Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 27

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


DENGAN KASUS MALFORMASI ANOREKTAL (MAR)
DI RUANG RINJANI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG

Disusun Oleh:
DEVI KUSPITA SARI
NIM. 14901.10.23074

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHTAN
UNIVERSITAS HAFSHAWATY ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2023
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA
AN “M” DENGAN KASUS MALFORMASI ANOREKTAL (MAR)
DI RUANG RINJANI RSUD Dr. SAIFUL ANWAR
MALANG

Nama : Devi Kuspita Sari

NIM : 14901.10.23074

Program Studi : Profesi Ners

Laporan pendahuluan disetujui dan disahkan pada :

Hari :

Tanggal :

Mahasiswa

Devi Kuspita Sari

Pembimbing Praktik/CI Pembimbing


Akademik

Mengetahui,
Kepala Ruangan
I. ANATOMI
Gambar 1.1 Pencernaan

Saluran pencernaan makanan menerima makanan dari luar dan


mempersiapkan bahan maknan untu diserap oleh tubuh dengan jalan
proses pencernaan (mengunyahan, menelan, dan penyerapan)
dengan bantuan zat cair yang terdapat mulai dari mulut sampai
keanus. Setiap sel dalam tubuh memerlukan suplai makanan yang
terus menerus untuk bertahan hidup.Makanan yang terus menerus
untuk bertahan hidup.Makanan tersebut memberikan energy,
menambah jaringan baru, mengganti jaringan yang rusak, dan untuk
pertumbuhan. Syaifuddin,
(2013).
Menurut Evely (2012), selama dalam proses pencernaan,
makanan dihancurkan menjadi zat-zat sederhana yang dapat diserap
dan digunakan sel jaringan tubuh. Berbagai perubahan sifat makanan
terjadi karena kerja berbagai cairan pencernaan.Setiap jenis zat ini
mempunyai tugas khusus menyaring dan berkerja atas satu jenis
makanan dan tidak mempunyai pengaruh terhadap jenis lainya.
Sistem pencernaan berfungsi untuk mengolah bahan makanan yang
siap diserap tubuh.Proses pencernaan terjadi pada karbohidrat,
protein, dan lemak, sedangkan vitamin, mineral, serta air langsung
diserap dan digunakan oleh tubuh, Wijaya (2012).
1. Proses pencernaan dibagi menjadi dua yaitu:
a. Pencernaan mekanis Pencernaan mekanis yaitu proses
pengubahan molekul kompleks menjadi molekul sederhana
secara mekanis, misalnya penghancuran makan dengan gigi
atau oleh otot lambung.
b. Pencernaan kimiawi Pencernaan kimiawi adalah proses
pengubahan senyawa organic yang ada dalam bahan makan
dari bentuk yang kompleks menjadi molekul yang lebih
sederhana dengan bantuan enzim, Anonim (2013).
2. Alat-alat dalam system pencernaan Adapun alat-alat dari system
pencernaan yaitu terdiri dari :
a. Rongga mulut Rongga mulut dibagian depan dibatasi oleh
bibir, dibagian belakang oleh dinding faring posterior, dibagian
lateral selaput lender bukalis dan tonsil, dibagian lateral
selaput lender bukalis dan tonsil, dibagain atas palatum durum
dan palatum molle dan dibagian bawah oleh dasar mulut.
Didalam rongga mulut terdapat gigi, lidah dan kelenjar
pencernaan yaitu berupa kelenjae ludah. Gigi dan lidah
berguna untuk memecahkan makanan secara
mekanik.Kelenjr ludah menghasilkan enzim ptyalin yang
mencerna hidrat arang. Rongga mulut (mouth cavity)
mempunyai panjang 15- 20 cm dengan diameter 10 cm Di
dalam mulut sudah mulai terjadi proses penyerapan dengan
meekansime difusi pasif (transport pasif) dan transport
konvelisif) (pori). Dalam mulut terdapat enzim ptylin, maltase,
dan musin. Sekresi air ludah 500-1500 ml per hari pH 6,4.
b. Faring Daerah faring merupakan persimpangan dari rongga
mulut ketenggorokan dan dari rongga hidung ke tenggorokan.
Pada saat menelan makanan, maka lubang ke saluran nafas
ditutup oleh anak tekak sehingga makanan akan mendorong
ke tenggorokan
c. Esofagus merupakan organ silindris berongga dengan panjang
sekitar 2 cm dan diameter 2 cm. Esofagus terletak
posteriorterhadap jantung dan trakea, anterior terhadap
vertebrata, setinggi c6 menembus diafragma sampai torakal
11. Saluran pencernaan sesudah mulut adalah kerongkongan
(esophagus).Esofagus adalah saluran yang terdapat
dibelakang rongga mulut yang menghubungkan rongga mulut
dengan lambung.Dinding kerongkongan dibentuk oleh otot-
otot melingkar yang bergerak tanpa kita sadari.Gerakanya
disebut peristaltic, yaitu gerakan otot melingkar yang
