Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

A.

LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa isi Biografi Imam Syafi'i
2. Apa saja karya-karya imam syafi'i
3. Bagaimana pemikiran Imam Syafi'i tentang ilmu
4. Bagaimana pemikiran Imam Syafi'i tentang ilmu fiqih

C . TUJUAN PENULISAN

1.Mengetahui isi biografi imam syafi'i

2. Mengetahaui karya-karya imam syafii

3.Mengetahui pemikiran imam syafii tentang ilmu

4. Mengetahui pemikiran imam syafii tentang ilmu fikih

BAB II LANDASAN TEORI

A. Biografi imam syafi'i


Abū ʿAbdillāh Muḥammad bin Idrīs asy-Syāfiʿī (bahasa Arab: 767 ; ‫– َأُبو َع ْبِد ٱِهلل ُمَح َّم ُد ْبُن ِإْد ِريَس ٱلَّش اِفِع ُّي‬
Januari 820 M) adalah seorang teolog Muslim beretnis Arab, penulis, dan cendekiawan, yang
merupakan salah satu kontributor pertama dari prinsip-prinsip yurisprudensi Islam (Uṣūl al-fiqh).
Sering disebut sebagai Syaikhul Islām, asy-Syāfi'ī adalah salah satu dari empat Imam Sunni besar,
yang warisannya dalam masalah yuridis dan pengajaran akhirnya mengarah pada pembentukan
mazhab fiqh Syafi'i. Dia adalah murid Imam hadis awal yang paling menonjol, Malik bin Anas.
Asy-Syāfi'ī juga pernah diangkat menjadi hakim di Najran.[6][7] Asy-Syāfi'ī lahir di Palestina (Jund
Filastin), dan kemudian tinggal di Makkah dan Madinah di Hijaz, kemudian ia beralih ke Yaman,
Mesir, dan Baghdad di Irak.
Leluhur
Asy-Syāfiʿī termasuk dalam klan Quraisy dari Bani Muthalib, yang merupakan saudara dari klan
Bani Hasyim, klan nabi Islam Muhammad dan leluhur para khalifah Abbasiyah. Garis keturunan
ini mungkin telah memberinya prestise, yang muncul dari suku Muhammad, dan kekerabatan
kakek buyut Muhammad dengannya.[10] Namun, asy-Syāfiʿī tumbuh dalam kemiskinan, terlepas
dari posisi sosial keluarganya yang tinggi.[butuh rujukan]

Masa muda
Asy-Syāfiʿī lahir di Palestina (Jund Filastīn) di kota Asqalan pada tahun 150 H (767 M).[11]
Ayahnya meninggal di Asy-Syam ketika dia masih kecil. Khawatir akan kehilangan garis
keturunan syarīf-nya, ibunya memutuskan untuk pindah ke Makkah ketika dia berusia sekitar
dua tahun. Selain itu, akar keluarga keibuannya berasal dari Yaman, dan ada lebih banyak
anggota keluarganya di Mekkah, di mana ibunya percaya bahwa dia sebaiknya diasuh. Sedikit
yang diketahui tentang kehidupan awal asy-Syāfiʿī di Makkah, kecuali bahwa ia dibesarkan
dalam keadaan miskin dan sejak masa mudanya ia rajin belajar.[10] Sebuah riwayat menyatakan
bahwa ibunya tidak mampu membeli kertas, jadi dia menulis hasil pelajarannya pada tulang.[12]
Ia belajar di bawah bimbingan Muslim bin Khalid az-Zanji, Mufti Makkah saat itu, yang dianggap
sebagai guru pertama asy-Syāfiʿī.[13] Pada usia tujuh tahun, asy-Syāfiʿī telah menghafal Al-
Qur'an. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menghafal Muwaṭṭaʾ karya Malik bin Anas di luar
kepala, yang membuat az-Zanji akan menunjuknya untuk mengajar saat dirinya tidak ada atau
berhalangan. Asy-Syāfiʿī telah diberi wewenang untuk mengeluarkan fatwa pada usia lima belas
tahun.[14]

