Siti Nurfaijah-Jurnal Unm

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Available online at

http://journal2.um.ac.id/index.php/jbs
P-ISSN: 0854-8277, E-ISSN: 2550-0635

Vol(Issue) (Year) page–page

Phoneme sound change in Indonesian words in the Tidung


Tarakan language

Perubahan bunyi fonem pada kosa kata bahasa Indonesia


dalam bahasa Tidung Tarakan
Siti Nurfaijah a * , Nurhadi b , Esti Swatika Sari c
abc Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia

Submitted: Accepted: Published:

KEYWORDS ABSTRACT
phonology, This research aims to describe the phenomenon of phonemic sound changes in Indonesian
phoneme, vocabulary in the Tidung Tarakan language. This type of research is qualitative descriptive.
Tidung, Qualitative research methods are often referred to as naturalistic research methods because
language the research is conducted in natural conditions (natural setting). Natural objects are objects
that develop as they are, not manipulated by the researcher, and the presence of the
researcher does not significantly affect the dynamics of the object. The research object taken
from the Tidung Tarakan language is sound changes. Therefore, the research object is
utterances in the form of words, phrases, and sentences in the Tidung Tarakan language.
The data in this research consist of a collection of words, phrases, and sentences in the
Tidung Tarakan language. The data were obtained orally from sources in the residents'
places and the informants' lives. In other words, the data are derived from the field. The
results of this research show that there are nine phonemic sound changes in Indonesian
vocabulary in the Tidung Tarakan language. This indicates that in the process of borrowing
words from Indonesian to Tidung Tarakan, sound changes occur following different phonetic
rules and patterns in the Tidung Tarakan language. These phonemic sound changes can
affect the pronunciation and understanding of vocabulary between the two languages.
Therefore, a good understanding of these sound changes is important to communicate
accurately and effectively in the Tidung Tarakan language.

KATA KUNCI ABSTRAK


fonologi, Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena bentuk perubahan bunyi fonem
fonem, kosa kata Bahasa Indonesia dalam bahasa Tidung Tarakan. Jenis penelitian ini adalah
Tidung, deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian
bahasa, naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting).
Objek penelitian yang diambil dari bahasa Tidung Tarakan adalah tentang bentuk
perubahan bunyi. Jadi, objek penelitiannya adalah ujaran yang berupa kata, frasa, dan
kalimat bahasa Tidung Tarakan. Data dalam penelitian ini merupakan kumpulan kata,
frasa, dan kalimat dalam bahasa Tidung Tarakan. Data tersebut diperoleh secara lisan dari
sumber yang ada di tempat tinggal dan kehidupan informan. Dengan kata lain, data
tersebut berasal dari lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat sembilan
perubahan bunyi fonem pada kosakata bahasa Indonesia dalam bahasa Tidung Tarakan.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses peminjaman kata dari bahasa Indonesia ke
bahasa Tidung Tarakan, terjadi perubahan bunyi yang mengikuti aturan dan pola fonetik
yang berbeda dalam bahasa Tidung Tarakan. Perubahan bunyi fonem ini dapat
mempengaruhi pengucapan dan pemahaman kosakata antara kedua bahasa tersebut. Oleh
karena itu, pemahaman yang baik mengenai perubahan bunyi fonem ini penting untuk
mampu berkomunikasi dengan tepat dan efektif dalam bahasa Tidung Tarakan.

* Corresponding author name: Siti Nurfaijah


E-mail address: sitinurfaijah.2022@student.uny.ac.id
2 Siti Nurfaijah, Perubahan bunyi fonem...

APA 7th Citation:


Please do not write anything here. It will be filled by the editorial team after the acceptance.
Name, N. (Year). Title. Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, Vol(Issue), page-page
DOI: dx.doi.org/10.17977/umxxxxxxxxxxxxxxx
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 3

Pendahuluan

Indonesia memiliki kebergaman suku, budaya, dan bahasa yang kaya. Kota
Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara merupakan salah satu daerah yang memiliki
bermacam-macam suku yang mendiaminya. Suku asli Kota Tarakan yaitu suku
Tidung. Menurut Neni Puji Nur Rahmawati (2017), Tidung adalah suku asli
Kalimantan yang beragama Islam, atau bagian dari Dayak khususnya Dayak Murut
di Tarakan, Kalimantan Utara. Nama Tidung juga menunjukkan kepada sebuah
kerajaan yang kental dengan nuansa keislaman, yaitu kerajaan Tidung. Suku Tidung
merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian Utara Kalimantan. Ia juga
merupakan suku anak Negeri di Sabah. Jadi, Suku Tidung merupakan suku bangsa
yang terdapat di Indonesia maupun di Malaysia (Negeri Sabah).
Agar komunikasi dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik, maka
diperlukan penggunaan bahasa yang mudah dimengerti bersama. Bentuk utama
bahasa adalah bunyi. Bunyi merupakan ujaran yang diproduksi oleh alat-alat ucap
manusia. Kemampuan seseorang dalam bertutur diperoleh sesuai dengan tingkatan
usia mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa dan tua. Kemampuan seseorang
dalam melafalkan bunyi pun tentu berbeda antara satu dengan yang lainnya
(Oktavia, 2018). Berbeda dengan (Muslich, 2009) yang menyatakan bahwa bunyi ujar
adalah unsur bahasa terkecil yang merupakan bagian dari struktur kata yang
sekaligus berfungsi untuk membedakan makna.
Suku Tidung yang mendiami Kota Tarakan secara umum dalam kesehariannya
berkomunikasi dengan sesama suku maupun dengan suku lainnya menggunakan
bahasa Tidung dan bahasa Indonesia dengan dialek Melayu. Sama seperti bahasa
daerah lainnya, bahasa Tidung Tarakan memiliki posisi dan peran yang khas, baik
dalam kaitannya dengan bahasa nasional maupun sebagai bahasa daerah. Bahasa
Tidung Tarakan memiliki ciri khas tersendiri. Ciri tersebut diketahui dari cara
pengucapan dan perubahan bunyi bahasa. Kata “pergi” bentuk pengucapannya bisa
“pergi” dan bisa juga diucapkan “pigi”. Bentuk pengucapan yang bervariasi tersebut
bisa akan terlihat pada percakapan antara penutur A dan B. Pada situasi ini, A
berperan sebagai penutur pertama, sementara B sebagai penutur kedua. Ketika A
mengajak B untuk pergi, A akan menggunakan kata “pigi”. Namun, jika B
menanyakan pergi kemana kepada A, B akan menggunakan kata “pergi”.
Selanjutnya, terjadi perubahan bunyi dalam bahasa Indonesia baku menjadi
bunyi bahasa Tidung Tarakan. Contohnya, kata “pulang” berubah menjadi “balek”,
“akan” berubah menjadi “nak”, “jendela” menjadi “jejala”, “buaya” menjadi “buayo”,
dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut, penelitian yang berhubungan dan
pengucapan dan perubahan bunyi dalam bahasa Melayu Tarakan menjadi penting
untuk dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali fenomena perubahan bunyi bahasa
(fonologi) dan cara pengucapan (fonetik) serta mendeskripsikan bentuk pengucapan
bahasa Tidung Tarakan dan perubahan bunyi bahasa Tidung Tarakan provinsi
Kalimantan Utara.
4 Siti Nurfaijah, Perubahan bunyi fonem...

