Konsep Akhlakul Karimah Perspektif Imam Al Ghazali

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Vol. 10, No.

2, July 2022
P-ISSN: 2303-2014 | E-ISSN: 2723-1143 Url: https://ojs.serambimekkah.ac.id/tarbawi

Received : March 20, 2022 Published : July 30, 2022


Accepted : June 08, 2022 Page : 177-192
Copyright ©2022 Serambi Tarbawi, All Rights Reserved

KONSEP AKHLAKUL KARIMAH PERSPEKTIF IMAM AL GHAZALI

Syamsul Bahri
Universitas Serambi Mekkah, Indonesia
Contributor Email: syamsulbahriabdullah7@gmail.com

Abstract :
Akhlakul Karimah is a conscious ritual performed to recognize the positive character
of each child. Such as the Islamic education system that was initiated by Imam Al-
Ghazali, who emphasized the importance of recognizing the moral values that were
built in accordance with the foundation of the Islamic education system. Considering
how important morality is for children from birth, the main questions in this study
are how to define morality according to Imam Al-Ghazali and how to use the pairing
method. The method used in this research is library research. The key technique used
in this research is descriptive analysis. Primary and secondary data were used as data
sources, and comparative deductive methods were used for data analysis. According
to the findings of the study, Imam Al-Ghazali advocated moral education through
developing the character of children and teaching them commendable qualities from a
young age, using mujahadah-riyadhah to form morals, and training themselves to
develop the desired behavior, or karimah. Following up on these findings, the process
of forming akhlaq karimah must be optimized through the family from an early age.
Keywords: Coaching, Akhlakul karimah, Imam Al-Ghazali

{177
Syamsul Bahri

A. Pendahuluan
Moralitas (akhlak) adalah suatu kualitas yang terwujud dalam jiwa
seseorang dan merupakan sumber dari baik dan buruknya perilaku
(Zahruddin AR & Sinaga, 2004). Karena Nabi Muhammad SAW diutus oleh
Allah dengan tugas utama menyempurnakan akhlak manusia, akhlak
merupakan aspek penting dalam kehidupan, begitu pula pentingnya
kedudukan manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu sangat penting untuk
senantiasa mengajak dan mengupayakan agar manusia selalu berperilaku
mulia (Saputra & Wahyuddin, 2004, pp. 41–42). Hal ini sesuai dengan sabda
Nabi “Sesungguhnya aku diutus semata-mata untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”(Mustafa Dieb al Bugha & Mistu, 2002).
Al-Qur'an, serta Sunnah dan biografi Nabi, dapat membantu kita
memahami karakter Nabi. Setiap Muslim harus mengikuti teladan Nabi
Allah baik dalam masalah agama maupun sekuler. Setiap Muslim wajib
meneladani Nabi Allah sampai Hari Pembalasan tiba (Saputra &
Wahyuddin, 2004, p. 240). Membangun hubungan positif antara pencipta
dan yang diciptakan adalah tujuan moralitas. Landasan untuk mencapai
kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan akhirat, serta pengembangan
kehidupan yang damai dan saling mendukung, adalah hubungan yang
harmonis antara Tuhan dan ciptaan-Nya.
Menurut petunjuk Allah dalam ayat 21 surat Al Ahzab, diperbolehkan
untuk menggunakan Nabi sebagai contoh teladan

َ‫َلقَدِ كَانَ لَكُنِ فِيِ رَسُوِ ِل اللّٰهِ اُسِ َوةٌ حَسَنَةٌ لِّمَهِ كَانَ يَ ِرجُوا اللّٰ َه وَالْيَ ِو َم اْل ّٰاخِ َر وَذَكَ َر اللّٰه‬

ۗ ‫كَثِيِرّا‬

“Sungguh, pada (diri) Rasulullah benar-benar ada suri teladan yang baik
bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan

