Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 6

Lafadz Ijab Kabul Dalam Akad Nikah Perspektif Madzhab Syafi’i Dan Maliki

(Studi Komparatif)
SITI FATIMAH
Institut Agama Islam Darussalam Martapura
sayyidatunafatimatuzzahro@gmail.com

Abstrak
Dalam pernikahan disyaratkan adanya Ijab dan Kabul. Ijab artinya kata pernikahan yang
diucapkan oleh wali calon pengantin wanita atau wakilnya, sedangkan Kabul artinya
perkataan menerima yang diucapkan oleh laki-laki yang dinikahkan atau wakilnya.
Beberapa mazdhab memberikan pengertian Ijab dan Kabul berbeda-beda dintaranya
menurut mazhab Syafi’i, Ijab merupakan suatu ucapan kerelaan untuk menyerahkan
sesuatu kepada pihak lain, dalam hal ini dilakukan oleh pihak wali calon istri, sedangkan
Kabul adalah suatu ucapan yang menunjukkan atas kerelaan dan kesiapan untuk
menerima sesuatu dari pihak lain, dalam hal ini dilakukan oleh pihak calon suami atau
yang mewakilinya. Mengenai lafadz-lafadz Ijab yang dibenarkan penggunaannya dalam
pelaksanaan akad perkawinan, mazhab Syafi’i mengatakan bahwa tidak sah akad kecuali
dengan menggunakan lafadz inkah atau zawaj, atau akar kata dari keduanya saja. karena
pendapat mazhab Syafi’i mengatakan bahwa sesungguhnya kalimat Allah yang
menghalalkan Faraj dalam Al Qur’an adalah kata inkah dan tazwij Menurut pendapat
mazhab Maliki Ijab merupakan suatu ungkapan yang menunjukkan atas suatu kerelaan
yang berasal dari mumallik (orang yang memiliki), sedangkan Kabul adalah suatu
ungkapan yang menunjukkan atas suatu kerelaan yang berasal dari mutamallik (orang
yang mencari kepemilikan). Mereka membagi lafadz Ijab menjadi dua yaitu lafadz sharih
dan lafadz ghairu sharih atau tidak jelas.
Kata Kunci: Akad, Nikah, Madzhab.

Abstract
Marriage requires consent and acceptance. Ijab means the word of marriage spoken by the
guardian of the prospective bride or his representative, while Kabul means the word of
acceptance spoken by the man being married or his representative. Several schools of
thought give different meanings to Ijab and Kabul, including according to the Syafi'i school
of thought, Ijab is an expression of willingness to hand over something to another party, in
this case carried out by the guardian of the prospective wife, while Kabul is an expression
that shows willingness and readiness. to receive something from another party, in this case
it is done by the prospective husband or his representative. Regarding the Ijab lafadz which
are justified in their use in carrying out marriage contracts, the Syafi'i school of thought
says that the contract is not valid unless it uses the lafadz inkah or zawaj, or the root words
of both. because the opinion of the Shafi'i school of thought says that in fact the words of
Allah that justify Faraj in the Qur'an are the words inkah and tazwij. According to the
opinion of the Maliki school of thought, Ijab is an expression that shows a willingness that
comes from the mumallik (the person who owns it), while Kabul is an expression that
shows a willingness that comes from the mutamallik (person who seeks ownership). They
divide Ijab lafadz into two, namely sharih lafadz and ghiru sharih or unclear lafadz.
Keywords: Akad, Nikah, Madzhab.

PENDAHULUAN
Islam mengatur semua perilaku manusia dalam bentuk ajaran-ajaran Islam atau yang
lebih dikenali dengan syariat islam. Islam sebagai sebuah cara hidup yang universal dan menjadi
rahmat kepada seluruh alam hadir dengan aturan-aturan yang menjadi perlindungan hak bagi
kehidupan manusia di seluruh alam ini dan sesuai diaplikasikan di setiap kondisi, masa dan
tempat yang berbeda dengan tujuan mewujudkan ketertiban dan kemaslahatan seluruh alam.
Allah S.W.T memerintahkan kita agar memeluk agama islam dan mengamalkan ajaran
ajarannya serta tidak mencari agama lain selainnya, sebagaimana firman Allah SWT dalam
surah Al-Baqarah ayat 208:
‫َي ا َأُّيَه ا اَّل ِذ يَن آَم ُن وا اْدُخ ُل وا ِفي الِّس ْلِم َك اَّف ًة َو اَل َتَّتِبُع وا ُخ ُط َو اِت الَّش ْيَطاِن ِإَّن ُه َلُك ْم َع ُد ٌّو ُم ِبيٌن‬
Artinya: “Wahai orang-orang beriman, masuklah ke dalam islam secara keseluruhan dan
”.janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia musuh yang nyata bagimu

