Professional Documents
Culture Documents
Sejarah Peradilan Islam Pada Masa Reformasi
Sejarah Peradilan Islam Pada Masa Reformasi
ABSTRACT
ABSTRAK
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga Peradilan Indonesia Di Era Reformasi, Vol. IV
Nomor 2,Juli-Desember 2008.
3
Dalam perkembangannya Peradilan Agama mengalami pertumbuhan dan
perkembangan dalam rentang waktu yang panjang, sejak Islam menjadi kekuatan politik
di Indonesia pada masa munculnya kerajaan-kerajaan Islam sampai yang kita lihat saat
ini.
Pada masa Orde Baru pemerintah terkesan memarginalkan umat Islam, namun
2
Moh Sutomo, dkk, Akar Historis Pengadilan Agama Masa Orde Baru, Jurnal
Pemikiran dan Penelitian Sosial Keagamaan
4
di era Reformasi yang demokratis pemerintah terlihat membuka peluang yang sebesar-
besarnya bagi kemajuan Peradilan Agama, namun terkesan masih setengah hati.
Sehingga dari hal tersebut perlu dicari jawaban terhadap persoalan bagaimana
sebetulnya dinamika politik Peradilan Agama di era Orde Baru dan era Reformasi,
sehingga dari hal tersebut kemudian berpengaruh terhadap political will pemerintah
dalam menyikapi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia.
3
Malik Ibrahim, Peradilan Agama di Era Orde Baru dan Reformasi Suatu
Studi Perbandingan, (Yogyakarta: Supremasi Hukum, 2015, hal. 304-308
5
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
6
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum Islam datang ke Indonesia telah ada dua macam peradilan, yaitu
Peradilan Pradata dan Perdilan Padu. Materi hukum Peradilan Pradata bersumber dari
ajaran Hindhu dan ditulis dalam Papakem. Sedangkan Peradilan Padu menggunakan
hukum materiil tidak tertulis yang berasal dari kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Dalam
prakteknya, Peradilan Pradata menangani persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan wewenang raja, sedangkan Peradilan Padu menangani persoalan
-persoalan yang tidak berhubungan dengan wewenang raja.
4
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dan Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), Ed.
1, Cet. 1; xxii, hal.294.
7
mendasar dalam bidang hukum pada masa reformasi, yaitu dengan dilakukannya
amandemen atas UUD 1945 yang berbunyi: “penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya
dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Agama,
Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi". Ketentuan Konstitusi ini ditindaklanjuti dengan
lahirnya UU No.35 Tahun 1999 tentang Sistem Peradilan Satu Atap, UU No. 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Amandemen atas UU No. 14 Tahun 1970
tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman), dan UU No.48 Tahun 2009
(Amandemen atas UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). 5
Namun, ketika lahirnya UU No. 35 Tahun 1999 terjadi polemik pro dan kontra
mengenai pengalihan Peradilan Agama kepada Mahkamah Agung. Hal ini disebabkan
oleh karena adanya satu pasal yang menyebutkan bahwasannya pengalihan Peradilan
Agama ke Mahkamah Agung tidak diberikan batas waktu yang ditentukan, berbeda
dengan peradilan lain yang maksimal masa peralihannya adalah 5 tahun. Sehingga,
menimbulkan penafsiran bahwasannya waktu yang tidak ditentukan tersebut bisa
5
Kosim, Peradilan Agama Pada Masa Reformasi dalam Perspektif Teori Sosial, Teori Hukum
Ketatanegaraan dan Teori Living Law, Al Mahkamah, Vol 1 No. 1 2013, hal. 4.
6
Kitab Shirath al-Mu staqim ditulis berdasarkan mazhhab syafi’i. kitab ini diklaim sebagai kitab hukum
pertama yang ditulis oeh ahli hukum Indonesia.