178}
Konsep Akhlakul Karimah Perspektif Imam Al Ghazali

(kedatangan) hari kiamat serta yang banyak mengingat Allah” (Al-


Quran Dan Terjemahannya Kementerian Agama RI, 1989).
Dalam situasi ini, keterlibatan keluarga dalam penanaman
moralitas anak sangat penting karena berperan sebagai katalisator bagi
terwujudnya nilai, keyakinan, dan persepsi budaya dalam masyarakat. Di
hadapan anak-anaknya, orang tua harus memenuhi kewajibannya.
Khususnya para ibu yang berusaha menjaga akhlak, raga, dan akalnya
sejak dalam kandungan hingga melahirkan dengan harapan Allah SWT
akan memberikan keturunan yang serasi secara spiritual, berakal budi,
dan berbakti kepada orang tuanya (Yaqin, 2005).
Manusia ideal yang bertaqwa dan pandai dicari dan diutamakan
sesuai dengan pengertian akhlakul karimah. Untuk mencegah terjadinya
penyimpangan, pembinaan akhlak diakhiri dengan fokus pada
pertumbuhan mental anak. Akibatnya, ini akan menghentikan anak-anak
dari melakukan kejahatan dan kesalahan lainnya karena pertumbuhan
moral menuntut anak-anak untuk memperoleh rasa tanggung jawab.
Untuk mencegah anak-anak muda dari perilaku tidak bermoral dan
sebagai pertahanan terhadap kenakalan remaja adalah penggunaan lain
dari pengertian moralitas (Sudarsono, 1989).
Pada kenyataannya, interaksi interpersonal antara orang-orang dan
bahkan interaksi interpersonal antara individu dan organisasi untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari membuat orang lain kesal melalui perilaku
tidak terhormat seperti penipuan, penggelapan, penganiayaan, dan kesalahan
lainnya. Perbuatan anak tersebut pada akhirnya akan menimbulkan keresahan
masyarakat, mengganggu kehidupan masyarakat dan berujung pada
putusnya hubungan sosial. Dari sudut moralitas dan kesusilaan, perilaku
tersebut tidak bermoral, melanggar standar moral kesusilaan, dan sangat
mengganggu kehidupan orang lain (Sudarsono, 1989).
Akibat pergaulan, media cetak, dan media elektronik, anak-anak
zaman sekarang memiliki kondisi moral yang sangat menyimpang dari
ajaran Islam. Mereka takut untuk bertindak dengan cara yang

{179
Syamsul Bahri

menyimpang dari ajaran Islam karena mereka memiliki moralitas yang


kuat. Hidup kemudian aman, tenteram, dan tenang. Akibatnya, moralitas
sebagai gagasan sangat penting. Selain itu, meskipun keluarga biasanya
membesarkan anak-anak mereka, kenyataan mengungkapkan bahwa
sering kali di sinilah anak-anak menerima pendidikan dan pembinaan
pertama mereka. Oleh karena itu, cara hidup keluarga paling
berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak.
Karena konteks di atas, penulis terdorong meneliti dan
menganalisis secara eksplisit konsep akhlakul karimah menurut Imam Al
Ghazali.

B. Metode
Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan karya ilmiah sangat
penting untuk mencapai tujuan dan dapat berdampak pada kualitas tulisan.
Untuk menciptakan karya ilmiah yang rapi dan lengkap, teknik penulis dalam
artikel ini adalah metode deskriptif analitis, yang meliputi menangkap,
mengevaluasi, mendekode, dan menganalisis data yang ada (Nazir, 1999).
Penulis melakukan penelitian kepustakaan, mengumpulkan
informasi dari berbagai buku dan sumber tertulis lainnya yang relevan
dengan perdebatan. Dengan mengumpulkan literatur dan pendapat para
ahli, termasuk yang ditemukan dalam buku-buku dan tulisan-tulisan lain
yang sudah ada dengan karya ini, penulis berusaha untuk menangkap
konsep dan pandangan Al Ghazali tentang akhalkul karimah selama
penelitian ini (Mestika Zed, 2004).
Data penelitian dikumpulkan sebagai data deskriptif analitik. Yaitu
secara sistematis menguraikan pandangan Al-Ghazali tentang akhlakul
karimah. Perspektif para spesialis yang bersangkutan juga digunakan dalam
kaitannya dengan konteks kehidupan dan pemikirannya. Tahap selanjutnya
adalah interpretasi, yaitu memahami setiap gagasan yang dimiliki Al-

180}
Konsep Akhlakul Karimah Perspektif Imam Al Ghazali

Ghazali untuk mendapatkan kejelasan moralitas. Penulis juga menggunakan


penalaran deduktif. Penelitian komparatif digunakan untuk mengevaluasi
ide-ide al-Ghazali dengan ide-ide individu dan pakar profesional untuk
menarik kesimpulan.

