Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

MAKALAH

“Hukum Mahkum Bih dan Mahkum A’laih”

Makalah ini di buat untuk memenuhi salah satu tugas Mata kuliah

“Study Fiqih”

Dosen Pengampu:

Ach.Nr Hamid Awwaludin, S.Pd., M.Pd

Disusun oleh:

1. Abdhi Prastyo
2. Abdullah Aziz Fahri
3. Ainur Rofiq

PROGAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI BISNIS ISLAM

INSTITUT PESANTREN SUNAN DRAJAT

2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan segala kenikmatan –
NYA sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah ini pada Progam studi Ekonomi
syariah ini dapat terselesaikan.

Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah


Muhammad Saw, yang telah mengarahkan umatnya kedalam cahaya
kesempurnaan dan kebenaran yaitu agama islam.

Ucapan terima kasih kepada semua teman – teman yang telah membantu
saya dalam proses pembuatan makalah ini. Penulis menyadari bahwa makalah ini
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan ke depan nya. Dan
apabila terdapat kesalahan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada para pembaca.

Lamongan ,6 November 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI
Halaman Judul ......................................................................................................... 1
Kata Pengantar..........................................................................................................2
Daftar Isi ...................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................5
1.3 Tujuan.................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................ 6
2.1 Hukum & Pembagiannya..........................................................................................6
2.2 Objek Hukum...........................................................................................................7
2.3 Subjek Hukum..........................................................................................................8

BAB III PENUTUP.......................................................................................................10


3.1 Simpulan.................................................................................................................10
3.2 Saran....................................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................11

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Hukum Secara bahasa hukum berarti putusan. Ketika diucapkan “Hakama Allahu fi
al-Mas’alah al-wujuub”, maka ia mempunyai arti Allah memutuskan masalah ini
dengan putusan wajib. Dalam istilah ulama ushul, hukum didefinisikan sebagai
suatu khitab syari’ yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan mukallaf, baik
yang bersifat thalab (tuntutan), takhyiir (pilihan) atau wadl’i (ketetapan).
Sedangkan hukum menurut pakar fiqh adalah suatu sifat syar’i yang merupakan
pengaruh dari khitab tersebut. Dengan demikian, pengaruh khitab Allah yang
berimplikasi pada kewajiban mendirikan shalat dari ayat “Aqiimu as-Sholaah”
adalah sebuah hukum. Adapun hukum-hukum menurut fuqaha sebagaimana
umum diketahui, yaitu, wajib, mandud, haram, makruh dan mubah.
Yang dimaksud dengan mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang
berkaitan dengan taklif/pembebanan. Taklif yang berasal dari Allah ditujukan pada
manusia dalam setiap perbuatan-perbuatannya. Tujuan dari taklif ini tidak lain
adalah sebagai bentuk uji coba/ibtila’dari Allah kepada para hambanya supaya
dapat diketahui mana hamba yang benar-benar taat dan mana hamba yang
maksiat kepada-Nya. Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud mahkum fih
adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan
perintah syar`i (Allah dan Rasul-Nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan,
meninggalkan, memilih suatu pekerjaan dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukhshah, sah dan batal. Contoh tuntutan mengerjakan tercantum dalam
Q.S. al-Baqarah: 43, yaitu diperintahkan untuk mendirikan shalat.
Sedangkan Mahkum `Alaih,Menurut Ulama ushul fiqh telah sepakat bahwa
mahkum fih adalah seseorang yang perbuatannya dikenai khitabAllah, yang
disebut mukallaf. Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani
hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqh, mukallaf disebut juga mahkum
fih/mahkum bih (subjek hukum).

4
1,2 Rumusan Masalah
*Hukum dan Pembagian
*Objek Pembagian
*Subjek Hukum
1.3 Tujuan
*Mengetahui Hukum mahkum bih Dan Mahkum A’laih

