Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

p-ISSN 1907-0349

c-ISSN 2597-1353

HUKUM TINGKEBAN PADA ADAT JAWA MENURUT HUKUM


ISLAM (STUDI KASUS DESA SUKA DAMAI KECAMATAN SEI
BAMBAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI )

Sufathudin
Sumiati
Nurhaizan

Abstract

Tingkeban is a local tradition that is still implemented by Javanese people. The


implementation of tingkeban was formed from an old pattern that is before the
teachings of Islam entered Indonesia which was still closely related to Hindu
culture originating from the kingdom of Kediri. But seen from the development
of the implementation of this tradition increasingly shows Islamic values as the
implementation of tingkeban in Suka Damai Village, Sei Bamban District, Serdang
Bedagai Regency. The Islamic teachings contained in that is salvation or
expression of gratitude to Allah SWT as the creator and provider of sustenance
and gifts to humans and children is one of the gifts among the many gifts given.
Tingkeban is also a traditional tradition of people in Java for generations that can
indirectly increase the trust of a mother and father to keep praying so that they
are blessed with a blessed and shilihah baby, by drawing closer to Allah SWT.
Basically, during pregnancy has a goal that the process of pregnancy until birth
can run smoothly without obstacles, and babies born are given safety. The
opinion of the MUI leader, Mr. Zainuddin, as the MUI chairman of the Sei Bamban
sub-district, believes that tingkeban is a salvation when the baby in the womb is
seven months old, aiming that the child born will be healthy, safe, no defects and
not lacking one, so we recommend to pray, and give thanks for the blessings that
have been given by Allah SWT. And pregnancy is a favor or gift that Allah SWT
gives to a husband and wife to get offspring. Therefore, in addition to praying we
also give alms and alms as an expression of gratitude.

Keyword: Tingkeban, Hukum, Islam

Pendahuluan berbagai ritual-ritual dengan tujuan


Indonesia terkenal sebagai untuk mengusir roh jahat, menolak
bangsa yang memiliki budaya majemuk bahaya, menyembuhkan penyakit.
(pluralistic). (Supartono Widyosiswoyo, Dengan beragamnya budaya yang
2001:39) Budaya tersebut kerap kali ada di Indonesia tersebut menjadikan
mengandung sistem religi yang masyarakatnya merasa bangga dan
didalamnya terdapat kepercayaan akan memiliki kesadaran untuk tetap
hal-hal yang mistik. Kepercayaan itu menjaga warisan yang diberikan oleh
diaplikasikan dengan melakukan nenek moyangnya, walaupun manusia

Jurnal Taushiah FAI UISU Vol. 10. No. 1 Januari- Juni Tahun 2020 19
p-ISSN 1907-0349
c-ISSN 2597-1353