Hukum kekeluargaan (Munakahat) adalah sebuah hukum yang telah diatur dalam Islam.
Salah satu dari bagian hukum kekeluargaan adalah perkawinan. Perkawinan merupakan
sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia hewan
maupun tumbuh-tumbuhan. Sebagai jalan bagi makhluk-Nya ntuk berkembang biak dan
melestariakan hidupnya.
Mewujudkan sebuah perkawinan merupakan satu langkah yang sangat murni dan
sangat dituntut oleh agama. Sebagai salah satu upaya kemaslahatan social. Perkawinan
merupakan dasar pembentuk dan pembangun sebuah masyarakat, karena dari sanalah akan
muncul generasi-generasi dengan berbagai karakter yang beragam sebagai wujud kedinamisan
suatu tatanan sosial. Allah SWT telah mensyari’atkan perkawinan dengan kebijaksanaan yang
tinggi dan tujuan yang mulia. Perkawinan mempunyai tujuan untuk memenuhi tuntutan naluri
hidup manusia, berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan
kebahagiaan keluarga sesuai dengan ajaran Allah dan rasul- Nya. 1 Sebagaimana dalam firman
Allah:
‫َو َاْنِكُحوا اَاْلَياٰم ى ِم ْنُك ْم َو الّٰص ِلِح ْيَن ِم ْن ِعَباِد ُك ْم َوِاَم ۤا ِٕىُك ْۗم ِاْن َّيُك ْو ُنْو ا ُفَقَر ۤا َء ُيْغ ِنِهُم ُهّٰللا ِم ْن َفْض ِلٖۗه َو ُهّٰللا َو اِس ٌع َع ِلْيٌم‬
Artinya: ”Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha
Mengetahui.” (Q.S.An-Nuur': 32).
Dan sabda Nabi Muhammad SAW:
‫ َو َلُهَّن َع َلْيُك ـْم ِر ْز ُقُهَّن َوِكْس َو ُتُهَّن ِباْلَم ْع ُرْو ِف‬،‫ َو اْسـَتْح َلْلُتْم ُفُرْو َج ُهَّن ِبَك ِلَم ِة ِهللا‬،‫ َفِإَّنُك ْم َأَخ ْذ ُتُم ْو ُهَّن ِبَأَم ـاَنِة ِهللا‬، ‫ِاَّتُقوا َهللا ِفـي الِّنَس ـاِء‬
Artinya : “Takutlah engkau sekalian kepada Allah dalam hal orang-orang perempuan,
sesungguhnya engkau sekalian mengambil mereka dan membuat hal kemaluan mereka dengan
kalimat Allah”. (HR. Imam Muslim)
Dalam pernikahan disyaratkan adanya Ijab dan Kabul. Ijab artinya kata pernikahan yang
diucapkan oleh wali calon pengantin wanita atau wakilnya, sedangkan Kabul artinya perkataan
menerima yang diucapkan oleh laki-laki yang dinikahkan atau wakilnya.
Beberapa mazdhab memberikan pengertian Ijab dan Kabul berbeda-beda dintaranya menurut
mazhab Syafi’i, Ijab merupakan suatu ucapan kerelaan untuk menyerahkan sesuatu kepada
pihak lain, dalam hal ini dilakukan oleh pihak wali calon istri, sedangkan Kabul adalah suatu
ucapan yang menunjukkan atas kerelaan dan kesiapan untuk menerima sesuatu dari pihak lain,
dalam hal ini dilakukan oleh pihak calon suami atau yang mewakilinya. Mengenai lafadz-lafadz
Ijab yang dibenarkan penggunaannya dalam pelaksanaan akad perkawinan, mazhab Syafi’i
mengatakan bahwa tidak sah akad kecuali dengan menggunakan lafadz inkah atau zawaj, atau
akar kata dari keduanya saja. karena pendapat mazhab Syafi’i mengatakan bahwa
sesungguhnya kalimat Allah yang menghalalkan Faraj dalam Al Qur’an adalah kata inkah dan
tazwij
Menurut pendapat mazhab Maliki Ijab merupakan suatu ungkapan yang menunjukkan atas
suatu kerelaan yang berasal dari mumallik (orang yang memiliki), sedangkan Kabul adalah
suatu ungkapan yang menunjukkan atas suatu kerelaan yang berasal dari mutamallik (orang
yang mencari kepemilikan). Mereka membagi lafadz Ijab menjadi dua yaitu lafadz sharih dan
lafadz ghairu sharih atau tidak jelas. 2

