Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

The Place of the Shariat, the Tariqah, the Hakekat and the

Makrifat in Sufism
e-mail : faimahazzahra120205@gmail.com
m.raffin.au1204@gmail.com
FATIMAH, M. RAFFIN
Program Studi Ilmu Al-Quran Dan Tafsir, Fakultas
Ushuluddin,Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim,
Riau,Indonesia
ABSTRACT
Abstract: It emphasises that Shariat is the basis for the spiritual
path, and Tariqah is the method of drawing closer to God.
Hakekat reflects the obsession with the absolute existence of
God, while Makrifat is the deep knowledge through the heart of
spiritual realities.The position of tariqah, shariat makrifat and
hakekat in Sufism is that they are interrelated stages of spiritual
evolution. Sharia provides the moral and ethical foundation for
Sufism practitioners, tariqah provides the method or path to
achieve spiritual realisation, hakekat is the direct experience of
Divine reality, and makrifat is the pinnacle of spiritual
understanding. In the practice of Sufism, individuals start by
obeying religious laws (shariat), then develop spiritual
understanding through practice and self-control (tarekat).
Through dedication and deep spiritual experience, they can
reach the level of makrifat where they have deep insight into
God. The culmination of this spiritual journey is hakekat, where
the individual experiences union with God. The relationship
between Shariat, Tariqah, Hakekat and Makrifat is likened to
the structure of a coconut, each of which has an important role
to play in the spiritual journey, and the existence of one without
the other has no true meaning. In Sufism, this structure is
likened to the layers of a coconut: shariat as the outer shell for
spreading the religion, tariqah as the shell that protects and
connects to the essence, and hakekat as the meat of the
coconut that holds the secret of spiritual immortality. Makrifat is
an eternal oil that comes after a certain process. It is important
that the essence without the shariat is void, and the shariat
without the essence has no true meaning. Thus, the whole
structure is complementary and inseparable.
Keywords : Shariat, Tariqah, Hakekat, Makrifat

1
2

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Tasawuf atau yang juga disebut oleh kaum
orientalis sebagai sufisme merupakan ilmu tentang
ketuhanan. Sedangkan dalam terminologi Islam, tasawuf
diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang cara
mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh hubungan
langsung seorang hamba dengan Tuhannya. Tasawuf
merupakan salah satu aspek penting dalam Islam,
sekaligus sebagai perwujudan dari ihsan yang menyadari
adanya hubungan langsung antara hamba dan
Tuhannya.1
Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud
(menjauhi hal duniawi) dalam Islam, pada
perkembangannya melahirkan tradisi Mistisme Islam.
Tarekat sering dihubungkan dengan Syiah , Sunni, dan
cabang Islam lainnya, atau kombinasi dari beberapa
tradisi. Pemikiran Sufi Muncul pada abad ke-8 di Timur
Tengah, sekarang tradisi ini sudah terbesar ke seluruh
belahan dunia.2

1
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama, 2006), hlm. 22-25.
2
Paimat Sholihin, Pemikiran Tasawuf Prespektif Syari’at Islam, Sharia Economic
Management Business Journal, no. 1 (2021) : 1
3

Tasawuf juga salah satu cabang ilmu Islam yang


tekanan dimensi atau aspek rohani dari Islam,
spiritualisasi ini dapat mengambil bentuk yang beragam di
dalamnya. Orang yang mengikuti jalan tasawuf disebut
juga dengan sufi. Dilihat dari segi amalan serta jenis ilmu
yang dipelajari ,maka terdapat beberapa istilah yang khas
dari ilmu tasawuf. Kaum sufi membagi ajaran agama
kepada ilmu lahiriah dan ilmu batiniah. Oleh karena itu
cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui
aspek lahir dan batin. Kedua aspek yang terkandung
dalam ilmu agama tersebut oleh kaum sufi dibagi menjadi
empat kelompok, yaitu syari’at, tarekat, hakikat, ma’rifat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kedudukan syari’at, tarekat, hakikat,
ma’rifat dalam sufisme?
2. Bagaimana hubungan syari’at, tarekat, hakikat,
ma’rifat dalam sufisme?
4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan syari’at, tarekat, hakikat, ma’rifat dalam


sufisme.
1. Syari’at

Syari’at, yaitu aturan kehidupan yang meliputi


segala aspek kehidupan berupa penyembahan atau
ibadah (shalat, puasa, zakat dan haji), ekonomi, politik
dan moral kemasyarakatan. Syari’at berhubungan dengan
amalan lahiriah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia yang menjadi titik tolak keberangkatan
dalam perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang
ingin menempuh jalan sufi, mereka harus memperkuat
syari’atnya terlebih dahulu. Syari’at menjadi syarat mutlak
bagi sālik (penempuh jalan ruhani) menuju Allah Swt.
Orang-orang sufi berkeyakinan ilmu batin tidak akan bisa
diperoleh bila seseorang tidak melakukan amalan lahiriah
secara sempurna. Tanpa adanya syari’at maka batallah
apa yang diusahakannya. Sumber syariat adalah Al-
Quran dan Sunnah.3