tersebut telah meninggal, namun Dengan demikian bagi masyarakat Jawa


kebudayaan itu akan tetap hidup dengan selamatan kehamilan merupakan hal
cara mewariskannya kepada penting sebagai wujud memohon
keturunannya. Dapat dikatakan bahwa keselamatan pada Maha Pencipta. (R.
manusia dan kebudayaan merupakan Gunasasmita, 2009:76)
satu kesatuan yang keduanya tidak
dapat dipisahkan, karena manusia Metode Penelitian
merupakan pendukung dari kebudayaan Penelitian yang dilakukan penulis
itu sendiri. Adapun perwujudan dari ini bertempat di desa Suka Damai
keduanya adalah saat pelaksanaan Kecamatan Sei Bamban Kabupaten
sebuah tradisi. Contohnya ketika Serdang Bedagai Provinsi Sumatera
dimulainya sebuah tradisi, Utara. Dalam penelitian saya ini, saya
pelaksanaannya tidak akan terlepas dari juga mewawancarai 5 orang sebagai
seorang manusia yang memimpin dari partisipan. Antara lain : Tokoh MUI,
awal hingga berakhirnya tradisi Tokoh Adat, dan Masyarakat.
tersebut.Seperti halnya suku-suku lain Pendekatan utama yang di gunakan
di Indonesia, suku Jawa memiliki budaya dalam penelitian ini adalah pendekatan
yang khas serta masih terikat dan patuh kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat
kepada suatu tradisi atau adat yang atau memiliki karakteristik bahwa
diwariskan leluhurnya. datanya dinyatakan dalam keadaan
Masyarakat Jawa memiliki ragam sewajarnya atau sebagaimana adanya
adat istiadat yang masih dilestarikan (natural setting) dengan tidak berubah
hingga kini. Adat istiadat tersebut masih dalam bentuk simbol-simbol atau
sering digunakan dalam kehidupan bilangan. Penelitian dilaksanakan
sehari-hari. Masyarakat Jawa mengenal dengan menggunakan kajian pustaka
berbagai jenis selamatan, antara lain dan studi lapangan, sumber data primer
tingkeban, babaran (persalinan), dari subjek penelitian perempuan
sunatan, perkawinan, dan kematian. masyarakat Jawa yang berada di desa
Penulis disini terfokus pada Suka Damai dan sumber data diperoleh
tingkeban(mandi tujuh bulanan) yakni dari data lapangan melalui wawancara,
selamatan yang dilaksanakan pada usia sedangkan data skunder diperoleh dari
kehamilan tujuh bulan dan pada literatur yang berhubungan penelitian
kehamilan pertama kali. Dibeberapa yang dibahas. Pengertian teknik
wilayah di Indonesia, proses kehamilan pengumpulan data adalah cara-cara
mendapat perhatian tersendiri bagi yang dapat digunakan oleh peneliti
masyarakat khususnya bagi masyarakat untuk mengumpulkan data, dimana data
Jawa. Berbagai harapan muncul tersebut menunjukkan sauatu yang
terhadap bayi yang ada dalam absrtak, tidak dapat diwujudkan dalam
kandungan, yang nantinya diharapkan benda yang kasat mata, tetati dapat di
mampu menjadi generasi yang berguna pertontonkan penggunaannya.
bagi keluarga, bangsa, negara serta
agamanya. Di samping itu, memiliki Pembahasan
anak juga merupakan karunia yang Definisi Tingkeban
dipercayakan Allah . kepada hamba-Nya Tingkeban merupakan trdisi adat
karena dengan lahirnya seorang anak masyarakat di Jawa secara turun -
maka sepasang suami istri akan merasa temurun yang secara tidak langsung
mendapatkan kesempurnaan hidup. dapat meningkatkan rasa kepercayaan

Jurnal Taushiah FAI UISU Vol. 10. No. 1 Januari- Juni Tahun 2020 20
p-ISSN 1907-0349
c-ISSN 2597-1353

seorang ibu dan ayah agar tetap berdo’a pada bulan ini belum lahir, calon orang
supaya dikaruniai seorang cabang bayi tua atau calon neneknya membuat
yang sholeh dan sholehah, yaitu dengan selamatan disebut dengan mitoni atau
mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tingkeban. Mitoni berasal dari kata pitu
Pada dasarnya, selametan kehamilan yang artinya tujuh. Semua sarana yang
mempunyai tujuan agar proses disajikan dalam selamatan di buat
kehamilan sampai dengan kelahiran masing-masing sebanyak tujuh buah,
dapat berjalan dengan lancar tanpa bahkan orang yang memandikanpun
halangan, dan bayi yang dilahirkan dipilih sebanyak tujuh orang. Maksud
diberikan keselamatan. upacara ini memberikan pengumuman
Tingkeban (mandi tujuh bulanan) kepada keluarga dan para tetangga
merupakan selamatan kehamilan yang bahwa kehamilan telah menginjak masa
dilaksanakan pada saat kandungan tujuh bulan. Menurut Sutrisno Sastro
berusia tujuh bulan dan pada kehamilan “Kata pitu juga mengandung doa dan
pertama serta merupakan salah satu harapan, semoga kehamilan ini
selamatan kehamilan yang masih mendapat pitulungan atau pertolongan
dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dari Yang Maha Kuasa, agar baik bayi
hingga saat ini, tidak terkecuali oleh yang dikandung maupun calon ibu yang
masyarakat Desa Suka Damai mengandung tetap diberikan kesehatan
Kecamatan Sei Bamban. Tradisi dan keselamatan. Mitoni juga di sebut
tingkeban (mandi tujuh bulanan) ini tingkeban, karena acara ini berasal dari
biasanya dilaksanakan di rumah yang kisah sepanjang suami istiri bernama Ki
memiliki hajat dan dihadiri oleh anggota sedya dan Ni Satingkeb, yang
keluarga, tetangga dekat dan termasuk menjalankan laku prihatin (brata)
juga kenalan-kenalan yang tinggal tidak sampai permohonannya di kabulkan
jauh. Selain itu, tradisi tingkeban (mandi oleh Yang Maha Kuasa. Laku prihatin
tujuh bulanan) ini juga memiliki tersebut sampai sekarang dilestarikan
berbagai ritual. Ritual yang biasanya menjadi acara yang disebut Tingkeban
dilakukan meliputi sungkeman, siraman, atau mitoni ini”. (Sustrisno Sastro
brojolan telur ayam kampung, brojolan Utomo, 2005:5-7)
cengkir gading, memutuskan lilitan
janur kuning, membelah cengkir gading, Tingkeban Menurut Tokoh Adat dan
jualan dawet dan rujak, kenduri. Masyarakat
Kehamilan merupakan anugerah Dalam penelitian ini penulis juga
terbesar dari Allah bagi pasangan suami mewawancarai beberapa tokoh adat :
istri dalam perjalanan rumah tangganya. Menurut Nenek Jagung/Nenek Duriyem
Maka dari itu untuk rasa syukur “tingkeban bila dilaksanakan tidak
pasangan suami istri terhadap janin masalah dan bila ditinggalkan juga tidak
yang telah di kandung oleh istri apa-apa, akan tetapi jika dilaksanakan
diadakanlah ritual yang khusus di maka akan tetap melanjutkan adat para
peruntukkan bagi seorang wanita yang nenek moyang dan leluhur masyarakat
sedang mengandung, yaitu selamatan Jawa dan tetap akan bertahan untuk
yang disebut dengan Tingkeban. (Moh. keturunan kedepannya”.
Saifulloh Al Aziz S, 2009:93) Menurut bapak Suroso
Orang Jawa menyebut bayi yang “tingkeban sendiri adalah sebuah adat
lahir pada bulan ketujuh sudah di atau ritual masyarakat Jawa yang sudah
anggap matang atau tua. Namun jika dari nenek moyang sudah dilaksanakan,