8
terjadi secepatnya atau malah tertunda dan tidak akan terjadi penyatuatapan. 7
Atas hal tersebut, maka tim kerjasama antara Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama dan Fakultas Syari’ah IAIN Jakarta pada tahun 2000 melakukan penelitian
mengenai “Respon hakim, panitera, karyawan Peradilan Agama, dan masyaraat
muslim terhadap UU No. 35/1999”. Hasilnya menunjukkan bahwasannya 97% dari
kalangan Peradilan Agama menyetjui adanya penyatuatapan. Sedangan dari kalangan
mahasiswa, dosen, dan tokoh Islam hanya 23% responden yang menyetujui adanya
penyatuatapan.11 Pro dan kontra tersebut berlangsung lama dan dalam rangka
mewujudkan peradilan satu atap maka disusunlah empat buah RUU, yaitu RUU
Kekuasaan Kehakiman, RUU Perubahan UU MA, RUU Perubahan Peradilan Umum
dan RUU Perubahan PTUN yang akhirnya sampai pada diundangkannya UU No.4
Tahun 2004 mengenai Kekuasaan Kehakiman. 8
7
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dan Bingkai Reformasi Hukum Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008), Ed.
1, Cet. 1; xxii, hal. 302
8
Atho Mudzhar, Perdadilan Satu Atap dan Profesi Advokat, (Jakarta: Puslitbang Kehidupan Beragama,
2005), hal.97.
9
disahkan dan diundangkan tanggal 29 Desember tahun 1989 ditempatkan dalam
Lembaran Negara RI No. 49 Tahun 1989 dan tambahan dalam lembaran negara nomor
3400. Isi dari UU No. 7 Tahun 1989 terdiri atas tujuh bab, meliputi 108 pasal.
1
0
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat
pengakuan secara resmi. Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad
No. 152 yang merupakan pengakuan resmi.terhadap eksistensi Peradilan Agama dan
hukum Islam di Indonesia. Staatsblad ini dapat dianggap sebagai titik awal dimulainya
interaksi dua sistem peradilan, Islam dan Barat. Selanjutnya pada tahun 1931
pemerintah kolonial membentuk sebuah komisi yang bertugas membicarakan masa
depan Peradilan Agama. Hasil dari komisi ini berupa dikeluarkannya Staatsblad No. 53
yang terdiri dari tiga bagian; bagian I tentang perubahan nama Pengadilan dari
Priesterrad menjadi Penghoeloegerecht. Bagian II memuat aturan tentang campur
tangan landrad dalam soal peradilan harta bagi orang- orang Indonesia asli. Bagian III
memuat pembentukan Balai Harta Peninggalan bagi orang Indonesia asli.Karena
Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori reseptie, maka pada tahun
1937 keluarlah staatsblad 1937 No. 116.
Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam
persoalan waris dan masalah masalah lain yang berhubungan dengan harta benda,
terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah
perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa
Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri,
melainkan harus dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.
1
1
sebagai alat oleh Belanda untuk mengatakan bahwa Peradilan Agama adalah sarang
korupsi. Demikianlah liku-liku eksistensi Peradilan Agama pada masa kerajaan serta
penjajahan Belanda. Sedangkan pada masa penjajahan Jepang tidak ada perubahan
signifikan tentang eksistensi Peradilam Agama sampai memasuki kemerdekaan dan
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Pada masa awal pasca-kemerdekaan atau Pra-Reformasi
Ternyata teori resepsi masih mendominasi pikiran para pengacara Indonesia,
khususnya yang bekerja di lembaga legislatif dan yudikatif. Hal ini ditunjukkan
melalui berlakunya hukum adat dalam kerangka hukum nasional, khususnya
berlakunya hak-hak masyarakat adat (hak ulayat) yang diatur dalam UU No. 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Pertanian (UUPA). Bahkan seolah-olah semuanya terus
berjalan seolah-olah hukum Islam yang berlaku di masyarakat hanya berlaku jika
hukum adat sudah menerimanya. Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari
1946, berdirilah Departemen Agama. Kementerian Agama bisa menggabungkan
seluruh lembaga pengelola organisasi Islam menjadi satu lembaga nasional.
Diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jelas menunjukkan niat
untuk menyatukan penyelenggaraan perkawinan, talak dan rujuk di seluruh Indonesia
di bawah pengawasan Departemen Agama sendiri.3
Pada masa ini, Pengadilan Agama dan Mahkamah Islam Tinggi yang telah ada
tetap berlaku berdasarkan Aturan Peralihan. Selang tiga bulan berdirinya Departemen
Agama yang dibentuk melalui Keputusan Pemerintah Nomor 1/SD, Pemerintah
mengeluarkan penetapan No. 5/SD tanggal 25. Maret 1946 yang memindahkan semua
urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari Departemen
3
UU No. 22 tahun 1926 ini pada awalnya hanya berlaku bagi Jawa dan Madura. Namun demikian
baru pada tahun 1954 pihak departemen agama berhasil memperoleh persejutuan parlemen untuk
memberlakukan undang-undang ini semua derah diluar Jawa dan Madura.
1
2
Kehakiman kepada Departemen Agama. Sejak saat itulah peradilan agama menjadi
bagian penting dari Departemen Agama.
C. Pasca Reformasi
9
Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah
Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lemabaga Negara RI No. 114,
Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, pasal 1 butir 7.
6
Sementara untuk tingkat kasasi tetap dilakukan di Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24A UUD
1945 Amandemen ketiga dan keempat, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang.5
5
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen ketiga dan
keempat, pasal 24 A.
7
Kehakiman hingga kini, padahal UU tentang Pokok-pokok Kehakiman sudah
mengalami perubahan selama dua kali sejak berlakunya UU No. 14 tahun 1970.
6
Ari Wibowo, perkembangan ek si sten si peradilan agama di Indone sia menuju ke peradian satu atap.
Al-Mawarid Edisi XVII tahun 2007, hal 137
8
organisasi, tugas dan fungsi, sumber daya manusia, finansial dan sarana dan prasarana,
9
2007. Meskipun penganggaran tersebut dipusatkan di Dirjen Badilag, namun mulai dari
perencanaan progam dan penentuan jumlah/alokasi anggaran sampai pada
pengelolaannya diserahkan langsung kepada masing-masing Pengadilan Agama dan
pengadilan tinggi agama, selain juga ada anggaran yang direncankan dan dikelola pada
sekertariat Dirjen Badilang dan pada masing-masing direktorat.7
7
Jaenal Aripin. Jejak langkah peradilan agama di Indonesia. (Jakarta, Prenada media. 2013), hal. 196
10
4. Kepres RI No 21 tahun 2004 tentang pengalihan organisasi, administrasi dan
finansial di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan
Agama.
6. UUD 1945 Hasil Amandemen Pasal 24 ayat 2, yang menyebutkan bahwa kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan militer, lingkungan
Peradilan Agama dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
8. UU. No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas UU. No 7 Tahun 1989.
Gerakan reformasi yang terjadi pada tahun 1998, yang ditandai dengan
runtuhnya rezim kekuasaan otoriter Orde Baru di bawah kepemimpinan mantan
Presiden Soeharto, bertujuan membenahi kekeliruan pemerintahan Indonesia yang
terjadi selama 32 tahun berkuasannya kekuasaan otoriter Orde Baru, dengan
membentuk dan membangun pemerintahan Indonesia yang demokratis, bersih dan
berwibawa (clean governance). Untuk merealisasikan tujuan tersebut, gerakan
reformasi telah mendorong enam agenda yang harus dikerjakan untuk
"mengembalikan" Indonesia pada jalur yang benar. Agenda Reformasi tersebut adalah
penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN);
mengadili mantan Presiden Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan
dwifungsi TNI/Polri; serta pemberian otonomi daerah seluas- luasnya.
11
Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang sangat besar bagi bangsa
Indonesia dalam berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali bidang hukum. Empat
kali amandemen UUD 1945 cukup memberikan gambaran betapa perubahan tersebut
terjadi secara mendasar, yaitu pada level konstitusi. Dalam tatanan konstitusi baru
pasca amandemen, paradigma pembagian kekuasaan (division of power) yang
menjiwai UUD 1945 pra amandemen berubah menjadi paradigma pemisahan
kekuasaan (separation of power) yang tegas dalam konstitusi baru33
.Pada awal Reformasi bergulir tahun 1999 diundangkan UU No. 35 Tahun 1999
tanggal 31 Agustus 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai realiasasi awal dari
semangat supremasi hukum yang dikumandangkan dalam gerakan reformasi secara
total dalam.
