Qawaid Fiqhiyyah Hanafi Dan Syafi'i

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

QAWA'ID FIQHIYYAH DALAM MADZHAB HANAFIYAH DAN

SYAFI'IYAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah


LEGAL MAXIM

Dosen Pengampu
Dr. Mustofa, M.Ag.

Oleh:
NURDIN
NIM 2023030202

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2023
QAWA'ID FIQHIYYAH DALAM MADZHAB HANAFIYAH DAN
SYAFI'IYAH

Abstract
This research aims to analyze the role of the fundamental principles of Islamic
law (qawa'id fiqhiyyah) in regulating economic transactions, with a focus on the
concept of syirkah abdan, which is a form of partnership in Islamic economics.
The study takes a comparative approach to the views of two major Islamic legal
schools, namely the Hanafi and Shafi'i madhabs, concerning syirkah abdan. The
research methodology involves the analysis of Islamic legal texts, such as the
Quran and Hadith, as well as classical and contemporary Islamic legal literature.
Additionally, this research utilizes a qualitative approach to understand the
differences and similarities in the perspectives of these two madhabs. The results
of the study show that the Hanafi madhab emphasizes flexibility in economic
transactions and allows for a more relaxed approach to syirkah abdan, while the
Shafi'i madhab imposes stricter requirements, such as written agreements. This
comparison provides deep insights into how Islamic legal principles are applied
in the practice of Islamic economics and the significant contribution of qawa'id
fiqhiyyah in shaping economic regulations in accordance with religious
teachings. This research has important implications for the development of the
framework of Islamic economic law and understanding how various Islamic legal
schools play a role in regulating economic practices in line with Islamic
principles.

Keywords: Qawaid Fiqhiyyah, Hanafi, Shafi'i, Syirkah Abdan

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peran prinsip-prinsip dasar hukum
Islam (qawa'id fiqhiyyah) dalam mengatur transaksi ekonomi, dengan fokus pada
konsep syirkah abdan, yang merupakan bentuk kemitraan kerja dalam ekonomi
Islam. Penelitian ini mengambil pendekatan studi perbandingan antara pandangan
dua madzhab hukum Islam utama, yaitu Madzhab Hanafiyah dan Madzhab
Syafi'iyah, terkait dengan syirkah abdan. Metodologi penelitian ini melibatkan
analisis terhadap teks-teks hukum Islam, seperti al-Qur'an dan Hadits, serta
literatur hukum Islam klasik dan kontemporer. Selain itu, penelitian ini juga
menggunakan pendekatan kualitatif untuk memahami perbedaan dan persamaan
dalam pandangan kedua madzhab tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Madzhab Hanafiyah menekankan fleksibilitas dalam transaksi ekonomi dan
memperbolehkan syirkah abdan dengan lebih longgar, sedangkan Madzhab
Syafi'iyah menerapkan persyaratan yang lebih ketat, seperti adanya perjanjian
tertulis. Perbandingan ini memberikan wawasan yang mendalam tentang
bagaimana prinsip-prinsip hukum Islam diterapkan dalam praktik ekonomi Islam,

1
serta kontribusi penting qawa'id fiqhiyyah dalam membentuk regulasi ekonomi
yang sesuai dengan ajaran agama. Penelitian ini memiliki implikasi penting dalam
pengembangan kerangka kerja hukum ekonomi Islam dan memahami bagaimana
berbagai madzhab hukum Islam memainkan peran dalam mengatur praktik
ekonomi yang mengikuti prinsip-prinsip agama Islam.

Kata Kunci: Qawaid Fiqhiyyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, Syirkah Abdan

PENDAHULUAN
Sebagai landasan aktifitas umat Islam seharihari dalam usaha memahami
maksud-maksud ajaran Islam (maqasidusy Syari’ah) se’ara lebih menyeluruh,
keberadaan qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting, termasuk
dalam kehidupan berekonomi. Baik di mata para ahli usul (usuliyyun) maupun
fuqaha, pemahaman terhadap qawa’id fiqhiyyah adalah mutlak diperlukan untuk
melakukan suatu “ijtihad” atau pembaharuan pemikiran dalam masalah muamalat
atau lebih khas lagi ekonomi. Manfaat keberadaan qawa’id fiqhiyyah adalah untuk
menyediakan panduan yang lebih praktis yang diturunkan dari nash asalnya yaitu
al-Quran dan al-Hadits kepada masyarakat. Maqasidusy Syari’ah diturunkan
kepada manusia untuk memberi kemudahan dalam pencapaian kebutuhan
ekonomi, yang dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:
1. Menjaga dan memelihara kepentingan primer atau Dharuriyyat (basic
necessities) yang biasa didefinisikan oleh para ulama dengan 5 (lima)
elemen cakupan yaitu: agama, kehidupan (jiwa) akal, keturunan dan
kekayaan.
2. Memenuhi kebutuhan sekunder atau Hajjiyyat yaitu kebutuhan-kebutuhan
seperti kendaraan dan sebagainya sebagai fasilitas hidup manusia; serta,
3. Mencapai kebutuhan tersier atau Tahsiniyyat (kemewahan) untuk
melengkapi kebutuhan manusia dalam hal memperindah kehidupan
dengan sedikit kemewahan secara tidak berlebihan.
Dengan qawa’id fiqhiyyah ini para ulama dan fuqaha dapat menyiapkan
garis panduan hidup bagi umat Islam dalam lingkup yang berbeda dari waktu ke
waktu dan tempat ke tempat. Sebagaimana diketahui Islam memberi kesempatan
kepada umatnya melalui mereka yang memiliki otoritas yaitu para ulama untuk
melakukan ijtihad dengan berbagai cara yang dituntunkan oleh Rasulullah,
melalui ijma’, qiyas, istihsan, istishab, istislah (masalihulmursalah) dan
sebagainya untuk mencari kebenaran yang tak ditemukan dalam al-Qur’an
maupun Hadits Rasulullah SAW. Demikian pula, dalam kehidupan ekonomi, atau
yang dalam khazanah karya para fuqaha terdahulu biasa disebut muamalat,
pemakaian qawa’id fiqhiyyah menjadi sesuatu yang amat penting.
Ratusan atau bahkan mungkin ribuan qawa’id telah dirumuskan oleh para
fuqaha dari kalangan empat madzhab. Ash-Shiddieqie (1981) memandang qa’idah
sebagai sebuah perangkat yang cukup penting sebagai panduan untuk menurunkan
kaidah yang memerlukan pembuktian1. Para fuqaha terdahulu menyusun qawa’id
dalam suatu panduan yang disebut al-Asybah wan-Nazhaair. Istilah ini dipakai
1
T.M. Hasbi, ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Penerbit Bulan Bintang, 1981),
23.

