Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 32

Masjid Kasunyatan Banten:

Tinjauan Sejarah dan Arsitektur*)


Kasunyatan Mosque:
A Historical and Architectural Perspective

Asep Saefullah
Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan Manajemen Organisasi,
Badan litbang dan Diklat Kemenag RI
e-mail: asepmoment2015@gmail.com

DOI: 10.31291/jlk.v16i1.486

Abstract
Kasunyatan Mosque is one of the historic ancient mosques in Banten.
Its existence is less popular than Masjid Agung (the Great Mosque) of
Banten in Banten Lama, although both are one of the religious tourism
destinations for Indonesian people. At the time of the Sultan (Shaykh)
Maulana Yusuf, the second Sultan of the Sultanate of Banten, ruled
between 1570-1780 AD, Kasunyatan Mosque is well known as a center of
religious and scientific activities other than the Keraton Surosowan and
Banten Lama. Across this mosque there is the Tomb of Sultan (Shaykh)
Maulana Yusuf which is crowded by the public. This research paper
endeavors to describe of how Kasunyatan Mosque in Banten as one of
historic places of worship. The research uses historical and architectural
approach in understanding and analysing data. Based on this research, it
is understood that the Kasunyatan Mosque shows its ancient features in its
rectangular shape, solid or massive foundations, thick walls, short mihrab,
and pulpits and the Friday sermons in the form of a double-edged sword.
Although it has renovated and improved, but the original structure
remains visible and its authenticity is maintained. On the southwest side

*)
Artikel ini pernah disajikan dalam “Seminar Hasil Penelitian Rumah
Ibadah Bersejarah (RIB)”, Puslitbang Lektur, Khazanah Keagamaan, dan
Manajemen Organisasi, di Hotel D’Anaya Bogor, pada 24-25 Oktober 2017,
dengan beberapa tambahan dan perbaikan.

127
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

there is also a massive tower, as one of the hallmarks of ancient tower


buildings. One of the legacies that is still passed by the present generation
is in case of educative and religious function of the mosque itself as a
center of religious teaching and learning in which the Madrasah Diniyah
(religious School) and regular religious study (majlis taklim) is built and
being carried out up to now, besides enabling for other religious activities
and ceremonies such as regular religious teaching, the commemoration of
Islamic Memorial Days such as Mawlid an-Nabi (Celebrating Prophet
Muhammad's Birthday), Isra Mi’raj, Orphans Benefit, and also the haul of
Shaykh Maulana Yusuf.

Keywords: Kasunyatan, Ancient Mosque, Banten, Maulana Yusuf,


Architecture, historical and architectural perspective

Abstrak
Masjid Kasunyatan merupakan salah satu masjid kuno bersejarah di
Banten. Keberadaannya kurang popular dibandingkan dengan Masjid Agung
Banten di Banten Lama, meskipun dua-duanya merupakan salah satu
tujuan wisata religi bagi sebagian masyarakan Indonesia. Pada masa Sultan
(Syekh) Maulana Yusuf, sultan kedua dari Kesultanan Banten, berkuasa
antara 1570-1780 M., Masjid Kasunyatan dikenal sebagai pusat kegiatan
keagamaan dan keilmuan selain di sekitar Keraton Surosowan dan Banten
Lama. Di seberang masjid ini terdapat Makan Sultan (Syekh) Maulana
Yusuf tersebut yang ramai diziarahi masyarakat. Berdasarkan penelusuran,
Masjid Kasunyatan memperlihatkan ciri-ciri kekunoannya pada bentuknya
yang segi empat, fondasi padat atau massif, dinding tebal, mihrab pendek,
dan mimbar serta tongkat khotib Jum'at berupa pedang bermata dua.
Meskipun telah mengalami perbaikan, tetapi struktur aslinya tetap terlihat
dan keasliannya dipertahankan. Di sisi sebelah barat daya terdapat juga
menara yang massif, sebagai salah satu ciri bangunan menara kuno. Salah
satu peninggalannya yang tetap diteruskan oleh generasi sekarang adalah
dalam hal pemeranan fungsi pendidikan dan keagamaan, dimana Madrasah
Diniyah dan pengajian rutin dibangun dan diselenggarakan, selain untuk
pelaksanaan berbagai acara kegiatan keagamaan seperti peringatan hari-
hari besar keagamaan, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra Mikraj,
Santunan Anak Yatim, dan juga acara haul Syekh Maulana Yusuf.

Kata Kunci: Kasunyatan, Masjid Kuno, Banten, Maulana Yusuf,


Arsitektur

Pendahuluan
Khazanah keagamaan Banten menarik untuk digali, diteliti,
dan diperbincangkan. Dari masa awal Islam saja masih banyak

128
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

hal yang perlu dikaji, apalagi jika ditambah dengan masa-masa


sebelumnya. Pada masa-masa awal perkembangan Islam di
Banten, misalnya, tinggalan khazanah Kesultanan Banten yang
terkenal adalah Situs Banten Lama. Di dalamnya antara lain
terdapat Masjid Agung Banten, Makam Sultan Hasanuddin, dan
banyak lagi, yang dapat disaksikan di Museum Situs Banten
Lama, Serang. Peninggalan lain dari masa ini yang sepertinya
kurang popular adalah Masjid Kasunyatan di Desa Kasunyatan,
sekitar 2 km dari Masjid Agung Banten di Banten Lama. Semen-
tara itu, Masjid Kasunyatan sesungguhnya termasuk masjid tua,
dan di dekatnya juga (bersebrangan dengan Masjid ini) terdapat
Komplek Makan Sultan Maulana Yusuf, Sultan kedua di
Kesultanan Banten. Komplek makam ini bahkan sering menjadi
tempat ziarah masyarakat dari berbagai wilayah.
Kompleks Makam Sultan Maulana Yusuf terpisah dari makam
sultan-sultan lain yang umumnya berada di Komplek Makam
sekitar Majid Agung Banten, di Banten Lama. “Makam Sultan
Maulana Yusuf berada di Kampung Kasunyatan, Desa Peka-
langan Gede, Kecamatan Kasemen, bersebrangan jalan dengan
Kompleks Masjid Kasunyatan. Makam Sultan Maulana Yusuf
dianggap memiliki “keramat” atau “karomah,” karena Sultan
Maulana Yusuf merupakan seorang ‘wali’ penyebar agama Islam
di masa awal Kesultanan Banten.1 Kepercayaan Sultan Maulana
Yusuf terhadap pendidikan masyarakat di Desa Kasunyatan
dapat dikatakan sebagai modal besar untuk perkembangan Islam
lebih lanjut sampai masa sekarang. Syiar Islam, dengan demi-
kian, tidak hanya menjadi tanggung jawab Kesultanan, tetapi
juga masyarakat pada umumnya ikut serta mendukung penyebar-
annya. Masyarakat yang berminat untuk belajar dan mendalami
pengetahuan agama Islam berkumpul di Masjid Kasunyatan
untuk mengikuti pengajian dan pengajaran Islam yang disampai-
kan oleh para ulama. Sampai sekarang, aktivitas masyarakat sekitar
Kasunyatan dalam mempelajari agama Islam melalui pesantren

1
H.J. De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di
Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram, (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), h.
152-153.

129
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

yang banyak tumbuh-berkembang, masih dapat dirasakan, men-


jadi girah (semangat) yang tak kunjung padam.2
Kasunyatan masih merupakan ladang lahan pertanian pada
masa-masa perkembangan awal Islam di Banten. Ketika Maulana
Yusuf menjadi Sultan pada 1570, wilayah ini mulai difungsikan
baik sebagai pemukiman maupun sebagai lahan mencari penghi-
dupan, seperti pertanian, perkebunan, dan perdagangan. Selain
itu, wilayah ini juga menjadi pusat pengajaran dan pertemuan
para penuntut ilmu agama (Islam) yang datang ke Banten.3 Di
wilayah inilah Masjid Kasunyatan yang kadang disebut masyarakat
setempat sebagai Masjid Agung Kasunyatan menjadi pusat kegiatan
keagamaan dan keilmuan.4
Kajian tentang masjid kuno telah banyak dilakukan, antara lain
M. Kasim Abdurrahman tentang “Arsitektur Masjid Jamik Sultan
Ayyub Sanggau”. Masjid ini terletak di Kalimantan Barat.
Menurut Abdurrahman, meskipun masjid ini telah beberapa kali
direnovasi tetapi tetap mempertahankan kekunoannya. Menurut-
nya juga bahwa arsitekturnya merupakan perpaduan antara
arsitektur Islam dengan pengaruh Hindu-Jawa. Hiasan kaligrafi
dapat ditemukan pada setiap sisi plafon dengan kombinasi warna
hijau dan kuning. Atapnya merupakan atap tumpang dan menara-
nya yang bujur sangkar serta pemakaian mimbar untuk khutbah
Jumat.”5 Penelitian hampir serupa juga pernah dilakukan penulis
dengan judul “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem: Salah
Satu Bukti Keberadaan Islam di Pulau Dewata”. Tulisan tersebut
lebih melihat Masjid Ampel sebagai bukti perkembangan Islam
di Bali. Akan tetapi, dari segi arsitektur, dijelaskan pula bahwa

2
Tubagus Umar Syarif Hadiwibowo, “Perkembangan Kesultanan Banten
Pada Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580)”, Skripsi,
Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta, 2013, h. 185.
3
A. Rohman, “Peranan Desa Kasunyatan dalam Pendidikan Islam Pada
Masa Sultan Maulana Yusuf”, Skripsi, STAIN Sultan Maulana Hasanuddin,
Serang, Banten, 2002, h. 30.
4
Hudari, Kepala Seksi Bimas Islam Kemenag Kota Serang, Wawancara,
27 April 2017, di Serang Banten.
5
M. Kasim Abdurrahman, “Arsitektur Masjid Jami’ Sulthan Ayyub
Sanggau”, Jurnal Lektur Keagamaan, 12(1), 2014, h. 235, 250, dan 254.