Bahasa adalah sebuah sarana untuk menyampaikan pikiran dan emosi melalui
komunikasi. Manusia menggunakan bahasa untuk mendapatkan pengetahuan,
menikmati hiburan, dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Karena alasan itu,
pengaturan segala aspek kehidupan manusia bergantung pada penggunaan bahasa.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Pernando dan Rahima (2017:2) bahwa
pemanfaatan bahasa sebagai alat komunikasi, dapat dilihat dari berbagai aspek
kehidupan kita diantaranya, dalam dunia pendidikan, pemerintahan, sosial ekonomi,
dan media massa. Melalui bahasa, manusia dapat berkomunikasi dengan mudah
seperti bertukar pikiran, mengemukakan ide dan gagasan. Lebih lanjut menurut
Rahima (2019:2) kebiasaan berkomunikasi dalam masyarakat mempunyai ciri khas
tertentu. Oleh karena itu, kita dapat mengetahui asal suku bangsa suatu masyarakat
melalui bahasa yang digunakan.
Untuk memastikan komunikasi efektif, diperlukan penggunaan bahasa yang
mudah dipahami oleh semua pihak yang terlibat. Aspek terpenting dari bahasa
adalah bunyi, yang merupakan hasil dari ekspresi suara yang dihasilkan oleh
manusia melalui organ-organ ucap mereka. Kemampuan seseorang dalam berbicara
berkembang seiring bertambahnya usia, mulai dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa,
hingga usia tua. Kemampuan seseorang dalam melafalkan bunyi pun tentu berbeda
antara satu dengan yang lainnya (Oktavia, 2018). Berbeda dengan (Muslich, 2009)
yang menyatakan bahwa bunyi ujar adalah unsur bahasa terkecil yang merupakan
bagian dari struktur kata yang sekaligus berfungsi untuk membedakan makna.
Konsep bahasa merupakan sistem tanda bunyi yang disepakati untuk digunakan
oleh anggota kelompok masyarakat tertentu dalam bekerja sama, berkomunikasi,
dan mengidentifikasi diri (Kridalaksana, 2005:3). Berdasarkan definisi tersebut,
dapat disimpulkan bahwa bahasa memiliki tanda dan bunyi yang bersistem dan
disepakati sekelompok masyarakat. Sistem tanda atau lambang bunyi tersebut
berfungsi sebagai alat komunikasi, bekerjasama, dan mengidentifikasi diri
mempunyai ciri-ciri umum dan khusus.
Bahasa yang digunakan suatu kelompok masyarakat tersebut dapat dikaji
menggunakan ilmu linguistik. Objek utama kajian linguistik adalah bahasa lisan
(parole) (Verhaar, 1981:3). Tapi jika dalam praktik berbahasa dijumpai ragam bahasa
tulis, maka ia dianggap sebagai bahasa sekunder, yaitu bahasa kedua yang
merupakan rekaman dari bahasa lisan. Dengan demikian, bahasa tulis bukan
menjadi sasaran utama kajian lingusitik. Dari sini dapat kita pahami bahwa material
bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Kajian mendalam tentang bunyi-bunyi ujar ini
dapat dianalisis dengan cabang linguistik yang disebut fonologi. Seperti yang
dikatakan oleh Chaer (2013) bahwa runtutan bunyi bahasa dapat dianalisis dengan
kajian fonologi yang diartikan sebagai sebuah ilmu yang mempelajari, membahas,
membicarakan, menganalisis bunyi-bunyi bahasa yang keluar dari alat ucap
manusia.
Lebih lanjut Chaer (2013) mengklasifikasikan kajian fonologi menjadi dua bagian
yaitu fonetik dan fonemik. Perbedaan antara fonetik dengan fonemik terlihat dari
kajiannya tentang bunyi bahasa. Secara umum fonetik bisa dijelaskan sebagai
cabang fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa tanpa memperhatikan statusnya,
apakah bunyibunyi bahasa itu dapat membedakan makna atau tidak. Sedangkan
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 5

