Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

OPINI: KONTROVERSI PRO KONTRA FOOD ESTATE

Sektor pertanian di Indonesia sangat penting mengingat peranannya dalam memenuhi kebutuhan
pangan yang semakin meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Menurut Badan
Kependudukan dan Keluarga Berencana (2013) setiap tahun penduduk Indonesia bertambah sebesar
empat juta jiwa. Pertumbuhan penduduk tersebut, apabila tidak disertai dengan kenaikan produksi
pangan, maka akan ber-peluang menghadapi persoalan pemenuhan kebutuhan pangan penduduknya di
masa dating (Purwaningsih, 2008). Lemahnya permodalan dan teknologi pada sektor pertanian
khususnya pada subsektor tanaman pangan merupakan salah satu kendala bagi peningkatan produksi
pangan Indonesia. Hal ini dikarenakan keterbatasan pemerintah dalam menyediakan anggaran yang
berakibat banyak bidang pelayanan tidak dapat ditangani pemerintah secara maksimal sehingga sektor
swasta/privat ikut dilibatkan untuk memenuhi kebutuhan yang belum ditangani tanpa mengambil alih
tanggung jawab pemerintah, salah satunya adalah Program Food Estate (Asti et al., 2016). Menyikapi
situasi tersebut Presiden Joko Widodo menugaskan Kementerian Pertahanan untuk menjadi leading
sector dalam memperkuat cadangan pangan nasional melalui program Food Estate.

Pengembangan Food Estate terdiri dari enam kriteria (BAPPENAS, 2020a, 2020b), yaitu pertama
kriteria hukum formal seperti tata letak, kepemilikan dan pengelolaan. Kedua, kriteria lingkungan,
seperti tanah, air dan agroklimat. Ketiga, kriteria infrastruktur seperti irigasi, transportasi dan energi.
Keempat, kriteria budidaya, seperti lingkungan tumbuh, agronomi, fasilitas produksi. Kelima, kriteria
sosial dan sumberdaya manusia seperti demografi, lapangan kerja, dan keenam kriteria teknologi seperti
kelayakan dan keberlanjutan industry onfarm, off-farm, dan industry pengolahan (Zannati, 2020).

Dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Tentang Penyediaan
Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate pasal 1 ayat 10 Food Estate adalah usaha pangan
skala luas yang merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memanfaatkan sumber daya
alam melalui upaya manusia dengan memanfaatkan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya untuk
menghasilkan produk pangan guna memenuhi kebutuhan manusia secara terintegrasi mencakup
tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan di suatu kawasan hutan. Food
Estate adalah sebuah program jangka panjang pemerintahan Indonesia, yang berguna untuk menjaga
ketahanan pangan dalam negeri. Program Food Estate ini memiliki konsep pengembangan pangan yang
dilakukan secara terintegrasi mencakup hortikultura tanaman pangan, perkebunan, bahkan peternakan
dalam suatu kawasan tertentu yang sangat luas. Program ini dilakukan atas kerjasama Kementerian
Pertanian dengan Pemerintah Daerah di beberapa kabupaten di Indonesia. Hasil dari pengembangan
konsep Food Estate bisa menjadi pasokan ketahanan pangan nasional dan jika berlebih bisa dilakukan
ekspor (Cahyono, 2009). Dan juga Konsep dasar Food Estate bertumpu pada keterpaduan sektor dan
sub-sektor dalam sistem agribisnis dengan memanfaatkan sumber daya yang optimal dan berkelanjutan,
pengelolaan yang profesional didukung oleh sumber daya manusia yang berkualitas, teknologi tepat
guna yang berwawasan lingkungan dan kelembagaan yang kuat (Badan Litbang Pertanian, 2011).

Menurut buku pintar Food Estate, Food Estate adalah istilah populer dari kegiatan usaha budidaya
tanaman skala luas (>25 ha) yang dilakukan dengan konsep pertanian sebagai sistem industrial yang
berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), modal, serta organisasi dan manajemen modern.
Konsep dasar Food Estate diletakkan atas dasar keterpaduan sektor dan subsektor dalam suatu sistem
agribisnis dengan memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan lestari, dikelola secara profesional,
didukung oleh sumberdaya manusia yang berkualitas, teknologi tepat guna yang berwawasan
lingkungan dan kelembagaan yang kokoh. Food Estate diarahkan kepada sistem agribisnis yang
berakar kuat di pedesaan berbasis pemberdayaan masyarakat adat/lokal yang merupakan landasan
dalam pengembangan wilayah (Setiawan, 2021). Program Food Estate ini dibuat untuk mengantisipasi
krisis pangan seperti prediksi Badan Pangan Dunia (FAO) dengan menjadikannya sebagai pusat
pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis bagi pertahanan negara. Food Estate sudah
merupakan salah satu Program Strategis Nasional 2020-2024 yang bertujuan membangun lumbung
pangan nasional. Nantinya, Food Estate akan menjadi upaya pemerintah RI untuk mengantisipasi
ancaman krisis pangan sebagai dampak pandemi COVID-19. Pembangunannya pun mengintegrasikan
pertanian, perkebunan, dan peternakan pada satu kawasan. Presiden menyatakan bahwa Food Estate ini
yang bertanggung jawab pada produksinya adalah Mentan yang bersinergi dengan kementerian lainnya
(Mukti, 2020). Diharapkan akan mampu menjadi salah satu pilar penyangga ketahanan pangan nasional,
termasuk guna berkontribusi terhadap stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional (Sianipar dan
Tangkudung, 2020).