Jurnal Taushiah FAI UISU Vol. 10. No. 1 Januari- Juni Tahun 2020 21
p-ISSN 1907-0349
c-ISSN 2597-1353

oleh karenanya alangkah lebih baiknya bersedekah kepada orang-orang sekitar


jika tetap dilaksanakan oleh masyarakat dan jiran tetangga.”
Jawa agar tetap utuhnya keberagaman
didalam hidup beragama.” Proses Pelaksanaan Tingkeban di
Menurut ibu Sry Netti Sari : Desa Suka Damai Kecamatan Sei
“dalam tradisi tingkeban apabila Bamban Kabupaten Serdang Bedagai
dilaksanakan lebih baik dan apabila Setelah penulis wawancara
tidak dilaksanakan tidak apa-apa. dengan bapak Karnain beliau
Apabila dilaksanakan lebih baik dengan menjelaskan tata cara pelaksanaan
harapan melalui ritual yang dilakukan tingkeban di daerah masyarakat Jawa
dapat menciptakan kebaikan pada ibu Desa Suka Damai biasa diawali dengan
dan anak yang dikandungnya, bila tidak siraman air yang sudah dicampur
dilaksanakan tidak apa-apa maksudnya dengan kembang tujuh warna atau tujuh
tidak berpengaruh pada keduanya.” rupa, air sumur yang digunakan juga
Sedangkan menurut Bapak diambil dari tujuh sumur yang masih
Sumarwoto berpendapat bahwasannya menggunakan timba atau sumur manual
“tradisi tingkeban tidak ada dalam yang belum menggunakan dap air.
ajaran Islam. Itu adalah sebuah perkara Kemudian sang calon ibu bayi beserta
baru dalam agama, dan semua perkara suaminya di mandikan sebanyak tiga
baru dalam agama menurut bapak kali-tiga kali oleh petugas atau biasa
Sumarwoto ialah bid’ah dengan disebut dengan dukun mantennya.
berdasarkan dalil yang beliau ketahui.” Kemudian kedua orang tua atau calon
Jika menurut ibu Supik : kakek atau nenek juga ikut
“tingkeban sendiri dapat dilakukan dan memandikannya, setelah itu terakhir
tidak sama sekali mengurangi nilai calon ibu dan suaminya mandi sendiri
keimanan dalam Islam, selain sebagai untuk siraman terakhirnya.
pengungkapan perwujudan rasa syukur, Sehabis selesai dilaksanakannya
acara tingkeban juga memiliki tujuan siraman tadi, calon ibu bayi tadi
sebagai permohonan keselamatan pada dipakaikan kain selendang sebanyak
proses kelahiran bagi ibu bayinya, tujuh kain, akan tetapi calon ibu bayi
perwujudan acara tingkeban sebagai harus menggunakannya satu demi satu,
salah satu ungkapan sebagai hamba sembari disaat pemakaian dan
Allah untuk memohon kepada sang pergantian selendang atau kain tadi
penciptanya atas keselamatan dan orang yang melihat pemandian tadi
kesehatan pada ibu dan bayi yang harus menyaksikan dan mengatakan
dilahirkan kelak.” bahwasannya kain selendang yang
Menurut pendapat bapak Juhrik digunakan oleh sang calon ibu tadi
Bilal di dusun Suka Tani beliau tidaklah cocok sampai pada kain
menyatakan: “bahwasannya tingkeban selendang yang ketujuh nantinya,
dapat dilakukan asal saja masyarakat barulah orang-orang yang
tidak mengimani simbol-simbol yang menyaksikannya mengatakan
ada di dalam tingkeban tersebut. bahwasannya kain selendang itulah
Tingkeban juga merupakan perwujudan yang cocok atau pantas dan layak
rasa syukur kepada Allah SWT sehingga buatnya.
dengan adanya tingkeban ini Setelah itu acara yang dilakukan
masyarakat dapat melakukan salah satu selanjutnya ialah brojolan cengkir
perwujudan rasa syukur serta gading. Brojolan cengkir gading atau