130
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

Masjid Ampel juga menunjukkan ciri-ciri kekunoannya, yaitu


“fondasi padat atau massif agak tinggi dan berbentuk persegi,
denahnya berbentuk segi empat bahkan bujur sangkar, dengan
ukuran 9 x 9 m, berdinding tebal, dan beratap tumpang bersusun
dua...”. 6
Sementara Ali Fahrudin menulis tentang Masjid Sultan Riau
di Pulau Penyengat dengan judul “Pusat Kajian Islam Melayu:
Studi Peran Masjid Sultan Riau Masa Lalu”.7 Ia menyimpulkan,
bahwa bangunan masjid ini dilihat dari modelnya bergaya cam-
puran India dan Turki Usmani karena arsiteknya dari Singapura
yang berdarah India dan pengaruh Kekhalifahan Turki Usmani
yang saat itu merupakan kiblat politik dan budaya bagi umat
Islam. Pengaruh India misalnya terdapat pada pelatarannya yang
memanjang seperti di Taj Mahal dan kubah yang berbentuk unik
berbentuk bulat persegi. Sedangkan pengaruh Turki Usmani ter-
dapat pada menaranya. Selain itu, masjid ini juga menjadi tempat
pengajaran agama dan ilmu pengetahuan lainnya atas jasa dari
Yang Dipertuan Muda (YDM) Raja Muhammad Yusuf yang
juga mursyid tarekat Naqsabandiyah Khalidiyah yang sangat cinta
ilmu pengetahuan sehingga memfasilitasi para ilmuan untuk
berkarya demi kemajuan Islam dan Kesultanan Riau Lingga.8
Tulisan lain dengan perspektif agak luas, yaitu tentang
“Islamisasi Jawa Bagian Selatan: Studi Masjid Gala Sunan Bayat
Klaten” oleh Retno Kartini Savitaningrum Imansyah. Meskipun
menggambarkan Islamisasi di desa Paseban, Kecamatan Bayat
(Tembayat) yang masuk wilayah Kabupaten Klaten dengan
melihat sejarah Masjid Gala, tetapi diuraikan pula dari segi
arsitekturnya. Ciri kekunoan yang disebutkan antara lain bentuk-
nya yang persegi, dan beratap tumpang dan semakin meruncing
ke atas. Selanjutnya dijelaskan tentang bagian dalam masjid dan
benda-benda di dalamnya.9
6
Asep Saefullah, “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem: Salah Satu
Bukti Keberadaan Islam di Pulau Dewata”, Jurnal Lektur Keagamaan, 11(2),
2013, h. 367.
7
Ali Fahrudin, “Pusat Kajian Islam Melayu: Studi Peran Masjid Sultan
Riau Masa Lalu”, Jurnal Lektur Keagamaan, 11(2), 2013, h. 426.
8
Ali Fahrudin, “Pusat Kajian Islam Melayu...”, h. 412.
9
Dalam catatan kaki no. 16, Imansyah mengutip Hariansyah, Rudi (ed.)
(sic.), Sejarah Masjid-Masjid Kuno di Indonesia. Seharusnya Rudy Harisyah

131
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

Adapun tulisan yang khusus membahas Masjid Kasunyatan,


Disbudpar Provinsi Banten membuat deskrpsi fisik mengenai
masjid ini.10 Selain itu, A. Rohman dalam “Peranan Desa
Kasunyatan dalam Pendidikan Islam Pada Masa Sultan Maulana
Yusuf” menjelaskan secara sekilas tentang Masjid Kasunyatan.
Ia lebih banyak membahas peran Sultan Maulana Yusuf dalam
penyebaran Islam dan pengajaran agama di Desa Kasunyatan.11
Abd. Ghofur menulis “Perspektif Hisoris Arkeologis tentang
Keragaman Bentuk-Bentuk Masjid Tua di Nusantara” yang antara
lain mengungkap bangunan dan menara Masjid Kasunyatan se-
bagai masjid tua. Akan tetapi, untuk Masjid Kasunyatan, ia
hanya menyinggung menaranya. Dengan mengutip Pijper, ia
mengatakan bahwa menara masjid Kasunyatan bergaya arsitektur
Eropa, khususnya Portugis.12 Sedangkan Isman Pratama Nasution
dalam artikelnya “Nama-nama Masjid Kuno di Nusantara dan
Aspek yang Melatarbelakangi: Tinjauan Toponimi dan Arkeologis”
hanya menyebutkan bahwa Masjid Kasunyatan merupakan salah
satu masjid yang menggunakan nama Indonesia atau lokal, se-
perti halnya Masjid Agung Sang Cipta Rasa di Cirebon.13

Alam, (Ed.), Sejarah Masjid-Masjid Kuno di Indonesia yang diedit dan


diterbitkan oleh Badan Litbang Departemen Agama tahun 1998/1999. Lihat
Retno Kartini Savitaningrum Imansyah, “Islamisasi Jawa Bagian Selatan:
Studi Masjid Gala Sunan Bayat Klaten”, Jurnal Lektur Keagamaan, 11(2), h.
437. Bandingkan juga dengan tulisannya yang berjudul “Masjid Sultan
Muhammad Salahuddin Bima; Arsitektur, Misi Agama dan Kekuasaan”,
Jurnal Lektur Keagamaan, 15(2), 2017, h. 401.
10
Disbudpar Provinsi Banten, Jelajah Pesona Wisata Banten Indonesia,
(Serang: Disbudpar Provinsi Banten, 2009), h. 330.
11
A. Rohman, “Peranan Desa Kasunyatan dalam Pendidikan Islam Pada
Masa Sultan Maulana Yusuf”, Skripsi, STAIN Sultan Maulana Hasanuddin,
Serang, Banten, 2002.
12
Abd. Ghofur, “Perspektif Hisoris Arkeologis tentang Keragaman
Bentuk-Bentuk Masjid Tua di Nusantara”, Sosial Budaya: Media Komunikasi
Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, 12(1), 2015, h. 77. Lihat juga Vitra Widinanda,
“Menara-Menara Masjid Kuno di Pulau Jawa Abad ke-16-19 (Tinjauan
Arsitektural dan Ragam Hias”, Skripsi, Program Studi Arkeologi, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok, 2009, h. 44-45.
13
Isman Pratama Nasution, “Nama-nama Masjid Kuno di Nusantara dan
Aspek yang Melatarbelakangi: Tinjauan Toponimi dan Arkeologis”, dalam E-
Prosiding Seminar Nasional Toponimi: “Toponimi dalam Perspektif Ilmu

132
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

Kajian terdahulu yang secara khusus mengenai arsitektur


Masjid Kasunyatan dilakukan Alya Nadya dengan judul “Gaya
Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di Banten”. 14 Ia
menjelaskan beberapa ciri kekunoannya, antara lain atapnya
yang merupakan atap tumpang tiga dan pada puncaknya terdapat
memolo, terdapat penyangga di ruang utama yang berjumlah
empat tiang.”15
Berdasarkan beberapa kajian terdahulu, aspek sejarah Masjid
Kasunyatan belum sepenuhnya terelaborasi dan perlu verifikasi
berdasarkan sumber tertulis. Demikian juga dari segi arsitektur-
nya, beberapa tulisan di atas masih bersifat parsial sehingga perlu
diintegrasikan dalam sebuah tulisan yang relatif lebih utuh.
Benda-benda bersejarah di dalamnya dan di lingkungan sekitar-
nya hampir tidak disentuh kecuali kolam untuk mandi dan wudu
serta gapuranya. Oleh karena itu, permasalahan dalam tulisan ini
adalah bagaimana sejarah perkembangan Masjid Kasunyatan? Dan,
bagaimana arsitekturnya serta benda-benda bersejarah yang
terdapat di dalamnya?
Tujuannya adalah untuk mengetahui sejarah perkembangan
Masjid Kasunyatan, dan aspek arsitekturnya serta benda-benda
yang ada di dalamnya. Adapun manfaatnya, hasil kajian ini dapat
menambah data dan informasi tentang masjid kuno bersejarah di
Indonesia, khususnya di Banten; memberi penegasan teoretis
terutama tentang ciri-ciri masjid kuno di Jawa sebagaimana

Budaya”, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok, 3


November 2016, h. 134. Diakses 25/09/2017.
14
Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di
Banten”, dalam Prosiding Seminar Heritage IPLBI (Ikatan Peneliti
Lingkungan Binaan Indonesia), Cirebon, 21 Juni 2017, h. A311-A316. Narasi
mengenai gaya arsitektur masjid ini sebenarnya ada kesesuaiannya dengan apa
yang dijelaskan oleh G.F. Pijper dalam “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, dalam
G.F. Pijper, Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950,
Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augustdin, (Jakarta: Penerbit UI Press,
1984), h. 15, tetapi Nadya menyatakan bahwa analisisnya hanya didasarkan
pada literatur yang ada di internet. Oleh karena itu, di samping akurasinya
perlu dikritisi, juga sangat penting untuk dilengkapi dengan referensi tertulis
lainnya. Lihat pada “abstrak,” h. 311.
15
Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di
Banten”, h. A312.