mengkerutkerut, seperti meremas-remas sehingga makanan
dapat masuk kedalam lambung. Esofagus mempunyai Ph
cairanya 5-6, tidak terdapat enzim maupun absorbs. Getah
lambung dihasilkan oleh kelenjar yang terdapat pada dinding
lambung, dimana dinding lambung menghasilkan asam
lambung berupa asam klorida, pepsinogen, rennin lipase
lambung, dan mucin.
d. Lambung besar merupakan organ yang terletak didalam
rongga perut yaitu terletak disebelah kiri atas, dibawah sekat
rongga dada (Diafragma). Lambung merupakan sebuah
kantong muskuler yang letaknya antra esophagus dan usus
halus, sebelah kiri abdomen dan dibagian depan pancreas
dan limpa yang dibentuk oleh otot polos yang tersususn
secara memanjang. Lambung merupakan saluran yang dapat
menggembang karena adanya gerakan peristaltic, terutama
didaerah epigastar.Variasi dari bentuk lambung sesuai jumlah
makanan yang masuk, adanya gelombang peristaltic,
terutama didaerah epigaster. Variasi dari bentuk lambung
sesuai dengan jumlah makanan yang masuk, adanya
gelombang peristaltic tekanan organ lain dan postur tubuh.
Lambung disebut juga gaster yang panjangnya 20 cm dengan
diameter 15 cm dan PHnya 1-3,5. Cairan lambung yang
disekresi sekitar 2000-3000 ml/hari. Kapasitas lambung kira-
kira 1,2 liter dn bila kosong 100 liter.
e. Usus halus merupakan bagian dari system pencerbaan
makanan yang berpangkal [ada pylorus dan berakhir pada
sekum, panjangnya sekitar 6 meter dan merupakan saluran
pencernaan yang paling panjang.Uus halus merupakan
kelanjutan dari saluran pencernaan setelah lambung.Bentuk
dan susunanya berupa pipa kecil yang berkelokkelok didalam
rongga perut diantara usus besar dan dibawah
lambung.Makanan dapat masuk karena adanya gerakan yang
memberikan permukaan yang lebih luas. Banyaknya otot-otot
pad tempat absorbs memperluas permukanya. Usus halus
terdiri dari usus dua belas jari (duodenum) panjangnya sekitar
25 cm dengan diameter 5 cm dan Phnya 6,5-7,6, usus kosong
(jejunum) panjangnya 300 cm diameter 5 cm de3ngan PH 6,3-
7,3. Uuss halus sebagai system pencernaan secara
enzymatic menhasilkan enzim-enzim yang diantranya erepsin,
maltase, sukrosa, dan lactase.
f. Usus besar merupakan saluran pencernaan berupa luas atau
berdiameter besar dengan panjang 1,5- 1,7 meter dan
panjang 5-6 cm. Usus besar merupakan lanjutan dari usus
halus yang tersusun seperti huruf U terbalik dan mengelilingi
usus halus dari valvula ileoskalis smapai keanus. Usus besar
terdiri dari 3 bagian yaitu cecenum, colon, dan
rectum.Lapiasan-lapisan usus besar terbagi atas beberapa
kolon yaitu asendens, tranversum, desendens, dan sigmoid.
g. Rektum teletak dibawah kolon sigmoid yang menghubungkan
intestinum mayor dengan anus, terletak dalam rongga pullvis
didepan os Skrum dan os koksigis. Rektum panjangnya 15-19
cm, dimeter 2,5 cm dengan PH 7,5-8,0.
h. Anus adalah bagian dari saluran pencernaan yang
menghubungkan rectum dengan bagian luar atau sebagai
tempatnya keluarnya feses, Anonim (2013).
II. DEFINISI

Gambar 2.1 Atresia Ani


Atresia ani ialah salah satu penyakit kelainan kongenital dari
ibu/ayah pada sang anak. Atresia ani (Malformasi Anorektal) merupakan
suatu keadaan anal yang tumbuh dengan kelainan tidak memiliki lubang.
Istilah kedokteran menyebutkan bahwa malformasi anorektal ialah
kelainan tidak terbentuknya lubang/terdapat lubang namun lokasinya
abnormal, dan anus yang tidak memiliki lubang dikarenakan
mengalami gangguan pada proses pembentukan (Putra dan Rizema,
2018)
Atresia ani, saat ini disebut sebagai malformasi anorektal,
ialahkelainan bawaan yang bermanifestasi dengan tidak adanya
atauketidaksempurnaan anus. Atresia ani keadaan kelainan kongenital
yang sering dijumpai pada kasus bedah anak. Dalam setengah abad
yang lalu, perawatan bedah deformitas anal telah berkembang, dari
sayatan sederhana menjadi anorektoplasti sagittal posterior (PSARP)
yang lebih umum saat ini (Irine Lokananta, 2016)
Atresia ialah cacat yang terjadi dalam perkembangan janin.
Penyebab penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Pada atresia ani
jaringan penutupan anus hanya beberapa sentimeter lebih tebal atau
hanya setipis membran kulit (Mendri & Prayogo, 2018)