E. Kewenangan Absolut Peradilan Agama Pada Masa Reformasi (jurnal absolute)
- UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama;
12
- UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
13
BAB II
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkembangan peradilan di Indonesia pada masa orde baru sangat berarti ketika
diundangkan dan diberlakukannya UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No.1 Tahun 1989
diundangkan dan diberlakukan sehingga memberikan tempat kepada Peradilan Agama
di Indonesia sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan kekuasaan
kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974 emperbesar kekuasaan peradilan khususnya
dibidang perkawinan. Salah satu aspek yang terkait dengan perkembangan peradilan
islam di Indonesia yaitu dirumuskannya kompilasi Hukum Islam ia merupakan bentuk
penyelesaian masalah keragaman hukum substansial dalam melaksanakan tugas dan
wewenang peradilan di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan dikalangan
orang-orang yang beragama islam.
Rincian mengenai kewenangan absolut pengadilan dalam lingkungan peradilan
agama yaitu mencakup kewarisan, perkawinan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak dan
ekonomi syari’ah. Asas-asas Peradilan Agama sejak amandemen orang orang yang
berperkara pada pengadilan yaitu orang-orang yang beragama Islam yang mana
penyelesaian perkara tersebut di pengadilan tingkat pertama dan kedua. Wilayah yang
berkuasa dalam menerima, memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara
disesuaikan dengan kedudukan daerah hukumnya masing-masing. Kewenagan
mengadili dalam Peradilan Agama hanya perkara tertentu yaitu perkara yang biasa
terjadi pada masyarakat islam. Dalam mengadili sengketa Hak milik kewenangan
peradilan agama dalam menerima, memeriksa dan menyelesaikan perkara dalam Pasal
50 ayat (1) dan (2) UU No. 3 Tahun 2006 jo, UU No. 50 Tahun 2009. Dalam memeriksa
perkara terdapat kewenangan yang menuntut adanya penundaan pemeriksaan dan
penyelesaian dua perkara.
14
yang semakin maju dan berkembang, baik dari aspek yustisial maupun non yustisial,
terutama setelah berlakunya UU No 3 Tahun 2006 serta UU No 50 Tahun 2009.
Perbandingan antara kondisi Peradilan Agama pada masa Orde Baru dengan orde
Reformasi nampak sangat signifikan, pada masa orde baru karena kondisi perpolitikan
bersifat otoriter, sentralistik dan tidak demokratis maka menjadikan Peradilan Agama
sebagai peradilan yang tidak independen dan termarginalkan bila dibandingkan dengan
peradilan lainnya yang ada di Indonesia. Sedangkan di era Reformasi dimana kondisi
perpolitikan sudah sangat demokratis, tidak sentralistik maka berpengaruh terhadap
kondisi kondisi Peradilan Agama yang semakin maju dan berkembang, baik dari aspek
yudisial maupun non yudisial, terutama setelah berlakunya UU No 3 Tahun 2006 serta
UU No 50 Tahun 2009.
15
Daftar Pustaka
Muhammad Muhtarom, Perkembangan Lembaga Peradilan Indonesia Di Era Reformasi,
Vol. IV Nomor 2,Juli-Desember 2008
Kitab Shirath al-Mustaqim ditulis berdasarkan mazhhab syafi’i. kitab ini diklaim sebagai
kitab hukum pertama yang ditulis oeh ahli hukum Indonesia.
UU No. 22 tahun 1926 ini pada awalnya hanya berlaku bagi Jawa dan Madura. Namun
demikian baru pada tahun 1954 pihak departemen agama berhasil memperoleh
persejutuan parlemen untuk memberlakukan undang-undang ini semua derah diluar Jawa
dan Madura.
Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Lemabaga Negara RI
No. 114, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4132, pasal 1 butir 7.
Jaenal Aripin. Jejak langkah peradilan agama di Indonesia. (Jakarta, Prenada media. 2013),
hal. 196
16
17