Professional Documents
Culture Documents
DESAIN MODEL PROGSUS Edit 27
DESAIN MODEL PROGSUS Edit 27
i
KATA PENGANTAR
Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Pusat bekerjasama dengan Asosiasi
Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) pada tahun 2021 telah
menyusun 6 (enam) buku terkait Model Implementasi Mata Pelajaran Kebutuhan Khusus bagi
peserta didik berkebutuhan khusus. Buku ini diharapkan sebagai acuran dalam menyusun 5 buku
model lainnya, sehingga berisi gambaran umum tentang pelaksanaan mata plajaran program
kebutuhan khusus di sekolah khusus (SLB), maupun di sekolah penyelenggara Pendidikan inklusif
(SPPI).
Penerapan mata pelajaran kebutuhan khusus bagi peserta didik berkebutuhan khusus
memiliki strategi yang beragam dan unik yang memerlukan landasan yang kuat tentang
karakteristik peserta didik berkebutuhan khusus, dilaksanakan oleh guru yang memiliki kualifikasi
khusus tentang program tersebut. Buku desain model ini mencakup hal-hal sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan
Bab II Peserta Didik Berkebutuhan Khusus
Bab III Pengembangan Program Kebutuhan Khusus
Bab IV Implementasi Program Kebutuhan Khusus
Bab V Desain Model Implementasi
Bab VI Penutup
Disadari bahwa penulisan desain model masih terdapat beberapa kekurangan, sehingga
saran perbaikan amat diharapkan untuk perbaikan penulisan model ini. Penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu memberikan wawasan dan
bimbingan selama model ini.
Surakarta, 21 Desember 2021
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
C. Model Desain Pembelajaran ................................................................................................ 82
BAB VI PENUTUP ..................................................................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 87
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peserta didik berkebutuhan khusus adalah mereka yang mengalami keterbatasan
atau keluarbiasaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun emosional, yang
berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia dengannya. Peserta didik berkebutuhan
khusus adalah memiliki kondisi yang berbeda dank arena perbedaannya itu menyebabkan
adanya kebutuhan khusus untuk mencapai taraf kehidupan yang wajar seperti siswa pada
umumnya. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan secara fisik, sensorik, kognitif,
atau karakteristik perilaku yang signifikan dari masyarakat pada umumnya sehingga
membutuhkan program layanan pendidikan khusus untuk mengakomodir kebutuhan
khususnya (Gargiulo: 2012).
Era globalisasi menuntut setiap individu mempersiapkan diri untuk masuk dalam
kehidupan yang beraneka ragam, seperti keanekaragaman budaya, bentuk, kebiasaan dan
sistem yang berlaku. Lebih-lebih saat ini dalam pendidikan khususnya pendidikan bagi
peserta didik berkebutuhan khusus mengalami perubahan pradigma yang ditandai dengan
adanya perubahan pandangan sosial dimana selama ini peserta didik berkebutuhan khusus
ditempatkan dalam lingkungan yang terbatas (restrictive environment), mengharuskan
mereka berada di lingkungan yang tidak terbatas (least restrictive environment).
Perubahan paradigma tersebut menuntut peserta didik berkebutuhan khusus
(PDBK) menyesuaikan dan mempersiapkan diri pada lingkungan yang lebih terbuka tidak
terbatas sesuai dengan kelainannya baik dalam segi fisik, intelektual, sosial, emosi atau
gabungan dari kelainan tersebut, baik yang berupa kelainaan permanen maupun temporer.
Pembahasan dalam tulisan ini difokuskan pada PDBK yang mengalami hambatan
permanen atau menetap yaitu hambatan penglihatan (tunanetra), hambatan pendengaran
(tunarungu), hambatan intelektual (tunagrahita), hambatan motorik/gerak, persendian,
tulang (tunadaksa), dan autis.
Keterbatasan peserta didik berkebutuhan khusus berdampak tidak hanya bagi anak,
tetapi juga bagi keluarga dan masyarakat yang bervariasi sesuai dengan latar belakang
budaya, pendidikan, dan status sosial ekonomi. Bagi anak, keterbatasan akan
mempengaruhi perkembangannya dan berdampak selama hidupnya. Intensitas dampak
ini dipengaruhi pula oleh jenis dan tingkat kekhususan yang dimiliki, serta masa
munculnya kekhususan tersebut. Bagi keluarga, dampak kekhususan bervariasi, namun
1
pada umumnya keluarga merasa shock dan tidak siap menerima kenyataan, hal demikian
tidak terjadi pada orangtua yang tidak memiliki anak dengan kebutuhan khusus
Dampak keterbatasan tersebut, layanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan
khusus yang dilakukan oleh satuan pendidikan perlu dilakukan dengan memodifikasi dan
menyesuaikan penyelenggaraan pendidikan yang tepat sesuai kebutuhan berdasarkan
ragam kebutuhan khusus yang dimiliki agar peserta didik mendapatkan layanan
pendidikan yang tepat. Modifikasi dan penyesuaian yang diperlukan disediakan oleh
satuan pendidikan dalam bentuk akomodasi yang layak.
Keterbatasan yang dimiliki PDBK, mereka memerlukan pelayanan pendidikan
yang bersifat khusus untuk membantu mengurangi keterbatasaannya dalam hidup di
masyarakat serta meningkatkan potensi yang dimiliki secara optimal. Layanan
pendidikan dimaksud biasa disebut dengan program kebutuhan khusus atau pendidikan
kompensatori (education compensatory) yaitu sistem pendidikan yang dirancang untuk
memberi kompensasi, rehabilitasi dan optimalisasi kepada peserta didik atas hambatan
yang mereka alami sebagai konsekuensi dari kekurangan mereka karena latar belakang
sosial dan lingkungan. (https://encyclopedia2.thefreedictionary.com/).
Di Indonesia program kompensatori disebut dengan Program Kebutuhan Khusus.
Setiap satuan pendidikan dibantu Unit Layanan Disabilitas bertugas mengembangkan
program kompensatorik (Pasal 24 – PP Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang
Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas). Program kebutuhan khusus
merupakan suatu layanan intervensi dan/atau pengembangan yang dilakukan sebagai
bentuk kompensasi atau penguatan akibat kelainan yang dialami anak berkebutuhan
khusus dengan tujuan meminimalkan hambatan dan meningkatkan akses dalam
mengikuti pendidikan dan pembelajaran yang lebih optimal. Program kebutuhan khusus
wajib diberikan sesuai kebutuhan peserta didik. Program kebutuhan khusus memiliki
tujuan secara umum yaitu memfasilitasi anak yang mengalami hambatan pada salah satu
atau beberapa aspek tertentu yang dialihkan, digantikan, kepada fungsi lain yang
memungkinkan dapat menggantikan fungsi yang hilang atau yang lemah.
Program kebutuhan khusus pada kurikulum pendidikan regular dan pada kurikulum
pendidikan khusus dikembangkan sebagai penguatan bagi peserta didik berkelainan atau
berkebutuhan khusus untuk meminimalkan hambatan dan meningkatkan capaian
kompetensi secara optimal (Permendikbud 157 tahun 2014 pasal 10). Melalui
pembelajaran program kebutuhan khusus, peserta didik berkebutuhan khusus dibimbing
untuk mengembangkan keterampilan hidupnya. Keterampilan hidup (life skills) adalah
2
kemampuan untuk beradaptasi dan menunjukkan perilaku positif yang pada akhirnya
memampukan individu untuk menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari
dengan efektif. Sedemikian pentingnya program kebutuhan khusus ini dalam
mengembangkan kemandirian peserta didik sehingga program kebutuhan khusus
memiliki peran penting dalam pproses pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan
khusus
Berdasarkan Struktur Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus, program kebutuhan
khusus untuk SDLB mendapat alokasi waktu sebanyak 4 (empat) jam pembelajaran yang
dilakukan secara tatap muka masing-masing 30 menit. Sedangkan di SMPLB alokasi
semakin berkurang yaitu 2 (dua) jam pelajaran dengan masing-masing 35 menit
pembelajaran tatap muka. Sementara di satuan pendidikan SMALB program kebutuhan
khusus diberikan secara fakultatif berdasarkan kebutuhan peserta didik (Perdirjen
Dikdasmen No. 10/D/KR/2017 tentang Struktur Kurikulum, Kompetensi Inti -
Kompetensi Dasar, dan Pedoman Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus).
Bagi peserta didik berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara Pendidikan inklusif,
pembelajaran program kebutuhan khusus diberikan secara fleksibel terintegrasi dengan
mata pelajaran atau materi pembelajaran yang relevan, dan/atau diberikan secara khusus
melalui kegiatan ekstra kurikuler sesuai dengan kebutuhan PDBK. Sesuai kebijakan
tersebut di atas, Program Kebutuhan Khusus ditetapkan sebagai bidang studi yang
dilaksakan secara terjadwal sesuai dengan Sktuktur Kurilkulum.
Pelaksanaan Pembelajaran Program kebutuhan Khusus (Progsus) pada satuan
pendidikan berbagai jenjang berdasarkan di Indonesia masih beragam. Hasil survey yang
dilakukan oleh Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus Indonesia (APPKhI) pada tanggal
14-15 November 2021 terhadap 2.149 Guru, Kepala SLB dan Pengawas SLB
memberikan hasil bahwa, 46, 21%, responden melaksanakan Progsus bagi peserta didik
dengan hambatan penglihatan yang dilaksanakan secara terpisah dengan alokasi waktu
tersendiri. Sedangkan 51,33% pembelajaran Progsus dilaksanakan tidak dengan alokasi
waktu tersendiri dan 2,7% sisanya tidak dilaksanakan. SDLB yang
mengimplementasikan Progsus sesuai kurikulum yang berlaku (4 jam pelajaran/minggu)
sebanyak 26,2%, sedangkan SMPLB sebanyak 6,51%. Sementara itu SDLB yang tidak
melaksanakan Progsus sama sekali sebanyak 27% dan SMPLB sebanyak 30,29% dan
selebihnya diajarkan tidak sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan. Sebanyak 42%
SMALB telah melakukan Progsus sesuai dengan peraturan yang berlaku, namun
demikian belum menjadi jaminan bahwa peserta didik telah memiliki komptensi yang
3
diharapkan.
Selain persentase pelaksanaan Progsus pada satuan pendidikan, hasil survey
menunjukkan bahwa masih banyak kendala dan hambatan dalam pelaksanaan program
kebutuhan khusus, diantaranya; tidak memiliki guru khusus (34%), kekurangan guru
(28%) dan tidak memiliki sarpras yang mecukupi (25%). Sejumlah 2.149 orang (66,5%)
guru/responden menghendaki bahwa program kebutuhan khusus (Progsus) secara legal
sebagai mata pelajaran yang memiliki alokasi waktu tersendiri. Sebanyak 644 guru
(29,97%) mengharapkan Progsus sebagai muatan/bukan mata pelajaran dan 76 guru
(3,54%) responden mengharapkan Progsus sebagai ekstra kurikuler. Dari hasil suvey
tersebut juga diperoleh data bahwa program kebutuhan khusus sebagian besar diampu
oleh guru kelas (74,5%), dan hanya 17% diampu oleh guru khusus.
Berdasarkan data tersebut memberikan gambaran bahwa implementasi program
kebutuhan khusus selama ini masih belum berjalan secara efektif. Hasil survey juga
mengungkap tentang harapan sebagian besar (74,7%) guru/Kepala Sekolah/Pengawas
untuk dilatih dalam mengimplementasikan program kebutuhan khusus, sedangkan
sebanyak 69,8% responden mengharapkan adanya peningkatan serta kelengkapan
berbagai sarana yang diperlukan.
Kenyataan tersebut menuntut perlunya perubahan kebijakan bahwa program
kebutuhan khusus yang semula sebagai muatan harus diubah menjadi mata pelajaran yang
wajib diajarkan oleh semua satuan pendidikan khusus. Mengingat pentingnya Program
Kebutuhan Khusus untuk meningkatkan akses dalam mengikuti pendidikan dan
pembelajaran yang lebih optimal, maka diperlukan sebuah desain model untuk
mengimplementasikan program kebutuhan khusus baik di Sekolah Luar Biasa maupun di
Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif.