Belajar dengan Mālik


Asy-Syāfiʿī pindah ke Madinah untuk melanjutkan studi hukum Islamnya.[10] Ada perbedaan
terhadap pada usia berapa dia berangkat ke Madinah; sebuah riwayat menyatakan bahwa
usianya pada saat itu tiga belas tahun,[11] sementara yang lain menyatakan bahwa dia berusia
dua puluhan.[10] Di sana, dia diajari selama bertahun-tahun oleh Imam terkenal Mālik bin Anas,
[15] yang terkesan dengan ingatan, pengetahuan, dan kecerdasannya.[11][16] Menjelang
kematian Mālik pada tahun 179 H (795 M), asy-Syāfiʿī telah memperoleh reputasi sebagai
seorang ahli hukum yang brilian.[10] Meskipun kemudian dia tidak setuju dengan beberapa
pandangan Mālik, asy-Syāfiʿī sangat menghormatinya dengan selalu menyebut dia sebagai
"Guru".[11]
Fitnah Yamani
Pada usia tiga puluh tahun, asy-Syāfiʿī diangkat sebagai gubernur Abbasiyah di kota Yaman
Najran.[11][15] Dia terbukti sebagai administrator yang adil tetapi segera terjerat dengan
kecemburuan faksi. Pada 803 M, asy-Syāfiʿī dituduh membantu Banu Ali dalam pemberontakan,
dan dengan demikian dipanggil dengan dirantai bersama sejumlah Banu Ali ke hadapan khalifah
Harun ar-Rasyid (m. 786–809) di ar-Raqqah.[10] Sementara para komplotan lainnya dihukum
mati, pembelaan asy-Syāfiʿī sendiri yang fasih meyakinkan Khalifah untuk menolak tuduhan itu.
Riwayat lain menyatakan bahwa ahli hukum Hanafi terkenal, Muḥammad bin al-Ḥasan asy-
Syaibānī, hadir di pengadilan dan membela asy-Syāfiʿī sebagai tokoh fikih terkenal.[10] Kelak,
peristiwa itu membuat asy-Syāfiʿī semakin dekat dengan asy-Syaibānī, yang kemudian akan
menjadi guru asy-Syāfiʿī. Juga didalilkan bahwa kejadian ini mendorongnya untuk mengabdikan
sisa karirnya pada studi hukum, dan tidak pernah lagi melayani pemerintah.[10]

Berguru kepada Asy-Syaibānī, dan paparan ahli hukum Hanafi


Asy-Syāfiʿī pergi ke Baghdad untuk belajar dengan asy-Syaibānī dan lainnya.[15] Di sinilah dia
mengembangkan mazhab pertamanya, dipengaruhi oleh ajaran Abu Hanifah dan Malik bin Anas.
[butuh rujukan] Karyanya kemudian dikenal sebagai al-Mażhab al-Qadim lil Imam asy-Syāfiʿī,
atau Mazhab Lama asy-Syāfiʿī.[butuh rujukan]

Di sinilah asy-Syāfiʿī secara aktif berpartisipasi dalam argumen hukum dengan para ahli hukum
Hanafi, dengan gigih membela mazhab Mālikī.[10] Beberapa otoritas menyatakan bahwaa sy-
Syāfiʿī terkadang kesulitan dalam mempertahankan argumennya.[10] Asy-Syāfiʿī akhirnya
meninggalkan Baghdad menuju Makkah pada tahun 804 M, kemungkinan karena keluhan dari
pengikut Hanafi kepada asy-Syaibānī bahwa asy-Syāfiʿī telah menjadi agak kritis terhadap posisi
asy-Syaibānī selama perselisihan mereka. Akibatnya, asy-Syāfiʿī dilaporkan telah berdebat
dengan asy-Syaibānī mengenai perbedaan mereka, meski siapa yang memenangkan debat
masih belum diketahui secara pasti.[10]

Di Makkah, asy-Syāfiʿī mulai berceramah di Masjidilharam, yang meninggalkan kesan mendalam


bagi banyak murid-murid yang mempelajari fikih, termasuk ahli hukum Hanbali yang terkenal,
Ahmad bin Hanbal.[10] Penalaran hukum asy-Syāfiʿī mulai matang, ketika ia mulai menghargai
kekuatan penalaran hukum para ahli hukum Hanafi, dan menyadari kelemahan yang melekat
baik pada mazhab Mālikī maupun Hanafi.[10]

