Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 221

KEMENTERIAN1KESEHATAN RI

DIREKTORAT JENDERAL PELAYANAN KESEHATAN


RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO
Jalan Diponegoro No.71 Jakarta 10430 Kotak Pos 1086
Call Center : 1500135 E-mail : info@rscm.co.id Website: www.rscm.co.id

PERATURAN DIREKTUR UTAMA RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO


NOMOR: HK.02.03/4.2/20824/2022
TENTANG
PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPAB)
DI RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
DIREKTUR UTAMA RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO,

Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan


kesehatan maka perlu dilakukan upaya penurunan angka
resistansi antibiotik sehingga dapat meningkatkan
ketepatan dan mengoptimalkan penggunaan antibiotik di
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Direktur
Utama RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo tentang
Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) di RSUP Nasional
Dr. Cipto Mangunkusumo.

Mengingat : 1. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009


tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5063);
2. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 5072);
3. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2014
tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
4. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014
tentang Keperawatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 307, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5612);

5. Peraturan . . .

“ Menolong, memberikan yang terbaik”


JCI
CN 3494.3
-2-

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun


2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2012 tentang
Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor
171, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5340);
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
2052/Menkes/Per/X/2005 tentang Izin Praktik dan
Pelaksanaan Praktik Kedokteran;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 8
Tahun 2015 tanggal 11 Februari 2015 tentang Program
Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit;
8. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
28 Tahun 2021 tanggal 04 Oktober 2021 tentang Pedoman
Penggunaan Antibiotik;
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor :
27 Tahun 2017 tanggal 12 Mei 2017 tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan;
10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 2020 tentang Organisasi dan Tata Kerja RSUP
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo;
11. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
129/Menkes/SK/III/2008 tanggal 06 Februari 2008
tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
KP.03.03/Menkes/254/2018 tanggal 14 Mei 2018 tentang
Pemberhentian dan Pengangkatan Dari Dan Dalam Jabatan
Pimpinan Tinggi Pratama di Lingkungan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia;

13.Keputusan . . .
-3-

13. Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal


Nomor 2/1/10/KES/PMDN/2017 tanggal 1 Maret 2017
tentang Izin Operasional Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo Sebagai Rumah Sakit
Kelas A;
14. Surat Keputusan Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan Republik Indonesia Nomor:
HK.00.06.1.1.4168./2005 tentang Penilaian Infrastruktur
Rumah Sakit untuk mendukung Program Pengendalian
Resistensi Antimikroba (PPRA).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR UTAMA RSUP NASIONAL


Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO TENTANG PEDOMAN
PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPBA) DI RSUP NASIONAL
Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

Pasal 1
Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) di RSUP Nasional
Dr. Cipto Mangunkusumo digunakan sebagai dasar dalam
penggunaan antibiotik secara rasional untuk mengendalikan
terjadinya resistansi antimikroba di RSUP Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo,

Pasal 2
Pedoman Penggunaan Antibiotik dari 7 (tujuh) Kelompok Staf
Medik (KSM) di RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
adalah sebagai berikut :
a. KSM Urologi;
b. KSM Kebidanan dan Penyakit Kandungan;
c. KSM Kesehatan Anak;
d. KSM Neurologi;
e. KSM Bedah;
f. KSM Dermatologi dan Venereologi; dan
g. KSM Penyakit Dalam

Pasal 3 . . .
-4-

Pasal 3
Pedoman Penggunaan Antibiotik di RSUP Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
tercantum sebagai Lampiran yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan ini.

Pasal 4
(1) Sosialisasi dan Pelaksanaan Peraturan ini dilakukan oleh
Direktur Pelayanan Medik, Keperawatan dan Penunjang
melalui Subkomite Pengendalian Resistansi Antimikroba
(PRA) - Komite Pencegahan, Pengendalian Infeksi, dan
Pengendalian Resistansi Antimikroba (PPI-PRA) RSUP
Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo.
(2) Pemantauan dan Evaluasi pelaksanaan Peraturan ini
dilakukan oleh Komite Pencegahan, Pengendalian Infeksi,
dan Pengendalian Resistansi Antimikroba (PPI-PRA)
bersama-sama dengan Tim Penatagunaan Antimikroba
(PGA), Kelompok Staf Medis (KSM) / Instalasi dan Unit Kerja
terkait.

Pasal 5
Dengan diberlakukannya Peraturan ini, maka Peraturan
Direktur Utama RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Nomor: HK 02.04/XI.3/0037/2017 tentang Pedoman
Penggunaan Antibiotik di RSUP Nasional Dr. Cipto
Mangunkusumo, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Pasal 6
Peraturan ini mulai berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 04 Juli 2022
DIREKTUR UTAMA,
Ttd.

LIES DINA LIASTUTI


Lampiran Peraturan Direktur Utama
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Nomor : HK.02.03/4.2/20824/2022
Tanggal : 04 Juli 2022

PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPAB)


DI RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

BAB I

PENDAHULUAN

Antibiotik adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan mengobati infeksi
bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika ada perubahan pada respon bakteri
terhadap pemberian antibiotik tersebut. Dijelaskan oleh WHO, resistensi
antibiotik menjadi penyebab meningkatnya biaya kesehatan, waktu rawat di
rumah sakit yang memanjang, dan meningkatnya kematian. Meningkatnya
resistensi antibiotik sudah sampai pada tingkat yang sangat berbahaya di
berbagai belahan dunia. Kemunculan mekanisme resistensi baru dan menyebar
secara global, mengancam kemampuan kita dalam menangani penyakit-penyakit
infeksius yang biasa terjadi sehingga memperparah penyakit, disabilitas, dan
kematian.1
Resistensi antibiotik dipercepat oleh penyalahgunaan dan penggunaan
antibiotik yang berlebihan, serta pencegahan dan pengendalian infeksi yang
buruk.1 Penggunaan antibiotik profilaksis dalam kasus pembedahan digunakan
untuk mencegah dan mengatasi terjadinya infeksi pada luka operasi dan
mortalitas pascaoperasi dapat diturunkan. Infeksi daerah operasi merupakan
komplikasi pascaoperasi tersering dan terjadi sekitar 5% dari keseluruhan pasien
yang menjalani operasi. Penggunaan antibioitik profilaksis mencapai sepertiga
dari penggunaan antibiotik secara keseluruhan di rumah sakit.2-4
Saat ini resistensi antibiotik terjadi di tiap negara, dengan mikroba yang
paling umum mengalami resistensi meliputi: K.pneumoniae, E.coli, dan S.aureus.
Resistensi juga terjadi pada kasus tuberkulosis, HIV, malaria, dan influenza di
berbagai belahan dunia. Setiap tahunnya infeksi dengan resistensi antibiotik
memakan biaya yang cukup besar yaitu lebih dari 20 miliar USD, dengan
penggunaan obat yang pada umumnya kurang efektif, lebih mahal, dan lebih
toksik.1,5 Di RSCM FKUI penggunaan antibiotik yang tidak rasional memakan
anggaran lebih dari 300 juta selama setahun.
Pedoman penggunaan antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi luka
pascaoperasi tersedia untuk prosedur operasi terbuka.6 Namun di bidang urologi
ada perbedaan dalam pendekatan operasi yang dilakukan untuk penanganan
kasus-kasus urologi. Cukup sering pendekatan operasi yang kami lakukan tidak
membutuhkan insisi, kami menggunakan transluminal (prosedur endoskopi),
transrektal (seperti biopsi prostat), dan/atau teknik yang benar-benar non-invasif
(ESWL).7 Target utama antibiotik profilaksis adalah luka operasi untuk
mengurangi bakteri kontaminan, yaitu organisme yang mengkolonisasi kulit atau
mukosa pada daerah operasi. Pemilihan antibiotik profilaksis berdasarkan
organisme yang paling mungkin menjadi penyebab bukan berdasarkan semua
patogen yang potensial.8 Dalam prosedur urologi, infeksi dapat timbul tidak
hanya dari kulit atau flora dubur, tapi juga dari organisme di sekitar lokasi
operasi (seperti batu struvit, prostatitis subklinis, pemasangan foley kateter dan
stent).7 Ketidaktepatan dalam pemilihan atau dosis antibiotik profilaksis umum
terjadi, hal ini dapat meningkatkan biaya serta menurunkan efikasi.9 Keputusan
dalam administrasi antibiotik profilaksis berdasarkan panduan nasional, pola
resistensi obat setempat, epidemiologi Clostridium difficile-associated diarrhea
(CDAD), dan konsensus setempat yang dikembangkan tim multidisiplin.
Pengambilan keputusan juga dipengaruhi faktor pada pasien yaitu risiko individu
dalam mengalami infeksi daerah operasi, potensi keparahan infeksi daerah
operasi, efektivitas profilaksis pada operasi, dan komplikasi yang mungkin
terjadi.8
Langkah-langkah dapat diambil di semua lapisan masyarakat khususnya
dalam praktik medis di rumah sakit untuk mengurangi dampak dan membatasi
penyebaran dari resistensi antibiotk ini.1 Pedoman penggunaan antibiotik
Departemen Urologi RSCM adalah upaya yang dilakukan untuk membantu dan
meningkatkan pengawasan serta pengendalian terhadap resistensi antibiotik
yang terjadi di RSCM khusunya pada pasien-pasien dengan kasus urologi.
Landasan pembuatan pedoman ini mengacu terhadap Global Action Plan on
Antimicrobial Resistance WHO, National Action Plan Antimicrobial Resistance
Indonesia 2017-2019, Peraturan Menteri Kesehatan No. 8 Tahun 2015 tentang
Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah Sakit.
Pedoman Penggunaan Antibiotik KSM Urologi adalah pedoman yang dibuat
oleh Tim Kelompok Kerja Pencegahan Resistensi Antibiotik (POKJA PRA)
Departemen Urologi untuk digunakan oleh dokter yang melakukan praktik di
RSCM, dalam hal ini adalah dokter umum, PPDS, dan dokter spesialis
Departemen Urologi.
Tujuan dibentuknya PPAB ini adalah untuk dijadikan alur yang akan dipatuhi
dan digunakan oleh seluruh sivitas akademika, meningkatkan ketepatan dan
optimalisasi penggunaan antibiotik dan menurunkan cost of care rumah sakit.
Pedoman ini disusun berdasarkan kasus–kasus yang dijumpai di setiap divisi di
Departemen Urologi, pemilihan antibiotik yang digunakan mengacu pada
Bacterial and Antibiotics Susceptibility Profile at Cipto Mangunkusumo General
Hospital January – December 2019, Evidence Based Medicine terbaru dan hasil
diskusi Departemen Urologi dengan Tim POKJA PPRA FKUI RSCM.
Oleh karena itu, pemberian antibiotik di Departemen Urologi diharapkan
dapat mengacu pada pedoman ini. Penggunaan antibiotik diluar pedoman ini
harus mendapat persetujuan dari Tim konsulen PPRA atau POKJA PPRA
Departemen Urologi.
Kelebihan pedoman ini dibuat berdasarkan data dari profil mikroba di RSCM
dan berpedoman pada panduan terbaru, serta pembuatan panduan ini
dilakukan berdasarkan hasil pertemuan dengan pakar antibiotik dari berbagai
bidang.Namun, pedoman ini memiliki keterbatasan, yaitu tidak bisa digunakan
untuk RS di luar RSCM karena data yang menjadi acuan pembuatan sangat khas
sesuai dengan kondisi di RSCM.
BAB II
ISI
2.1 Daftar Penyakit dan Anjuran Antibiotiknya10-12

Kelas Nama Rute Saat Lama


Daftar Patogen
No Antibiotik Antibiotik Dosis Interval Pembe Pembe Pemberi Efek Samping
Penyakit (RSCM 2017)
Empiris Empiris rian rian an
1 Sistitis non-komplikata
Tata laksana E.coli Pilihan 1 Kotrimoksazol 160/ Per 12 jam PO Pasca 3 hari Reaksi alergi pada
pada Enterococcus Kombinasi 800 mg makan kulit (Sindrome
perempuan faecalis trimetoprim/ Steven Jhonson),
K.pneumonia sulfametoksazo hilang nafus
e l makan, mual,
P.aeruginosa muntah, diare,
pansitopenia

Pilihan 2 Sefadroksil 500 mg Per 12 jam PO Pasca 3 hari Nyeri perut, mual,
Sefalosporin makan muntah, jaundice,
generasi I gangguan ginjal,
infeksi baru
Pilihan 3 Fosfomisin 3g Dosis PO Pasca 1 hari Realsi alergi pada
Golongan lain tunggal makan kulit, flebitis,
hipokalemia,
mual, muntah,
diare
Tata laksana Pilihan 1 Kotrimoksazol 160/80 Per 12 jam PO Pasca 7 hari Reaksi alergi pada
pada pria Kombinasi 0 mg makan kulit (Sindrome
trimetoprim/su Steven Jhonson),
lfametoksazol hilang nafus
makan, mual,
muntah, diare,
pansitopenia
Pilihan 2 Siprofloksasin 500 mg Per 12 jam PO Pasca 7 hari Mual, nyeri perut,
Golongan makan diare, muntah,
kuinolon reaksi alergi pada
kulit
2 Sistitis berulang
E.coli Berdasarkan hasil kultur urin
Enterococcus
faecalis
K.pneumonia
e
P.aeruginosa
3 Pyelonefritis non-komplikata
Oral E.coli Golongan Siprofloksasin 500-750 Per 12 jam PO Pasca 7 hari Mual, nyeri perut,
Enterococcus kuinolon mg makan diare, muntah,
faecalis (resistensi reaksi alergi pada
K.pneumonia harus <10%) kulit
e Atau
P.aeruginosa Kombinasi Kotrimoksazol 160/80 Per 12 jam PO Pasca 14 hari Reaksi alergi pada
trimetoprim/su 0 mg makan kulit, hilang nafus
lfametoksazol makan, mual,
muntah, diare,
pansitopenia
Parenteral Golongan Siprofloksasin 400 mg Per 12 jam IV 7 hari Mual, nyeri perut,
kuinolon (diberik diare, muntah,
an reaksi alergi pada
melalui kulit
infus
lambat)
Atau Levofloksasin 750 mg Per hari IV 7 – 10 Mual, sakit
(diberik hari kepala, diare,
an Laki- insomnia,
melalui laki: 14 konstipasi,
infus hari dispepsia
lambat)
Sefalosporin Sefotaksim 2g Per 8 jam IV 5 hari Kolitis, diare,
generasi III peningkatan BUN,
penigkatan enzim
transaminase,
demam, pruritus,
muntah
4 ISK Kompleks
Kombinasi E.coli Pilihan 1 Amoksisilin 250-500 Per 8 jam PO Pasca Mual, muntah,
amoksisilin + Enterococcus Penisilin mg makan diare, nyeri perut,
aminoglikosi faecalis reaksi alergi pada
da K.pneumonia Dan kulit, gatal
e Gentamisin 2- Per hari IV Edema, iritasi
P.aeruginosa Aminoglikosida 5mg/kg kulit, gatal,
BB terkadang
menurunkan
fungsi ginjal
Pilihan 2 Sefuroksim 250-500 Per 12 jam PO Pasca Diare,
Sefalosporin mg makan menurunnya
generasi II hemoglobin dan
750mg- Per 8 jam IV hematokrit, mual,
7-14 hari muntah, vaginitis
1,5g
Dan Gentamisin 2- Per hari IV Edema, iritasi
5mg/kg kulit, gatal,
Aminoglikosida BB terkadang
menurunkan
fungsi ginjal
Untuk ISK Pilihan 1 Sefoperazon 1-2 g Per 12 jam IV Indurasi pada
Kompleks Sefalosporin lokasi injeksi,
dengan generasi III ruam, diare,
gejala muntah,
sistemik neutropenia,
reaksi alergi pada
kulit
Pilihan 2 Siprofloksasin 500 mg Per 12 jam PO Pasca Mual, nyeri perut,
Golongan makan diare, muntah,
kuinolon reaksi alergi pada
dapat kulit
digunakan bila
resistensi lokal
10%.
Pasien belum
pernah
mendapatkan
kuinolon dalam
waktu 6 bulan

5 Urosepsis
E.coli Sefalosporin Sefotaksim 2g Per 8 jam IV 7-10 hari Kolitis, diare,
Enterococcus generasi III peningkatan BUN,
faecalis Atau peningkatan
K.pneumonia enzim
e transaminase,
P.aeruginosa demam, pruritus,
muntah
Seftriakson 1-2 g Per hari IV 7-10 hari Indurasi pada
lokasi injeksi,
diare, leukopenia,
reaksi alergi pada
kulit, peningkatan
Dan enzin
transaminase
Aminoglikosida Gentamisin 5mg/kg Per hari IV 7-10 hari Edema, iritasi
BB kulit, gatal,
terkadang
menurunkan
fungsi ginjal
6. Uretritis
Infeksi N. gomorrhea Sefalosporin Seftriakson 1g Dosis IM 1 hari Indurasi pada
gonokokal generasi III tunggal lokasi injeksi,
diare, leukopenia,
Atau reaksi alergi pada
kulit, peningkatan
enzin
transaminase
Dan Sefiksim 800 mg Dosis PO 1 hari Diare, nyeri perut,
tunggal kandidiasis,
Golongan pusing, dispepsia,
makrolida peningktan enzim
transaminase,
demam, sakit
kepala
Azitromisin 1-1,5 g Per hari PO Pasca Diare, mual, nyeri
dosis makan perut, BAB cair
tunggal
Infeksi Chlamydia Pilihan 1 Doksisiklin 100 mg Per 12 jam PO Pasca 7 hari Nyeri perut, diare,
nongonokoka trachomatis Golongan makan mual, muntah
l tetrasiklin
Pilihan 2 Azitromisin 1-1,5 g Dosis PO Pasca 1 hari
Golongan tunggal makan
makrolida
Mycoplasma Pilihan 1 Azitromisin 0,5 g Per hari PO Pasca 5 hari Diare, mual, nyeri
genitalium Golongan (hari 1) makan perut, BAB cair
makrolida dilanjut
kan 250
mg (hari
2-5)
Pilihan 2 Moksifloxacin 400 Per hari PO Pasca 5 hari Diare, mual, nyeri
Golongan mg makan perut, BAB cair
kuinolon
Ureaplasma Pilihan 1 Doksisiklin 100 mg Per 12 jam PO Pasca 7 hari Nyeri perut, diare,
urealiticum Golongan makan mual, muntah
tetrasiklin
Pilihan 2 Azitromisin 1 – 1,5 Dosis PO Pasca 1 hari Diare, mual, nyeri
Golongan Atau g tunggal makan perut, BAB cair
makrolida Klaritromisin 500 mg Per 12 jam PO Pasca 7 hari Mual, muntah,
makan nyeri perut,
dispepsia, diare,
reaksi alergi pada
kulit
Trichomonas Golongan Metronidazole 2g Dosis PO Pasca 1 hari Kehilangan nafsu
vaginalis imidazol tunggal makan makan,
kandidiasis, diare,
pusing, mual
Patogen tidak Golongan Doksisiklin 100 mg Per 12 jam PO Pasca 7-10 hari Nyeri perut, diare,
teridentifikas tetrasiklin makan mual, muntah
i Azitromisin 500 mg Per hari PO Pasca 5 hari Diare, mual, nyeri
Atau (hari 1) makan perut, BAB cair
dilanjut
Golongan 250 mg
makrolida (hari 2-
4)
6 Prostatitis Bakterial Kronis
E.coli Golongan Siprofloksasin 250-500 Per 12 jam PO Pasca 4-6 Mual, nyeri perut,
Enterococcus kuinolon mg makan minggu diare, muntah,
faecalis reaksi alergi pada
K.pneumonia kulit
e
P.aeruginosa
7 Epididimitis akut
Risiko gonore Chlamydia Pilihan 1 Siprofloksasin 500 mg Per hari PO Pasca 10-14 Mual, nyeri perut,
rendah (tidak trachomatis Golongan makan hari diare, muntah,
ada duh E.coli kuinolon reaksi alergi pada
tubuh uretra) N.gomorrhea kulit
Pilihan 2 Doksisilin 200 mg PO Pasca 10-14 Nyeri perut, diare,
Golongan (dosis makan hari mual, muntah
tetrasiklin inisial)
100 mg Per 12 jam PO Pasca
(dosis makan
lanjutan
)
Risiko gonore Chlamydia Golongan Seftriakson 500 mg Dosis IM 1 hari Indurasi pada
tinggi trachomatis sefalosporin tunggal lokasi injeksi,
(pertimbangk E.coli generasi III diare, leukopenia,
an opsi N.gomorrhea reaksi alergi pada
parenteral kulit, peningkatan
bila infeksi Dan enzin
berat) transaminase
Golongan Doksisilin 200 mg Per hari PO Pasca 10-14 Nyeri perut, diare,
tetrasiklin (dosis makan hari mual, muntah
inisial)

