Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 21

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH GELAR BANGSAWAN TERHADAP ELEKTABILITAS CALON


LEGISLATIF DAN DPD PADA PEMILU 2019 DI DAPIL DIY

Disusun Oleh :

Muhammad Luqman Hakiim

20170520255

PRODI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


Daftar Isi

A. Pendahuluan................................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................... 3
C. Tujuan Peneltian........................................................................................................... 3
D. Literature Review......................................................................................................... 4
E. Kerangka Teori............................................................................................................. 6
F. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional.............................................................. 12
G. Metodologi Penelitian.................................................................................................. 13
Daftar Pustaka................................................................................................................... 15

ii
A. LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Sesuai apa yang
termaktub dalam Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 1 ayat 2 yang berbunyi
kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang – Undang Dasar 1945.
Rakyat memegang otoritas tertinggi dalam negara sehingga secara langsung dapat memantau
penyelenggaraan pemerintah. Menurut Mirriam Budiardjo demokrasi Indonesia adalah
demokrasi Pancasila yang memiliki corak khas, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. (Miriam Budiardjo, 2009)

Menurut Robet Dahl dalam Ramlan Surbakti dkk, konsekuensi logis demokrasi adalah
adanya pemilihan umum (pemilu) sebagai suatu sistematika dan cara yang digunakan untuk
mendapatkan kekuasaan. (Surbakti, Supriyanto, & Asy’ari, 2011). Untuk menduduki jabatan
politis yang memiliki otoritas, rakyat terlebih dahulu mengikuti pemilu untuk dipilih secara
langsung oleh rakyat lainnya. Setiap rakyat memiliki hak yang sama dalam hal dipilih dan
memilih.

Di Indonesia pemilu dilaksanakan untuk memilih presiden dan wakil presiden, kepala
daerah, dan anggota legislatif baik ditingkat pusat maupun daerah. Untuk menduduki jabatan
tersebut diperlukan sebuah kendaraan yang disebut partai politik. Parta politik adalah suatu
kelompok terorganisir yang anggota – anggotanya mempunyai orientasi, nilai – nilai dan cita cita
yang sama (Mirriam Budiardjo, 2009). Tujuan ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik
dan merebut kedudukan politik.

Sistem pemilu yang digunakan di Indonesia adalah sistem proporsianal terbuka. Dimana
pemenang pemilu adalah yang mendapat suara terbanyak. Pemilih dapat menentukan pilihannya
dengan langsung memilih konstituennya, tidak harus memilih partainya. Dalam pemilihan
legislatif sistem pemilu proporsional terbuka mendorong caleg untuk membranding atau
meningkatkan elektabiltasnya. Hal ini dilakukan karena pemilih tidak cenderung lagi memilih
partai tetapi lebih memilih personal dari calonnya.

Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan


(Ferianto, 2016). Elektabilitas partai politik berarti tingkat keterpilihan partai politik di publik.
Elektabilitas partai tinggi berarti partai tersebut memiliki daya pilih yang tinggi. Untuk

1
meningkatkan elektabilitas maka objek elektabilitas harus memenuhi kriteria keterpilihan dan
juga populer. (Ferianto, 2016). Setiap objek pilihan dalam hal ini calon legislatif harus
memenuhi kriteria – kriteria pemilih. Setiap kelompok masyarakat memiliki kriteria – kriteria
yang sangat heterogen. Ada yang memandangnya secara religiulitas dan juga yang
memandangnya secara adat istiadat dan kebudayaan.

Salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan elektabilitas adalah dengan
menunjukkan gelar kebangsawanan. Menurut penelitian Umi Kulsum eksistensi kalangan
bangsawan merupakan golongan masyarakat yang disegani baik di dalam pemerintahan atau di
masyarakat luas (Kalsum, 2009). Hal inilah yang dicoba oleh para politisi untuk mendapatkan
dukungan yang luas dari masyarakat. Strata sosial (kelas atas) yang dimiliki oleh kalangan
bangsawan menjadi sebuah peluang yang besar untuk menarik dukungan atas dirinya dalam
pemilu.

Budaya promordialisme yang masih dijunjung tinggi dan diwariskan ke generasi penerus
juga merupakan faktor pendukung dari masalah ini. Bagi masyarakat tradisional bangsawan
diasumsikan sebagai salah satu manifestasi tuhan sehingga apa yang diputuskan tidak
mengandung suatu kesalahan. Penghormatan dan ketundukan masyarakat terhadap bangsawan
(raja) terkadang tidak dipandang sesuai dengan kualitas dan kapabilitasnya. Hal ini mengakar
kuat dalam masyarakat jawa khususnya masyarakat di Yogyakarta.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta ada dua keraton atau kerajaan yang masih sangat
berpengaruh dalam kehidupan masyarakatnya. Yaitu Keraton Kesultanan Yogyakarta dan
Keraton Pakualaman. Bahkan, sultan dari kedua kerajaan ini secara otmatis menempati jabatan
politis yang strategis yaitu gubernur dan wakil gubernur. Kerabat keraton (bangsawan) sering
terlibat dalam perpolitikan nasional. Karena posisi mereka yang cukup dihormati oleh
masyarakat menjadikan hal ini sebagai modal menjadi politisi.