Berangkat ke Baghdad dan Mesir

Mausoleum Imam Syafi'i di Kairo


Asy-Syāfiʿī akhirnya kembali ke Baghdad pada tahun 810 M. Pada saat ini, statusnya sebagai
seorang ahli hukum telah cukup berkembang untuk memungkinkannya membangun garis
spekulasi hukum yang independen. Khalifah al-Ma'mun (m. 813–833) dikatakan telah
menawarkan posisi asy-Syāfiʿī sebagai hakim, tetapi dia menolak tawaran tersebut.[10]
Koneksi dengan keluarga Muhammad
Lihat pula: Ahlulbait dan Bani Hasyim
Pada 814 M, asy-Syāfiʿī memutuskan untuk meninggalkan Baghdad menuju Mesir. Alasan
kepergiannya dari Irak tidak pasti, tetapi di Mesir dia akan bertemu guru lain, Sayyidah Nafisah
binti Hasan, yang juga akan membiayai studinya.[3][4][5] Beberapa murid utamanya akan
menuliskan apa yang dikatakan asy-Syāfiʿī, yang kemudian akan meminta mereka untuk
membacanya kembali dengan suara keras sehingga dapat dilakukan koreksi. Semua penulis
biografi asy-Syāfiʿī setuju bahwa warisan karya-karya atas namanya adalah hasil dari setiap sesi
pelajaran dengan murid-muridnya.[10]

Nafisah adalah keturunan dari Muhammad, melalui cucunya Hasan bin Ali, yang menikah
dengan keturunan Muhammad lainnya, yaitu Ishaq al-Mu'tamin, putra Ja'far ash-Shadiq, yang
kabarnya juga merupakan guru dari Malik bin Anas.[2][17]:121 and Abu Hanifah.[3][4][5] Jadi
keempat Imam besar Fiqh Sunni (Abu Hanifah, Malik, asy-Syāfiʿī, dan Ibnu Hanbal) sama-sama
terhubung dengan Ja'far dari keluarga Muhammad, baik secara langsung maupun tidak
langsung.[1]

Kematian dan makam

Makam Imam Syafi'i di Kairo


Setidaknya satu otoritas meriwayatkan bahwa asy-Syāfiʿī meninggal akibat luka yang diderita
akibat serangan oleh pendukung pengikut Maliki yang bernama Fityan. Cerita berlanjut bahwa
asy-Syāfiʿī memenangkan perdebatan dan Fityan yang tidak terima, kemudian melakukan
pelecehan. Gubernur Mesir pada masa itu, yang memiliki hubungan baik dengan asy-Syāfiʿī,
memerintahkan agar Fityan dihukum dengan diarak melalui jalan-jalan kota dengan membawa
papan dan menyebutkan alasan hukumannya. Pendukung Fityan sangat marah dengan
perlakuan ini dan menyerang asy-Syāfiʿī sebagai pembalasan setelah asy-Syāfiʿī selesai
berceramah. Asy-Syāfiʿī meninggal beberapa hari kemudian.[18] Namun, Ibnu Hajar al-Asqalani
dalam biografinya tentang asy-Syāfiʿī, Tawālī al-Ta'sīs, meragukan cerita ini dengan mengatakan
"Saya tidak mempertimbangkan [cerita] ini sebagai sumber yang dapat dipercaya".[19] Namun,
asy-Syāfiʿī juga diketahui menderita penyakit usus serius/wasir,[20] yang membuatnya menjadi
lemah dan sakit selama tahun-tahun terakhir hidupnya. Dengan demikian, penyebab pasti
kematian asy-Syāfiʿī tidak diketahui.[21]