133
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

dirumuskan G.F. Pijper dan tentang menaranya seperti diidenti-


fikasi oleh Isman Pratama Nasution.

Pembahasan
1. Sejarah dan Lokasi Masjid Kasunyatan
Banten adalah salah satu wilyah penting dalam sejarah per-
kembangan Islam di Nusantara, setidaknya antara abad ke-16-19
M, di Jawa Barat (khususnya bagian Barat [sekarang Provinsi
Banten]). Banten merupakan wilayah yang strategis yang terletak
di pesisir Selat Sunda dan sebagai pintu gerbang sebelah barat
pulau Jawa melalui jalur Sumatera. Posisi strategis inilah yang
menyebabkan Banten menarik perhatian Portugis yang telah me-
nguasai Malaka pada 1511 M. Akan tetapi, penguasa di Demak
dan Cirebon dapat menguasai wilayah ini sekitar tahun 1524-
1527 M, ketika Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Djati
dari Cirebon, dengan bantuan dari Demak, mengirimkan pasu-
kannya ke Banten. Setelah Banten dikuasai, Sultan Hasanuddin,
putra Sunan Gunung Jati dinobatkan sebagai penguasa Banten
hingga berdiri Kesultanan Banten, dan ia berkuasa pada 1552-
1570 M.16
Sebelum Banten menjadi kesultanan, wilayah ini termasuk
bagian dari Kerajaan Sunda, yakni Pajajaran. Agama resmi yang
dianut Kerajaan Sunda tersebut adalah Hindu. Pada awal abad
ke-16 M., penguasa di Banten adalah Prabu Pucuk Umun. Pusat
pemerintahannya pada saat itu terletak di Banten Girang atau
Banten Hulu, tepatnya di Kadipaten. Banten Lor atau Banten
sebelah utara di mana terletak Surosowan (keraton Kesultanan
Banten) masih difungsikan sebagai pelabuhan.17 Menurut berita
Joa De Barros pada 1516, salah seorang pelaut Portugis, sebagai-
mana dikemukakan Uka Tjandrasasmita, bahwa “di antara

16
Kisah mengenai pengislaman Banten dielaborasi dari berbagai naskah
kuno Sadjarah Banten oleh Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan
Banten, (Jakarta: Medatama Widya Sastra, 2015), h. 131-159. Lihat juga H.J.
De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa..., h.
147-148 dan Zainal Abidin Ahmad, Ilmu Politik Islam V: Sejarah Islam dan
Umatnya sampai Sekarang (Perkembangannya dari Zaman ke Zaman),
(Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 140.
17
H.J. De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di
Jawa..., h. 151-152.

134
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di wilayah Pajajaran, Pe-


labuhan Sunda Kelapa dan Banten merupakan pelabuhan yang
besar dan ramai dikunjungi pedagang-pedagang dalam dan luar
negri. Dari sanalah sebagian lada dan hasil negeri lainnya
diekspor. Oleh karena itu, Banten pada masa lalu adalah potret
sebuah kota metropolitan dan menjadi pusat perkembangan
pemerintahan Kesultanan Banten yang sempat mengalami masa
keemasan selama kurang lebih tiga abad”.18
Sejarah awal masuknya Islam di Banten antara lain dicerita-
kan dalam Carita Parahyangan, bahwa dahulunya Banten memi-
liki dua nama, yaitu Wahanten Girang dan Banten.19 Naskah lain
di antaranya Sadjarah Banten, milik Snouck Hurgronje, berak-
sara Pegon dengan bahasa Jawa Banten, dan dikatakan disalin
dari naskah Jawa pada 1892. Naskah ini merupakan koleksi di
Bagian Naskah Timur, UB, dengan kode naskah Lor. 7389.
Dalam naskah ini dikisahkan bahwa Maulana atau Sultan
Hasanuddin bersama dua orang jin santri pergi ke Banten. Ia
telah mendapat bekal pengajaran agama Islam dari ayahnya,
Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, Penguasa
Cirebon saat itu. Ketika Hasanuddin sampai di hutan Pulosari, ia
didatangi oleh 800 orang pendeta, atau ajar. Para ajar ini telah
kehilangan pemimpinnya yang disebut Pucuk Umum. Hasanud-
din menjelaskan bahwa ia datang ke wilayah tersebut telah mela-
kukan pemufakatan dengan Pucuk Umun, pemimpin mereka,
sehingga Pucuk Umun menghilang. Oleh karena itu, para ajar
tersebut akhirnya menjadikan Hasanuddin sebagai pemimpin
mereka dan mereka pun masuk Islam.20

18
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara. (Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia, 2009), h. 115. Lihat juga Tim Fak. Adab IAIN Jakarta,
“Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Banten”, Laporan Penelitian,
(Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, IAIN Syarif
Hidayatullah, 1985/1986), h. 14-15.
19
Taufik Abdullah, dkk., Sejarah Umat Islam Indonesia, (Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia, 1991), h. 80. Lihat juga Adeng Mukhtar Ghazali, “Peran
Sunan Gunung Djati dalam Penyebaran Islam di Jawa Barat”, Jurnal Lektur
Keagamaan, 8(1), 2010, h. 146 dan 149.
20
Titik Pudjiastuti, Menyusuri Jejak Kesultanan Banten, h. 29. Menurut-
nya, Naskah Lor. 7390 sama dengan nasakah LOr. 7389, dan bahwa naskah
tersebut dibuat untuk Snouck Hurgronje oleh Bupati Serang, Soetodiningrat

135
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

Cerita lain menyatakan bahwa Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran,


sering melihat cahaya yang menyala-nyala di langit. Untuk men-
cari keterangan tentang arti cahaya itu, ia mengutus Prabu Kian
Santang, untuk mencari berita mengenai hal ini. Kemudian
diceritakan bahwa Prabu Kian Santang sampai ke Mekah. Di
sana, ia memperoleh berita bahwa cahaya yang dimaksud adalah
nur Islam dan cahaya kenabian. Ia kemudian memeluk agama
Islam dan kembali ke Pajajaran untuk mengislamkan masyarakat.
Upaya yang dilakukan Kian Santang hanya berhasil mengislam-
kan sebagian masyarakat, sedangkan yang lainnya menyingkirkan
diri. Hal ini mengakibatkan Pajajaran berantakan. Kisah ini ditu-
turkan dalam Babad Pajajaran yang dipandang sebagai refleksi
tentang adanya pergeseran kekuasaan dari raja-raja pra-Islam
kepada penguasa baru dari Islam.21
Sejarah awal masuknya Islam ke Banten yang penuh dengan
mitos tersebut, khususnya dalam historiografi lokal, bisa jadi
karena naskah atau sumber yang banyak ditemukan berasal dari
masa kolonial Belanda; bisa jadi ditulis juga oleh penulis
kolonial, misalnya naskah Sadjarah Banten beraksara Pegon
(Arab Jawa) milik Snouck Hurgronje, yang dikatakan disalin dari
naskah Jawa pada 1892. Akan tetapi, bukti nyata adanya Masjid
Agung Banten, reruntuhan Keraton Surowowan, dan tinggalan-
tinggalan arkeologis lainnya merupakan fakta sejarah tentang
keberadaan dan perkembangan Islam di Banten. Sejarah penuh
mitos perlu juga disebutkan, bukan untuk mengungkap sejarah
Banten itu sendiri, tetapi lebih pada pengungkapan adanya
penulisan mitos-mitos tersebut dalam sejarah Banten atau dalam
historiografi lokal tentang Banten. Dalam konteks sejarah Islam

(Raden Adipati Soetadiningrat), pada 1892. Lihat tentang kisah permulaan


Islam pada masa Sultan Hasanuddin, h. 135.
21
Tim Fak. Adab IAIN Jakarta, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Banten”, h. 16-17. Lihat juga H.J. De Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud,
Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa..., h. 147-148, dan Dewi Puspitorini,
“Masjid Kasunyatan, Tanda Rasa Hormat kepada Guru”, dalam
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/2016/09/16/masjid-
kasunyatan-tanda-rasa-hormat-kepada-guru/- September 16, 2016. Diakses
22/09/2017. Lihat juga Tubagus Umar Syarif Hadiwibowo, “Perkembangan
Kesultanan Banten...”, h. 179, dan Adeng Mukhtar Ghazali, “Peran Sunan
Gunung Djati...”, h. 149.