2
pertama kali oleh Khalifah Umar bin Khaththab ketika menunjuk Abu Musa
al-‘Asy’ari menjadi Qadhi di Bashra, dengan menyatakan “Fahami tentang
penampakan dan kemiripan suatu masalah (al-Asybah wan-Nazhaair), kemudian
tetapkan qiyas untuk masalah yang serupa.” Para fuqaha sepakat bahwa proses
pemahaman dan penurunan qawa’id ini sama dengan proses yang dilakukan oleh
para usuliyyun dalam menurunkan panduan hukum berupa Qawa’id al-Usuliyyah
berdasarkan metode qiyas.
Terdapat sejumlah qawa’id fiqhiyyah yang dirumuskan oleh para
ulama/fuqaha, sebagai bagian dari fatwa mereka, yang menyinggung persoalan
perilaku ekonomi umat Islam. Sebagai contoh: ‘al-aadah muhakkamah atau
kebiasaan dapat menjadi dasar hukum. Dalam suatu masyarakat, dimana transaksi
jual beli dalam skala kecil biasa dilakukan tanpa harus menyebutkan ‘aqadnya,
maka apabila antara penjual dan pembeli sudah saling memahami akan terjadinya
transaksi tersebut, sebagaimana kebiasaan pada masyarakat yang bersangkutan,
maka proses transaksi yang memberi kemudahan tersebut dianggap sah untuk
mengetahui besarnya kontribusi para fuqaha terdahulu dalam menyusun qawa’id
fiqhiyyah dan juga mengetahui kontribusi dan mengukur relevansi qawa’id
fiqhiyyah dalam pemikiran dan perilaku ekonomi umat.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini berbentuk studi literatur yang berkaitan dengan topik utama
yaitu qawa’id fiqhiyyah. Metode analisis dalam penelitian ini menggunakan
literatur yang relevan diteliti secara langsung, baik dari karya-karya para fuqaha
terdahulu dalam bentuk manuskrip, maupun karya-karya para ulama, cendekiawan
atau fuqaha terkemudian dalam bentuk komentar atau hasil penelitian terhadap
manusia tersebut. Adapun fokus pada penelitian ini adalah membahas terkait
dengan qawa'id fiqhiyyah dalam madzhab Hanafiyah dan Syafi'iyah.

PEMBAHASAN
1. Pengertian Qawa’id Fiqhiyyah
Qawaid Fiqhiyyah adalah kata majemuk yang terbentuk dari dua kata, yakni
kata qawaid dan fiqhiyyah, kedua kata itu memiliki pengertian tersendiri. Secara
etimologi, kata qaidah (‫)قاعدة‬, jamaknya qawaid (‫)قواعد‬. berarti; asas, landasan,
dasar atau fondasi sesuatu, baik yang bersifat kongkret, materi, atau inderawi
seperti fondasi bangunan rumah, maupun yang bersifat abstrak, non materi dan
non indrawi seperti ushuluddin (dasar agama)2. Dalam kamus Besar Bahasa
Indonesia, arti kaidah yaitu rumusan asas yang menjadi hukum; aturan yang sudah
pasti, patokan; dalil.
Qaidah dengan arti dasar atau fondasi sesuatu yang bersifat materi terdapat
dalam al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 127 :
١٢٧ ‫َو ِإۡذ َيۡر َفُع ِإۡب َٰر ۧ‍ِهُم ٱۡل َقَو اِع َد ِم َن ٱۡل َبۡي ِت َو ِإۡس َٰم ِع يُل َر َّبَنا َتَقَّبۡل ِم َّنۖٓا ِإَّنَك َأنَت ٱلَّس ِم يُع ٱۡل َعِليُم‬
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah

2
Mu’jam al-lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wajid, (t.tp.Wuzarah al Tarbiyah wa al-Ta’lim, t.th),
509.