fonemik adalah cabang kajian fonologi yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa dengan
memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna. Dari pembagian fonologi
tersebut dikenal juga istilah transkripsi fonetik dan fonemik. Transkripsi fonetik
adalah penulisan bunyi-bunyi bahasa secara akurat dengan menggunakan huruf
atau tulisan fonetik sedangkan transkripsi fonemik adalah penulisan bunyi-bunyi
bahasa sesuai dengan yang dilafalkan.
Bunyi-bunyi bahasa baik itu vokal maupun konsonan condong berubah
kualitasnya karena lingkungannya. Perubahan itu dapat bersifat fonetis dan dapat
pula bersifat fonemis. Bersifat fonetis artinya perubahan bunyi itu tidak
menyebabkan perubahan identitas suatu fonem. Sebaliknya, perubahan yang bersifat
fonemis menyebabkan berubahnya identitas suatu fonem.
Perubahan bunyi bisa berdampak pada dua kemungkinan. Apabila perubahan itu
tidak sampai membedakan makna atau mengubah identitas fonem, maka bunyi-
bunyi tersebut masih merupakan alofon atau varian bunyi dari fonem yang sama.
Dengan kata lain, perubahan itu masih dalam lingkup perubahan fonetis. Tetapi,
apabila perubahan bunyi itu sudah sampai berdampak pada pembedaan makna atau
mengubah identitas fonem, maka bunyi-bunyi tersebut merupakan alofon dari fonem
yang berbeda. Demgan kata lain, perubahan itu disebut sebagai perubahan fonemis.

Perubahan Bunyi
Muhlish (2008: 42) mengatakan kasus pengucapan bunyi yang tidak sesuai
dengan EYD memang sering sekali terjadi di masyarakat. Adapun jenis-jenis dari
perubahan bunyi tersebut adalah asimilasi, disimilasi, modifikasi vokal, netralisasi,
zeroisasi, metatesis, diftongisasi, monoftongisasi, dan anaptiksis.
1. Asimilasi
Asimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang tidak sama menjadi bunyi
yang sama atau yang hampir sama. Hal ini terjadi karena bunyi-bunyi bahasa itu
diucapkan secara berurutan sehingga berpotensi untuk saling mempengaruhi atau
dipengaruhi. Perhatikan contoh berikut.
(1) Kata bahasa Inggris top diucapkan [tOp’] dengan [t] apikodental. Tetapi,
setelah mendapatkan [s] lamino-palatal pada stop, kata tersebut diucapkan [s
t o p’] dengan [t] juga lamino-palatal. Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa [t] pada [stOp’] disesuaikan atau diasimilasikan arikulasinya dengan
[s] yang mendahuluinya sehingga sama-sama lamino-palatal. Jika bunyi yang
sudah diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang mengasimilasikan disebut
asimilasi progresif.
(2) Kata bahasa Belanda zak ‘kantong’ diucapkan [zak] dengan [k] velar tidak
bersuara, dan doek ‘kain’ diucapkan [duk’] dengan [d] apiko-dental bersuara.
Ketika kedua kata tersebut digabung, sehingga menjadi zakdoek ‘sapu
tangan’, diucapkan [zagduk’]. Bunyi [k] pada zak berubah menjadi [g] velar
bersuara karena dipengaruhi oleh bunyu [d] yang mengikutinya. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa bunyu [k] pada [zak’] disesuaikan atau
diasimilasikan artikulasi dengan bunyi [d] yang mengikutinya sehingga
6 Siti Nurfaijah, Perubahan bunyi fonem...

sama-sama bersuara. Jika bunyi yang diasimilasikan terletak sebelum bunyi


yang mengasimilasikan disebut asimilasi regresif.
(3) Kata bahasa Batak Toba holan ho ‘hanya kau’ diucapkan [holakko], suan hon
diucapkan [suatton]. Bunyi [n] pada holan dan bunyi [h] pada ho saling
disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [k], sedangkan [n] pada suan dan
[h] pada hon saling disesuaikan atau diasimilasikan menjadi [t]. dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut, yaitu [n] dan [h],
[n] dan [h] saling disesuaikan. Jika kedua bunyi saling mengasimilasikan
sehingga menimbulkan bunyi baru disebut asimilasi resiprokal.
Dilihat dari lingkup perubahannya, asimilasi pada contoh 1 tergolong asimilasi
fonetis karena perubahannya masih dalam lingkup alofon dari satu fonem, yaitu /t/.
asimilasi pada contoh 2 juga tergolong asimilasi fonetis karena perubahan [k’] ke [g’]
dalam posisi koda masih tergolong alofon dari fonem yang sama. Sedangkan asimilasi
pada contoh 3 tergolong asimilasi fonemis karena perubahan dari [n] ke [k] dan [h] ke
[k] (pada holan ho > [holakko]), serta perubahan dari [n] ke [t] dan [h] ke [t] (pada
suan hon > [suatton]) sudah dalam lingkup antarfonem. Bunyi [n] merupakan alofon
dari fonem /n/, bunyi [k] merupakan alofon dari fonem /k/. begitu juga, bunyi [h]
merupakan alofon dari fonem /h/, dan bunyi [t] merupakan alofon dari fonem /t/.
Dalam bahasa Indonesia, asimilasi fonetis terjadi pada bunyi nasal pada kata
tentang dan tendang. Bunyi nasal pada tentang diucapkan pada apiko-dental karena
bunyi yang mengikutinya, yaitu [t], juga apiko-dental. Bunyi nasal pada tendang
diucapkan apoko-alveolar karena bunyi yang mengikutinya, yaitu [d], juga apoko-
alveolar. Perubahan bunyi nasal tersebut masih dalam lingkup alofon dari fonem
yang sama.
Asimilasi fonemis terlihat pada contoh berikut. Kalimat bahasa Belanda Ik eet vis
‘saya makan ikan’, kata vis –yang biasa diucapkan [vis]- pada kalimat tersebut
diucapkan [fis] dengan frikatif labio-dental tidak bersuara karena dipengaruhi oleh
kata eet [i:t’] yang berakhir dengan bunyi stop apiko-alveolar tidak bersuaara.
Perubahan atau penyesuaian dari [v] ke [f] merupakan lingkup dua fonem yang
berbeda karena bunyi [v] merupakan alofon dari fonem /v/, dan bunyi [f] merupakan
alofon dari fonem /f/.
2. Disimilasi
Kebalikan dari asimilasi, disimilasi adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang
sama atau mirip menjadi bunyi yang tidak sama atau berbeda. Perhatikan contoh
berikut ini:
(1) Kata bahasa Indonesia belajar [belajar] berasal dari penggabungan prefik ber
[bǝr] dan bentuk dasar ajar [ajar]. Mestinya, kalau tidak ada perubahan
menjadi berajar [bǝrajar]. Tetapi, karena ada dua bunyi [r], maka [r] yang
pertama dibedakan atau didisimilasikan menjadi [l] sehingga menjadi
[bǝlajar]. Karena perubahan tersebut sudah menembus batas fonem, yaitu [r]
merupakan alofon dari fonem /r/ dan [l] merupakan alofon dari fonem /l/,
maka disebut disimilasi fonemis.
(2) Secara diakronis, kata sarjana [sarjana] berasal dari bahasa Sanskerta
sajjana [sajjana]. Perubahan itu terjadi karena adanya bunyi [j] ganda. Bunyi
[j] yang pertama berubah menjadi bunyi [r]; [sajjana] > [sarjana].karena
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 7

perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [j] merupakan alofon dari
fonem /j/ dan [r] merupakan alofon dari fonem /r/, maka perubahan itu
disenut disimilasi fonemis.
(3) Kata sayur-mayur [sayUr mayUr] adalah hasil proses morfologis
pengulangan bentuk dasar sayur [sayUr]. Setelah diulang, [s] pada bentuk
[sayUr] mengalami perubahan menjadi [m] sehingga menjadi [sayUr mayUr].
Karena perubahan itu sudah menembus batas fonem, yaitu [s] merupakan
alofon dari fonem /s/ dan [m] merupakan alofon dari fonem /m/, maka
perubahan itu juga disebut disimilasi fonemis.
3. Modifikasi
Modifikasi vokal adalah perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh
bunyi lain yang mengikutinya. Perubahan ini sebenarnya bisa dimasukkan ke dalam
peristiwa asimilasi, tetapi karena kasus ini tergolong khas, makas perlu
disendirikan. Berikut ini contoh terjadinya modifikasi.
(1) Kata balik diucapkan [balȋ?], vokal I diucapkan [ȋ] rendah.tetapi ketika
mendapatkan surfiks –an, sehingga menjadi baikan, bunyi [i] berubah
menjadi [i] tinggi: [balikan] Perubahan ini akibat bunyi yang mengikutinya.
Pada kata balik, bunyi yang mengikutinya adalah glotal stop atau hamzah
[?], sedangkan kata balikan, bunyi yang mengikutinya adalah dorso-velar [k].
Karena perubahan dari [ȋ] ke [I] masih dalam alofon dari satu fonem, maka
perubahan itu disebut modifikasi vokal fonetis. Sebagai catatan, perubahan
itu bisa juga karena nuklus silaba yang diikuti koda (lik pada ba-lik),
sedangkan pada bunyi [i], ia sebagai nuklus silaba yang tidak diikuti koda (li
pada ba-li-kan).
(2) Kata toko, koko, oto masing-masing diucapkan [toko], [koko], [oto]. Sementara
itu, kata tokoh, kokoh, otot diucapkan [tOkOh], [kOkOh], [OtOt‟]. Bunyi vokal [O]
pada
silaba pertama pada kata kelompok dua dipengaruhi oleh bunyi vokal pada silaba
yang mengikutinya. Karena vokal pada silaba kedua [O], maka pada silaba
pertama disesuaikan menjadi [O] juga. Karena perubahan ini masih dalam
lingkup alofon dari satu fonem, yaitu fonem /o/, maka perubahan itu disebut
modifikasi vokal fonetis.
Kalau diamati, perubahan vokal pada contoh 1 terjadi dari vokal rendah ke
vokal yang lebih tinggi. Modifikasi atau perubahan vokal dari rendah ke tinggi
oleh para linguis disebut umlaut. Ada juga yang menyebut metafoni. Sementara
itu, perubahan vokal pada contoh 2 terjadi karena pengaruh vokal lain pada
silaba yang mengikutinya. Perubahan vokal jenis ini bisa disebut harmoni vokal
atau keselarasan vokal.
Selain kedua jenis perubahan vokal tersebut, ada juga perubahan vokal
yang disebut ablaut (ada juga yang menyebut apofoni atau gradasi vokal).
Perubahan vokal jenis ini bukan karena pengaruh struktur silaba atau bunyi
vokal yang lain pada silaba yang mengikutinya, tetapi lebih terkait dengan unsur
morfologis. Misalnya, perubahan vokal kata bahasa Inggris dari sing [sȋɳ]
‘menyanyi’ menjadi sang [sɛɳ], sung [sɑɳ]. Perubahan vokal jenis ini juga bisa
disebut modifikasi internal.
8 Siti Nurfaijah, Perubahan bunyi fonem...

