalan seolah-olah hukum Islam yang berlaku di masyarakat hanya berlaku jika
hukum adat sudah menerimanya. Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari
1946, berdirilah Departemen Agama. Kementerian Agama bisa menggabungkan
seluruh lembaga pengelola organisasi Islam menjadi satu lembaga nasional.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jelas menunjukkan niat
untuk menyatukan penyelenggaraan perkawinan, talak dan rujuk di seluruh Indonesia
di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri.3

Pada masa ini, Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi yang telah ada
tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan. Selang tiga bulan berdirinya Departemen
Agama yang dibentuk melalui Keputusan Pemerintah Nomor 1/SD, Pemerintah
mengeluarkan penetapan No. 5/SD tanggal 25. Maret 1946 yang memindahkan semua
urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen

3
UU No. 22 tahun 1926 ini pada awalnya hanya berlaku bagi Jawa dan Madura. Namun demikian
baru pada tahun 1954 pihak departemen agama berhasil memperoleh persejutuan parlemen untuk
memberlakukan undang-undang ini semua derah diluar Jawa dan Madura.

1
2
Kehakiman kepada Departemen Agama. Sejak saat itulah peradilan agama menjadi
bagian penting dari Departemen Agama.
C. Pasca Reformasi

1. Mahkamah Syari’ah di Aceh sebagai lembaga peradilan baru

Pasca-runtuhnya rezim orde baru, di Aceh terjadi konflik besar antara


kelompok penuntut disintegrasi, atau yang kemudian dikenal dengan Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) dengan pemerintah. Konflik yang berlangsung bertahun tahun itu
banyak menimbulkan korban, baik dari pemerintah, GAM maupun penduduk sipil.
Tuntutan pemisahan diri dari NKRI yang sulit sekali untuk dibungkam berakhir pada
pemberian otonomi khusus dari pemerintah Indonesia kepada Aceh dengan UU No. 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh.UU No. 18
Tahun 2001 tersebut membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan.
Pasal 25-26 UU Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (PNAD) mengatur mengenai
Mahkamah Syari’ah yang merupakan peradilan syari’at Islam sebagai bagian dari
sistem peradilan nasional. Mahkamah Syari’ah adalah lembaga peradilan yang bebas
dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk
agama Islam. 9Kewenangan Mahkamah Syari’ah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan
Qanun PNAD. Mahkamah Syari’ah sebagai Peradilan di Aceh diberikan wewenang
untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara perkara Jinayat. Wewenang itu
sebagaimana yang diamanatkan oleh Qanun No. 10 tahun 2002 Pasal 49.

Mahkamah Syari’ah sendiri terdiri dari:


a. Makamah Syari’ah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat
pertama;
b. Mahkamah Syari’ah Provinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di
ibukota Provinsi, yaitu di Banda Aceh.

9
Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lemabaga Negara RI No. 114,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, pasal 1 butir 7.

6
Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD
1945 Amandemen ketiga dan keempat, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang.5

UU Nomor 18 Tahun 2001 di atas telah memperkuat UU No. 44 Tahun 1999


tentang Keistimewaan Aceh. UU tersebut juga memberi jaminan hukum tentang
pelaksanaan Syariat Islam sebagai hukum materiil yang digunakan di Aceh,
mengembangkan dan mengatur pendidikan sesuai dengan ajaran Islam,
mengembangkan dan menyelenggarakan kehidupan adat dan peran serta kedudukan
Ulama dalam penerapan kebijakan daerah. Apalagi kemudian diperkuat lagi dengan
UU No 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang memberikan keleluasaan
kepada Aceh untuk membuat qanun yang mengatur pelaksanaan syariat Islam. UU
tersebut menagatakan bahwa bidang ahwal al-syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah
(masalah kejahatan) yang didasarkan atas syariat Islam dapat diatur dengan qonun
(peraturan daerah), biarpun hingga tahun 2006 lalu, qonun yang sudah disahkan di
Aceh baru berupa qonun nomor 11 tentang aturan Syariat Islam, qonun nomor 12 soal
judi atau maisir, qonun nomor 13 tentang khamar atau minuman keras, serta qonun 14
tentang khalwat atau menyepi degan lawan jenis.