3
daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui".
Begitu pula terdapat dalam al-Qur’an surah al-Nahl ayat 26:
‫َقۡد َم َك َر ٱَّلِذ يَن ِم ن َقۡب ِلِهۡم َفَأَتى ٱُهَّلل ُبۡن َٰي َنُهم ِّم َن ٱۡل َقَو اِعِد َفَخَّر َع َلۡي ِهُم ٱلَّس ۡق ُف ِم ن َفۡو ِقِهۡم َو َأَتٰى ُهُم ٱۡل َع َذ اُب‬
٢٦ ‫ِم ۡن َح ۡي ُث اَل َيۡش ُعُروَن‬
Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar,
maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap
(rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada
mereka dari tempat yang tidak mereka sadari.
Kata fiqhiyyah berasal dari kata fiqh (‫ )الفقه‬ditambah dengan ya nisbah yang
berfungsi sebagai penjenisan, atau penyandaran. Secara etimologi fiqh berarti
pengetahuan, pemahaman, atau memahami maksud pembicaraan dan
perkataannya3.
Al-Qur’an menyebut kata fiqh sebanyak 20 ayat, antara lain pada surah al-
Taubah ayat 122 :
‫ۚٗة‬
‫ة ِّلَيَتَفَّقُه وْا ِفي ٱلِّديِن‬ٞ ‫۞َو َم ا َك اَن ٱۡل ُم ۡؤ ِم ُنوَن ِلَينِف ُروْا َك ٓاَّف َفَل ۡو اَل َنَف َر ِم ن ُك ِّل ِفۡر َق ٖة ِّم ۡن ُهۡم َطٓاِئَف‬
١٢٢ ‫َو ِلُينِذ ُروْا َقۡو َم ُهۡم ِإَذ ا َر َج ُع ٓو ْا ِإَلۡي ِهۡم َلَع َّلُهۡم َيۡح َذ ُروَن‬
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Ulama ushul kontemporer, antara lain Abd al-Wahhab Khallaf memberikan
definisi fiqh secara ekslusif, yaitu : Kumpulan hukum-hukum syara’ yang bersifat
praktis yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci4.
Dari pengertian di atas, dapat diketahui bahwa pengertian qawaid fiqhiyyah
menurut etimologi berarti aturan yang sudah pasti atau patokan, dasar-dasar bagi
fiqh.
Sedangkan pengertian qawaid fiqhiyyah menurut terminologi, al-Taftazany
(w. 791 H.) memberikan rumusan, yaitu suatu hukum yang bersifat universal yang
dapat diterapkan kepada seluruh bagiannya agar dapat diidentifikasikan hukum-
hukum bagian tersebut darinya5. Al-Jurjani (W. 816 H) dalam kitab al-Ta’rifat
memberikan rumusan, yaitu ketentuan universal yang bersesuaian dengan seluruh
bagian-bagiannya6.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, secara garis besar para ulama terbagi
menjadi dua kelompok dalam mendefinisikan qawaid fiqhiyyah. Hal ini
berdasarkan atas realita bahwa ada sebagian ulama yang mendefinisikan qawaid
fiqhiyyah sebagai suatu yang bersifat universal, dan sebagian yang lain
mendefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat mayoritas (aghlabiyyah) saja.
erbedaan ini berangkat dari perbedaan persepsi yang berpendapat bahwa
qawaid fiqhiyyah bersifat universal berpijak kepada realita bahwa pengecualian
yang terdapat dalam qawaid fiqhiyyah relatif sedikit, disamping itu mereka
3
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab , (t.tp. Dar al-Ma’arif, t.th). Jld. IV, 3450.
4
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait, Daru al-Qalam, 1402 H.), 11.
5
Al-Tahfazany, Al-Talwih “Ala al-Thadhih, (Mesir, Mathba’ah Syan al-Hurriyah, jilid I, jt.th), 20
6
Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut, Dar al-Kitab al-Araby, 1405 H.), 171

4
berpegang kepada qaidah-qaidah bahwa pengecualian tidak mempunyai hukum,
sehingga tidak mengurangi sifat universal qawaid fiqhiyyah.
Ulama yang berpendapat bahwa qawaid fiqhiyyah bersifat mayoritas karena
secara realitas bahwa seluruh qawaid fiqhiyyah mempunyai pengecualian,
sehingga penyebutan universal terhadap qawaid fiqhiyyah kurang tepat7.
Dengan demikian, para ulama sepakat qawaid fiqhiyyah mengandung
pengecualian, namun mereka tidak satu pendapat dalam memandang pengecualian
tersebut, apakah berpengaruh terhadap keuniversalan qawaid fiqhiyyah ataukah
tidak?. Begitu pula para ulama menyebutkan istilah yang berbeda terhadap qawaid
fiqhiyyah. Ada yang menyebut dengan qadhiyah (proposisi), ada yang menyebut
dengan al-hukmu (Hukum), dan ada yang menyebut dengan al-Ashl (pokok).
Para ulama yang menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan qadhiyyah
memandang bahwa qawaid fiqhiyyah adalah aturan-aturan yang mengatur
perbuatan-perbuatan mukallaf. Karena itu qawaid fiqhiyyah merupakan aturan-
aturan yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf. Para ulama yang
menyebutkan qawaid fiqhiyyah dengan rumusan hukum beralasan bahwa; qawaid
fiqhiyyah merupakan aturan yang mengatur tentang hukum-hukum syara’
sehingga tepat sekali apabila didefinisikan sebagai hukum, karena memang
mengandung hukum-hukum syara’. Disamping itu, mayoritas hukum adalah
qadhiyyah hukum merupakan bagian penting dari sebuah qadhiyyah, karena
menjadi parameter yang sangat penting dan kebenaran sebuah qadhiyyah.
Sedangkan para ulama yang mendefiniskan qawaid fiqhiyyah dengan sebutan al-
ashl, termasuk ulama kontemporer, terlebih dahulu mengkompromikan definisi-
definisi yang telah ada, kemudian mereka melihat bahwa pada dasarnya qawaid
fiqhiyyah adalah aturan-aturan pokok tentang perbuatan mukallaf yang dapat
menampung hukum-hukum syara’8.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa pendapat para ulama yang
memandang qawaid fiqhiyyah disebutkan dengan al-hukm atau al-ashl itulah
pendapat yang tepat, karena dua istilah itu yang menjadi ciri utama dari qawaid
fiqhiyyah.