Muncul dua politisi besar yang mencoba menunjukkan identitas kebangsawanannya. Dua
politisi ini berasal dari masing – masing keraton yang ada di Yogyakarta. Gusti Kanjeng Ratu
(GKR) Hemas yang merupakan istri dari Sri Sultan Hamengkubuwono X yang merupakan
sulatan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kanjeng Raden Mas Tumenggung Roy Suryo
yang diberikan gelar bangsawan oleh Keraton Pakualaman. GKR Hemas bertarung untuk

2
merebutkan kursi DPD yang mewakili daerah konstituen Yogyakarta dan KRMT Roy Suryo
untuk merebutkan kursi DPR RI Dapil Yogyakarta.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas menujukkan bahwa gelar bangsawan
mampu mengantarkan GKR Hemas mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan DPD pada
tahun 2019. Sedangkan KRMT Roy Suryo yang juga menjadi calon legislatif DPR RI Dapil
Yogyakarta namun gagal menang dalam pemilu tersebut. Oleh karena itu, penelitian ini
menentukan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh gelar bangsawan terhadap elektabilitas dalam kontestasi pemilu


2019 ?
2. Apa faktor yang menyebabkan gelar bangsawan dapat meningkatkan elektabilitas dalam
kontestasi kontestasi pemilu 2019 ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT

1. Tujuan
a. Untuk mengetahui pengaruh gelar bangsawan terhadap elektabilitas dalam
kontestasi pemilu 2019
b. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan gelar bangsawan dapat
meningkatkan elektabilitas dalam kontestasi pemilu 2019
2. Manfaat
a. Bagi Masyarakat
Menambah wawasan dan sebagai pertimbangan untuk menentukan pilihan dalam
pemilu
b. Bagi Partai Politik
Dapat digunakan sebagai referensi dalam menyusun strategi pemenangan partai
dalam pemilu.

3
D. LITERATURE REVIEW

Penelitian ini menggunakan 15 literature review dari artikel yang berbeda tentu saja
berkaitan dengan tema penelitian, yaitu pengaruh gelar bangsawan dan elektabilitas. Dari
berbagai artikel yang telah dibaca dan melakukan teknik taxanomi, peneliti membagi menjadi
dua kelompok bahasan. Kelompok pertama berisikan berbagi literature tentang keterlibatan
bangsawan dalam pilkada dan kelompok kedua adalah tentang elektabilitas.

Bangsawan seringkali terlibat dalam kontestasi pemilu di berbagai daerah di Indonesia.


Penelitian yang dilakukan oleh Amrianto dengan judul Peranan Elit Tradisional Dalam Dinamika
Politik Lokal Pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Wakatobi 2014 menyebutkan bahwa
pengaruh ketokohan dalam pemilu legislatif dikabupaten Wakatobi masih sangat dominan,
kekuatan partai dalam memperoleh dukungan suara sangat kecil sekali. Untuk memperoleh
dukungan yang besar dari masyarakat kekuatan ketokohan menjadi salah satu daya tarik dalam
pemilu legislatif. Figur elit tradisional memang pada dasarnya menjadi salah satu ciri dari politik
lokal yang terjadi di Kabupaten Wakatobi (Amrianto, 2014).

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Utomo juga menyebutkan bahwa kaum
bangsawan berpolitik menggunakan simbol-simbol keningratan keraton sebagai alat untuk
pencitraan politik dan agar dianggap “tinggi” oleh masyarakat Cirebon. Tetapi cara semacam ini
masih banyak berpengaruh pada pemilih tradisional (para abdi dalem, keturunannya, dan para
warga atau masyarakat sekitar keraton), karena mereka pemilih tradisional masihlah
menganggap tinggi para bangsawan keraton Cirebon (Utomo, 2017).

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Basir dengan judul Bangsawan
dalam Pilkada (studi kasus pemilihan kepala daerah di Bone) lain juga menunjukkan hal yang
sama. Bangsawan tidak lepas dari sistem patron klien yang mengikat semua pengikutnya dengan
memberatkan pengikutnya sehingga tidak lepas dengan dirinya. Meskipun masyarakat mengerti
tentang pentingnya itelektualitas dan kapabilitas dalam memilih pemimpian akan tetapi sistem
kekerabatan masih sangat dominan untuk menentukan pilihannya (Basir, 2016).

Disisi lain, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ernawati berbeda dengan sebelumnya. Di
dalam penelitiannya disebutkan bahwa dominasi keterpilihan bangsawan dalam kontestasi
pemilu mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena internal kaum bangsawan yang

4
terpecah karena perebutan suara dan juga dominasi pengusaha dan mantan kades yang semakin
kuat (Ernawati, 2019).