Penambahan Kompetensi Peradilan Agama

Pembagian kepada empat lingkungan badan peradilan tetap dipertahankan sejak


dari berlakunya UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan

5
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ketiga dan
keempat, pasal 24 A.

7
Kehakiman hingga kini, padahal UU tentang Pokok-pokok Kehakiman sudah
mengalami perubahan selama dua kali sejak berlakunya UU No. 14 tahun 1970.

Perubahan pertama yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 35 tahun 1999 tentang


perubahan terhadap UU No. 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang kemudian dirubah lagi dengan UU No. 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang berlaku hingga saat ini.

Sedangkan perkembangan Peradilan Agama pasca-reformasi baru


menunjukkan perkembangan yang signifikan pada masa pemerintahan Susilo bambang
Yudoyono. Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang dulu hanya berwenang memeriksa dan memutus
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,
serta Wakaf dan Shodaqoh, tetapi sekarang wewenangnya diperluas lagi setelah
diundangkannya UU No. 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas undang- undang No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga wewenangnya diperluas meliputi:
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi
syari’ah.26 UU No. 3 tahun 2006 itu muncul dalam rangka penegakkan dari undang
undang No. 7 tahun 1992 jo. Undang undang No. 10 tahun 1998 dan undang undang
No. 23 tahun 1999 tentang Sistem Perbankan Nasional yang mengizinkan
beroperasinya Sistem Perbankan Syari’ah.6

D. Perkembangan peradilan pada masa reformasi sampai sekarang

Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama


disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan kedudukan, struktur

6
Ari Wibowo, perkembangan ek si sten si peradilan agama di Indone sia menuju ke peradian satu atap.
Al-Mawarid Edisi XVII tahun 2007, hal 137

8
organisasi, tugas dan fungsi, sumber daya manusia, finansial dan sarana dan prasarana,

Struktur Organisasi, Tugas, dan fungsi Direktorat Jenderal Badan Peradilan


Agama yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut,
kemudian diimplementasikan dengan surat Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomer:
MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Mahkamah
Agung RI.

Dalam keputusan tersebut, ditentukan bahwa Direktorat Jenderal Badan Peradilan


Agama terdiri atas:

Sekretariat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama.

Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama.

Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama.

Tonggak awal berdirinya fondasi organisasi Peradilan Agama baru dimulai


tahun 2006. Yakni ketika status Badan Peradilan Agama yang awalnya hanya direktorat
kemudian meningkat menjadi Direktorat Jenderal setelah berada di Mahkamah Agung.
Pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama terdapat pengembangan jabatan, baik
jumlah maupun tingkat eselonnya. Peningkatan ini disamping sebagai penopang
pelaksanaan tugaas pokok dan fungsi organisasi, pada saat bersamaan juga membuka
peluang bagi pengembangan karir pegawai.

Di era reformasi, anggaran untuk badan peradilan dilingkungan Mahkamah


Agung mengalami peningkatan seiring dengan upaya peningkatan pelayanan publik
dibidang hukum dan peradilan. Begitu juga anggaran untuk lingkungan peradilan
agama yang dipusatkan pada Dirjen Badilag mengalami peningkatan yang signifikan
bila dibandingkan dengan sebelum satu atap, terutama sejak tahun 2005, 2006 dan

9
2007. Meskipun penganggaran tersebut dipusatkan di Dirjen Badilag, namun mulai dari
perencanaan progam dan penentuan jumlah/alokasi anggaran sampai pada
pengelolaannya diserahkan langsung kepada masing-masing Pengadilan Agama dan
pengadilan tinggi agama, selain juga ada anggaran yang direncankan dan dikelola pada
sekertariat Dirjen Badilang dan pada masing-masing direktorat.7

Gerakan Reformasi pada tahun 1998 bertujuan membentuk pemerintahan


demokrasi Indonesia baru, termasuk di bidang hukum. Langkah awalnya adalah
perbaikan sistem melalui perubahan dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang
mendasari penegakan hukum. Penyempurnaan tersebut bahkan dilakukan dalam bentuk
amandemen terhadap UUD 1945, yang sebelumnya dianggap “keramat” karena
merupakan “revolutiegroundwet”. Reformasi hukum berarti proses perubahan tatanan
hukum (constitutional reform). Konsekuensai logis dari penyempurnaan konstitusi
adalah penyempurnaan berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya,
termasuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Peradilan Agama di
Indonesia.22 Pada era Reformasi keberadaan Peradilan Agama selain didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya, juga terdapat peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum keberadaan Peradilan Agama dan
kewenangannya, peraturan perundang-undangan tersebut antara lain :

1. 1.UU No 35 tahun 1999 tentang Perubahan terhadap UU No 14 tahun 1970 tentang


Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

2. 3.UU No 14 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia.