III. ETIOLOGI
Penyebab atresia ani bisa dikatakan multifaktorial, bisa berasal
dari peran genetik dan peran lingkungan, namun sampai saat ini masih
belum secara jelas faktor-faktor apa yang benar-benar terbukti
menyebabkan penyakit Atresia Ani.
Salsabila, (2021) Menyebutkan bahwa malformasi anorektal
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu adanya ketidakmampuan dalam
membentuk invaginasi kloaka dengan sempurna karena mengalami
gangguan proses pertumbuhan, penggabungan, atau masalah pada
pembentukan anus dari tonjolan embrionik, kegagalan proses
perkembangan dan pertumbuhan anak saat di dalam kandungan
berumur 3 bulan, terputusnya saluran pencernaan bagian atas dengan
anal sehingga menyebabkan anak lahir tanpa mempunyai lubang anus,
aspek genetik, ada gangguan pada proses invaginasi kloaka menjadi
sistem saluran pencernaan dan sistem genitourinari akibat gangguan
perkembangan pemisahan saluran urogenital pada usia bayi didalam
kandungan minggu ke 5 sampai minggu ke 7.
Selain dari faktor kelainan bawaan orang tua pada anal ada
juga faktor akibat dari ibu yang kekurangan asam folat, berdasarkan
penelitian yang dilakukan beberapa peneliti di china mengambil data
pada wanita yang sedang mengandung dan sudah pernah
melahirkan, dimana para wanita hamil dan yang sudah melahirkan ini di
berikan supplement dengan kandungan asam folat dan dari
penelitian tersebut hasilnya cukup memuaskan yaitu resiko terkena
atresia ani pada anak berkurang (Irine Lokananta, 2016)

IV. MANIFESTASI KLINIS


Tanda dan gejala klinis pada penderita atresia ani menurut
Nurarif & Kusuma (2019) yaitu:
1) Tidak keluarnya mekonium pada 24 jam pertama setelah
kelahiran.
2) Bayi tidak dapat dilakukan pengecekan suhu melalui rektal.
3) Pada umumnya mekonium keluar melalui sebuah fistula atau
anus yang salah letaknya.
4) Adanya distensi abdomen secara bertahap dan tanda-tanda
obstruksi usus (bila tidak terdapat fistula).
5) Pada umur 24-48 jam bayi mengalami muntah-muntah. 6)
Ditemukannya membrane anal pada pemeriksaan rectal touch 7)
Distensi abdomen.
V. KLASIFIKASI