Asy-Syāfiʿī meninggal pada usia 54 tahun pada tanggal 30 Rajab tahun 204 H (20 Januari 820 M),
di Fustat, Mesir, dan dimakamkan di kubah Bani Abdul Hakam, dekat Gunung al-Muqattam.[10]
Sebuah qubbah (bahasa Arab: ‫ )ُقـَّبـة‬dan makam dibangun pada tahun 608 H (1212 M) oleh Sultan
Ayyubiyah, al-Kamil (m. 1218–1238), dan tetap menjadi situs penting saat ini.[22][23]
Salahuddin al-Ayyubi membangun madrasah dan tempat suci di lokasi makam Asy-Syafi'i.
Saudara laki-laki Salahuddin, Afdal, membangun mausoleum untuknya pada tahun 1211 setelah
kekalahan Fatimiyah. Tempat ini tetap menjadi situs di mana orang mengajukan petisi untuk
keadilan.[24]

B. KARYA-KARYA IMAM SYAFI'I


Karangan Imam Syafi’i sangat banyak, menurut imam Abu Muhammad al-Hasan bin Muhammad
al-Marwasiy bahwa Imam Syafi’i menyusun kitab sebanyak 113 buah, mulai dari kitab tafsir,
hadits, fiqh, kesusteraan arab, dan orang pertama yang menyusun ilmu Ushul Fiqh. Kitab-kitab
karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian, yaitu:
● Kitab yang ditulis Imam Syafi’i sendiri, seperti al-Umm dan al-Risalah (riwayat dari muridnya
dan bernama al-Buwaithy dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Rabi’ ibn Sulaiman).kitab al-
Umm berisi tentang masalahmasalah fiqh yang dibahas berdasarkan pokok-pokok pikiran Imam
Syafi’i dalam al-Risalah. Selanjutnya kitab al-Risalah adalah kitab pertama yang dikarang oleh
Imam Syafi’i pada usia yang muda belia. Kitab ini ditulis atas permintaan Abd. al-Rahman ibn
Mahdy di Makkah, karena Abd al-Rahman ibn Mahdy meminta kepada Imam Syafi’i agar
menuliskan sebuah kitab yang mencakup ilmu tentang arti al-Qur’an, hal ihwal yang ada dalam
al-Qur’an, nasikh dan mansukh serta hadits Nabi. Kitab ini setelah dikarang, kemudian disalin
oleh murid-muridnya, setelah itu dikirim ke Makkah itulah sebabnya dinamai al-Risalah, karena
setelah dikarang, lalu dikirim kepada Abd. al-Rahman ibn Mahdy di Makkah.
● Kitab yang ditulis oleh murid-muridnya, seperti Mukhtashar oleh al-Muzany dan Mukhtashar
oleh al-Buwaithy (keduanya merupakan Ikhtishar dari kitab Imam Syafi’i al-Imla’ wa al-Amaly).
Kitab-kitab Imam Syafi’i baik yang ditulis sendiri maupun didiktekan kepada muridnya ataupun
yang dinisbatkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:
• Kitab al-Risalah, tentang ushul fiqh (riwayat rabi’).
• Kitab al-Umm, sebuah kitab fiqh yang didalamnya dihubungkan pula sejumlah kitabnya.
1 .Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila.
2.Kitab Khilaf Ali wa Ibn Mas’ud, sebuah kitab yang menghimpun permasalahan yang
diperselisihkan antara Ali dengan Ibn Mas’ud dan antara Imam Syafi’i dengan Abi Hanifah.
3.Kitab Ikhtilaf Malik wa al-Syafi’i.
4. Kitab Jama’i al-Ilmi.
5. Kitab al-Radd ala Muhammad ibn al-Hasan.
6.Kitab Siyar al-Auza’iy.
7. Kitab Ikhtilaf al-hadits.
8. Kitab Ibthalu al-Istihsan.

•Kitab al-Musnad, berisi hadits-hadits yang terdapat dalam kitab al-Umm yang dilengkapi
dengan Sanadnya.

• al-Imla’.