Latar belakang mengapa Food Estate dikembangkan adalah : Pertama, melonjaknya permintaan pangan
dunia sebandingdengan pertumbuhan penduduk. Kedua, supply pangan dunia yang tidak sebanding
dengan permintaan (Global Food Crisis). Ketiga, dengan semakin tingginya laju alih fungsi lahan
pertanian (khusunya di Pulau Jawa dan Bali) dan kebutuhan pangan nasional yang semakin meningkat,
sehingga pangan menjadi komoditas strategis. Keempat, Outflow devisa negara untuk pembiayaan
impor beberapa komoditas pangan. Kelima, ketersediaan lahan potensial sebagai lahan cadangan
pangan cukup luas (Khususnya di luar Pulau Jawa dan Bali) namun belum tergarap secara optimal, dan
membutuhkan modal investasi yang cukup besar, di sisi lain dana Pemerintah terbatas, sehingga perlu
peran investor dalam pengembangan Food Estate, dengan tahap memperhatikan/melindungi
kepentingan masyarakat setempat (Badan Litbang Pertanian, 2011).

Program Food Estate ini dibuat untuk mengantisipasi krisis pangan seperti prediksi Badan Pangan
Dunia (FAO) dengan menjadikannya sebagai pusat pertanian pangan untuk cadangan logistik strategis
bagi pertahanan negara. Program tersebut akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN)
2020-2024 dan diharapkan akan mampu menjadi salah satu pilar penyangga ketahanan pangan nasional,
termasuk guna berkontribusi terhadap stabilitas ekonomi, politik dan keamanan nasional. Pemerintah
Indonesia mengembangkan program Food Estate sebagai salah satu strategi ketahanan pangan di masa
pandemi COVID-19. Sebagai cadangan strategis nasional, Presiden Joko Widodo memberikan mandat
kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memimpin pengembangan program strategis
tersebut, dengan kerjasama serta koordinasi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
(PUPR), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK),
serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) (Zannati, 2020).

Manfaat pembangunan Food Estate yaitu pertama, meningkatkan nilai tambah produksi sektor
pertanian lokal. Kedua, meningkatkan penyerapan tenaga kerja pertanian (mencapai 34,4%). Ketiga,
petani dapat mengembangkan usaha tani skala luas. Keempat, terintegrasinya sistem produksi,
pengolahan dan perdagangan. Terbuka potensi ekspor pangan ke negara lain, harga pangan menjadi
murah akibat produksi pangan melimpah (Anonim, 2021). Pemerintah Pusat juga merencanakan
peningkatan penanganan pascapanen dan berupaya mewujudkan pertanian modern agar tidak kalah
dengan pertanian di Pulau Jawa. Food Estate berbasis korporasi itu merupakan investasi terintegrasi
dari hulu ke hilir sebagai upaya meningkatkan produksi pangan bagi masyarakat Indonesia.
Pengembangan Food Estate ini merupakan program dan sinergi seluruh komponen pada pemerintah
pusat dan daerah dengan dukungan pengawasan serta pembiayaannya. Sinergi itu mulai dari sistem hulu,
on farm, hilir, hingga distribusi pasar untuk meningkatkan kapasitas dan diversifikasi produksi pangan
(Mukti, 2020).