1
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press,1999) Cet. ke-9, h.13 .
2
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008), hlm. 308-311.
Penulis membaca bahwa para ulama telah bersepakat makna lafaz yang digunakan ketika Ijab
dan Kabul adalah yang bermakna nikah. Akan tetapi penulis juga menemukan bahwa mereka
berbeda pendapat jika akad nikah menggunakan selain lafaz “nikah” atau “tazwij”. Seperti
redaksi yang penulis temukan di dalam Kitab Al-bayan Fi Madzhabi Asy-Syafi’i:3
‫إن‬:- ‫ َرِح َم ُه ُهَّللا‬- ‫ وقال مالك‬.‫ وهما اللفظتان اللتان ورد بهما القرآن‬،‫ إال بلفظ النكاح أو التزويج‬-‫ عندنا‬-‫قال الشافعي وال ينعقد النكاح‬
.‫ لم ينعقد بها النكاح‬..‫ وإن لم يذكر المهر‬،‫ انعقد بها النكاح‬..‫ذكر المهر مع األلفاظ التي تقتضي التمليك‬
Artinya: “Imam Syafii mengatakan tidak sah nikah kecuali dengan lafaz “nikah” dan “tazwij” dan
hanya kedua lafaz itulah yang ada di dalam qur’an. Dan Imam Maliki mengatakan jika disebutkan
mahar yang berarti kepemilikan, maka hukumnya sah. Dan apabila tidak disebutkan maharnya,
maka tidak sah”

BAHAN DAN METODE


1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian
normatif, dimana penelitian normatif merupakan penelitian yang diakui sifat
keilmiahannya yang dideskripsikan melalui tulisan dari sumber buku-buku, jurnal, artikel
dan lain sebagainya.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini ada dua pendekatan, yaitu pendekatan historis
(historical approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
a. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari dan
perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.
b. Pendekatan konseptual adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan
dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum, dimana ditemukannya ide-ide
yang melahirkan pengertian hukum, konsep hukum dalam suatu argumentasi untuk
memecahkan isu.4
3. Bahan Hukum
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai otoritas, dimana
hukum yang dipakai merupakan keputusan yang sah. Bahan hukum primer merupakan
bahan hukum yang mengikat atau yang membuat orang taat pada hukum seperti
peraturan perundang-undangan, dan putusan hakim. Bahan hukum primer yang
penulis gunakan di dalam penulisan ini yakni:
- Alquran
- Hadis
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah perjelasan mengenai bahan hukum primer. Seperti
didapat dalam buku-buku pemumjamg, hasil-hasil penelitian hukum, hasil-hasil karya
ilmiah dari kalangan hukum dan sebagainya. Bahan hukum yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
- Majmu’ Syarah Muhadzdzab
- Fikih Sunnah
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang diluar dari pembahasan hukum,
seperti bahan bacaan ekonomi, politik, agama dan lain sebagainya. Bahan hukum
tersier dalam penelitian ini adalah jurnal-jurnal yang membahas tentang agama.