Gambar 2.2 Klasifikasi Atresia Ani


Nurarif and Kusuma (2019) menyebutkan bahwa klasifikasi
Atresia Ani dapat dibagi menjadi beberapa kelompok anatomi antara lain:
1) Atresia Ani anomaly letak rendah atau infralevator, keadaan
dimana rektum turun sampai ke otot pubrorektalis dan
menembus muskulus levator ani. Sfingter eksternal dan internal
berkembang secara sempurna dengan fungsi analyang baik
serta tidak terhubung dengan saluran genitourinarius. Jarak
rektum dan kulit paling jauh ialah 2 cm.
2) Atresia Ani anomaly intermediet, dimana ujung rektum berada
pada otot dasar panggul utama tetapi tidak dapat
menembusnya. Rektum turun melewati otot pubrorektalis atau
tepat pada otot pubrorektalis, lesung anal dan sfingter ani
eksternal dalam posisi normal.
3) Atresia Ani anomaly letak tinggi atau supralevator dimana
bagian ujung rektum berada diatas otot pubrorektalis dan
otot sfingter anal internal tidak ada. Kelainan ini biasanya
terhubung dengan saluran genitourinarius rektouretral pada laki-
laki atau rektovagina pada wanita. Dimana pada anomali letak
tinggi antara jarak ujung rektum ke perineum lebih dari 1 cm
jaraknya.
VI. PATOFISIOLOGI
Penyebab terjadinya malformasi anorektal karena terdapat
kegagalan penurunan pada septum anorektal selama periode embrionik,
penyebabnya merupakan terdapat gangguan/kendala pada proses
pertumbuhan, fusi atau pembentukan anal dari tonjolan embrio, sehingga
anus serta rektum tumbuh dari bagian belakang embrio. Pada
pertumbuhan dan perkembangan berikutnya, ujung belakang ekor
tumbuh dan berkembang menjadi kloaka, lalu juga berkembang menjadi
struktur urogenital serta anorektal.
Atresia ani sendiri terjadi karena struktur usus besar tidak
sepenuhnya bermigrasi dan berkembang antara 7 sampai 10 minggu
perkembangan fekal. Kegagalan migrasi juga disebabkan oleh kegagalan
agenesis sakral dan kelainan uretra dan vagina. Usus besar yang
mengarah ke anal tidak memiliki lubang, dan tinja tidak dapat
dikeluarkan, yang menyebabkan obstruksi usus.
Obstruksi usus ini dapat menyebabkan kembung, retensi cairan,
muntah, dan konsekuensi lainnya. Jika urin mengalir ke rektum melalui
fistula, urin akan diserap kembali sehingga menyebabkan kadar asam
dalam tubuh meningkat, lalu jika tinja mengalir ke saluran kemih
akan terjadi infeksi yang berulang (Nurarif dan Kusuma, 2019).
VII. PATHWAY
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Ngastiyah (2018) menyatakan bahwa untuk memperkuat
penegakkan diagnosis atresia ani sangat diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
3) Pemeriksaan fisik rektum: dapat dilakukan colok dubur dengan
menggunakan selang atau jari untuk memastikan kepatenan
rectal.
4) Pemeriksaan radiologis untuk mengetahui apakah ada obstruksi
intestinal atau tidak.
5) X-Ray terhadap abdomen: untuk melihat keseluruhan kondisi
bowel dan mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari
sfringternya.
6) Pemeriksaan laboratorium yaitu pemeriksaan Leukosit (L),
Hematokrit (Ht), Hemoglobin (Hb) dan Elektrolit
7) Pemeriksaan foto polos abdomen, berfungsi untuk menunjukkan
jarak antara gelembung gas dalam usus terminal dengan
perineum. Invertogram dalam posisi lateral dengan pinggul
sedikit difleksikan dapa memberikan informasi yang akurat
mengenai adanya anomali.

IX. PENATALAKSANAAN
Menurut Ngastiyah (2018) penatalaksanaan pada anak dengan
kasus Atresia Ani terdapat tiga tahap operasi dimana setiap operasi ini
harus dilakukan, sehingga membutuhkan perhatian dalam asuhan
keperawatan periopetatif secara kompeherensif. Tahapan operasi kasus
ini meliputi:
1) Prosedur yang pertama penatalaksanaan tindakan yang
pertama yaitu pembuatan kolostomi: kolostomi ialah pembuatan
sebuah lubang oleh dokter ahli bedah anak pada bagian
dinding abdomen yang ditujukan untuk pengeluaran feses.
2) Tindakan yang kedua yaitu Posterior Sagital Anorectal Plasty
(PSARP): pembedahan yang dilakukan yaitu anoplasti dimana
tindakan ini tidak dapat langsung dilakukan, biasanya akan
ditunda 9 hingga 12 minggu yang ditujukan untuk memberikan
waktu untuk otot-otot untuk berkembang dan pelvis dapat
membesar terebih dahulu. Peningkatan berat badan serta
membaiknya status nutrisi memungkinkan tindakan ini dapat
segera dilakukan.
3) Tindakan yang ketiga yaitu penutupan kolostomi atau reseksi
dan anastomosis: dimana operasi ini adalah tahap akhir dengan
kasus atresia ani yang harus dilakukan agar pasien sendiri dapat
melakukan kehidupan sehari-harinya dengan nyaman. Biasanya
dilakukan setelah operasi kedua berhasil dan juga melihat
kondisi pasien itu sendiri.

X. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan atresia ani,
antara lain:
a. Asidosis hiperkloremia
b. Kelambatan anak pada toilet training
c. Komplikasi jangka panjang
1) Eversi mukosa anal
2) Stenosis
3) Infeksi saluran kemih
4) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
5) Inkontinensia akibat stenosis awal atau impaksi
6) Prolapse mukosa anorectal (penyebab inkontinensia)
Faktor yang mempengaruhi terjadinya komplikasi pada
kelainan ini yaitu terjadinya kegagalan menentukan letak kolostomi,
persiapan operasi yang kurang adekuat, keterbatasan
pengetahuan anatomi, keterampilan operator yang kurang,
dan perawatan post operasi yang kurang baik.(Ngastiyah, 2018)