Pada tahun 1995 Food Estate pertama kali dilaksanakan di Kalimantan Tengah dengan mengalokasikan
tanah seluas 1.457.100 hektar lahan gambut yang dibagi menjadi lima daerah kerja. Namun, hanya
berhasil dibuka 31.000 hektar lahan yang ditempati oleh 13.000 keluarga transmigran. Areal seluas
17.000 hektar kemudian juga dibuka namun belum ditempati sama sekali dan tersisa 1.409.150 hektar
yang tidak digunakan. Food Estate juga dibangun di Bulungan, Kalimantan Utara, pada tahun 2012
diatas lahan seluas 298.221 hektar. Namun, hanya berhasil membuka 1.024 hektar dan hanya lima
hektar yang kemudian ditanami. Food Estate dilanjutkan kembali pada tahun 2013 di Ketapang,
Kalimantan Barat, yang tercatat memiliki lahan potensi seluas 886.959 hektar walaupun Pemerintah
Daerah Ketapang hanya sanggup menargetkan penyediaan lahan seluas 100.000 hektar. Food
Estate Ketapang pada tahun 2013 yang hanya sanggup menanam 104 hektar dari 100.000 hektar lahan
yang disediakan oleh Pemerintah Daerah Ketapang, walaupun potensi lahannya tercatat sebesar
886.959 hektar.
Lalu untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia jangka panjang, pemerintah merencanakan
program Food Estate di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua. Food Estate merupakan konsep
pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, perkebunan, bahkan
peternakan di suatu kawasan.Dalam program ini, Kementerian Pertanian bersama dengan Pemda
Merauke akan memberdayakan lahan-lahan yang belum digarap dengan potensial, untuk dijadikan
lahan produksi tanaman pangan. Rencananya 1,2 juta ha lahan akan dibangun hingga 2019.
Kemudian Food Estate direncanakan akan dibangun di Kalimantan Tengah pada tahun 2020 sebagai
usaha melawan dampak ekonomi yang meredup pada masa pandemi COVID-19 (Anonim, 2021).
Pelaksanaan pengembangan Food Estate dilakukan berdasarkan skala ekonomi, yaitu seluas 10.000
hektar dengan klaster seluas 1.000 hektar, dan dikembangkan dalam dua model yaitu pembangunan
skala menengah dengan pendekatan intensifikasi dan pembangunan secara besar dengan pendekatan
ekstensifikasi. Rencana Food Estate akan dikembangkan di lima propinsi dengan luas total area sekitar
1.700.000 hektar (ha). Lima provinsi tersebut meliputi, Kalimantan Barat (120.000 ha), Kalimantan
Tengah (180.000 ha), Kalimantan Timur (10.000 ha), Maluku (190.000 ha), dan Papua (1.700.000 ha)
(Agam dan Persada, 2017). Pembangunan Food Estate di Kalimantan Tengah tidak akan membuka
kembali lahan eks pengembangan lahan gambut (PLG). Pembangunan akan dilakukan dengan
intensifikasi lahan pertanian atau mengoptimalkan pemanfaatan lahan eks PLG dan non eks PLG yang
sudah ada dengan cara meningkatkan indeks pertanaman. Pengoptimalan itu dilakukan dengan
penerapan teknologi 4.0, seperti pemberian bibit unggul (perbaikan varietas), pemupukan berimbang,
dan penggunaan alat mesin pertanian (alsintan), sehingga ditargetkan produktivitas bisa mencapai 7
ton/hektar (Mukti, 2020).

Kemudian syarat penentuan lokasi untuk lahan Food Estate adalah pertama, aspek kesesuaian lahan,
dan/atau kondisi eksisting budidaya di lokasi yang akan dikembangkan. Kedua, Status lahan Clear dan
Clean serta tidak dalam sengketa. Contohnya hutan lindung harus dipilih saat tidak dalam sengketa
karena akan memperlambat kinerja Food Estate. Ketiga, lokasi tidak sedang atau direncanakan (dalam
musim tanam yang sama) melaksanakan atau menerima kegiatan sejenis dari Pemerintah Daerah
maupun Pemerintah Pusat, karen akan membutuhkan waktu yang lama. Keempat, lokasi dilengkapi
dengan koordinat (LU/LS – BB/BT), dan kelima tidak ada ganti rugi lahan terhadap lokasi. Lokasi harus
milik negara. Kemudian di lokasi tersebut sudah memiliki ketersediaan air yang cukup untuk irigasi
dan jaringan irigasinya sudah intensif di masing – masing blok sawah serta memiliki kualitas petani dan
sistem teknologi pendukung produksi pertanian yang baik (Antoro, 2020). Lalu, di lokasi tersebut sudah
mempunyai peralatan dan mesin – mesin pertanian (alsintan) diperlukan untuk mendukung
pembangunan Food Estate. Alsintan itu, antara lain traktor roda 4 dan 2, pompa air, rice
transplatter, hand sprayer, drone tabur benih, dan combine harvester (Mukti, 2020).

Lalu dalam menjalankan Program Food Estate ini ditemui berbagai kendala yaitu, masalah pembebasan
lahan, saat di lapangan tidak mencapai 108 ha. Ada subjek sama dan tidak sesuai aka nada perubahan
data fisik. Tapi pemerintah memiliki jalan keluar yaitu penyelesain dengan sapu jagat, Kedua, irigasi
tersumbat karena pembangunan yang belum merata otomatis akan mempersulit pembangunan irigasi.
Daerah Kalimantan dan Nusa Tenggara banyak lahan yang masih kering jadi sulit untuk irigasi. Ketiga,
manajemen air yang bagus dan bagaimana menyehatkan tanah, SDM masih terbatas petani juga masih
awam sehingga perlu diberi sosialiasasi. Keempat, masalah distribusi pangan yaitu saat
pemanenan, Food Estate hanya ada diluar pulau jawa, sedangkan yang butuh pangan kebanyakan
berasal dari Pulau Jawa. Kendala ada di saat distribusi hasil untuk ke pulau-pulau lain sehingga terjadi
ketidakseimbangan dalam disribusi pangan hasil panen. Kemudian pelaksanaan Program Food
Estate yang berlangsung diatas lahan PLG (Pengembangan Lahan Gambut) di Desa Gunung Mas dan
Pulang Pisang Provinsi Kalimantan Tengah prosesnya tidak semudah direncanakan. Menurut Eli Nur
Nirmala Sri (WRI Indonesia) lahan gambut di Kalimantan Tengah bisa dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian, tetapi dalam prakteknya tidak suistainable dan sifatnya merusak.