2. Qawa'id Fiqhiyyah dalam Madzhab Hanafiyah


a. Latar Belakang Madzhab Hanafi
Mazhab Hanafi berasal dari nama kumpulan pendapat Imam Hanafi yang
diriwayatkan oleh murid-muridnya, yaitu Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani
serta pengganti mereka yang dinisbahkan kepada mujtahid yang menjadi
Imamnya yaitu Abu Hanifah al-Nu’man ibn Tsabit ibn Zuthi. Lahir di Kufah pada
tahun 80 H/699 M dan wafat pada tahun 150 H/767 M.
Imam Hanafi dibesarkan di Kufah yang pada saat itu terdapat adanya empat
ulama yang tergolong sahabat Nabi SAW yang masih hidup, yaitu Anas bin Malik
di Basrah, Abdullah bin Ali di Kufah, Sahl bin alSaidi di Madinah, dan al-Tufail
Amir bin Malik di Mekkah dan pada saat itu Imam Hanafi sempat meriwayatkan
hadistnya dan menjadikannya sebagai seorang tabi’in.
7
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta, Media Pratama, 2008), 12-13.
8
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta, Media Pratama, 2008), 13-14.

5
Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah-masalah baru, bahkan
beliau banyak menetapkan hukum-hukum yang belum terjadi. Metode ushul yang
digunakan oleh beliau banyak bersandar pada ra’yu, setelah Al-Qur’an dan
Hadits. Dan dalam menetapkan hukum, imam Hanafi berawal dari Al-Qur’an
kemudian hadits dan kemudian baru kepada praktik sahabat. Dalam hal ini apabila
terdapat perbedaan pendapat sahabat maka beliau mengqiyaskan dua masalah
tersebut dan menyatukan kedua illatnya sehingga maknanya menjadi jelas.
Pendapat-pendapat imam Hanafi diantut oleh pada pengikutnya, disebutkan
bahwa mazhab Hanafi ialah aliran fuqaha karena dalam membangun teori ushul
fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’. Apabila terdapat pertentangan
antara kaidah dan ushul dengan kaidah furu’, maka kaidah tersebut di ubah sesuai
dengan hukum furu’. Metodologinya ialah penelitian terhadap masalah-masalah
furu’ yang lebih menyuntuh masalah fiqh, aktual dan realistis. Kemudian tahap
selanjutnya mengadakan pengkajian makna yang terkandung dalam masalah furu’
tersebut, dan kemudian mengambil prinsip-prinsip umumnya dan menjadikannya
sebagai kaidah ushuliyah. Imam Hanafi dalam berijtihad banyak menggunakann
analogi atau qiyas.
Adapun sebagai dasar yang beliau jadikan dalam mentapkan suatu hukum
diantaranya ialah: 1) Al-Qur’an, 2) Hadis, 3) Ijma’, 4) Qoul Sahabat, 5) Qiyas,
dan 6) Ishtihsan9.

b. Qaidah Fiqhiyyah dalam Madzhab Hanafi


Salah sati kaidah fiqhiyyan yang dipergunakan oleh madhab Hanafi adalah :
‫األصل في المعامالت اإلباحة إال يدل دليل على تحريمه‬
Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya
Qaidah tersebut merupakan bagian dari Qaidah asasiyyah yang berbunyi: ((
‫ اليقين ال يزال بالشك‬: keyakinan itu tidak dapat dihapus dengan keraguan yang
berlaku kepada semua perbuatan muamalah. Bentuk muamalah secara sempit
adalah aktivitasaktivitas ekonomi, seperti jual beli, utang piutang, ijarah, dan
transaksi-transaksi lainnya.
Dengan berpegang pada qaidah fiqhiyyah tersebut di atas, maka setiap
muslim diberi kebebasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. selama
tidak merupakan bentuk aktivitas yang dilarang atau tidak mengandung unsur-
unsur yang dilarang.
Hukum pokok ibadah menyatakan bahwa segala sesuatu dilarang
dikerjakan, kecuali ada petunjuk di dalam al-Qur’an dan atau Sunnah untuk
mengerjakannya. Oleh karena itu, masalah-masalah ibadah tata caranya telah
diatur dengan terperinci, sehingga dilarang melakukan penambahan dan/atau
perubahan. Sedangkan hukum pokok muamalat adalah bahwa segala perbuatan
muamalah dibolehkan, kecuali ada larangan dalam al-Qur’an dan sunnah.
Dengan demikian terdapat lapangan yang luas dalam bidang muamalah.
Penyebab dilarangnya suatu transaksi adalah disebabkan karena faktor-faktor: (1)

9
Husain Hamid Hassan, Nazhariyat Al-Maslahat Fil Fiqhi al-Islami (Saudi: Daarul Nadhah al-
Arobiyat), 585.

6
haram zatnya (haram li-dzatihi); (2) haram selain zatnya (haram li ghairihi); dan
(3) tidak sah atau tidak lengkap akadnya.