XI. TEORI ASUHAN KEPERAWATAN


a. Data subjektif
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar pada proses
keperawatan. Pengkajian keperawatan adalah proses melakukan
pemeriksaan/ penyelidikan yang dilakukan oleh perawat untuk
mempelajari keadaan pasien sebagai langkah awal yang akan
dijadikan sebagai bahan dasar pengambilan keputusan klinik
keperawatan (Rohmah, N & Walid S, 2019 dalam ) :
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahsa
yang digunkan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan,
asuransi, golongan darah, nomor register, tanggal dan jam
masuk rumah sakit, dan diagnosis medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya, keluhan utama pada kasus
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang
keluhan yang dirasakan sekrang klien digunakan:
a. (P) Provoking Incident : apakah ada peristiwa yang menjadi
faktor presipitasi nyeri.
b. (Q) Quality of Pain : seperti apa rasa nyeri yang dirasakan
ataudigambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut,
atau menusuk.
c. (R) Region : apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. (S) Severity (Scale) of Pain : seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e. (T) Time : berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Kaji kronologi terjadinya yang menyebabkan atresia ani,
bagaimana mekanisme terjadinya, pertolongan apa yang
sudah di dapatkan, apakah sudah berobat.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit tertentu seperti riwayat penyakit yang dulu pernah
diderita sampai kekarang.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit
keturunan yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan
cenderung diturunkan secara genetik.
6. Pola Kebiasaan
a. Pola Nutrisi
Umumnya pola nutrisi pasien tidak mengalami perubahan,
namun ada beberapa kondisi dapat menyebabkan pola
nutrisi berubah, seperti nyeri yang hebat, dampak
hospitalisasi terutama bagi pasien yang merupakn
pengalaman pertama masuk rumah sakit.
b. Pola Eliminasi
Pasien dapat cenderung mengalami gangguan eliminasi
BAB seperti konstipasi dan gangguan eliminasi urine
akibat adanya program eliminasi dilakukan ditempat tidur.
c. Pola Istirahat
Umumnya kebutuhan istirahat atau tidur pasien tidak
mengalami perubahan yang berarti, namun ada beberapa
kondisi dapat menyebabkan pola istirahat terganggu atau
berubah seperti timbulnya rasa nyeri yang hebat dan
dampak hospitalisasi.
d. Pola Aktivitas
Umumnya pasien tidak dapat melakukan aktivitas
(rutinitas) sebagaimana biasanya, yang hampir seluruh
aktivitas dilakukan ditempat tidur. Hal ini dilakukan karena
ada perubahan fungsi anggota gerak serta program
immobilisasi, untuk melakukan aktivitasnya pasien harus
dibantu oleh orang lain, namun untuk aktivitas yang
sifatnya ringan pasien masih dapat melakukannya sendiri.
e. Personal Hygiene
Pasien masih mampu melakukan personal hygienenya,
namun harus ada bantuan dari orang lain, aktivitas ini
sering dilakukan pasien ditempat tidur.
f. Riwayat Psikologis
Biasanya dapat timbul rasa takut dan cemas, selain itu
dapat juga terjadi ganggguan konsep diri body image, jika
terjadi atropi otot kulit pucat, kering dan besisik. Dampak
psikologis ini dapat muncul pada pasien yang masih dalam
perawatan dirumah sakit. Hal ini dapat terjadi karena
adanya program immobilisasi serta proses penyembuhan
yang cukup lama.
g. Riwayat Spiritual
Pada pasien atresia ani spiritualnya tidak mengalami
gangguan yang berarti, pasien masih tetap bisa
bertoleransi terhadap agama yang dianut, masih bisa
mengartikan makna dan tujuan serta harapan pasien
terhadap penyakitnya.
h. Riwayat Sosial
Dampak sosial adalah adanya ketergantungan pada orang
lain dan sebaliknya pasien dapat juga menarik diri dari
lingkungannya karena merasa dirinya tidak berguna.
b. Data objektif
1. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Keadaan baik dan buruknya klien. Tanda-tanda gejala
yang perlu dicatat adalah kesadaran diri pasien (apatis,
sopor, koma, gelisah, komposmetis yang bergantung pada
keadaan klien), kesakitan atau keadaaan penyakit (akut,
kronis, berat, ringan, sedang, dan pada kasus fraktur
biasanya akut) tanda vital tidak nmormal karena ada
gangguan lokal baik fungsi maupun bentuk.
b. Kepala dan muka
Pada pemeriksaan kepala umumnya pasien fraktur atresia
ani tidak mengalami gangguan yaitu normosefalik,
simetris., tidak ada penonjolan, tidak ada sakit kepala.
c. Mata
Pada pemeriksaan mata umumnya pasien atresia ani tidak
mengalami gangguan. Tidak ada gangguan, konjungtiva
tidak anemis.
d. Hidung
Pada pemeriksaan hidung umumnya pasien atresia ani
tidak mengalami gangguan.
e. Telinga
Pada pemeriksaan telinga umumnya pasien atresia ani
tidak mengalami gangguan.
f. Mulut
Pada pemeriksaan mulut umumnya pasien atresia ani tidak
mengalami gangguan.
g. Leher
Pada pemeriksaan leher umumnya pasien atresia ani tidak
mengalami gangguan.
h. Dada/ Thorax
1. Paru
Dikaji bentuk dada, adanya retraksi intercosta,
kesimetrisan dada saat inspirasi dan ekspirasi, adanya
lesi, fokal fremitus antara dada kanan dan kiri, adanya
nyeri tekan, perkusi paru umumnya sonor, dan
auskultasi suara nafas adakah suara nafas tambahan.
2. Jantung
Dikaji adanya bayangan vena di dada, adanya
kardiomegali, palpasi jantung normalnya berada di ICS
5 sepanjang 1 cm, perkusi jantung normalnya pekak,
dan auskultasi jantung normalnya bunyi jantung 1 di
ICS 5 midklavikula ICS 4 terdengar tunggal dan bunyi
jantung 2 di ICS 2 sternum kanan dan kiri terdengar
tunggal.
3. Abdomen
Inspeksi abdomen: bentuk kembung, distensi abdomen
Palpasi: turgor baik, tidak ada defans muskular dan
hepar tidk teraba.
Perkusi : suiara timpani, ada pantulan gelombang
cairan. Auskultasi : peristaltik abnormal.
4. Inguinal
genital: hernia tidak teraba, terdapat pembesaran pada
usus dan kesulitan BAB.
5. Ekstremitas
Hasil pemeriksaan yang didapat adalah tidak adanya
gangguan/keterbatasan gerak pada ekstremitas.
c. Diagnosa keperawatan
1. Kerusakan integritas kulit b.d terpejan dari feses akibat
kolostomi
2. Nyeri akut b.d trauma jaringan
3. Ketidakefektifan pola nafas b.d menurunnya ekspensi paru
4. Resiko infeksi b.d prosedur pembedahan
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
anoreksia
6. Gangguan eliminasi urine b.d obstruksi anatomik
d. Intervensi keperawatan