Jurnal Taushiah FAI UISU Vol. 10. No. 1 Januari- Juni Tahun 2020 22
p-ISSN 1907-0349
c-ISSN 2597-1353

kelapa muda ini dibrojolkan dari dalam dengan acara malam hari yaitu kenduri
kain calon ibu tadi, akan tetapi cengkir atau kirim do’a buat calon ibu dan
gading atau kelapa muda tadi sudah di jabang bayi yang nantinya akan terus
lukis dengan lukisan wayang yang selalu sehat dalam proses
dianggap paling tampan dan paling persalinannya, dan juga berharap bisa
cantik, biasa dilukis atau dihiasi dengan menjadi anak yang sholeh atau sholehah
Sanghyang Kamajaya dengan Karamatih dan juga anak yang bias berbakti kepada
atau Sanghyang Wisnu dengan Dewi Sri. orang tua. Didalam pelaksanaan kenduri
Maka kelapa atau cengkir gading yang atau kirim do’a tersebut tuan rumah
sudah dilukis atau dihiasi tadi juga membuat rujak dan cendol untuk
dibrojolkan atau di gelindingkan melalui dibagikan oleng orang-orang atau
kain sang calon ibu dan ditampung masyarakat yang turut ikut dalam
dibawah oleh orang tua calon ibu tadi kenduri atau pengiriman do’a tadi, akan
yaitu calon nenek jabang bayi, maksud tetapi prosesnya sang calon ibu bayi tadi
dari brojolan atau menggelindingkan seakan-akan berjualan dan berkeliling
cengkir gading ini ialah berharap kelak membawa rujak dan cendol tadi, itulah
bayi yang akan dilahirkan oleh sang ibu termasuk urutan acara yang terakhir,
akan lancar seperti lancarnya kelapa dan rujak yang biasa digunakan ada
tadi jatuh kebawah. buah-buah yang memang harus ada
Maka setelah itu suami atau calon didalamnya, yaitu seperti buah pace
bapak membelah kelapa atau cengkir atau mengkudu, babal (nangka muda),
gading atau kelapa muda tadi dengan jambu biji atau jambu kelutuk, timun
sebilah pisau besar atau parang, dan bengkoang. Lima macam buah ini
pembelahan ini dengan gurauan guna lah buah yang biasa wajib ada, akan
melihat jika hasil belahan sang suami tetapi boleh juga ditambah dengan buah
tadi pas ditengah, maka bayi yang akan yang lainnya, kemudian cendol.
dilahirkan kelak ialah seorang laki-laki. Maka setelah itu selesai lah acara
Akan tetapi jika belahan kelapanya kenduri atau kirim do’a tadi dan sembari
miring, maka bayi yang akan dilahirkan masyarakat tadi pulang dari rumah ahli
kelak ialah seorang perempuan. Ini bait orang yang pertama kali keluar
dilakukan bukan semata-mata biasa menarik karpet atau tikar yang
mempercayainya, karena sekarang dipakai untuk acara kenduri tadi, itu
zaman juga sudah maju, bisa melihat melambangakan supaya harapannya
jenis kelamin sang cabang bayi dengan bayi yang akan dilahirkan tadi juga bisa
menggunakan alat komputer yang biasa lahir dengan lancar.
disebut USG. Akan tetapi itulah proses Sedangkan jika menurut tokoh
atau tahapan yang dilakukan biasa oleh adat yang lain yaitu nenek Jagung/nenek
bapak Karnain dan merujuk dari nenek- Duriyem, acara tingkeban diawali
nenek moyang sebelumnya, dan hasil dengan mempersiapkan bahan-bahan
dari pembelahan cengkir gading atau yang diperlukan seperti:
kelapa tadi memang delapan puluh 1. Air Tujuh Sumur
persen sesuai ketika proses 2. Kembang Tujuh Warna atau
kelahirannya. Yaitu antara bayi laki-laki Tujuh Rupa
atau perempuan. 3. Batok Kelapa
Setelah brojolan cengkir gading 4. Kain Selendang Sebanyak
tadi, maka acara di siang atau sore hari Tujuh Kain
itu tadi selesai, akan tetapi dilanjutkan 5. Cengkir Gading Dua Buah