C. Hasil dan Pembahasan


1. Dasar dan tujuan Akhlakul Karimah
Menurut Syaikh Abdurrahman al-Mubarakfuri dalam (Musthafa
Dieb al-Bugha & Mistu, 2002) Definisi husnul khuluq adalah kasih sayang
untuk semua makhluk hidup; dia mendekati mereka dan mencegah
mereka menyakiti mereka, dan dia menunjukkan kebaikan yang lebih
besar kepada orang-orang yang menganiaya dia daripada kepada mereka.
Ath-Thayyibi memahami "taqwa kepada Allah" sebagai menunjukkan
nikmat Allah dengan mengikuti semua petunjuk-Nya dan menahan diri
dari semua larangan-Nya. "Akhlak yang baik" adalah ungkapan yang
digunakan untuk menunjukkan hubungan yang baik dengan makhluk
lain. Mereka yang memiliki watak ini akan masuk surga, sedangkan
mereka yang tidak memiliki keduanya akan berakhir di neraka (Musthafa
Dieb al-Bugha & Mistu, 2002).
Menurut hadis di atas, Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad
berfungsi sebagai kode hukum terbaik dan pedoman praktis yang dapat
digunakan umat Islam sebagai landasan untuk semua tindakan mereka
dalam hidup. Ajaran Islam, yang bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah,
menjadi landasan moralitas dan menjadi pedoman interaksi sehari-hari
dengan Tuhan dan makhluk hidup lainnya. Rincian di atas juga membantu
umat Islam memahami bahwa Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad
berfungsi sebagai landasan bagi pertumbuhan moral Islam. Proses
operasionalisasi pendidikan kemudian dilakukan, dan tujuan-tujuan tersebut
ditetapkan dari landasan pendidikan moral (akhlak).

{181
Syamsul Bahri

Menurut M. Arifin, tujuan berakhlakul karimah adalah


memberikan manusia makrifat (kesadaran) tentang dirinya sebagai
hamba Tuhan, pengetahuan tentang kewajibannya sebagai anggota
masyarakat untuk berkontribusi pada kesejahteraan komunitasnya, dan
kemampuan untuk mengelola dan memanfaatkannya lingkungan alam di
sekitar mereka (Arifin, 1993; Lewis & Ponzio, 2016). Oleh karena itu,
akhlakul karimah harus mampu menghasilkan umat Islam yang
berpendidikan tinggi, dimana ketakwaan dan agama menjadi pedoman
prinsip bagaimana ilmu digunakan dalam masyarakat.
Sedangkan tujuan berakhlakul karimah adalah untuk
menumbuhkembangkan kepribadian muslim yang ideal dalam upaya
memaksimalkan ketakwaan diri kepada Allah SWT. Untuk tujuan
menciptakan muslim yang sempurna, pendidikan formal lebih menekankan
pada pengajaran moral. Tujuan utama akhlakul karimah, menurut Moh.
Athiyah Al-Abrasyi, adalah pengembangan akhlak yang lebih tinggi (al-
Abrasyi, 1970). Syed Muhammad Al-Naquib-Al-Attas mengatakan bahwa
tujuan akhlakul karimah adalah untuk menciptakan manusia yang unggul,
bukan untuk dijadikan suri tauladan sebagai tujuan pendidikan dalam Islam
(al-Naquib Al-Attas, 1996). Bahkan Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa
mengembangkan umat Islam sebagai individu adalah tujuan pendidikan
Islam (Marimba, 1989), Hal ini menunjukkan bahwa tujuan fundamental dari
akhlakul karimah (Marimba, 1990).
Pemahaman bahwa manusia adalah hamba Allah adalah tujuan
pendidikan Islam, menurut Abdul Fattah Jalal. Tujuan ini dikembangkan
lebih lanjut sesuai dengan apa yang telah Allah nyatakan, yaitu bahwa
tujuan hidup manusia adalah untuk memuliakan Allah. Ini jelas dari ayat
56. Adz-Dzariyat (Jalal, 1977). Al-Syaibani mencantumkan hal-hal berikut