Selain itu penelitian yang dilakukan oleh M. Tahir, Fitriani, dan Nahruddin menyebutkan
bahwa adanya praktik liberaliasasi Bangunan kontruksi habitus Andi serta masyarakat dalam
struktur sosial di pinrang saling terkait dan politik yang menampilkan kembali para aktor lokal
yakni para bangsawan ini justru berimplikasi pada keretakan di tubuh bangsawan itu sendiri dan
berujung pada konflik yang terjadi di arena pilkada (Tahir et al., 2017).

Di dalam memenangkan pemilu bangswan tidak hanya menonjolakan idetitasnya, tetapi


juga memanfaatkan sistem kekerabatan. Penelitian yang dilakukan oleh Lerry menyebutkan
bahwa Sistem kekerabatan di Mandar sangat berpengaruh dalam penentuan pilihan calon Bupati
dan Wakil Bupati pada Pilkada 2015 di Kabupaten Majene (Lery, 2016). Bangsawan juga tidak
hanya terlibat dalam kontestasi politik di Indonesia, tetapi bangsawan juga sering menjadi elit
pemerintahan. Penelitian yang dilakukan oleh Kulsum menemukan fakta bahwasanya eksistensi
bangsawan di Kabupaten Sumenep merupakan kelompok masyarakat yang sangat disegani baik
di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan (Kalsum, 2009).

Eksistensi bangsawan di dalam pemerintahan juga masih dihargai oleh masyarakat lokal.
Penelitian yang dilakukan oleh Rismawidiawati menujukkan bahwa Keberadaaan Kedatuan
Luwu yang masih ada sampai sekarang, walaupun fungsinya tidak sama lagi seperti di masa lalu,
serta para elit yang didominasi oleh kaum bangsawan (andi) di Luwu merupakan satu gambaran
bahwa masyarakat masih tetap memercayai akan kehadiran bangsawan sebagai tokoh yang
ditakdirkan untuk menjalankan roda pemerintahan (Rismawidiawati, 2016) Selain itu, Penelitian
yang dilakukan oleh Nurfaizah menyebutkan bahwa bahwa persepsi kepemimpinan masyarakat
banten dipengaruhi dan memiliki hubungan yang kuat terhadap profil calon kepala daerah
(Nurfaizah, 2016).

Kelompok literature merupakan artikel yang berkaitan dengan elektabilitas. Di dalam


meningkatkan elektabilitas bakal calon menggunakan berbagai macam strategi. Penelitian yang
dilakukan oleh Arafat dan Rahmah menyebutkan bahwa untuk meningkatkan elektabilitas
kandidat atau partai politik melalui iklan politik yang menggunakan berbagai media (Arafat &
Rahmah, 2019).

5
Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Sari menyebutkan bahwa untuk meningkatkan
elektabilitas tim kampanye Muzakir Manaf sebagai calon Gubernur Aceh 2017 menggunakan
strategi political marketing dengan pendekatan pemasaran produk politik secara langsung kepada
calon pemilih (push political marketing), pemasaran produk politik (Muzakir Manaf) melalui
media massa (pull political marketing) dan melalui kelompok, tokoh atau organisasi yang
berpengaruh (pass political marketing) (Sari, 2017).

Peningkatan elektabilitas juga mengguakan branding akuntabilitas partai politik. Di DIY


akuntabilitas partai politik tidak berpengaruh secara signifikan terhadap elektabilitas partai
politik dikarenakan belum mendapatkan perhatian dalam perpolitikan masyarakat Indonesia
(Wibowo, 2014).

Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Aspinall dan Mas’udi juga menyebutkan bahwa
dalam pemilu di Indonesia sering menggunakan politik identitas dengan menggunakan etnis,
agama, dan lainnya untuk memobilisasi masa (Aspinall & Mas’udi, 2019). Calon kadang
menggunakan identitas sebagai senjata untuk melawan saingannya yang minoritas, seperti terjadi
pada tahun 2017 dalam Pilkada DKI Jakarta.

Berdasarkarkan beberapa kajian literature diatas menunjukkan bahwa bangsawan sering


menggunakan posisinya sebagai usaha untuk meningkatkan elektabilitas dalam Pilkada. Selain
itu, di dalam pemilu untuk meningkatkan elektabilitas beberapa calon kandidiatdalam pemilu
menggunakan berbagai cara seperti; menggunakan media sosial, menggunakan iklan politik, dan
memanfaatkan politik identitas. Sedangkan penelitian ini lebih fokus mencari pengaruh dari
penggunaan gelar bangsawan baik yang diterima karena kekerabatan ataupun karena diberikan
oleh keraton terhadap elektabiitas dalam pemilihan umum tahun 2019 di Dapil DIY.

E. KERANGKA TEORI

1) Gelar Bangsawan
a) Pengertian
Gelar bangsawan di Indonesia adalah gelar yang diberikan kepada masyarakat kraton dan
masyarakat disekitar kraton karena dianggap berjasa (Wibowo, 2014). Masyarakat kraton
mencakup orang yang memiliki garis keturuanan langsung dengan raja atau keluarga raja.