100 mg Per 12 jam PO Pasca


(dosis makan
lanjutan
)
Pada laki- Chlamydia Golongan Siprofloksasin 500 mg Per hari PO Pasca 10-14 Mual, nyeri perut,
laki yang trachomatis kuinolon makan hari diare, muntah,
tidak aktif E.coli reaksi alergi pada
secara N.gomorrhea kulit
seksual
8 Gangren Fournier
E.coli Golongan Sefotaksim 2g Per 6 jam IV >10 hari Kolitis, diare,
Enterococcus sefalosporin (max 10 hari) peningkatan BUN,
faecalis generasi III penigkatan enzim
K.pneumonia transaminase,
e demam, pruritus,
P.aeruginosa Dan muntah
(Polimikrobial) Metronidazol 500 mg Per 6 jam IV >10 hari Kehilangan nafsu
Golongan makan,
imidazol kandidiasis, diare,
pusing, mual
2.2 Daftar penyakit dan anjuran antibiotiknya pada wanita hamil10-12
Patogen Kelas Nama Rute Saat
Daftar Lama
No. (RSCM, Antibiotik Antibiotik Dosis Interval Pember Pemberi Keterangan
Penyakit Pemberian
2017) Empiris Empiris ian an

1 Bakteriuria E.coli Pilihan 1 Amoksisilin 250-500 Per 8 PO Pascama 2-7 hari


asimptomatis mg jam kan
Enteroco Penisilin 10-14 hari
& ISK ccus 500mg- Per 6-8 IV Pascama (pielonefritis)
komplikata faecalis 1g jam kan
K.pneum
Pilihan 2 Sefoperazon 1-2 g Per 12 IV
oniae
jam
P.aerugi Sefalosporin 2-7 hari
nosa generasi III Sefotaksim 2g Per 8 IV
10-14 hari
jam
(pielonefritis)
Seftriakson 1-2 g Per hari IV

Pilihan 3 Kotrimoksaz 160/800 Per 12 PO Pascama 2-7 hari Hanya


ol mg jam kan digunakan
Kombinasi 10-14 hari
di semester
trimetoprim/ (pielonefritis)
2
sulfametoksa
zol
2.3 Jenis-Jenis Operasi Urologi dan Antibiotik Profilaksis10-15

Prosedur Jenis Patogen Rekomendasi Antibiotik Lama pemberian


Operasi (RSCM, 2017)
Tidak membuka saluran kemih Bersih Tidak dianjurkan

- Didukung
urinalisis/kultur urin yang
steril
- Tidak ada risiko ancaman ke
traktus urinarius bagian atas

Membuka saluran kemih Bersih E.coli Pilihan 1 30-60 menit sebelum


tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
Sefotaksim 2 g IV
Membuka saluran kemih Tercemar E.coli Pilihan 1 Pemberian terapi empiris
dengan membuka saluran Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV
pencernaan K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
Sefotaksim 2 g IV
Pemasangan implan prostetik Bersih E.coli Pilihan 1 30-60 menit sebelum
Operasi area perineal & groin Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV operasi
K.pneumoniae Jika sudah ada infeksi
P.aeruginosa Pilihan 2 saluran kemih
Sefotaksim 2 g IV preoperatif, maka
antibiotik diberikan
secara empiris
Catatan:
Beberapa kondisi pasien yang perlu mendapatkan antibiotik profilaksis:
 Pasien immunocompromised atau mendapatkan terapi imunosupresi periprosedural
 Pasien malnutrisi
 Pasien kebiasaan merokok

2.4 Daftar Tindakan Operasi Urologi dan Antibiotik Profilaksis10-15

Prosedur Jenis Patogen Rekomendasi Antibiotik Lama pemberian Keterangan


Operasi (RSCM 2017)
Nefrostomi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Operasi Terbuka
Bersih
Tidak memerlukan
Sirkumsisi Bersih - antibiotik -

Tidak memerlukan
Orkidopeksi Bersih - -
antibiotik
Tidak memerlukan
Hernioplasty Bersih - -
antibiotik
Hidrokelektomi Tidak memerlukan
Bersih - -
Tidak Terinfeksi antibiotik
Mikroligasi Bersih - Tidak memerlukan -
varikokel antibiotik
Tidak memerlukan
PESA/TESE Bersih - -
antibiotik
Bersih Tercemar
Rekonstruksi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
burried penis, tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
paraffinoma K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Uretroplasti Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Radikal Bersih P.aeruginosa Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
nefrektomi tercemar S.epidermidis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi

Pilihan 2
Sefotaksim 2 g IV
Nefrektomi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Extended Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
pyelolithotomy/ tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
Simple K.pneumoniae
pyelolitotomi/ P.aeruginosa Pilihan 2
Bivalve/ S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Nefrotomi
Reimplantasi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
ureter/Psoas tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
Hitch/Boari Flap K.pneumoniae
Ureteroureterosto P.aeruginosa Pilihan 2
mi/Transureterou S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
reterostomy
Radikal Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
sistektomi/Siste tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
ktomi parsial K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Radikal Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
prostatektomi tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Prostatektomi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
terbuka tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
RA uretra/ Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
Rekonstruksi tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
uretra K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Transplantasi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
ginjal tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Tercemar
Ileal conduit Tercemar E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Augmentasi Buli Tercemar E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Neobladder Tercemar E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Kotor
Debridement Kotor E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Operasi laparoskopik
Bersih Tercemar
LLDN Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
menit sebelum operasi
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Laparoskopik Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
insersi Tenckhoff tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Laparoskopi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
diagnostik k/p tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
orkidopeksi k/p K.pneumoniae
orkidektomi P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Radikal Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
nefrektomi tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Nefrektomi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Radikal Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
sistektomi tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
PCNL Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
URS dengan Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
atau tanpa tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
Litotripsi K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
RIRS Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
RPG Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
APG Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Insersi DJ-stent Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa
S.epidermidis Pilihan 2
Sefotaksim 2 g IV
Ganti DJ-stent Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Aff DJ-stent k/p Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
per URS tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Traktus Bagian Bawah
TURBT Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
TURP Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
TURED Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Sistoskopi Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
evakuasi clot tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Sistoskopi Bersih E.coli Tidak memerlukan Bila hasil
evaluasi tercemar Enterococcus faecalis antibiotik pemeriksaan
K.pneumoniae kultur urin tidak
P.aeruginosa ditemukan bakteri
S.epidermidis Rekomendasi
disesuaikan
dengan hasil
penelitian
Departemen
Urologi
Sachse (internal Bersih E.coli Pilihan 1 dosis tunggal, 30-60
urethrotomy) tercemar Enterococcus faecalis Cefazolin 2 g IV menit sebelum operasi
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Sefotaksim 2 g IV
Kateterisasi Bersih E.coli Tidak memerlukan Rekomendasi
(pemasangan tercemar Enterococcus faecalis antibiotik disesuaikan
kateter uretra) K.pneumoniae dengan hasil
P.aeruginosa penelitian
S.epidermidis Departemen
Urologi

2.4 Daftar Tindakan Urologi Rawat Jalan dan One-Day Care (ODC) dan Antibiotik Profilaksis
Tindakan berikut ini merupakan tindakan urologi yang dapat dilakukan di unit rawat jalan maupun one-day care (ODC) sehingga
pemberian antiibotik dapat diberikan secara oral atau parenteral.
Aff DJ-stent Bersih tercemar E.coli Pilihan 1 dosis tunggal,
Enterococcus Kotrimoksazol 960 mg 60-120 menit
sebelum operasi
faecalis PO
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Levofloxacin 500 mg PO
VCUG Bersih tercemar E.coli Tidak memerlukan
Enterococcus antibiotik
faecalis
K.pneumoniae
P.aeruginosa
S.epidermidis
Sistografi Bersih tercemar E.coli Tidak memerlukan
Enterococcus antibiotik
faecalis
K.pneumoniae
P.aeruginosa
S.epidermidis
ESWL Bersih tercemar Tidak memerlukan Pada pasien dengan risiko
antibiotik tinggi dapat diberikan
antibiotik profilaksis
Pilihan 1
Kotrimoksazol 960 mg PO
dosis tunggal, 60-120 menit
sebelum operasi

Pilihan 2
Levofloxacin 500 mg PO
dosis tunggal, 60-120 menit
sebelum operasi
Businasi Bersih tercemar E.coli Pilihan 1 dosis tunggal,
Enterococcus Kotrimoksazol 960 mg 60-120 menit
sebelum operasi
faecalis PO
K.pneumoniae
P.aeruginosa Pilihan 2
S.epidermidis Levofloxacin 500 mg PO
Urodinamik Bersih tercemar E.coli Tidak memerlukan Pada pasien dengan risiko
Enterococcus antibiotik tinggi dapat diberikan
antibiotik profilaksis
faecalis
K.pneumoniae Pilihan 1
P.aeruginosa Kotrimoksazol 960 mg PO
dosis tunggal, 60-120 menit
S.epidermidis
sebelum operasi

Pilihan 2
Levofloxacin 500 mg PO
dosis tunggal, 60-120 menit
sebelum operasi

Biopsi Prostat Tercemar E.coli Pilihan 1 dosis tunggal,


Transrektal Enterococcus Cefixime 200 mg PO 60-120 menit
faecalis sebelum operasi

K.pneumoniae Pilihan 2
P.aeruginosa Cefadroxil 500 mg PO
S.epidermidis

Pilihan 3
Levofloxacin 500 mg PO
Biopsi Prostat Bersih tercemar E.coli Pilihan 1 dosis tunggal,
Transperineal Enterococcus Cefixime 200 mg PO 60-120 menit
faecalis sebelum operasi

K.pneumoniae Pilihan 2
P.aeruginosa Cefadroxil 500 mg PO
S.epidermidis

Pilihan 3
Levofloxacin 500 mg PO
BAB III

PENUTUP

Masalah resistensi antimikroba terjadi di seluruh dunia dan dapat


merupakan ancaman bagi kesehatan bagi manusia karena menurunkan mutu
pelayanan kesehatan dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, serta
meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi. Oleh
karena itu, keadaan ini harus dicegah.
Resistensi antimikroba antara lain disebabkan oleh penggunaan
antimikroba secara masif pada manusia, dan di bidang pertanian, perikanan,
dan peternakan, sehingga terjadi tekanan selektif yang menyebabkan mikroba
bermutasi menjadi patogen resisten dan/atau membentuk koloni. Selanjutnya
mikroba resisten tersebar meluas karena para pelaksana yang terlibat tidak
menjalankan kewaspadaan standar, kewaspadaan kontak, dan kewaspadaan
transmisi.
Tekanan selektif terjadi akibat penggunaan antimikroba secara salah, yang
sebenarnya tidak dibutuhkan atau tidak ada indikasi, sehingga strategi utama
dan pertama yang harus dilakukan adalah menggunakan antimikroba secara
bijak (prudent use of antibiotic). Strategi untuk menggunakan antimikroba secara
bijak adalah dengan cara melaksanakan panduan praktek klinik (PPK) untuk
penyakit infeksi, dan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB), yaitu
bagaimana menegakkan diagnosis penyakit infeksi dan memilih jenis antimikroba
secara tepat, berapa dosisnya, bagaimana rute pemakaiannya, saat
pemberiannya, dan berapa lama penggunaannya.
Dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) diharapkan
dapat menyumbang secara nyata upaya pengendalian resistensi antimikroba
khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Direktur Utama,

Ttd.

LIES DINA LIASTUTI


DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Antibiotic resistance. [updated 2018 Feb 15; cited
2018 Feb 27). Dapat diakses di https://www.who.int/news-room/fact-
sheets/detail/antibiotic-resistance.
2. Carlès M, Gindre S, Aknouch N, Goubaux B, Mousnier A, Raucoules-Aimé M.
Improvement of surgical antibiotic prophylaxis: a prospective evaluation of
personalized antibiotic kits. J Hosp Infect. 2006 Mar;62(3):372-5.
3. Hall C, Allen J, Barlow G. Antibiotic prophylaxis. 2015 Nov;33(11):542-9.
https://doi.org/10.1016/j.mpsur.2015.08.005.
4. Garner BH, et al. Surgical Site Infections: An Update. Infect Dis Clin North
Am. 2016.
5. Khabbaz R, et al. Emerging and reemerging infectious disease threats. In:
Mendell Douglas and Bannett’s Principles and Practice of Infectious Disease.
8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. p.173.
6. Bratzler DW, Houck PM; and the Surgical Infection Prevention Guideline
Writers Workshop. Antimicrobial prophylaxis for surgery: An advisory
statement from the National Surgical Infection Prevention Project. Am J Surg
2005;189:395-404. http://dx.doi.org/10.1016/j.amjsurg.2005.01.015.
7. Mrkobrada M, et al. CUA Guidelines on antibiotic prophylaxis for urologic
procedures. Can Urol Assoc J. 2015;9(102):13-22.
8. Hall C, Allen J, Barlow G. Antibiotic prophylaxis. 2015 Nov;33(11):542-9.
9. Anderson DJ, Sexton DJ. Antimicrobial prophylaxis for prevention of surgical
site infections in adults. [updated 2018 Mar 9; cited 2018 Dec 30]. Available
from: https://www.uptodate.com/contents/antimicrobial-prophylaxis-for-
prevention-of-surgical-site-infection-in-adults.
10. Bonkat G, Pickard R, Bartoletti R, Cai T, Bruyere F, Geerlings SE, et al. EAU
guidelines on urological infection; 2018.
11. Bonkat G, Pickard R, Bartoletti R, Cai T, Bruyere F, Geerlings SE, et al. EAU
guidelines on urological infection; 2017.
12. Bonkat G, Bartoletti R, Cai T, Bruyere F, Geerlings SE, Koves B, et al. EAU
guidelines on urological infection; 2020
13. Wahyudi I, Birowo P, Sanjaya IPG, Fawzi R, Rasyid N, Mochtar CA. Safety of
clean urologic operations without prophylaxis antibiotic therapy in Cipto
Mangunkusumo Hospital, Jakarta: A double-blind randomized controlled trial
study. Asian Journal of Surgery. 2015;38(4):224-8
14. Lightner DJ, Wymer K, Sanchez J, Kavoussi L. Best Practice Statement on
Urologic Procedures and Antimicrobial Prophylaxis. J Urol. 2020
Feb;203(2):351-6
15. Yamamoto S, Shigemura K, Kiyota H, Arakawa S. Antimicrobial prophylaxis in
urological surgery. Urogenit Tract Infect 2016;11(3):77-85
Lampiran Peraturan Direktur Utama
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Nomor : HK.02.03/4.2/20824/2022
Tanggal : 04 Juli 2022

PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPAB)


DI RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO
BAB I
PENDAHULUAN

Antibiotik merupakan salah satu obat yang saat ini paling banyak digunakan
dalam praktek klinik baik di rawat jalan maupun perawatan di rumah sakit.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan dengan indikasi dan dosis yang tidak
sesuai, merupakan penyebab peningkatan resistensi antibiotik.

Saat ini kita dihadapkan pada permasalahan patogen yang semakin resisten,
laju resistensi yang semakin capat; sebaliknya ketersediaan antibiotik baru yang
sangat sedikit. Berbagai strategi dilakukan untuk menahan laju resistensi, baik
melalui upaya meningkatkan ketepatan penggunaan antibiotik, mencegah
penyebaran kuman resisten di rumah sakit dan mengoptimalisasi penggunaan
antibiotik dalam mengatasi kuman resisten banyak obat (multi drug
resistant/MDR).

1.1 PRINSIP TERAPI ANTIBIOTIK


1. Pilih antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan kuman penyebab, pola
kepekaan dan resistensi di rumah sakit setempat
2. Pertimbangkan kondisi pasien: risiko terinfeksi kuman
Resisten, komorbiditas, risiko bila terjadi kegagalan terapi, terdapatnya
disfungsi dan kegagalan organ yang mempengaruhi ekskresi obat
3. Bila dimungkinkan pilih antimikorba dengan spektrum paling sempit
kecuali pada, infeksi berat atau sepsis
Lakukan strategi de-eskalasi.
Infeksi yang berasal dari komunitas dapat dimulai dengan antibiotik
dengan spektrum sempit (Cephalosporin generasi ke3, Penicillin,
Fluoroquinolon),
Keculai pada infeksi yang didapat dari rumah sakit (Hospital Acquired
Infection/HAI atau Health Care Associated Infections/HCAI), pasien dengan
risiko tinggi terinfeksi patogen MDR, dipertimbangkan antibiotik dengan
spektrum luas seperti golongan carbapenem, beta laktamase inhibitor,
antipseudomonal sefalosporin baik monoterapi atau kombinasi.
4. Sebelum pemberian antibiotik lakukan pemeriksaan pemeriksaan
mikrobiologi dengan sampel yang diambil secara lega artis.
5. Bilamana patogen definit dapat diidentifikasi segera
Mengganti antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit
Berdasarkan pilihan obat untuk patogen tersebut.
6. Lakukan optimalisasi terapi antibiotik bilamana kondisi pasien dengan
infeksi berat atau sepsis, risiko terinfeksi patogen resisten, atau pada hasil
pemeriksaan kultur diidentifikasi kuman MDR
7. Bilamana antibiotik tidak memberikan respon sesuai dengan yang
diharapkan, lakukan evaluasi:
- apakah diagnosis sudah tepat?
- apakah terdapat fokal infeksi yang belum ditata laksana secara
adekuat?
- apakah spektrum antibiotik yang diberikan sesuai?
- apakah dosis yang diberikan cukup?
- apakah cara pemberian sudah tepat?
8. Eskalasi antibiotik dapat dilakukan dengan
- meningkatkan spektrum terapi antibiotik dengan
- mengganti antibiotik ke spektrum yang lebih luas,
- melakukan kombinasi yang rasional
- optimalisasi dosis dan cara pemberian berdasarkan pkpd
9. Deeskalasi dilakukan bilamana:
- patogen definit dapat diidentifikasi
- kondisi klinis/laboratorik pasien menunjukkan perbaikan
- terdapat pilihan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit
- terdapat pilihan antibiotik yang merupakan pilihan untuk patogen
tertentu.
10. Deeskalasi sebaiknya dihindari bilamana:
- hasil kultur merupakan kolonisasi
- klinis pasien belum menunjukkan perbaikan
- tidak terdapat pilihan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit
- risiko tinggi bilamana antibiotik diganti dan
mengalami kegagalan
11. Penghentian antibiotik sebaiknya dilakukan bilamana
- klinis pasien menunjukkan perbaikan
- parameter laboratorik/biomarker perbaikan
- pemeriksaan imaging menunjukan perbaikan
- lama pemberian antiobiotik umumnya paling lama 14 hari untuk
mencegah risiko colateral damage dan resistensi kuman. pada kondisi
tertentu seperti endokarditis, infeksi vaskuler, infeksi pada implan dan
infeksi ssp memerlukan pemberian yang lebih lama (6-8 minggu)

1.2 PROGRAM PENGENDALIAN RESISTENSI ANTIBIOTIK (PPRA)


Upaya meningkatkan ketepatan pemberian antibiotik Mengurangi
penggunaan antibiotik yang tidak diperlukan dengan tujuan menurunkan
angka resitensi

Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam PPRA

1. Membentuk tim PPRA tingkat rumah sakit


2. Menyusun panduan penggunaan antibiotic
3. Menyusun program pengendalian
4. Melakukan sosialisasi dan edukasi
5. Menyusun sistem monitoring dan audit
6. Melakukan surveilans

Tim PPRA tingkat rumah sakit merupakan organisasi dibawah dan


bertanggung jawab kepada komite medik. Tim bertugas melakukan manajemen
dan organisasi PPRA. Tim terdiri dari seorang dokter spesialis penyakit
dalam/konsultan yang memahami aspek penggunaan antimikroba, spesialis
mikrobiologi klinik, perawat dan farmasis.

Panduan penggunaan antibiotik merupakan panduan yang menjadi


pengangan bersama dalam penggunaan antibiotik di rumah sakit. Panduan perlu
disusun bersama-sama pengguna, disepakati bersama. Panduan dapat diadopsi
dari berbagai panduan yang ada, disesuaikan dengan pola kuman setempat dan
ketersediaan antimikroba di rumah sakit.

Kepatuhan terhadap panduan menjadi hal penting yang perlu dilakukan


untuk meningkatkan ketepatan penggunaan antimikroba.

Beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan adalah :

1. Sistem permintaan antibiotik melalui sistem komputer


2. Seleksi permintaan antibiotik oleh farmasi
3. Melakukan pembatasan formularium
4. Melalukan strategi heterogenisitas terapi antimikroba

Pendekatan terhadap pengendalian penggunaan antibiotik perlu disesuaikan


dengan situasi dan kondisi rumah sakit setempat. Pengendalian di rumah sakit
pemerintah dapat dilakukan melalui strategi preotorisasi terhadap kelompok
antimikroba yang direstriksi. Namun di rumah sakit swasta, pendekatan edukasi
dan sosialisasi Harus lebih dikedepankan oleh meningat peran dan ortoritas
dokter yang merawat.

Sistem monitoring dapat dilakukan secara manual dengan mencatat setiap


penggunaan antimikroba menurut indikasi, jenis antibiotik yang digunakan,
lama penggunaan, dosis dan cara pemberian. Pemberian asupan terhadap dokter
yang merawat merupakan upaya edukasi yang berkesinambungan. Setiap
penggunaan antimikroba yang tidak sesuai dengan panduan, perlu mendapat
keterangan alasan pemilihan/penggantian antimikroba tersebut. Bilamana hasil
pemeriksaan kultur dan resistensi sudah didapat, saran mengenai antimikroba
yang sebaiknya dipilih oleh dokter yang merawat dapat diberikan oleh spesialis
mikrobiologi klinik. Audit kuantitatif dan kualitatif merupakan parameter kinerja
PPRA. Audit kuantitatif dilakukan dengan melakukan perhitungan penggunaan
antimikroba dengan difine daily dosage dan audit kualitatif dengan metode
Gyssens.

Penurunan angka resistensi merupakan sasaran PPRA. Surveilans yang


berkesinambungan merupakan upaya yang dilakukan untuk menilai
keberhasilan PPRA. Surveilans dapat dilakukan dengan menghitung
kecenderungan resistensi berbagai patogen yang berasal dari komunitas (E- coli,
K pneumonia) maupun patogen nosokomial.
BAB II
ISI

2.1 Terapi Profilaksis


Histerektomi, Terminasi kehamilan (semua wanita)

Etiologi seperti bakteri anaerob patogen, bacillus enterik gram negatif,


Streptococcus, Enterococcus antibiotik diberikan :

cefazolin 2 g IV atau cefotaxim 2 g IV saat dilakukan induksi

atau

metronidazol 500 mg IV saat dilakukan induksi.1

Seksio Sesarea

Untuk etiologi patogen anaerob seperti Enterococcus faecalis, bacillus aerob


Gram positif, streptokokus, antibiotik yang dapat diberikan adalah:

cefazolin atau cefotaxim 2 g IV, 30 menit sebelum dilakukan induksi 2


2.2 Pedoman Penggunaan Antibiotik Kasus Obstetri
Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM

Diagnosis Patogen yang Paling Sering Lama Perhatian/


Antibiotik dan Dosis
Klinis Ditemukan Pemberian Keterangan

Ampicillin 2 g IV per 6 jam


E.coli, Chlamidia trachomatis, DAN erithromycin 250 mg PO
Neisseria gonorrhea, per 6 jam
48 jam IV
Ketuban pecah Gardnerella vaginalis, Lanjut
lanjut 5 hari
dini Streptococcus beta hemolitikus Amoxicillin 250 mg po per 8
PO
grup B, dan Staphylococcus jam ditambahkan dengan
aureus antibiotik eritromycin 250 mg
PO per 6 jam

Virus: Varisella zoster, Ampicillin sulbactam 1,5 g IV Alergi penisilin:


Coxsackie virus, human per 6 jam atau Cefazolin 2 g IV per 8 jam
parvovirus B19, rubella, CMV, Cefoxitin 2 g IV per 6 jam dan gentamisin loading 2
HIV atau Selama mg/kg IV diikuti 1,5 mg/kg
Bakteri: listeria, sifilis, Ampisilin 2 g IV per 6 jam intrapartum setiap 8 jam atau 5 mg/kg
borrelia DAN gentamisin loading 2 hingga 1 setiap 24 jam
Infeksi Protozoa: toksoplasmosis, mg/kg IV diikuti 1,5 mg/kg dosis atau
Intrauterin/ malaria setiap 8 jam atau 5 mg/kg postpartum Klindamisin 900 mg IV
Korioamnionitis Infeksi ascending (bakteri: setiap 24 jam atau 24 jam setiap 8 jam
streptokokus grup B (risiko atau bebas atau
transmisi 20%), virus: HSV), Ampicillin-sulbactam 3 g IV demam Vankomisin 1 g IV setiap 12
Chlamydia trachomatis, Setiap 6 jam postpartum jam DAN gentamisin loading
Neisseria gonorrhea, atau 2 mg/kg IV diikuti 1,5
Mycoplasma hominis, Piperacillin-Tazobactam 3,375 mg/kg setiap 8 jam atau 5
Trichomonas Vaginalis, and g/6 jam atau 4,5 g IV/8 jam mg/kg setiap 24 jam
Ureaplasma urealyticum. atau
Cefotetan 2 g IV setiap 12 jam
atau
Cefoxitin 2 g IV setiap 8 jam
atau
Ertapenem 1 g IV setiap 24
jam
Bakteri gram positif seperti
Staphylococcus spp,
Streptococcus spp (khususnya
Streptococcus group B dan
lebih sering Streptococcus Alergi penicillin:
Pyogenes), bakteri gram Gentamisin 2 mg/kg loading
negatif seperti Escherichia dosis diikuti 1,5 mg/kg/8
Coli, Klebsiella spp, Gentamicin 2-5 mg/kg IV satu 48-72 jam jam, clindamycin 2-4 x 600-
Metritis Chlamydia trachomatis, dosis segera disertai dengan atau 1 hari 1200 mg IV dan
Proteus spp, Enterobacter ampicillin 4 x1-2 g IV dan bebas ciprofloksasin 2x400 mg IV
spp, Gardnerella vaginalis, metronidazole 3x500 mg IV demam atau
Neisseria spp. Bakteri Amphicillin sulbactam
anaerobik meliputi 4 x 1,5 gram IV
Bacteroides spp,
Peptostreptococcus spp,
lainnya bisa juga disebabkan
oleh Mycoplasma spp,
Ureaplasma spp, Tuberculosis
Streptococcus Pyogenes,
Alergi:
Escherichia coli,
Clindamycin 2-4 x 600-1200
Staphylococcus aureus, Meropenem 3 x 1-2 g IV dan
mg IV, gentamicin 2
streptococcus pneumonia, clindamycin 2-4 x 600-1200
mg/kgBB diikuti 1,5
Sepsis Maternal peptostreptococcus, mg IV dan gentamicin 2-5
mg/kgBB tiap 8 jam,
Bacteroides spp, methicillin mg/kgBB IV (gentamisin
metronidazole 3 x 500 mg IV
resistant S. aureus (MRSA), diberikan hanya sekali)
dan ciprofloksasin 2 x 400
Clostridium septicum,
mg IV.
Morganella morganii
2.3 Pedoman Penggunaan Antibiotik Kasus Ginekologi
Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM

Diagnosis Patogen yang Paling Antibiotik dan Dosis Lama Perhatian/


Klinis Sering Ditemukan Pemberian Keterangan

Servisitis N.gonorrhoeae dan Gonokokus: Dosis tunggal Alternatif:


C.trachomatis Cefixim 400 mg per oral atau Kanamisin 2 g, IM dosis
Levofloksasin 500 mg per oral* tunggal
atau
Tiamfenikol 3,5 g per oral
dosis tunggal
atau
Seftriakson 250 mg IM
dosis tunggal
Non gonokokus Alternatif:
Azitromisisn 1 g per oral ATAU Dosis tunggal Eritromisin 4 x500
Doksisiklin 2x100 mg/hari per 7 hari mg/hari, peroral, 7 hari
oral*
Vaginitis Trikomoniasis, Trikomoniasis Dosis tunggal Metronidazol 2x500
kandidiasis dan Metronidazol 2 g peroral** mg/hari, peroral, selama 7
vaginosis bakterial hari**
Vaginosis bakterialis Dosis tunggal Metronidazol 2x500 mg,
Metronidazol 2 g peroral** selama 7 hari**
atau
Klindamisin 2x300 mg/hari
peroral, selama 7 hari
Kandidiasis vaginitis: Nistatin 100.000 IU
Mikonazol atau klotrimazol 200 3 hari Intravagina setiap hari
mg intravagina selama 7 hari
atau
Klotrimazol 500 mg intravagina Dosis tunggal
atau
Flukonazol 150 mg peroral* Dosis tunggal
atau
Itrakonazol 200 mg peroral* Dosis tunggal
Penyakit Radang N.gonorrhoeae, Gonore dengan komplikasi 5 hari Kanamisin 1x2 g/hari,
Panggul – rawat C.trachomatis, dan Cefixim 1x400 mg/hari, per oral injeksi IM, selama 3 hari
jalan bakteri anaerob, atau atau
(Bacteroides spesies, Levofloksasin* 1x 500 mg/hari, Tiamfenikol* 1x3,5 g/hari,
dan kokus Gram positif) per oral per oral, selama 5 hari
atau
Ceftriakson 1x 250
mg/hari, injeksi IM, selama
3 hari
Klamidiosis Eritromisin 4x500 mg/hari,
Azitromisin 1 g, per oral Dosis tunggal per oral, 7 hari
atau
Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per 7 hari
oral
Bakteri anaerob 14 hari
Metronidazol** 2x500 mg/hari,
per oral
Penyakit Radang Gonore dengan komplikasi 5 hari Kanamisin 1x2 g/hari,
Panggul – rawat Cefixim 1x400 mg/hari, per oral injeksi IM, selama 3 hari
inap atau ATAU
Levofloksasin* 1x 500 mg/hari, Tiamfenikol* 1x3,5 g/hari,
per oral per oral, selama 5 hari
ATAU
Seftriakson 1x 250
mg/hari, injeksi IM, selama
3 hari
Klamidiosis Eritromisin 4x500 mg/hari,
Azitromisin 1 g, per oral Dosis tunggal per oral, 7 hari
atau
Doksisiklin* 2x100 mg/hari, per 7 hari
oral
Bakteri anaerob 14 hari Klindamisin 900 mg injeksi
Metronidazol** 2x500 mg/hari, IM, setiap 8 jam
per oral atau intravena atau
atau Gentamisin 1,5 mg/kg BB,
Kloramfenikol 4x500 mg/hari, per injeksi intravena, setiap 8
oral atau intravena jam
Setelah perbaikan lanjut
Doksisiklin* 2x100 g/hari, per oral, selama 14 hari
atau
Tetrasiklin* 4x500 mg/hari, per oral selama 14 hari
Infeksi Daerah 2017: Paling sensitif
Operasi Klebsiella pneumoniae Klebsiella pneumoniae ss. Pneumoniae: Levofloxacin (75%), Fosfomycin (75%),
ss. pneumoniae Meropenem (66%), Chloramphenicol (61%), Imipenem (58,5%)
(10,90%); Paling sensitif
Escherichia coli E. coli: Meropenem (89,6%), Imipenem (87,9%), Fosfomycin (75,6%), Piperacillin/
(10,34%); Tazobactam (67,6%), Chloramphenicol (65,2%), Levofloxacin (65,2)
Enterococcus faecalis
(7,11%) Paling sensitif
Pseudomonas Sp E.faecalis: Fosfomycin (74,1%), Teicoplanin (71,7%), Tigecyline (71,2%),
Amoxicillin/Clavulanat (67,9%), Ampicillin (48%)

Infeksi Saluran Amoksisilin 3 x 500 mg Sampai hasil


Kemih Sefadroksil 2 x 500 mg kultur keluar
(ISK) - oral Sefaleksin 3 x 250 mg
Sefuroksim 3 x 750 mg – 1.5 g
Amoksisilin 3 x 1 g
Nitrofurantoin 3 x 100 mg (tidak
digunakan pada trimester tiga)
Kotrimoksazol 2 x 960 mg (hanya
boleh digunakan pada trimester
kedua)
Fosfomycin 3 gram dosis tunggal

Infeksi Saluran Seftriakson 1 x 2 g Bakteriuria Alergi atau resisten


Kemih Ampisilin-sulbaktam 4 x 3 g asimtomatik: 3 penisilin dan sefalosporin:
(ISK) - parenteral hari, Sistitis Gentamisin 5-7 mg/kg
akut: 5-7 hari, sebagai dosis awal. Dosis
Pielonefritis: berikutnya diberikan 3-5
10-14 hari mg/kg/hari dalam 3 dosis
terbagi, dengan tetap
memantau kadar
gentamisin serum.
Mastitis Tersering: organisme Eritomisin 4x250-500 mg 10-14 hari
koagulase-positif Flukloksasilin 4x250 mg
Staphylococcus aureus Dikloksasilin 4x125-500 mg
dan staph.albus Amoksasilin 3x250-500 mg
Jarang: Escheria coli Sefaleksin 4x250-500 mg
dan Streptococcus
Bartolinitis – Infeksi polymicrobial Trimetropim sulfamethoxazole
rawat jalan Bakteri staphylococcal 2x1-2 tablet
(termasuk MRSA) dan Doksisiklin 2x100 mg
streptococcal dan gram Clindamycin 3x600 mg
negatif, khususnya E Linezolid 2x600 mg
coli
Bartolinitis – Vancomycin 15 -20 mg/kg setap
rawat inap 8-12 jam
Linezolid 600 mg setiap 12 jam
Daptomycin 4mg/kg sekali sehari
Telavancin 10 mg/kg sekali
sehari
Clindamycin 600 mg setiap 8 jam
* Tidak boleh diberikan kepada ibu hamil, ibu menyusui atau anak dibawah 12 tahun
**Pasien dalam pengobatan metronidazole dianjurkan untuk menghindari minum alcohol

2.4 Terapi Antibiotik Definitif


Terapi antibiotik definitif dapat diberikan jika sudah didapatkan kuman etiologi berdasarkan hasil kultur.
BAB III

PENUTUP

Masalah resistensi antimikroba terjadi di seluruh dunia dan dapat


merupakan ancaman bagi kesehatan bagi manusia karena menurunkan mutu
pelayanan kesehatan dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, serta
meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi. Oleh
karena itu, keadaan ini harus dicegah.

Resistensi antimikroba antara lain disebabkan oleh penggunaan


antimikroba secara masif pada manusia, dan di bidang pertanian, perikanan,
dan peternakan, sehingga terjadi tekanan selektif yang menyebabkan mikroba
bermutasi menjadi patogen resisten dan/atau membentuk koloni. Selanjutnya
mikroba resisten tersebar meluas karena para pelaksana yang terlibat tidak
menjalankan kewaspadaan standar, kewaspadaan kontak, dan kewaspadaan
transmisi.

Tekanan selektif terjadi akibat penggunaan antimikroba secara salah,


yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau tidak ada indikasi, sehingga strategi
utama dan pertama yang harus dilakukan adalah menggunakan antimikroba
secara bijak (prudent use of antibiotic). Strategi untuk menggunakan
antimikroba secara bijak adalah dengan cara melaksanakan panduan praktek
klinik (PPK) untuk penyakit infeksi, dan menerapkan pedoman penggunaan
antibiotik (PPAB), yaitu bagaimana menegakkan diagnosis penyakit infeksi dan
memilih jenis antimikroba secara tepat, berapa dosisnya, bagaimana rute
pemakaiannya, saat pemberiannya, dan berapa lama penggunaannya.

Dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB)


diharapkan dapat menyumbang secara nyata upaya pengendalian resistensi
antimikroba khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Direktur Utama,

Ttd.

LIES DINA LIASTUTI


DAFTAR PUSTAKA

1. Ayeleke RO, Mourad S, Marjoribanks J, Calis KA, Jordan V. antibiotik


prophylaxis for electIVe hysterectomy. Cochrane Gynaecology and Fertility
Group, editor. Cochrane Database Syst Rev [Internet]. 2017 Jun 18 [cited
2018 Aug 14]; Available from:
http://doi.wiley.com/10.1002/14651858.CD004637.pub2
2. Schalkwyk J van, Van Eyk, Nancy. SOGC CLINICAL PRACTICE
GUIDELINE antibiotik Prophylaxis in Obstetric Procedures. 2010 Sep;
3. ACOG Guidance Update: Diagnosis and Management of PROM (Prelabor
Rupture of Membranes).
4. Pedoman Penanganan Klinis Infeksi Intrauterin. Departemen Obstetri
Ginekologi RSCM. 2017;
5. Heine, R. Philips. ACOG COMMITTEE OPINION : Intrapartum Management
of Intraamniotic Infection. 2017 Aug;
6. Bacterial Sepsis following Pregnancy. RCOG Guideline No 64. 2012.
7. Bacterial sepsis in pregnancy. RCOG Guideline No 64a.2012.
8. Pedoman Nasional Penangan Infeksi Menular Seksual 2011, Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2011,.
9. Bacterial and antibiotiks susceptibility profile at Ciptomangunkusumo
general hospital January-June 2016, Department of Clinical Pathology
Ciptomangunkusumo General Hospital, 2016, p 190-196. In.
10. Grabe M, Bjerklund-johansen TE, botto H, Wullt B, Cek M, Naber KG, et
al. Guidelines on urological infection. EAU Guide-lines. Arnhem. The
netherlands: Europe association of urology (EAU); 2015.
11. Chen T kat, Barbieri L Robert. Bartholin gland masses: Diagnosis and
management. Uptodate. Dec 11. 2015.
Lampiran Peraturan Direktur Utama
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Nomor : HK.02.03/4.2/20824/2022
Tanggal : 04 Juli 2022

PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPAB)


DI RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saat ini kita menghadapi permasalahan peningkatan resistensi antibiotik.
Fakta yang ada menunjukkan bahwa terjadi peningkatan angka resistensi
antibiotik namun antibiotik baru terbatas. Permasalahan resistensi di RSCM
adalah terlalu banyak kuman yang resisten terhadap antibiotik akibat pemberian
antibiotik pada kasus yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik, pemberian
antibiotik yang terlalu lama, pemberian antibiotik dengan spektrum luas
walaupun tersedia spektrum yang lebih sempit, tidak digantinya antibiotik
dengan spektrum yang lebih sempit setelah diperoleh hasil pemeriksaan
mikrobiologi, serta pemberian antibiotik untuk profilaksis yang tidak tepat.
Hubungan peningkatan resistensi dengan penggunaan antimikroba antara
lain bahwa (1) resistensi antibiotik lebih sering terjadi pada strain bakteri
penyebab infeksi nosoklomial pada unit di mana antibiotik digunakan secara
intensif, (2) terjadinya infeksi dengan strain yang resisten lebih sering terjadi
pada pasien yang sebelumnya menggunakan antimikroba dengan waktu yang
lama, dan (3) peningkatan angka resistensi di rumah sakit sejalan dengan
peningkatan jumlah penggunaan antimikroba.
Dampak dari resistensi antibiotik ini berhubungan dengan morbiditas dan
mortilitas. Sebagai contoh adalah diperlukannya antibiotik dengan spektrum luas
dengan biaya terapi yang mahal, bertambah lamanya masa perawatan sehingga
meningkatkan biaya perawatan, serta risiko terjadinya komplikasi dan kematian.
Menurut WHO pada tahun 2001, strategi mencegah resistensi antimikroba
yaitu dengan (1) memperbaiki surveilans dan kualitas pemeriksaan mikrobiologi,
(2) memantau penggunaan antibiotik, (3) meningkatkan ketepatan peresepan, (4)
memberikan edukasi kepada tenaga kesehatan professional dan masyarakat, (5)
meningkatkan pengendalian infeksi dan higiene, dan (6) mengembangkan
antibiotik baru dan vaksin. Ketepatan penggunaan antibiotik dinilai secara
kualitatif dengan kriteria Gyssen, yaitu:
1. Kategori 0
Tidak termasuk dalam kategori I-IV, penggunaan antibiotik tepat
2. Kategori I
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat waktu pemberiannya.
3. Kategori II
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat regimen pemberiannya.
a. Tidak tepat dosis
b. Tidak tepat interval pemberian
c. Tidak tepat cara pemberian
4. Kategori III
Pemberian antibiotik yang tidak tepat lama pemberiannya.
a. Terlalu lama
b. Terlalu singkat
5. Kategori IV
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat pilihannya.
a. Ada alternatif antibiotik yang lebih efektif
b. Ada alternatif antibiotik yang lebih aman
c. Ada alternatif antibiotik yang lebih murah
d. Ada alternatif antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit
6. Kategori V
Penggunaan antibiotik tanpa indikasi
7. Kategori VI
Data penggunaan antibiotik tidak lengkap sehingga kualitas pemberian
antibiotik tidak dapat dinilai

Salah satu strategi mencegah resistensi antimikroba adalah dengan


diadakannya Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA). PPRA
bertugas menyusun kebijakan penggunaan antibiotik dan pedoman penggunaan
antibiotik yang akan diimplementasikan dalam pelayanan kepada pasien.
Pedoman penggunaan antibiotik perlu dibuat berdasarkan evidence-based
medicine yang disesuaikan dengan pola kuman rumah sakit setempat.