182}
Konsep Akhlakul Karimah Perspektif Imam Al Ghazali

sebagai tujuan akhlakul karimah: 1) Tujuan individu. 2) Tujuan sosial. 3)


Tujuan profesional (al-Syaibany, 1979; Yusoff & Hamzah, 2015).
Berdasarkan dalil-dalil tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa
tujuan akhlakul karimah adalah untuk mengembangkan hamba-hamba
Allah yang bertaqwa, cakap, dan terdidik yang kemudian akan memahami
dan menunaikan semua tugasnya untuk mencapai kebahagiaan di dunia
dan di akhirat. berikutnya sambil juga menghasilkan keturunan yang ideal,
atau manusia. Takwa adalah beriman, beribadah, dan menjauhi segala hal
yang dilarang. agar kehidupan anak dipenuhi dengan kebahagiaan
sekarang dan di akhirat.

2. Akhlakul Karimah Menurut Al Ghazali


Al-akhlak, bentuk jamak dari al khuluq, memiliki beberapa konotasi
etimologis, termasuk ath Thabi'ah (Farahidi, 1997) atau tabiat, ad din (agama)
(Manzhur, 1979) dan as sajiyya (perangai) (Manzhur, 1979). Ibnu Manzhur
menegaskan bahwa esensi al-khuluq digunakan untuk mewakili aspek tak
kasat mata dari bentuk manusia, terutama jiwa dan sifat serta makna yang
khas padanya. Alhasil, banyak hadits Nabi yang mengagungkan akhlakul
karimah dalam berbagai konteks (A. H. M. B. M. A. Ghazali, 2008).
Al Ghazali, di sisi lain, menggambarkan moralitas (akhlak) dalam
hal keadaan yang ada dalam jiwa dan merupakan sumber dari semua
perilaku karena mereka dapat dengan mudah diturunkan dari mereka
tanpa memerlukan proses pemikiran dan refleksi. Keadaan jiwanya akan
dianggap berada dalam kondisi akhlak yang baik jika dijadikan sebagai
sumber amal perbuatan yang lurus, baik di mata akal maupun syariat.
Dan jika akibatnya adalah perbuatan yang negatif, maka keadaan itu
disebut berwatak buruk (A. H. M. B. M. A. Ghazali, 2008).

{183
Syamsul Bahri

Pendapat Al-Ghazali juga digunakan oleh Al-Jurjani untuk


mendefinisikan moralitas (akhlak) (al-Jurjani, 1405). Filsuf Muslim pertama yang
membahas akhlak, Ibn Miskawaih, juga menggunakan definisi yang sama
(Khudhair, 1997). Al-Jahiz, sebaliknya, menggambarkan moralitas sebagai kondisi
jiwa di mana orang berperilaku tanpa memikirkan atau membuat keputusan (al-
Jahizh, 1410). Sedangkan Abdurrahman al Maidani menggambarkan akhlak
dengan sifat-sifat intrinsik dan berkembang yang tertanam dalam jiwa dan
berdampak pada perilaku baik atau buruk (Maidani, 1399).
Dari semua definisi akhlak yang diberikan oleh mayoritas ulama
di atas, kita dapat menarik kesimpulan sebagai berikut: pertama, akhlak
adalah perbuatan yang telah mendarah daging dalam jiwa seseorang,
menjadi wataknya; kedua, moralitas adalah perbuatan yang dilakukan
dengan mudah dan tanpa berpikir; ini tidak berarti bahwa orang yang
melakukan tindakan tersebut tidak sadar, menderita kehilangan ingatan,
tidur, atau gila; dan ketiga, moralitas adalah tindakan yang dilakukan
dengan integritas.

3. Metode Pembinaan Akhlakul Karimah menurut Al Ghazali


Pembinaan menurut Zakiah Daradjat adalah suatu usaha
pendidikan, baik formal maupun informal, yang dilaksanakan secara
terarah, teratur, dan bertanggung jawab dalam rangka mengenalkan,
menumbuhkan, mengembangkan dasar kepribadian yang seimbang
secara utuh dan selaras, ilmu pengetahuan, dan keterampilan sesuai
dengan bakat, keinginan, dan inisiatif sendiri. dan maju dengan bekerja
untuk mempromosikan standar martabat yang tinggi, potensi manusia
terbaik, dan orang yang mandiri (Daradjat, 1993; Miranti, Nurjanah &
Dwiastuty, 2018).