Diagnosa : GANGGUAN INTEGRITAS KULIT (D.0129)


Luaran Utama :Integritas Kulit dan Jaringan (L.14125)
: Ekspetasi (Meningkat)
Kriteria Hasil :
Menurun Cukup Sedang Cukup meningkat
menurun meningkat
Elastisitas 1 2 3 4 5
Hidrasi 1 2 3 4 5
Perfusi jaringan 1 2 3 4 5
Meningka Cukup Sedang Cukup Menurun
t meningka menurun
t
Kerusakan jaringan 1 2 3 4 5
Kerusakan lapisan kulit 1 2 3 4 5
Nyeri 1 2 3 4 5
Perdarahan 1 2 3 4 5
Kemerahan 1 2 3 4 5
Hematoma 1 2 3 4 5
Pigmentasi abnormal 1 2 3 4 5
Jaringan parut 1 2 3 4 5
Nekrosis 1 2 3 4 5
Abrasi kornea 1 2 3 4 5
Memburu Cukup Sedang Cukup membaik
k memburu membaik
k
Suhu kulit 1 2 3 4 5
Sensasi 1 2 3 4 5
Tekstur 1 2 3 4 5
Pertumbuhan rambut 1 2 3 4 5

Intervensi Utama :
a) PERAWATAN INTEGRITAS KULIT (1.11353)
Observasi
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit (mis. Perubahan
sirkulasi,perubahan status nutrisi,penurunan kelembaban, suhu
lingkungan ekstrem, penurunan mobilitas
Terapeutik
2. Ubah posisi tiap 2 jam jika tirah baring
3. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang, jika perlu
4. Bersihkan perineal dengan air hangat, terutama selama periode diare
5. Gunakan produk berbahan ringan /alami dan hipoalergik pada kulit
sensitive
6. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
7. Hindari produk berbahan dasar alkohol pada kulit kering
Edukasi
8. Anjurkan menggunakan pelembab(mis.lotion,serum)
9. Anjurkan minum air yang cukup
10. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
11. Anjurkan meningkatkan asupan buah dan sayur
12. Anjurkan menghindari terpapar suhu ekstrem
13. Anjurkan menggunakan tabir surya SPF minimal 30 saat berada diluar
rumah
14. Anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya

b) PERAWATAN LUKA ( 1.14564)