1.2 Tujuan dan Sasaran


Pedoman Penggunaan Antibiotik bertujuan menurunkan angka resistensi
antibiotik. Sasaran Pedoman Penggunaan Antibiotik adalah untuk meningkatkan
ketepatan penggunaan antibiotik, menurunkan jumlah penggunaan antibiotik
serta mengoptimalisasi penggunaan antibiotik.
1.3 Definisi
Pedoman Penggunaan Antibiotik Departemen Ilmu Kesehatan Anak adalah
pedoman yang dibuat oleh POKJA PRA Departemen Ilmu Kesehatan Anak yang
digunakan oleh dokter yang berpraktik di RSCM, dalam hal ini dokter atau
residen Departemen Ilmu Kesehatan Anak, sebagai bagian dari upaya
menurunkan angka resistensi antibiotik. Pedoman ini merupakan perbaruan dari
pedoman kebijakan penggunaan antibiotik yang telah dibuat pada tahun 2016.
Prinsip Penyusunan Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) adalah:
1) pedoman disusun berdasarkan kesepakatan/ konsensus,
2) Pemilihan antibiotik berdasarkan pada pedoman yang sudah ada (evidence-
based), usulan DPJP/staf di divisi terkait, asupan dari bagian mikrobiologi
klinik, serta ketersediaan dan harga obat (instalasi farmasi).
3) penyusunan pedoman yang praktis dan dapat dilaksanakan bersama
Pedoman Penggunaan Antibiotik ini merupakan bagian dari tugas pokja PRA
Departemen Ilmu Kesehatan Anak sebagai upaya mengendalikan penggunaan
antibiotik Departemen Ilmu Kesehatan Anak pada khususnya, dan RSCM pada
umumnya. Pedoman ini disusun berdasarkan klasifikasi penyakit dan pola
terapi, antara lain terapi empirik atau definitif. Selain itu juga akan disampaikan
kategori antibiotik berdasarkan lini.
Sosialisasi Pedoman Penggunaan Antibiotik dilakukan dengan:
1. Pertemuan Staf/siang klinik dan rapat koordinasi
2. Pertemuan PPDS
3. Pencetakan Brosur/Leaflet/Buku
4. Situs web: ppra-ilmukesehatananak.blogspot.com
5. Email: pprarscm@gmail.com

1.4 Keuntungan, Keterbatasan Dan Saran Pedoman


Keuntungan dari Pedoman Penggunaan Antibiotik ini adalah:
1. Dokter pengguna dimudahkan untuk menentukan antibiotik yang akan
digunakan untuk pasiennya.
2. Pedoman ini berupa buku kecil yang dapat disimpan di saku, dan juga melalui
website sehingga dapat diakses di manapun.
Keterbatasan dari Pedoman Penggunaan Antibiotik ini adalah:
1. Pedoman ini bersifat umum. Dokter harus menilai pasien secara individual.
Jika ingin memberikan antibiotik di luar pedoman ini, harus disetujui oleh
DPJP dan Pokja PRA Departemen Ilmu Kesehatan Anak.
2. Hasil laporan pola kuman dan resistensi dari Departemen Patologi Klinik (PK)
adalah yang tahun lalu, yaitu Januari-Desember 2018.
BAB II
ISI

2.1 Indikasi Penggunaan Antibiotik


A. Prinsip Umum Penggunaan Antibiotik
A.1 Ketepatan diagnosis
A.2 Penggunaan antibiotik secara bijak
A.3 Reaksi anafilaksis
A.4 Edukasi pasien
B. Tujuan Indikasi Pemberian Antibiotik
B.1 Antibiotik Profilaksis
Pemberian antibiotik profilaksis adalah pemberian antibiotik untuk
mencegah infeksi pada pasien yang memiliki fokus infeksi.
B.2 Antibiotik Empiris
Pemberian antibiotik empiris adalah pemberian antibiotik untuk
mengatasi infeksi yang belum diketahui jenis mikroba penyebabnya.
B.3 Antibiotik Definitif
Pemberian antibiotik definitif adalah pemberian antibiotik untuk
mengatasi infeksi yang sudah diketahui jenis mikroba penyebabnya
dan pola resistensinya.
C. Kategori Antibiotik dan Kewenangan
Dalam upaya mengendalikan penggunaannya, antibiotik yang tersedia di
RSCM dikelompokkan berdasarkan kewenangan dalam meresepkannya,
sesuai Formularium RSCM.
D. Persetujuan Penggunaan Antibiotik
Mengacu pada SPO Persetujuan Penggunaan Antibiotik (lihat lampiran 1).
Formulir Monitoring Penggunaan Antibiotik dapat dilihat pada lampiran 2.
2.2 Daftar Kasus, Klasifikasi Dan Cara Penggunaan Antibiotik
Lihat Pedoman Penggunaan Antibiotik Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi:
1. Gastro-Hepatologi
2. Hemato-Onkologi
3. Infeksi Pediatri Tropik
4. Nefrologi
5. Neonatologi
6. Neurologi
7. Pediatri Gawat Darurat
8. Respirologi
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Gastro-Hepatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang
Diagnosis Lama
Paling Sering Antibiotik dan Dosis Perhatian/Keterangan
Klinis Pemberian
Ditemukan

Pengaturan dosis pada pasien gangguan ginjal


Sefiksim
dengan:
Dosis Lazim: 8 mg/kg/hari PO dibagi
Clcr 21-60 ml/min: diberikan 75% dari dosis
dosis tiap 12 jam 5 hari
standar
(Dosis Maksimum Anak: 400 mg/hari),
Clcr <20 ml/min: diberikan 50% dari dosis
ATAU
standar
Seftriakson 1 x 75-100 mg/kg/kali
Pengaturan dosis pada pasien gangguan ginjal
Neonatus: IM, IV
Shigella spp. dengan:
Usia ≤ 7 hari: 50 mg/kg/kali tiap 24
Tidak diperlukan perubahan dengan dosis ≤ 2
jam
g/hari
Usia > 7 hari:
5 hari
≤ 2000 g: 50 mg/kg/kali tiap 24
Pengaturan dosis pada pasien gangguan hati
Disentri jam
dengan:
> 2000 g: 50-75 mg/kg/kali tiap 24
Tidak diperlukan perubahan jika tidak ada
jam
disfungsi ginjal, dosis maksimum 2 g/hari
(Dosis Maksimum Anak: 1 g/hari)

Pengaturan dosis pada pasien gangguan hati


Entamoeba Metronidazol 3 x 15 mg/kg/kali PO dengan:
5 hari
histolytica Penurunan dosis sebesar 50%-67%
Eritromisin 3 x 10 mg/kg/kali PO
Neonatus:
Oral: Etinil suksinat
Usia ≤ 7 hari: 20 mg/kg/hari dibagi
dosis tiap 12 jam
Usia > 7 hari:
< 1200 g: 30 mg/kg/hari dibagi
Campylobacter dosis tiap 8 jam
5 hari
jejuni > 1200 g: 30-40 mg/kg/hari dibagi
dosis tiap 6-8 jam
IV: Laktobionat
Usia ≤ 15 hari; BB: ≤ 1500 g: 25-40
mg/kg/hari dibagi dosis tiap 6 jam
selama 14 hari
(Dosis Maksimum Anak: 5
mg/kg/hari)

Pengaturan dosis pada pasien gangguan hati


Giardia Metronidazol 3 x 5 mg/kg/kali
5 hari dengan:
lamblia
Penurunan dosis sebesar 50%-67%
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Gastro-Hepatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen
Lama
Diagnosis yang Paling
Antibiotik dan Dosis Pemberi Perhatian/Keterangan
Klinis Sering
an
Ditemukan
Doksisiklin
Sebaiknya tidak digunakan untuk pasien di
Kolera Vibrio cholera 4 mg/kg/kali PO,IV tiap 12-24 jam 5 hari
bawah 8 tahun
(Dosis Maksimum Anak: 200 mg/hari)
Metronidazol
3 x 10 mg/kg/kali PO
Neonatus: Per Oral, IV
0-4 minggu, < 1200 g:
7,5 mg/kg/kali tiap 48 jam
Usia ≤ 7 hari:
1200-2000 g: 7,5 mg/kg/kali tiap
Pengaturan dosis pada pasien gangguan hati
Bakteri 24 jam
7 hari dengan:
anaerob > 2000 g: 15 mg/kg/hari dibagi
Diare Penurunan dosis sebesar 50%-67%
dosis tiap 12 jam
persisten
Usia > 7 hari:
1200-2000 g: 15 mg/kg/hari dibagi
dosis tiap 12 jam
> 2000 g: 30 mg/kg/hari dibagi
dosis tiap 12 jam
(Dosis Maksimum Anak: 4 g/hari)
Metronidazol Pengaturan dosis pada pasien gangguan hati
Clostridium
3 x 10 mg/kg/kali PO 7 hari dengan:
difficile
(Dosis Maksimum Anak: 4 g/hari) Penurunan dosis sebesar 50%-67%
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Hemato-Onkologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang Lama


Diagnosis
Paling Sering Antibiotik dan Dosis Pemberi Perhatian/Keterangan
Klinis
Ditemukan an

Bila bebas panas 3 hari, pasien berobat jalan, Oral

Amoksisilin Klavulanat Pengaturan dosis pada pasien gangguan ginjal


50 mg/kg/hari PO dibagi dengan:
Risiko dosis tiap 8 jam ATAU Clcr < 30 ml/min: jangan diberikan tablet 875 mg
3 hari
Rendah atau tablet extended release
Sefotaksim 50 mg/kg/kali Clcr 10-30 ml/min: diberikan 250-500 mg setiap
IV interval 8 jam 12 jam
Clcr < 10 ml/min: diberikan 250-500 mg setiap 24
jam
Febrile - Klebsiela Seftazidim 50 mg/kg/kali
Pengaturan dosis pada pasien gangguan hati
Neutropenia pneumonia, IV tiap 6 jam
dengan:
Dalam P. (Dosis Maksimum Anak: 6
3-5 hari Clcr 30-50 ml/min: diberikan setiap 12 jam
Kemoterapi aeruginosa g/hari)
Clcr 10-30 ml/min: diberikan setiap 24 jam
: (darah)
Clcr < 10 ml/min: diberikan setiap 24-48 jam
- E.coli (urin)
Risiko Seftazidim Bila ANC < 500/ul + demam
Tinggi (Dosis Maksimum Anak: 6
g/hari) Pengaturan dosis Amikasin pada pasien gangguan
ginjal dengan:
Hasil kultur
Amikasin 3-5 hari Loading dose: 5-7,5 mg/kg; dosis berikut dan
darah steril
15-25 mg/kg/kali tiap 24 frekuensi pemberian paling baik dipertimbangkan
jam dengan pengukuran kadar seum dan penilaian
(Dosis Maksimum Anak: insufisiensi ginjal
1,5 g/hari)
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Hemato-Onkologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang
Diagnosis Lama
Paling Sering Antibiotik dan Dosis Perhatian/Keterangan
Klinis Pemberian
Ditemukan

Seftazidime Bila tidak ada perbaikan klinis setelah +


(Dosis Maksimum Anak: 6 amikasin
g/hari)
Pengaturan dosis Flukonazol pada
Amikasin pasien gangguan ginjal dengan:
15-25 mg/kg/kali tiap 24 jam Clcr ≤ 50 ml/min (bukan dialisis):
Febrile
(Dosis Maksimum Anak: 1,5 diberikan 50% dari dosis yang
Neutropenia Risiko
g/hari) direkomendasi
Dalam Tinggi
Pasien hemodialisa: diberikan 100% dari
Kemoterapi
Flukonazol dosis yang direkomendasi setelah dialisis
:
(Dosis Maksimum Anak: 12
mg/kg/hari)
Sefepim
25 mg/kg/kali IV tiap 12 jam
7 hari
(Dosis Maksimum Anak: 2 g tiap
8 jam)

*Stratifikasi Risiko Berdasarkan Klinis :


Kelompok Karakteristik Pasien
Risiko Tinggi Keganasan darah (leukemia, limfoma)
Demam berkepanjangan 7- 14 hari
Keadaan umum buruk,
Terdapat komorbiditas/infeksi
Terdapat syok, hipoalbuminemia
Solid tumor dengan kemoterapi intensif
Solid tumor dengan keterlibatan sumsum tulang
Risiko Rendah Solid tumor dengan kemoterapi konvensional
Demam <7 hari
Hemodinamik stabil dengan komorbiditas ringan
Tidak ada komorbiditas
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Ped. Tropik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang Lama


Diagnosis
Paling Sering Antibiotik dan Dosis Pember Perhatian/Keterangan
Klinis
Ditemukan ian

Kloramfenikol 100 mg/kg/hari PO Tidak direkomendasikan untuk


10-14
(Dosis Maksimum Anak: 2 g/hari) pasien dengan jumlah leukosit
hari
<2000/Ul
Tanpa
Trimetoprim 10 mg/kg/hari-
komplik Salmonella typhi 10-14
Sulfametoksazol 50 mg/kg/hari
asi hari
10-14
Amoksisilin 100 mg/kg/hari
Demam hari
tifoid Dengan Seftriakson (Sefalosporin Gen.III)
komplik 80 mg/kg/hari 5 hari
asi (Dosis Maksimum Anak: 1 g/hari)
Sefiksim (Sefalosporin Gen.III)
10-20 mg/kg/hari PO 10 hari
(Dosis Maksimum Anak: 400 mg/hari)
Salmonella typhi Azitromisin
(multidrug 20 mg/kg/hari 7 hari
resistance) (Dosis Maksimum Anak: 15 mg/kg)
10-14 Tidak direkomendasikan untuk anak
Fluorokuinolon 15 mg/kg/hari
hari < 14 tahun
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Ped. Tropik
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang
Lama Perhatian/
Diagnosis Klinis Paling Sering Antibiotik dan Dosis
Pemberian Keterangan
Ditemukan
Difteri Corynebacterium Penisilin Prokain 50.000-100.000 IU/kg/hari 10 hari
diphtheriae
Bila terdapat riwayat hipersensitifitas Penisilin dapat
diberikan Eritromisin 40mg/kg/hari dibagi 4 dosis
Pertusis Bordetella pertussis Eritromisin 40-50 mg/kg/hari PO dibagi 4 dosis 14 hari
(Dosis Maksimum Anak: 2 g/hari)
atau
Ampisilin 100-200 mg/kg/hari IV dibagi 4 dosis
Tetanus Clostridium tetani Lini pertama: 7-10 hari
Metronidazol IV. Dosis inisial 15 mg/kg/jam, dilanjutkan
dosis 7,5 mg/kg tiap 6 jam PO/IV
(Dosis Maksimum Anak: 4 g/hari)

Lini kedua:
Penisilin Prokain 50.000 IU/kg/kali IM tiap 12 jam
Jika terdapat hipersensitif terhadap Penisilin diberikan
Tetrasiklin 25-50 mg/kg/hari PO dibagi 4 dosis
(Dosis Maksimum Anak: 2 g/hari)

Pilihan lain:
Ampisilin 150 mg/kg/hari IV dibagi 4 dosis
Eritromisin 40–50 mg/kg/hari PO dibagi 4 dosis
Leptospirosis Leptospira Penisilin G 6-8 juta U/m2/hari IV dibagi 6 dosis selama 7 7 hari
hari atau
Ampisilin 100-200 mg/kg/hari IV dibagi 4 dosis atau \
Tetrasiklin 10-20 mg/kg/hari dibagi 4 dosis
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Nefrologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen
Diagnosis yang Paling Lama Perhatian/
Antibiotik dan Dosis
Klinis Sering Pemberian Keterangan
Ditemukan
Seftriakson
Neonatus:
Usia < 7 hari: 50 mg/kg/kali IV tiap 24 jam
Usia > 7 hari :
< 2000 g: 50 mg/kg/kali IV tiap 24 jam
> 2000 g: 50-75 mg/kg/kali IV tiap 24 jam
Anak (> 4 minggu): 50-75 mg/kg/hari IM/IV dibagi dosis tiap 12
jam
(Dosis Maksimum Anak: 2 g/dosis)

E.coli, Dikombinasi dengan: 7 hari atau


Pielonefritis Gentamisin sampai 3
Acinetobacter
ISK akut pada Neonatus: hari bebas
sp., Proteus
anak < 1200 g: 5 mg/kg/kali IV tiap 48 jam (0-7 hari), tiap 36 jam (8- demam
sp.
30 hari),
tiap 24 jam (> 30 hari)
1200-2500 g: 5 mg/kg/kali IV tiap 36 jam (0-7 hari), tiap 24 jam
(> 7 hari)
> 2500 g: 5 mg/kg/kali IV tiap 24 jam (0-7 hari) kemudian
mengikuti
dosis 1 minggu-10 tahun
1 minggu-10 tahun: 8 mg/kg/kali IV tiap 24 jam (hari pertama),
dilanjutkan dengan 6 mg/kg/kali IV tiap 24 jam
> 10 tahun: 7 mg/kg/kali IV tiap 24 jam (hari pertama), dilanjutkan
dengan 5 mg/kg/kali IV tiap 24 jam (maks. 240-360 mg)

*Beberapa pasien mungkin membutuhkan dosis lebih besar atau frekuensi lebih sering (misalnya setiap 6 jam) jika kadar obat
dalam serum masih rendah seperti pada pasien fibrosis kistik, luka bakar luas, atau pasien febrilegranulositopenia; modifikasi dosis
berdasarkan kebutuhan pasien seccara indivial seperti fungsi ginjal, konsentrasi obat dalam serum, dan parameter klinis spesifik
pasien.
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Nefrologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang
Diagnosis Lama Perhatian/
Paling Sering Antibiotik dan Dosis
Klinis Pemberian Keterangan
Ditemukan

Gentamisin
Kontinu (semua pergantian cairan dialisis)
Bakteri Gram
Dosisi inisial: 8 mg/L cairan intraperitoneal (IP)
positif: misalnya
Rumatan: 4 mg/L IP 14 hari
Enterococci,
Intermiten (satu kali sehari)
S.aureus
0,6 mg/kg/hari

−Pada anak Seftriakson


dengan dialisis Bakteri Gram Intermiten (satu kali sehari) 14 hari
peritoneal negatif 1000 mg/L IP
−Diagnosis
Peritonitis pasti Ampisilin sulbaktam
ditegakkan dari Kontinu (semua pergantian cairan dialisis)
analisis rutin Dosis inisial : 750-1000 mg/L IP
dan kultur Bakteri multipel Rumatan : 100 mg/L IP
cairan dialisat dan atau 14 hari
anaerob Intermiten (satu kali sehari)
Ampisilin/sulbaktam 2g/1g tiap 12 jam

Metronidazol IV 500 mg tiap 8 jam


Bakteri multipel Seftazidim dilanjutkan Metronidazol 500 mg/8 jam IV
dan atau
anaerob
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Nefrologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

*Dosis dinaikkan ginjal residual, yaitu memiliki produksi urin lebih dari sama dengan 100 ml/hari sebesar 25% pada pasien yang
masih memiliki fungsi

Patogen yang
Diagnosis Lama Perhatian/
Paling Sering Antibiotik dan Dosis
Klinis Pemberian Keterangan
Ditemukan

Profilaksis pra- Menjelang Sefazolin


insersi kateter insersi kateter 50 mg/kg/kali (maks. 1 g) IV dosis
dialisis peritoneal dialisis tunggal 30-60 menit sebelum
peritoneal operasi, ATAU
1 kali
Sefoperazon
25-60 mg/kg/kali (maks. 1 g) IV
dosis tunggal 30-60 menit sebelum
operasi
Exit site infection Pada anak Sefadroksil
dengan dialisis 15-25 mg/kg/kali PO tiap 12 jam
peritoneal 14 hari
Klindamisin
6 mg/kg/kali PO tiap 6 jam
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang Lama