3. Qawa'id Fiqhiyyah dalam Madzhab Safi’iyah


a. Latar Belakang Madzhab Safi’iyah
Imam Syafi’i bernama asli Abu Abdillah Muhammad bin Idris AsySyafi’i.
Lahir di Gaza Palestina pada tahun 150 H, tetapi dalam riwayat lain dikatakan
beliau dilahirkan di Asqalan. Namun hal ini bukanlah sebuah pertentangan yang
signifikan karena antara Gaza dan Asqalan adalah dua kota yang berdekatan
jaraknya10.
Imam Syafi’i dilahirkan tepat pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah di
masa khalifah Abu Ja’far Al-Mansur. Beliau lahir dalam sebuah keluarga fakir di
Palestina, meskipun begitu beliau memiliki nasab (keturunan) yang begitu mulia.
Ia kemudian dibawa oleh ibunya ke Mekkah guna menjaga nasabnya agar tidak
terputus11. Satu hal yang merupakan keistimewaan yang dimiliki Imam Syafi’i
dibanding dengan imam mazhab lain yakni beliau merupakan keturunan dari suku
Quraisy, suku yang disegani di kalangan bangsa Arab. Silsilah beliau juga
bersambung kepada Rasulullah SAW dari sisi kakek beliau yaitu Abdi Manaf bin
Qushay.
Ketika dilahirkan dan masih dalam usia yang sangat belia ia telah
ditinggalkan ayahnya sehingga Imam Syafi’i telah menjadi yatim sejak kecil. 52
Meskipun demikian, hal tersebut bukanlah alasan beliau untuk berpasrah diri dan
tidak melakukan aktivitas keilmuan, Imam Syafi’i sangat giat dan gencar dalam
menuntut ilmu. Mempelajari hadist, ilmu fiqih, mengembara dari satu kota ke kota
lain demi menimba keilmuan dari berbagai daerah.
Dalam beristinbath Imam Syafi’i merupakan ulama yang dapat
memperkenalkan sebuah metodologi yang sistematis dan konsisten dengan
menempatkan kedua aliran secara porposional 12. Dimana beliau membawa
pendekatan baru yang berusaha menjadi penengah antara ahlu hadits dan ahlu
ra’yu. Hal ini karena imam Syafi’i pernah berguru kepada imam Maliki bin Anas
yang beraliran ahlu hadits, dan pernah berguru pula pada Al-Syaibani yang
beraliran ahlu ra’yu.
Hal ini terlihal dari sikapnya imam Syafi’i yang tidak mendahulukan hadits
secara mutlak. Dan tidak pula mendahulukan hadist secara mutlak. Mazhab
Syafi’i menggunakan metode ilmu kalam yakni dengan membuat suatu kaidah
umum yang ditunjukan oleh nash-nash Syar’i dan akal tanpa terikat oleh hukum
furu’13. Dikarenakan imam Syafi’i yang pertama kali menyusun ilmu ushul fiqh

10
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi, Kemilau Indah Aqidah Imam Syafi’i (Gresik: Media
Dakwah Al-Furqon, 2020), 12.
11
Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Empat Imam Mazhab (Sukmajaya: Fathan Media Prima,
2017), 348
12
Abuddin, Masail Al-Fiqhiyah (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), 36
13
Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam Suatu Konsep Tentang Seluk Beluk Pemahaman
Ajaran Islam Studi Islam Dan Isu-Isu Kontemporer Dalam Studi Islam Cet. 1 (Yogyakarta: Teras,
2013), 137-138.

7
dalam kitabnya yakni al-Risalah, hukum Islam Al-Syafi’i sering disebut sebagai
arsitek agung sumber-sumber hukum Islam14.
Seperti halnya imam mazhab lainnya, imam Syafi’i menempatkan al-Qur’an
sebagai dasar hukum pertama, karena tidak ada sesuatu kekuatan apapun yang
dapat menolak keotentikan al-Qur’an. Dalam pemahaman imam Syafi’i terhadap
al-Qur’an, beliau memperkenalkan konsep al-bayan. Dimana beliau
menkarifikasikan dilallah atas ‘am dan khas. Sehingga ada dilallah ‘am dengan
maksud ‘am, adapula dilallah ‘am dengan dua maksud ‘am dan khas, dan ada juga
dilallah ‘am dengan maksud khas. Klasifikasi tersebut ialah dilallah tertentu yang
maknanya ditentukan oleh konteksnya atau dengan istilah lain dilallah tersebut
menunjuk pada makna implisit bukan eksplisit15.
Kemudian imam Syafi’i menempatkan posisi Hadits sejajar dengan al-
Qur’an, dikarenakan perannya yang amat penting dalam konteks bayan
(menjelaskan) dan penetapan hukum tersebut. Beliau berbeda dalam penggunakan
hadits ahad dengan imam Hanafi dan Maliki. Dimana imam Hanafi secara mutlak
meninggalkannya, sedangkan imam Maliki lebih mengutamakan tradisi
masyarakat Madinah. Tetapi imam Syafi’i secara mutlak menggunakannya selama
hadits ahad tersebut memenuhi kriteria.

b. Qaidah Fiqhiyyah Madzhab Syafi’i


Salah satu qaidah fiqhiyyah yang dipergunakan oleh madzhab Syafi’i dalam
bidang mu’amalah adalah:
‫الربح على ما شرطا و الوضيعة على قدر المالين‬
“Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian
dibagi sesuai dengan modal masing-masing pihak16.”

Menurut mazhab Syafi'i keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan


bersama sesuai dengan persentase modal yang disetorkan. Jika masing-masing
anggota menanam modal sebesar 50% maka keuntungan yang diperoleh juga
50%. Sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab orang yang bekerja sama
sesuai dengan persentase modal masing-masing.