3
al-Imam Abu Husain Yahya bin Abu al-Khair Salim al-‘Imrani al-Yamani, Kitab Al-bayan Fi Madzhabi Asy-
Syafi’i, (Dar AL-Kutub AlIlmiyah), hlm. 19
4
Djulaeka dan Devi Rahayu, Buku Ajar Metode Penelitian Hukum, (Surabaya: Scopindo Media Pustaka, 2019), hlm 33.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum nya adalah dengan literatur
kepustakaan dimana dengan mengambil materi-materi yang ada dalam buku-buku, kitab-
kitab, dan jurnal-jurnal yang berisi pembahasan dalam penelitian ini.
5. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang didapat, dibaca, diteliti, dipahami dan dideskripsikan sehingga
mendapatkan hasil yang diinginkan, sehingga dapat dipaparkan dengan jelas dan dapat
menjawab permasalahan isu hukum yang ada dalam penelitian ini.5

LANDASAN TEORI
Menurut KHI dalam pasal 1 bagian c, akad nikah ialah rangkaian Ijab yang diucapkan oleh wali
dan Kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh 2 orang saksi.
Rukun yang pokok dalam perkawinan, ridhanya laki-laki dan perempuan dan persetujuan
mereka untuk mengikat hidup berkeluarga. Karena perasaan ridha dan setuju bersifat kejiwa-
an yang tak dapat dilihat dengan mata kepala, karena itu harus ada perlambang yang tegas
untuk menunjukkan kemauan mengadakan ikatan bersuami istri. Perlambang itu diutarakan
dengan kata-kata oleh kedua belah pihak yang mengadakan akad. Pernyataan pertama sebagai
menunjukkan kemauan untuk membentuk hubungan suami istri disebut "Ijab". Dan pernyataan
kedua yang dinyatakan oleh pihak yang mengadakan aqad berikutnya untuk menyatakan rasa
ridha dan setujunya disebut "Kabul". Dari sini kemudian para ahli fiqh menyatakan bahwa
syarat perkawinan (nikah) adalah Ijab dan Kabul. 6
HASIL DAN PEMBAHASAN
Islam adalah agama yang begitu indah dan sangat teratur. Islam memperhatikan
masalah terkecil sekalipun. Satu kata dan satu lafaz yang diucapkan akan memiliki dampak
sesudahnya. Seseorang masuk Islam dengan dua kalimat syahadat, ia pun kufur atau keluar
dari Islam apabila mengucapkan kata-kata kufur atau mengingkari agama Allah.
Seseorang bersumpah ingin melakukan sesuatu hal, maka ia wajib memenuhi sumpahnya
tersebut.
Di sisi lain, seseorang bisa dihukum cambuk hanya karena lafaz yang diucapkan untuk
menghina atau menuduh wanita muslimah berzina, perceraian juga bisa terjadi
hanya karena satu kalimat yang dilontarkan suami, baik sedang marah, serius bahkan
bercanda. Maka lafaz dan ucapan yang diucapkan sadar atau tidak akan memiliki dampak
setelahnya, baik dampak buruk atau dampak baik. Allah menegaskan dalam banyak ayat
tentang ucapan yang diucapkan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.
Allah berfirman:
‫َم ا َي ْل ِف ُظ ِم ْن َق ْو ٍل ِإ اَّل َل َد ْي ِه َر ِق يٌب َع ِت ي ٌد‬
Artinya,
“Tidaklah ada suatu ucapan yang diucapkan melainkan ada malaikat Raqib dan Atid yang
mencatatnya.” (QS. Qof: 18).
Begitu juga dengan lafaz yang diucapkan ketika akad nikah. Ucapan dalam
pernikahan akan memberikan dampak setelahnya. Ada beberapa perkara yang bercandanya
dianggap serius, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :
‫ َو الَّرْج َع ُة‬, ‫ َو الَّطاَل ُق‬, ‫ الِّنَك اُح‬, ‫ َو َهْز ُلُهَّن ِج ٌّد‬, ‫َثاَل ٌث ِج ُّدُهَّن ِج ٌّد‬

Artinya,
“Ada 3 hal yang seriusnya serius, dan bercandanya dianggap serius, yaitu : nikah, cerai, dan rujuk”
5
HS SalimdanErlies Setiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Disertasidan Tesis,(Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2013), h.19
6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 19, 1980), Cet. Ke-20, jilid 6,
h. 52
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).