5
BAB II
2.1 Hukum & Pembagiannya
-Mahkum Bih
Para ulama Ushulfiqh membagi mahkum bih menjadi dua segi : yaitu dari segi
kebenaranya yakni dari segi material dan Syara’ yang terdiri atas :
a) Perbuatan yang secara material ada, tidak termasuk perbuatan syara’ :
misalnya makan dan minum, adalah perbuatan mukalaf, namun makan itu tidak
terkait hukum syara’.
b) Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab hukum syara’, misalnya
perzinaan, pencurian, dan pembunuhan, yakni adanya hukum syara’, yaitu hudud
dan qishas.
c) Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila
memenuhi rukun dan syarat yang telah di tentukan, misalnya shalat dan zakat.
d) Perbuatan yang secara material diakui syara’ yang mengakibatkan adanya
hukum syara’ misalnya : nikah, jual beli dan sewa menyewa.
-Mahkum A’laih
a)Ahliyyah Ada’
Merupakan sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah
dianggapsempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya.
Apabila ia mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’ , maka ia wajib
mengerjakannya dan memperoleh pahala bila mengerjakan dan berdosa jika tidak
mengerjakannya.Para ulama menyatakan bahwa yang menjadi ukuran dalam
menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah aqil, baligh dan
cerdas. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 6
b)Ahliyyah al- wujub
Merupakan sikap kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang
menjadihaknya., tetapi belum cakap dibebani seluruh kewajiban, misalnya
seorang anak laki-laki berhak menerima warisan dari keluarganya yang meninggal
dunia.Para ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ukuran yang digunakan dalam
menentukanahliyyah al-wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi
umur, baligh atautidak , dan cerdas atau tidak. Setiap seseorang yang lahir telah

6
memiliki sifat itu, danhanya akan hilang apabila nyawanya sudah hilang. Ahliyyah
al-wujub dibagi menjadi dua bagian.
1.Ahliyyah al-wujub al-naqhishahYaitu orang yang dianggap layak untuk
mendapatkan hak tetapi tidak layak untukdibebankan kewajiban atau sebaliknya.
Contohnya janin yang berada dalamdalam perut ibunya, ia berhak mendapatkan
warisan, wasiat dan hibah tetapi tidakdapat dibebeani kewajiban pada dirinya atas
orang lain seperti memberi nafkah.Terdapat 4 hak janin menurut ulama fiqih :
-Hak keturunan dari ayahnya.
-Hak warisan dari keluarganya yang meninggal dunia.
-Wasiat yang ditunjukan kepadanya.
-Harta wakaf yang ditunjukan kepadanya.
2.Ahliyyah al-wujub al-kamilahYaitu orang yang layak untuk mendapatkan hak
dan layak untuk menjalankankewajiban.Kelayakan menerima hak bagi seseorang
ialah sejak ia lahir ke dunia,sampai ia dinyatakan balligh dan berakal, sekalipun
akalnya masih kurang ( gila ).Dalam status ahliyyah al-wujub (sempurna atau
tidak) , seseorang tidak dibebani tuntutan syara’ baik berupa ibadah maupun
tindakan hukum duniawi.
2.2 Objek Hukum
-Mahkum Bih
a) Seorang mukallaf mestilah mengetahui dengan jelas bahwa yang
memerintahkan atau melarang, atau memberi pilihan untuk melakukan atau
meninggalkan suatu perbuatan itu adalah Asy’Syari’. Karena itu, suatu perintah
atau larangan yang tidak memiliki landasan yang jelas, baik langsung maupun
tidak langsung, berasal dari Al-Qur’an atau hadits, tidak dapat diberi predikat
hukum taklifi.
b) Suatu perbuatan yang diperintahkan untuk dilakukan mukallaf atau
ditinggalkannya, atau diberi kebebasan kepadanya untuk melakukan atau
meninggalkannya, mestilah diketahui dan dipahami dengan jelas oleh mukallaf
tersebut. Hukum taklifi tidak dapat diterapkan kepada perintah atau larangan yang
tidak jelas. Misalnya, pada surah al-Baqarah;43, yakni perintah melaksanakan
shalat dan membayar zakat pada ayat tersebut masih bersifat umum, dan belum