Observasi
1. Monitor karakteristik luka(mis.drainase,warna,ukuran,bau)
2. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
3. Lepaskan balutan an plester secara perlahan
4. Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
5. Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik,sesuaikebutuhan
6. Bersihkan jaringan nekrotik
7. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi,jika perlu
8. Pasang balutan sesuai jenis luka
9. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
10. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
11. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien
12. Berikan diet dengan kalori 30-35 kkal/kgBB/hari dan protein
1,25-1,5g/kgBB/hari
13. Berikan suplemen vitamin dan mineral (mis. vitamin A, vitamin
C,Zinc.asam amino) sesuai indikasi
14. Berikan terapi TENS (stimulasi saraf transkutaneous), jika perlu
Edukasi
15. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
16. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein
17. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
18. Kolaborasiprosedurdebridement(mis.enzimatik,biologis,mekanis,autolitk),ji
ka perlu
19. Kolaborasi pemberian antibiotik,jika perl
Diagnosa : NYERI AKUT (D.0077)
Luaran Utama : tingkat nyeri (L.08066)
: Ekspetasi (Menurun)
Kriteria Hasil :

Menurun Cukup Seda Cukup meningk


menurun ng meningk at
at
Kemampuan 1 2 3 4 5
menuntaskan aktifitas

Meningka Cukup Seda Cukup Menuru


t meningka ng menuru n
t n
Keluhan nyeri 1 2 3 4 5
Meirngis 1 2 3 4 5
Sikap protektif 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Kesulitas tidur 1 2 3 4 5
Menarik diri 1 2 3 4 5
Berfokus pada diri 1 2 3 4 5
sendiri 1 2 3 4 5
Diaforesis 1 2 3 4 5
Perasaan depresi 1 2 3 4 5
(tertekan)
Perasaan takut 1 2 3 4 5
mengalami cedera 1 2 3 4 5
berulang 1 2 3 4 5
Anoreksia 1 2 3 4 5
Perinium terasa 1 2 3 4 5
tertekan 1 2 3 4 5
Uterus teraba 1 2 3 4 5
membulat 5
Ketegangan otot
Pupil dilatasi
Muntah
Mual
Memburu Cukup Seda Cukup Membai
k memburu ng membai k
k k
Frekunsi nadi 1 2 3 4 5
Pola nafas 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
Proses berfikir 1 2 3 4 5
Fokus 1 2 3 4 5
Fungsi berkemih 1 2 3 4 5
Prilaku 1 2 3 4 5
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Pola tidur 1 2 3 4 5

Intervensi Utama :
a) MANAJEMEN NYERI (I.08238)
Observasi
1. Identifikasi lokasi karakterstik,durasi,frekuensi,kualitas,intensitas
nyeri
2. Identifikasi skala nyeri
3. Identifikasi respon nyeri non verbal
4. Identifikasi faktor memperberat dan memperigan nyeri
5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
8. Monitor keberhasilan terapi komplomenter yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping pengunaan analgetik
Terapeutik
10. Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hipnosis,akupresur,terapimusik,biofeedback,terapi
pijat,aroma terapi,teknik imajinasi terbimbimbing, kompres hangat
atau dingin,terapi bermain)
11. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis.suhu
ruangan,pengcahayaan,kebisingan)
12. Fasilitasi istirahat dan tidur
13. Pertimbankan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredahkan nyeri
Edukasi
14. Jelaskan penyebab,priode dan pemicu nyeri
15. Jelaskan strategi peredakan nyeri
16. anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
17. Anjurkan mengunakan analgetik secara tepat
18. Anjurkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
19. Kolaborasi pemberian analgetik,jika perlu
b) PEMBERIAN ANALGESIK (I.08243)
Observasi
1. Identifikasikarateristik,nyeri(mis.pencetus,pereda,kualitas,lokasi,inten
sitas,frekuensi,durasi)
2. Identifikasi riwayat alergi obat
3. Identifikasi kesesuaian jenis analgesik (mis.narkotika,non-
narkotik,atau NSADI) dengan tingkat keparahan nyeri
4. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan sudah pemberian analgesik
5. Monitor efektifitas analgesik
Terapeutik
6. Diskusikan jenis analgesik yang disukai untuk mencapai analgesia
optimal,jika perlu
7. Pertimbangkan pengunaan infus kontinu,atau bolus aploid uantuk
mempertahankan kadar dalm serum
8. Tetapkan target afektifitas analgesik untuk mengoptimalkan respon
pasien
9. Dokumentasikan respon terhadap efek analgesik dan efek yang
tidak di inginkan
Edukasi
10. Jelaskan efek terapi dan efek samping
Kolaborasi
11. Kolaborasi pemberian dosis dan jenis analgesik, sesusi indikasi

Diagnosa : RESIKO INFEKSI (D.0142)


Luaran : Tingkat Infeksi (L.14137)
: Ekspektasi (menurun)
Kriteria Hasil :