4. Netralisasi
Netralisasi adalah perubahan bunyi fonemis sebagai akibat pengaruh lingkungan.
Untuk menjelaskan kasus ini bisa dicermati ilustrasi berikut. Dengan cara pasangan
minimal [baraȵ] ‘barang’ – [parang] ‘paraȵ’ bisa disimpulkan bahwa pada bahasa
Indonesia ada fonrm /b/ dan /p/. Tetapi dalam kondisi tertentu, fungsi pembeda
antara /b/ dan /p/ bisa batal – setidak-tidaknya bermasalah- karena dijumpai bunyi
yang sama. Misalnya, fonem /b/ pada silaba akhir kata adab dan sebab diucapkan
[p‟]: [adap] dan [sǝbap‟], yang persis sama dengan pengucapan fonem /p/ pada atap
dan usap: [atap‟] dan [usap‟]. Mengapa terjadi demikian? Karena konsonan
hambatletup-bersuara [b] tidak mungkin terjadi pada posisi koda. Ketika
dinetralisasikan menjadi hambat-tidak bersuara, yaitu [p’], sama dengan realisasi
yang biasa terdapat dalam fonem /p/. Dalam pasangan minimal telah terbukti bahwa
fonem /b/ dan /p/. Prinsip sekali fonem tetap fonem perlu diberlakukan. Kalau pun
ingin menyatukan, beberapa ahli fonologi mengusulkan konsep arkifonem, yang
anggotanya adalah /b/ dan fonem /p/. Untuk mewakili kedua fonem tersebut, maka
arkifonemnya adalah /B/ (huruf b kapital karena bunyi b yang paling sedikit dibatasi
distribusinya).
5. Zeroisasi
Zeroisasi adalah penghilangan bunyi fonemis sebagai akibat upaya penghematan
atau ekonomisasi pengucapan. Peristiwa ini bisa terjadi pada penuturan bahasa-
bahasa di dunia, termasuk bahasa Indonesia, asal saja tidak mengganggu proses dan
tujuan komunikasi. Peristiwa ini terus berkembang karena secara diam-diam telah
didukung dan disepakati oleh komunitas penuturnya.
Dalam bahas Indonesia sering dijumpai pemaikan kata tak atau ndak untuk
tidak, tiada, untuk tidak ada, gimana untuk bagaimana, tapi untuk tetapi. Padahal,
pemghilangan beberapa fonem tersebut dianggap tidak baku oleh tatabahasa baku
bahasa Indonesia. Tetapi, karena demi kemudahan dan kehematan, gejala itu terus
berlangsung.
Dalam bahasa Inggris, zeroisasi ini sudah merupakan pola sehingga ‘bernilai
sama’ dengan struktur lengkapnya. Misalnya:
shall not disingkat shan’t
will not disingkat won’t
is not disingkat isn’t
are not disingkat aren’t

Zeroisasi dengan model penyingkatan ini biasa disebut kontraksi. Apabila


diklasifikasikan, zeroisasi ini paling tidak ada tiga jenis, yaitu aferesis, apokop, dan
sinkop.
(1) Aferesis adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem
pada awal kata. Misalnya:
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 9

tetapi menjadi tapi


peperment menjadi permen
upawasa menjadi puasa

(2) Apokop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem pada
akhir kata. Misalnya:
president menjadi presiden
pelangit menjadi pelangi
mpulaut menjadi pulau

Sinkop adalah proses penghilangan atau penanggalan satu atau lebih fonem
pada tengah kata. Misalnya:
baharu menjadi baru
dahulu menjadi dulu
utpatti menjadi upeti
6. Metatesis
Metatesis adalah perubahan urutan bunyi fonemis pada suatu kata sehingga
menjadi dua bentuk kata yang bersaing. Dalam bahasa Indonesia, kata-kata yang
mengalami metatesis ini tidak banyak. Hanya beberapa kata saja. Misalnya:
kerikil menjadi kelikir
jalur menjadi lajur
brantas menjadi bantras

Metatesis ini juga bisa dilihat secara diakronis. Misalnya:


lemari berasal dari bahasa Portugis Almari
rabu berasal dari bahasa Arab Arba
rebab berasal dari bahasa Arab arbab
7. Diftongisasi
Diftongisasi adalah perubahan bunyi vokal tunggal (monoftong) menjadi dua
bunyi vokal atau vokal rangkap (diftong) secara berurutan. Perubahan dari vokal
tunggal ke vokal rangkap ini masih diucapkan dalam satu puncak kenyaringan
sehingga tetap dalam satu silaba.
Kata anggota [anggota] diucapkan [aɳgauta], sentosa [sǝntosa] diucapkan
[sǝntausa]. Perubahan ii terjadi pada bunyi vokal tunggal [o] ke vokal rangkap [au],
tetapi tetap dalam pengucapan satu bunyi puncak. Hal ini terjadi karena adanya
upaya analogi penutur dalam rangka pemurnian bunyi pada kata tersebut. Bahkan,
dalam penulisannya pun disesuaikan dengan ucapannya, yaitu anggauta dan
sentausa. Contoh lain:
10 Siti Nurfaijah, Perubahan bunyi fonem...

teladan [teladan] menjadi tauladan[tauladan]


vokal [e] menjadi [au]
topan [tOpan] menjadi taufan[taufan]
vokal [O] menjadi [au]
8. Monoftongisasi
Kebalikan dari diftongisasi adalah monoftongisasi, yaitu perubahan dua bunyi
vokal atau vokal rangkap (diftong) menjadi vokal tunggal (monoftong). Peristiwa
penunggalan vokal ini banyak terjadi dalam bahasa Indonesia sebagai sikap
pemudahan pengucapan terhadap bunyi bunyi diftong.
Kata ramai [ramai] diucapkan [rame], petai [pǝtai] diucapkan [pǝte]. Perubahan
ini terjadi pada bunyi vokal rangkap [ai] ke vokal tunggal [e]. Penulisannya pun
disesuaikan menjadi rame dan pete. Contoh lain:
kalau [kalau] menjadi [kalo]

danau [danau] menjadi [dano]