136
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

di Nusantara sungguh sangat banyak ditemuan mitos-mitos


tersebut sehingga Kuntowijoyo memandang perlunya demitologi
sejarah dalam penulisan sejarah Islam di Indonesia dan atau
Nusantara.22
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa pada tahun 1526 M,
Maulana Hasanuddin dan Syarif Hidayatullah berhasil merebut
Banten dari Pajajaran. Pusat pemerintahan yang semula berkedu-
dukan di Banten Girang dipindahkan ke Surosowan, dekat pan-
tai. Atas petunjuk Sultan Demak, pada tahun 1526, Maulana
Hasanuddin diangkat sebagai bupati Kadipaten Banten. Pada
1552, Kadipaten Banten diubah menjadi negara bagian Demak
dengan tetap mempertahankan Maulana Hasanuddin sebagai sul-
tannya. Ketika Kesultanan Demak runtuh dan diganti Pajang
(1568), Maulana Hasanuddin memproklamasikan Banten men-
jadi negara merdeka, lepas dari pengaruh Demak.23
Sultan Maulana Hasanuddin berkuasa di Banten sekitar 18
tahun, yakni pada 1552-1570. Ia sebenaranya telah mulai meme-
gang kekuasaan di Banten sejak 1525 tetapi dinobatkannya
sebagai Sultan Kesultanan Banten pada 1552. Ia telah meletak-
kan dasar-dasar bagi kekuasaan dan kekuatan Islam di Banten.
Kekuasaannya sudah mencapai Lampung yang merupakan
penghasil lada. Untuk kebutuhan di dalam kesultanannya, ia
telah mendirikan masjid dan mengembangkan sarana pendidikan.
Sedangkan untuk kepentingan dakwah Islam, ia telah mengutus
mubalig-mubalignya ke beberapa daerah yang dikuasainya. Di
usianya yang relatif muda, Banten dapat menjadi pusat penye-
baran Islam sehingga banyak pula masyarakat dari luar wilayah

22
Munculnya mitologi dalam historiografi Islam, termasuk di Indonesia/
Nusantara, antara lain disebabkan karena sejarawan lebih berorientasi pada
teori dan metodologi Barat yang cenderung memisahkan historiografi dengan
teologi. Lihat Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpreasi untuk Aksi,
(Bandung: Mizan, 1991), h. 356.
23
Tim Fak. Adab IAIN Jakarta, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Banten”, h. 17-18, dan Hasan Mu’arif Ambary, Menemukan Peradaban
Peradaban Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2001), h. 121. Lihat juga Muhammad Fakhruddin, “Melacak
Jejak Kesultanan Banten (Bag 1)”, dalam http://www.republika.co.id/berita/dunia-
islam/khazanah/12/11/29/me8071-melacak-jejak-kesultanan-banten-bag-
1?fb_comment_id=560343767325016_117518912. Diakses 22/09/2017.

137
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

Banten berdatangan ke sana untuk belajar agama Islam. Salah


satu tempat pengajaran agama Islam di sana terdapat di Ka-
sunyatan, sekitar dua kilometer dari Masjid Agung Banten ke
arah Kota Serang.24
Berdasarkan hasil penelitian Tim Fakultas Adab IAIN (skr.
UIN) Jakarta, nama Kasunyatan disebut Husein Djajadiningrat
dalam Tinjauan Historis Sajarah Banten (terbitan: Djambatan,
Jakarta, 1983). Menurutnya, nama Kasunyatan terdapat pada nas-
kah Sadjarah Banten (SB), pupuh XXII. Dalam pupuh tersebut
dikisahkan bahwa Sultan Maulana Muhammad yang mengganti-
kan Sultan Maulana Yusuf sangat hormat dan begitu takzim
kepada guru agamanya, yakni Kiai Dukuh. Kiai Dukuh bergelar
Pangeran Kasunyatan. Sebagai wujud penghormatannya, Sultan
memberikan hadiah tanah wakaf, yang kemudian menjadi pe-
mukiman dan juga sebagai tempat belajar agama Islam bagi ma-
syarakat yang menghendakinya sehingga daerah tersebut dikenal
sebagai Kasunyatan, yang berasal dari gelar Kiai Dukuh.25
Masjid Kasunyatan berdiri sekitar 1552 sampai 1570 M, ber-
lokasi di Desa Kasunyatan, Kecamatan Kasemen, Kota Serang,
tepatnya di Jalan Raya Pelabuhan Karangantu. Masjid ini terletak
sekitar tujuh kilometer arah utara dari Kota Serang, dan dua
kilometer arah selatan Masjid Agung Banten atau Kawasan
Banten Lama.26 Tetapi, akses jalan menuju masjid ini relatif kecil
dan hanya bisa dilewati mini bus seukuran kijang; dan hampir
tidak dapat dilalui jika ada mobil berpapasan dari arah masuk
dan keluar kawasan masjid. Selain itu, tidak terdapat pula tempat
parkir, kecuali motor dan dua atau tiga minim bus.
Masjid Kasunyatan pada mulanya disebut Masjid Al-Fatihah
yang artinya “pembuka”. Penamaan masjid dengan Al-Fatihah
karena kawasan ini pada masa sebelum Islam merupakan daerah
kekuasaan Pajajaran yang beragama Hindu. Oleh karena itu,

24
Taufik Abdullah, dkk., Sejarah Umat Islam Indonesia, h. 80-81. Lihat
juga A. Rohman, “Kedudukan Peran Desa Kasunyatan...”, h. 32.
25
Tim Fak. Adab IAIN Jakarta, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Banten”, h. 21-22.
26
A. Rohman, “Kedudukan Peran Desa Kasunyatan...”, h. 28-29. Lihat
juga Vitra Widinanda, “Menara-Menara Masjid Kuno di Pulau Jawa Abad ke-
16-19...”, h. 25

138
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

ketika masjid ini didirikan diberi nama Masjid Al-Fatihah seba-


gai simbol pembuka untuk proses penyebaran dan pengajaran
Islam di Banten. Hingga saat ini, masjid ini masih difungsikan
sebagai tempat ibadah, seperti salat lima waktu dan Salat Jumat,
dan pengajian atau majelis taklim. Di sebelah barat masjid ini
terdapat Madrasah Diniyah. Disebutkan, bahwa Sultan Maulana
Hasanuddin mempunyai empat perkara yang harus disebarkan,
yaitu keislaman, keimanan, keihsanan, dan keikhlasan. Dipilih-
nya Kasunyatan untuk mendirikan masjid, antara lain karena ia
memiliki empat makna juga yang dapat membimbing masyarakat
kepada empat hal yang ingin disiarkannya. Empat makna dari
Kasunyatan tersebut adalah kesucian, kenyataan, kesunyian, dan
kesepian. 27

Gambar 1 (a dan b):


Masa kekuasaan Sultan Hasanuddin dan Sultan Maulana Yusuf
(Foto: Asep, 2017)
Versi lain menyebutkan bahwa Masjid Kasunyatan dibangun
pada masa pemerintahan Sultan Banten pertama, yaitu Sultan
Maulana Hasanuddin. Sedangkan pada masa Sultan Maulana
Yusuf, dibangun Pesantren Kasunyatan sebagai tempat penga-
jaran agama Islam.28 Masjid Kasunyatan dulunya digunakan seba-
gai tempat berkumpulnya para alim ulama dari berbagai daerah
Nusantara untuk mempelajari dan memperdalam agama Islam. Di
samping bangunan Masjid terdapat makan Ratu Asiyah dan makam

27
Muhamad Tohir, “Masjid Kasunyatan Masjid Pembuka Islam di
Banten”, dalam http://www.bantenraya.com/component/content/article/3-
serang-raya/6723--masjid-kasunyatan-masjid-pembuka-islam-di-banten.
Diunggah 09 Juli 2014. Diakses 22/09/2017. Bandingkan dengan A. Rohman,
“Kedudukan Peran Desa Kasunyatan...”, h. 28-29.
28
Tim Fak. Adab IAIN Jakarta, “Sejarah Masuk dan Berkembangnya
Islam di Banten”, h. 21-22.

139
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

keluarga Kesultanan Banten lainnya. Kawasan Masjid Kasunyatan


merupakan komplek bangunan dengan luas lebih dari 2500 m2 dan
di dalamnya terdapat masjid, makam, madrasah, bangunan MCK,
menara, tempat wudu (berupa kolam), dan gapura.29

Gambar 2:
Papan Nama dan
Deskripsi Masjid
Kasunyatan
(Foto: Asep, 2017)

2. Fungsi Masjid Kasunyatan


Mesjid Kasunyatan memiliki fungsi utama sebagai tempat
ibadah. Adapun fungi-fungsi lainnya di antaranya sebagai tempat
berkumpulnya para alim ulama dan tempat pengajaran agama
Islam. Di samping itu, terdapat pula pengajian, marhaban,
majelis talim dan tadarusan. Pada bulan Ramadan, masjid ini,
selain digunakan sebagai tempat salat tarawih berjamaah, biasa
diadakan pula taqabalan, yaitu melakukan puji-pujian kepada
Allah swt. menjelang berbuka puasa.30
Berbagai dinamikanya yang dilewatinya, meskipun telah
beberapa ratus tahun masjid ini berdiri, fungsi utama masjid ini
masih dilestarikan meskipun tidak ada lagi pertemuan ulama.
Tradisi pengajarannya hanya tinggal untuk anak-anak dalam
bentuk Madrasah Diniyah (MD). Tradisi yang lainnya masih
tepat dilakukan sampai sekarang, misalnya pengajian rutin tiga
kali dalam sepekan, terus dilestarikan oleh warga, yaitu pada hari
Selasa, Rabu, dan Kamis. Tradisi ziarah dilakukan di komplek
Makam Panembahan Maulana Yusuf yang terletak di seberang
komplek Masjid Kasunyatan.31

29
Disbudpar Prov. Banten, Jelajah Pesona Wisata Banten Indonesia, h.
330.
30
Tb Romli Mamun, Wawancara, 4 Mei 2017, di Kasunyatan, Kasemen,
Serang, Banten.
31
Tb Romli Mamun, Wawancara, 4 Mei 2017.