184}
Konsep Akhlakul Karimah Perspektif Imam Al Ghazali

Abudin Nata berpendapat bahwa mengembangkan akhlak atau budi


pekerti memerlukan pembinaan dari seseorang yang dapat membantu
melakukan perubahan pribadi dalam diri seorang individu. (Nata, 2001).
Al-Ghazali sangat menekankan pengajaran dan pembiasaan dalam
situasi ini sesuai dengan proses perkembangan akhlak. Al-Ghazali
berpesan bahwa dalam menggunakan pendekatan, tujuan utama harus
sesuai dengan usia, kecerdasan, bakat, dan temperamen anak. Target juga
tidak boleh dianggap terpisah dari hubungannya dengan nilai manfaat.
Oleh karena itu, AI-Ghazali mencoba mendasarkan pemikirannya dalam
gaya pembinaan ini pada konsep ajaran sufi (penyucian jiwa) dan praktis
(nilai guna). Ide lain dari Al-Ghazali menekankan pada komponen mental
atau sikap pendidikan, mengatakan bahwa anak harus mensucikan
jiwanya dari akhlak yang rendah dan dari sifat-sifat yang keji, karena jiwa
yang bersih dan akhlak yang tinggi menjadi landasan tumbuhnya ilmu
yang diinginkannya. Dan hal tersebut dapat digunakan dengan
menggunakan berbagai macam metode antara lain: metode bimbingan
dan penyuluhan, cerita, serta metode motivasi (Nata, 2001).
Al-Ghazali juga menawarkan dua metode untuk meningkatkan
akhlakul karimah, yang pertama adalah mujahadah dan yang kedua
adalah berlatih melakukan perbuatan baik. Selain itu, tindakan diulang.
Kedua, dengan membawa diri pada perilaku yang diinginkan secara
karimah, akhlakul karimah ditumbuhkan melalui mujahadah dan riyadhah.
Intinya, pelatihan mempengaruhi moral (I. al-Ghazali, 2000).
Hal ini sangat sejalan dengan penegasan Asmaran bahwa ada
beberapa teknik pembinaan akhlak yang menurut para ahli sangat efektif
dalam mengembangkan akhlak mulia, yaitu: kebiasaan yang dipraktikkan
sejak kecil terus mampu mengubah kepribadian (Asmaran, 2022). Al-

{185
Syamsul Bahri

Ghazali juga mengklaim bahwa ada dua jenis kecenderungan yang


berbeda dalam pendekatan pembinaan ini, yaitu: 1) Kecenderungan
keagamaan yang sofistik. 2) Kecenderungan untuk memanfaatkan
keuntungan yang dihasilkan dari karya-karyanya, terlepas dari kenyataan
bahwa ia adalah seorang sufi dan tidak menyukai duniawi, dan bahwa ia
berulang kali mengevaluasi ilmu berdasarkan penerapannya bagi orang-
orang di dunia dan di akhirat (I. al-Ghazali, 2000).
Al-Ghazali membahas kualitas pendidik yang mungkin
melakukan pertumbuhan moral di samping pentingnya pembinaan dalam
mencapai tujuan yang ditunjukkan di atas. Ciri-ciri ini meliputi: 1) Guru
harus merawat murid-murid mereka seperti halnya mereka merawat
anak-anak mereka sendiri. 2) Mengingat mengajar adalah tanggung jawab
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, guru tidak boleh
melihat keuntungan finansial (gaji) sebagai tujuan utama pekerjaan
mereka (mengajar). 3) Guru harus mengingatkan murid-muridnya bahwa
belajar tidak dilakukan untuk promosi diri atau keuntungan materi,
melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. 4) Guru harus
menginspirasi murid-muridnya untuk mengejar informasi yang akan
membuat mereka bahagia sekarang dan di masa depan. 5) Guru harus
memberikan contoh yang baik kepada anak-anaknya dengan bersikap
baik, sopan, memberi, dan sifat-sifat lain dari karakter yang terhormat. 6)
Guru harus menyesuaikan rencana pembelajarannya dengan kapasitas
intelektual dan gaya belajar siswanya. 7) Guru harus mempraktikkan apa
yang dia khotbahkan atau dia berisiko menjadi pahlawan muridnya. 8)
Agar terjalin hubungan yang kuat dan positif antara guru dan muridnya,
serta agar guru berhasil mendidik, penting bagi guru untuk menangkap
minat, kemampuan, dan semangat siswanya. 9) Agar pemikiran siswa