4. Implementasi Qawa'id Fiqhiyyah Madzhab Hanafiyah dan Safi’iyah


dalam Praktik Syirkah Abdan
a. Pengertian Syirkah Abdan
Secara bahasa al-syirkah berarti al-ikhtilah (bercampur), yakni
bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya, sehingga antara
masing-masing sulit dibedakan. Syirkah juga dapat disebut dengan kemitraan.
Kemitraan atau kerjasama terdiri dari persetujuan dua orang dengan baik secara
lisan, perilaku atau secara tertulis, dan untuk akte hubungan yang lebih kuat dapat
dilakukan diatas segel17. Kata abdan berarti “hamba”, di dalam surah alkahfi ayat

14
M. dawud Ali, Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999), 170
15
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr), 190.
16
Kamaluddin Muhammad Ibn Abd Al-Wahid As-Suyisiy bin Al-Human, Syarah Fath Al-Qadir,
(Beirut: Dar al-Fikr, T.t), Juz IV, 14.
17
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996), Jilid IV, 354

8
65 kata abdan bermakna “seorang hamba” dari hamba-hamba kami yang pada
dasarnya semua musafir sama dalam memahami kata abdan dengan makna
hamba.
Sedangkan syirkah abdan adalah suatu bentuk kerja sama antara dua orang
atau lebih untuk mengerjakan suatu pekerjaan bersama-sama, dan upah kerjanya
dibagi diantara mereka sesuai dengan persyaratan yang disepakati bersama.
Dalam konsep hukum perjanjian kemitraan itu sebaiknya dilakukan secara tertulis,
karena hal tersebut menyangkut dengan kekuatan hukum agar semua aspek
hubungan kemitraan diantara mereka bisa lebih terjamin, sehingga dapat
menghapuskan ketidakpastian, kesalahpahaman maupun pertikaian
Syirkah abdan, yaitu kerjasama antara dua orang atau lebih untuk
melakukan suatu usaha atau pekerjaan. Selanjutnya, hasil dari usaha tersebut
dibagi antar sesama mereka berdasarkan perjanjian 18. Antara dua orang syarik atau
lebih untuk melakukan usaha tertentu dengan modal berupa keterampilan diantara
sesama syarik.
Pada mulanya kegiatan syirkah abdan banyak dilakukan oleh para pelaku
usaha tradisional seperti pengusaha sepatu, dan penjahit, tetapi dilakukan pula
oleh pengusaha kontraktor pembangunan gedung atau jalan raya yang melakukan
subkontrak terhadap perusahaan lain19. Syirkah abdan adalah perserikatan antara
dua pihak atau lebih yang masing–masing hanya memberikan kontribusi kerja
(‘amal), tanpa kontribusi modal (mal). Kontribusi kerja itu dapat berupa kerja
pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis) ataupun kerja fisik (seperti
pekerjaan tukang kayu dan perabot, tukang batu dan sopir, pemburu dan nelayan,
dan sebagainya)20.

b. Implementasi Qawa'id Fiqhiyyah Madzhab Hanafiyah dalam


Praktik Syirkah Abdan
Dalam kalangan mazhab Hanafi syirkah abdan diperbolehkan, Dimana
diperbolehkannya apabila dua orang bersyirkah tersebut sama-sama memberikan
manfaat melalui pekerjaannya. Sebagaimana dalam kitab Hanafiyah Bada’i Ash-
sana’i fi tartib as syirai’.
“Adapun Syirkah a’mal (syirkah abdan) yaitu adalah dua orang saling
bekerja sama dalam melakukan sebuah pekerjaan seperti tukang jahit dan
lain-lain kemudian keduanya berkata kita telah bermusyawarah atau telah
melakukan kerja sama untuk melakukan sebuah pekerjaan apabila ada
rezeki yang Allah berikan berupa uang dan jasa maka itu kita bagi berdua
dengan syarat-syarat tertentu”21.
Dalam kitab Al-‘Aziz Syahril Wajiz Al-Ma’ruf bi Syahril Kabir tercantum
pendapat imam Abu Hanifah yang dikemukakan oleh kalangan ulama Syafi’iyah
di mana Abu Hanifah mengatakan bahwasanya syirkah abdan itu boleh (sah). Dari
18
Maulana Hasanudin & Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana,
2012), 20
19
Maulana Hasanudin & Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta: Kencana,
2012), 46
20
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010), Cet.ke-1, 813.
21
Abu Bakar Bin Mas’ud Al Kisani, Bada’i Ash sana’i, (Beirut: Darul ilamiyah 1986), Juz VI, 57