Diagnosis Klinis Paling Sering Antibiotik dan Dosis Pemberia Perhatian/Keterangan
Ditemukan n
Sefalosporin generasi 3, ATAU
Piperasilin tazobactam IV (non-
fornas?) ATAU
Direkomendasikan
Imipenem 20 - 25 mg/kg/kali meropenem untuk severe
Faktor Risiko : IV tiap 12 jam ATAU 7-14 hari; (perhatian pseudomonas),
Mayor : Klebsiella Meropenem (hanya diberikan Perlu ditanya rate
Ketuban pecah > 24 pneumoniae jika data resistensinya lebih resistensi di perinatology.
jam, Ibu demam, dari 10-15%)
Kjorioamnionitis, DJJ yg
menetap > 160x/menit,
Ketuban berbau. Ertapenem 20 - 40 mg/kg/hari Tergantung pola resistensi.
Sepsis
IV (dihapus) 7-14 hari; Non-Fornas, ketersediaan
Neonat
Minor : saat ini kosong.
orum
Ketuban pecah > 12 Vankomisin 10 mg/kg/kali 7-14 hari; Selengkapnya pada tabel
jam, ibu demam , nilai IV**** keterangan antibiotik
APGAR rendah BBLSR, Ampisilin-sulbactam
UG < 37 mgg, Gemelli, pilihannya
keputihan pd ibu Vankomisin, teikoplanin dan
Staphylococcus
ibu dengan ISK/ linezolid direkomendasikan
aureus non- Maintenance dose dimulai
tersangka ISK, hanya untuk terapi definitif 7-14 hari;
MRSA (MSSA??) setelah 24 jam loading
Teikoplanin 16 mg/kg/kali IV
dose
(loading dose)
8 mg/kg/kali IV
(maintenance dose)
tiap 24 jam
Linezolid 10 mg/kg/kali IV tiap 7-14 hari;
8 jam
Vankomisin 10 mg/kg/kali IV 7-14 hari; Selengkapnya pada tabel
**** keterangan antibiotik
Teikoplanin 16 mg/kg/kali IV
Streptococcus
(loading dose) Maintenance dose dimulai
anhemolyticus 7-14 hari;
8 mg/kg/kali IV setelah 24 jam loading
(maintenance dose) dose
tiap 24 jam

KETERANGAN :

Gentamisin
Berat Badan Umur Interval
( gram ) ( hari ) ( jam )
< 1200 ≤7 48
8– 30 36
>30 24
≥ 1200 ≤7 36
>7 24

Vankomisin
PMA Postnatal Interval
( minggu ) (hari ) ( jam )
≤ 29 0 -14 24
>14 12
30 - 36 0 -14 12
>14 8
37 – 44 0–7 12
>7 8
≥ 45 all 6
Piperacillin – Tazobaktam
PMA Postnatal Interval
( minggu ) (hari ) ( jam )
≤ 29 0 -28 12
>28 8
30 - 36 0 -14 12
>14 8
37 – 44 0–7 12
>7 8
≥ 45 all 8

Amikasin
Usia Gestasi Interval dosis
( minggu ) ( jam )
< 28 36
28 - 29 24
30- 35 18
≥ 36 12
≥ 37, usia > 7 hr 8

Meropenem
Interval :
• Usia ≤ 7 hari : setiap 12 jam
• Usia > 7 hari : setiap 8 jam
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang
Lama Perhatian/
Diagnosis Klinis Paling Sering Antibiotik dan Dosis
Pemberian Keterangan
Ditemukan
Definisi : Lini Pertama:
Pneumonia yang terjadi setelah Piperacillin Tazobaktam
48 jam atau lebih setelah 50 mg/kg/kali IV
7-14 hari;
pemasangan ventilasi mekanik Amikasin 7,5 mg/kg/kali IV
melalui endotracheal tube atau
tracheostomy
Gejala Klinis: Lini Kedua :
Terdapat perburukan Meropenem 20-40 7-14 hari;
pertukaran gas (hipoksemia mg/kg/kali IV
dan hiperkapnea) Tigesiklin 1 mg/kg/kali IV
Acinetobacter sp 7-14 hari;
↓ tiap 12 jam
Ventilator- Terdapat setidaknya 3 kriteria
associated dari tanda dan gejala:
pneumonia awitan baru perubahan sekret Sefoperazon Sulbaktam 25 -
(VAP) aspirat trakhea; instabilitas Pseudomonas sp 60 mg/kg/kali IV tiap 6 - 12 7-14 hari;
suhu; takipneu, dan dispneu; jam
suara napas bronkhial;
wheezing atau ronki;
takikardi/bradikardi;

Radiologi: Imipenem 20 - 25
Klebsiella 7-14 hari;
Terdapat salah satu dari mg/kg/kali IV tiap 12 jam
pneumonia
kriteria X-ray
(Infiltrat baru atau progresif
dan persisten; konsolidasi;
7-14 hari;
kavitasi; pneumatokel)
Laboratorium: Ertapenem 20 - 40
Terdapat salah satu dari mg/kg/hari IV
kriteria laboratorium
(leukopenia/leukositosis;
kultur positif dari aspirasi
trakhea/ cairan pleura)
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Neonatologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang Lama


Diagnosis Klinis Paling Sering Antibiotik dan Dosis Pemberia Perhatian/Keterangan
Ditemukan n
Lini pertama (early onset): Bila ditemukan Gram
Definisi :
Amoksisilin Klavulanat 50 positif, maka lama
Infeksi pada
mg/kg/hari IV dibagi dosis pemberian terapi minimal
membran yang 14-21
tiap 8 jam adalah 14 hari; bila Gram
menyeliputi otak hari
Gentamisin 4 - 5 mg/kg/kali negative maka lama
dan korda spinalis
IV* pemberian terapi minimal
(meningen).
adalah 21 hari.
Gejala Klinis: Lini kedua:
Hampir sama Piperacillin Tazobactam 75
14-21
dengan sepsis, mg/kg/kali IV**
hari
disertai keterlibatan Amikasin 7,5 mg/kg/kali
susunan saraf pusat IV***
seperti penurunan Lini ketiga:
Meningitis 14-21
kesadaran dan Meropenem 20-40 mg/kg/kali
hari
kejang. IV
Laboratorium:
Analisis cairan
serebrospinal (CSS)
termasuk hitung sel
Antibiotik akan disesuaikan
darah putih, kadar
Tidak ada data dengan hasil kultur dan tes
glukosa dan kadar
mikroorganisme resistensi.
protein, pewarnaan
Gram, dan kultur
CSS.
Radiologi:
USG kepala
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Neurologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang
Lama Perhatian/
Diagnosis Klinis Paling Sering Antibiotik dan Dosis
Pemberian Keterangan
Ditemukan
Seftriakson 100 mg/kg/hari IV
dibagi 2 dosis
Neonatus: IM, IV
Diagnosis Usia ≤ 7 hari: 50 mg/kg/kali tiap
pasti 24 jam
Streptococcus
ditegakkan Usia > 7 hari: 14 hari
Meningitis pneumoniae
dari analisis ≤ 2000 g: 50 mg/kg/kali tiap 24
bakterialis
rutin dan jam
kultur cairan > 2000 g: 50-75 mg/kg/kali
serebrospinal tiap 24 jam
(Dosis Maksimum Anak: 1 g/hari)
Haemophilus
influenzae
Seftriakson 100 mg/kg/hari IV
6-8 minggu
dibagi 2 dosis, DAN
Abses otak Metronidazol dosis inisial 15
mg/kg IV, dilanjutkan dengan 7,5 6-8 minggu
mg/kg/kali IV tiap 8 jam
Epilepsi Seftriakson 100 mg/kg/hari IV
14 hari
subdural dibagi 2 dosis
Kejang demam Sefotaksim 50 mg/kg/hari, saran 5 hari
dan infeksi konsul divisi IPT
diluar susunan
saraf pusat
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Emergency Rawat Intensif Anak
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang Lama


Diagnosis Klinis Paling Sering Antibiotik dan Dosis Pembe Perhatian/Keterangan
Ditemukan rian
Sefotaksim 50 mg/kg/kali tiap 6-8 jam
(IV)
Neonatus:
0-4 minggu: < 1200 g: 100 mg/kg/hari
dibagi dosis tiap 12 jam
Usia ≤ 7 hari:
1200-2000 g: 100 mg/kg/hari dibagi
dosis tiap 12 jam
> 2000 g: 100-150 mg/kg/hari dibagi
dosis tiap 8-12 jam
Tanpa
Usia > 7 hari:
Sepsis imunokompresi Klebsiella 7 hari Terapi kombinasi dengan
1200-2000 g: 150 mg/kg/hari dibagi
Komunitas pneumonia Antibiotik Aminoglikosida
dosis tiap 8 jam
> 2000 g: 150-200 mg/kg/hari dibagi
dosis tiap 6-8 jam
Anak:
1 bulan-12 tahun
< 50 kg: 100-200 mg/kg/hari dibagi
dosis tiap 6-8 jam
≥ 50 kg: infeksi sedang hingga parah:
1-2 g tiap 6-8 jam
> 12 tahun: 1-2 g tiap 6-8 jam
(Dosis Maksimum Anak: 12 g/hari)
Seftazidim 50 mg/kg/kali IV tiap 8 jam 7 hari
Pseudomonas
(Dosis Maksimum Anak: 6 g/hari)
Meropenem 10-20 mg/kg/kali IV tiap 6-8 7 hari
Acinetobacter
jam
Dengan Sefotaksim 50 mg/kg/kali IV tiap 6-8 jam
Klebsiella 7 hari
kecurigaan
pneumonia
imunokompresi
Amikasin 15 mg/kg/kali IV tiap 24 jam 7 hari
Pseudomonas
Meropenem 20-40 mg/kg/kali IV tiap 8 7 hari
Acinetobacter
jam
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang
Lama Perhatian/
Diagnosis Klinis Paling Sering Antibiotik dan Dosis
Pemberian Keterangan
Ditemukan
Amoksisilin 90 mg/kg/hari PO dibagi 2
10 hari
dosis
Ampisilin 150-200 mg/kg/hari IV dibagi 4
dosis
Streptococcus
pneumoniae
Resisten golongan Penisilin: Seftriakson
100 mg/kg/hari IV dibagi 2 dosis
Streptococcus Ampisilin 200 mg/kg/hari IV dibagi 4
Pneumonia group A dosis
Komunitas
(CAP) rawat Staphylococcus Sefazolin 150 mg/kg/hari IV dibagi 3 dosis
jalan aureus,
methicillin
CAP
susceptible
Staphylococcus Vankomisin 40-60 mg/kg/hari IV dibagi 3-
aureus, 4 dosis
methicillin
resistant
Haemophyllus Ampisilin 150-200 mg/kg/hari IV dibagi 4
influenza dosis
Pneumonia
Komunitas
(CAP) rawat Ampisilin 150-200 mg/kg/hari IV dibagi 4
inap, imunisasi dosis
lengkap,
resistensi
terhadap
penisilin
minimal
Pneumonia
Komunitas
(CAP) rawat
inap, imunisasi
Seftriakson 50-100 mg/kg/hari IV dibagi 2
tidak lengkap,
dosis
resistensi
terhadap
penisilin
signifikan
Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Respirologi
Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM

Patogen yang
Lama Perhatian/
Diagnosis Klinis Paling Sering Antibiotik dan Dosis
Pemberian Keterangan
Ditemukan
Pneumonia Pseudomonas
Seftazidim 25 mg/kg/hari IV dibagi 3 Awitan dini (< 5 hari),
nosokomial aeruginosa
HAP dosis belum dapat
(HAP) rawat
antibiotik sebelumnya
inap non ICU
Staphylococcus Sefuroksim 150 mg/kg/hari IV dibagi 3
aureus dosis
Enterobacteriacea Sefotaksim 150 mg/kg/hari IV dibagi 3
Awitan dini (< 5 hari),
e dosis
sudah dapat
antibiotik sebelumnya
Haemophilus spp Seftriakson 50-100 mg/kg/hari IV
dibagi 2 dosis
Streptococcus spp Piperasilin tazobactam 80-100
mg/kg/hari IV dibagi 3 dosis
Mycoplasma
Azitromisin 10 mg/kg/hari PO pada
Pneumon pneumoniae,
hari pertama, 5 mg/kg//hari PO pada 5 hari
ia atipik Chlamydophila
hari kedua sampai kelima
pneumoniae
Streptococcus
Protracte
pneumonia,
d
Haemophilus Amoksisilin klavulanat 40 mg/kg/hari
bacterial 14 hari
influenza, PO dibagi 2 dosis
bronchiti
Moraxella
s
catarrhalis
Faringitis Streptococcus beta Amoksisilin 50 mg/kg/hari PO dibagi 1-
10 hari
streptoco hemoliticus group 2 dosis
6 hari
ccal A Alergi penisilin: Azitromisin 12
mg/kg/hari PO
Streptococcus
pneumonia,
Haemophilus
Rinosinu
influenza, Amoksisilin klavulanat 45 mg/kg/hari
sitis 10-14 hari
Moraxella PO dibagi 2 dosis
bakterial
catarrhalis,
Staphylococcus
aureus
Prof Hingky: Untuk skin abses, apa diganti dengan skin and soft tissues infectious-Abscess-purulent cellulitis: first line clindamycin
, untuk severe:vancomycin

Tambahkan kasus infeksi pada kulit (dibawah divisi infeksi)


BAB III

PENUTUP

Masalah resistensi antimikroba terjadi di seluruh dunia dan dapat


merupakan ancaman bagi kesehatan bagi manusia karena menurunkan mutu
pelayanan kesehatan dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, serta
meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi. Oleh
karena itu, keadaan ini harus dicegah.

Resistensi antimikroba antara lain disebabkan oleh penggunaan


antimikroba secara masif pada manusia, dan di bidang pertanian, perikanan,
dan peternakan, sehingga terjadi tekanan selektif yang menyebabkan mikroba
bermutasi menjadi patogen resisten dan/atau membentuk koloni. Selanjutnya
mikroba resisten tersebar meluas karena para pelaksana yang terlibat tidak
menjalankan kewaspadaan standar, kewaspadaan kontak, dan kewaspadaan
transmisi.

Tekanan selektif terjadi akibat penggunaan antimikroba secara salah, yang


sebenarnya tidak dibutuhkan atau tidak ada indikasi, sehingga strategi utama
dan pertama yang harus dilakukan adalah menggunakan antimikroba secara
bijak (prudent use of antibiotic). Strategi untuk menggunakan antimikroba secara
bijak adalah dengan cara melaksanakan panduan praktek klinik (PPK) untuk
penyakit infeksi, dan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB), yaitu
bagaimana menegakkan diagnosis penyakit infeksi dan memilih jenis antimikroba
secara tepat, berapa dosisnya, bagaimana rute pemakaiannya, saat
pemberiannya, dan berapa lama penggunaannya.

Dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) diharapkan


dapat menyumbang secara nyata upaya pengendalian resistensi antimikroba
khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Direktur Utama,

Ttd.

LIES DINA LIASTUTI

42
DAFTAR PUSTAKA

Centers for Disease Control and Prevention Guidelines for Preventing Healthcare-
Associated Pneumonia, 2003, tersedia di
http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5303a1.htm
Daley, Andrew et all […]. Neonatal Pharmacopoeia 2nd Edition. The Royal Women
Hospital, Melbourne. 2005
Gleason, Christine A. Devaskar, Sheruin U. Avery’s disease of the newborn 9th
Edition. Philadelphia. 2012. p: 538-50
Guidelines for the management of hospital-acquired, ventilator-associated and
healthcare-associated pneumonia. Joint statement the American Thoracic Society
and the Infectious Diseases Society of America. Am J Respir Crit Care Med 2005,
171:388-416.
Isaacs, David. Moxon, E.Richard. Hand book of neonatal Infections a practical
guide. London. 1999. p: 123-49
Kemp, Christine A et all […]. Paediatric pharmacopoeia pocket prescriber 1st
Edition. Royal Children Hospital. Parkville. 2005
Loho, Tonny. Astrawinata, Dalima A W. Peta bakteri dan kepekaan terhadap
antibiotik RSUPN Cipto Mangunkusumo Januari-Juni 2012. Jakarta. 2012.
Sastroasmoro S. Panduan pelayanan medis departemen ilmu kesehatan anak
rumah sakit umum rujukan nasional dokter cipto mangunkusumo. 2007.
Shann, Frank. Drug doses 15th Edition. Intensive Care Unit Royal Children
Hospital Parkville, Victoria. 2010
Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan
pediatri tropis. Jakarta: IDAI; 2010.
Takemoto, Carol, K., Hodding, Jane, H., dan Kraus, Donna, M. Pediatric Dosage
Handbook 2010-2011.
WHO. Health Topics: Meningitis. WHO. 2012. Tersedia di
http://www.who.int/topics/meningitis/en/

43
Lampiran Peraturan Direktur Utama
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Nomor : HK.02.03/4.2/20824/2022
Tanggal : 04 Juli 2022

PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPAB)


DI RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

BAB I
PENDAHULUAN

Tatalaksana infeksi sistem saraf pusat (SSP) menjadi tantangan bagi


klinisi karena angka morbiditas dan mortalitas yang masih sangat tinggi.
Kesulitan dalam menentukan diagnosis maupun terapi yang adekuat tidak
jarang dijumpai. Tidak sedikit infeksi SSP yang tidak terdiagnosis karena
kurangnya kesadaran dari dokter yang melakukan pemeriksaan. Di era
penggunaan polymerase chain reaction (PCR) dalam menegakkan diagnosis,
setidaknya 30% pasien dengan kecurigaan infeksi SSP tidak pernah mendapat
diagnosis etiologis, dan 1 dari 3 pasien meninggal karena penyakit tersebut.
Mayoritas antimikroba memiliki kemampuan penetrasi yang rendah di
dalam cairan serebrospinal dan membutuhkan waktu rawat lebih lama untuk
mencapai dosis terapeutik. Dalam beberapa kasus obat tidak dapat masuk ke
dalam kavitas abses hingga pembedahan harus dilakukan. Riset
pengembangan obat untuk infeksi SSP juga membutuhkan kerja sama antara
neurologis dan farmasi untuk memastikan agen terapi dapat melewati sawar
darah otak (blood-brain barrier).
Intensitas penggunaan antimikroba yang tinggi dapat menimbulkan
berbagai masalah, baik dari segi biaya perawatan maupun risiko resistensi
obat. Kedua hal ini dapat mempersulit penanganan infeksi SSP yang sudah
terbukti menantang bagi klinisi dan meningkatkan angka morbiditas serta
mortalitas pasien. Antimikroba tidak terbatas pada antibiotik yang diberikan
untuk infeksi bakteri; antijamur, antiviral dan antiparasit juga merupakan
obat yang rutin diberikan. Oleh karena itu, diperlukan suatu pedoman bagi
klinisi di RSCM dalam menentukan regimen terapi yang bijak untuk pasien
dengan kecurigaan infeksi SSP.
1.1 Definisi

Pedoman Penggunaan Antibiotik Departemen Ilmu Medik Penyakit Saraf


adalah pedoman yang dibuat oleh Divisi Neuroinfeksi-Imunologi agar dapat
digunakan oleh dokter yang berpraktik di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo,
dalam hal ini dokter atau residen, sebagai bagian dari upaya menurunkan
angka resistensi antibiotik.

Prinsip Penyusunan Pedoman Penggunaan Antibiotik (PPAB) sebagai


berikut.

1. Pedoman disusun berdasarkan kesepakatan/konsensus


2. Pemilihan antibiotik didasarkan pada pedoman yang sudah ada
(evidence-based), usulan DPJP/staff di divisi terkait, asupan dari
bagian mikrobiologi klinik, serta ketersediaan dan harga obat
(masukan dari instalasi farmasi).
3. Pedoman harus praktis dan dapat dilaksanakan

Pedoman Penggunaan Antibiotik ini merupakan bagian dari tugas


Departemen Ilmu Medik Penyakit Saraf sebagai upaya untuk mengendalikan
penggunaan antibiotik di Departemen Ilmu Medik Penyakit Saraf khususnya,
dan RSCM pada umumnya. Pedoman ini disusun berdasarkan klasifikasi
penyakit dan pola pengobatan sebagai terapi empirik maupun definitif. Dalam
pedoman ini antibiotik dikelompokkan berdasarkan kewenangan
meresepkannya.