140
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

Gambar 3 (a, b, dan c):


Madrasah Diniyah Maulana Yusuf Kasunyatan (Foto: Asep, 2017)

Gambar 4 (a dan b):


Suasana di Kompleks Pemakaman Panembahan Maulana Yusuf, Sultan
Banten ke-2, di Desa Pekalangan Gede, Kenari, Serang, Banten
(Foto: Asep, 2017)
Selain kegiatan ibadah dan pengajian rutin, masjid ini juga
masih tetap menyelenggarakan tradsisi atau kegiatan keagamaan
yang dulu pernah ada pada masa Kesultanan, seperti Peringatan
Hari Besar Islam (PHBI), Marhabanan, Isra Mikraj, Maulid Nabi
Muhammad Saw, dan Nisfu Sakban (Rawahan). Pada masa
sekarang, Pengurus DKM Masjid menambah berbagai kegiatan
untuk menyemarakkan syiar Islam, misalnya ihtifalan anak-anak

141
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

Madrasah Diniyah, haul Maulana Yusuf, dan santunan anak


yatim yang diadakan minimal dua kali dalam setahun.32

3. Arsitektur Bangunan Masjid Agung Kasunyatan


Bentuk bangunan Masjid Kasunyatan, pada mulanya adalah
bujur sangkar. Bagian serambi kiri dan kanan merupakan bangunan
tambahan. Di sekitar komplek masjid terdapat beberapa bangun-
an lain, yaitu bangunan makam, menara, tempat wudu/kamar
mandi, madrasah, dan kolam untuk berwudu dan mandi. Berikut
denah komplek Masjid Kasunyatan:

Gambar 5:
Denah Komplek Masjid Kasunyatan oleh Asep Saefullah, 2017.

Keterangan Gambar:
Bangunan utama masjid berbentuk bujur sangkar, yang diberi tanda garis
menyilang, dengan ukuran kurang lebih 9 x 9 m. adapun bangunan lainnya
adalah sebagai berikut:
a. Mihrab g. Madrasah
b. Mimbar h. Kamar Mandi/Wudu
c. Soko Guru/Tiang Utama i. Pemakaman Utara dan Timur
d. Serambi Utara dan Selatan j. Gapura: 1. Timur-Selatan Utama
e. Menara 2. Timur-Selatan Samping
f. Kolam Mandi/Wudu 3. Timur-Utara
4. Barat-Utara

32
Tb Romli Mamun, Wawancara, 4 Mei 2017, di Kasunyatan, Kasemen,
Serang, Banten.

142
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

a. Bangunan Masjid
Masjid Kasunyatan berada di atas tanah seluas 2544 m2.
Masjid ini berdiri atas fondasi yang kokoh, yang terdiri atas tiga
bagian bangunan, yaitu dua serambi di kiri dan kanannya, serta
satu bangunan utama yang terletak di tengah-tengah di antara dua
serambi. Bangunan utama Masjid Kasunyatan berbentuk persegi
empat dengan ukuran 12 x 12 m, berorientasi barat-timur, dengan
mihrab (tempat imam) berada di sebelah barat, mengarah kiblat.
Pintu utamanya berada di sebelah selatan. Di sebelah utaranya
juga terdapat dua pintu. Atapnya berbentuk tumpang tiga terbuat
dari genteng dengan hiasan memolo pada puncaknya. Di dalam
ruang utama terdapat empat buah tiang penyangga berbentuk bulat
dengan ukuran tinggi sekitar 5,12 m, dengan diameter sekitar 45
cm. Pada bagian bawah tiang ini terdapat umpak setinggi 50 cm,
dan di bawah umpak terdapat lapik berbentuk segi delapan.
Lantainya terbuat dari ubin berwarna putih dan dilapisi dengan
karpet berwarna hijau. Pada dinding di sebelah utara dan selatan
terdapat masing-masing dua buah pintu dengan bentuk dan ukuran
yang sama, mempunyai dua daun pintu dengan lebar masing-
masing sekitar 88 cm, dan tinggi 1,89 m. Konstruksi bangunan-
nya dan unsur-unsur di dalam masjid ini hampir semuanya
terbuat dari kayu, seperti pintu, jendela, tiang penyangga, kuda-
kuda, tangga menara, dan mimbar.33
Masjid Kasunyatan juga dikenal sebagai Masjid Al-Fatihah.
Selain berarti sebagai masjid pembuka untuk pengembangan Islam,
masjid ini juga memiliki unsur serba 4. Menurut Alya Nadya,
“Masjid ini mempunyai 4 perkara, semuanya serba 4”. Ia meng-
uraikan, masjid tersebut mempunyai 4 pintu gerbang, 4 pintu
masjid, 4 tiang besar, menara berbentuk persegi 4, kolam yang
berbentuk bintang 4, serta kubah yang berbentuk 4 burung.34

33
Disbudpar Prov. Banten, Jelajah Pesona Wisata Banten Indonesia, h.
330. Lihat juga G.F. Pijper, Empat Penelitian tentang Agama Islam di
Indonesia 1930-1950, (Jakarta: UI Press, 1992), h. 24.
34
Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di
Banten “, h. 315-316.

143
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

Gambar 6:
Masjid Kasunyatan dari arah barat (Foto: Asep, 2017)

Gambar 7:
Masjid dari arah timur; terhalang oleh Bangunan makam Ibu Suri Nyi Ratu
Asiyah dan Syekh Abdul Syukur Putra (Foto: Asep, 2017)

Gambar 8:
Masjid Kasunyatan dari arah utara (Foto: Asep, 2017)

144
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

Gambar 9: Masjid Kasunyatan di Zaman Belanda


(http://bujangmasjid.blogspot.co.id/2016/12/mesjid-kasunyatan-banten.html)

b. Gapura Masjid
Komplek Masjid Kasunyatan, sebagaimana umumnya masjid
kuno di Indonesia dikelilingi oleh pagar tembok. Untuk masuk
ke dalam komplek masjid terdapat empat buah gapura, yakni satu
buah gapura di sisi selatan timur masjid sebagai gapura utama
dengan orientasi timur-barat (j1). Satu gapura lainnya di selatan
samping, sebelah timur masjid setelah masuk dari gapura utama.
Gapura ini sebagai pintu masuk ke komplek pemakaman dari
arah selatan-timur masjid (j2). Dua buah gapura lainnya terletak
di utara masjid (j3 dan j4).
Satu gapura di barat sebagai
pintu masuk dari arah barat
menuju ke pemakaman utara
sebelah serambi utara masjid
(j4), dan satu gapura di
timur sebagai pintu keluar
dari pemakaman utara mas-
jid sekaligus pintu masuk
ke pemakaman yang terle-
tak di sebelah timur masjid
(j3). Orientasi kedua gapura
utara adalah timur-barat (Li-
hat gambar denah komplek
masjid di atas).
Gambar 10:
Berikut ini deskripsi ke-
Gapura Utama sebelah timur dengan
orientasi timur-barat (Foto: Asep, 2017) empat gapura tersebut:

145
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

➢ Gapura sebelah selatan timur masjid adalah gapura utama un-


tuk masuk ke dalam kompleks masjid dari arah timur. Gapura
ini berukuran panjang + 7,10 m dan tinggi + 3,10 m. Lebar
pintu masuk sekitar 1,10 m dengan tinggi sekitar 2,35 m.
Bagian atas gapura ini berbentuk lengkungan, dan bagian
paling atasnya dibuat lengkungan dari kiri-kanannya yang
semakin meruncing ke atas. Tiang gapura kiri dan kanan dihias
dengan pola geometris di dalam kotak-kotak masing-masing
sebanyak lima buah.35
➢ Gapura selatan di sebelah timur bangunan masjid adalah pintu
masuk ke pemakaman sebelah timur masjid. Pada bagian depan
gapura ini terdapat tiga anak tangga. Lebar pintu sekitar 1,10
m, dan tingginya sekitar 1,85 m, dan bagian atasnya memben-
tuk setengah lingkaran. Bentuk gapura ini mengerucut ke atas
semakin runcing pada puncaknya. Di sebelah kiri dan kanan
bagian atas sebelum puncar tendapat hiasan pola daun. Bagian
puncaknya seperti pola daun yang diletakkan berdiri.36

Gambar 11:
Gapura Sebelah Timur
Bangunan Masjid sisi
selatan dengan orientasi
selatan-utara menuju
komplek pemakaman
(Foto: Asep, 2017)

➢ Gapura utara terdapat di sisi bagian barat dan timur. Kedua


gapura ini memiliki ukuran, pola dan motif yang hampir sama.
Ukuran keduanya, lebar sekitar 1,25 m, dan tinggi sekitar 2,10
m. Bagian atasnya membentuk lengkungan. Di lengkungan

35
Bandingkan dengan Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasu-
nyatan...”, h. 315.
36
Gapura selatan sebelah timur bangunan masjid yang menuju komplek
pemakaman timur, menurut Ustad Nawami, merupakan gapura tambahan dan
baru dibangun pada tahun 1970. Ustad Nawawi, Wawancara, 9 Mei 2017, di
Kasunyatan, Kasemen, Serang, Banten. Lihat juga Alya Nadya, “Gaya
Arsitektur Masjid Kasunyatan...”, h. 315.