9
segi akad menurut mazhab Hanafi, akad yang dilakukan dipandang sah apabila
memenuhi syarat dan rukunnya. Menurut mazhab Hanafi rukun akad adalah ijab
qabul.
Adapun syarat nya dari kalangan mazhab Hanafi adalah:
1) Dengan dibebaskannya jenis pekerjaan apa saja yang akan dijadikan kerja
oleh kedua belah pihak dengan syarat harus mempunyai keterampilan
(skill) karena dengan keterampilan itu sebagai dasar kerjasamanya.
2) Dapat dipandang sebagai perwakilan atas sesuatu yang berkenaan dengan
apa yang diakadkan.
3) Adanya kejelasan dalam pembagian keuntungan.
4) Laba merupakan bagian umum dari jumlah (diambil dari laba syirkah
bukan dari harta lain).
Adapun dalil yang membolehkan syirkah abdan menurut mazhab Hanafi
adalah hadits tentang tawanan perang sebagai berikut : “Telah menceritakan
kepada kami Ubaidah Ibn Muadz, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Abi Ishaq dari Abu Ubaidah dari Abdullah
berkata dia: Aku pernah berserikat dengan Ammar dan Sa'ad dalam perang badar,
lalu datang sa'ad membawa dua orang tawanan sedang saya dan Ammar tidak
membawa apa-apa. (HR. Abu Daud)22.
Menurut Muhammad bin Ismail bin Amir al-Yamani Ash-Shon’ani dalam
kitabnya Subul as-Salam, memberi penilaian terhadap sanad hadits diatas bahwa
Hadits Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh anaknya Abu Ubaidah bin Abdullah
dan hadistnya adalah hadits munqathi’ karena ia tidak menyebutkan dari ayahnya
sedikitpun23.
Bagi kelompok ulama yang membolehkan syirkah abdan, berpegang pada
hadits di atas walaupun hadits tersebut dinilai munqathi’. Menurut mazhab
Hanafi, hadits munqathi’ bisa dijadikan hujjah secara mutlak. Baik yang
berkenaan dengan masalah halal dan haram, maupun yang berkaitan dengan
kewajiban, selama tidak didapati hadits lain dalam permasalahan yang sama24.
Dari uraian di atas bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak mampu
memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa pertolongan orang lain, yang antara satu
pihak dengan pihak lain saling membutuhkan. Selain itu Islam menganjurkan
umatnya untuk saling membantu, hal ini sejalan dengan firman Allah:
‫َو َتَع اَو ُنوْا َع َلى ٱۡل ِبِّر َو ٱلَّتۡق َو ٰۖى َو اَل َتَع اَو ُنوْا َع َلى ٱِإۡل ۡث ِم َو ٱۡل ُع ۡد َٰو ِۚن‬...
....Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...
(Q.S. Al-Maidah : 2).
Bukan hanya itu, pada dasarnya semua yang berkenaan dengan muamalah
adalah boleh, selama tidak ada dalil yang menerangkan tentang keharamannya.
Hal ini sesuai dengan kaedah yang menyatakan:

22
Syafri Muhammad Noor, Hadist-Hadist Tentang Syirkah Dan Mudharabah, (Jakarta: Rumah
Fiqih Publishing, 2019), 12.
23
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram Jilid 2,
(Jakarta: Darus Sunnah, 2017). 265.
24
Manna’ Khalil Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka alKautsar, 2014),
131.

10
‫األصل في المعامالت اإلباحة إال يدل دليل على تحريمه‬
Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya

c. Implementasi Qawa'id Fiqhiyyah Madzhab Safi’iyah dalam Praktik


Syirkah Abdan
Menurut mazhab Syafi’i, syirkah abdan adalah syirkah yang tidak sah.
Karena menurut mereka, syirkah hanya boleh dilakukan dengan harta, bukan
dengan pekerjaan. Alasan pertama, karena pekerjaan tidak bisa diukur. Kedua,
karena tiap-tiap orang pasti memiliki keistimewaan tersendiri bila dibandingkan
dengan yang lainnya, baik dari segi fisik maupun kemampuan yang dimiliki,
ketiga, karena kapasitas kerja salah satu pihak tidak bisa diketahui secara pasti.
Sehingga mengakibatkan ketidakjelasan (gharar) pada pekerjaan dan pembagian
keuntungan.
Menurut mazhab Syafi'i keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama sesuai dengan persentase modal yang disetorkan. Jika masing-masing
anggota menanam modal sebesar 50% maka keuntungan yang diperoleh juga
50%. Sedangkan kerugian menjadi tanggung jawab orang yang bekerja sama
sesuai dengan persentase modal masing-masing. Mengenai hal ini disebutkan
dalam sebuah kaidah fiqhiyah:
‫الربح على ما شرطا و الوضيعة على قدر المالين‬
“Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan para pihak, sedangkan kerugian
dibagi sesuai dengan modal masing-masing pihak25.”
Jika melihat syirkah abdan ini dalam mazhab Syafi'i yaitu ada pembagian
keuntungan dan kerugian. Tetapi dari segi modal terdapat perbedaan dalam
mazhab Syafi'i, modal yang dimaksud adalah harta. Sedangkan dalam syirkah
abdan yang menjadi modal adalah skill atau kemampuan. Fuqaha’ dari kalangan
Syafi’iyah menganggap bahwa syirkah abdan adalah bathil. Tercantum dalam
kitab Al-‘Aziz Syahril Wajiz Al-Ma’ruf bi Syahril Kabir.
“Syirkah abdan merupakan perserikatan dua orang pekerja atau lainnya dari
pekerjaan-pekerjaan dalam rangka untuk mencari keuntungan yang
keuntungannya bisa dibagi sama atau berbeda, tidak sah (batal) baik itu
keduanya sepakat maupun tidak sepakat (berbeda) dalam pekerjaannya
seperti penjahit dan tukang kayu yang karena masing-masing dari mereka
itu berbeda bentuk, keahlian, bidang dan kemanfaatan dan mereka bekerja
sama pada binatang ternak keduanya berbeda maka dalam sanksi seperti itu
hukum-nya tidak sah”26.
Lebih jauh mazhab Syafi’i menolak syirkah abdan adalah karena prinsip
kehati-hatian (ikhtiyat). Karena prinsip ijtihad dari fuqaha syafi’iyah adalah
hatihati dalam memberikan keputusan hukum, sehingga tidak mudah berfatwa
membolehkan atau melarang suatu masalah tanpa landasan hukum yang jelas.
Sebagaimana qaul Imam Nawawi:

25
Kamaluddin Muhammad Ibn Abd Al-Wahid As-Suyisiy bin Al-Human, Syarah Fath Al-Qadir,
(Beirut: Dar al-Fikr, T.t), Juz IV, 14.
26
Abdul Qasim bin Qarim bin Muhammad Abdul Karim, Al-‘Aziz Syahril Wajiz AlMa’ruf bi
Syarhil Kabir, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1997), Juz V, 191.