Sosialisasi Pedoman Penggunaan Antibiotik dilakukan dengan cara:

1. Pertemuan Staff Klinik


2. Pertemuan PPDS
3. Pencetakan Brosur/Leaflet/Buku

1.2 Tujuan

Sebagai panduan bagi klinisi dalam pemilihan dan penggunaan


antimikroba secara bijak pada kasus infeksi sistem saraf pusat serta untuk
meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan pasien di RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo.
1.3 Manfaat dan Keterbatasan Pedoman

Manfaat Pedoman Penggunaan Antibiotik:


 Dokter pengguna pedoman dimudahkan dalam menentukan
antibiotik yang akan diberikan kepada pasien.
 Pedoman ini disajikan dalam bentuk buku kecil yang dapat disimpan
di saku, dan dalam bentuk website.
Keterbatasan Pedoman Penggunaan Antibiotik:
 Pedoman ini bersifat umum sehingga dokter harus menilainya sebelum
diterapkan pada pasien. Pemberian antibiotik yang tidak tercantum
dalam pedoman ini, harus mendapat persetujuan DPJP dan Divisi
Neuroinfeksi-Imunologi.
BAB II
ISI

2.1 Sistematika Pedoman Penggunaan Antibiotik


Prinsip Umum Penggunaan Antibiotik
A.1 Ketepatan diagnosis
A.2 Penggunaan antibiotik secara bijak
A.3 Edukasi pasien
Tujuan Pemberian Antibiotik
B.1 Antibiotik Profilaksis
Antibiotik profilaksis adalah antibiotik yang diberikan untuk mencegah
infeksi, khususnya infeksi pascabedah.
B.2 Antibiotik Empiris
Antibiotik empiris adalah antibiotik yang diberikan untuk mengatasi
infeksi yang belum diketahui jenis mikroba penyebabnya. Penggunaan
antibiotik ini harus disertai dengan pewarnaan gram dan/ kultur untuk
mengetahui jenis antibiotik dan pola resistensinya.
B.3 Antibiotik Definitif
Antibiotik definitif adalah antibiotik yang diberikan untuk mengatasi
infeksi yang sudah diketahui jenis mikroba penyebabnya dan pola
resistensinya.

Kategori Antibiotik dan Kewenangan Penggunaan


Dalam upaya mengendalikan penggunaannya, antibiotik yang tersedia di
RSCM dikelompokkan berdasarkan kewenangan dalam meresepkannya sesuai
Formularium RSCM.
2.2 Panduan Penggunaan Antibiotik

Panduan Penggunaan Antibiotik dapat dilihat tabel di bawah ini.

Tabel Terapi Neuroinfeksi-Imunologi Departemen Medik Penyakit Saraf


RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo

*Antibiotik IV lebih dipilih karena ketersediaan obat di RSCM


**Obat termasuk dalam formularium nasional, tetapi non-formularium RSCM
2.3 Pedoman Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
A. Prinsip Umum Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis
A.1 Ketepatan diagnosis
A.2 Penggunaan OAT secara bijak
A.3 Edukasi dan kepatuhan pasien

B. Tujuan Pemberian Obat Anti Tuberkulosis


B.1 OAT Lini 1
Obat Anti Tuberkulosis lini pertama diberikan untuk setiap pasien
dengan kecurigaan infeksi tuberkulosis baru dan tidak resisten obat.
B.2 OAT Lini 2
Obat Anti Tuberkulosis lini kedua diberikan pada pasien dengan infeksi
tuberkulosis resisten obat (MDR).
C. Kategori Obat Anti Tuberkulosis
C.1 OAT Lini 1
 Bakterisidal: Rifampicin, Isoniazid, Pirazinamid, Streptomicin
 Bakteriostatik: Ethambutol
C.2 OAT Lini 2
 Golongan Aminoglikosida: Amikasin, Kanamisin
 Fluorokuinolon Generasi III-IV: Levofloksasin, Moksifloksasin
 Golongan Oksazolidinon: Linezolid
D. Panduan Penggunaan Obat Anti Tuberkulosis
Panduan penggunaan obat dapat dilihat pada lampiran “Terapi
Neuroinfeksi-Imunologi Departemen Medik Penyakit Saraf RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo”.

2.4 Pedoman Penggunaan Antivirus

A. Prinsip Umum Penggunaan Antivirus


A.1 Ketepatan diagnosis
A.2 Penggunaan antivirus secara bijak
A.3 Edukasi pasien
B. Tujuan Pemberian Antivirus
Patogenesis infeksi virus dalam sistem syaraf pusat secara garis besar sama
dengan infeksi virus pada sistem organ yang lainnya. Virus menyerang sel
tubuh inang (host), mengubah susunan DNA dari sel, bereplikasi di dalam
sel inang, dan merusak fungsi sel dalam proses tersebut. Antiviral
diberikan secara umum untuk mencegah replikasi virus dengan harapan
kerusakan sel yang lebih jauh dapat dicegah dan pada akhirnya virus dapat
tereradikasi dari dalam tubuh.
C. Panduan Penggunaan Antivirus
Panduan penggunaan Antivirus dapat dilihat pada lampiran “Terapi
Neuroinfeksi-Imunologi Departemen Medik Penyakit Saraf RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo”.

2.5 Pedoman Penggunaan Antijamur

A. Prinsip Umum Penggunaan Antijamur


A.1 Ketepatan diagnosis
A.2 Penggunaan antijamur secara bijak
A.3 Edukasi pasien
B. Tujuan Pemberian Antijamur
Infeksi pada sistem saraf pusat yang disebabkan oleh jamur paling
banyak disebabkan oleh infeksi oportunistik dari Cryptococcus
neoformans pada pasien dengan kondisi immunosuppressed (HIV-AIDS).
B.1 Anti jamur Fase Induksi
Antijamur fase induksi adalah antijamur yang diberikan saat CrAg
positif atau kultur kriptokokus positif.
B.2 Anti jamur Fase Konsolidasi
Antijamur fase konsolidasi adalah fase lanjutan yang diberikan
selama 8-10 minggu.
B.3 Anti jamur Fase Maintenance
Terapi pada fase maintenance terapi profilaksis yang dimulai setelah
fase induksi dan konsolidasi selesai. Fase ini dimulai ketika kultur
jamur dari CSF negatif dan tetap diberikan sampai kondisi pasien
membaik dan CD4 > 200 sel/µL
C. Panduan Penggunaan Antijamur
Panduan penggunaan Antijamur dapat dilihat pada lampiran “Terapi
Neuroinfeksi-Imunologi Departemen Medik Penyakit Saraf RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo”.

2.6 Pedoman Penggunaan Antiparasit

A. Prinsip Umum Penggunaan Antiparasit


A.1 Ketepatan diagnosis
A.2 Penggunaan antiparasit secara bijak
A.3 Edukasi pasien
B. Tujuan Pemberian Antiparasit
B.1 Antiparasit Fase Akut
Terapi pada fase akut diberikan agar penetrasi obat melalui sawar
otak dapat mencapai dosis terapeutik yang optimal.
B.2 Antiparasit Fase Rumatan
Terapi pada fase rumatan diberikan sampai kondisi imunitas pasien
membaik.
C. Panduan Penggunaan Antiparasit
Panduan penggunaan antiparasit dapat dilihat pada lampiran “Terapi
Neuroinfeksi-Imunologi Departemen Medik Penyakit Saraf RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo”.
BAB III

PENUTUP

Masalah resistensi antimikroba terjadi di seluruh dunia dan dapat


merupakan ancaman bagi kesehatan bagi manusia karena menurunkan mutu
pelayanan kesehatan dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, serta
meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi. Oleh
karena itu, keadaan ini harus dicegah.

Resistensi antimikroba antara lain disebabkan oleh penggunaan


antimikroba secara masif pada manusia, dan di bidang pertanian, perikanan,
dan peternakan, sehingga terjadi tekanan selektif yang menyebabkan mikroba
bermutasi menjadi patogen resisten dan/atau membentuk koloni. Selanjutnya
mikroba resisten tersebar meluas karena para pelaksana yang terlibat tidak
menjalankan kewaspadaan standar, kewaspadaan kontak, dan kewaspadaan
transmisi.

Tekanan selektif terjadi akibat penggunaan antimikroba secara salah,


yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau tidak ada indikasi, sehingga strategi
utama dan pertama yang harus dilakukan adalah menggunakan antimikroba
secara bijak (prudent use of antibiotic). Strategi untuk menggunakan
antimikroba secara bijak adalah dengan cara melaksanakan panduan praktek
klinik (PPK) untuk penyakit infeksi, dan menerapkan pedoman penggunaan
antibiotik (PPAB), yaitu bagaimana menegakkan diagnosis penyakit infeksi dan
memilih jenis antimikroba secara tepat, berapa dosisnya, bagaimana rute
pemakaiannya, saat pemberiannya, dan berapa lama penggunaannya.

Dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB)


diharapkan dapat menyumbang secara nyata upaya pengendalian resistensi
antimikroba khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Direktur Utama,

Ttd.

LIES DINA LIASTUTI


DAFTAR PUSTAKA

1. Nath, A. Neuroinfectious Diseases: A Crisis in Neurology and a Call for


Action. JAMA Neurol. 2015 February ; 72(2): 143–144.
doi:10.1001/jamaneurol.2014.3442.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Panduan
Praktik Klinis Neurologi. Jakarta: Perdossi, 2016.
3. Aninditha T., Wiratman W. Buku Ajar Neurologi. Jakarta: Departemen
Neurologi FKUI-RSCM, 2017.
4. DynaMed [Internet]. Ipswich (MA): EBSCO Information Services. 1995 - .
Record No. T115577, Bacterial Meningitis in Adults; [updated 2018 Nov 30,
cited December 12th 2019. Available
from https://www.dynamed.com/topics/dmp~AN~T115577.
5. DynaMed [Internet]. Ipswich (MA): EBSCO Information Services. 1995 - .
Record No. T113755, Herpes Simplex Encephalitis; [updated 2019 Aug 6,
cited December 12th 2019. Available
from https://www.dynamed.com/topics/dmp~AN~T113755.
6. Fabre V. Herpes Simplex Virus [Internet]. In: Johns Hopkins ABX Guide. The
Johns Hopkins University; 2018. [cited 2019 December 12]. Available from:
https://www.hopkinsguides.com/hopkins/view/Johns_Hopkins_ABX_Guid
e/540242/all/Herpes_Simplex_Virus.
7. Auwaerter PG. CMV, Neurologic [Internet]. In: Johns Hopkins HIV Guide. ;
2015. [cited 2019 December 14]. Available from:
https://www.hopkinsguides.com/hopkins/view/Johns_Hopkins_HIV_Guide
/545043/all/CMV__neurologic.
Lampiran Peraturan Direktur Utama
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Nomor : HK.02.03/4.2/20824/2022
Tanggal : 04 Juli 2022

PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPAB)


DI RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Pemilihan antimikroba untuk pasien harus memperhatikan beberapa faktor.
Pertama, diketahuinya mikroba penyebab infeksi dari hasil kultur atau
berdasarkan perkiraan statistik dan informasi klinis. Diperlukan pula informasi
mengenai kepekaan dari mikroba tersebut. Faktor pasien seperti riwayat alergi
atau efek samping penggunaan obat sebelumnya, usia, gangguan metabolik atau
genetik, kondisi hamil, gangguan fungsi ginjal atau hati, dan tempat terjadinya
infeksi juga mempengaruhi pemilihan antimikroba yang optimal.1 Prinsip
pemilihan antibiotik yang rasional adalah sebagai berikut:2
1. Ketepatan diagnosis dalam menentukan ada tidaknya indikasi
penggunaan antibiotik
2. Memulai terapi pada waktu yang tepat
3. Pemilihan terapi empiris dan profilaksis dengan jenis, dosis, rute, dan
durasi yang tepat
4. Pengumpulan spesimen mikrobiologi dengan teknik dan waktu yang
tepat
5. Mengganti terapi empiris dengan spektrum yang lebih sempit setelah
patogen telah diisolasi
6. Melakukan optimalisasi atau de-eskalasi terapi sesuai pertimbangan
klinis Penggunaan antibiotik profilaksis dalam kasus pembedahan
digunakan untuk
mencegah dan mengatasi terjadinya infeksi pada luka operasi sehingga
morbiditas dan mortalitas pascaoperasi dapat diturunkan. Penggunaan
antibiotik secara bijak akan mengurangi efek samping infeksi daerah operasi,
meningkatkan mutu layanan, dan menurunkan risiko resistensi. Infeksi daerah
operasi merupakan komplikasi pasca operasi tersering dan terjadi sekitar 5%
dari keseluruhan pasien yang menjalani operasi. Penggunaan antibioitik
profilaksis mencapai sepertiga dari penggunaan antibiotik secara keseluruhan
di rumah sakit.3-5 Faktor risiko terjadinya infeksi daerah operasi antara lain
sebagai berikut:6
1. Faktor pasien: jenis kelamin, usia, frailty, dependensi, sosioekonomi, gaya
hidup (penggunaan rokok, alkohol), komorbiditas (diabetes mellitus,
PPOK, gagal jantung kongestif, infark miokard akut, insufisiensi ginjal,
hipertensi, osteoporosis), riwayat pengobatan imunosupresi dan kemoterapi,
lama rawat preoperatif, ASA
2. Faktor operatif: kelas insisi, jenis pembedahan, kompleksitas kasus,
durasi operasi, jumlah perdarahan, implantasi alat medis
3. Faktor institusi: rumah sakit, tenaga medis
Faktor yang mempengaruhi pemilihan antibiotik profilaksis untuk mencegah
infeksi daerah operasi meliputi: penggunaan antibiotik dengan efektivitas yang
telah terbukti efektif (agen yang sesuai secara biologis dan telah teruji pada
studi yang berkualitas tinggi), dengan efek samping serta efek terhadap flora
normal dan imunitas yang minimal.4
Target utama antibiotik profilaksis adalah luka operasi untuk mengurangi
bakteri kontaminan, yaitu organisme yang mengkolonisasi kulit atau mukosa
pada daerah operasi. Pemilihan antibiotik profilaksis berdasarkan organisme
yang paling mungkin menjadi penyebab bukan berdasarkan semua patogen
yang potensial. Keputusan dalam administrasi antibiotik profilaksis
berdasarkan panduan nasional, pola resistensi obat setempat, epidemiologi
Clostridium difficile-associated diarrhea (CDAD), dan konsensus setempat yang
dikembangkan tim multidisiplin. Pengambilan keputusan juga dipengaruhi
faktor pada pasien yaitu risiko individu dalam mengalami infeksi daerah
operasi, potensi keparahan infeksi daerah operasi, efektivitas profilaksis pada
operasi, dan komplikasi yang mungkin terjadi.4
Ketidaktepatan dalam pemilihan atau dosis antimikroba profilaksis umum
terjadi, hal ini dapat meningkatkan biaya serta menurunkan efikasi. Di antara
34.133 pasien yang menjalani pembedahan di Amerika Serikat, terdapat 56%
pasien yang mendapatkan antibiotik dalam waktu satu jam sebelum insisi dan
41% pasien yang dihentikan antibiotiknya dalam waktu 24 jam operasi.7
Penggunaan antibiotik profilaksis bedah batu saluran kemih pada satu senter
di Indonesia sebesar 51,2%.8 Pada suatu studi terhadap 56 pasien fraktur
terbuka di satu senter di Indonesia, terdapat 5,36% (n=3) ketidaktepatan
pemilihan jenis dan dosis antibiotik profilaksis.9
Resistensi antimikroba menjadi salah satu masalah kesehatan terbesar
pada tingkat dunia. Peningkatan ketersediaan dan penggunaan antimikroba
pada manusia dan hewan, bersamaan dengan globalisasi mempercepat
terjadinya persebaran mikroba dengan gen resisten. Mekanisme resistensi yang
baru terus berkembang dan tersebar, fenomena ini menjadi penghambat dalam
pengobatan penyakit infeksi sehingga memperparah penyakit, disabilitas, dan
kematian.10,11

Saat ini, resistensi antibiotik terjadi di tiap negara, dengan mikroba yang
paling umum mengalami resistensi meliputi: K.pneumoniae, E.coli, dan
S.aureus. Resistensi juga terjadi pada kasus tuberkulosis, HIV, malaria, dan
influenza di berbagai belahan dunia. Setiap tahunnya, infeksi dengan resistensi
antibiotik memakan biaya yang cukup besar yaitu lebih dari 20 miliar USD,
dengan penggunaan obat yang pada umumnya kurang efektif, lebih mahal, dan
lebih toksik.10,11 Di RSCM FKUI, penggunaan antibiotik yang tidak rasional
memakan anggaran lebih dari 300 juta selama setahun.
Salah satu upaya pengawasan dan pengendalian terhadap resistensi
antimikroba yaitu dengan membuat suatu pedoman antibiotik yang diberikan
oleh dokter di Departemen Medik Ilmu Bedah RSCM – FKUI, sesuai dengan
Global Action Plan on Antimicrobial Resistance WHO, National Action Plan
Antimicrobial Resistance Indonesia 2017-2019, Peraturan Menteri Kesehatan no.
8 tahun 2015 tentang Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Rumah
Sakit.

1.2 DEFINISI dan TUJUAN


1.2.1 Definisi
Pedoman Penggunaan Antibiotik Departemen Medik Ilmu Bedah adalah
pedoman yang dibuat oleh Tim POKJA PPRA Departemen Medik Ilmu Bedah
untuk digunakan oleh dokter yang melakukan praktik di RSCM, dalam hal ini
adalah dokter atau residen Departemen Medik Ilmu Bedah. Tujuan
dibentuknya PPAB ini adalah - untuk dijadikan alur yang akan dipatuhi dan
digunakan oleh seluruh sivitas akademika, meningkatkan ketepatan dan
optimalisasi penggunaan antibiotik dan menurunkan cost of care rumah sakit.
Pedoman ini disusun berdasarkan kasus – kasus yang dijumpai di setiap divisi
di Departemen Medik Ilmu Bedah, pemilihan antibiotik yang digunakan
mengacu pada Bacterial and Antibiotics Susceptibility Profile at Cipto
Mangunkusumo General Hospital January – December 2016, Evidence Based
Medicine terbaru dan hasil diskusi Departemen Medik Ilmu Bedah dengan Tim
POKJA PPRA FKUI RSCM.
Oleh karena itu, pemberian antibiotik oleh dokter di Departemen Medik
Ilmu Bedah diharapkan dapat mengacu pada pedoman ini. Penggunaan
antibiotik diluar pedoman ini harus mendapat persetujuan dari Tim konsulen
PPRA atau POKJA PPRA Departemen Medik Ilmu Bedah.
1.2.2 Tujuan
1. Standar operasional yang sama dalam menggunakan antibiotik
2. Meningkatkan ketepatan dan optimalisasi penggunaan antibiotik di RS
3. Menurunkan cost of care dan length of stay
4. Menurunkan angka resistensi antibiotik
5. Menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien

1.3 KELEBIHAN DAN KETERBATASAN


1.3.1 Kelebihan
Kelebihan dari adanya pedoman penggunaan antibiotik Departemen Medik Ilmu
Bedah, antara lain:
a. Dibuat berdasarkan data dari profil mikroba di RSCM dan
guideline
terbaru
b. Pembuatan nya di hadiri oleh pakar pakar antibiotik dari berbagai
bidang.
1.3.2 Keterbatasan
Keterbatasan pedoman penggunaan antibiotik Departemen Medik Ilmu Bedah
yaitu tidak bisa di pakai untuk RS yang tingkatannya lebih rendah dari RSCM
karena data yang menjadi acuan pembuatan sangat khas sesuai dengan
kondisi di RSCM.
BAB II
ISI

2.1 PRINSIP UMUM PENGGUNAAN ANTIBIOTIK


2.1.1 Ketepataan Diagnosis
Diagnosis penyakit infeksi memerlukan:
a. Diagnosis klinik, yang didasarkan pada temuan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
b. Diagnosis laboratoris, didapat dari hasil pemeriksaan laboratorium
yang disesuaikan dengan dugaan diagnosis klinis.
c. Diagnosis mikrobiologis, didapat dari hasil pemeriksaan mikrobiologis,
seperti biakan bakteri, pewarnaan gram, dan uji sensitifitas dari
spesimen yang diambil dari fokus infeksi.
Ada tiga sikap dalam menghadapi kemungkinan penyakit infeksi
berdasarkan tata laksana infeksi, antara lain:
a. Observasi, tanpa pemberian antibiotik yaitu pada kasus yang diagnosis
klinisnya belum jelas dan tidak mengancam jiwa.
b. Memberikan antibiotik yang evidence based sesuai dengan clinical
judgement dan dugaan bakteri penyebab infeksi di tempat infeksi.
c. Memberikan antibiotik pada infeksi yang secara klinis diduga kuat ada
infeksi oleh bakteri tertentu, tetapi penyebabnya belum dapat
dibuktikan. Sikap tersebut dikenal dengan therapeutical trial.
Berdasarkan sikap pada poin (b), indikasi penggunaan antibiotik dibedakan
atas indikasi profilaksis, empiris, dan definitif.