Al Ghazali dalam Ihya’ Ulum al Din yang masyhur


dalam dunia tasawuf maupun syari’ah mengungkapkan
suatu anggapan dasar yang sampai hari ini menjadi

3
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: PT. Gelora Aksara
Pratama, 2006), hlm. 27-28.

5
6

pedoman para sufi, terutama di Indonesia. Ungkapan


tersebut adalah

“Man tashawwafa wa lam yatafaqqah faqad


tazandaqa. Wa man Tafaqqaha wa lam yatashawwaf
faqad tafassaqa. Wa man jama’a Bainahuma faqad
tahaqqaqa”.4

“Barang siapa mempelajari tasawuf tanpa


melakukan Syari’ah maka dia akan jadi kafir zindiq; dan
barang siapa Melakukan syari’ah tanpa
(mengesampingkan) tasawuf maka Dia akan terjerumus
ke dalam kefasikan; barang siapa yang Mengumpulkan
keduanya maka sesungguhnya dia telah Menggapai
hakikat”.

2. Tarekat

Dari segi bahasa, kata tarekat berasal dari kata


‫ الَّط ِر ْي ُق‬jamaknya ‫ ُط ُر ُق‬dan ‫ الْط ُر ُق‬yang bermakna jalan,
lorong atau gang. Kata tersebut diturunkan menjadi
bentuk masdar (kata benda) dari kata yang memiliki arti
jalan atau cara metode. 5

Secara terminologi beberapa ilmuwan memiliki


pengertian tentang tarekat

4
Abu Hamid Al-Ghazali, Al Kasyf wa al Tabyin, (Kediri: Maktabah Muhammad Utsman,
tt.), hlm. 67.
5
Prof. H.A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Cet. II, (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 263.
7

a. Al-Jurjani (w.816 M), tarekat ialah metode khusus


yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju
Allah SWT. melalui tahapan-tahapan.

b. Harun Nasution (w.1998 M) tarekat adalah jalan


yang harus ditempuh oleh seseorang calon sufi agar ia
berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.

c. Aboebakar Atjeh (w. 1953 M), tarekat adalah


jalan atau petunjuk dalam melakukan suatu ibadah yang
sesuai dengan ajaran yang ditentukan Nabi dan
dikerjakan oleh sahabat dan tabi’in. turun temurun sampai
kepada guru-guru, secara berantai.

d. Abu Al-Wafa Al-Taftazani, tarekat diartikan


sekumpulan sufi yang tunduk dalam aturan-aturan
tertentu yang terperinci dalam tindakan spiritual, hidup
secara berkelompok di dalam ruang-ruang peribadatan
atau berkumpul secara berkeliling dalam momen-momen
tertentu, serta membentuk majelis-majelis ilmu dan zikir
secara organisasi.

e. Nurcholish Madjid (w. 2005 M), tarekat adalah


jalan menuju Allah guna mendapatkan ridha-Nya dengan
menta’ati ajaran-ajaran-Nya.

Jalan yang harus ditempuh oleh seorang sufi dalam


tujuan berada sedekat mungkin dengan Allah Swt.
Metode yang dilakukan sufi supaya senantiasa dekat
kepada Allah SWT. diantaranya dengan membersihkan
8

diri dari sifat-sifat tercela, mengisinya dengan sifat-sifat


terpuji dan memperbanyak membaca zikir dengan penuh
keikhlasan Semata-mata mengharapkan untuk bertemu
dan bersatu secara rūḥiyah dengan Tuhan.6

3. Hakikat

Hakikat, yaitu ilmu yang digunakan untuk mencari


suatu kebenaran sejati mengenai Tuhan. Kebenaran
sejati dan mutlak sebagai akhir dari perjalanan, tujuan
segala jalan. Tarekat, hakikat dan syari’at tidak dapat
dipisahkan bahkan saling berhubungan. Sebagaimana
yang dikemukakan Imam Maliki:

“Orang yang mengamalkan fiqih tanpa


mengamalkan tasawuf, maka ia telah berbuat fasik.
Barangsiapa mengamalkan tasawuf tanpa fiqih, ia telah
menjadi kafir zindiq, dan barangsiapa mempraktikkan ilmu
tasawuf disertai ilmu syariat maka ia menjadi ahl al-haqq
atau ahl alhaqīqāt.”