6
Selain itu juga termasuk elite atau bangsawan yang mengabdikan dirinya untuk
kepentingan kraton.

b) Makna gelar bangsawan


i) Sebagai simbolis
Gelar bangsawan hanya dijadikan sebagai simbol-simbol adat. Tidak memiliki
otoritas dan legitimasi untuk melaksanakan sebuah pemerintahan.
ii) Sebagai filosifis
Gelar Bangsawan dijadikan seebagai sebuah pandangan hidup atau cara hidup
masyarakat.
c) Gelar Bangsawan Kesultanan Yogyakarta
i) Penguasa Kesultanan: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan
Hamengkubawana Ingkang Jumeneng Ka-... Suryaning Mataram Senopati-ing-
Ngalaga Langgeng ing Bawono, Langgeng, Langgeng ing tata Panatagama (pasca
Sabdaraja)
ii) Penguasa Kesultanan: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan
Hamengkubawana Ingkang Jumeneng Ka-... Suryaning Mataram Senopati-ing-
Ngalaga Langgeng ing Bawono, Langgeng, Langgeng ing tata Panatagama (pasca
Sabdaraja)
iii) Penguasa Kesultanan: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan
Hamengkubawana Ingkang Jumeneng Ka-... Suryaning Mataram Senopati-ing-
Ngalaga Langgeng ing Bawono, Langgeng, Langgeng ing tata Panatagama (pasca
Sabdaraja)
iv) Penguasa Kesultanan: Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan
Hamengkubawana Ingkang Jumeneng Ka-... Suryaning Mataram Senopati-ing-
Ngalaga Langgeng ing Bawono, Langgeng, Langgeng ing tata Panatagama (pasca
Sabdaraja)
v) Anak lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden
Mas (GRM)
vi) Anak lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden
Mas (GRM)
d) Gelar BangsawanKeraton Pakualaman
i) Anak lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden
Mas (GRM)
ii) Anak lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden
Mas (GRM)
iii) Anak lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden
Mas (GRM)

7
iv) Anak lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden
Mas (GRM)
v) Anak lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden
Mas (GRM)
vi) Anak lelaki selain putra mahkota dari permaisuri ketika masih muda: Gusti Raden
Mas (GRM)
2) Elektabilitas

Menurut Dendy Sugiono (2008, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia hlm.29)
menjelaskan tentang Elektabilitas sebagai berikut:

Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan.Elektabilitas


bisa diterapkan kepada barang, jasa maupun orang, badan atau partai. Elektabilitas sering dibicarakan
menjelang pemilihan umum. Elektabilitas partai politik berarti tingkat keterpilihan partai politik di
publik. Elektabilitas partai tinggi berarti partai tersebut memiliki daya pilih yang tinggi.Untuk
meningkatkan elektabilitas maka objek elektabilitas harus memenuhi kriteria keterpilihan dan juga
populer. Sedangkan popularitas adalah tingkat keterkenalan di mata public. Meskipun populer belum
tentu layak dipilih. Sebaliknya meskipun punya elektabilitas sehingga layak dipilih tapi karena tidak
diketahui publik, maka rakyat tidak memilih. Untuk meningkatkan elektabilitas maka sangat
tergantung pada teknik kampanye yang dipergunakan. Dalam masyarakat yang belum berkembang,
kecocokan profesi tidak menjadi persoalan.Yang perlu diingat, tidak semua kampanye berhasil
meningkatkan elektabilitas.Ada kampanye yang menyentuh, ada kampanye yang tidak menyentuh
kepentingan rakyat.Sementara itu ada kampanye yang berkedok sebagai survei, dengan tujuan untuk
mempengaruhi orang yang sulit membuat keputusan dan sekaligus mematahkan semangat lawan
Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan.
Elektabilitas bisa diterapkan kepada barang, jasa maupun orang, badan atau partai.
Elektabilitas sering dibicarakan menjelang pemilihan umum. (Ferianto, 2016). Elektabiltas
calaon legislatif (caleg) adalah tingkat keterpilihan caleg di mata publik. Elektabilitas caleg
yang tinggi maka memiliki daya pilih yang tinggi.

Elektabilitas calon legislatif juga dapa diartikan sebagai tingkat ketertarikan (preferensi)
seorang pemilih kepada calon legislatif. Semakin tinngi ketertarikan maka elektabilitas caleg
juga akan menjadi naik. Elektabiltas biasanya digunakan untk mengukur potensi seorang
caleg dapat memenangkan sebuah pemilu. Tanpa memiliki elektabilitas yang baik, maka
kecil juga kemungkinan caleg tersebut mampu menduduki kursi-kursi legislative

Dalam masyarakat, sering diartikan, orang yang populer dianggap mempunyai


elektabilitas yang tinggi. Sebaliknya, seorang yang mempunyai elektabilitas tinggi adalah
orang yang populer. Popularitas dan elektabilitas tidak selalu berjalan seiring. Orang yang
memiliki elektabilitas tinggi adalah orang yang dikenal baik secara meluas dalam