186}
Konsep Akhlakul Karimah Perspektif Imam Al Ghazali

dijiwai dengan prestasi, guru harus mampu menciptakan kesenangan


dalam kepribadian mereka (I. al-Ghazali, 2000).
Berdasarkan uraian di atas, maka guru ideal yang dikemukakan
al-Ghazali yang begitu sarat dengan standar moral dan masih dianggap
relevan adalah guru yang memiliki syarat kepribadian sebagaimana yang
dikemukakan oleh Al-Ghazali serta akademik dan profesional.
persyaratan. Namun, ini bukan untuk mengatakan bahwa itu adalah satu-
satunya mode; jika dilengkapi dengan persyaratan akademik yang lebih,
itu akan menjadi profesi guru yang ideal saat ini.
Oleh karena itu dia mengkategorikan orang ke dalam empat
tingkatan berdasarkan seberapa cepat moral mereka berkembang.
Pertama, orang yang ceroboh yang tidak memiliki kemampuan untuk
membedakan antara yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang
salah, dan yang baik dari yang salah. Kedua, meskipun dia mengetahui
kelalaiannya, dia belum melakukan perbuatan baik dan bahkan perbuatan
buruknya menyamar sebagai kebaikan. Ketiga, mereka yang berpikir
bahwa yang salah dan yang baik adalah hal yang sama. Keempat, mereka
yang dibesarkan dengan ide-ide palsu dan dididik untuk menjalaninya;
dia menemukan kebajikannya dalam banyak kesalahan, mengambil
nyawa manusia, dan bersukacita dalam kerusakannya. Yang pertama
bodoh, yang kedua bodoh dan sesat, yang ketiga bodoh, sesat, dan fasik,
dan keempat bodoh, sesat, fasik, dan jahat, menurut al-analisis al-Ghazali
(Jáhilun wa dhállun wafäsiqun wa syirrirun) (I. al-Ghazali, 2000).
Al-Ghazali menggunakan kasus kesehatan dan penyakit untuk
menggambarkan kesehatan dan penyakit jiwa saat membahas teknik
untuk melatih moralitas. Bahkan, ia menambahkan, "Kesehatan tubuh
tergantung pada seberapa normal kondisinya, dan ketidaknyamanan

{187
Syamsul Bahri

tubuh dihasilkan dari kecenderungan tubuh untuk menyimpang dari


normal. Mirip dengan kesehatan mental, kecenderungan moralitas untuk
menyimpang dari norma adalah penyakit atau kondisi (I. al-Ghazali,
2000). Dengan demikian Al Ghazali menyarankan "mujahadah" dan
"iyadhatun nafs" sebagai obatnya. Tujuan riyadhatun nafs dan mujahadah
dalam pendidikan akhlak adalah memotivasi jiwa untuk mengikuti
kaidah-kaidah akhlak (I. al-Ghazali, 2000).
Teknik tadrij (bertahap), yang melibatkan pemindahan seseorang
dari akhlak yang buruk ke akhlak yang lain, akhlak yang lebih ringan dan
terus menerus demikian sampai ia pada akhirnya bebas dari akhlak yang
buruk, harus digunakan, namun jika perbuatan itu telah menjadi watak
dan teguh pendirian, tertanam dalam jiwa serta harus dibawa pergi. Al-
Ghazali mengklaim bahwa setiap perilaku tidak bermoral dapat diperbaiki
dengan menggunakan teknik ini. Seseorang harus berpuasa dan makan
lebih sedikit jika, misalnya, dia menyadari bahwa keserakahan menguasai
dirinya. Kemudian, untuk menguatkan semangatnya, ia harus
memaksakan diri untuk menyiapkan makanan bergizi dan
menawarkannya kepada orang lain sambil melarang dirinya memakannya.
Akibatnya, kesabaran berkembang menjadi kebiasaan dan keserakahan
lenyap (Najati, 1991).
Secara teoritis, akhlak yang rusak harus dipelajari dan dianalisis, dan
secara praktis harus diganti dengan akhlak yang baik (Najati, 1991). Dari sini
terbukti bahwa al-Ghazali percaya bahwa cara terbaik untuk mengubah
moral yang salah adalah dengan mempelajarinya dan mendorong diri
sendiri untuk bertindak sebaliknya. Ayat 40-41 Surah an-Naziat, yang
membawa kesimpulan ini, "wa amma man khåfa maqåma rabbihi wa nahan nafsa
'anil hawåfa innal jannata hiyal ma'wa dan adapun orang-orang yang takut