Seperti diketahui karakteristik lahan gambut yaitu, mudah mengalami kekeringan dan tidak kembali ke
lahan basah / irreversible drying ketika sudah diolah oleh pertanian jenis lain, hal ini dapat
menyebabkan daya serap air di lahan gambut menurun, Lahan gambut mudah turun atau subsidence,
maksudnya lahan gambut yang sudah diolah tidak memperhatikan kedalaman lahan gambut lapisan
lahan akan semakin tipis dan mudah terbakar, rendahnya daya dukung atau bearing capacity lahan,
rendahnya kandungan unsur hara, dan terbatasnya jumlah mikroorganisme. Desa Gunung Mas dan
Pulang Pisau merupakan dua desa yang memiliki karakteristik tanah yang hampir sama, banyak dampak
negatif yang dirasakan masyarakat hukum adat terhadap lingkungan begitu juga kondisi sosial yang
dialami, antara lain: Dalam proses pengelolaan PLG untuk Food Estate di Desa Gunung Mas dan
Pulang Pisau tidak melakukan pembukaan lahan baru. Hal ini menyebabkan mikroorganisme lahan
gambut menghilang dan mudah turun. Akibatnya ketika musim hujan tiba, hujan turun ditengah- tengah
kondisi lahan gambut olahan, lahan tersebut tidak dapat menampung air hujan dengan baik. Khususnya
dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk
Pembangunan Food Estate, dikatakan bahwa Food Estate adalah usaha pangan skala luas sehingga
akibatnya menghasilkan dampak negatif yaitu deforestasi yang signifikan. Lalu menyebabkan
ekosistem lahan gambut rusak karena diawal pembangunan program Food Estate tidak menerapkan
pembukaan lahan baru. Menurut Direktur Save Our Borneo, alangkah lebih baiknya apabila lahan
gambut yang akan ditanami produk singkong dan padi harus di rehabilitasi terlebih dahulu. Hal tersebut
bertujuan, agar mikroorganisme tidak hilang. Lahan gambut mempunyai karakteristik (baik fisik
maupun kimia) yang berbeda dengan tanah mineral, sehingga untuk menjamin keberlanjutan
pengelolaan lahan, diperlukan penanganan dan pemnafaatannya dilakukan secara hati – hati melalui
pengelolaan berwawasan lingkungan. Selanjutnya, lahan terdegradasi menjadi kering dan mudah
terbakar di musim kemarau, banyak karbon terlepas ke atmosfer dan sungai akibat pengelolaan lahan
gambut yang tidak tepat sehingga dapat mengakibatkan bencana banjir pada musim hujan (Baringbing,
2021). Kemudian permasalahan Program Food Estate berkaitan dengan beberapa isu seperti Isu terkait
pembukaan lahan dan kebakaran hutan di lahan gambut. Rencana pemerintah untuk membuka lahan
eks-PLG untuk dijadikan lokasi cetak sawah baru memunculkan kekhawatiran akan terjadinya
kebakaran berulang di lahan gambut yang berpotensi merugikan negara. Hasil analisis Pantau Gambut
mengenai area terbakar (burned area) menunjukkan bahwa area eks-PLG masih menjadi langganan
kebakaran setiap tahunnya.

Pada tahun 2019, luasan areal terbakar di lahan eks-PLG mencapai 167 ribu hektar (ha). Kondisi ini
berpotensi diperparah dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Permen LHK) No. 24/2020 yang memperbolehkan penggunaan kawasan hutan untuk
pembangunan Food Estate. Kajian kebijakan yang dikeluarkan Indonesian Center for Environmental
Law (ICEL) menemukan bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan Undang- Undang (UU) No.
41/1999 tentang Kehutanan yang telah mengatur secara terbatas pemanfaatan hutan lindung yaitu untuk
pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Dengan
diperbolehkannya penggunaan kawasan hutan lindung menjadi kawasan Food Estate dikhawatirkan
akan meningkatkan laju deforestasi yang justru bertolak belakang dengan kebijakan-kebijakan yang
sudah diterapkan sebagai komitmen Indonesia dalam upaya pencegahan perubahan iklim. Perubahan
iklim berdampak buruk bagi pertanian karena berpotensi memicu terjadinya kekeringan, banjir,
serangan hama, serta menyulitkan petani dalam memprediksi musim panen. Kemudian ada isu sosial,
pada Program Food Estate Kalimantan Tengah adalah penyediaan tenaga kerja yang akan menggarap
program ini dan isu keterlibatan masyarakat lokal. Pasalnya, berdasarkan hasil paparan Direktur
Yayasan Petak Danum, Muliadi, keterlibatan petani dan masyarakat lokal dalam program Food
Estate ini baru di tahap sosialisasi. Perencanaan Food Estate yang tidak melibatkan masyarakat dan
petani lokal akan menyebabkan hilangnya hak kelola tanah untuk pangan dan ruang hidup masyarakat
lokal. Kemungkinan besar tenaga kerja akan didatangkan dalam program transmigrasi untuk menggarap
lahan yang ada. Perencanaan pendatangan transmigran ini juga harus dipersiapkan secara matang,
karena apabila tidak, para pendatang akan sulit beradaptasi dengan budaya lokal sehingga
dikhawatirkan akan menimbulkan konflik antara masyarakat lokal dan pendatang. Selain itu,
keterbatasan pengetahuan transmigran terkait keterampilan yang cukup untuk pertanian di lahan basah
akan menimbulkan masalah lain yang menyebabkan terlantarnya lahan yang dikelola akibat gagal
dalam pengelolaannya.