8
masyarakat. Ada orang baik, yang memiliki kinerja tinggi dalam bidang yang ada
hubungannya dengan jabatan publik yang ingin dicapai, tapi karena tidak ada yang
memperkenalkan menjadi tidak elektabel. Sebaliknya, orang yang berprestasi tinggi dalam
bidang yang tidak ada hubungannya dengan jabatan publik, boleh jadi mempunyai
elektabilitas tinggi karena ada yang mempopulerkannya secara tepa

Bila kita memaknai beberapa pengertian elektabilitas yang tertera diatas maka dapat
dibuat suatu asumsi bahwa elektabilitas meliputi: perilaku, pribadi, sikap dan persepsi.
Perilaku berkaitan dengan tindakan–tindakan yang dilakukan, sedangkan pribadi dan sikap
berkaitan dengan perasaan dan emosi, dan persepsi berkaitan dengan tingkat pengetahuan
yang dimililki oleh manusia. Olehnya itu tingkat elektabilitas dapat diukur dengan
memperhatikan unsur pengetahuan, sikap dan dukungan yang dimiliki oleh kahalayak.

3) Pemilu 2019
a) Pengertian

Pemilihan umum menurut Darmawan adalah mekanisme memilih pemimpin-pemimpin


yang akan meduduki jabatan politik strategis tertentu didalam lembaga-lembaga politik
formal, yakni lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di tingkat pusat dan daerah (Fitri,
2019).

Selain itu, menurut Tricahyo dalam bukunya yang berjudul reformasi pemilu,
mendefinisikan pemilu sebagai instrument yang mewujudkan kedaulatan rakyat yang
bermaksud membentuk pemerintahan yang absah serta serta sarana mengartikulasikan
aspirasi dan kepentingan rakyat (2009:6)

Kemudian munurut Al-Iman pemilihan umum adalah memilih penguasa, pejabat, atau
lainnya dengan jalan menuliskan nama yang dipilih dalam secarik kertas atau dengan
memberikan suaranya dalam pemilihan (M. AL-Iman, 2004).

Menurut Surbakti, dkk sebagaimana dikutip (Solihah, 2019)

Sistem pemilu legislatif dalam pemilihan umum dibagi atas tiga sistem utama, yaitu: (1)
sistem mayoritarian. Sistem mayoritarian merupakan sistem yang menyediakan satu kursi
atau single constituency dalam daerah pemilihan, dan ditentukan oleh perolehan suara
terbanyak; (2) sistem proporsional, yaitu kebalikan dari sistem mayoritarian. Setiap

9
daerah pemilihan tersedia banyak kursi dengan perolehan kursi parpol secara
proporsional dengan ketentuan jumlah suara terbanyak; dan (3) sistem semiproporsional
merupakan gabungan kedua sistem di atas.

Sedangkan untuk pemilihan eksekutif yaitu memilih presiden dan wakil presiden.
Menurut surbakti yang dikutip (Solihah, 2019) sistem dilakukan dengan dua cara, yaitu.
Pertama, pemilu secara langsung (populary elected) adalah calon yang mendapatkan suara
terbanyak ditetapkan sebagai presiden terpilih, Sedangkan dalam pemilu tidak langsung
(electoral college) adalah dilakukan melalui porsi suara wakil rakyat (DPRD Provinsi atau
DPRD Kabupaten/ Kota) yang menjadi representasi rakyat dalam pemilihan umum presiden
dengan perolehan suara lebih 50%. Calon yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan
sebagai pemenang dalam pemilu secara langsung. Sedangkan dalam pemilu tidak langsung.
Calon yang menempatkan 50% wakilnya yang akan terpilih menjadi presiden.

b) Macam – macam Sistem Pemilihan umum


Menuru (Mirriam Budiardjo, 2009) sistem pemilihan umum memiliki dua prinsip pokok
yaitu :
a Single-member constituency (sistem distrik)
Dalam sitem distrik, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu
wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak).
b Multi-member Constituency (sistem proporsional)
Dalam sistem proporsional, satu wilayah besar (dapil) memilih beberapa wakil.
c) Fungsi Pemilu
Pemilihan umum memiliki fungsi yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu ;
a Pemilu merupakan implementasi perwujudan kedaulatan rakyat. Asumsi
demokrasi adalah kedaulatan terletak di tangan rakyat. Karena rakyat yang
berdaulat itu tidak bisa memerintah secara langsung maka melalui pemilu rakyat
dapat menentukan wakilwakilnya dan para wakil rakyat tersebut akan
menentukan siapa yang akan memegang tampuk pemerintahan
b Pemilu merupakan sarana untuk membentuk perwakilan politik. Melalui pemilu,
rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang dipercaya dapat mengartikulasikan