Di dalam melakukan Ijab Kabul haruslah dipergunakan kata-kata yang dapat dipahami oleh
masing-masing pihak yang melakukan aqad nikah sebagai menyatakan kemauan yang timbul
dari kedua belah pihak untuk nikah, dan tidak boleh menggunakan kata-kata yang samar atau
kabur. 7 Para ahli fiqh sependapat, Ijab Kabul boleh dilakukan dengan bahasa selain Arab,
asalkan memang pihak-pihak yang beraqad baik semua atau salah satunya tidak tahu bahasa
Arab. Mereka berbeda pendapat bila kedua belah pihak paham bahasa Arab dan bisa
melaksanakan Ijab Kabul nya dengan bahasa arab. 8 Tetapi sebagaimana telah penulis katakan
bahwa rukun yang pokok dalam perkawinan adalah kerelaan, sedangkan Ijab dan Kabul
hanyalah merupakan perlambangan saja yang menunjukkan adanya rasa ridha. Jika Ijab Kabul
sudah terlaksana, sudahlah cukup sekalipun dengan bahasa apa saja. Adapun kalimat Ijab, maka
para Ulama sepakat menggunakan kata nikah dan tazwij, atau pecahan dari kedua kata tersebut,
seperti: Zawwajtuka, ankahtuka, yang keduanya secara jelas menunjukkan makna nikah. Tetapi
mereka berbeda pendapat tentang kata-kata Ijab yang lain daripada kedua kata di atas seperti
“wahaba”. Madzhab Malikiyah memperbolehkan kalimat goiru shorih seperti kalimat wahaba
dengan dalil yang ada didalam surah al-ahzab:50. Namun madzhab syafi’i menjawab bahwa
kalimat wahaba hanya boleh digunakan khusus oleh nabi muhammad saja. dan hanya kalimat
nikah dan tazwij sajalah menurut madzhab syafi’i yang boleh digunakan saat akad nikah dengan
dalil yang berpegang pada hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dengan kalimat “bi
kalimatillah” yang menunjukkan dengan jelas bahwa lafaz yang ada dalilnya hanya nikah dan
tazwij. Mengenai lafadh-lafadh Ijab yang dibenarkan penggunaannya di dalam pelaksaan akad
pernikahan, Ulama Syafi‟iyah hanya membatasi pada dua lafadh saja, yaitu lafadh yang berasal
dari kata nakaẖa dan lafadh zawwaja. Pembatasan yang sangat ketat terhadap lafadh akad
nikah dalam madzhab Syafiʻiyah ini disebabkan karena menurut mereka hanya kedua
lafadh inilah secara pasti menunjukkan makna sebuah pernikahan, sedangkan selain
kedua lafadh tersebut tidak menunjukkan suatu maksud pernikahan, dalam kaitannya dengan
persaksian Ijab Kabul kalau menggunakan selain lafadh yang berasal dari kata nakaẖa dan
lafadh zawwaja menyebabkan ketidaksahan akad nikah karena terjadi ketidakjelasan maksud
dari kedua belah pihak yang melakukan akad.9 Dari data yang penulis sajikan, maka penulis
menyimpukan bahwa madzhab syafii lebih relevan untuk saat ini dengan alasan hanya lafadz
nikah atau tazwij lah yang mempunyai dalil terkuat dan jumhur ulama menyepakatinya.
Sedangkan lafadz selain nikah atau tazwij mempunyai dalil yang lemah dan tidak disepakati
jumhur ulama.
SIMPULAN
Adapun Lafadz Ijab Kabul yang digunakan Madzhab Syafi’i dalam akad nikah hanya dibatasi
pada 2 lafadz yaitu “nikah” dan “tazwij” atau pecahan dari dua kata tersebut Contohnya
“ankahtuka binti Fatimah” atau “zawwajtuka binti Fatimah”. Adapun Madzhab Maliki
berpendapat boleh menggunakan selain lafadz “nikah” dan “tazwij”. Seperti “Wahaba” asalkan