7
ada perincian tatacara,waktu,jumlah rakaat dan rukun serta persyaratannya.
Semata-mata berdasarkan ayat diatas saja, seorang mukallaf belum dikenai hukum
wajib melaksanakan shalat. Karena itulah Rasulullah Saw kemudian memberi
contoh dan penjelasan tentang shalat yang diperintahkan Allah, sehingga setelah
jelas perinciannya, barulah kepada perbuatan mukallaf dapat diberi predikat
hukum taklifi, yakni wajib melaksanakan shalat.
c) Suatu perbuatan yang diperintahkan kepada mukallaf atau dilarang
melakukannya atau ia bebas memilihnya, haruslah dalam batas kemaampuan
manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Sebab perintah dan larangan
Allah Swt adalah untuk dipatuhi dan demi kemaslahatan mukallaf. Oleh karena itu,
Allah Swt tidak pernah dan tidak akan memrintahkan atau melarang suatu
perbuatan yang manusia tidak mampu mematuhinya. Hal ini ditegaskan Allah SWT
dalam surah Al-Baqarah;286
-Mahkum A’laih
a) Orang itu telah mampu memahami khithab syar’i (tuntunan syara’) yang
terkandung dalam al-Qur’an dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui
orang lain; karena seseorang yang melakukan suatu pekerjaan-disuruh atau
dilarang-tergantung pada pemahamanyaterhadap suruhan dan larangan yang
menjadi khithab syar’i. Dengan demikian, orang yang tidak mempunyai
kemampuan untuk memahami khitab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan
suatu taklif.
b) Seseorang harus cakap bertindak hukum, yang dalam ushul fiqh disebut
dengan ahliyah. Artinya, apabila seseorang belum atau tidak cakap bertindak
melaksanakan hukum, maka selurh perbuatan yang ia lakukan belum atau tidak
bisa di pertanggungjawabkan.
2.3 Subjek Hukum
-Mahkum Bih
a) Perbuatan itu diketahui secara sempurna dan rinci oleh orang mukallaf
sehingga dengan demkian suatu perintah misalnya dapat dilaksanakan secara
lengkap seperti yang dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu,
seperti dikemukakan oleh Abd Wahhab Khallaf, ayat-ayat al-Qur’an yang
diturunkan secara global, baru wajib dilaksanakan 30 setelah ada penjellasan dari
8
Rasul-Nya. Misalnya, ayat al-Qur’an yang mewajibkan salat secara global tanpa
merinci syarat dan rukunnya, baru wajib dilaksanakan setelah ada penjelasan
secara rinci dari Rasulullah. Demikan pula ayat yang memerintahkan untuk
melaksanakan haji, puasa, dan zakat.
b) Diketahui secara pasti oleh orang mukallaf bahwa perintah itu datanng dari
pihak ang berwenang membuat perintah dalam hal ini adalah Allah dan Rasul-
Nya. Itulah sebabnya maka setiap upaya mencari pemecahan hukum, yang paling
pertama dilakukan adalah pembahasan tentang validitas suatu dalil sebagai
sumber hukum.
c) Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa perbuatan yang
dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau meninggalkannya. Hal
itu disebabkan karena tujuan dari suatu perintah atau larangan adalah untuk
ditaati. Oleh sebab itu, tidak mungkin ada dalam al-Qur’’an dan Sunnah sebuah
perintah yang mustahil menurut akal untuk dilakukan oleh manusia. Misalnya,
perintah untuk terbang tanpa memakai alat.
-Mahkum a’laih
Mahkum alaih dapat juga dikatakan sebagai subyek dari hukum atau orang yang
dibebani hukum, dalam kajian ushul fiqh ini juga disebut dengan Mukallaf.
Perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah
dewasa (Balligh) meliputi seluruh gerak geriknya, pembicaraannya, maupun
niatnya. Mahkum Alaih adalah subyek hukum yaitu mukallaf yang melakukan
perbuatan-perbuatan Taklif (hukum yang menuntun manusia untuk melakukan,
meninggalkan, atau memilih antara berbuat atau meninggalkan). Jika Mahkum Fih
menjelaskan tentang perbuatan mukallaf, maka Mahkum ‘Alaih adalah
menjelaskan orang yang melakukan hukum.

9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Mahkum fihi adalah perbuatan seorang mukallaf yang berhubungandengan
perintah syara’ baik itu tuntutan untuk mengerjakan ataumeninggalkan, maupun
memilih pekerjaan yang bersifat syarat, sebab,halangan, azimah, rukhshah, sah
dan batal.
Mahkum fih ialah objek hukumyaitu perbuatan mukallaf yang berhubungan
dengaan hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan,
meninggalkan suatu pekerjaan, memilih
suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, serta
halangan.Mahkum alaih ialah seorang mukallaf yang
perbuatannya berhubungan dengan hukum syara. Mahkum alaih adalah seseoran
g yang perbuatannya dikenai titah Allah, yaitu mukallaf atau manusia yang
menjadiobyek tuntutan hukum syara’. Mahkum ‘alaih berarti orang mukallaf
(orangyang layak dibebani hukum taklifi)
SARAN
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun sudah berusaha memaparkan
materi dengan semaksimal mungkin, maaf apabila ada kekeliruan karena kami
masih belajar, oleh karena itu penyusun mengharapakan sumbangsih pembaca
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya, dan harapan bagi penyusun, semoga
makalah ini ada manfaat nya.

10
DAFTAR PUSTAKA
https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/files_dosen/modul/
Pertemuan_11IAIN1220930.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Mahkum_Fih
http://research.unissula.ac.id/file/publikasi/
210389017/7470epistemologi_hukum_islam.pdf
https://brainly.co.id/tugas/4420405

11

You might also like