B. Landasan Hukum
Kebijakan perundang-undangan yang digunakan sebagai rujukan dalam penyusunan model
implementasi kompetensi program kekhususan sebagai berikut:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak Bagi
Peserta Didik Penyandang Disabilitas;
4
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 157 Tahun
2014 tentang Kurikulum Pendidikan Khusus;
5. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kurikulum Pada Satuan Pendidikan Dalam Kondisi Khusus.
6. Peraturan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Nomor 10/D/KR/2020 tentang Struktur Kurikulum, Kompetensi Inti
Kompetensi Dasar, dan Pedoman Implementasi Kurikulum 2013 Pendidikan Khusus.
7. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009
Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan
Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa.
D. Ruang Lingkup
Ruang lingkup desain pengembangan model ini membahas beberapa hal, yaitu:
1. Landasan dan konsep dasar Program Kebutuhan Khusus,
2. Peserta didik berkebutuhan khusus dan karakteristiknya,
3. Jenis peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK), dibatasi (1) Anak dengan hambatan
penglihatan, (2) Anak dengan hambatan pendengaran, (3) Anak dengan Hambatan
Intelektual, (4) Anak dengan hambatan gerak/motorik, (5) Anak dengan spektrum
autis, dan
4. Desain Pengembangan Model Pengembangan Program Kebutuhan Khusus di SLB dan
Desain Pengembangan Model Program Kebutuhan Khusus di Sekolah Penyelenggara
Pendidikan Inklusif.
5
BAB II
PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS
6
tekanan yang berat, stress, dan gangguan mental. Anak yang mengalami kecelakaan
sehingga memerlukan bantuan kruk atau kursi roda pada masa pengobatan dan pemulihan.
Kondisi-kondisi seperti di atas akan mengganggu proses pembelajaran, tetapi pada saatnya
ketika lingkungan memberikan dukungan yang positif dalam bentuk pengobatan, terapi,
layanan konsultasi, dan/atau pendampingan yang tepat, mereka akan kembali memasuki
kondisi kehidupan yang ‘normal’ sehingga hambatan belajar dapat teratasi.
7
C. Peserta Didik Dengan Hambatan Penglihatan
1. Pengertian
Peserta didik dikatakan mengalami hambatan penglihatan secara fungsional jika
secara umum mempergunakan kemampuan perabaan dan pendengaran sebagai saluran
utama dalam melakukan aktivitas belajar dan mempergunakan sedikit sisa
penglihatannya untuk memperoleh informasi tambahan dari lingkungan. Menurut
WHO seseorang yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang pada mata
terbaik setelah dikoreksi, atau memiliki lantang pandang <20 derajat dikategorikan
sebagai hambatan penglihatan. Dalam definisi ini, 20 feet adalah jarak dimana
ketajaman penglihatan diukur. Sedangkan 200 dalam definisi ini menunjukkan jarak
dimana orang dengan mata normal dapat membaca huruf yang terbesar pada kartu
snellen. Bagian yang kedua dari definisi tersebut berhubungan dengan adanya
keterbatasan pada lapang pandang, merupakan kemampuan seseorang untuk melihat
objek ke arah samping tanpa harus melirik (Sunanto, 2005). Peserta Didik dengan
hambatan penglihatan mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan
memerlukan latihan orientasi dan mobilitas untuk membantu aktivitas mereka (Genes
& Genes, 2005).
PDBK dengan hambatan penglihatan menurut perspekstif pendidikan adalah
peserta didik yang memiliki hambatan penglihatan secara signifikan, sekalipun telah
dikoreksi dengan alat optik PDBK tersebut tidak dapat memanfaatkan penglihatanya
dalam pembelajaran, sehingga tetap memerlukan layanan Pendidikan khusus.
2. Klasifikasi
Menurut WHO PDBK diklasifikan hambatan penglihatan total jika memiliki
ketajaman penglihatan kurang dari 3/60 m, sedangkan low vision ketajaman (6/20-6/60
m). Bila diukur dengan kartu Snellen anak diklasifikasikan tunanetra bila: 1) ketajaman
penglihatannya kurang dari 20/200; 2) ketajaman penglihatannya lebih dari 20/200
tetapi luas lapangan penglihatannya membentuk sudut kurang dari 20 derajat. (Dawn.,
2018; Hardman, et al, 1990:313). Dandona & Dandona (2006) membagi ketunanetraan
menjadi tiga yaitu 1) Buta anak yang memiliki ketajaman penglihatan 6/60 atau lebih;
2) Gangguan penglihatan sedang 6/18 sampai dengan kurang dari 6/60; dan Ganguan
penglihatan ringan 6/12 sampai dengan kurang dari 6/18. Secara umum PDBK dengan
hambatan penglihatan diklasifikan menjadi PDBK dengan klasifikasi total dan low
vision (kurang lihat).
8
3. Karakteristik
Hambatan Penglihatan akan berpengaruh terhadap jenis perolehan pengalaman yang
dimiliki oleh anak, kemampuan untuk melakukan perjalanan di dalam lingkungan, dan
keterlibatan aktual dalam lingkungan secara langsung maupun tidak langsung. Faktor-
faktor tersebut akan berpengaruh secara berbeda tergantung pada jumlah kehilangan
penglihatan. Anak dengan low vision memiliki pengalaman yang berbeda dengan anak
dengan hambatan penglihatan total. Berikut adalah beberapa karakteritik PDBK dengan
hambatan penglihatan.
d. Mengalami penglihatan kabur sebagian atau total.
e. Canggung: PDBK tampak terlalu kikuk, terus-menerus menabrak sesuatu atau
jatuh, mengalami kesulitan menyadari seberapa dekat atau jauh objek sebenarnya.
f. Perilaku: Memiliki rentang perhatian yang pendek. Sebagian PDBK dengan
hambatan penglihatan (PDBK Low Vision) sering berkedip atau menyipitkan mata
setiap kali membaca atau menonton televisi, sensitif terhadap cahaya terang atau
mungkin duduk dekat dengan televisi atau memegang buku yang mereka baca dekat
dengan wajahnya, memegang mainan sangat dekat dengan wajahnya.
g. Koordinasi Mata-Tangan yang Buruk: Koordinasi mata dan tangan yang buruk bisa
menjadi tanda lain bahwa seorang anak memiliki masalah penglihatan, oleh karena
itu orang tua harus mengamati anak kecil saat ia bermain. Anak-anak yang lebih tua
yang bersekolah mungkin mengalami kesulitan dengan kegiatan olahraga atau
proyek tertentu di kelas. Tanda-tanda koordinasi mata-tangan yang buruk mungkin
termasuk kesulitan melempar atau menangkap bola, mengikat sepatu atau menyalin
tugas sekolah dari papan tulis. Tulisan tangan yang buruk seringkali merupakan
tanda lain dari koordinasi mata-tangan yang buruk (Keefer, A, 2018)
9
melalui pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar di mana
batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses
informasi bahasa melalui pendengaran. Tunarungu ditujukan kepada seseorang yang
mengalami segala gangguan dalam daya dengar, terlepas dari sifat, faktor penyebab,
dan tingkat/derajat ketunarunguan. Seseorang yang mengalami gangguan kemampuan
daya dengar walaupun tingkat derajatnya bervariasi dalam menangkap bunyi akan
dikatakan sebagai tunarungu (Boothroyd dalam Bunawan dan Yuwati : 2000).
Hambatan pendengaran merupakan suatu keadaan dimana individu mengalami
kerusakan pada indera pendengaran yang mengakibatkan mengalami gangguan
kemampuan dalam daya dengar, yang meliputi seluruh gradasi baik ringan, sedang
sampai berat walaupun dengan atau tanpa alat bantu dengar tetap mengalami kesulitan
dalam percakapan (berbahasa) sehingga membutuhkan layanan pendidikan khusus
untuk memaksimalkan kemampuan yang ada sehingga mampu berinteraksi dengan
lingkungan sekitar.
2. Klasifikasi
Klasifikasi anak dengan hambatan pendengaran dapat dibagi berdasarkan:
a. Saat terjadinya ketunarunguan: ketunarunguan bawaan, artinya ketika lahir anak
sudah mengalami/menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak
berfungsi lagi, dan ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah
anak lahir dan diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit atau seebab lain.
b. Tingkatan Derajat Pendengaran
Menurut Boothroyd dalam Winarsih dkk (2010), klasifikasi tunarungu berdasarkan
tingkatan derajat pendengaran terbagi menjadi:
Tabel 2.1 Derajat Pendengaran
10
Kehilangan 91-120 dB: profound hearing losses
atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap
Kelompok IV
terhadap suara percakapan manusia tidak ada
sama sekali.
Kehilangan lebih dari 120 dB: total hearing losses
Kelompok V atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap
suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.
c. Berdasarkan penguasaan bahasa, yaitu: (1) Tuli Pra Bahasa, mereka yang menjadi
tuli sebelum dikuasainya bahasa, artinya anak baru menggunakan tanda tertentu
seperti mengamati, menunjuk, meraih, memegang suatu benda atau orang dan mulai
mengerti lambang tetapi belum membentuk suatu sistem lambang bahasa.
Tingkatan ini biasanya terjadi saat anak berusia dibawah 16 bulan. (2) Tuli Purna
Bahasa, mereka yang menjadi tuli setelah menguasai sesuatu bahasa yaitu telah
menerapkan dan memahami sistem lambang bahasa yang berlaku di lingkungan.
Biasanya hal ini terjadi karena seseorang terkena suatu penyakit yang merusak
fungsi pendengarannya.
d. Tempat kerusakan pendengaran: (1) Tuli konduktif yaitu kerusakan terjadi pada
bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyi-bunyian yang akan
masuk ke dalam telinga. (2) Tuli sensoris yaitu: kerusakan terjadi pada telinga
bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara. (3) Tuli campuran
yaitu: kerusakan terjadi pada telinga luar, telinga tengah dan telinga bagian
dalam,dan merupakan kerusakan gabungan pada bagian konduktif dan sensoris.
3. Karateristik
Karakteristik peserta didik dengan hambatan pendengaran menurut UNESCO (2014)
sebagai berikut:
a. Tidak menyadari adanya bunyi atau suara
b. Tidak dapat melihat ke sumber suara
c. Terlihat mendekatkan telinga pada sumber suara
d. Sulit untuk berbicara atau berbicara dengan kata yang tidak jelas dengan suara keras
e. Sulit untuk mengungkapkan perasaan dengan tepat
f. Cenderung menggunakan mimik atau gerakan (tangan dan tubuh) untuk
berkomunikasi
11
Menurut Calderon dan Greenberg (2012), karakteristik yang muncul pada peserta didik
dengan hambatan pendengaran merupakan dampak dari hambatan bahasanya yang
kompleks, seperti:
a. Bahasa reseptif dan ekspresif tidak sesuai usia sebaya. Gangguan pendengaran
menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan kemampuan bahasa dan
pemerolehan bahasa lisan reseptif dan ekspresif. Namun, pada sebagian kecil
peserta didik hambatan pendengaran yang lahir dari keluarga dengan hambatan
pendengaran, keterampilan bahasa dan komunikasi biasanya berkembang pada
tingkat yang setara.
b. Mengisolasi diri dari social. Gangguan pendengaran membuat akses ke pengalaman
pendengaran lingkungan menjadi terhambat. Interaksipun menjadi terbatas karena
hambatan tersebut. Peserta didik dengan gangguan pendengaran menggunakan
semua informasi visual dan sisa pendengaran untuk membantu pemahaman pesan.
Namun, tidak semua peserta didik mampu secara kognitif mengeksplorasi
kemungkinan dari apa yang dikatakan sebelum mencoba memperbaiki
kesalahpahaman tentang pesan tersebut sehingga mereka lebih memilih untuk
menarik diri.
c. Memiliki konsep diri yang buruk. Bahasa yang kurang menyebabkan
perkembangan kognitif yang terhambat membuat konsep diri tidak utuh dan
cenderung menganggap diri buruk dibanding orang lain.
d. Menurunnya prestasi akademik. Defisit bahasa dapat menyebabkan masalah belajar
yang berakibat pada menurunnya prestasi akademik.