146
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

tersebut terdapat pola segitiga sama sisi, dan bagian paling


atasnya berbentuk pola lengkungan-lengkungan dari sisi kiri
dan kanan yang semaking mengerucut dan runcing ke atas.
Orientasi gapura selatan ini adalah timur-barat. Gapura barat
merupakan pintu masuk ke pemakaman sebelah utara masjid
dari arah barat, sedangkan bagian timur menjadi pembatas dan
sekaligus pintu masuk ke pemakaman sebelah timur masjid. 37

Gambar 12: Gambar 13:


Gapura sebelah utara bagian Gapura sebelah Utara dalam komplek
barat dengan orientasi barat Pemakaman (Foto: Asep, 2017)
timur (Foto: Asep, 2018)

c. Mihrab
Mihrab adalah sebuah rongga tempat imam memimpin salat,
yang terletak di sisi barat, menjorok keluar dan berbentuk bilik
tanpa jendela. Mihrab dalam bahasa Jawa disebut pangimaman,
dan dalam bahasa Sunda disebut paimbaran, yaitu tempat imam
memimpin salat. Selain itu, mihrab juga berfungsi sebagai pe-
nunjuk arah kiblat.38 Mihrab Masjid Kasunyatan berukuran
relatif kecil sebagaimana umumnya masjid kuno di Indonesia,
yaitu tinggi 1,77 m, lebar 0,88 m dan panjang 1,63 m. Pada
bagian kiri dan kanan mihrab terdapat dua buah tiang semu, yaitu

37
Bandingkan dengan Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasu-
nyatan...”, h. 315.
38
G.F. Pijper, Empat Penelitian tentang Agama Islam..., h. 27-28.

147
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

pelesteran yang menonjol pada dinding masjid yang berukuran


tebal 8 cm dengan lebar 24 cm, dan tingginya sekitar 1,81 m.
Tiang semu bagian dalam bersambung dengan lengkungan atas
mihrab, dan tiang semu bagian luar bersambung dengan leng-
kungan yang menyerupai busur panah. Lengkungan busur panah
ini bermotif floral berbentuk sulur.39 Pada saat ini, seluruh
bagian dinding dan tiang semu mihrab telah berkeramik dengan
warna putih mengikuti cat dinding masjid yang berwarna putih.

Gambar 14:
Mihrab Masjid
Kasunyatan
(Foto: Asep, 2017)

d. Mimbar dan Pedang


Mimbar pada masjid biasanya digunakan sebagai tempat khatib
menyampaikan khotbah pada pelaksanaan salat Jumat. Pada masa
sekarang tempat khatib tersebut banyak yang menggunakan podium.40
Di masjid-masjid kuno di Indonesia pada umumnya terdapat mim-
bar. Letak podium pada masjid-masjid sekarang di sebelah imam di
dalam mihrab. Sedangkan tempat mimbar pada masjid-masjid kuno,
umumnya di belakang satu saf dari mimbar. Di Masjid Kasunyatan
juga terdapat mimbar dan terletak di belakang satu saf dari mihrab.
Mimbar menghadap ke arah timur, arah jamaah. Bahan utama mim-
bar ini terbuat dari kayu dan besi, ditopang oleh tiang penyangga
sebanyak empat buah. Bagian bawah mimbar terbuat dari ubin ber-
keramik putih dengan lima buah anak tangga sampai tempat kursi
mimbar yang menyerupai kursi kerajaan. Panjang mimbar sekitar

39
Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan...”, h. A313.
40
Nurman Kholis, “Mimbar dan Podium: Kajian atas Masjid Kuno di
Nanggroe Aceh”, Jurnal Lektur Keagamaan, 10(2), 2012, h. 443.

148
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

2,60, lebar 0,95 m dan tinggi dari lantai dasar masjid sekitar dua
meter. Tiang mimbar berukiran salur-salur dan bagian pinggir atap-
nya dihiasi ragam hiasan meander. Hampir seluruh bagian mimbar
dicat dengan warna emas. Sekeliling mimbar kiri-kanan dan bela-
kangnya ditutup kain putih trasparan.41 Di mimbar terdapat pedang
bercabang dua pada mata pedangnya (pedang bermata dua) yang di-
anggap pernah dipakai oleh Khalifah Ali bin Abu Talib untuk
berperang (wallahu a’lam); Bentuk mata pedang yang terbelah dua
sangat khas dan unik. Pedang tersebut kini masih digunakan untuk
khutbah pada Salat Jumat, yang pegang oleg khatib pada saat
menyampaikan khutbahnya.42

Gambar 15: Gambar 16:


Mimbar Masjid Kasunyatan dan kanan: Pedang Bercabang dua
(Foto: Asep, 2018) (Foto: Asep, 2017)

e. Kolam Masjid
Kolam Masjid Kasunyatan terletak di barat laut masjid, ber-
denah empat persegi. Bagian tengah setiap sisinya dibuat men-
jorok keluar, dan pada tempat yang menjorok keluar terdapat anak
tangga yang berjumlah masing-masing 14 buah untuk menuju
kolam. Pada bagian tengah dasar kolam berdiri kokoh dua buah
tiang yang terbuat dari bata yang dilapisi semen bercet putih,
yang berfungsi sebagai penyangga atap. Atap kolam terbuat dari

41
Lihat Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan...”, h. A313.
42
Ustadz Nawawi, Wawancara, 9 Mei 2017, di Kasunyatan, Kasemen,
Serang, Banten.

149
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

genteng dengan penyangga ruas-ruasnya terbuat dari kayu. Bentuk


atap empat persegi dengan jumlah tiang penyangganya sebanyak
18 buah termasuk dua tiang bagian tengah kolam.43 Menurut
para warga disekitar masjid, banyak yang percaya konon katanya
di kolam ini dihuni oleh sosok nenek-nenek yang memiliki
sebutan Nyi Gempor, pada zaman dahulu sebelum fakta ini
terungkap kolam ini sering digunakan untuk mandi, menyuci dan
sebagainya. Kolam pemandian itu kerap dijadikan tempat ritual
setiap Kamis malam. Biasanya, orang yang datang untuk mandi
menyiapkan bunga-bunga. “Biasanya tempat pemandian ini ramai
pada malam Jumat, di atas jam 12 malam. Air kolam tak seasin
air tanah yang ada di sekitar masjid.”44

Gambar 17 (a dan b):


Kolam yang dahulunya tempat mandi dan wudu; saat ini difungsikan hanya
sebagai tempat wudu atau mandi untuk keperluan tertentu saja
(Foto: Asep, 2017)

f. Menara
Menara terletak di sisi barat daya, dengan corak campuran
antara Eropa dan Jawa Kuno. Denah menara berbentuk bujur
sangkar dengan ukuran 3,10 x 3,10 m dan tinggi 10,82 m. Atap
menara berbentuk payung terbuka meruncing di empat sisinya
yang terbuat dari genteng. Pada puncak atau bagian paling atas
menara terdapat hiasan memolo yang berbahan terakota. Menara
ini memiliki tiga tingkat termasuk lantai dasar. Pada lantai dasar

43
Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan...”, h. A314.
44
Wawancara antara lain dengan Ustad Rosadi, pada 5 Mei 2017, dan
Ustadz Nawawi, 9 Mei 2017, di Kasunyatan, Kasemen, Serang, Banten.