Selanjutnya, isu produktivitas pertanian padi di lahan gambut, Banyak faktor yang menyebabkan
produktivitas padi di lahan gambut cenderung lebih rendah dibandingkan dengan padi di lahan mineral.
Pertama, rendahnya kandungan unsur hara makro dan mikro yang tersedia untuk tanaman di lahan
gambut membuat produktivitas padi rendah. Lahan gambut sangat miskin unsur hara karena kurangnya
kandungan mineral. Kedua, tingkat keasaman yang tinggi di lahan gambut menyebabkan beberapa jenis
tanaman tidak dapat tumbuh baik. Ketiga, penggunaan teknologi usaha tani yang masih kurang tepat.
Keempat, jika dikelola dengan sistem sawah, gambut juga akan menghasilkan asam-asam organik
beracun. Selain itu, perlu diingat bahwa penggunaan alat berat di atas gambut yang notabene memiliki
daya dukung (bearing capacity) yang rendah akan memicu proses pemadatan gambut yang berdampak
pada penurunan permukaan tanah yang akan menyebabkan banjir di wilayah tersebut. Terakhir, isu
keterbukaan dan keakuratan informasi. Selain isu-isu kontroversial Program Food Estate dan ancaman
kebakaran hutan dan lahan, informasi mengenai lokasi dan luasan cetak sawah pun masih simpang siur.
Beberapa pihak menyebutkan angka luasan rencana cetak sawah yang berbeda-beda. Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan, pihaknya tengah menyiapkan
900.000 ha lahan untuk mendukung program tersebut. Namun, dalam rapat lanjutan pembahasan Food
Estate pada tanggal 23 September 2020, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Food Estate akan
dilakukan di Provinsi Kalimantan Tengah di lahan seluas 148 ribu ha yang sudah memiliki jaringan
irigasi untuk tanaman padi dan 622 ribu ha daerah non-irigasi untuk tanaman singkong, jagung dan
peternakan. Ditengah simpang siur informasi yang beredar, pemerintah belum juga mempublikasikan
hasil kajian kesesuaian lahan dan peta lokasi program cetak sawah ini. Kelanjutan perencanaan lokasi
cetak sawah (ekstensifikasi) tersebut dikhawatirkan masih akan masuk ke area lindung. Jika hal ini
benar terjadi, maka dipastikan akan terjadi dampak sosial dan lingkungan yang besar (Anonim, 2021).

Setelah diterapkannya Program Food Estate ini petani mulai merasakan dampaknya, yaitu Pertama,
memperburuk kesenjangan pemilikan lahan. Pengusaha tidak jarang hadapi petani kecil dengan
ketidakadilan. Kedua, tidak adanya kejelasan regulasi soal distribusi pangan pada Food Estate. 24 juta
petani masih membutuhkan pangan berupa beras. Ketiga, kepemilikan modal bias kepentingan asing.
Keempat, tiadak adanya posisi yang setara bagi petani dalam pola kemitraan. Food Estate hanyalah
jawaban bagi investor dan negara-negara kaya, tetapi bukan bagi puluhan juta petani dan rakyat
kebanyakan di tengah membumbungnya harga pangan dunia.Kemudian Food Estate tidak membuka
kesempatan kepada masyarakta local terkhususnya petani dalam pembuatan keputusan. Hal ini
dirasakan oleh masyarakat di Desa Gunung Mas dan Pulang Pisau ketika Food Estate direncanakan
akan dibangun dilahan PLG tidak meminta pendapat masyarakat lokal, Padahal pada kenyataannya,
masyarakat adalah penduduk yang mengetahui, memahami karakteristik lahan. Berpuluh-puluh tahun
mereka beradaptasi serta bertahan hidup dari pertanian di atas lahan gambut.