Para sufi menyebut diri mereka “ahl al-haqiqah.”


Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap
yang hakiki. Karena itu, mudah dipahami kalau mereka
menyebut Tuhan dengan “al-Haqq,” seperti yang
tercermin dalam ungkapan al-Hallaj (w.992), “ana al-
Haqq” (aku adalah Tuhan). Obsesi terhadap hakikat
(realitas absolut) ini tercermin dalam penafsiran mereka
6
Untuk telaah lanjut tentang tarekat dapat dibaca tulisan Al-Jurjani. At-Ta’rifaat. Mesir,
1938, Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Jakarta, 1996; J.S.Trimmingham, The
sufi Order on Islam, London, 1971; dan lain-lain.
9

terhadap formula “la ilaha illa Allah” yang mereka artikan


“tidak ada realitas yang sejati kecuali Allah.”7

Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki,


dalam arti yang betul-betul ada, sedangkan yang lain
keberadaannya tidaklah hakiki. Dialah yang Awal dan
yang Akhir, yang Lahir dan yang Bathin, penyebab dari
segala yang ada dan tujuan akhir, tempat mereka
kembali.

Hakikat adalah sebuah bentuk amalan hati yang


dilakukan dengan penuh kepasrahan pada Allah yang
mengantarkannya pada Ma’rifatullah dan nur tajalli
(terbukanya hijab dalam hati sehingga Tampaklah
cahaya-cahaya alam gaib). Dalam maqam ini, seseorang
dapat berhasil melewatinya dengan gemilang apabila hati
benar-benar bersih dan jernih dengan cara muraqabah
atau mendekatkan diri pada Allah, merendahkan hati
dalam arti tidak menuruti kemauannya terhadap segala
sesuatu yang disenanginya, menahannya sehingga
menjadi terlatih, berusaha bertata krama (beradab)
terutama dalam beribadah, tawadlu’ dan ber-akhlaqul
Karimah.

4. Ma’rifat
Makrifat, yaitu pengetahuan mengenai Tuhan
melalui hati (qalb). Pengetahuan yang dipelajari objeknya

7
Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: PT. Gelora Aksara
Prataman, 2006), hlm. 6-7.
10

bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, tetapi lebih


mendalam terhadap batinnya dengan mengetahui
rahasianya. Pengetahuan itu demikian lengkap dan jelas,
sehingga jiwanya merasa bersatu dengan Tuhan.
Dalam konteks sufisme, "ma'rifat" adalah istilah
yang mengacu pada pengetahuan atau pengenalan yang
mendalam terhadap Tuhan atau realitas spiritual. Ini
bukan sekadar pengetahuan intelektual, tetapi lebih
kepada pengalaman batiniah yang mendalam dan penuh
makna mengenai hakikat keberadaan.
Ma'rifat melibatkan proses pembersihan diri,
meditasi, penghayatan makna-makna spiritual, dan
pencarian kehadiran Tuhan dalam diri dan sekitar kita.
Hal ini sering dianggap sebagai tahapan penting dalam
perjalanan spiritual seorang sufi menuju penyatuan
dengan Tuhan. Ma’rifat berbeda dengan jenis
pengetahuan yang lain, tidak melalui representasi, image
atau simbol dari objek-objek penelitiannya itu. Seperti
indra menangkap objeknya secara langsung, demikian
juga “hati” atau intuisi menangkap objeknya secara
langsung. Perbedaannya terletak pada jenis objeknya.
Kalau objek indra adalah benda-benda indrawi
(mahsusat), objek-objek intuisi adalah entitas-entitas
spiritual (ma’qulat). Dalam kedua modus pengetahuan ini,
manusia mengalami objek-objeknya secara langsung,
dan karena itu ma’rifat disebut sebagai ilmu eksperiensial
11

(dzauqi), yang biasanya dikontraskan dengan


pengetahuan melalui nalar (bahtsi).

B. Hubungan syari’at, tarekat, hakikat, ma’rifat dalam


sufisme.

Struktur buah kelapa yang berlapis dijadikan oleh ulama


zaman dulu untuk menjelaskan tentang agama yang juga
mempunyai lapisan-lapisan. Kulit terluar kelapa bisa di
gambarkan sebagai syar’iat. Kulit kelapa berfungsi untuk
melindungi lapisan dalam terhadap benturan. Kulit dan
sabut kelapa juga berfungsi untuk penyebaran buah kelapa,
ketika buah kelapa jatuh ke air atau ke laut dia akan
mengapung. Itulah sebabnya kelapa bisa dijumpai di pulau
yang tidak berpenghuni di tengah laut, proses
penyebarannya karena buah kelapa mengapung di bawa
arus dan terdampar di pulau terasing kemudian tumbuh.