3. 2.UU No 18 tahun 2001 tentang pembentukan Mahkamah Syari’ah di Nanggro


Aceh Darussalam.

7
Jaenal Aripin. Jejak langkah peradilan agama di Indonesia. (Jakarta, Prenada media. 2013), hal. 196

10
4. Kepres RI No 21 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
Agama.

5. UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang


Peradilan Agama.

6. UUD 1945 Hasil Amandemen Pasal 24 ayat 2, yang menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan militer, lingkungan
Peradilan Agama dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.

7. UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 18


menyebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

8. UU. No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU. No 7 Tahun 1989.

Gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998, yang ditandai dengan
runtuhnya rezim kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan
Presiden Soeharto, bertujuan membenahi kekeliruan pemerintahan Indonesia yang
terjadi selama 32 tahun berkuasannya kekuasaan otoriter Orde Baru, dengan
membentuk dan membangun pemerintahan Indonesia yang demokratis, bersih dan
berwibawa (clean governance). Untuk merealisasikan tujuan tersebut, gerakan
reformasi telah mendorong enam agenda yang harus dikerjakan untuk
"mengembalikan" Indonesia pada jalur yang benar. Agenda Reformasi tersebut adalah
penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);
mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan
dwifungsi TNI/Polri; serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya.

11
Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar bagi bangsa
Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang hukum. Empat
kali amandemen UUD 1945 cukup memberikan gambaran betapa perubahan tersebut
terjadi secara mendasar, yaitu pada level konstitusi. Dalam tatanan konstitusi baru
pasca amandemen, paradigma pembagian kekuasaan (division of power) yang
menjiwai UUD 1945 pra amandemen berubah menjadi paradigma pemisahan
kekuasaan (separation of power) yang tegas dalam konstitusi baru33

.Pada awal Reformasi bergulir tahun 1999 diundangkan UU No. 35 Tahun 1999
tanggal 31 Agustus 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai realiasasi awal dari
semangat supremasi hukum yang dikumandangkan dalam gerakan reformasi secara
total dalam.
E. Kewenangan Absolut Peradilan Agama Pada Masa Reformasi (jurnal absolute)

Pada masa ini kewenangan absolut Peradilan Agama tidak mengalami


perubahan walaupun adanya beberapa kali Amandemen UUD 1945 yang pada akhirnya
mengakibatkan perubahan-perubahan besar yang mendasar dalam sistem tata hukum
dan peradilan di Indonesia namun peraturan-peraturan yang mengatur tentang peradilan
khususnya Peradilan Agama belum mengalami perubahan, pada masa ini kompetensi
absolut Peradilan Agama masih sama dengan kewenangan Peradilan Agama pada masa
Orde Baru.

Kewenangan Absolut Peradilan Agama Pada Masa Pasca Reformasi

Pada masa ini kewenangan terjadi beberapa kali perubahan peraturan


perundang-undangan yang mengatur tentang Peradilan Agama, yaitu:

- UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama;

12
- UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.

Perubahan pertama menghapuskan hak opsi dalam perkara penyelesaian


sengketa waris yang semula para pihak berhak untuk memilih menyelesaikan melalu
Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri dihapus menjadi kewenangan pengadilan
agama dalam menyelesaikan sengekta waris apabila pewaris beramaga Islam. Dua
perubahan peraturan perundang-undangan tentang Peradilan Agama tersebut semakin
banyak memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama.

Pada masa ini terdapat pengkhususan dalam lingkungan Peradilan Agama di


Indonesia dengan adanya undang-undang ini, yaitu untuk daerah Nanggroe Aceh
Darussalam, Pelaksana peradilan di NAD adalah Mahkamah Syar‟iyah untuk peradilan
tingkat pertama dan Mahkamah Syar‟iyah Propinsi sebagai pengadilan tingkat
Banding dan untuk tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai peradilan
tertinggi.