•al-Amaliy.
•Harmalah (didiktekan kepada muridnya yang bernama Harmalah ibn Yahya). Mukhtashar al-
Muzaniy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
• Mukhtashar al-Buwaithiy (dinisbahkan kepada Imam Syafi’i).
•Kitab Ikhtilaf al-Hadits (penjelasan Imam Syafi’i tentang hadits-hadits Nabi saw.).
Kitab-kitab Imam Syafi’i dikutip dan dikembangkan para muridnya yang tersebar di Makkah, Irak,
Mesir, dan lain-lain. Imam Syafi’i ketika dating ke Mesir, pada umumnya di kala itu penduduk
Mesir mengikuti Madzhab hanafi dan Madzhab maliki. Kemudian setelah ia membukukan
kitabnya (qaul jadid), ia mengajarkannya di masjid Amr bin Ash, maka mulai berkembanglah
pemikiran madzhabnya di Mesir, apalagi di kala itu yang menerima pelajaran darinya banyak
dari kalangan ulama, seperti Muhammad ibn Abdullah ibn Abd al-Hakam, Ismail ibn Yahya, al-
Buwaithiy, al-Rabi’, al-Jiziy, Asyhab ibn al-Qasim dan ibn Mawaz. Mereka adalah ulama yang
berpengaruh di Mesir. Inilah yang mengawali tersiarnya madzhab Syafi’i sampai ke seluruh
pelosok. |
C. PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I TENTANG ILMU
( dak tau yang ini tolong carike kak)

D. PEMIKIRAN IMAM SYAFI'I TENTANG ILMU FIKIH


Usul fikih, yang merupakan metodologi perumusan fikih atau hukum Islam, disusun secara
konseptual dan sistematis pertamakali oleh Imam Syafi'i. Dalam proses perumusan usul
fikihnya itu, Al-Syafi'i melakukan sintesis terhadap dua pemikiran usul fikih sebelumnya yang
is kuasai kedua-duanya dengan baik : pemikiran yang bercorak rasional (ahl al-ra?y) yang
diimami oleh Imam Abu Hanifah, dan pemikiran yang bercorak tradisional (ahl al-hadits)
yang dimotori oleh Imam Malik. Metodologi ilmiah yang berhasil disusun Al-Syafi'i tersebut
kemudian diikuti dan digunakan tidak saja oleh para ilmuwan hukum Islam, tetapi juga
digunakan dalam disiplin ilsnu keislaman lain, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu logika
(mantik), ilmu bahasa dan sastra Arab, dan sebagainya. Ini dikarenakan apa yang telah
berhasil dibangun Al-Syafi'i tersebut merupakan kerangka epistemologis yang bersifat dasar
yang bisa digunakan secara umum.
Selain berhasil menyusun metodologi perumusan fikih, Al-Syafi'i juga berhasil menunuskan
sutuber hukum Islam yang tersusun secara hirarkis, yaitu : AI-Qur'an, Al-Hadis, Ijmak, dan
Qiyas. Dua somber hukum pertama masuk kategori wahyu (divine revelation), sementara
dua sumber hukum berikutnya masuk kategori akal (human reason). Hal ini sekaligus
menjelaskan bahwa Al-Syafi'i telah berhasil mengintegrasikan atau mensintesiskan wahyu di
satu sisi, dan akal di sisi lain. Hanya saja, akal ditempatkan Al-Syafi'i di bawah wahyu, yang
kebebasannya dibatasi dan digunakan hanya sekadar untuk mengokohkan wahyu. Ini bisa
dibuktikan terutama oleh pandangannya yang menganggap qiyas sebagai satu-satunya
metode ijtihad, dan menolak metode lain yang relatif memberikan ruang yang lebih luas
bagi akal, seperti istihsan (preferensi juristik) dan istislah (keniaslahatan juristik).
Pemikiran panting lain, yang juga dibangun pertama kali oleh Al-Syafi'i, yang kemudian
dijadikan referensi panting dalam perumusan metode ilmiah dalam disiplin ilmu-ilmu
keistaman, adalah upayanya melahirkan konsep Al-bayan. Al-bayan (secara harfiah berarti
`penjelasan'), yang diuraikannya dalam karya usul fikihnya yang begitu monumental, Al-
Risalah, pada awalnya memang merupakan analisis tekstual (kebahasaan) sebagai upaya
metodis memahami Al-Qur'an. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, al-bayan
digunakan sebagai kerangka epistemotogis dan metode ilmiah tidak saja bagi ilmu-ilmu
keislaman, tetapi juga ilmu pengetahuan pada umumnya, terutama ilmu sosial, budaya, dan
humaniora.

You might also like