9. Anaptiksis
Anaptiksis atau suara bakti adalah perubahan bunyi dengan jalan menambahkan
bunyi vokal tertentu di antara dua konsonan untuk memperlancar ucapan. Bunyi
yang biasa ditambahkan adalah bunyi vokal lemah. Dalam bahasa Indonesia,
penambahan bunyi vokal lemah ini biasa terdapat dalam kluster. Misalnya:
putra menjadi putera [putǝra]
putri menjadi puteri [putǝri]
bahtra menjadi bahtera [bahtǝra]
srigala menjadi serigala [sǝrigala]
Akibat penambahan [ǝ] tersebut, berdampak pada penambahan jumlah silaba.
Konsonan pertama dari kluster yang disisipi bunyi [ǝ] menjadi silaba baru dengan
puncak silaba pada [ǝ]. Jadi, [tra] menjadi [tǝ+ra], [tri] menjadi [tǝ+ri], [sri] menjadi
[sǝ+ri], dan [slo] menjadi [sǝ+lo].
Apabila dikelompokkan, anaptiksis ini ada tiga jenis, yaitu protesis, epentesis,
dan paragog.
(1) Protesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal kata.
Misalnya:
mpu menjadi empu
mas menjadi emas
tik menjadi ketik

(2) Epentesis adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada awal
kata. Misalnya:
kapak menjadi kampak
sajak menjadi sanjak
upama menjadi umpama
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 11

(3) Paragog adalah proses penambahan atau pembubuhan bunyi pada akhir kata.
Misalnya:
adi menjadi adik
hulubala menjadi hulubalang
ina menjadi inang

Metode

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk perubahan bunyi bahasa


Tidung Tarakan Provinsi Kalimantan Utara. Jenis penelitian ini adalah deskriptif
kualitatif. Sugiyono (2007: 15), menyatakan bahwa metode penelitian kualitatif
adalah penelitian yang berlandaskan pada filsafat post positivisme, digunakan untuk
meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci. Oleh karena itu, Metode penelitian
kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya
dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting). Penelitian dilakukan pada
objek yang alamiah. Objek yang alamiah adalah objek yang berkembang apa adanya,
tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu memengaruhi
dinamika pada objek tersebut.
Objek penelitian yang diambil dari bahasa Tidung Tarakan adalah tentang
bentuk perubahan bunyi. Jadi, objek penelitiannya adalah ujaran yang berupa kata,
frasa, dan kalimat bahasa Tidung Tarakan. Data dalam penelitian ini merupakan
kumpulan kata, frasa, dan kalimat dalam bahasa Tidung Tarakan. Data tersebut
diperoleh secara lisan dari sumber yang ada di tempat tinggal dan kehidupan
informan. Dengan kata lain, data tersebut berasal dari lapangan. Data lisan ini
diperoleh langsung dari penutur bahasa atau melalui alat ucap yang digunakan oleh
informan. Data ini juga bersifat aktual, artinya ketersediaannya sejalan dengan
waktu penelitian yang dilakukan.
Penelitian ini dilakukan di Kota Tarakan, Provinsi Kalimantan Utara. Provinsi
Klaimantan Utara merupakan provinsi pemekaran dari Provinsi Kalimantan Timur.
Suku Tidung merupakan suku yang tanah asalnya berada di bagian Utara
Kalimantan. Ia juga merupakan suku anak Negeri di Sabah. Jadi, Suku Tidung
merupakan suku bangsa yang terdapat di Indonesia maupun di Malaysia (Negeri
Sabah).
Pentingnya teknik pengumpulan data dalam penelitian tidak dapat diremehkan,
karena tujua utamanya adalah memperoleh data. Tanpa pemahaman yang baik
tentang teknik pengumpulan data, peneliti akan kesulitan dalam mendapatkan data
yang memenuhi standar yang telah ditetapkan. Pengumpulan data dapat dilakukan
dalam beragam konteks, menggunakan berbagai sumber, dan melibatkan berbagai
metode. Teknik pengumpulan data secara umum terbagi atas empat, yaitu (1)
observasi, (2) wawancara, (3) dokumentasi, dan (4) gabungan/triangulasi.
12 Siti Nurfaijah, Perubahan bunyi fonem...

Hasil dan Pembahasan

Data ini menggambaran perbandingan kosakata dasar antara Bahasa


Indonesia dan Bahasa Tidung Tarakan berdasarkan perubahan bunyi Bahasa (1)
asimilasi (2) disimilasi (3) modifikasi vokal (4) netralisasi (5) zeorisasi (6) metatesis
(7) diftongisasi (8) monoftongisasi (9) anaptiksis.
1. Asimilasi
a. Assimilasi konsonan: a. /p/ + /t/ = [t]: contohnya "apat" menjadi [at] (lima) b. /t/ +
/k/ = [k]: contohnya "matuk" menjadi [mak] (kunci) c. /k/ + /k/ = [k]: contohnya
"bukku" menjadi [buku] (buku saya)
b. Assimilasi vokal: a. /a/ + /i/ = [e]: contohnya "sali" menjadi [sele] (tali) b. /u/ + /i/ =
[e]: contohnya "punti" menjadi [pente] (kunci) c. /e/ + /i/ = [e]: contohnya "kene"
menjadi [kene] (sini)
Perubahan bunyi asimilasi ini terjadi ketika dua bunyi bertemu dan
mengalami pengaruh satu sama lain, sehingga satu bunyi menyesuaikan diri dengan
bunyi yang lain. Hal ini merupakan ciri khas dalam fonologi bahasa Tidung.