2.1.2 Penggunaan antibiotik secara bijak


Kebijakan umum penggunaan antibiotik, antara lain:
a. Penggunaan antibiotik secara bijak adalah penggunaan antibiotik
berspektrum sempit dengan indikasi ketat, dosis memadai, serta lama
penggunaan tidak berlebihan. Indikasi ketat dimulai dengan
melakukan diagnosis penyakit infeksi setepat mungkin berdasarkan
informasi klinis dan pemeriksaan laboratorium. (Antibiotik tidak
diberikan pada penyakit infeksi karena virus, atau penyakit yang dapat
sembuh sendiri (self-limited))

b. Penggunaan antibiotik empiris spektrum luas masih dibenarkan dalam


keadaan tertentu, tetapi evaluasi klinis harus dilakukan setelah 3 hari.
Bila hasil pemeriksaan mikrobiologi telah diperoleh, dilakukan
penyesusaian dengan hasil tersebut (streamlining atau deescalation).
c. Penggunaan antibiotik perlu dihemat agar terhindar dari munculnya
masalah resistensi antimikroba. Antibiotik digunakan dengan
kebijakan penggunaan secara terbatas (restricted), dengan menerapkan
batas kewenangan dalam peresepannya (reserved-antibiotics), dan
pertimbangan biaya (cost effectivenes).
d. Optimasi dosis dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi klinis
pasien, kuman penyebab, letak infeksi, dan sifat farmakokinetik dan
farmakodinamik antibiotik.
e. Konversi parenteral-oral dilakukan sesegera mungkin. Hal tersebut
terbukti memperpendek masa rawat dan menekan biaya obat tanpa
memengaruhi hasil pengobatan.

2.1.3 Reaksi anafilaksis


Reaksi anafilaksis jarang terjadi, tetapi dapat bersifat fatal dan penyebab
paling sering adalah antibiotik. Riwayat alergi pasien harus ditelusuri sebelum
memutuskan memberikan antibiotik. Bila antibiotik diberikan secara im atau
iv, obat yang diperlukan untuk tata laksana reaksi anafilaksis harus tersedia,
yaitu epinefrin injeksi dan deksametason injeksi beserta perangkat
pemberiannya.
Tanda prodromal anafilaksis adalah rasa lemah, lesu, kurang nyaman
di dada dan perut, gatal di hidung dan langit-langit mulut. Selanjutnya akan
terjadi hifung tumpat (rasa tersumbat), leher terasa tercekik, suara serak, sesak
napas, dan sukar menelan. Bila tidak dilakukan tindakan pertolongan, dapat
terjadi muntah, kolik diare dan urtikaria. Terjadi juga udem bibir, lakrimasi,
palpitasi, hipotensi, dan akhirnya pasien jatuh ke dalam renjatan.
Tata laksana renjat anafilaksis, antara lain:
a. Suntikkan 0,01 ml/kgBB epinefrin 1/1000, subkutan, yang dalam keadaan
darurat dapat diberikan im. Suntikan dapat diulang setiap 15 menit sampai
3-4 kali.
b. Pada bekas suntikan dapat diberikan 0.01-0.3 ml epinefrin1/1000.
c. Turniket dipasang dan dikendurkan setiap 10 menit untuk menghambat
penyebaran obat penyerapan alergi.

d. Usahakan pasien mendapat oksigen yang cukup.


e. Segera pasang jalur infus.
f. Trakeostomi diperlukan bila terdapat udema laring berat.
g. Bila terjadi obstruksi total saluran napas, dapat dilakukan fungsi membran
krikotiroid, mengingat hanya tersedia waktu 3 menit untuk menyelamatkan
penderita.
h. Bila tekanan darah tidak kembali normal, dapat diberikan drip vasopresor
yang diencerkan.
i. Kortikosteroid dapat diberikan untuk mempersingkat relaksi anafilaksis
akut.
j. Antihistamin dapat ditambahkan pada keadaan berat.

2.1.4 Edukasi pasien


Pasien yang mendapat terapi antibiotik perlu mendapatkan penjelasan
tentang:
a. Antibiotik adalah obat yang berguna untuk mengatasi infeksi bakteri,
bukan virus, parasit atau jamur.
b. Antibiotik hanya boleh didapat dengan resep dokter.
c. Antibiotik harus digunakan sesuai dengan ketentuang penggunaannya.
d. Penggunaan antibiotik sebaiknya didukung dengan hasil pemeriksaaan
bakteri penyebab, sehingga pada infeksi tertentu diperlukan pemeriksaan
mikrobiologi.
e. Beberapa antibiotik dapat menimbulkan reaksi alergi sehingga pasien yang
punya sifat alergi harus memberitahu dokter yang menanganinya.
f. Pada pasien yang menderita beberapa penyakit tertentu seperti pasien yang
tidak mempunyai limpa, penderita deman reumatik, antibiotik dapat
diberikan sebagai pencegahan.
g. Pasien infeksi yang melanjutkan perawatan dirumah perlu dibekali
informasi tentang pencegahan penularan infeksi kepada anggota keluarga.

2.2 KATEGORI ANTIBIOTIK


2.2.1 Kategori antibiotik berdasarkan tujuan pemberian
Antibiotik dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan tujuan
pemberian, antara lain:

a. Antibiotik profilaksis, digunakan untuk mencegah infeksi daerah


operasi pada pasien bersih dan bersih tercemar. Untuk tabel jenis
operasi akan dijelaskan dalam tabel di bawah ini.

Kelas/ Klasifikasi Kemungkinan kontaminasi


Kelas I/ bersih Luka operasi yang tidak menunjukkan tanda- tanda
infeksi atau peradangan; operasi tidak termasuk jalur
masuk dari traktus respirasi, digestif, genital atau
urinarius. Operasi yang kondisi aseptik dapat
dipertahankan secara penuh: luka operasi tertutup secara
primer dan bila perlu drainase menggunakan sistem yang
tertutup. Luka operasi setelah luka trauma non- penetrasi
dimasukkan dalam kelas ini bila memenuhi kriteria di
atas.
Kelas II/ bersih Operasi yang membuka traktus respirasi, digestif, genitalia
tercemar dan urinaria dengan kondisi kontaminasi yang terkontrol dan
tanpa kontaminasi yang abnormal. Operasi saluran bilier,
appendiks, vagina dan orofaring yang tidak ada tanda infeksi
dan dapat mempertahankan kondisi aseptik
secara penuh, termasuk dalam kelas ini.

Kelas III/ tercemar Trauma terbuka yang baru (kurang dari 7 jam setelah
kejadian). Prosedur bedah dengan teknis steril mayor (bedah
jantung terbuka), atau dengan kontaminasi yang signifikan
dari saluran cerna. Luka yang akut, dengan peradangan non
purulen
termasuk dalam kelas ini.
Kelas IV/ kotor Trauma lama (lebih dari 7 jam setelah kejadian) dengan
jaringan non vital dan dengan infeksi klinis yang sudah ada
sebelumnya, atau perforasi viscera. Definisi ini
menganjurkan bahwa organisme yang menyebabkan infeksi
pasca operasi sudah ada pada area operasi sebelum
pembedahan.

b. Antibiotik empiris, digunakan untuk mengatasi infeksi yang belum


diketahui jenis mikroba penyebabnya. Penggunaan antibiotik ini harus
disertai dengan kultur untuk mengetahui jenis antibiotik dan pola
resistensinya.
c. Antibiotik definitif, digunakan untuk mengatasi infeksi yang sudah
diketahui jenis mikroba penyebabnya dan pola resistensinya.

2.2.2 Kategori antibiotik berdasarkan kewenangan dalam meresepkannya


Antibiotik yang tersedia di RSCM dikelompokkan berdasarkan
kewenangan dalam meresepkannya sesuai Formularium RSCM

2.3 ANTIBIOTIK PROFILAKSIS BEDAH


Antibiotik profilaksis bedah digunakan untuk mencegah infeksi daerah
operasi.
Antibiotik profilaksis bedah diberikan dengan pertimbangan:
a. Antibiotik profilaksis hanya diberikan pada operasi bersih dan bersih
tercemar.
b. Ada tidaknya komorboditas
c. Ada tidaknya pemasangan implant
d. Mikroba yang menyebabkan kontaminasi daerah operasi diberikan
antibiotik yang sesuai denagn profil mikroba yang ada di RSCM
e. Diberikan untuk meminimalkan efek samping, resistensi kuman, dan
biaya.
f. Dosis yang diberikan sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan dari
periode kontaminasi selama operasi.
2.3.1 Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis bedah
Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis bedah didasarkan pada
kategori/kelas operasi menurut kontaminasi bakteri, selain itu diperhatikan
faktor yang berpengaruh terhadap risiko terjadinya komorbiditas pasca operasi
dan infeksi daerah operasi, antara lain:
a. Usia, resiko Infeksi daerah operasi setelah usia diatas 65 tahun
meningkat.
b. Obesitas dan gangguan nutrisi lainnya
c. Skor ASA
d. Lama rawat inap sebelum operasi
e. Pemasangan implant
f. Diabetes melitus dengan gula darah yang tidak terkontrol
g. Pengobatan imunosupresi dan kemoterapi

2.3.2 Rute dan saat pemberian


Antibiotik intravena lebih dianjurkan untuk antibiotik profilaksis karena
konsentrasi puncak harus segera dicapai dalam waktu singkat. Cara
pemberian intravena, bolus atau drip, disesuaikan dengan PK/PD antibiotik
yang dipakai. Saat pemberian antibiotik profilaksis yang tepat adalah di ruang
bedah 30 – 60 menit sebelum insisi kulit. Beberapa agen antibiotik seperti
golongan fluorokuinolon dan vankomisin membutuhkan waktu 1 sampai 2 jam
sebelum insisi.

2.3.3 Lama pemberian dan dosis antibiotik


Lama pemberian antibiotik bergantung pada pertimbangan operator atas
apa yang terjadi selama pembedahan dan lamanya operasi. Antibiotik ulangan
dapat diberikan ketika operasi berlangsung, bila lama operasi lebih dari 3 jam
atau jumlah perdarahan lebih dari 1500 ml. Bila segala sesuatu berlangsung
baik, antibiotik profilaksis diberikan hingga menutup kulit saat operasi. Pada
pasien dengan obesitas, pemberian dosis antibiotik disesuaikan dengan berat
badan pasien. Untuk jenis dan tabel di bawah ini akan dijelaskan secara rinci
untuk pemberian ulang antibiotik saat operasi.

Dosis yang direkomendasikan Half-life pada


Redosing interval
dewasa
yang
Antibiotik dengan fungsi
Dewasaa Anakb direkomendasikan
ginjal normal
(dalam jam)c
(dalam jam)
Ampicillin- 3 g (ampicillin 2 50 mg/kgBB
0.8-1.3 2
sulbactam g/sulbactam 1 ampicillin
g)
Ampicillin 2g 50 mg/kgBB 1-1.9 2
Amoksisilin
3g 40 mg/KgBB 1.3 4
klavulanat
Aztreonam 2g 30 mg/kgBB 1.3-2.4 4
2 g, 3 g untuk
Cefazolin 30 mg/kgBB 1.2-2.2 4
BB
> 120 kg
Cefuroxime 1.5 g 50 mg/kgBB 1-2 4
Cefotaxime 1 gd 50 mg/kgBB 0.9-1.7 3
Cefoxitin 2g 40 mg/kgBB 0.7-1.1 2
Cefotetan 2g 40 mg/kgBB 2.8-4.6 6
Ceftriaxone 2 ge 50-75 5.4-10.9 NA
mg/kgBB
Ciprofloxacinf 400 mg 10 mg/kgBB 3-7 NA
Clindamycin 900 mg 10 mg/kgBB 2-4 6
Ertapenem 1g 15 mg/kgBB 3-5 NA
Fluconazole 400 mg 6 mg/kgBB 30 NA
5 mg/kgBB
Gentamicing 2.5 mg/kgBB 2-3 NA
(dosis
tunggal)
Levofloxacinf 500 mg 10 mg/kgBB 6-8 NA
15 mg/kgBB
(7.5 mg/kgBB
Metronidazole 500 mg 6-8 NA
pada neonatus
BB <1200 g )
Moxifloxacin f 400 mg 10 mg/kgBB 8-15 NA
bayi 2-9
piperacillin-
3.375 g bulan: 0.7-1.2 2
tazobactam
80 mg/kgBB
piperacilin
anak > 9
bulan dan BB
< 40 kg: 100 NA
mg/kgBB
piperacillin
vancomycin 15 mg/kgBB 15 mg/kgBB 4-8 NA
antibiotik oral untuk profilaksis bedah kolorektal (digunakan bersamaan dengan mechanical
bowel
preparation)
erythromycin 1g 20 mg/kgBB 0.8-3 NA
metronidazole 1g 15 mg/kgBB 6-10 NA
2-3 (3%
diabsorbsi pada
neomycin 1g 15 mg/kgBB kondisi NA
gastrointestinal
normal)
Keterangan:
a. Dosis dewasa didapatkan dari studi yang disitasi pada setiap bagian. Apabila
terdapat perbedaan antar studi, pendapat ahli menggunkakan dosis yang
direkomendasikan yang paling sering
b. Dosis maksimal pada anak tidak melebihi dosis dewasa biasa.
c. Khususnya antimikroba dengan waktu paruh yang pendek (contoh: cefazolin,
cefoxitin) yang digunakan sebelum prosedur yang panjang, redosing pada ruang
operasi direkomendasikan dengan perkiraan interval 2 kali paruh waktu agen
tersebut pada fungsi ginjal normal. Interval redosing yang ditandai dengan not
applicable (NA) didasarkan pada pertimbangan panjangnya kasus; pada prosedur
panjang yang tidak umum dilakukan, redosing mungkin dibutuhkan.
d. Meskipun pada kemasan FDA-approved mengindikasikan 1 g pada label, para
ahli merekomendasikan dosis 2 g untuk pasien obese.
e. Ketika digunakan sebagai dosis tunggal yang dikombinasikan dengan
metronidazole untuk prosedur kolorektal.
f. Meskipun fluoroquinolone berkaitan dengan meningkatnya risiko
tendinitis/ruptur tendon pada semua usia, penggunaan agen ini dalam bentuk
profilaksis dosis tunggal tergolong aman.
g. Secara umum, pemberian gentamicin sebagai profilaksis antibiotik perlu dibatasi
menjadi dosis tunggal yang diberikan pre-operatif. Pendntuan dosis berdasarkan
berat badan aktual. Jika berat badan aktual pasien lebih dari 20% di atas berat
badan ideal, berat badan untuk penentuan dosis didapatkan dari rumus sebagai
berikut: dosing weight = ideal body weight + 0.4 (actual body weight – ideal body
weight)

Untuk menjamin kadar puncak yang memadai dan antibiotik berdifusi


baik ke dalam jaringan maka dosis antibiotik harus cukup tinggi. Kadar
antibiotik pada jaringan target operasi harus mencapai 2 kali lipat kadar
hambat minimal (KHM) atau minimal inhibitory concentration (MIC)
Untuk alur penggunaan antibiotik profilaksis adalah antibiotik profilaksis
diresepkan oleh dokter ruangan,kemudian antibiotik disediakan di kamar
operasi dan diberikan oleh dokter anestesi 30-60 menit sebelum insisi, jika
diperlukan pemberian ulang (redosing) oleh dokter anestesi.

2.4 INFEKSI DAERAH OPERASI


2.4.1 Kriteria untuk Menegakkan Infeksi Daerah Operasi
Identifikasi dari Infeksi Daerah Operasi (IDO) memadukan antara temuan
klinis dan laboratorium. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) pada
tahun 1999 telah mengeluarkan sebuah panduan untuk pencegahan Infeksi
Daerah Operasi yang menjadi dasar berbagai panduan pencegahan IDO yang
beredar di seluruh dunia. Berdasarkan panduan dari CDC, IDO di
klasifikasikan menjadi IDO insisional dan organ/rongga. IDO insisional
selanjutnya terbagi lagi menjadi yang hanya mengenai kulit dan jaringan
subkutan (IDO insisional superfisial) dan yang mengenai jaringan lunak yang
lebih dalam pada lokasi insisi (IDO insisional dalam). Yang termaksud dengan
IDO pada organ/ rongga yaitu bagian apapun dari anatomi tubuh (baik organ
maupun rongga tubuh) selain dari lapisan dinding tubuh yang diinsisi, yang
dibuka atau dimanipulasi selama operasi.7 CDC telah membuat kriteria standar
untuk surveilans IDO seperti pada tabel berikut.
Tabel 1. Kriteria untuk Mendefinisikan Infeksi Daerah Operasi (IDO)7
IDO Insisional Superfisial
Infeksi terjadi dalam 30 hari setelah operasi
dan
infeksi hanya melibatkan kulit dan jaringan subkutan dari area insisi saja
dan paling tidak satu dari kriteria berikut:
1. Drainase purulen dari insisi superfisial, dengan atau tanpa konfirmasi
laboratorium
2. Didapatkan isolat organisme dari kultur yang didapat dari cairan atau
jaringan insisi superfisial
3. Minimal satu dari tanda dan gejala infeksi berikut: nyeri, bengkak yang
terlokalisir, kemerahan, panas, dan insisi superfisial secara sengaja dibuka
oleh ahli bedah,
4. Diagnosis IDO insisional superfisial oleh dokter bedah atau dokter
penanggungjawab pasien
IDO Insisional Dalam
Infeksi terjadi dalam 30 hari setelah operasi tanpa implan, atau dalam 90 hari bila
menggunakan implan dan infeksi ini nampak berhubungan dengan operasi
dan
infeksi melibatkan jaringan lunak yang lebih dalam (misal fascia dan lapisan otot)
dari insisi
dan minimal satu dari kriteria dibawah ini:
1. Drainase purulen dari insisi dalam namun bukan dari komponen organ/
rongga dari lokasi operasi
2. Insisi dalam secara spontan terbuka atau secara sengaj dibuka oleh dokter
bedah saat pasien menunjukan salah satu dari tanda atau gejala berikut:
demam (suhu > 38oC), nyeri lokal
3. Terdapat abses atau bukti infeksi lain pada insisi dalam yang ditemukan
pada pemeriksaan langsung, selama operasi ulang, atau melalui
pemeriksaan radiologis ataupun histopatologik.
4. Disgnosis IDO insisional dalam oleh dokter bedah atau dokter
penanggungjawab pasien
IDO Organ/ rongga
Infeksi terjadi dalam 30 hari setelah operasi bila tanpa implan atau dalam 90 hari
bila menggunakan implan dan infeksi ini nampak berhubungan dengan operasi
dan
infeksi melibatkan bagian antomi apapun (organ atau ruang) selain bagian yang
diinsisi, yang dibuka atau dimanipulasi selama operasi,
dan minimal satu dari krteria berikut:
1. Drainase purulen dari drain yang dipasang pada luka menuju organ/
rongga
2. Didapatkan isolat organisme dari kultur cairan atau jaringan pada organ/
rongga
3. Terdapat abses atau tanda infeksi lain yang melibatkan organ/ rongga yang
ditemuka pada pemeriksaan langsung. Selama operasi ulang atau melalui
pemeriksaan radiologi atau histopatologik.
4. Diagnosis IDO organ/ rongga oleh dokter bedah atau dokter
penanggungjawab pasien.
2.4.2 Patogenesis
Kontaminasi mikroba pada lokasi operasi merupakan prekursor yang
paling penting dari IDO. Mikroorganisme dapat memproduksi atau
mengandung toksin dan substansi lain yang meningkatkan kemampuan
mereka untuk menginvasi dan merusak host, serta bertahan dalam jaringan.
Sebagai contoh, bakteri Gram negatif memproduksi endotoksin, yang
menstimulasi produksi sitokin. Selanjutnya sitokin dapat memicu systemic
inflamatory response syndrome (SIRS) yang berlanjut pada kegagalan organ
multipel. Salah satu penyebab kegagalan organ multipel pada perawatan bedah
modern adalah infeksi intraabdomen. Beberapa komponen dinding bakteri,
terutama kapsul polisakarida, menghambat fagositosis yang merupakan respon
pertahanan tubuh yang paling awal dan penting terhadap kontaminasi
mikroba. Berbagai variasi mikroorganisme, termsuk bakteri gram positif seperti
stafilokokus koagulase-negatif, memproduksi glycocalyx dan komponen yang
diberi nama “slime” yang secara fisik melindungi bakteri dari fagosit atau
menghambat penempelan dan penetrasi antibiotik.7
Pada sebagian besar kasus IDO, sumber dari patogen merupakan flora
endogen dari kulit, membran mukosa atau saluran tubuh. Saat membran
mukosa atau kulit diinsisi, jarungan yang terekspos berisiko untuk
terkontaminasi flora endogen. Organisme ini biasanya coccus gram positif
(misal Stafilokokus), namun dapat termasuk flora fekal (misal bakteri anaerob
dan gram negatif aerob) bila insisi dibuat didekat perineum. Saat organ
gastrointestinal dibuka selama operasi, isolat IDO yang ditemuka biasanya
adalah basil Gram negatif (misal E. coli), organisme gram positif (misal
enterococci), dan kadang anaerob (misal Bacillus fragilis).7 Pada tabel 2 terdapat
daftar jenis operasi dan patogen tersering yang menjadi penyebab IDO.