Van Uden dan Meadow dalam Bunawan dan Yuwati (2000), sifat atau ciri-ciri yang
juga sering dijumpai pada anak tunarungu adalah sebagai berikut:
a. Sifat ego-sentris yang lebih besar daripada anak mendengar. Sifat ini menunjukan
bahwa anak tunarungu akan lebih terarah kepada dirinya sendiri yang membuat
mereka sukar menempatkan diri pada cara berpikir dan perasaan orang lain, dan
kurang menyadari atau peduli efek perilakunya terhadap orang lain. Dalam
tindakannya dikuasai oleh perasaan dan pemikiran yang berlebihan sehingga sulit
menyesuaikan diri. Hal ini disebabkan karena kemampuan bahasa yang terbatas
sehingga akan membatasi pula kemampuan untuk mengintegrasikan pengalaman
dan akan semakin memperkuat sifat egosentrisnya.
b. Memiliki sifat impulsif. Sifat ini menunjukan bahwa anak tunarungu dalam
tindakannya tidak didasarkan pada perencanaan yang hati-hati dan jelas, serta tanpa
12
mengantisipasi akibat yang mungkin ditimbulkan oleh perbuatannya. Apa yang
mereka inginkan biasanya perlu segera dipenuhi karena sulit bagi mereka untuk
merencanakan atau menunda suatu pemuasan kebutuhannya dalam jangka panjang.
c. Sifat kaku (rigidity). Sifat ini menunjuk pada sikap kaku atau kurang luwes dalam
memandang dunia dan tugas-tugas dalam kehidupan sehari-hari. Karena miskin
bahasa mengakibatkan suatu kekakuan dalam menerapkan suatu suatu aturan (yang
pernah dipelajari) tanpa melihat situasi atau kondisi yang dihadapinya.
d. Sifat lekas marah dan tersinggung. Sifat ini merujuk pada kemiskinan bahasa yang
dialami oleh tunarungu yang mengakibatkan tidak dapat menjelaskan maksudnya
dengan baik dan sebaliknya kurang dapat memahami apa yang dikatakan orang lain.
Keadaan ini menyebabkan kekecewaan, ketegangan, dan frustasi pada akhirnya
menyebabkan ledakan kemarahan.
e. Perasaan ragu-ragu dan khawatir. Sifat ini terjadi seiring dengan makin banyaknya
pengalaman yang dialami anak secara terus-menerus. Mereka juga memiliki
keinginan untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Sehingga dibutuhkan
kemampuan bahasa agar anak dapat termotivasi untuk berkomunikasi dengan
lingkungan sekitar sehingga kepercayaan diri anak dapat tumbuh.
Karakteristik anak dengan hambatan pendengaran tidak terbatas pada berbagai hal yang
telah dijelaskan di atas, akan tetapi bisa saja individu tunarungu memiliki karakteristik
lainnya yang muncul dan menjadi ciri khas dari individu tersebut. Namun demikian
hanya kasusistik saja, misalnya individu tunarungu yang pembawaannnya tenang, tidak
mudah tersinggung dan percaya diri, hal ini disebabkan karena pengaruh pola asuh
keluarga yang sudah mendidik dengan nilai-nilai yang positif.
13
perkembangannya dan juga menyebabkan kesulitan dalam tugas-tugas akademik,
komunikasi maupun sosial.
Definis yang dikeluarkan DSM-V (Diagnostic and Statistical manual Of Mental
Disorder, 2013), disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual) adalah
gangguan yang munculnya selama, periode perkembangan yang mencakup defisit
fungsi intelektual dan adaptif dalam domain konseptual, sosial, dan praktis. Tiga kriteria
yang harus dipenuhi:
a. Defisit dalam fungsi intelektual, seperti penalaran, pemecahan masalah,
perencanaan, abstrak pemikiran, penilaian, pembelajaran akademik, dan
pembelajaran dari pengalaman, dikonfirmasi oleh baik penilaian klinis maupun
individual, tes kecerdasan standar.
b. Defisit dalam fungsi adaptif yang berakibat pada kegagalan dalam memenuhi
kemandirian personal dan tanggungjawab sosial yang sesuai dengan standar
perkembangan dan sosial dan budaya. Tanpa adanya dukungan yang berkelanjutan,
defisit dalam kemampuan adaptif tersebut dapat membatasi keberfungsian peserta
didik dengan hambatan intelektual di dalam satu atau beberapa aktivitas sehari-hari,
seperti komunikasi, partisipasi sosial, dan hidup secara mandiri. Hal tersebut dapat
terjadi dalam berbagai ruang lingkup kehidupannya, seperti keluarga, sekolah,
pekerjaan, dan masyarakat.
c. Kemunculan kedua defisit tersebut terjadi selama periode perkembangan peserta
didik.
14
Klasifikasi Karakteristik
5) Membutuhkan bantuan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari yang kompleks
6) Membutuhkan bantuan dalam pembuatan keputusan
terkait kesehatan dan keterampilan vokasional
b. Moderate 1) Kemampuan bahasa dan keterampilan akademik
(sedang) berkembang lambat.
2) Pada peserta didik usia sekolah dasar, perkembangan
membaca, menulis, matematika, pemahaman tentang
waktu dan uang berkembang secara lambat dan terbatas.
3) Membutuhkan asistensi / bantuan secara berkelanjutan
untuk menyelesaikan aktivitas sehari-hari.
4) Mampu berjalan sendiri di tempat yang dikenal
5) Kemampuan bicaranya terbatas dan lebih sederhana
dibandingkan peserta didik seusianya.
6) Kurang mampu menterjemahkan isyarat sosial secara
akurat.
7) Terbatas dalam membuat keputusan dan penilaian,
sehingga membutuhkan bantuan orang lain untuk
mengambil keputusan dalam hidupnya.
8) Dapat memenuhi kebutuhan personalnya (makan,
berpakaian, dan kesehatan) tetapi membutuhkan waktu
belajar yang lebih lama untuk bisa melakukan secara
mandiri dan perlu diingatkan terus menerus.
c. Severe (berat) 1) Kemampuan intelektual terbatas
2) Sulit memahami bahasa tertulis atau konsep-konsep
yang melibatkan angka, jumlah, waktu, dan uang.
3) Memiliki kemampuan kosakata dan tata bahasa yang
terbatas.
4) Memiliki kesulitan dalam berbicara dan berkomunikasi.
5) Peserta didik mampu memahami pembicaraan dan
gestur yang sederhana.
6) Membutuhkan bantuan orang lain dalam kehidupan
sehari-harinya secara terus menerus dalam semua
15
Klasifikasi Karakteristik
aktivitas harian (makan, berpakaian, mandi, dan
membersihkan diri).
d. Profound 1) Memiliki kemampuan sensori motorik yang terbatas.
(sangat berat) 2) Kemungkinan mampu dilatih untuk menggunakan
tangan, kaki, dan rahang.
3) Lambat dalam semua aspek perkembangan dan
pembicaraan sulit dipahami.
4) Pemahaman yang terbatas dalam komunikasi, baik
verbal maupun non-verbal.
5) Mengekspresikan keinginan dan emosinya melalui
komunikasi nonverbal.
6) Tidak mampu merawat diri.
7) Sangat bergantung pada orang lain dalam berbagai aspek
aktivitas sehari-harinya, seperti perawatan fisik,
kesehatan, dan keamanan.
16
F. Peserta Didik Dengan Hambatan Gerak/Motorik
1. Pengertian
Peserta didik dengan hambatan motorik merupakan istilah yang diberikan bagi anak
tunadaksa. Peserta didik dengan hambatan motorik atau hambatan gerak/motorik
menurut Individuals with Disabilities Education Act (IDEA) (Vaughn, Bos, dan
Schumm, 2002) adalah suatu kondisi terganggunya otot, tulang, dan sendi dalam fungsi
normalnya, sehingga mempengaruhi performa peserta didik dalam proses pembelajaran.
Garguilo (2016) menjelaskan bahwa peserta didik dengan gangguan fisik atau hambatan
gerak/motorik merujuk pada mereka yang memiliki kondisi fisik yang parah,
mengakibtkan ketidakmampuan untuk berbicara, berjalan, atau bergerak sesuai dengan
fungsi anggota tubuhnya.
Peserta didik dengan hambatan motorik memiliki hambatan yang bersifat menetap
pada alat gerak tubuh (otot, tulang, sendi) dan/atau pada syarafnya sehingga
membutuhkan layanan pendidikan khusus yang sesuai agar dapat meminimalisir
dampak yang dialami dan mengoptimalkan potensi yang masih dimiliki untuk
menunjang kemandirian dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini dapat disebabkan
oleh anomali kongenital (misalnya, kaki pengkor, tidak adanya beberapa anggota),
gangguan yang disebabkan oleh penyakit (misalnya: poliomielitis, tuberkulosis tulang),
dan gangguan dari penyebab lain (misalnya: cerebral palsy, amputasi, dan patah tulang
atau luka bakar yang menyebabkan kontraktur)
17
kurang seperti kaku saat berjalan, sulit melakukan kegiatan yang membutuhkan
integrasi gerak motorik halus seperti menggenggam, menulis, dan menggambar.
Klasifikasi peserta didik dengan hambatan motorik diuraikan sebagai berikut:
a. Berdasarkan kelainan sistem serebral (Cerebral System)
Tunadaksa yang mengalami kelainan pada sistem syaraf atau otak dikenal dengan
istilah Cerebral Palsy (CP). CP secara umum adalah suatu kelainan pada gerak
tubuh sebagai akibat dari adanya kerusakan/kelainan otak atau sistem syaraf yang
bersifat menetap. CP tidak bersifat progresif. CP dikelompokkan menjadi: CP
berdasarkan letak kelainan di otak dan fungsi geraknya, CP berdasarkan jumlah
anggota badan yang mengalami kelainan atau luas jaringan otak yang mengalami
kerusakan, CP berdasarkan derajat gangguan fungsi.
b. Berdasarkan kelainan sistem otot dan rangka (Musculus Skeletal System) yang
termasuk di dalamnya adalah
1) Poliomyelitis
Merupakan suatu infeksi pada sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh
virus polio yang mengakibatkan kelumpuhan dan pengecilan otot (atropi)
anggota gerak tubuh yang bersifat menetap
2) Muscle Dystrophy
Suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya kemunduran atau kelemahan otot
lurik.
3) Spina Bifida
Merupakan jenis hambatan yang terjadi pada bagian tulang belakang yang
ditandai dengan 1 atau 3 ruas tulang belakang yang terbuka dan tidak tertutup
kembali selama proses perkembangan. Hal tersebut menyebabkan
terganggunya fungsi jaringan saraf yang berakibat terjadinya kelumpuhan
dan/atau terjadi pembesaran kepala karena produkasi cairan yang berlebihan
(hydrocepalus).
3. Karakteristik Peserta Didik dengan Hambatan Motorik
Peserta didik dengan hambatan motorik yang mengalami kelainan pada sistem
serebral adalah peserta didik cerebral palsy. Peserta didik cerebral palsy mengalami
gangguan yang disebabkan karena kerusakan otak yang terjadi pada masa prenatal,
natal, ataupun postnatal. Tidak seluruh sistem saraf otak rusak, hanya pada bagian-
bagian yang mengontrol gerakan. Secara spesifik peserta didik cerebral palsy
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
18
a. Hambatan motorik
Peserta didik cerebral palsy mengalami kerusakan pada syaraf pusat yang
mengakibatkan terganggu kemampuan motoriknya. Hambatan motorik berupa
kekakuan, kelumpuhan, gerakan-gerakan yang tidak dapat dikendalikan, gerakan
ritmis dan gangguan keseimbangan. Adanya hambatan motorik tersebut
mengakibatkan peserta didik kesulitan untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari;
seperti pindah diri (ambulasi), makan, minum dan lainnya.
b. Inteligensi
Kemampuan intelegensi peserta didik cerebral palsy cukup bervariasi. Ada peserta
didik cerebral palsy yang disertai dengan keterbelakangan mental, ada yang
kemampuan intelegensinya normal, tapi juga ada yang peserta didik cerebral palsy
yang gifted. Jadi secara umum kemampuan intelegensi peserta didik cerebral palsy
sama dengan peserta didik normal. Karena pada dasarnya, tidak ada korelasi antara
hambatan fisik dengan kemampuan intelegensi seseorang.
c. Kemampuan persepsi
Persepsi peserta didik cerebral palsy mengalami gangguan, hal ini disebabkan
syaraf penghubung dan jaringan syaraf otak mengalami gangguan atau kerusakan.