Namun realitasnya surat dari Gubernur Kalimantan Tengah No.522/102/Dishut tentang Usulan
Pencadangan Areal untuk Pengembangan food esate di Provinsi Kalimantan Tengah, pada tanggal 20
Februari 2017 merupakan permintan dari Pemerintah Pusat bukan inisatif Pemerintah Daerah (Hartono
2021). Hal tersebut melanggar hukum, dalam pasal 7 ayat 2 huruf F UU No. 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan “memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk didengar pendapatnya
sebelum Keputusan sesuai dengan peraturan perundang-undangan” (Baringbing, 2021). Lalu, program
yang dilakukan untuk meningkatkan pasokan pangan nasional realitasnya telah meminggirkan sumber-
sumber pangan penduduk lokal yang berdampak pada ancaman peri kehidupannya. Proses perampasan
lahan, rekayasa teknologi dan peminggiran pengetahuan lokal akibat proyek Food Estate menyebabkan
sumber pangan penduduk setempat menjadi semakin dikorbankan Kekhawatiran Levang (2003)
semakin diperparah dengan upaya pemerintah untuk menjadikan korporasi sebagai pelaksana program
peningkatan produksi pangan. Rumah tangga tani seolah-olah tidak dianggap lagi sebagai penopang
penting dalam pelaksanaan peningkatan produksi pangan yang diklaim akan menghadapi kondisi
“rentan.” Anggaran subsidi maupun pinjaman modal dengan bunga rendah kemudian juga dialihkan
untuk diberikan kepada korporasi besar yang akan berinvestasi dalam proyek Food Estate. Lahan-lahan
adat yang menjadi sumber pangan dari penduduk setempat telah diambilalih oleh korporasi dan semakin
memperparah kondisi kerawanan pangan yang harus dialami penduduk lokal (Kamim dan Altamaha,
2019).