11
“Diharamkan menggampangkan dalam berfatwa. Barang siapa diketahui
dengan ciri demikian, maka haram meminta fatwa terhadapnya. Termasuk
perbuatan tasahul (menggampangkan), adalah tidak melakukan identifikasi
masalah dan terburu-buru dalam berfatwa sebelum memenuhi hak-haknya
masalah seperti meneliti dan berfikir. Dan termasuk tasahul dalam berfatwa
adalah jika seseorang terpengaruh pada tujuan-tujuan yang tidak benar yang
fasidah mengikuti trik-trik transaksi yang diharamkan atau yang
dimakruhkan”27.
Adapun kekhawatiran mazhab Syafi’i mengenai timbulnya perselisihan di
antara para pihak dapat diatasi dengan cara para pihak membuat perjanjian yang
spesifik menyangkut hal kinerja, misalnya para pihak menyepakati jika terjadi
penurunan kinerja dari salah pihak maka dapat dilakukan kesepakatan untuk
negosiasi ulang berkaitan dengan persentase bagi hasil. Bahkan penurunan kinerja
itu dapat disepakati sebagai alasan untuk mengakhiri kerjasama tersebut.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa qawa'id
fiqhiyyah dalam pemahaman ajaran Islam sangat lah penting, terutama dalam
konteks ekonomi dan muamalat. Madzhab Hanafiyah, yang dipelopori oleh Imam
Hanafi, menganggap bahwa hukum asal dalam muamalat adalah boleh, kecuali
ada dalil yang mengharamkannya. Dalam praktik syirkah abdan (kemitraan kerja),
madzhab Hanafi memperbolehkan asalkan kedua pihak memberikan manfaat
melalui pekerjaan mereka. Sementara itu, madzhab Syafi'iyah, yang dipimpin oleh
Imam Syafi'i, memiliki pendekatan yang berbeda dalam menggunakan qawa'id
fiqhiyyah. Mereka menganggap al-Qur'an dan Hadits setara sebagai sumber
hukum utama. Dalam syirkah abdan, madzhab Syafi'iyah juga
memperbolehkannya, asalkan ada perjanjian tertulis yang mengatur pembagian
hasil sesuai dengan perjanjian mereka.

REFERENSI
Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait, Daru al-Qalam, 1402 H.).
Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Empat Imam Mazhab (Sukmajaya: Fathan
Media Prima, 2017).
Abdul Qasim bin Qarim bin Muhammad Abdul Karim, Al-‘Aziz Syahril Wajiz
AlMa’ruf bi Syarhil Kabir, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyah, 1997).
Abu Bakar Bin Mas’ud Al Kisani, Bada’i Ash sana’i, (Beirut: Darul ilamiyah
1986).
Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi, Kemilau Indah Aqidah Imam Syafi’i
(Gresik: Media Dakwah Al-Furqon, 2020).
Abuddin, Masail Al-Fiqhiyah (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006).

27
Muhyiddin bin Zakarya bin Yahya bin Syaraf Al-Nawawy, Adabu Al-Fatwa Wa AlMufti Wa Al-
Mustafti, (Suriah: Dar Al-Fikr, 1988), hlm. 7.

12
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta, Media Pratama, 2008).
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf,
1996).
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010).
Al-Jurjani, al-Ta’rifat, (Beirut, Dar al-Kitab al-Araby, 1405 H.).
Al-Tahfazany, Al-Talwih “Ala al-Thadhih, (Mesir, Mathba’ah Syan al-Hurriyah,
jilid I).
Ash-Shan’ani, Muhammad bin Ismail Al-Amir, Subulus Salam Syarah Bulughul
Maram Jilid 2, (Jakarta: Darus Sunnah, 2017).
Husain Hamid Hassan, Nazhariyat Al-Maslahat Fil Fiqhi al-Islami (Saudi: Daarul
Nadhah al-Arobiyat).
Ibnu Manzur, Lisan al-‘Arab , (t.tp. Dar al-Ma’arif, t.th). Jld. IV.
Kamaluddin Muhammad Ibn Abd Al-Wahid As-Suyisiy bin Al-Human, Syarah
Fath Al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, T.t).
Kamaluddin Muhammad Ibn Abd Al-Wahid As-Suyisiy bin Al-Human, Syarah
Fath Al-Qadir, (Beirut: Dar al-Fikr, T.t).
Khoiriyah, Memahami Metodologi Studi Islam Suatu Konsep Tentang Seluk Beluk
Pemahaman Ajaran Islam Studi Islam Dan Isu-Isu Kontemporer Dalam
Studi Islam Cet. 1 (Yogyakarta: Teras, 2013).
M. Dawud Ali, Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Press, 1999).
Manna’ Khalil Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka
alKautsar, 2014)
Maulana Hasanudin & Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah, (Jakarta:
Kencana, 2012).
Mu’jam al-lughah al-‘Arabiyah, Mu’jam al-Wajid, (t.tp.Wuzarah al Tarbiyah wa
al-Ta’lim, t.th).
Muhammad bin Idris al-Syafi’i, Al-Risalah (Beirut: Dar al-Fikr).
Muhyiddin bin Zakarya bin Yahya bin Syaraf Al-Nawawy, Adabu Al-Fatwa Wa
AlMufti Wa Al-Mustafti, (Suriah: Dar Al-Fikr, 1988).
Syafri Muhammad Noor, Hadist-Hadist Tentang Syirkah Dan Mudharabah,
(Jakarta: Rumah Fiqih Publishing, 2019).
T.M. Hasbi, ash-Shiddieqy. Pengantar Hukum Islam. (Jakarta: Penerbit Bulan
Bintang, 1981).

13

You might also like