Akibatnya proses stimulus yang datang dari luar sulit untuk diterima, ditafsirkan,
dianalisis oleh syaraf sensoris. Peserta didik akan mengalami kesulitan untuk
mengolah rangsangan visual, auditori dan taktil yang diterima. Peserta didik
mengalami kesulitan dalam konsep bentuk, keseimbangan posisi, orientasi ruang,
warna, bunyi, perasa dan peraba.
d. Kognisi
Peserta didik cerebral palsy mengalami gangguan atau keterbatasan dalam
kemampuan kognisinya sebagai akibat dari kelainan otaknya, sehingga
mengganggu fungsi kecerdasan, pendengaran, penglihatan, bicara, bahasa dan juga
perabaannya. Sehingga peserta didik cerebral palsy kesulitan dalam melakukan
interaksi dengan lingkungan secara terus menerus melalui media sensori.
e. Kemampuan bahasa dan bicara
Gangguan bicara disebabkan kelainan motorik otot-otot bicara dan karena
kurangnya interaksi dengan lingkungan sekitar. Gangguan bicara pada peserta didik
cerebral palsy dapat berupa kesulitan artikulasi. Peserta didik yang mempunyai
gagasan atau ide yang akan disampaikan pada orang lain secara lisan tidak
19
terkomunikasikan, karena bicaranya tidak jelas dan ucapannya susah dipahami.
Peserta didik cerebral palsy juga dapat mengalami hipoaktif yaitu mengalami
kemiskinan bahasa karena kurangnya berinteraksi dengan orang lain.
f. Emosi dan penyesuaian sosial
Hambatan yang dialami peserta didik cerebral palsy mengakibatkan kondisi
kejiwaan (emosi) menjadi labil. Peserta didik merasa rendah diri, keras kepala,
mudah tersinggung, takut, mudah marah. Hal tersebut, disebabkan oleh rasa
frustrasi peserta didik yang tidak mampu melakukan apa yang dikehendakinya
dengan tubuhnya. Jika berada di lingkungan yang tidak konduksi (ramai/terlalu
banyak orang beraktivitas di sekitarnya) peserta didik dapat menjadi takut atau
bingung.
Problema yang dialami peserta didik dengan hambatan motorik berbeda antara yang
satu dengan lainnya, tergantung jenis, dan derajat ketunaan yang dialami. Peserta didik
yang mengalami gangguan fisik mengalami permasalahan di area; motorik, sensorik,
kognitif, intrapersonal, interpersonal, perawatan diri, produktivitas, serta leisure.
Adapun karakteristiknya sebagai berikut.
a. Kemampuan motorik
1) Peserta didik kesulitan untuk melakukan kegiatan yang melibatkan
ketrampilan motorik halus dan kasar
2) Mengalami kejang otot
3) Mengalami kelayuan pada otot-otot
4) Kualitas otot kurang
5) Kekurangan kontraksi otot
6) Peserta didik mengalami kesulitan menggunakan anggota tubuh yang
dominan
7) Adanya ketidaksamaan/asimetri baik dalam sikap dan mobilitas
8) Peserta didik mengalami kesulitan untuk duduk dengan posisi yang baik
9) Peserta didik tidak dapat mengontrol gerakan atau keseimbangan badan.
10) Kehilangan jangkauan gerak (derajat gerak sendi)
b. Sensori
1) Mengalami gangguan pendengaran
2) Mengalami gangguan bicara
3) Terganggunya gangguan penglihatan seperti kabur, penglihatan ganda
4) Kesulitan membedakan rasa dan aroma
20
5) Sebagian atau seluruh kehilangan sentuhan dan perasaan
c. Kognitif
1) Keterbatasan kemampuan untuk konsentrasi
2) Mengalami kesulitan dalam konsep keseimbangan posisi, warna, dan ruang.
3) Keterbatasan kemampuan untuk belajar atau berlatih
4) Sebagian peserta didik mengalami gangguan persepsi
5) Sebagian peserta didik mengalami gangguan belajar
6) Kesulitan membuat keputusan dan pemecahan masalah
d. Intrapersonal
1) Mengalami emosi yang labil
2) Takut menjadi terlantar
3) Mengalami frustrasi, rasa rendah diri, mudah tersinggung
4) Kehilangan rasa ketidaktergantungan
5) Sebagian peserta didik mempunyai konsep diri yang rendah
e. Interpersonal
1) Menarik atau menolak berinteraksi dengan teman atau keluarga
2) Sebagian peserta didik memiliki kesulitan untuk mengembangkan hubungan
sosial.
f. Perawatan Diri
1) Peserta didik mengalami gangguan dalam melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari (makan, minum, berpakaian, berias, dan sejenisnya).
2) Peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengembangkan ketrampilan
hidup secara mandiri.
g. Produktivitas
1) Sebagian peserta didik mempunyai kesulitan mengembangkan keterampilan
bermain.
2) Sebagian peserta didik mempunyai kesulitan keterampilan menulis
3) Peserta didik membutuhkan bantuan untuk mengeksplorasi kemampuan
untuk berkarir.
4) Membutuhkan mengeksplorasi kemampuan bermain
h. Leisure (mengisi waktu luang)
1) Peserta didik mempunyai sedikit minat untuk rekreasi/mengisi waktu luang.
2) Peserta didik mempunyai kesulitan untuk memilih kegiatan pada waktu luang
21
4. Kebutuhan Khusus Peserta Didik dengan Hambatan Motorik
Peserta didik dengan hambatan motorik membutuhkan layanan program kebutuhan
khusus untuk dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Secara umum, kebutuhan
khusus yang diperlukan bagi peserta didik dengan hambatan motorik adalah
pengembangan pada kemampuan diri dan gerak. Pengembangan diri merupakan
upaya/progam yang dikembangkan berupa latihan untuk dapat menolong diri sendiri.
Pengembangan gerak merupakan upaya/program yang dikembangkan berupa latihan
untuk mengubah, memperbaiki, dan membentuk pola gerak yang mendekati
normal/wajar. Selain pengembangan diri dan gerak, peserta didik dengan hambatan
motorik juga membutuhkan bimbingan psikologis, terapi, dan bimbingan vokasional.
Terapi dan bimbingan vokasional banyak ragamnya, namun tidak semua terapi dan
bimbingan vokasional harus diberikan bagi peserta didik dengan hambatan motorik
kebutuhan khusus masing-masing anak dengan hambatan motorik juga berbeda.
Bimbingan vokasional juga diberikan sesuai dengan minat, bakat, dan fungsi bimbingan
tersebut. Prinsipnya, layanan pengembangan diri, gerak, bimbingan psikologis, terapi,
dan bimbingan vokasional harus diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing
peserta didik dengan hambatan motorik.
22
hubungan) dan juga adanya pola perilaku, ketertarikan yang terbatas maupun aktivitas
yang berulang sehingga membutuhkan layanan pendidikan secara khusus.
2. Spektrum
Dalam DSM V (APA, 2013), gangguan spektrum autis dapat didasarkan tingkat
keparahannya menjadi tiga level berdasarkan aspek komunikasi dan interaksi sosial
serta aspek ketertarikan yang terbatas dan perilaku berulang, yaitu membutuhkan
dukungan/bantuan (level 1/ringan), membutuhkan dukungan/bantuan yang substansial
(level 2/sedang), dan sangat membutuhkan dukungan/bantuan yang substansial (level
3/berat). Secara lebih rinci, klasifikasi tersebut dapat dilihat pada tabel 2.3 berikut ini.
Tabel 2.3. Klasifikasi Gangguan Spektrum Autis
Level Gangguan Komunikasi dan Interaksi Ketertarikan yang terbatas
Spektrum Autis Sosial dan perilaku berulang
Level 1 Dapat berinteraksi sosial tanpa Keterbatasan yang nyata
Membutuhkan bantuan, walaupun mengalami paling tidak pada satu hal.
dukungan/bantuan kendala atau kekurangan dalam
(ringan) komunikasi sosial
Level 2 Ditandai dengan kekurangan Ditandai dengan keterbatasan
Membutuhkan dan keterbatasan dalam yang nyata dalam beberapa
dukungan/bantuan berinteraksi serta dalam hal.
substansial memberikan respon secara
(sedang) sosial
23
3. Karateristik
Berdasarkan DSM V (APA, 2013), karakteristik dari gangguan spektrum autis
adalah memiliki hambatan komunikasi dan interaksi sosial serta memiliki pola perilaku,
minat, dan aktivitas yang terbatas, khas, dan berulang. Secara lebih rinci, karakteristik
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Hambatan komunikasi dan interaksi sosial
1) Hambatan dalam hubungan sosial-emosional timbal balik.
2) Hambatan dalam penggunaan komunikasi non-verbal untuk interaksi sosial.
3) Hambatan dalam mengembangkan, mempertahankan dan memahami hubungan
sosial.
b. Pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, khas, dan berulang
1) Gerakan motorik, penggunaan obyek atau bicara yang stereotip dan berulang.
2) Ketaatan pada rutinitas yang berlebihan/kaku, adanya pola ritualistik perilaku
verbal dan nonverbal atau kesulitan untuk berubah.
3) Ketertarikan yang terbatas dan kaku, yang abnormal dalam intensitas dan fokus.
4) Reaksi yang berlebihan atau sangat kekurangan terhadap rangsang sensori atau
ketertarikan yang tidak biasa terhadap aspek sensori lingkungan.
Berdasarkan penjelasan di atas, peserta didik autis memiliki karakteristik berupa
hambatan komunikasi dan interaksi sosial serta memiliki pola perilaku, minat, dan
aktivitas yang terbatas dan berulang.
4. Kebutuhan Khusus Peserta Didik Autis
Berdasarkan karakteristiknya, peserta didik autis memiliki hambatan interaksi
sosial dan komunikasi sosial serta pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas dan
berulang sehingga peserta didik autis membutuhkan program kebutuhan khusus berupa
Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan Perilaku untuk peserta didik autis.
Program kebutuhan khusus berupa Pengembangan Komunikasi, Interaksi Sosial, dan
Perilaku untuk peserta didik autis tersebut terdiri dari bentuk layanan sebagai berikut:
a. Layanan Komunikasi dan Bahasa
Peserta didik autis mengalami hambatan komunikasi dan bahasa (verbal dan
nonverbal) sehingga sulit berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Dengan
demikian, peserta didik autis membutuhkan layanan komunikasi dan bahasa.
24
b. Layanan Interaksi Sosial
Peserta didik autis mengalami hambatan interaksi sosial sehingga sehingga sulit
berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya. Dengan demikian, peserta didik autis
membutuhkan layanan interaksi sosial.
c. Layanan Emosi
Peserta didik autis mengalami hambatan emosi sehingga sering mengalami tantrum
dan sulit mengekspresikan emosinya dengan baik. Dengan demikian, peserta didik
autis membutuhkan layanan emosi.
d. Layanan Perilaku
Peserta didik autis memiliki pola perilaku, minat, dan aktivitas yang terbatas, khas,
dan berulang. Dengan demikian, peserta didik autis membutuhkan layanan perilaku.
e. Layanan Sensorik Motorik
Peserta didik autis mengalami hambatan sensorik dan motorik sehingga sering
mengalami reaksi yang berlebihan atau sangat kekurangan terhadap rangsang
sensori atau ketertarikan yang tidak biasa terhadap aspek sensori lingkungan
Dengan demikian, peserta didik autis membutuhkan layanan sensorik motorik.
f. Layanan Pengembangan Diri
Peserta didik autis mengalami hambatan kemandirian sehingga kurang memiliki
kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Dengan demikian, peserta
didik autis membutuhkan layanan pengembangan diri.
25
BAB III
RUANG LINGKUP MATERI PROGRAM KEBUTUHAN KHUSUS
Ruang lingkup materi Program Kebutuhan Khusus sebagaimana diuraikan pada Bab sebelumnya
dikelompokkan menjadi 5 Program Kebutuhan Khusus, yaitu:
1. Orientasi, Mobilitas, Sosial dan Komunikasi (OMSK)
3. Pengembangan Diri.
Berdasarkan ruang lingkup tersebut, masing-masing dapat dijelaskan pengertian, tujuan, dan
ruang lingkup materi sebagai berikut.
A. Orientasi, Mobilitas, Sosial dan Komunikasi (OMSK)
1. Pengertian
26
dalam kehidupan pribadi dan sosial di lingkungan keluarga di sekolah dan
masyarakat luas
c. Pengembangan komunikasi: mampu bersikap baik dan benar dalam
berkomunikasi lisan, tulisan dan isyarat secara ekspresif menyenangkan baik
menggunakan alat komunikasi manual maupun berbasis teknologi dan informasi.