Lalu, dari pembahasan yang telah dijabarkan tersebut apakah siap Food Estate menjadi program
ketahanan pangan? Sebelumnya telah disebutkan bahwa program Food Estate ini dari rezim ke rezim
selalu mengalami kegagalan karena perencanaan yang tidak matang, selalu terjadi perubahan lanskap
alam dalam skala yang besar sehingga merusak keseimbangan ekosistem, tidak pernah memberikan
ruang untuk proses integrasi sosial – budaya warga setempat, dan pengelolaan Food Estate oleh
korporasi juga memunculkan ruang untuk makelar/free riders yang hanya menguntungkan lapisan elit
sosial dan merugikan posisi masyarakat secara keseluruhan dengan memperbesar ketimpangan sosial,
serta memunculkan praktik – praktik korupsi yang merugikan negara. PLG sejuta hektar di Kalimantan
Tengah jaman Presiden Soeharto, Merauke Integrated Food and Energy Estate era Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, dan Ketapang Food Estate yang direncanakan oleh Menteri BUMN, Dahlan
Iskan, pada tahun 2012 – 2014 merupakan beberapa contoh program Food Estate yang mengalami
kegagalan. Melihat rekam jejak pembentukan Food Estate di Indonesia, beberapa ahli turut
memberikan evaluasinya. Prof. Notohadiprawiro yang dikutip dari laporan investigasi Tempo mencatat
beberapa sumber utama kegagalan PLG, yaitu perancang mengabaikan data tanah sehingga saluran –
saluran primer induk memotong lahan gambut tebal, menyatukan seluruh kawasan proyek dalam satu
kesatuan tata air dengan asumsi bawah tanah, topografi, dan hidrologi di seluruh proyek serba sama.
Padahal tim ahli yang 10 menilai risiko lingkungan telah memperingatkan risiko kegagalan tersebut
kepada pemerintah. Untuk membangun Food Estate dalam skala besar, terdapat empat kriteria yang
harus dipenuhi, yaitu (1) kelayakan agroklimat dan tanah, (2) kelayakan infrastruktur, (3) teknologi,
dan
• aspek sosial Mengutip tulisan Goldstein di tahun 2016 12 mengenai refleksi terhadap
kebijakan Food Estate di Indonesia, PLG sebagai “Mega Rice Project” sepanjang tahun 1995-
1999 dianggap sebagai salah satu bencana lingkungan hidup terbesar dalam rekam jejak
Indonesia, karena selain mengakibatkan kebakaran lahan gambut skala besar, proyek tersebut
bahkan tidak menghasilkan beras. Di Bulungan pun mengalami nasib serupa. Mengutip Setyo
dan Elly dalam penelitian mengenai masalah peningkatan produksi padi melalui proyek Food
Estate di Bulungan di tahun 2018, proyek tersebut tidak dapat dikatakan berjalan optimal
karena setelah enam tahun program berjalan tidak ditemukan adanya hasil yang signifikan.
Beberapa permasalahan yang ditemukan. antara lain status lahan yang belum c l e a n and clear,
peningkatan produksi terfokus pada padi padahal peta mengenai kecocokan tanaman padi
belum tersedia, rendahnya produktivitas, dan infrastruktur pertanian yang tidak memadai.
Pengembangan MIFEE juga tidak luput dari permasalahan. Proyek MIFEE yang
mengalokasikan lebih dari 1 juta ha lahan sebagai pusat pangan nasional. Proyek ini juga
dianggap gagal. Realisasi lahan yang masih bertahan hingga sekarang hanya 400 ha. Belajar
dari hal ini dan melihat akan dibangunnya proyek serupa di masa kini, seharusnya
penyelenggaran proyek tersebut tidak dilakukan dengan spekulatif dan harus memperhatikan
prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Eryan et al., 2020).
• Jika pemerintah benar – benar serius agar program Food Estate ini dapat dijadikan sebagai
ketahanan pangan dalam negeri pemerintah harus memenuhi empat kriteria pengukur
ketahanan pangan yang ditetapkan FAO yaitu : availability, access,
utility dan stability. Availability mengukur ketersediaan pasokan pangan yang mencukupi
kebutuhan masyarakat; access mengukur kemampuan masyarakat dalam memperoleh bahan
pangan yang dibutuhkan, utility menyangkut ukuran apakah masyarakat memiliki asupan
nutrisi yang cukup dari pangan yang dikonsumsi, dan stability mengukur apakah masyarakat
mampu mengakses pangan yang dibutuhkan setiap saat (Sianipar dan Tangkudung, 2020).
Namun, untuk saat ini pemerintah belum dapat memenuhi empat kriteria tersebut, sehingga
dapat dikatakan Food Estate belum bisa menjadi program ketahanan pangan untuk saat ini.
Selain empat kriteria tersebut, menurut Global Food Security Index (GFSI) ada tiga poin
penilaian indeks ketahanan pangan Indonesia yang dibawah rata – rata yaitu Keterjangkauan,
ketersediaaan, dan kualitas. Untuk keterjangkauan, Produk domestik bruto per kapita rendah
dan akses pembiayaan bagi petani masih sulit. Untuk ketersediaan, pengeluaran publik untuk
riset dan pengembangan pertanian kurang, infrastruktur pertanian terbatas, praktik korupsi
dalam distribusi pangan dan pemberian subsidi pada petani masih sering terjadi, dan kehilangan
makanan (food loss) tinggi. Untuk kualitas dan keamanan, keragaman makanan rendah,
ketersediaan mikronutrien pada makanan kurang, dan kualitas protein kurang (Anonim, 2019).
Beberapa rekomendasi untuk percepatan pelaksanaan Food Estate adalah : Pertama, membentuk Badan
Otoritas Food Estate (BOFE) yang ditopang oleh litbang perguruan tinggi untuk memperkuat
perencanaan hingga implementasi, koordinasi lintas disiplin, lintas sektoral dan lintas
kementerian/lembaga. Keberadaan BOFE akan mempertegas komitmen politik pangan nasional,
mengurangi gejolak dan imbas dinamika politik lokal, serta mewadahi aspirasi masyarakat. Kedua,
melakukan mobilisasi Perguruan Tinggi untuk mengawal transformasi sosio- kultur masyarakat dalam
perubahan gaya hidup, sumber nafkah dan aktifitas keseharian. Pendampingan tersebut juga
dimaksudkan untuk mengharmonikan jika muncul guncangan sosial yang nyata dalam masyarakat.
Ketiga, Mengkaji model local partnership dengan investor dalam mengelola lahan tanpa mengalihkan
kepemilikan. Model tersebut perlu sejalan dengan program Reforma Agraria. Model tersebut juga dapat
menepis isu land grabing yang dapat menimbulkan disharmoni. Keempat, Mengembangkan kegiatan
pertanian padat modal secara ramah lingkungan dan hemat input (low exernal input) dapat mengurangi
resistensi masyarakat. Kapasitas dan ketrampilan tenaga lokal ditingkatkan dan ditopang melalui
pendidikan dalam ‘community college. Kelima, Melindungan lokasi sakral masyarakat melalui bentuk
yang lebih produktif seperti penggunaan tanaman bernilai ekonomi atau eksotis sehingga pada
waktunya dapat menjadi unit aktivitas agrowisata disamping memperkuat eksistensi budaya tani yang
ada (Santosa, 2014). Kemudian pemerintah dapat juga mengatasi ancaman krisis pangan dengan cara
berikut :
1. Memperbaiki poin penilaian Indonesia yang masih kurang dalam hal ketahanan pangan
Berdasarkan data yang dipublikasikan oleh Global Food Security Index (GFSI), Indeks Ketahanan
Pangan Indonesia naik dari peringkat 65 pada tahun 2018 menjadi peringkat 62 di tahun 2019. Namun,
menurut data GFSI menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki kekurangan, terutama dari sisi
perbaikan akses distribusi pangan, peningkatan kualitas protein dan mikronutrien pangan,
pemberantasan korupsi, serta perbaikan akses ppembiayaan bagi petani. Oleh karena itu, Indonesia juga
harus memperbaiki poin-poin kekurangan tersebut dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan
nasional.