Jurnal Taushiah FAI UISU Vol. 10. No. 1 Januari- Juni Tahun 2020 23
p-ISSN 1907-0349
c-ISSN 2597-1353

6. Telur Ayam Kampung Satu jika belahannya miring atau tidak rata,
Butir maka kemungkinan besarnya juga anak
Maka uraian acara yang yang akan dilahirkan adalah perempuan.
pertama ialah siraman atau mandian Dan ini telah di buktikan sendiri oleh
dengan air tujuh sumur yang sudah para tokoh-tokoh adat, bahwasannya
dicampur. Yang memandikannya ialah memang cocok hasil belahan kelapa itu
tokoh adat atau dukun mantennya yaitu dengan fakta disaat waktu
orang yang memang sudah dipercaya persalinannya.
untuk memimpin upacara-upacara Setelah pembelahan kelapa yang
dalam adat Jawa. Kemudian dipilih juga selanjutnya adalah menggelindingkan
para saudara dan orang tua nya telur ayam kampong yang juga telah
sebanyak tujuh orang untuk disiapkan tadi dari dalam kain calon ibu
memandikannya. Setelah pemandian bayi tadi, penggelindingan telur ayam
maka calon ibu bayi ganti selendang harus sampai pecah, jika digelindingkan
yang sudah disiapkan tadi sebanyak tidak pecah, maka sang suami atau calon
tujuh selendang, selendang demi bapak tadi menginjaknya hingga pecah,
selendang di cobak oleh sang calon ibu karena harapannya jika telur yang
bayi, ketika pergantian selendang atau digelindingkan itu pecah, maka kelak
kain orang-orang atau masyarakat yang proses persalinannya dapat berjalan
melihat dan menyaksikannya dengan lancar seperti layaknya telur itu
mengatakan selendang yang dikenakan lancar jatuh kebawah hingga pecah.
calon ibu bayi itu tidah cocok dan tidak Setelaah selesai acara menggelindingkan
bagus, sampai di selendang yang telur tadi, maka selesai juga acara di
terakhir yaitu selendang yang ke tujuh, sore hari itu, dan akan dilanjutkan
barulah orang-orang atau masyarakat dengan acara pada malam hari yaitu
mengatakan bahwasannya selendang pengiriman do’a atau kenduri dirumah
itulah yang cocok, pantas dan layak yang bersangkutan. Dalam proses
olehnya. kenduri ini banyak harapan agar jabang
Setelah pergantian selendang bayi yang lahir kelak dapat sehat
atau kain tadi selesai, maka selanjutnya jasmani dan rohaninya, dapat menjadi
ialah menggembol cengkir gading anak yang sholeh atau sholehah, dapat
(kelapa muda) yang tadi telah disiapkan menjadi anak yang tampan dan cerdas,
dan telah dihiasi atau dilukis dengan serta menjadi anak yang berbakti
gambar wayang yang terkenal dalam terhadap orang tua dan agama.
adat Jawa, seperti Arjuna dan Di dalam kiriman do’a ini tuan
sebagainya. Kemudian cengkir gading rumah juga membuat makanan yang
atau kelapa muda itu dibrojolkan atau nantinya akan di bawa pulang oleh para
digelindingkan dari kain sang calon ibu tamu yang datang, makanan ini sebagai
bayi ke bawah dan ditampung oleh ucapan terimakasih karena para tamu
orang tua calon ibu bayi atau calon sudah ikut serta mendo’akan calon ibu
nenek. Setelah ditampung maka sang dan jabang bayinya. Kemudian tuan
suami atau calon bapak membelahnya rumah juga membuat rujak dan cendol
dengan sebilah pisau atau parang, maka juga, ini juga biasa dibuat di acara
di belahlah kelapa tersebut, jika tingkeban ini, buah-buahan pada rujak
belahannya sempurna atau rata, maka tersebut ada beberapa yang memang
kemungkinan besar anak yang akan harus ada, seperti pace/mengkudu,
lahir kelak adalah laki-laki, akan tetapi kemudian babal/pentil buah nangka,