3. Ruang lingkup
1. Gambaran tubuh
1.1 Menjelaskan nama-nama • Menyebut nama-nama bagian tubuh dari
bagian tubuh rambut sampai ke ujung kaki
• Menyebutkan nama-nama bagian tubuh depan
dan belakang.
• Menyebutkan bagian-bagian sisi tubuh
27
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
28
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
29
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
30
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
31
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
32
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
33
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
34
NO KOMPETENSI INDIKTOR
1. Kesehatan Pribadi
1.1 Memelihara kesehatan pribadi • Melakukan mandi sendiri
• Mencuci dan mengeringkan tangan
• Mencuci dan mengeringkan kaki
• Menggosok gigi
• Menggunakan kamar mandi (toilet)
• Menggunakan deodoran
• Memakai sepatu dan sandal
• Memotong kuku
• Mencuci rambut dan menyisir
• Merias diri (make up)
1.2 Merawat dan memelihara • Mencuci dengan cara manual
pakaian. • Mencuci dengan menggunakan mesin cuci.
• Melipat pakaian
• Menyetrika pakaian
• Menyimpan pakaian
• Memilih pakaian yang tepat
• Menandai pakaian
2. Aktifitas sehari-hari
2.1 Menggunakan kompor • Menyalakan kompor (minyak, gas, kayu bakar,
(minyak, gas, kayu bakar, arang, briket)
arang, briket) • Merawat kompor
2.2 Menyiapkan makanan • Memilih bahan makanan yang sehat
• Memotong bahan makanan
• Mengupas bahan makanan
• Memasak bahan makanan
• Menggoreng bahan makanan
• Mengontrol kematangan makanan
• Menghidangkan makanan
• Menyimpan makanan.
2.3 Menggunakan etika di meja • Melakukan cara duduk
makan • Menyimpan dan menggunakan serbet
35
• Menggunakan peralatan di meja makan
• Mengorientasi meja makan
• Menggunakan etika di meja makan
• Menuangkan air kedalam gelas
• Menata makanan di meja makan.
• Menyiapkan hidangan utuk tamu/keluarga
• Menyajikan makanan dan minuman
• Melakukan cara makan dan minum
✓ Makan dengan tangan
✓ Makan dengan sendok dan garpu
✓ Minum dengan gelas
✓ Minum dengan botol
• Melakukan tata cara makan di tempat pesta
2.4 Membersihkan dan merawat • Menggunakan lampu (listrik, petromak,
perabot rumah tangga lampu minyak)
• Membersihkan perabot rumah tangga
• Membersihkan langit-langit
• Membersihkan kaca jendela dan pintu
• Menyapu lantai.
• Mengepel lantai
• Menata mebel
2.5 Membersihkan dan merawat • Membersihkan halaman.
halaman rumah • Merawat tanaman
• Merawat alat-alat berkebun
• Merawat hewan peliharaan
2.6 Memperbaiki pakaian • Mamasukan benang ke jarum
sederhana • Memperbaiki pakaian
36
• Mengatur uang untuk keperluan keluarga
(telp, listrik dll)
3. Dunia kerja
3.1 Manajemen kerja • Menjelaskan arti kerja.
• Menyebutkan aturan kerja
• Menunjukkan sikap dalam bekerja.
• Menyimpan alat kerja
• Memelihara alat kerja.
• Menggunakan alat kerja.
3.2 Menggunakan waktu • Menggunakan waktu efektif dan waktu
senggang
4. Reproduksi Manusia
4.1 Reproduksi manusia • Menjelaskan perbedaan tanda-tanda fisik bayi
sampai dewasa laki dan perempuan dengan
menggunakan model boneka
• Menjelaskan perbedaan alat reproduksi laki-
laki dan perempuan dengan menggunakan
model boneka
• Memahami masalah kewanitaan
✓ Datang bulan
✓ Kehamilan
✓ Merawat bayi
✓ Keluarga berencana
✓ Membesarkan anak
• Menanamkan nilai-nilai moral dan agama
yang berhubungan dengan kewanitaan
37
B. Komunikasi, Persepsi, Bunyi dan Irama (PKPBI)
1. Pengertian
Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama merupakan Program Kebutuhan Khusus
bagi peserta didik dengan hambatan pendengaran dan bicara. PKPBI adalah
pembinaan komunikasi dan penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau
tidak sengaja, sehingga kemampuan komunikasi dan mempersepsi bunyi melalui
pendengaran dan perasaan vibrasi yang masih dimiliki peserta didik dengan hambatan
pendengaran dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia
sekelilingnya yang penuh dengan bunyi. Pembinaan secara sengaja yang dimaksud
adalah pembinaan dilakukan secara terprogram. Artinya setelah dilakukan identifikasi
dan asesmen, guru menyusun perencanaan program, menetapkan tujuan, metode
pelaksanaan, alokasi waktu, dan penilaian. Pembinaan secara tidak sengaja adalah
pembinaan yang spontan karena peserta didik bereaksi terhadap bunyi latar belakang
yang hadir pada situasi tertentu. Misalnya, ketika dalam suatu pembelajaran di dalam
kelas, tiba-tiba dengar bunyi motor dan peserta didik bereaksi terhadap bunyi tersebut.
Guru merespon reaksi peserta didik dengan mengatakan:
"Kamu mendengar bunyi ya? Bagaimana bunyinya?”
“Brem... brem... brem...”, jawab salah seorang peserta didik. Kemudian guru
mengajak peserta didik menirukan bunyi motor sambil mengepalkan tangan dan
menggerak-gerakkannya seperti orang sedang memainkan handel gas sepeda motor.
Setelah itu pembelajaran yang terhenti karena peserta didik bereaksi terhadap bunyi
latar belakang tadi diteruskan.
Bagi orang dengar, bunyi ditangkap melalui indera pendengaran, namun
getarannya dapat dirasakan pula pada kulit dan bagian tubuh lain. Melalui PKPBI,
diharapkan peserta didik dengan hambatan pendengaran pun mengalami hal yang
sama. Peserta didik yang masih memiliki sisa pendengaran, dapat dioptimalkan agar
dapat mendeteksi, mendiskriminasikan, dan mengidentifikasi bunyi melalui
pendengaran. Peserta didik yang memiliki sedikit sisa pendengaran, dapat merasakan
vibrasi bunyi tersebut melalui bagian tubuh lainnya. Oleh karena itu, pelaksanaan
PKPBI harus mengupayakan terjadinya suatu kesatuan yang utuh antara kemampuan
untuk menangkap gelombang bunyi melalui vibrasi dan/atau sisa pendengaran yang
masih dimiliki peserta didik. Peserta didik tidak dituntut untuk mendengar dalam arti
sesungguhnya tetapi dilatih untuk mempersepsi bunyi. Hal ini sesuai dengan tujuan
umum program PKPBI yaitu untuk meningkatkan kepekaan kemampuan mempersepsi
38
bunyi dan perasaan vibrasi sehingga peserta didik dengan hambatan pendengaran
dapat melakukan kontak dengan dunia.
Terdapat dua arah pengembangan program PKPBI, yaitu pengembangan
komunikasi dan pengembangan persepsi bunyi dan irama. Pengembangan komunikasi
menitikberatkan pada pengembangan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi
sebagai kebutuhan dasar manusia. Menurut Irwin dalam Samuel A. Kirk (1989),
komunikasi adalah penyampaian informasi melalui bicara dan bahasa, tekanan,
kecepatan, intonasi, kualitas suara, pendengaran dan pemahaman, ekspresi muka dan
gerak isyarat tangan. Mengacu pada definisi komunikasi tersebut, maka keterampilan
komunikasi yang dapat dikembangkan dan digunakan dalam oleh peserta didik dengan
hambatan pendengaran dalam berinteraksi dengan lingkungannya dapat berupa
komunikasi oral, manual (isyarat), atau gabungan keduanya (komunikasi total).
Pengembangan persepsi bunyi dan irama menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan peserta didik dalam mempersepsi bunyi. Pemilihan istilah “persepsi”
digunakan karena peserta didik tunarungu mengenal bunyi bukan karena mendengar,
tetapi karena pengamatan bunyi melalui ujung jari atau rongga dada sehingga dapat
mendeteksi, mendiskriminasi, mengidentifikasi, dan memahami (komprehensi) bunyi.
Peserta didik dengan hambatan pendengaran memiliki kemampuan untuk
mempersepsi gelombang suara atau bunyi melalui rasa vibrasi dan dan/atau sisa
pendengaran sebagai satu kesatuan yang utuh.
2. Tujuan dan ruang lingkup pengembangan komunikasi
a. Tujuan
1) Memiliki dasar kemampuan ucapan yang benar
2) Mampu membentuk bunyi bahasa (vokal dan konsonan) dengan benar,
sehingga dapat dimengerti orang lain.
3) Memiliki keyakinan bahwa bunyi/suara yang diproduksi melalui alat
biacaranya memiliki makna.
4) Memiliki keterampilan pengucapan fonem,
5) Memiliki keterampilan pengucapan kata,
6) Memiliki keterampilan pengucapan kalimat,
7) Memiliki keterampilan komunikasi timbal balik secara lisan.
39
b. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengembangan kemampuan komunikasi disamping diarahkan
pada keterampilan menyimak dalam arti memahami makna bunyi bahasa, juga
ditujukan sebagai berikut:
1) Latihan pelemasan diberikan dalam bentuk senam mulut dan bibir.
2) Latihan pernafasan
3) Latihan pembentukan suara dan bahasa antara lain:
a) Latihan pengucapan fonem,
b) Latihan pengucapan kata,
c) Latihan pengucapan kalimat,
d) Latihan komunikasi langsung
3. Tujuan dan ruang lingkup pengembangan persepsi bunyi dan irama
a. Tujuan
Secara umum tujuan program pengembangan persepsi bunyi dan irama sebagai
berikut:
1) Peserta didik dengan hambatan pendengaran terhindar dari cara hidup yang
semata-mata tergantung pada daya penglihatan saja, sehingga cara hidupnya
lebih mendekati peserta didik dengar.
2) Kehidupan emosi peserta didik dengan hambatan pendengaran berkembang
dengan lebih seimbang dan kaya, karena dapat menghayati irama, tekanan
(aksen) dan tempo dari bunyi.
3) Pola penyesuaian peserta didik dengan hambatan pendengaran menjadi lebih
baik berkat dunia pengalamannya yang lebih luas.
4) Motorik peserta didik dengan hambatan pendengaran berkembang lebih
sempurna karena adanya hubungan timbal balik antara gerak (motorik)
dengan pendengaran (sensorik).
5) Meningkatkan keterampilan wicara dan membaca ujaran. Dengan PKPBI
peserta didik dilatih untuk mendengar suara/wicara sendiri maupun suara
orang lain sehingga peserta didik mampu mengontrol wicaranya sendiri
menjadi makin baik.
6) Peserta didik dengan hambatan pendengaran mempunyai kemungkinan untuk
mengadakan kontak yang lebih baik sebagai bekal hidup di masyarakat yang
mendengar sehingga lebih meningkatkan rasa percaya diri.
40
Secara khusus tujuan program pengembangan persepsi bunyi dan irama adalah
sebagai berikut:
1) Peserta didik dengan hambatan pendengaran dapat beradaptasi dengan
masyarakat mendengar di tengah dunia bunyi
2) Kehidupan emosi peserta didik dengan hambatan pendengaran berkembang
lebih seimbang setelah mengenal bunyi
3) Penyesuaian peserta didik dengan hambatan pendengaran menjadi lebih baik
berkat pengalamannya lebih luas di dunia bunyi
4) Gerakan motorik peserta didik dengan hambatan pendengaran berkembang
lebih sempurna setelah mengenal irama
b. Ruang Lingkup
Sesuai dengan tahapan proses mendengar manusia, maka ruang lingkup program
pengembangan kemampuan persepsi bunyi dan irama bagi peserta didik dengan
hambatan pendengaran meliputi:
1) Tahap deteksi bunyi yaitu kemampuan menyadari ada dan tidak ada bunyi.