188}
Konsep Akhlakul Karimah Perspektif Imam Al Ghazali

kepada kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari keinginan hawa


nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya."
Al-Ghazali membagi individu menjadi tiga jenis ketika memberikan
nasihat tentang pendidikan moral dan sekaligus menunjukkan perlunya
berbagai teknik pendekatan, yaitu: 1) Awam, yang memiliki gaya berpikir
yang sangat lugas. Mereka tidak dapat menciptakan esensi dengan metode
berpikir ini. Mereka dapat diandalkan dan tunduk. Saran dan arahan harus
diberikan kepada kelompok ini untuk mengatasinya. 2) Yang terpilih, yang
memiliki otak cerdas dan cara berpikir yang mendalam. Orang-orang
pilihan harus bersaing dengan sikap memberikan pengetahuan. 3) Para
pembangkang (ahl al jidal) harus mengadopsi pola pikir meruntuhkan
pertahanan mereka. Al-Ghazali juga menegaskan bahwa ketika belajar,
siswa harus memenuhi tanggung jawab tertentu, antara lain: 1)
Mendahulukan keutuhan jiwa. 2) Kesediaan pindah tempat mencari ilmu 3.
Tidak menantang guru dan membanggakan kecerdasannya. 4) Memahami
tempat ilmu (Najati, 1991).
Penulis dapat menyimpulkan dari pernyataan al-Ghazali di atas bahwa
diharapkan seorang anak dapat mengasimilasi informasi melalui tanggung
jawab dan kewajiban ini untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.

D. Penutup
Konsep akhlak yang diberikan oleh al-Ghazali sama dengan yang
diberikan oleh para pemikir seperti Ibnu Maskawih, Al Jurjani, Al Jahizh,
dan Abdurrahman Al Maidani, meskipun dalam bahasa yang berbeda.
Al-Ghazali juga membedakan antara akhlak yang baik dan akhlak yang
buruk dalam hal akhlak. Keduanya distandarisasi dari normalitas dan
abnormalitas dalam kekuatan dan kesempurnaan kecerdasan, emosi, dan

{189
Syamsul Bahri

nafsu, serta kepatuhan simultan terhadap akal dan syariat. Mujahadah


dan riyadhatun nafs dapat mengubah akhlak dengan memotivasi jiwa
untuk melakukan perbuatan yang diperintahkan akhlak. Mengenali nilai-
nilai yang salah dan mengembangkan sifat-sifat karakter yang
berlawanan adalah cara terbaik untuk mengubahnya. Jika karakter
memiliki hubungan yang kuat dengan subjek, itu harus ditangani dengan
bijaksana (bertahap).

Referensi
Al-Abrasyi, Moh. A. (1970). Dasar-dasar pokok pendidikan Islam (H. B. A.
Gani & D. Bahry, Trans.). Bulan Bintang.
Al-Ghazali, I. (2000). Ihya‟ Ulumuddin (I. Yakub, Trans.). Dar al-Taqwa.
al-Jurjani, A. bin M. bin A. (1405). Kitāb at-Ta‟rīfāt (I). Dāru al-Kitāb al-
„Arabi.
Al-Syaibany, O. M. A.-T. (1979). Falsafah pendidikan Islam (H. Langgulung,
Trans.). Bulan Bintang.
Al-Jahizh. (1410). Tahdzîbul Akhlâq (I). Darush Shahâbah lit Turâts.
Al-Naquib Al-Attas, S. M. (1996). Konsep pendidikan dalam Islam: Suatu
rangka pikir pembinaan filsafat pendidikan Islam ( jalaluddin Rakhmat,
Ed.; H. Bagir, Trans.). Mizan.
Al-Quran dan Terjemahannya Kementerian Agama RI (Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al-Quran, Trans.). (1989). Mahkota.
Arifin, M. (1993). Filsafat pendidikan Islam. Bumi Aksara.
Asmaran. (2022). Pengantar Studi Akhlak. RajaGrafindo Persada.
Daradjat, Z. (1993). Islam dan Kesehatan MentaL (III). Pusaka Antara.
Farahidi, A. A. al K. bin A. al. (1997). Kitabul ‟Ain (M. Makhzumi & I. as
Samira‟i, Trans.; IV). Dar Maktabah al Hilal.
Ghazali, A. H. M. B. M. A. (2008). Ihya‟ Ulumuddin. Darul Fikr.