150
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

atau pertama terdapat pintu yang menghubungkannya ke serambi


sebelah utara masjid. Bagian dalam ketiga lantai tersebut beru-
kuran sama, yaitu 2,60 m x 2,50 m. Tinggi lantai pertama sekitar
2,94 m. Dari lantai pertama terdapat tangga ke lantai kedua.
Lantai kedua yang berukuran 2,60 m x 2,50 m memiliki tinggi
2,90 m sampai plafon tingkat kedua. Pada dinging sebelah
selatan, barat, dan utara lantai pertama ini terdapat tiga buah
lubang semu atau ceruk menyerupai jendela pada masing-masing
sisi dinding.45
Dari lantai kedua dihubungkan lagi dengan tangga ke lantai
ketiga. Lantai ketiga yang juga berukuran 2,60 m x 2,50 m me-
miliki tinggi 2,80 m sampai plafon paling atas. Di lantai ketiga
ini juga terdapat ceruk menyerupai jendela atau jendela semu
satu buah pada masing-masing sisi uatara, barat, dan selatan
dinding menara. Pada bagian atas jendela semu terdapat lubang
angin yang berhiasan geometris.46
Muhamad Tohir, dalam “Masjid Kasunyatan Masjid Pem-
buka Islam di Banten”, menceritakan dari Ardabili, bahwa angka
empat merupakan simbol yang ingin diajarkan oleh Sultan
Hasanuddin kepada penduduk di Banten. Empat hal tersebut
adalah keislaman, keimanan, keikhsanan, dan keikhlasan. “Aji
papat kelima pancer, yang dikaji kita empat perkara, sementara
pancernya (akar-red) tetap ke Allah. Dari keempat yang di-
ajarkan itu yang tersulit dicapai adalah keikhlasan. Karena tidak
banyak yang bisa berbuat ikhlas, maka pembangunan menara
segi empat Masjid Kasunyatan hanya dibuat tiga tingkat, meski
awalnya akan dibangun empat tingkat.”47 Menurut Pijper,
menara Masjid Kasunyatan mendapat pengaruh dari Portugis,

45
Isman Pratama Nasution, “Menara Masjid Kuno Indonesia: Suatu
Survei dan Studi Kepustakaan”, dalam WACANA, 6(1), 2004, h. 33.
Bandingkan dengan Vitra Widinanda, “Menara-Menara Masjid Kuno di Pulau
Jawa Abad ke-16-19...”, h. 44-45, dan lihat juga Alya Nadya, “Gaya
Arsitektur Masjid Kasunyatan...”, h. A313.
46
Isman Pratama Nasution, “Menara Masjid Kuno Indonesia...”, h. 33,
dan Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan...”, h. A313.
47
Muhamad Tohir, “Masjid Kasunyatan Masjid Pembuka Islam di
Banten”. Penjelasan mengenai “Menara Masjid di Jawa”, lihat G.F. Pijper,
Empat Penelitian tentang Agama Islam..., h. 23-36.

151
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

karena, menurutnya, umumnya masjid kuno di Jawa tidak


memiliki menara.48
Menara Masjid Kasunyatan dulunya berfungsi sebagai tempat
muazin mengumandangkan azan. Saat ini tidak difungsikan lagi
kecuali pada hari Jumat ketika akan Salat Jumat, karena azannya
telah menggunakan pengeras suara. Alya Nadia mengatakan,
“Dahulu menara tersebut difungsikan sebagai tempat untuk
mengumandangkan azan, seperti layaknya fungsi menara Masjid
Agung Banten. Sekarang menara tidak lagi difungsikan sebagai
tempat untuk mengumandangkan azan, kecuali ketika akan
melaksanakan salat Jumat, menara difungsikan seperti terdahulu,
yaitu sebagai tempat mengumandangkan azan.”49

Gambar 18:
Menara Masjid Kasunyatan di
sebelah barat Bangunan Masjid
(Foto: Asep, 2017)

g. Kompleks Pemakaman
Di dalam kompleks Masjid Kasunyatan terdapat dua lokasi
pemakaman, yaitu di sebelah utara dan timur masjid. Pemakam
utara berbentuk empat persegi dengan ukuran sekitar 14,20 x
10,40 m. Di pemakaman ini, penanda makam hanya berupa nisan
yang langsung ditanam pada tanah. Tidak ada jirat makam dan
tidak ada pula bangunan lainnya. Pemakaman sebelah timur juga
berbentuk empat persegi dengan ukuran 42 x 2,50 m. Di pema-
kaman timur ini terdapat dua bangunan makam atau cungkup

48
G.F. Pijper, Empat Penelitian tentang Agama Islam ..., h. 31.
49
Alya Nadya, “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan...”, A314.

152
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

tertutup; satu bangunan tepat di sebelah timut bangunan masjid


dan menghadap ke timur, dengan satu pintu di sebelah kiri, dan
dua jendela berjajar ke arah kanan (ke utara). Dalam bangunan
ini antara lain terdapat makam Ibu Suri Nyi Ratu Asiyah dan
Syekh Abdul Syukur Putra.
Bangunan di sebelah utara menghadap ke arah selatan
dengan satu pintu di bagian tengan, dan di kiri dan kanannya
(barat dan timur pintu) terdapat masing-masing satu jendela. Di
dalam bangunan ini antara lain terdapat makam Syekh Abdul
Syukur Sepuh. Disebutkan bahwa Syekh Abdul Syukur adalah
salah seorang tokoh masyarakat dan ahli agama serta menjadi
guru Syekh Maulana Yusuf, Sultan Banten kedua. Selain dua
bangunan dan makam-makam tersebut, di komplek pemakaman
ini banyak tokoh dan ulaman yang dimakamkan, misalnya di
bagian utara, selain makam Syekh Abdul Syukur Sepuh, terdapat
makam Syekh Ahmad Almadani, Tb Urip, Syekh Habul,
Pangeran Arya Kasunyatan, Tb Sulaiman, Syekh Hasan Khan,
Buyut Cempa, Patih Jaya Kusuma, dan Tb Zulkarnain. Sedang-
kan di bagian selatan, selian makam Nyi Ratu Asiyah dan Syekh
Abdul Syukur Putra, juga terdapat makam Nyi Karimah, Nyi
Ratu Ayu Sari Banon, Tb Muhidin, Ki Rajil, Ki Ijel, dan Ki
Bujel. Komplek pemakaman ini secara keseluruhan dinamakan
sebagai Komplek Penembangan Sulaiman.50

Gambar 19 (a dan b):


Bangunan Makam Ibu Suri Nyi Ratu Asiyah dan Syekh Abdul Syukur Putra
sebelah timur bangunan Masjid Kasunyatan (Foto: Asep, 2017).

50
Ustad Rosadi, Wawancara, 5 Mei 2017, di Kasunyatan, Kasemen,
Serang, Banten. Ustadz Nawawi, Wawancara, pada 9 Mei 2017 juga
menyampaikan hal yang sama.

153
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

Gambar 20 (a dan b):


Bangunan Makam Syekh Abdul Syukur Sepuh dan makam-makam lain di
sebelah timur-utara komplek pemakaman (Foto: Asep, 2017)
.

Gambar 21:
Komplek Pemakaman
Panembahan Sulaiman di
sebelah timur Masjid
Kasunyatan
(Foto: Asep, 2017).

Penutup
Masjid Kasunyatan atau Masjid Agung Kasunyatan merupa-
kan salah satu bukti perkembangan Islam, khususnya di Banten
dan umumnya di Nusantara. Keberadaannya yang tidak sepo-
pular Masjid Agung Banten di Banten Lama, tetapi peranannya
dalam sejarah tidak dapat dinafikan. Pusat kegiatan keagamaan
dan keilmuan selain di sekitar Keraton Surowona dan Banten
Lama, Masjid Kasunyatan juga dipilih sebagai tempat pengem-
bangan Islam. Sultan yang berjasa membangun Masjid ini adalah
Sultan Maulana Yusuf, sultan kedua dari Kesultanan Banten,
yang berkuasa antara 1570-1780 M. Namun demikian, di sebe-
rang Masjid ini terdapat Makan Sultan (Syekh) Maulana Yusuf
yang ramai diziarahi masyarakat, bukan hanya dari banten tetapi
juga dari berbagai daerah, baik dalam maupun luar negeri,
seperti Malaysia dan Singapura.

154
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

Masjid Kasunyatan diperkirakan dibangun antara 1552-1570


M. Masjid ini semua disebut Masjid Al-Fatihah yang mempunyai
arti “pembuka”. Dinamakan demikian karena dengan dibangun-
nya masjid ini telah membuka pintu bagi perkembangan Islam di
kawasan tersebut yang dulunya merupakan daerah kekuasaan
Pajajaran yang beragama Hindu. Masjid Kasunyatan memperli-
hatkan ciri-ciri kekunoannya antara lain bentuknya yang segi
empat, fondasi padat atau massif, dinding tebal, mihrab pendek,
dan mimbar. Selain itu, di sekeliling komplek masjid ini juga
terdapat pagar dinding yang juga telab dan massif yang meru-
pakan salah satu ciri kekunoan. Meskipun telah mengalami per-
baikan, tetapi sturktur aslinya tetap terlihat dan keasliannya
dipertahankan. Di samping itu, di sisi sebelah barat daya terdapat
menara yang juga massif, yang juga salah satu ciri bangunan
menara kuna.
Di sebelah barat Masjid terdapat Madrasah Diniyah untuk
anak-anak usia dasar. Selain pendidikan formal, juga terdapat
pengajian bulanan dan pekanan, serta peringatan hari-hari besar
keagamaan, seperti Maulid Nabi Muhammad Saw., Isra Mikraj,
Santunan Anak Yatim, dan juga acara haul Syekh Maulana
Yusuf. Selain itu, sebagaimana fungsinya dulu sebagai tempat
Salat Jumat, sampai saat ini pun Mesjid ini tetap juga difungsi-
kan sebagai tempat Salat Jumat.
Mengingat masih berfungsinya Masjid Kasunyatan dan juga
sebagai Benda dan Kawasan Cagar Budaya, kepada pihak yang
berwenang, khususnya Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten
dan Pemerintah Daerah Kota Serang dan Provinsi Banten, di-
harapkan dapat memelihara, melestarikan, dan memanfaatkan
tinggalan sejarah yang sangat berharga ini. Bentuk pemeliharaan
dapat berupa pembersihan dan perbaikan beberapa bagian yang
mulai rusak, terutama madrasah dan kolam. Pelestariannya dapat
dilakukan dengan meperkenalkan kepada generasi sekarang,
khususnya melalui lembaga pendidikan tentang pentingnya
Masjid Kasunyatan dalam konteks sejarah perkembangan Islam
di Banten khususnya.
Selain itu, dukungan, baik moril maupun materil atas kegi-
atan-kegiatan kemasjidan, baik kegiatan rutin maupun PHBI
perlu dilakukan. Adapun pemanfaatannya, yang tampaknya lebih
terpusat pada Komplek Pemakaman Panembahan Maulana Yusuf,