Menurun Cukup Sedang Cukup Meningkat


Menurun Meningkat
Kebersihan 1 2 3 4 5
tangan
Kebersihan 1 2 3 4 5
badan
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Meningkat Cukup Sedang Cukup Menurun
meningkat menurun
Demam 1 2 3 4 5
Kemerahan 1 2 3 4 5
Nyeri 1 2 3 4 5
Bengkak 1 2 3 4 5
Vesikel 1 2 3 4 5
Cairan berbau 1 2 3 4 5
busuk
Sputum 1 2 3 4 5
berwarna hijau
Drainase 1 2 3 4 5
purulen
Piuna 1 2 3 4 5
Periode 1 2 3 4 5
malaise
Periode 1 2 3 4 5
menggigil
Lelargi 1 2 3 4 5
Gangguan 1 2 3 4 5
kognitif
Memburuk Cukup Sedang Cukup Membaik
memburuk membaik
Kadar sel 1 2 3 4 5
darah putih
Kultur darah 1 2 3 4 5
Kultur urine 1 2 3 4 5
Kultur sputum 1 2 3 4 5
Kultur area 1 2 3 4 5
luka Kultur
feses
Kadar sel 1 2 3 4 5
darah putih

Intervesi Utama
a) MANAJEMEN IMUNISASI/VAKSINASI
Observasi
1. Identifikasi riwayat kesehatan dan riwayat alergi
2. Identifikasi kontradiksi pemberian imunisasi (mis. Reaksi
anafilaksis terhadap vaksin sebelumnya dan atau sakit parah
dengan atau tanpa demam)
3. Identifkasi status imunisasi setiap kunjungan kepelayanan
kesehatan
Terapeutik
4. Berikan suntikan pada bayi dibagian paha anterolateral
5. Dokumentasikan informasi vaksinasi (mis. Nama produsen,
tanggal kadaluarsa )
6. Jadwalkan imunasasi pada interval waktu yang tepat
Edukasi
7. Jelaskan tujuan, manfaat, reaksi yang terjadi, jadwal, dan efek
samping
8. Informasikan imunisasi yang diwajibkan pemerintah (mis. Hepatitis
B, BCG, difteri, tetanus, pertusis, influenza, polio, campak,
measles, rubela)
9. Informasikan imunisasi yang melindungi terhadap penyakit namun
saat ini tidak diwajibkan pemerintah (mis. Influenza,
pneumokokus)
10. Informasikan vaksinasi utuk kejadian khusus (mis.rabies, tetanus)
11. Informasikan penundaan pemberian imuisasi tidak berarti
mengulang jadwal imunisasi kembali
12. Informasikan penyedia layanan pekan imunisasi nasional yang
menyediakan vaksin gratis.
b) Pencegahan infeksi
Observasi
1. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terpeutik
2. Batasi jumlah pengunjung
3. Berikan perawatan kulit pada area edema
4. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
5. Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
6. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
7. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
8. Ajarkan etika batuk
9. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
10. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
11. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
12. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
13. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik
Terpeutik
14. Batasi jumlah pengunjung
15. Berikan perawatan kulit pada area edema
16. Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan pasien
17. Pertahankan teknik aseptik pada pasien beresiko tinggi
Edukasi
18. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
19. Ajarkan cara mencuci tangan dengan benar
20. Ajarkan etika batuk
21. Ajarkan cara memeriksa kondisi luka atau luka operasi
22. Anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
23. Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
24. Kolaborasi pemberian imunisasi, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Irine Lokananta, R. (2016). Malformasi Anorektal. vol.22 no.10

http://ejournal.ukrida.ac.id/ojs/index.php/Meditek/article/view/1265/1382

Melinia, Tara. Asuhan Keperawatan Perioperatif Pada Pasien Atresia Ani

Dengan Tindakan Reseksi Dan Anastomosis Di Rsud Dr. H Abdul Moeloek

Provinsi Lampung Tahun 2022. Diss. Poltekkes Tanjungkarang, 2022.

Mendri, N. K., & Agus Sarwo Prayogo. (2018). Asuhan Keperawatan pada Anak

Sakit dan Bayi Resiko Tinggi. Penerbit Pustaka Baru Press.

Ngastiyah, A. (2018). Perawatan Anak Sakit (Edisi 2). EGC.

Nurarif, Amin Huda., Kusuma Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosis Medis dan NANDA, NIC, NOC. Jilid 1. Yogyakarta:

Mediaction Publishing.

Putra dan Rizema, S. (2019). Asuhan neonatus Bayi dan Balita Untuk

Keperawatan dan Kebidanan. Medika.

Salsabila, I. S. (2021). Asuhan Keperawatan pada An. A yang Mengalami Atresia

Ani Post Operasi Tutup Kolostomi di Gedung Teratai Lantai III Utara RSUP

Fatmawati Jakarta Selatan.

Tim Pokja DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia: Definisi

dan Intervensi Keperawatan (Edisi 1). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi

dan Intervensi Keperawatan (Edisi 1). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja DPP PPNI. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi

dan Kriteria Hasil Keperawatan. (Edisi 1). Dewan Pengurus Pusat PPNI.

You might also like