2. Tidak melakukan alih fungsi kawasan hutan dan gambut


Kawasan hutan dan gambut merupakan sumber makanan, obat-obatan dan keperluan sehari-hari lainnya
bagi masyarakat lokal. Kawasan ini juga merupakan sumber plasma nutfah dan keanekaragaman hayati
yang berperan sangat penting dalam menjamin ketahanan pangan, lingkungan dan kesehatan penduduk
bumi. Selain itu, kawasan hutan dan gambut juga berperan penting dalam menjaga pemanasan global
yang dapat berdampak negatif terhadap ketahanan pangan. Oleh karena itu, mengalihkan fungsi
kawasan ini untuk tujuan produksi pangan dalam jangka panjang justru berdampak sebaliknya, yaitu
mengurangi produksi pangan.

3. Melakukan diversifikasi pangan dengan alternatif pangan lokal


Diversifikasi dinilai baik dalam mengatasi krisis pangan, karena selama ini beras masih menjadi sumber
pangan utama masyarakat Indonesia. Pada penilaian GFSI tahun 2019, Indonesia memperoleh nilai
rendah terkait keanekaragaman pangannya. Diversifikasi pangan dapat dilakukan di lahan-lahan
gambut terdegradasi dengan komoditas pangan lokal yang ramah gambut, misalnya sagu. Pemerintah
dapat membantu masyarakat dalam hal pendampingan, sosialisasi, dan peningkatan kapasitas
masyarakat terkait pengembangan komoditas pangan lokal yang ramah gambut sehingga dapat
mendorong peningkatan ekonomi masyarakat setempat.

4. Intensifikasi lahan pertanian yang sudah ada


Intensifikasi lahan pertanian dapat dimulai dengan mengidentifikasi lahan pertanian yang masih minim
tingkat produktivitasnya. Lahan prioritas intensifikasi dapat ditentukan dengan menggunakan beberapa
faktor, semisal akses distribusi, lokasi yang dekat dengan pasar, gudang penyimpanan, dan lainnya.
Pengembangan lahan pertanian yang sudah ada dapat menjadi solusi tepat guna dalam meningkatkan
produksi dengan cara melakukan peningkatan mekanisasi pertanian, perbaikan irigasi yang kurang
berfungsi, perbaikan pemupukan, dan pemilihan benih unggul padi. Pengolahan pascapanen juga perlu
diperbaiki sehingga produksi dapat ditingkatkan.
Menurut Mukti (2020) Pemberdayaan pertanian lokal dapat dijadikan solusi untuk keberhasilan
Program Food Estate di era sekarang adalah sebagai berikut :
1. Pelaku utama pembangunan Food Estate di Kalimantan Tengah ini terutama adalah para petani
setempat. Kewajiban pemerintah yang utama adalah membantu mereka dengan menjalankan
berbagai usaha yang dapat menciptakan suatu iklim, di mana para pelaku pembangunan ini
bersedia dan mampu melakukan pembangunan Food Estate yang sukses sebagaimana yang
2. Setiap pelaku pembangunan khususnya para petani mempunyai kebebasan memilih, jenis
pembangunan Food Estate apa yang akan mereka lakukan, bagaimana caranya, dan bilamana
pembangunan itu akan dilakukan, untuk apa hasilnya nanti akan digunakan, dan Tetapi di dalam
melakukan haknya untuk memilih, mereka selalu dipengaruhi oleh dua hal pokok yaitu (a) Oleh
kesediaannya sendiri, dan (b) Oleh keadaan yang ada di sekelilingnya, yang terdiri dari modal,
skill, tenaga, alam, dan kebutuhan akan bertambahnya hasil. Berhubungan dengan itu, maka
pemerintah mempunyai kesempatan untuk mengarahkan hak pilih daripada petani dengan
mengatur keadaan yang ada di sekitar petani.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan petani, yang sekaligus juga merupakan faktor- faktor
yang dapat dipergunakan oleh pemerintah untuk melaksanakan program Food Estate terdiri
dari faktor utama dan faktor pelancar. Faktor utama (mutlak) yaitu faktor-faktor yang harus ada
supaya pembangunan pertanian dapat berlangsung, terdiri dari : (a) Pasar untuk hasil produksi,
(b) Teknologi maju, (c) Tersedianya sarana produksi (alat-alat dan bahan-bahan) secara lokal,
(d) Perangsang Produksi, dan (e) Faktor pelancar (akselerator) yaitu faktor-faktor yang dapat
mempercepat terjadinya pembangunan pertanian, yang terdiri dari : (a) Pendidikan
Pembangunan, (b) Kredit produksi, (c) Kegiatan gotong royong oleh para petani, (d) Perbaikan
dan Perluasan Tanah Pertanian, dan (e) Perencanaan Nasional untuk Pembangunan Pertanian.

You might also like