Kulit dan sabut kelapa ini sangat penting kedudukannya


karena berfungsi sebagai penyebar kelapa, sama halnya
dengan syari’at yang berfungsi untuk menyebarkan agama
ke seluruh muka bumi. Batok kelapa yang keras berada di
dalam kulit dan sabut kelapa bisa di ibaratkan dengan
Tarekat, keras dan juga tidak ada santan di dalamnya,
fungsinya melindungi secara langsung daging buah kelapa
dari gangguan-gangguan luar. Batok kelapa ini sebagai
tempat melekat dari daging kelapa dan juga sebagai
penghubung antara daging kelapa dengan kulit terluar.
12

Untuk bisa menembus batok kelapa yang keras diperlukan


kesungguhan dan usaha yang istiqamah. Berbeda dengan
kulit terluar kelapa dan sabut kelapa yang lebih mudah di
tembus dan lebih mudah dijumpai karena memang terlihat.
Karena di batok kelapa tidak ada daging apalagi santan,
maka seorang yang hanya menempel di tarekat tanpa mau
melaksanakan zikir dan istiqamah beramal, maka sama
seperti dia berada di kulit luar, sama dengan syari’at, tidak
mendapatkan apa-apa. 8

Sebagian ulama Tasawuf berpendapat bahwa


“sesungguhnya hakikat tanpa syari’at adalah batal, syari’at
tanpa hakikat itu tiada berarti”. Hakikat tanpa syari’at jelas
batalnya, kembali kepada definisi syari’at dan hakikat itu
sendiri. Dan syari’at tanpa hakikat menjadi tidak berarti,
sebagai contoh seseorang yang berzakat semata-mata
untuk mendapat pujian dari orang lain. Sudah jelas bahwa
Allah SWT. Memerintahkan kita untuk menunaikan zakat (ini
sebagai syari’atnya), akan tetapi Allah SWT. Memerintahkan
kita untuk berzakat adalah agar kita lebih mensyukuri
nikmat-Nya dan rizki yang kita peroleh menjadi berkah dan
manfaat, bukan karena ingin mendapat pujian. Syari’at
terpenuhi tetapi hakikat tidak terpenuhi, maka syari’at itu
tidak berarti. 9

8
M. Jamil, Cakrawala Tasawuf, ( Jawa Barat: Gaung Grasada Pers, 2004), hlm. 122.
9
Moh. Toriqqudin, Sekularisme Tasawuf, (Malang: UIN Malang, 2010), hlm.10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Syari’at merupakan aturan kehidupan yang mencakup


berbagai aspek, termasuk ibadah, ekonomi, politik, dan
moral. Tarekat adalah metode khusus yang digunakan oleh
para penempuh jalan spiritual menuju Allah. Hakikat
merupakan ilmu yang digunakan untuk mencari kebenaran
mutlak mengenai Tuhan. Ma’rifat adalah pengetahuan
mendalam mengenai Tuhan melalui hati.

Dalam analogi buah kelapa, syari’at diibaratkan


sebagai kulit terluar yang melindungi dan menyebarkan
agama. Tarekat, yang keras seperti batok kelapa,
melindungi dan menghubungkan dengan hakikat. Hakikat,
seperti daging kelapa, menyimpan rahasia keabadian
rohani. Ma’rifat, sebagai minyak yang bersifat abadi, muncul
setelah proses tertentu.

B. SARAN

Penulisan ini adalah salah satu dari analisis tentang


kedudukan syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat dalam
sufisme. Penulis berharap untuk dikemudian hari, karya ini
dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa dari berbagai
bidang ilmu untuk menggali lebih dalam dan kaya akan
pengetahuan mengenai syari’at, tarekat, hakikat dan ma’rifat
dalam sufisme.

13
DAFTAR PUSTAKA

Aboe Bakar Atjeh, Tarekat dalam Tasawuf, (Sega Arsy:


Bandung, 2017).

Hasyim Ali, Menuju Puncak Tasawuf: Mensucikan Batin


dengan Ilmu Syariat, Tarekat, Hakikat, Makrifat,
(Surabaya: Visi, 2006).

Islam, M. H. (2017). Tolerance in Persepective Of Qur’an


And Bibel (Comparative Analysis of Religious
Tolerance in Diverses Community). Humanistika, 3(2),
45-58

Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf, (PT


Gelora Aksara Pratama, Jakarta, 2006).

Mahmud, Abdul Halim. Tasawuf di Dunia Islam, (Pustaka


Setia, Bandung, 2001).

Siregar, Rifay, Tasawuf dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme,


(PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002).

14

You might also like