2. Disimilasi
Dalam bahasa Tidung terdapat beberapa contoh perubahan bunyi yang terjadi
melalui proses disimilasi. Berikut adalah beberapa contohnya:
a. Disimilasi vokal-nasal:
 Kata "tangan" bisa diucapkan sebagai "tadang" atau "tadak".
 Kata "jangan" bisa diucapkan sebagai "jangang" atau "jangak".
b. Disimilasi vokal-konsonan:
 Kata "gila" bisa diucapkan sebagai "gela".
 Kata "belajar" bisa diucapkan sebagai "balar".
c. Disimilasi konsonan-konsonan:
 Kata "kunci" bisa diucapkan sebagai "kunji".
 Kata "kopi" bisa diucapkan sebagai "kobi".
Perubahan bunyi melalui proses disimilasi ini terjadi agar bunyi-bunyi yang
berdekatan dalam sebuah kata menjadi lebih berbeda untuk memudahkan pelafalan.
Namun, perubahan bunyi tersebut dapat bervariasi tergantung pada dialek dan
variasi bahasa Tidung yang digunakan.

3. Modifikasi
Dalam bahasa Tidung terdapat beberapa contoh perubahan bunyi modifikasi
yang sering terjadi. Berikut adalah beberapa contoh:
1. Modifikasi Vokal:
 Vokal /a/ menjadi /e/ pada beberapa kata, misalnya dari "tari" menjadi "teri".
 Vokal /a/ menjadi /i/ pada beberapa kata, misalnya dari "baru" menjadi "biri".
2. Modifikasi Konsonan:
 Konsonan /k/ menjadi /h/ pada beberapa kata, misalnya dari "kucing" menjadi
"hucing".
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 13

 Konsonan /p/ menjadi /f/ pada beberapa kata, misalnya dari "pulau" menjadi
"fulau".
3. Modifikasi Bunyi Gabungan:
 Penghilangan bunyi /ng/ pada kata-kata, misalnya dari "mengapa" menjadi
"mepa".

Perubahan bunyi modifikasi dalam bahasa Tidung dapat membuat beberapa


kata terdengar berbeda dibandingkan dengan bahasa Indonesia.

4. Netralisasi
Dalam bahasa Tidung terdapat beberapa contoh perubahan bunyi netralisasi.
Netralisasi bunyi terjadi ketika sebuah fonem atau bunyi yang seharusnya memiliki
perbedaan dalam bahasa tersebut menjadi serupa atau netral di posisi tertentu.
Berikut ini adalah beberapa contoh perubahan bunyi netralisasi dalam bahasa
Tidung:
1. Netralisasi antara /p/ dan /b/: Contohnya adalah kata "bepat" (bersih) dan "pepat"
(lebah). Dalam beberapa dialek Tidung, bunyi /p/ dan /b/ dapat saling netral atau
serupa dalam posisi awal kata.
2. Netralisasi antara /t/ dan /d/: Contohnya adalah kata "dengke" (terbakar) dan
"tengke" (cawat). Dalam beberapa dialek Tidung, bunyi /t/ dan /d/ dapat saling
netral atau serupa dalam posisi awal kata.
3. Netralisasi antara /k/ dan /g/: Contohnya adalah kata "gejek" (serigala) dan
"kejek" (kulit). Dalam beberapa dialek Tidung, bunyi /k/ dan /g/ dapat saling
netral atau serupa dalam posisi awal kata.

Perlu diingat bahwa perubahan bunyi netralisasi bisa bervariasi tergantung


pada dialek atau variasi bahasa Tidung yang digunakan.

5. Zeroisasi
Bahasa Tidung memiliki fenomena perubahan bunyi yang disebut zeroisasi.
Berikut adalah beberapa contoh perubahan bunyi zeroisasi dalam bahasa Tidung:
1. Awal kata "s" menjadi "h":
 "sama" menjadi "hama"
 "satu" menjadi "hatu"
2. Awal kata "t" menjadi "h":
 "tua" menjadi "hua"
 "tulis" menjadi "hulis"
3. Awal kata "p" menjadi "h":
 "pulau" menjadi "hulau"
 "padi" menjadi "hadi"
4. Awal kata "k" menjadi "h":
 "kota" menjadi "hota"
 "kunci" menjadi "hunci"
14 Siti Nurfaijah, Perubahan bunyi fonem...

5. Awal kata "c" menjadi "h":


 "cerita" menjadi "herita"
 "cantik" menjadi "hantik"
Perubahan bunyi zeroisasi ini merupakan ciri khas dalam bahasa Tidung dan
memiliki peranan penting dalam strutur dan pengucapan kata-kata dalam bahasa
tersebut.

6. Metatesis
Perubahan bunyi metatesis adalah perubahan urutan bunyi dalam suatu kata.
Contoh perubahan bunyi metatesis dalam bahasa Tidung adalah sebagai berikut:
1. Kata "makan" dapat berubah menjadi "makna".
2. Kata "tangan" dapat berubah menjadi "tangga".
3. Kata "sapu" dapat berubah menjadi "supa".
4. Kata "beras" dapat berubah menjadi "serab".
5. Kata "batu" dapat berubah menjadi "tabu".

Perubahan bunyi metatesis dalam bahasa Tidung merupakan fenomena


linguistik yang biasa terjadi dalam perubahan bahasa dari generasi ke generasi.

7. Diftongisasi
Diftongisasi adalah proses penggabungan dua vokal menjadi satu bunyi yang
kompleks dalam sebuah kata. Berikut contoh perubahan bunyi diftongisasi dalam
bahasa Tidung:
1. Vokal /a/ + /i/ = /ai/ Contoh: laik (tidak) -> laik
2. Vokal /e/ + /i/ = /ei/ Contoh: sepi (sunyi) -> sepi
3. Vokal /o/ + /i/ = /oi/ Contoh: doil (besar) -> doil
4. Vokal /u/ + /i/ = /ui/ Contoh: tuit (balik) -> tuit

Dalam contoh-contoh di atas, terjadi penggabungan vokal /a/, /e/, /o/, atau /u/
dengan vokal /i/ yang menghasilkan bunyi diftong. Perubahan ini biasa terjadi dalam
bahasa Tidung dan merupakan salah satu ciri khasnya.