10
aspirasi dan kepentingannya. Semakin tinggi kualitas pemilu, semakin baik pula
kualitas para wakil rakyat yang bisa terpilih dalam lembaga perwakilan rakyat.
c Pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin atau rotasi
kekuasaan secara konstitusional. Pemilu bisa mengukuhkan pemerintahan yang
sedang berjalan atau untuk mewujudkan reformasi pemerintahan. Melalui pemilu,
pemerintahan yang aspiratif akan dipercaya rakyat untuk memimpin kembali dan
sebaliknya jika rakyat tidak percaya maka pemerintahan itu akan berakhir dan
diganti dengan pemerintahan baru yang didukung oleh rakyat.
d Pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi.
Pemberian suara para pemilih dalam pemilu pada dasarnya merupakan pemberian
mandat rakyat kepada pemimpin yang dipilih untuk menjalankan roda
pemerintahan. Pemimpin politik yang terpilih berarti mendapatkan legitimasi
(keabsahan) politik dari rakyat. Melalui pemilu, keabsahan pemerintahan yang
berkuasa ataupemimpin politik dapat ditegakkan, begitu pula program dan
kebijakan yang dihasilkannya.
e Pemilu merupakan sarana partisipasi politik masyarakat untuk turut serta
menetapkan kebijakan publik. Melalui pemilu rakyat secara langsung dapat
menetapkan kebijakan publik melalui dukungannya kepada kontestan yang
memiliki program-program yang dinilai aspiratif dengan kepentingan rakyat.
Kontestan yang menang karena didukung rakyat harus merealisasikan janji-
janjinya itu ketika telah memegang tampuk pemerintahan
d) Tipe Pemberian suara dalam pemilu
Menurut (Nimmo, 2010) ada empat tipe pemberian suara dalam pemilu, yaitu :
a Tipe rasional, merupakan sikap berani seseorang dalam memutuskan pemberian
suara. Orang yang rasional selalu dapat mengambil keputusan bila dihadapkan
dengan pilihan. Memilih pilihan-pilihan tersebut secara sadar. Menyusun
alternative-alternatif dengan cara transtitif. Pemberi suara rasional berminat
secara aktif terhadap politik.
b Tipe reaktif, memiliki ketertarikan emosional dengan partai politik sebagai
idntitas partai, yakni sebagai sumber utama atas aksi diri dan pemberi suara.
Semakin kuat ikatan parta itu, semakin dibesar-besarkan pula persepsinya.

11
c Tipe responsive, adalah pemberi suara yang mudah berubah dengan mengikuti
waktu, peristiwa politik, kondisi sesaat. Meskipun memiliki kesetiaan pada
pasrtai, tetapi afiliasi itu ternyata mempengaruhi perilakunya dalam pemberian
suara. Hubungan dengan partai politik lebih rasional ketimbang emosional.
Pemberi suara suara yang responsid lebih dipengarhi oleh faktor-faktor jangka
pendek, terutama kepentingan dalam pemilihan umum tertent, dibanding oleh
kesetiaan jangka panjang kepada kelompok atau kepada partai politik. Jadi tipe
responsive lebih bersifatsituasional.
d Tipe aktif, adalah pemberisuara yang terlibat aktif dalam menafsirkan
personalitas, peristiwa, isu, dan partai politik, dengan menetapkan dan menyusun
maupun menerima, serangkaian pilihan yang diberikan. Para pemberi suara
merumuskan citra politik tentang apa yang diperhitungkan oleh meraka dengan
berbagai varian.

F. Definisi Konseptual dan Definisi Operasional

1. Definisi Konseptual
Definisi konseptual adalah suatu pemikiran yang berusaha untuk menjelaskan mengenai
pembatasan pengertian antara konsep satu dengan lain. Definisi konseptual juga
merupakan penggambaran hubungan konsep-konsep khusus yang menentukan variable
yang saling berhubungan. Adapun definisi konseptual pada peneliian ini yaitu;
a. Gelar Bangsawan adalah gelar yang diberikan kepada masyarakat kraton dan
masyarakat disekitar kraton karena dianggap berjasa.
b. Elektabilitas adalah tingkat ketertarikan pemilih terhadap calon legislatif yang
disesauaikan dengan kriteria pilihan.
c. Pemilu adalah sistem yang berlaku untuk prtarungan politik , baik pertarungan
politik pada kandidat maupun partai
2. Definisi Operasional
Definisi Operasional merupakan bagian yang terpenting dalam proses penelitian. Definisi
operasional akan memberikan petunjuk dalam mengukur suatu variable dalam melakukan
kegiatan penelitian. Melalui definisi operasional maka, akan ditentukan indicator variable

12
dan bagaimana mengukur indicator tersebut. Adapun definisi operasinal dalam penelitian
ini adalah :
1) Gelar Bangsawan
a. Sebagai simbolis
b. Sebagai filosofis
2) Elektabilitas
a. unsur pengetahuan
b. sikap
c. dukungan yang dimiliki oleh kahalayak

G. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif


merupakan penelitian yang bertujuan untuk memahami suatu fenomena dalam konteks sosial
secara alamiah dengan mengedepankan proses interaksi komunikasi secara mendalam antara
peneliti dengan fenomena yang akan diteliti (Herdiansyah, 2010). Penelitian kualitatif lebih
menekankan kepada proses dari pada hasil, hal tersebut disebabkan adanya hubungan dengan
bagian-bagian yang sedang diteliti akan lebih jelas apabila diamati dari segi proses.