190}
Konsep Akhlakul Karimah Perspektif Imam Al Ghazali

Idris, S. (2017). Internalisasi Nilai dalam Pendidikan (Konsep dan Kerangka


Pembelajaran dalam Pendidikan Islam). Yogyakarta: Darussalam
Publishing
Jalal, A. F. (1977). Min al-Ushuli al-Tarbawiyah din al-Islam (One of the most
pedagogical religion of Islam) (H. N. Aly, Trans.). Darul Kutub
Misriyah.
Khudhair, T. A. (1997). Falsafatul Akhlâq „inda Ibni Miskawaih.
Lewis, M., & Ponzio, V. (2016). Character Education as the Primary
Purpose of Schooling for the Future. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 4(2),
137-146. https://doi.org/10.26811/peuradeun.v4i2.92
Maidani, A. H. H. al. (1399). Al-Akhlâq al Islâmiyyah wa Ususuhâ (I). Darul
Qalam.
Manzhur, I. (1979). Lisanul Arab. Dar Shadir.
Marimba, A. D. (1989). Pengantar filsafat pendidikan Islam. Bandung
Alma‟arif.
Marimba, A. D. (1990). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam (III). al-Ma‟arif.
Miranti, I., Nurjanah, N., & Dwiastuty, N. (2018). Learning Local Wisdom
for Character Education: an Insight from Choblong Sundanese
Village in Indonesia. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 6(3), 409-426.
https://doi.org/10.26811/peuradeun.v6i3.261
Mestika Zed. (2004). Metode penelitian kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia,.
Mustafa Dieb al Bugha, & Mistu, M. (2002). Syarah Kitab Arba‟in An-
Nawawiyah (Abdullah, Trans.). Rabbani Press.
Musthafa Dieb al-Bugha, & Mistu, M. (2002). Syarah Kitab Arba‟in An-
Nawawiyah (I. Sulaiman, Trans.; I). Al Kautsar.
Najati, M. U. (1991). „Ilmun Nafs wal Hayât: Madkhal ilâ „Ilmin Nafsi wa
Tathbîqâtihi fil Hayât. Darul Qalam.
Nata, A. (2001). Akhlak Tasawuf (V). RajaGrafindo Persada.
Nazir, M. (1999). Metode Penelitian (VI). Ghalia Indonesia.
Saputra, T. S. & Wahyuddin. (2004). Akidah Akhlak Untuk Madrasah Aliyah
Kelas X Kurikulum 2013. PT. Karya Toha Putra.
Sudarsono. (1989). Etika Islam tentang kenakalan remaja. Bina Aksara.

{191
Syamsul Bahri

Tabrani, Z. A., Idris, S., Murziqin, R., Riza, S., & Khafidah, W. (2021).
Parameter Transformasi Kurikulum Dayah Salafiyah di Aceh.
Tazkir: Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman, 7(1), 91-110.
https://doi.org/10.24952/tazkir.v7i1.4218
Yaqin, A. M. F. (2005). Mendidik Secara Islami: Mengoptimalkan Pemberian
Imbalan dan Hukuman Untuk Menunaikan Tanggungjawab Pendidikan.
Lintas Media.
Yusoff, M. Z. M., & Hamzah, A. (2015). Direction of Moral Education
Teacher To Enrich Character Education. Jurnal Ilmiah Peuradeun, 3(1),
119-132. https://doi.org/10.26811/peuradeun.v3i1.58
Zahruddin AR, & Sinaga, H. (2004). Pengantar Studi Akhlak. Raja Grafindo
Persada.

192}

You might also like