2) Tahap diskriminasi bunyi yaitu kemampuan membedakan bunyi
3) Tahap identifikasi bunyi yaitu kemampuan mengenal bunyi
4) Tahap komprehensi bunyi yaitu kemampuan memahami bunyi
Ruang lingkup bunyi yang digunakan sebagai stimulus/rangsangan bunyi dalam
pengembangan kemampuan persepsi bunyi pada peserta didik dengan hambatan
pendengaran meliputi penghayatan bunyi yang paling primitif hingga bunyi yang
tertinggi yaitu:
1) Taraf penghayatan bunyi-bunyi latar belakang yang ada di sekitar
2) Taraf penghayatan bunyi sebagai isyarat atau tanda, dan
3) Taraf penghayatan bunyi sebagai lambang yaitu bunyi bahasa atau
percakapan yang terjadi saat ada interaksi antar manusia
Ruang lingkup respon/reaksi peserta didik terhadap bunyi yang didengar
dilakukan secara verbal maupun nonverbal, yaitu dalam bentuk:
1) Gerak bebas, gerak dasar, gerak berirama, gerak tari
2) Gambar lambang bunyi, sumber bunyi, lambang bilangan
3) Menunjukan pias-pias kata, atau kelompok kata
4) Melakukan perintah yang didengar.
5) Bermain peran
6) Tulisan nama bunyi, nama bilangan, nama sumber bunyi
41
7) Ucapan nama sifat bunyi, nama sumber bunyi
8) Menirukan membuat bunyi /memainkan alat musik
9) Mengucapkan kata, kelompok kata, atau kalimat yang didengarnya
10) Menjawab pertanyaan yang didengar.
42
NO. CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
- Mampu mengucapkan konsonan /z/ pada awal,
tengah kata (ijazah, lazim)
- Mampu mengucapkan konsonan /l/ pada awal,
tengah dan akhir kata (lampu, lilin, halal)
- Mampu mengucapkan konsonan /r/ pada awal,
tengah dan akhir kata (rambut, marah, petir)
- Mampu mengucapkan konsonan /y/ pada awal,
tengah kata (saya, papaya,)
- Mampu mengucapkan konsonan /sy/ pada
awal, tengah dan akhir kata (syarat,
masyarakat)
- Mampu mengucapkan konsonan /k/ pada awal,
tengah dan akhir kata,(kera, kaki, katak)
- Mampu mengucapkan konsonan /g/ pada awal,
tengah dan akhir kata, (gajah, lagu, bedug)
- Mampu mengucapkan konsonan /ng/ pada
awal, tengah dan akhir kata,(ngarai, mangga,
gudang)
- Mampu mengucapkan konsonan /c/ pada awal,
tengah kata,(cacing, baca),
- Mampu mengucapkan konsonan /j/ pada awal,
tengah dan akhir kata (jalan, baju, bajaj)
- Mampu mengucapkan konsonan /ny/ pada
awal, tengah kata,(nyanyi, menyalin)
- Mampu mengucapkan konsonan /h/ pada awal,
tengah dan akhir kata,(harimau, bahu, puyuh)
2. 2.1 Pengucapan kata • Mampu mengucapkan kata benda
• Mampu mengucapkan kata sifat
• Mampu mengucapkan kata kerja
• Mampu mengucapkan kata ganti
• Mampu mengucapkan kata keterangan
• Mampu mengucapkan kata bilangan
• Mampu mengucapkan kata sandang
43
NO. CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
• Mampu mengucapkan kata depan
• Mampu mengucapkan kata sambung
• Mampu mengucapkan kata seru
2.2 Pengucapan kata dengan • mampu mengucapkan kata dengan tekanan
tekanan kata lemah
• mampu mengucapkan kata dengan tekanan
keras
• mampu mengucapkan kata dengan tekanan
menurut situasi
3. 3.1 Pengucapan kalimat • Mampu mengucapkan kalimat ajakan
• Mampu mengucapkan kalimat larangan
• Mampu mengucapkan kalimat permintaan
• Mampu mengucapkan kalimat perintah biasa
• Mampu mengucapkan kalimat tanya dengan
kata tanya apa
• Mampu mengucapkan kalimat dengan kata
tanya siapa
• Mampu mengucapkan kalimat dengan kata
tanya kapan
• Mampu mengucapkan kalimat dengan kata
tanya mengapa
• Mampu mengucapkan kalimat dengan kata
tanya bagaimana
• Mampu mengucapkan kalimat dengan kata
tanya yang mana
3.2 Pengucapan tekanan dan • Mampu mengucapkan kalimat dengan tekanan
intonasi kalimat dan intonasi kalimat berita
• Mampu mengucapkan kalimat dengan tekanan
dan intonasi kalimat perintah
• Mampu mengucapkan kalimat dengan tekanan
dan intonasi kalimat tanya
44
NO. CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
4. Komunikasi langsung • Mampu berkomunikasi timbal balik dengan
orang lain
• Mampu mengungkapkan keinginannya secara
lisan
• Mampu menjawab pertanyaan secara lisan
• Mampu mengungkapkan gagasan secara lisan.
2. Kompetensi dan Indikator Pengembangan Persepsi Bunyi dan Irama untuk PDBK
Hambatan Pendengaran
45
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
46
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
47
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
48
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
49
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
50
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
51
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
52
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
53
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
54
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
55
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
56
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
57
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
58
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
59
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
60
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
61
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
C. Pengembangan Diri.
1. Pengertian
Pengembangan diri merupakan Program Kebutuhan Khusus bagi peserta didik
yang mengalami hambatan intelektual. Program Kebutuhan khusus bagi peserta didik
dengan hambatan intelektual dimaksudkan untuk memberikan keterampilan perilaku
adaptif. Melalui penguasaan keterampilan perilaku adaptif diharapkan mereka dapat
berperilaku sesuai dengan usianya, pada konteks soial dan budaya dimana peserta
didik tunagrahita tersebut tinggal”. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam rangka
menangani hambatan perilaku adaptif maka perlu diberikan program khusus yakni
program pengembangan diri.
2. Tujuan
Program kebutuhan khusus memiliki peran dan fungsi membantu peserta didik
berkebutuhan khusus agar mampu mengatasi hambatan yang ada dengan cara
menggantikan, memindahkan, atau mengalihkan komponen yang lemah, kurang atau
tidak berfungsi dengan memperkuat fungsi dan peran komponen lain yang
memungkinkan sehingga dapat mengatasi hambatan yang dialami untuk tumbuh dan
62
berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya masing-masing. Hambatan
kecerdasan pada peserta didik dengan hambatan intelektual diatasi dengan
memperkuat keterampilan hidup (life skill) atau Activity Daily Living (ADL).
3. Ruang Lingkup
Adapun ruang lingkup pengembangan program kebutuhan PDBK dengan hambatan
intelektual sebagai beriku.
a) merawat diri,
b) keterampilan menjaga keselamatan dan kesehatan,
c) keterampilan bekomunikasi,
d) keterampilan bersosialisasi,
e) keterampilan bekerja dan
f) keterampilan menggunakan waktu luang
1. Merawat Diri
63
• Memelihara kebersihan tangan dan kaki
• Menggunakan toilet
• Membersihkan diri setelah buang air kecil
dan besar
• Mencuci wajah
1.2 Mampu membersihkan dan
• Melakukan kegiatan mandi
menjaga kesehatan badan
• Menggosok gigi
dengan cara yang benar
• Melakukan cuci rambut
• Memelihara kebersihan telinga dan hidung
• Menggunakan pembalut wanita(wanita)
• Memelihara kuku
• Mencukur kumis dan jenggot
• Menanggalkan pakaian dalam
• Mengenakan pakaian dalam
• Menanggalkan pakaian luar
1.3 Mampu menanggalkan dan • Mengenakan pakaian luar
mengenakan pakaian • Melepas sepatu dan kaus kaki
dengan cara yang benar • Memakai sepatu dan kaus kaki
• Mengenakan asesoris pakaian
• Memilih pakaian sesuai kebutuhan
• Mengenakan pakaian sesuai kebutuhan
64
• Mencukur kumis dan jenggot
• Menyisir rambut
1.5 Mampu merias diri dengan • Menata rambut
cara yang benar • Merias wajah
• Mengenakan asesoris
3. Berkomunikasi
65
• Mengenal alat masak
• Membuat minuman dingin
• Membuat minuman panas
• Memasak masakan sederhana
• Merapikan tempat tidur
5.1 Mampu melaksanakan • Menjaga kebersihan sekolah dan rumah
kesibukan, dan keterampilan • Menjaga kebersihan pakaian
sederhana dalam kehidupan • Menjaga kerapihan pakaian
sehari-hari • Memelihara pakaian (memasang kancing,
dll)
• Memelihara kebersihan perabot rumah
tangga
• Menghemat penggunaan energi (listrik, air
bersih)
5.2 Mampu mengenal uang • Mengenal nilai uang
dengan baik • Mengenal fungsi uang
66
2. Tujuan
Adapun tujuan dari pengembangan diri dan gerak bagi peserta didik dengan
hambatan motorik sebagai berikut.
a. Agar gerak otot serasi, seimbang, sehat, dan kuat,sehingga mampu melakukan
gerakan sesuai dengan fungsinya.
b. Agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan mampu mengatasi
kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.
c. Agar peserta didik tunadaksa memiliki pengetahuan, sikap, nilai dan kemampuan
senso-motorik agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
3. Ruang Lingkup
a. Pengembangan diri
1) Menolong diri sendiri, (kebersihan, berpakaian)
2) Merawat, dan merias diri sendiri
3) Mengurus diri sendiri
4) Berkomunikasi dengan orang lain
5) Bersosialisasi dalam kehidupan di lingkungannya
6) Mengembangkan keterampilan hidup sehari-hari
7) Menyelamatkan diri dari bahaya
b. Pengembangan gerak
1) Melakukan gerak kontrol kepala, melakukan gerak anggota tubuh (tangan, kaki,
badan).
2) Melakukan gerak pernapasan,
3) Melakukan gerak pindah diri,
4) Melakukan gerak koordinasi (motorik kasar dan motorik halus), koordinasi
mata dan tangan, koordinasi mata dan kaki)
5) Menggerakkan alat bantu gerak, (menggunakan alat bantu yang dipakai, alat
bantu gerak, dan alat bantu yang sesuai dengan kebutuhannya masing-masing.
67
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
1. Pengembangan Diri
68
1.3 Mampu menyelamatkan diri • Menyelamatkan diri dari bahaya api
dari bahaya yang • Menyelamatkan diri dari bahaya benda tajam
mengancam dirinya dalam • Menyelamatkan diri dari bahaya listrik
kehidupan sehari-hari • Menyelamatkan diri dari bahaya binatang
dengan baik.
2. Pengembangan Gerak
69
2.2 Mampu melakukan gerakan • duduk
keseimbangan tubuh dalam • berdiri
kehidupan sehari-hari • berjalan
dengan benar
2.3 Mampu melakukan gerak
• Melakukan pernafasan dada dan perut sesuai
pernafasan dalam kehidupan
dengan hitungan.
sehari-hari dengan benar.
2.4 Mampu melakukan gerak
• Mengambil benda sendiri
pindah diri dalam kehidupan
• Berjalan dengan membawa benda
sehari-hari dengan benar.
2.5 Mampu melakukan gerak Gerak koordinasi motorik kasar
koordinasi motorik kasar, • merangkak dalam terowongan
gerak motorik halus, gerak • melempar dan menangkap bola
koordinasi mata dan tangan, • memukul bola dengan tangan/alat
mata dan kaki, mata tangan • menendang bola tanpa awalan
dan kaki dalam kehidupan Gerak koordinasi mata dan tangan
sehari-hari dengan benar. • Meletakkan benda dalam berbagai posisi
• Menyusun benda dari ukuran besar dan kecil
• Menyusun benda dengan urutan dari yang tingi
ke yang rendah
• Menyusun bermacam-macam balok
• Membongkar dan memasang puzzle
Gerak koordinasi mata dan kaki
• Melangkah kaki dalam berbagai pola dan
bentuk
• Menendang bola berbagai ukuran
Gerak koordinasi mata tangan dan kaki
• Bermain kelereng dan bola dengan optimal
• Melempar dan menangkap bola.
70
2.3 Mampu menggunakan alat Alat bantu gerak yang melekat
bantu gerak yang melekat • Memasang brace Sepatu rehabilitasi tanpa
dan alat bantu yang bergerak bantuan.
dalam kehidupan sehari-hari • Mepelepas brace sepatu rehabilitasi tanpa
dengan benar. bantuan.