dengan qarinah “Shadaqa” contohnya “wahabtuha laka bi shadaqin kadza”. Begitu juga dengan
lafadz yang Ikhtilaf seperti “ba’a, mallaka, akhlala, a’tha, manaẖa”. Dasar Hukum Madzhab
Maliki yang berpendapat boleh menggunakan selain lafadz “nikah” dan “tazwij” dengan dalil
surah Al-Ahzab ayat 50. Malikiyah membagi lafadz Ijab Kabul menjadi 2 yaitu Lafadz Sharih dan
Ghairu Sharih. Lafadz Sharih hanya 2 yaitu “nikah” dan “tazwij”. Lafadz Ghairu Sharih terbagi 2:
Ittifaq dan Ikhilaf. Lafadz yang ittifaq sahnya dibatasi hanya “Wahaba” saja dengan qarinah
“Shadaqa” Lafadz Ikhtilaf yaitu “ba’a, mallaka, akhlala, a’tha, manaẖa”. Pendapat pertama
mengatakan sah dengan qarinah “shadaqa” dengan dalil Hadist yang diriwayatkan Imam
7
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 19, 1980), Cet. Ke-20, jilid 6,
h. 55
8
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Bandung: PT. Alma’arif, 19, 1980), Cet. Ke-20, jilid 6,
h. 57
9
Abi Zakariya Muẖyiddin bin Syaraf al-Nawawi, Kitâb al-Majmû„, Juz 17 (Cet. I; Beirut: Dar Ihya‟ al-Turats
al-Arabi,), 208
Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari dalam bab al-Nazhr ila al-Mar’ah qabla al-Tazwij. Pendapat
kedua mengatakan tidak sah walaupun dengan qarinah tersebut. Adapun Madzhab Syafi’i
membatasi lafadz yang boleh digunakan untuk Ijab Kabul dalam akad nikah dengan lafadz
“nikah” dan “tazwij” saja dengan dalil Hadist yang diriwayatkan Imam Muslim yang mengatakan
“bi kalimatillah”. Syafi’iyah berpendapat “Wahaba” adalah lafadz yang dikhususkan dengan Nabi
Muhammad SAW dengan kalimat dari surah Al-Ahzab ayat 50 tersebut yang mengatakan
“Khalishatan laka”. dan Syafi’iyyah memungkinkan kalimat “Mallaka” yaitu hadist yang
dieriwayatkan dengan makna muradif saja.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2019)
Abi Zakariya Muẖ yiddin bin Syaraf al-Nawawi, Kitâb al-Majmû Juz 17 (Cet. I; Beirut: Dar Ihya‟
al-Turats al-Arabi,)
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam (Yogyakarta: UII Press,1999) Cet. ke-9
Ahmad bin Umar Asy-Syathiri, Yaqutun Nafis (Beirut, Darul minhaj 2011) Cet. Ke-1, J.03, h. 10-
11.
Al-Imam Abu Husain Yahya bin Abu al-Khair Salim al-‘Imrani al-Yamani, Kitab Al-bayan Fi
Madzhabi Asy-Syafi’i, (Dar AL-Kutub AlIlmiyah)
Buku Pedoman Penulisan Skripsi Makalah dan Jurnal (Institut Agama Islam Darussalam
Martapura, 2022) Edisi Revisi IV
Drs. Slamet Abidin dan Drs. H. Aminuddin, Fiqih Munakahat (Bandung: CV. Pustaka Sertia ,
1999) Cet. Ke-1.
H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar baru Algensindo, 2010) Cet. Ke-45.
Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Muẖ ammad bin Idris al-Syafi‟I, Kitâb al-Um, Juz VI (Cet. I; Beirut: Dar al-Ihya‟ al-Turats al-Arabi,
2000)
Muẖ ammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih Bukhori (Cet.IV; Dar Kutub Al Ilmiyah)
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Penerbit Lentera, 2008),
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 6 (Bandung: PT. Alma’arif, 19, 1980) Cet. Ke-20.
Sulaiman bin Khalaf, al-Muntaqa Syarẖ Muwaththa‟ mâlik, Juz V (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah,1999)

You might also like