Jurnal Taushiah FAI UISU Vol. 10. No. 1 Januari- Juni Tahun 2020 24
p-ISSN 1907-0349
c-ISSN 2597-1353

jambu biji, bengkoang dan timun. 5 kita harus berdo’a. Do’a yang
macam buah ini biasa yang harus ada dipanjatkan dalam acara tingkeban itu
dalam rujak tersebut, akan tetapi jika merupakan do’a selamat dan
ingin ditambahkan buah-buahan lain permohonan agar anak tersebut sehat
juga tidak masalah, rujak ini juga dibuat dan kelak menjadi anak yang sholeh dan
ditumbuk dengan gula Jawa atau gula sholeha. Dalam Al-Qur’an disebutkan Q.S
aren. Rujak ini biasa disebut rujak bebek. Al-Furqan : 74 disebutkan :
Maka selesailah acara tingkeban Artinya: Dan orang-orang yang
ini setelah selesainya acara kenduri atau berkata: "Ya Tuhan kami,
permohonan dan pemanjatan do’a anugerahkanlah kepada kami istri-istri
tersebut, maka seiring dengan kami dan keturunan kami sebagai
pulangnya para tamu tadi, bagi tamu penyenang hati (kami), dan jadikanlah
yang keluar pintu ahli bait terlebih kami imam bagi orang-orang yang
dahulu, maka dia menarik ujung tikar Bertakwa”
yang tadi dipakai untuk acara kenduri, Berdasarkan hal tersebutlah
itu melambangkan bahwasannya jikalau selamatan kehamilan tidak dilarang oleh
pada masa perslinan kelak jabang bayi agama, boleh-boleh saja. Dengan kata
yang akan lahir dapat lancar seperti lain tidak jadi kewajiban dan tidak pula
tikar yang ditarik tadi. jadi larangan dalam pandangan Islam.
Namun, menurut suku Jawa mungkin itu
Tingkeban Menurut Pandangan menjadi suatu keharusan. Karena
Ulama dan MUI menurut masyarakat Jawa sendiri
Pendapat tokoh MUI yaitu bapak mereka masih sangat kental dengan adat
Jainuddin, sebagai ketua MUI kecamatan istiadat dari nenek moyang nya.
Sei Bamban beliau berpendapat bahwa Tingkeban ini juga boleh dilakukan dan
tingkeban merupakan selamatan ketika tidak sama sekali melanggar syari’at,
bayi dalam kandungan berusia tujuh karena selama ini yang dilakukan
bulan yang bertujuan agar anak yang masyarakat Jawa sendiri, di dalam
lahir nantinya sehat, selamat, tidak ada proses pelaksanaan tingkeban ini tidak
cacat dan tidak ada kurang satu apapun, ada unsur ke musyrikan atau hal-hal
sehingga kita danjurkan untuk berdo’a, yang menyeleweng menurut agama.
dan bersyukur atas nikmat yang telah Bahkan jika acara tingkeban yang
diberikan Allah SWT. Dan kehamilan itu dilaksanakan mengandung unsur-unsur
merupakan suatu nikmat atau anugerah kemaslahatan bagi ummat atau
yang Allah SWT berikan kepada masyarakat seperti ada unsur sedekah,
sepasang suami isteri untuk kemudian pemanjatan do’a untuk
memperoleh keturunan. Oleh karena itu, sesama, maka acara tingkeban ini bisa
selain berdo’a kita juga bersedekah dan termasuk kedalam ‘urf.
sedekah inilah sebagai ucapan rasa
syukur. Penutup
Adapun hubungan antara Masyarakat Jawa di Desa Suka
tingkeban dengan ajaran Islam sendiri Damai Kecamatan Sei Bamban
itu selaras. Dalam artian tidak ada saling Kabupaten Serdang Bedagai di dalam
mencederai atau tidak bertentangan melaksanakan tingkeban tidak
karna pada dasarnya sepasang suami mengandung unsur-unsur kemusyrikan
isteri menginginkan anak yang lahir atau yang bertentangan dengan agama.
sehat dan selamat, maka dalam Islam Kemudian dalam pelaksanaannya juga