Alat bantu yang bergerak
• Memakai kruk,
• Memakai walker,
• Memakai tripod,
• Memakai stik,
• Memakai crowler dan
• Memakai kursi roda dengan baik
2.4 Mampu menggunakan alat • Memakai Brace dan kruk
bantu yang sesuai dengan • Memakai Brace dan walker
kebutuhan masing-masing • Memakai Brace dan stick
peserta didik dalam • Memakai Sepatu rehabilitasi dan kruk
kehidupan sehari-hari • Memakai Sepatu rehabilitasi dan walker
dengan baik. • Memakai Sepatu rehabilitasi dan tripod.
71
baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, sehingga terwujudnya
kemampuan untuk hidup mandiri di tengah masyarakat.
2. Tujuan
Program kebutuhan khusus berupa pengembangan interaksi, komunikasi, dan
perilaku bagi peserta didik autis bertujuan untuk:
a. Mengurangi kecenderungan munculnya perilaku antisosial (perilaku tidak
efektif) dan mengarahkan pada perilaku yang fungsional/efektif.
b. Meningkatkan ketrampilan berkomunikasi secara visual, lisan maupun tertulis
melalui pembiasaan dan latihan yang terus-menerus dalam kehidupan sehari-
hari.
c. Meningkatkan kemampuan bersosialisasi peserta didik autis dengan lingkungan
sekitarnya.
d. Mewujudkan manusia yang berakhlak mulia, mandiri, jujur, disiplin,
bertanggung jawab dan toleransi.
e. Mencapai tugas-tugas perkembangan peserta didik autis yang sesuai dengan
teman sebayanya secara maksimal.
3. Ruang Lingkup
Hambatan utama aspek perkembangan pada peserta didik autis meliputi
interaksi, komunikasi, dan perilaku. Terdapat hambatan penyerta pada peserta didik
autis seperti permasalahan sensori, motorik, emosi, dan kemandirian. Oleh karena itu,
ruang lingkup program kebutuhan khusus berupa aspek:
a) Perilaku
b) Keterampilan komunikasi dan bahasa
c) Keterampilan interaksi sosial
d) Keterampilan sensori
e) Ketrampilan motorik
f) Emosi
g) Pengembangan diri
72
NO CAPAIAN PEMBELAJARAN INDIKATOR
1. Perilaku
2. Interaksi Sosial
73
3.1 Melakukan komunikasi • Melakukan kontak mata pada saat
awal dengan benar berkomunikasi
• Menirukan verbal vocal
• Menjawab” iya” setiap kali namanya di panggil
• Menjawab kabar sesuai dengan kondisi pada
saat itu
• Memberi salam pada saat bertemu orang lain
3.2 Mampu mengungkapkan • Memanggil orang disekitarnya/ temannya
perasaan dan pikiran • Mengungkapkan keinginan secara lisan: mau
buang air, makan dan minum
• menjawab pertanyaan sederhana mengenai
‘apa, siapa’
3.2 Mengidentifikasi orang- • Mengidentifikasi diri sendiri
orang atau tempat-tempat • Mengidentifikasi keluarga inti
yang ada di sekitar • Mengidentifikasi teman sekelas
• Mengidentifikasi guru-gurunya
4. Sensori
5. Motorik
74
5.1 Mampu melakukan latihan • Mengordinasikan jari-jari tangan untuk
motorik halus memegang benda pipih dan kecil
• Memegang alat tulis
• Menuang air atau benda-benda yang berukuran
kecil ke suatu tempat dengan tepat
• Meronce manik-manik dengan tepat
• Berkarya seni menggunakan media atau
lainnya
• Meremas kertas, plastisin atau kain dengan
menggerakkan seluruh jari
• Membalik, menyobek dan melipat kertas
5.2 Mampu melakukan latihan • Melempar dan menangkap bola dengan benar
motorik kasar • Menarik suatu benda
• Dapat berguling diatas matras
• Mengangkat beban
• Memukul benda
6. Pengembangan Diri
5.1 Mampu merawat diri • Dapat melakukan kegiatan buang air kecil
sendiri • Melakukan kegiatan buang air besar (BAB)
• Berpakaian dengan rapi
• Melakukan kegiatan mandi dengan mandiri
5.2 Kemandirian terkait dengan • Membuka makanan kemasan
diri sendiri • Menggunakan alat makan dan minum
• Mengambil nasi dan lauk sendiri
• Makan dan minum secara mandiri
• Makan menggunakan tangan/sendok dan
garpu
• Menuang air ke dalam gelas dari teko
/dispenser.
• Minum menggunakan gelas atau cangkir
• Minum menggunakan sedotan
• Berpakaian dan berhias
75
BAB IV
DESAIN PENGEMBANGAN MODEL PROGRAM KEBUTUHAN KHUSUS
A. Rambu-Rambu
Desain pengembangan model progam kebutuhan khusus, dalam implementasinya mengacu
pada rambu-rambu sebagai berikut:
1. Program Kebutuhan Khusus di Sekolah Luar Biasa, merupakan mata pelajaran yang
wajib diberikan kepada peserta didik sesuai dengan struktur kurikulum yang berlaku di
SLB.
2. Program Kebutuhan Khusus di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif merupakan
program tambahan yang wajib diberikan kepada peserta didik berkebutuhan khusus
sesuai dengan kebutuhannya, baik secara integratif dengan mata pelajaran dan/atau
materi pembelajaran yang relevan, maupun dengan menggunakan waktu khusus melalui
kegiatan ekstra kurikuler.
3. Program Kebutuhan Khusus hendaknya diberikan oleh Guru yang memiliki kualifikasi
dan kompetensi pembelajaran Program Kebutuhan Khusus, diantaranya Guru dengan
latar belakang PLB/PKh, Guru Pembimbing Khusus (GPK) di sekolah inklusif, atau
Guru lain yang berkompeten yang kompetensinya diperoleh melalui pelatihan khusus.
4. Program Kebutuhan Khusus, dalam implementasinya wajib mengacu pada standar
proses pembelajaran yang mencakup perencanaan pembelajaran, pelaksanaan
pembelajaran dan penilaian proses dan hasil pembelajaran.
5. Dalam perencanaan pembelajaran Program Kebutuhan Khusus, wajib diawali dari
proses asesmen diagnostik yang terukur untuk mengetahui level kebutuhan dari setiap
program kebutuhan khusus serta jenis dan bentuk dukungan yang diperlukan dalam
proses pembelajaran Program Kebutuhan Khusus.
6. Dalam perencanaan pembelajaran Program Kebutuhan Khusus, sekurang-kurangnya
memuat capaian pembelajaran yang merupakan wujud dari tujuan pembelajaran
berdasarkan hasil asesmen diagnostik yang dilakukan sebelumnya, isi atau materi
pembelajaran, dan penilaian proses dan hasil pembelajaran.
7. Dalam pelaksanaan pembelajaran Program Kebutuhan Khusus, wajib mengacu kepada
perencanaan pembelajaran, dilakukan secara fleksibel, terstruktur, aman, dan
menyenangkan. Fleksibel dimaksud adalah menyesuaikan waktu, tempat, dan kesiapan
peserta didik. Terstruktur dimaksud berjenjang dari yang sederhana ke yang kompleks,
76
dari yang mudah ke yang lebih sulit, dan berkelanjutan. Aman dimaksud adalah dalam
pelaksanaan pembelajaran harus mempertimbangkan jaminan keamanan dan
keselamatan. Misalnya dalam praktik OMSK peserta didik dengan hambatan
penglihatan, mungkin harus melewati lorong-lorong yang membahayakan bagi
keselamatan anak. Guru wajib memperhatikan keamanan dan keselamatan dalam
peleksanaan pembelajaran Program Kebutuhan Khusus. Menyenangkan dimaksud
adalah agar dalam pelaksanaan pembelajaran Program Kebutuhan Khusus diciptakan
situasi pembelajaran yang ramah, tidak kaku dan menyenangkan bagi peserta didik.
8. Dalam penilaian proses dan hasil pembelajaran, Guru melibatkan peserta didik, Guru
yang lain, Orangtua, dan/atau masyarakat untuk mengetahui kualitas proses
pembelajaran dan hasil pembelajaran yang telah dilaksanakan.
9. Dalam penilaian proses dan hasil pembelajaran Program Kebutuhan Khusus,
menekankan pada aspek keterampilan dan kemandirian. Karena itu pengukuran capaian
pembelajaran bukan menekankan pada aspek pengetahuan tetapi keterampilan dan
kemandirian.
B. Kurikulum
1. Berdasarkan Hasil Asesmen
Perencaan pembelajaran hendaknya didasarkan pada hasil asesmen PDBK. Hal
ini dimkasudkan untuk menghubungkan kurikulum dengan pembelajaran. Kurikulum
berbasis asesmen memiliki tiga tujuan: (1) menentukan kelayakan antara level
kompetensi peserta didik dengan kurikulum yang sesuai; (2) mengembangkan
kompetensi untuk pembelajaran; dan (3) mengevaluasi kemajuan peserta didik dalam
kurikulum.
Berdasarkan hasil asesmen anak, maka guru dapat menentukan tujuan
pembelajaran. Keluasan, kedalaman, dan keruntutan materi yang digunakan atas dasar
hasil asesmen dan tidak berasal dari kurikulum yang ditentukan. Beberapa alternatif
yang dapat dipilih sebagai berikut:
a. Jika hasil asesemen menunjukkan bahwa peserta didik berkebutuhan memiliki
kompetensinya sama dengan anak lain sebaya, maka seluruh keluasan,
kedalaman, dan keruntutan materi dapat digunakan untuk peserta didik
berkebutuhan khusus (beberapa hal mungkin diperlukan modifikasi).
b. Jika hasil asesemen menunjukkan bahwa peserta didik kompetensinya di bawah
anak lain sebaya, maka keluasan, kedalaman dan keruntutan materi disesuaikan
77
dengan komptensi awal peserta didik dengan mengambil kompetensi pada
kelas/jenjang di bawah atau menyusun kompetensi sendiri sesuai kebutuhan.
c. Jika hasil asesemen menunjukkan bahwa peserta didik kompetensinya di atas anak
lain sebaya maka maka keluasan, kedalaman dan keruntutan materi disesuaikan
dengan komptensi awal peserta didik dengan mengambil kompetensi dengan
berbagai pengayaan.
2. Implementasi Program Kebutuhan Khusus di satuan Pendidikan
Implementasi Desain Pengembangan Model Program Kebutuhan Khusus dibedakan
antara yang dilaksanakan di satuan pendidikan khusus (Sekolah Luar Biasa) dan di
satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif. Penjelasan lebih lanjut akan
diuraikan di bagian berikut.
78
2. Implementasi Program Kebutuhan Khusus di Sekolah Penyelenggara Pendidikan
Inklusif (SPPI).
a. Pengembangan program kebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif (SPPI) tidak merupakan mata pelajaran yang masuk dalam struktur
kurikulum. Program Kebutuhan Khusus tetap disediakan jika di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif terdapat peserta didik berkebutuhan khusus
yang membutuhkan Program Kebutuhan Khusus.
b. Pelaksanaan Program Kebutuhan Khusus bagi peserta didik berkebutuhan Khusus
di sekolah inklusif, didasarkan atas hasil asesmen diagnostic yang terukur yang
dilakukan oleh Guru dan ahli lain yang kompeten untuk mengetahui level
kebutuhan layanan program kebutuhan khusus. Berdasarkan hasil asesmen
diagnostic yang terukur tersebut, Guru Pembimbing Khusus (GPK) di sekolah
inklusif, dibantu pihak lain yang terkait, menyusun renana pembelajaran Program
Kebutuhan Khusus secara tertulis berbasis pada masing-masing individu peserta
didik berkebutuhan khusus.
c. Pelaksanaan Program Kebutuhan Khusus dilakukan secara fleksibel, dengan
menggunakan dua model, yaitu (1) terintegrasi dengan mata pelajaran atau materi
pembelajaran yang relevan dan terkait, dan/atau (2) dilaksanakan secara terpisah
dari mata pelajaran lain dilakukaan pada kegiatan ekstra kurikuler.