Penelitian ini menggunakan pendektaan kualitatif studi kasus. Penelitian kasus adalah
suatu proses pengumpulan data dan informasi secara mendalam, mendetail, intensif, holistic,
dan sistematis tentang orang, kejadian, sosial setting, atau kelompok dengan menggunakan
berbagai metode dan teknik serta banyak sumber informasi untuk memahami secara efektif
bagaimana orang, kejadian, latar alami (sosial setting) itu beroperasi sesuai konteksnya
(Yusuf, 2014).

2. Lokasi Peneletian
Penelitian ini dilakukan di Daerah Pilihan Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi 4
kabupaten dan satu kota yaitu : Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon
Progo, Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta.
3. Unit Analisa

13
Berdasarkan Pembahasan diatas yang menjadi unit analisa dari penelitian ini adalah
Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari setiap kabupaten. Selain itu yang menjadi unit analisa
yaitu tim kampanye dari GKR Hemas sebagai calon anggota DPD dan juga tim
kampenye Roy Suryo sebagai calon anggota DPR RI dari Partai Demokrat.
4. Jenis Data
a. Data Primer
Data primer adalah semua data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang
diucapkan secara lisan melalui wawancara. Informan adalah sumber data yang
berupa orang. Orang dalam penelitian ini dipilih dengan harapan dapat
memberikan keterangan yang diperlukan untuk melengkapi atau memperjelas
jawaban dari responden secara langsung (Arikunto, 2010: 22).
b. Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini didapat dari kajian-kajian yang telah
dilakukan sebelumnya untuk digunakan sebagai pendukung dalam analisa kasus-
kasus yang terjadi sehingga memperkuat studi dalam penelitian ini. Data sekunder
dalam penelitian ini meliputi kajian dokumentasi; berita media massa dalam
mempublikasikan kasus-kasus yang terjadi serta kajian-kajian penelitian terdahulu
yang tentunya berhubungan dengan penelitian ini.
5. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara menjadi penting dalam sebuah penelitian kualitatif karena
akan menggali informasi yang di transformasikan dalam bentuk kata-kata.
Wawancara merupakan suatu percakapan dengan memiliki tujuan tertentu yang
dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) sebagai penanya dan pihak
yang diwawancarai (narasumber) sebagai pemberi jawaban atas pertanyaan
(Putra, 2018).
b. Studi Dokumentasi
Selain menggunakan metode wawancara, peneliti juga menggunakan
metode dokumentasi. Dokumentasi dapat diartikan sebagai suatu catatan tertulis
atau bergambar yang berkaitan dengan sesuatu hal yang telah terjadi, serta
merupakan suatu fakta-fakta dan data yang tersimpan dalam berbagai bahan yang

14
berbentuk dokumentasi. Studi dokumentasi dilakukan dengan cara menyelidiki
data seperti dari dokumen, catatan, file, atau hal-hal lain yang sudah di
dokumentasikan (Djaelani, 2013).
6. Teknik Analisi Data
Teknik analisa data dalam penelitian kualitatif menjadikan obyektivitas data
sebagai instrument dengan memberikan kesempatan luas kepada obyek untuk
menyampaikan informasi. Artinya peneliti tidak memiliki hak untuk melakukan treatment
dengan mengarahkan responden untuk memilih jawaban tertentu ataupun menyampaikan
informasi keluar dari obyek yang diteliti. Analisis data lebih mengarah untuk
mengorganisasikan suatu temuan yang kemudian mengkonstruksikan temuan tersebut
kedalam bentuk satuan yang dapat dikelola menjadi informasi-informasi penting. Dari
analisis ini kemudian akan diperoleh kesimpulan makna terhadap obyek penelitian,
sehingga bermanfaat dalam penguatan data penelitian yang sedang dilakukan.
a. Reduksi Data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan secara tertulis di lapangan. Reduksi data juga merupakan
bagian dari teknis analisis data. Reduksi data adalah bentuk analisis yang
menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, memilah, dan mengorganisasi data
dengan sedemikian rupa sehingga mendapatkan kesimpulan finalnya dapat ditarik
dan diverifikasi. Data kualitatif yang didapatkan akan lebih mudah
disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara, yaitu : melalui
seleksi, menggolongkan dalam satu pola yang luas, melalui ringkasan atau uraian
singkat, dan lain-lain.
b. Penyajian Data
Miles dan Huberman dalam Praditia (2013), berpendapat bahwa
membatasi suatu penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian
yang baik menjadi salah satu cara utama untuk analisis kualitatif yang valid,
dengan meliputi : grafik, jaringan, bagan, dan matrik. Semua informasi
digabungkan dalam satu bentuk padu agar mudah diraih. Penganalisis akan dapat

15
melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan
yang benar atau terus melangkah melakukan analisis dengan saran yang
dikisahkan oleh penyaji sebagai sesuatu yang berguna.
c. Menarik Kesimpulan
Miles dan Huberman dalam Praditia (2013), berpendapat bahwa penarikan
kesimpulan sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh. Kesimpulan
tersebut akan diverifikasi selama penelitian berlangsung. Verifikasi tersebut
mungkin sesingkat pemikiran yang melintas dalam pikiran penganalisis selama ia
menulis serta tinjauan ulang catatan-catatan saat dilapangan. Makna-makna yang
muncul dari data yang lain harus diujikan kebenarannya, kekokohannya, dan
kecocokannya, yaitu validitasnya. Kesimpulan akhir tidak hanya terjadi diwaktu
proses pengumpulan data saja, tetapi juga perlu diverifikasi agar benar-benar
dapat dipertanggungjawabkan. Berikut skematis proses analisis data menurut
Miles dan Huberman dalam sebuah penelitian.