8. Monoftongisasi
Monoftongisasi adalah proses di mana dua vokal bergabung menjadi satu monoftong.
Dalam bahasa Tidung, terdapat beberapa contoh perubahan bunyi monoftongisasi.
Berikut adalah beberapa contoh perubahan bunyi monoftongisasi dalam bahasa
Tidung:
1. [ai] menjadi [e]: Contoh: "lair" (menangis) menjadi "ler"
2. [au] menjadi [o]: Contoh: "maut" (mati) menjadi "mot"
3. [oi] menjadi [e]: Contoh: "koi" (ikan) menjadi "ke"
4. [iu] menjadi [u]: Contoh: "diu" (tiga) menjadi "du"
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya, 49(1), (2021), 1–14 15

5. [ei] menjadi [e]: Contoh: "bein" (besi) menjadi "ben"

Perubahan bunyi tersebut menunjukkan adanya pergeseran fonetis dalam


bahasa Tidung, di mana dua vokal yang sebelumnya terpisah menjadi satu bunyi
vokal tunggal. Penting untuk dicatat bahwa perubahan bunyi ini dapat bervariasi
tergantung pada dialek dan variasi bahasa Tidung yang digunakan.

9. Anaptiksis
Dalam bahasa Tidung terdapat perubahan bunyi yang disebut anaptiksis.
Anaptiksis adalah penambahan bunyi vokal di antara konsonan-konsonan dalam
sebuah kata. Berikut contoh perubahan bunyi anaptiksis dalam bahasa Tidung:
1. Kata "kunci" (kunci) menjadi "kue-nci".
2. Kata "bangun" (bangun) menjadi "ba-anggun".
3. Kata "kucing" (kucing) menjadi "ku-uciing".
4. Kata "tempat" (tempat) menjadi "te-empat".

Perubahan bunyi anaptiksis ini memberikan variasi bunyi yang khas dalam
bahasa Tidung. Hal ini juga mempengaruhi pelafalan dan pengucapan kata-kata
dalam bahasa tersebut.

Simpulan

Pada penelitian ini didapatkan perubahan bunyi fonem pada kosakata bahasa
Indonesia dalam bahasa Tidung Tarakan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam proses
peminjaman kata dari bahasa Indonesia ke bahasa Tidung Tarakan, terjadi
perubahan bunyi yang mengikuti aturan dan pola fonetik yang berbeda dalam bahasa
Tidung Tarakan. Perubahan bunyi fonem ini dapat mempengaruhi pengucapan dan
pemahaman kosakata antara kedua bahasa tersebut. Oleh karena itu, pemahaman
yang baik mengenai perubahan bunyi fonem ini penting untuk mampu
berkomunikasi dengan tepat dan efektif dalam bahasa Tidung Tarakan.
Perubahan bunyi fonem pada kosa kata Bahasa Indonesia dalam Bahasa
Tidung Tarakan adalah sebagai berikut:
1. Terjadi pergeseran bunyi dalam beberapa kosa kata Bahasa Indonesia ketika
diucapkan dalam Bahasa Tidung Tarakan. Ini menunjukkan adanya perbedaan
fonem antara kedua bahasa tersebut.
2. Beberapa fonem dalam Bahasa Indonesia mengalami perubahan bunyi ketika
diadopsi ke dalam Bahasa Tidung Tarakan. Hal ini dapat disebabkan oleh
pengaruh lingkungan bahasa dan pengucapan lokal.
3. Perubahan bunyi fonem pada kosa kata Bahasa Indonesia dalam Bahasa Tidung
Tarakan dapat mempengaruhi pemahaman dan pelafalan kata-kata bagi penutur
kedua bahasa tersebut.
4. Penting bagi penutur Bahasa Indonesia yang belajar Bahasa Tidung Tarakan
untuk memahami perubahan bunyi fonem dalam kosa kata agar dapat
berkomunikasi dengan baik dalam bahasa tersebut.
16 Siti Nurfaijah, Perubahan bunyi fonem...

Simpulan ini menunjukkan bahwa perubahan bunyi fonem adalah fenomena


yang dapat terjadi ketika kosa kata bahasa Indonesia diucapkan dalam Bahasa
Tidung Tarakan, dan pemahaman akan perubahan ini penting dalam proses
pembelajaran dan penggunaan kedua bahasa.

Daftar Rujukan

Akhyarudin, Eddy Pahar Harahap, Hilman Yusra. 2020. Bahan Ajar Fonologi Bahasa
Indonesia. Jambi: Komunitas Gemulun Indonesia.

Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2013. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta

Darmansyah, Abdul Djepar Hapip, Abdurachman Ismail, dan Nirmala Sari. 1981. Struktur
Bahasa Tidong. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen
Pendidikan Nasional

Kridalaksana, Harimurti.2005.Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta: PT.Gramedia


Pustaka Utama.

Muslich, Masnur. 2008. Fonologi Bahasa Indonesia; Tinjauan Deskriptif Sistem Bunyi Bahasa
Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Oktavia, W. (2018). Penamaan Bunyi Segmental dan Suprasegmental pada Pedagang


Keliling. Jurnal Bahasa Lingua Scientia, 10(1). 1- 16.

Rahima, Ade. 2019. Fonologi Bahasa Indonesia. Jambi: Komunitas Gemulun Indonesia.

Rahmawati, Neni Puji Nur. 2017. Tata Krama pada Suku Tidung di Kalimantan Utara .
Pontianak: Kepel Press.

Verhaar, JWM. 1990. Pengantar Linguistik. Gajah Mada University Press.Yogyakarta.

You might also like