D. Mekanisme
Pengembangan program kebutuhan khusus di SLB maupun di SPPI mengikti langkah
sebagai berikut.
1. Guru di Sekolah (bisa merupakan suatu tim yang dibentuk sekolah), melakukan
identifikasi dan asesmen diagnostic secara sistemtis dan terukur terhadap
perkembangan dan pertumbuhan setiap peserta didik berkebutuhan khusus. Aspek
perkembangan dan pertumbuhan tersebut mengacu pada kebutuhan terhadap jenis
pengambangan kebutuhan khusus yang diperlukan. Sedikitnya terdapat 3 komponen
yang harus dimuat dalam tahap ini yaitu: (a) menggali kompetensi yang telah
dimiliki; (b) Menggali kompetensi yang belum dimiliki/tertinggal; (c) menggali
kompetensi yang dibutuhkan.
2. Menyusun profil PDBK dari hasil asesmen: mencakup identitas PDBK, dan deskripsi
kemampuan awal PDBK, Level kebutuhan layanan Program Kebutuhan Khusus, dan
bentuk dukungan yang diperlukan dalam pelaksanaan pembelajaran.
79
3. Menyusun perencanaan pembelajaran Program Kebutuhan Khusus sesuai hasil
asesmen diagnostic yang di dalamnya mencakup rumusan capaian pembelajaran, isi
dan materi pembelajaran, strategi yang akan ditempuh dalam pembelajaran, dan
evaluasi proses dan hasil pembelajaran.
4. Pelaksanaan/implementasi pembelajaran Program Kebutuhan Khusus mengacu pada
perencanaan pembelajaran, dan dilaksanakan secara fleksibel, terstruktur, aman dan
menyenangkan.
5. Penilaian proses dan hasil pembelajaran, yang dalam pelaksanaannya dapat
melibatkan secara langsung atau tidak langsung dengan peserta didik, Guru lain,
Orangtua peserta didik dan/atau masyarakat.
6. Refleksi/tindak lanjut yang mendasarkan pada penilaian proses dan hasil
pembelajaran. Tindak lanjut dapat berupa remedial, pengayaan.
1. Identifikasi
dan asesmen
diagnostik
6. 2. Profil kebutuhan
Refleksi/tinda layanan Program
k lanjut Kebutuhan Khusus
4.
Pelaksanaan
Pembelajaran
80
BAB V
MODEL IMPLEMENTASI PROGRAM KEBUTUHAN KHUSUS
A. Pengertian
Model implementasi Program Kebutuhan Khusus adalah contoh bagaimana
merencanakan, melaksanakan dan menilai Program Kebutuhan Khusus di sekolah yang
diterapkan kepada peserta didik berkebutuhan khusus untuk satu atau lebih materi
pembelajaran Program Kebutuhan Khusus. Karena sifatnya sebagai contoh, maka Guru
dapat mengembangkan model-model lain dari materi yang sama atau materi yang berbeda
sesuai dengan kebutuhan lapangan. Kata kuncinya adalah hasil asesmen diagnostic yang
dilakukan Guru. Asesmen merupakan proses yang berkesinambungan. Hasil asesmen
digunakan untuk menyusun profil belajar peserta didik, dan kemudian sebagai dasar dalam
penyusunan perencanaan pembelajaran. Oleh karena itu model implementasi Program
Kebutuhan Khusus perlu dibuat dalam buku terpisah sesuai dengan jenis Program
Kebutuhan Khusus yang direncanakan dalam Kurikulum Satuan Pendidikan.
pencapaian tujuan.
81
C. Model Desain Pembelajaran
Ada beberapa model desain pembelajaran yang dapat dipilih oleh guru dalam
implementasi Program Kebutuhan Khusus. Beberapa diantaranya adalah:
1. Model Banathy: Model ini memandang bahwa penyusunan sistem pembelajaran
dilakukan melalui tahapan-tahapan yang jelas. Terdapat 6 tahap dalam mendesain
suatu program pembelajaran yakni:
a. Menganalisis dan merumuskan tujuan, baik tujuan pengembangan sistem
maupun tujuan spesifik. Tujuan merupakan sasaran dan arah yang harus dicapai
oleh siswa atau peserta didik.
b. Merumuskan kriteria tes yang sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Item
tes dalam tahap ini dirumuskan untuk menilai perumusan tujuan. Melalui
rumusan tes dapat meyakinkan kita bahwa setiap tujuan ada alat untuk menilai
keberhasilannya.
c. Menganalisis dan merumuskan kegiatan belajar, yakni kegiatan
mengiventasikan seluruh kegiatan belajar mengajar, menilai kemampuan
penerapannya sesuai dengan kondisi yang ada serta menentukan kegiatan yang
mungkin dapat diterapkan.
d. Merancang sistem, yaitu kegiatan menganalisis sistem menganalisis setiap
komponen sistem, mendistribusikan dan mengatur penjadwalan.
e. Mengimplementasikan dan melakukan kontrol kualitas sistem, yakni melatih
sekaligus menilai efektivitas sistem, melakukan penempatan dan melaksanakan
evaluasi.
f. Mengadakan perbaikan dan perubahan berdasarkan hasil evaluasi.
2. Model Dick and Carey: Dick, Carey, dan Carey memandang desain pembelajaran
sebagai sebuah sistem dan menganggap pembelajaran adalah proses yang sitematis.
Pada kenyataannya cara kerja yang sistematis inilah dinyatakan sebagai model
pendekaan sistem. Dipertegas oleh Dick, Carey, dan Carey bahwa pendekatan
sistem selalu mengacu kepada tahapan umum sistem pengembangan pembelajaran
(Instructional Systems Development/ISD). Komponen model Dick, Carey, dan
Carey meliputi; pembelajar, pebelajar, materi, dan lingkungan. Demikian pula
dilingkungan pendidikan non formal meliputi; warga belajar (pebelajar), tutor
(pembelajar), materi, dan lingkungan pembelajaran.
Adapun langkah Dick and Carey sebagai berikut.
82
a. Analisis kebutuhan untuk menentukan tujuan (Identifying goals):
b. Melakukan analisis Pembelajaran (Conducting instructional analysis)
c. Menganalisis warga belajar dan lingkungannya (Identifying entry behaviors and
learner characteristics)
d. Merumuskan tujuan khusus (Writing performance objective)
e. Mengembangkan instrumen penilaian (Developing criterion-referenced test
items)
f. Mengembangkan strategi pembelajaran (Developing instructional strategy)
g. Mengembangkan materi pembelajaran (Developing and selecting instructional
materials)
h. Merancang & Mengembangkan Eva Formatif (Designing and conducting the
formative evaluation of instruction)
i. Merevisi Pembelajaran (Revising instruction)
j. Mengembangkan evaluasi sumatif (Conducting summative evaluation)
3. KEMP: Model desain sistem pembelajaran yang dikembangkan oleh Jerrold Kemp
(1994) merupakan model yang membentuk siklus. Dalam model ini pengembangan
desain sistem pembelajaran terdiri atas komponen-komponen yang dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan, tujuan, dan berbagai kendala yang timbul. Menurut Kemp
pengembangan perangkat merupakan suatu lingkaran yang kontinyu. Tiap-tiap
langkah pengembangan berhubungan langsung dengan aktivitas revisi.
Pengembangan perangkat ini dimulai dari titik manapun sesuai di dalam siklus
tersebut. Model Kemp ini tidak menentukan dari komponen mana seharusnya proses
pengembangan itu dimulai. Dalam mengembangkan sistem pembelajaran bisa
dimulai dari komponen mana saja, asal tidak mengubah urutan komponennya, dan
setiap komponen itu memerlukan revisi demi mencapai hasil yang maksimal.
Pengembangan perangkat model Kemp memberi kesempatan kepada para
pengembang untuk dapat memulai dari komponen manapun. Namun sebaiknya
proses pengembangan itu dimulai dari tujuan.
Adapun langkah yang dikembangkan sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi masalah pembelajaran, dan menentukan tujuan untuk
merancang program pembelajaran.
b. Memeriksa karakteristik peserta didik yang harus mendapat perhatian selama
perencanaan.
83
c. Mengidentifikasi isi/ materi, dan menganalisis komponen tugas yang
berkaitan dengan tujuan yang telah ditetapkan dan tujuan.
d. Tujuan pembelajaran nasional
e. Urutan isi dalam setiap unit pembelajaran
f. Merancang strategi pembelajaran sehingga setiap peserta didik dapat
menguasai tujuan.
g. Rencanakan dan pengiriman. pesan pembelajaran
h. Mengembangkan instrumen evaluasi untuk mengukur ketercapaian tujuan.
i. Pilih sumber daya untuk mendukung kegiatan pengajaran dan pembelajaran
D. Implementasi Model Pembelajaran Kemp.
1. Model Desain Pembelajaran Pengembangan Program Kebutuhan Khusus PDBK
Pengembangan program kebutuhan khusus PDBK mencakup 5 program, sehingga
dalam perancang model pembelajaran untuk kelima program tersebut memiliki
desain yang sama tetapi sasaran dan isinya disesuaikan dengan jenis PDBK.
5 JENIS
PDBK
DESAIN
MODEL
5 JENIS
9 LANGKAH
PROGRAM
KEMP
KHUSUS
84
Langkah Kemp Modifikasi
2. Memeriksa karakteristik PDBK b. Penyusunan profil
berdasarkan hasil asesmen yang harus PDBK
mendapat perlakukan. c. Penentuan capaian
3. Mengidentifikasi isi/ materi, dan pembelajaran
menganalisis komponen tugas yang d. Pelaksanaan
berkaitan dengan tujuan. 1) Perencanaan
4. Menentuan kompetensi program (sedikitnya
kebutuhan khusus yang telah ditetapkan mencakup: silabus,
dalam kurikulum Pendidikan Khusus penyusunan program
5. Menentukan keluasan, kedalaman dan dan RPP)
keruntutan materi. 2) Pelaksanaan
6. Merancang strategi pengembangan 3) Penilaian proses
program kebutuhan khusus PDBK pembelajaran
sehingga setiap peserta didik dapat g. Refleksi/Tindak lanjut
mencapai tujuan masing-masing ii.
7. Pelaksanaan
pengembangan/intervensi/pembelajaran
8. Mengembangkan refleksi atau instrument
penilaian untuk mengukur ketercapaian
tujuan.
9. Memilih sumber daya, sarana, media,
teknologi bantu untuk mendukung
kegiatan pengajaran dan pembelajaran.
85
BAB VI
PENUTUP
86
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edition
(DSM-V). Washington: American Psychiatric Publishing
Bambang Nugrogo. (2002). Modul Kuliah Ketunarunguan. Jakarta: UNJ.
Bunawan, Lani dan Cecilia Susila Yuwati. (2000). Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu, Jakarta: Yayasan
Santi Rama.
Boothroyd, Arthur (1982), Hearing Impairments in Young Children, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs,
New York.
Calderon, R. & Greenberg, M.T. (2012). Social and Emotional Development of Deaf Children: Family,
School, and Program Effects. Oxford University Press: England.
Keefer, A. (2018). Characteristics of a Visually Impaired Child. Diunduh dari
https://www.hellomotherhood.com/characteristics-of-a-visually-impaired-child-4886241.html
Dandona, L., Dandona, R. (2006). What is the global burden of visual impairment?. BMC Med 4, 6
Gargiulo, R. (2012). Special Education in Contemporary Society. An Introduction to Exceptionality. USA:
Thomson Learning.
Moores, Donald F. (2001). Educating The Deaf, Psychology, Principles and Practices, Houghton Mifflin
Company, Boston, New York.
Murni Winarsih dkk. (2010). Program Khusus SLB Tunarungu Bina Persepsi Bunyi dan Irama. Jakarta:
Pusat Kurikulum.
Pemerintah. (2013). Perlindungan anak. Jakarta. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia
Pemerintah. (2020). Akomodasi Yang Layak bagi Peserta Didik Penyandang Disabilitas. Jakarta.
Kemendikbud
Pemerintah. (2014). Kurikulum Pendidikan Khusus. Jakarta. Kemendikbud
Vaughn, bos, Schumm, J.S. (2000). Teaching Exeptional, Diverse and at risk Students in the General
Education Classroom. Needham Heights, MA. Allyn and Bacon
UNESCO. (2014). Inclusion from the start: guidelines on inclusive early childhood care and education for
Roma children. UNSCO: France.
87
-
88