Kewenangan Mahkamah Syar‟iyah didasarkan atas syari‟at Islam dalam


sistem hukum nasional yang diatur dalam Qanun Nanggroe Aceh Darussalam No. 10
Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam.

Kewenangan Peradilan Agama di Aceh meliputi:

- ahwal syahsiyah (hukum keluarga);

- muamalah (hukum perdata);

- Jinayah (hukum Pidana);

13
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan

Perkembangan peradilan di Indonesia pada masa orde baru sangat berarti ketika
diundangkan dan diberlakukannya UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No.1 Tahun 1989
diundangkan dan diberlakukan sehingga memberikan tempat kepada Peradilan Agama
di Indonesia sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974 emperbesar kekuasaan peradilan khususnya
dibidang perkawinan. Salah satu aspek yang terkait dengan perkembangan peradilan
islam di Indonesia yaitu dirumuskannya kompilasi Hukum Islam ia merupakan bentuk
penyelesaian masalah keragaman hukum substansial dalam melaksanakan tugas dan
wewenang peradilan di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan dikalangan
orang-orang yang beragama islam.
Rincian mengenai kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama yaitu mencakup kewarisan, perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak dan
ekonomi syari’ah. Asas-asas Peradilan Agama sejak amandemen orang orang yang
berperkara pada pengadilan yaitu orang-orang yang beragama Islam yang mana
penyelesaian perkara tersebut di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Wilayah yang
berkuasa dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara
disesuaikan dengan kedudukan daerah hukumnya masing-masing. Kewenagan
mengadili dalam Peradilan Agama hanya perkara tertentu yaitu perkara yang biasa
terjadi pada masyarakat islam. Dalam mengadili sengketa Hak milik kewenangan
peradilan agama dalam menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara dalam Pasal
50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009. Dalam memeriksa
perkara terdapat kewenangan yang menuntut adanya penundaan pemeriksaan dan
penyelesaian dua perkara.

keberadaan PA di Indonesia, karena kondisi perpolitikan sudah relatif lebih


demokratis dan tidak sentralistik, maka berpengaruh terhadap kondisi kondisi PA

14
yang semakin maju dan berkembang, baik dari aspek yustisial maupun non yustisial,
terutama setelah berlakunya UU No 3 Tahun 2006 serta UU No 50 Tahun 2009.
Perbandingan antara kondisi Peradilan Agama pada masa Orde Baru dengan orde
Reformasi nampak sangat signifikan, pada masa orde baru karena kondisi perpolitikan
bersifat otoriter, sentralistik dan tidak demokratis maka menjadikan Peradilan Agama
sebagai peradilan yang tidak independen dan termarginalkan bila dibandingkan dengan
peradilan lainnya yang ada di Indonesia. Sedangkan di era Reformasi dimana kondisi
perpolitikan sudah sangat demokratis, tidak sentralistik maka berpengaruh terhadap
kondisi kondisi Peradilan Agama yang semakin maju dan berkembang, baik dari aspek
yudisial maupun non yudisial, terutama setelah berlakunya UU No 3 Tahun 2006 serta
UU No 50 Tahun 2009.

15
Daftar Pustaka
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga Peradilan Indonesia Di Era Reformasi,
Vol. IV Nomor 2,Juli-Desember 2008

Kitab Shirath al-Mustaqim ditulis berdasarkan mazhhab syafi’i. kitab ini diklaim sebagai
kitab hukum pertama yang ditulis oeh ahli hukum Indonesia.

UU No. 22 tahun 1926 ini pada awalnya hanya berlaku bagi Jawa dan Madura. Namun
demikian baru pada tahun 1954 pihak departemen agama berhasil memperoleh
persejutuan parlemen untuk memberlakukan undang-undang ini semua derah diluar Jawa
dan Madura.

Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lemabaga Negara RI
No. 114, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, pasal 1 butir 7.

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen


ketiga dan keempat, pasal 24 A

Ari Wibowo, perkembangan eksistensi peradilan agama di Indonesia menuju ke peradian


satu atap. Al-Mawarid Edisi XVII tahun 2007, hal 137

Jaenal Aripin. Jejak langkah peradilan agama di Indonesia. (Jakarta, Prenada media. 2013),
hal. 196

16
17

You might also like