16
DAFTAR PUSTAKA

Amrianto. (2014). PERANAN ELIT TRADISIONAL DALAM DINAMIKA POLITIK LOKAL


PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI KABUPATEN WAKATOBI 2014.

Arafat, G. Y., & Rahmah, N. A. (2019). MEDIA POLITIK : SARANA PENDONGKRAK


ELEKTABILITAS SEBAGAI STRATEGI PEMENANGAN. 18(1), 91–97.

Aspinall, E., & Mas’udi, W. (2019). The 2017 Pilkada Politics and Social Networks ( Local
Elections ) in Indonesia : Clientelism , Programmatic. 39(3). https://doi.org/10.1355/cs39-
3a

Basir, M. (2016). Bangsawan Dalam Pilkada (Studi Kasus: Pemilihan Kepala Daerah Di
kabupaten Bone) SKRIPSI (Universitas Hasanuddin; Vol. 3).
https://doi.org/https://doi.org/10.3929/ethz-b-000238666

Budiardjo, Miriam. (2009). Dasar Dasar Ilmu Politik (Edisi revi). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Budiardjo, Mirriam. (2009). Dasar Dasar Ilmu Politik (Edisi revi). Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Ernawati. (2019). Pasang Surut Kuasa Bangsawan dalam Proses Demokratisasi di Bone. Jurnal
Imlu Pemerintahan, 12.

Ferianto, R. (2016). Pengaruh Kampanye Terhadap Elektabilitas Pasang Incubent Dalam


Pemilukada Kabupaten 2015. (1987), 15–25.

Fitri, A. (2019). DINAMIKA DAN TANTANGAN JELANG PEMILU PRESIDEN TAHUN 2019
Adelia Fitri. 3(01), 113–131.

Kalsum, U. (2009). Eksistensi Bangsawan (Golongan Darah Biru) dalam Pemerintahan


Kabupaten Sumenep (Studi Tentang Partisipasi Politik Golongan Darah Biru). Institut
Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

Lery, A. A. (2016). Sistem Kekerabatan Dalam Penentuan Pilihan Calon Bupati Dan Wakil
Bupati Pada Pilkada 2015. Universitas Hasanuddin.

M. AL-Iman. (2004). Membongkar Dosa-Dos Pemilu. Jakarta: Prisma Media.


17
Nimmo, D. (2010). Komunikasi Politik Khalayak dan Efek. Bandung: PT Remaja Roskadary.

Nurfaizah, S. (2016). KEPEMIMPINAN ( Survei Terhadap Masyarakat Pemilih di Provinsi


Banten ). Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Rismawidiawati. (2016). BERTAHANNYA BANGSAWAN LUWU (SUATU ANALISA


BUDAYA POLITIK ORANG BUGIS). Patanjala, 8, 413–428.

Sari, R. yulia. (2017). Strategi Rakan Mualem dalam Meningkatkan Elektabilitas Muzakir Manaf
Sebagai Calon Gubernur Aceh pada Pilkada Tahun 2017 Ronita. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
FISIP Unsyiah, 2, 1–12.

Solihah, R. (2019). Peluang dan tantangan pemilu serentak 2019 dalam perspektif politik. 3(1),
73–88. https://doi.org/10.14710/jiip.v3i1.3234

Surbakti, R., Supriyanto, D., & Asy’ari, H. (2011). Menyederhanakan Waktu Penyelenggaraan
Pemilu : Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah (S. Pramono, Ed.). Jakarta: Kemitraan bagi
Pembaruan Tata Pemerintahan.

Tahir, M. M., Sari, F., Razak, H., Nahruddin, Z., Studi, P., Pemerintahan, I., & Makassar, U. M.
(2017). Keterlibatan Kaum Bangsawan dalam Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) di
Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan. 5(1), 163–185.

Utomo, F. (2017). KONSTRUKSI CITRA KAUM BANGSAWAN: SEBUAH STUDI


KOMUNIKASI POLITIK PADA BANGSAWAN KERATON CIREBON. Jurnal
Mediakom, 1, 107–125.

Wibowo, E. A. (2014). AKUNTABILITAS PARTAI POLITIK DAN ELEKTABILITAS PARTAI


POLITIK : STUDI KASUS PADA PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU DI PROPINSI
DIY TAHUN 2014.

Yusuf, A. M. (2014). Metode Penelitian. Jakarta: Prenadamedia Group.

18
19

You might also like