Jurnal Taushiah FAI UISU Vol. 10. No. 1 Januari- Juni Tahun 2020 25
p-ISSN 1907-0349
c-ISSN 2597-1353

mengundang para tetangga untuk


kenduri melakukan doa bersama yang Muhammad Abu Zahrah, Al-Ahwal al-
dilatarbelakangi selain untuk Syakhsiyyah, Dar al-Fikr al-‘Arabi,
melestarikan sebuah tradisi juga sebagai Kairo, 1957.
bentuk rasa syukur kepada Allah swt.
karena telah diberi nikmat berupa akan Mahmud Yunus Daulay dan Nadlrah
lahirnya seorang anak serta memohon Naimi, Fiqih Muamalah, Ratu Jaya,
keselamatan bagi anak yang dikandung Medan, 2011.
dan ibu yang akan melahirkan nantinya.
Oleh karenanya di dalam rangkain Rachmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, CV
acaranya malah memiliki unsur Pustaka Setia, Bandung, 2010.
bersedekah dan bersyukur atas nikmat
Allah. Tokoh MUI dan para Ulama’ R. Gunasasmita, Kitab Primbon Jawa
berpendapat bahwa memperingati Serbaguna, Penerbit Narasi,
tingkeban (tujuh bulanan kehamilan) Yogyakarta, 2009.
tidak diharamkan dan tidak pula
diwajibkan, dalam artian boleh Soerjono Soekanto dan Soleman
dilaksanakan. Selama dilakukan dengan b.Taneko ,Hukum Adat Indonesia,
tidak melanggar atau bertentangan Rajawali, Jakarta, 1981.
dengan nilai-nilai Islam maka tidak
diharamkan. Begitulah khususnya di Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan,
masyarakat Jawa Desa Suka Damai Pendekatan Kualitatif,
Kecamatan Sei Bamban yang Kuantitatif,Alfabeta, Bandung,
melakukannya tanpa ada unsur-unsur 2009.
yang bertentangan degan syari’at Islam.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian
Daftar Pustaka Suatu Pendekatan Praktek, Rineka
Arso Sosroatmojo, Wasit Aulawi, Cipta, Jakarta, 2015.
Hukum Perkawinan di Indonesia,
Bulan Bintang, Jakarta,1975. Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya
Dasar, Ghalia Indonesia, Bogor
Departemen Agama RI, Al - Qur’an dan Selatan, 2001.
Terjemahnya, Depag RI, Jakarta,
2016. Sutrisno Sastro Utomo, Upacara Daur
Hidup Adat Jawa, Efhar Offset,
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Semarang, 2005.
Bidang Sosial, Gajah Mada,
University Press, Yogyakarta, 2013. Wahbah al-Zuhayli, al-fiqh al-islam wa
Adillatuhu, Juz VII, Dar al-Fikr,
Imam Nawawi, al-Minhaj Syarah Shahih Damaskus,1989.
Muslim, jilid 15, Darul Ma’rifah,
Beirut, Cet 17, 2007. W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum
Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Moh. Saifulloh Al Aziz S, Kajian Hukum- Jakarta, 1994.
Hukum Walimah (Selamatan),
Penerbit Terbit Terang, Surabaya,
2009.

Jurnal Taushiah FAI UISU Vol. 10. No. 1 Januari- Juni Tahun 2020 26

You might also like