155
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

ada baiknya dalam acara-acara ziarah religi yang dilaksanakan


oleh masyarakat diarahkan juga untuk mengunjungi Masjid
Kasunyatan tersebut. Oleh karena itu, akses jalan menuju ke
masjid ini perlu diperlebar dan diperbaiki. []

Ucapan Terima Kasih:


Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Bantenologi
IAIN (Skr. UIN) Sultan Maulana Hasanuddin, Serang, Banten, Dr. Helmy
Fauzi Bahrul Ulumi dan Dr. Ayatullah Khumaeni beserta Tim, yang telah
menyuplai data dan referensi, serta mendampingi penelusuran data dan
informasi serta informannya di Kasunyatan, Kasemen, Serang, Banten. Juga
kepada DKM Masjid Kasunyatan, Tb Romli Mamun, Ustad Rosadi, dan
Ustad Nawawi. Terima kasih juga kepada pihak Kementerian Agama Kota
Serang, khususnya Bapak Drs. H. Hudari, M.Si., Kepala Seksi Bimas Islam,
atas informasi awal tentang Masjid Bersejarah di Kota Serang, yang sangat
bermanfaat untuk penelusuran lebih lanjut. Khususan juga kepada pimpinan
Puslitbang Lektur saat itu, Drs. H. Choirul Fuad Yusuf, M.Phil., Kepala
Puslitbang Lektur; Dr. Acep Aripudin, Kepala Bidang Litbang Khazanah
Keagamaan, dan Ketua Tim Penelitian Rumah Ibadah Bersejarah, Novita
Siswayanti, M.A., yang telah memberi kepercayaan kepada penulis untuk
melakukan penelitian ini. Jazākumullāh lahum aḥsanal-jazā’... wal-‘afwu
minkum

Daftar Pustaka
Abd. Ghofur. 2015. menulis “Perspektif Hisoris Arkeologis tentang
Keragaman Bentuk-Bentuk Masjid Tua di Nusantara”. Sosial Budaya:
Media Komunikasi Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya, 12(1): 68-79.
Abdullah, Taufik, dkk. 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: Majelis
Ulama Indonesia
Abdurrahman, M. Kasim. 2014. “Arsitektur Masjid Jami’Sulthan Ayyub
Sanggau”. Jurnal Lektur Keagamaan, 12(1): 235-256.
Ahmad, Zainal Abidin. 1979. Ilmu Politik Islam V: Sejarah Islam dan
Umatnya sampai Sekarang (Perkembangannya dari Zaman ke Zaman).
Jakarta: Bulan Bintang.
Ambary, Hasan Mu’arif. 2001. Menemukan Peradaban Peradaban Jejak
Arkeologis dan Historis Islam Indonesia. Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
De Graaf, H.J. dan Pigeaud, Th. G. Th. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di
Jawa, Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers.
Disbudpar Prov. Banten. 2009. Jelajah Pesona Wisata Banten Indonesia,
Serang: Disbudpar Prov. Banten.

156
Masjid Kasunyatan Banten: Tinjauan Sejarah dan Arsitektur —
Asep Saefullah

Fahrudin, Ali. 2013. “Pusat Kajian Islam Melayu: Studi Peran Masjid Sultan
Riau Masa Lalu”, Jurnal Lektur Keagamaan, 11(2): 405-428.
Ghazali, Adeng Mukhtar. 2010. “Peran Sunan Gunung Djati dalam
Penyebaran Islam di Jawa Barat”, Jurnal Lektur Keagamaan, 8(1): 135-
158.
Hadiwibowo, Tubagus Umar Syarif. 2013. “Perkembangan Kesultanan
Banten Pada Masa Pemerintahan Sultan Maulana Yusuf (1570-1580)”.
Skripsi. Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Sejarah,
Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta.
Imansyah, Retno Kartini S. 2013. “Islamisasi Jawa Bagian Selatan: Studi
Masjid Gala Sunan Bayat Klaten”. Jurnal Lektur Keagamaan, 11(2):
429-454.
---------. 2017. “Masjid Sultan Muhammad Salahuddin Bima; Arsitektur, Misi
Agama dan Kekuasaan”. Jurnal Lektur Keagamaan, 15(2): 390-419.
Kholis, Nurman. 2012. “Mimbar dan Podium: Kajian atas Masjid Kuno di
Nanggroe Aceh”. Jurnal Lektur Keagamaan, 10(2): 435-450.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam, Interpreasi untuk Aksi, Bandung:
Mizan.
Nadya, Alya. 2017. “Gaya Arsitektur Masjid Kasunyatan, Masjid Tertua di
Banten” dalam Prosiding Seminar Heritage IPLBI (Ikatan Peneliti
Lingkungan Binaan Indonesia), Cirebon, 21 Juni, h. A311-A316.
Nasution, Isman Pratama. 2004. “Menara Masjid Kuno Indonesia: Suatu
Survei dan Studi Kepustakaan”. WACANA, 6 (1): 27-40.
---------. 2016. “Nama-nama Masjid Kuno di Nusantara dan Aspek yang
Melatarbelakangi: Tinjauan Toponimi dan Arkeologis” dalam E-
Prosiding Seminar Nasional Toponimi: “Toponimi dalam Perspektif Ilmu
Budaya”. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Depok, 3 November 2016, h. 122-139. Dikases 25/09/2017.
Pijper, G.F. 1984. “Mesjid-Mesjid di Pulau Jawa”, dalam Pijper, G.F.,
Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia 1900-1950.
Terjemahan Tudjimah dan Yessy Augustdin. Jakarta: Penerbit UI Press,
h. 14-66.
---------. 1992. Empat Penelitian tentang Agama Islam di Indonesia 1930-
1950. Jakarta: UI Press.
Pudjiastuti, Titik. 2015. Menyusuri Jejak Kesultanan Banten. Jakarta:
Medatama Widya Sastra.
Rohman, A. 2002. “Peranan Desa Kasunyatan dalam Pendidikan Islam Pada
Masa Sultan Maulana Yusuf”. Skripsi. STAIN Sultan Maulana
Hasanuddin. Serang, Banten.

157
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 16, No. 1, 2018: 127 - 158

Saefullah, Asep. 2013. “Masjid Ampel di Amlapura Karangasem: Salah Satu


Bukti Keberadaan Islam di Pulau Dewata”. Jurnal Lektur Keagamaan,
11(2): 339-370.
Tim Fak. Adab IAIN Jakarta. 1985/1986. “Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Banten”. Laporan Penelitian. Jakarta: Proyek
Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam, IAIN Syarif Hidayatullah.
Tjandrasasmita, Uka. 2009. Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Widinanda, Vitra. 2009. “Menara-Menara Masjid Kuno di Pulau Jawa Abad
ke-16-19 (Tinjauan Arsitektural dan Ragam Hias”. Skripsi, Program Studi
Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Depok.

Informan/Narasumber
Hudari, Kepala Seksi Bimas Islam Kankemenag Kota Serang, Wawancara, 27
April 2017, di Serang Banten.
Tb Romli Mamun, Wawancara, 4 Mei 2017, di Kasunyatan, Kasemen,
Serang, Banten.
Rosadi, Wawancara, 5 Mei 2017, di Kasunyatan, Kasemen, Serang, Banten.
Nawawi, Wawancara, 9 Mei 2017, di Kasunyatan, Kasemen, Serang, Banten.

Website
Fakhruddin, Muhammad, “Melacak Jejak Kesultanan Banten (Bag 1)”,
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/-
12/11/29/me8071-melacak-jejak-kesultanan-banten-bag-
1?fb_comment_id=560343767325016_117518912. Diakses
22/09/2017.
Puspitorini, Dewi, “Masjid Kasunyatan, Tanda Rasa Hormat kepada Guru”,
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbanten/2016/09/16/masjid-
kasunyatan-tanda-rasa-hormat-kepada-guru/-, upload September 16,
2016. Diakses 22/09/2017.
Tohir, Muhamad. “Masjid Kasunyatan Masjid Pembuka Islam di Banten”,
http://www.bantenraya.com/component/content/article/3-serang-
raya/6723--masjid-kasunyatan-masjid-pembuka-islam-di-banten.
Diunggah 09 Juli 2014. Diakses 22/09/2017.

158

You might also like