Tabel 2. Operasi dan Patogen Penyebab IDO tersering7


Operasi Patogen tersering
Cardiac S. aureus; stafilokokus koagulase-negatif
Bedah saraf S. aureus; stafilokokus koagulase-negatif
Payudara S. aureus; stafilokokus koagulase-negatif
S. aureus; stafilokokus koagulase-negatif; streptococci;
Mata
basil Gram negative
Vaskuler S. aureus, stafilokokus koagulase-negatif
Appendektomi Basil Gram negatif; anaerob
Saluran Bilier Basil Gram negatif; anaerob
Colorectal Basil Gram negatif; anaerob
Gastroduodenal Basil Gram negatif; streptococci; oropharyngeal anaerob
Kepala dan Leher S. aureus; streptococci; oropharyngeal anaerob
Kebidanan Basil Gram negatif, enterococci, streptococci grup B,
anaerob
Urologi Basil Gram negative
Pada penelitian yang dilakukan oleh Munez et al. pada tahun 2011 di
beberapa rumah sakit di Spanyol, didapatkan hasil bakteri tersering yang
ditemukan pada IDO setelah operasi digestif adalah Escherichia coli (28%),
Enterococcus spp. (15%), Pseudomonas aeruginosa (7%), and Staphylococcus
aureus (5%, MRSA
2%).

2.4.3 Faktor Risiko Infeksi Daerah Operasi


Berbagai faktor risiko cukup banyak diteliti berhubungan dengan
kejadian IDO. Secara umum, faktor-faktor ini dapat dikelompokan menjadi tiga
yaitu faktor preoperatif, intraoperatif dan post operatif. Yang termasuk faktor
preoperatif diantaranya adalah jenis kelamin, usia, lama rawat sebelum
operasi, SGA, status gizi, antibiotik profilaksis, ASA, penyakit komorbid.
Sedangkan yang termasuk dalam faktor intraoperatif yaitu jenis kasus, status
pembedahan, jenis operasi, derajat kontaminasi luka, dan lama pembedahan.

2.4.4 Tatalaksana Infeksi Daerah Operasi


Untuk mengatasi infeksi daerah operasi, dilakukan kontrol sumber infeksi
dengan drainase, debridemen, atau bisa dilakukan definitif dengan mengangkat
jaringan nekrotik. Penetapan jenis infeksi daerah operasi, dan lokasi anatomi
jaringan yang terkena menentukan tindakan bedah yang dilakukan.
Pemeriksaan kultur untuk mengetahui patogen yang menjadi infeksi daerah
operasi penting untuk dilakukan.
Pemberian antibiotik sistemik dimulai jika terdapat infeksi sistemik.
Pengangkatan protesa harus dilakukan untuk mencegah infeksi lebih lanjut
dan mengurangi peradangan.

2.5 DAFTAR DIAGNOSIS KLINIK DAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DI


DEPARTEMEN ILMU BEDAH

2.5.1 DIVISI BEDAH ANAK


A. Antibiotik Profilaksis Divisi Bedah Anak
Prosedur Jenis Patogen Rekomendasi Jika Alergi Lama
Operasi Antibiotik Penisilin pemberian
KEPALA DAN
LEHER
 Wajah dan Clean S. Tidak
leher epidermidis, dianjurkan
 Tumor S.aureus
Jinak
 Keganasan Clean S. Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit
pada wajah epidermidis, atau sebelum
dan leher S.aureus Siprofloksasin operasi
 Implant IV 10 mg/kgBB
diberikan 1-2
jam sebelum
operasi
 Insisi Clean- Anaerob, Amokisisilin Klindamisin IV 30 – 60 menit
melalui contami basil gram klavulanat IV atau sebelum
permukaan n ated negative, S. atau Siprofloksasin operasi
mukosa aureus IV 10 mg/kgBB
oral, nasal, Sefazolin IV diberikan 1-2
sinus, jam sebelum
faringeal, DAN operasi
esophageal Metronidazol
 Keganasan IV DAN
intraoral
 Melibatkan Gentamisin IV
maksila dan
mandibula
 Implant

KULIT, OTOT
DAN
EKSTREMITAS
 Tumor Clean S. Tidak
Jinak epidermidis, dianjurkan
S.aureus
 Keganasan Clean S. Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit
epidermidis, atau sebelum
S.aureus Siprofloksasin operasi
IV 10 mg/kgBB
diberikan 1-2
jam sebelum
operasi
GASTRO-
INTESTINAL
Membuka Clean S. Tidak
intraabdomen, epidermidis, dianjurkan
namun tidak S.aureus
membuka
lumen saluran
cerna
Keganasan Clean S. Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit
dengan epidermidis, atau sebelum
membuka S.aureus Siprofloksasin operasi.
intraabdomen, IV 10 mg/kgBB
namun tidak diberikan 1-2
membuka jam sebelum
lumen saluran operasi
cerna
Endoskopi Clean Basil gram- Tidak
(anuskopi, negative, dianjurkan
rektoskopi) enterococci,
Biopsi hisap anaerob
Saluran Cerna Clean- Basil gram- Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit
Atas (esofagus contami negative, atau atau sebelum
sampai nated gram- Seftriakson Siprofloksasin operasi
duodenum) positive IV IV 10 mg/kgBB
cocci diberikan 1-2
jam sebelum
operasi DAN
Gentamisin IV
Yeyunum dan Clean- Basil gram- Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit
ileum contami negative, atau atau sebelum
n ated gram- Seftriakson Siprofloksasin operasi
positive IV IV 10 mg/kgBB
cocci diberikan 1-2
jam sebelum
operasi DAN
Gentamisin IV
Saluran Cerna Clean- Basil gram- Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit
Bawah contami negative, DAN atau sebelum
(Kolorektal) n ated enterococci, Metronidazol Siprofloksasin operasi
anaerob IV IV 10 mg/kgBB Seluruh
atau diberikan 1-2 pasien dengan
Seftriakson jam sebelum membuka
IV operasi DAN lumen
DAN Gentamisin IV kolorektal, 1
Metronidazol hari sebelum
IV operasi
dilakukan
persiapan
kolon
mekanik
(maksimal 4-6
jam sebelum
operasi) dan
pemberian
antibiotik
eritromisin
atau
metronidazole
oral yang
diberikan 1
hari sebelum
operasi.
Apendisitis Clean- Basil gram- Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit
akut contami negative, atau atau sebelum
nonkomplikata n ated enterococci, Seftriakson Siprofloksasin operasi.
anaerob IV IV 10 mg/kgBB
diberikan 1-2
jam
sebelum
operasi
DAN
Gentamisin IV
Traktus bilier Clean- Basil gram Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit
contami negatif, DAN atau sebelum
n ated enterococci, Metronidazol Siprofloksasin operasi.
clostridia IV IV 10 mg/kgBB
atau diberikan 1-2 Jika pasien
Seftriakson jam sebelum sudah
IV operasi DAN terdapat
DAN Gentamisin IV kolangitis
Metronidazol atau
IV kolesistitis
preoperatif,
maka
antibiotik
diberikan
sesuai terapi
empirik
preoperasi
GENITO-
URINARIA
Tidak membuka Clean Basil gram Tidak Jika pasien
saluran kemih positif dianjurkan sudah
terdapat
infeksi
saluran kemih
preoperatif,
maka
antibiotik
diberikan
sesuai terapi
empirik
Preoperasi

Membuka Clean- Basil gram Sefazolin IV Klindamisin IV 30 – 60 menit


saluran kemih contami negatif, atau atau sebelum
(low risk) n ated anaerob, Seftriakson Siprofloksasin operasi.
enterococcu IV IV 10 mg/kgBB
s diberikan 1-2 Jika pasca
jam sebelum operatif,
operasi DAN dilakukan
Gentamisin IV pemasangan
stent urethra
(kateter urin),
maka
antibiotik IV
diteruskan
maksimal 24
jam pasca
operasi,
kemudian
diberikan
antibiotik
kotrimoksazol
oral sampai
H+1 aff kateter
urin.

Jika pasien
sudah
terdapat
infeksi
saluran kemih
preoperatif,
maka
antibiotik
diberikan
sesuai
terapi empirik
preoperasi
Membuka Clean- Basil gram Sefazolin IV Klindamisin IV Jika pasca
saluran kemih contami negatif, Dan atau operatif,
dengan n ated anaerob, Metronidazol Siprofloksasin dilakukan
membuka enterococcu IV IV 10 mg/kgBB pemasangan
saluran s atau diberikan 1-2 stent urethra
pencernaan : Seftriakson jam sebelum (kateter urin),
 Blader IV operasi DAN maka
augmentatio DAN Gentamisin IV antibiotik IV
n, Metronidazol diteruskan
mitrofanoff IV maksimal 24
 Bladder jam pasca
reconstructi operasi,
on kemudian
diberikan
antibiotik
Hypospadia kotrimoksazol
repair dengan oral sampai
buccal graft H+1 aff kateter
urin.

Jika pasien
sudah
terdapat
infeksi
saluran kemih
preoperatif,
maka
antibiotik
diberikan
sesuai terapi
empirik
preoperasi.

B. Antibiotik Terapeutik Divisi Bedah Anak


Diagnosis Patogen Rekomendasi Dosis Lama
Antibiotik pemberian
KEPALA DAN
LEHER
Abses rongga Anaerob, Ampisillin Komponen ampisillin 50 Maksimal 7
mulut basil gram sulbaktam - 100 mg/kgBB/kali IV hari
negative, tiap 6
S. aureus jam
Sefotaksim dan Sefotaksim 50
metronidazol mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
Metronidazol dosis
inisial 15 mg/kgBB/kali
IV,
selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
Seftriakson dan Seftriakson 50
metronidazol mg/kgBB/kali IV tiap
24 jam

Metronidazol dosis
inisial 15 mg/kgBB/kali
IV,
selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
KULIT, OTOT
DAN
EKSTREMITAS
Abses S. Ampisillin Komponen ampisillin 25 Maksimal 7
epidermidi s, sulbaktam mg/kgBB/kali IV tiap 6 hari
S.aureus, jam
anaerob Amoksisilin 25 mg/kgBB/kali IV
klavulanat tiap 8 jam
Seftriakson dan Seftriakson 50
Metronidazol mg/kgBB/kali IV tiap
24 jam

Metronidazol dosis
inisial 15 mg/kgBB/kali
IV,
selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
GASTRO-
INTESTINAL
HAEC Tanpa Metronidazol Metronidazol dosis Maksimal 7
(Hirschsprung sepsis inisial 15 mg/kgBB/kali hari
Asociated (Clostridiu IV,
Enterocollitis) m difficile) selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
Dengan Meropenem IV Maksimal 7
sepsis (Basil dan amikasin hari dan
gram IV dilanjutkan
negative, dengan
enterococ ci, Jika alergi deeskalasi
Clostridiu penisilin:
m difficile) Siprofloksasin
IV

Perforasi Salmonell a Seftriakson dan Seftriakson 80 7 – 14 hari


typhoid typhi, metronidazol mg/kgBB/kali IV tiap
enterococ ci, 24 jam
anaerob
Metronidazol dosis
inisial 15 mg/kgBB/kali
IV,
selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
Apendisitis Anaerob, Gangrenosa : Sefotaksim 50 3 - 5 hari
komplikata basil gram Sefotaksim mg/kgBB/kali IV tiap 8
negative, jam
S. aureus Gangrenosa : Seftriakson 50
Seftriakson mg/kgBB/kali IV tiap
24 jam
Perforasi : Sefotaksim 50 7 – 10 hari
Sefotaksim dan mg/kgBB/kali IV tiap 6
Metronidazol jam
Metronidazol dosis
inisial 15 mg/kgBB/kali
IV,
selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
Perforasi: Seftriakson 50
Seftriakson dan mg/kgBB/kali IV tiap
Metronidazol 12 jam
Metronidazol dosis
inisial 15 mg/kgBB/kali
IV,
selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
Contaminated Anaerob, Sefotaksim dan Sefotaksim 50 Maksimal 7
dan dirty basil gram Metronidazol mg/kgBB/kali IV tiap 8 hari dan
surgery negative, jam dilanjutkan
Peritonitis S. aureus deeskalasi
dengan Metronidazol dosis
perforasi inisial 15 mg/kgBB/kali
Obstruksi IV,
saluran cerna selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
Seftriakson dan Seftriakson 50
Metronidazol mg/kgBB/kali IV tiap
24 jam

Metronidazol dosis
Dengan sepsis inisial 15 mg/kgBB/kali
dapat diberikan IV,
Meropenem IV selanjutnya 7.5
dan Amikasin mg/kgBB/kali IV tiap 8
IV jam
Abses hati Staphyloc Seftriakson dan Seftriakson 50 2 – 6 minggu
occus, Metronidazol mg/kgBB/kali IV tiap
streptococ ci, 12 jam *perlu ada
anaerobes biakan abses
, E.coli, Metronidazol dosis
klebsiella, inisial 15 mg/kgBB/kali
enterobact IV,
er, selanjutnya 7.5
Entamoeb mg/kgBB/kali IV tiap 8
a histolytica jam
Ampisillin Komponen ampisillin 50
sulbaktam - 100 mg/kgBB/kali IV
tiap 6 jam
Kolangitis dan Basil gram Sefoperazon Komponen Sefoperazon 7 – 10 hari
kolesistitis negatif, Sulbaktam 25 – 50 mg/kgBB/kali
enterococ IV
ci, clostridia tiap 12 jam
GENITO-
URINARIA
Pielonefritis E.coli, Seftriakson Neonatus: Maksimal 7
akut acinetoba 50-75 mg/kgBB/kali IV hari
cter sp, tiap 24 jam
Proteus sp.
Anak (≥ 4 minggu):
50-75 mg/kgBB/kali
IM/IV
tiap 12 jam
(Dosis Maksimum: 2
gram/dosis pemberian)
Gentamisin 2,5 mg/kgBB/kali IV
tiap 8 jam
Infeksi saluran E.coli, Kotrimoksazol Komponen 5 – 7 hari
kemih acinetoba Trimetrophime 6 – 12
nonkomplikata cter sp, mg/kgBB/hari, tiap
Proteus sp., 12 jam
anaerobes Amoksisilin Komponen Amoksisilin
Klavulanat 20
– 40 mg/kgBB/hari,
tiap 8 jam
Sefaleksin/Sefa
droksil
Contaminated E.coli, Seftriakson dan Seftriakson 50 7 – 14 hari
dan acinetoba Metronidazol mg/kgBB/kali IV tiap
dirty surgery cter sp, 24 jam
Proteus sp.,
anaerobes Metronidazol dosis
inisial 15 mg/kgBB/kali
IV,
selanjutnya 7.5
mg/kgBB/kali IV tiap 8
jam
SEPSIS* Sesuai PPAB
dari IKA
Komunitas Sefotaksim 50 mg/kg/ kali IV tiap 7 – 14 hari
6 jam
Seftriakson 50 mg/kg/ kali IV tiap
12 jam
Ampisilin dan Ampisilin 50
Gentamisin mg/kg/kali IV tiap 6
jam

Gentamisin :
1 minggu-10 tahun:
dosis inisial 8 mg/kg IV,
selanjutnya 6
mg/kg/kali IV tiap 24
jam
> 10 tahun: dosis inisial
7 mg/kg IV, selanjutnya
5 mg/kg/kali IV tiap 24
jam
Nosokomial Ceftazidim 50 mg/kg/kali IV tiap 6 7 – 14 hari
jam
Meropenem 40 mg/kg/kali IV tiap 8
jam
SEPSIS
NEONATORUM
Sepsis Group B Ringan : 7 – 14 hari
Neonatorum Streptococ Ampisilin dan
Awitan Dini (< cus, E.coli Gentamisin
72 jam terkait Berat :
dengan infeksi Ampisilin
vertikal/matern sulbaktam dan
al genital tract) Gentamisin
Sepsis K. Komunitas Dosis sesuai neonatal
Neonatorum Penumoni tanpa pharmacope
Awitan Lambat ae, A. meningitis
(> 72 jam baumanii, S. :
terkait dengan epidermidi s Ampisilin
infeksi sulbaktam dan
nosokomial/ Gentamisin
HAI) Komunitas
dengan
meningitis :
Ampisilin
sulbaktam
Gentamisin dan
Sefotaksim
VAP, HAP, UTI :
Seftazidim
SSI, IAD :
Sefosulbaktam
dan Amikasin
CLABSI :
Meropenem

2.5.2 DIVISI BEDAH DIGESTIF


A. Antibiotik Profilaksis Divisi Bedah Digestif
No Diagnosis Klinis Patogen Antibiotik dan Dosis Lama
Pemberian

1 Saluran cerna Escherichia Gentamisin IV 3 mg/kgBB 30 – 60


bagian atas coli DAN Metronidazol IV 500 menit
(esofagus, gaster, mg sebelum
duodenum, operasi.
yeyenum) atau

Ampisilin-sulbaktam IV
1,5 g
2 Saluran cerna Escherichia Gentamisin IV 3 mg/kgBB 30 – 60
bagian bawah coli DAN Metronidazol IV 500 menit
(ileum, appendiks, mg sebelum
colon, rektum, operasi.
anus) atau

Ampisilin-sulbaktam IV
1,5 g
3 HPB (hepato, Escherichia Gentamisin IV 3 mg/kgBB 30 – 60
pankreas, bilier) coli DAN Metronidazol IV 500 menit
mg sebelum
operasi.
atau

Ampisilin-sulbaktam IV
1,5 g
4 Splenektomi Tidak dianjurkan 30 – 60
menit
Jika ada trauma: sebelum
Gentamisin IV 3 mg/kgBB operasi.
DAN Metronidazol IV 500
mg
5 Hernia elektif Sefazolin IV1 g 30 – 60
dengan MESH menit
Jika alergi, diganti sebelum
Sefuroksim IV 1,5 g operasi.

6 Tumor Tidak dianjurkan 30 – 60


intraabdomen menit
tanpa membuka Jika membuka lumen: sebelum
saluran cerna Gentamisin IV 3 mg/kgBB operasi.
DAN Metronidazol IV 500
mg

B. Antibiotik Terapi Empirik (Pascaoperasi) Divisi Bedah Digestif

No Diagnosis Klinis Patogen Antibiotik dan Lama


Dosis Pemberian
1 Jika intraoperatif terjadi Escherichia Amikasin IV 5 hari
kebocoran usus yang coli 1x1000 mg DAN
mengkontaminasi Escherichia Metronidazol IV
intraabdominal coli 1x1500 mg
Jika 5 hari
kontraindikasi:
Sefoperazon
sulbaktam IV
3x1g

atau

Meropenem IV
3x1g
2 HPB (hepato, pankreas, Escherichia Amikasin IV 5 hari
bilier) coli 1x1000 mg DAN
Saluran cerna bagian atas Metronidazol IV
(esofagus, gaster, 1x1500 mg
duodenum, yeyenum)
Jika
3 Saluran cerna bagian kontraindikasi:
bawah (ileum, appendiks, Siprofloksasin IV
colon, rektum, anus) 2 x 400 mg DAN
Metronidazol IV
1x1500 mg

atau

Meropenem IV
3x1g
2.5.3 DIVISI BEDAH PLASTIK

A. Antibiotik Profilaksis Divisi Bedah Plastik

No Diagnosa Klinis Patogen Antibiotik dan Lama


dosis pemberian

1 microtia, Staphylococcus Sefazolin IV 2 g 50 1 x pemberian


microsurgery epidermidis dan mg per KgBB 30-60 menit
pada area tidak Staphylococcus sebelum operasi
melibatkan aureus
mukosa

2 Release Staphylococcus Sefazolin IV 2 g 50 1 x pemberian


kontraktur epidermidis dan mg per KgBB 30-60 menit
pada Staphylococcus sebelum operasi
ekstremitas aureus
dengan
penggunaan
wire
3 ORIF fraktur Staphylococcus Sefazolin IV 2 g 50 1 x pemberian
tulang tangan epidermidis dan mg per KgBB 30-60 menit
Staphylococcus sebelum operasi
aureus
B. Antibiotik Empirik Divisi Bedah Plastik

No Diagnosa Jenis Patogen Antibiotik dan dosis Lama


Klinis Operasi pemberian
1 Sumbing tercemar Bacteroides,E Ampisillin Sulbaktam Saat
Bibir sc herichia IV Anak: 25-50 dirawat
(Cleft Lip) coli, mg/kg inap
Klebsiella, Dewasa: 1,5 g
Serratia,Prote
us, atau
Staphylococc
us, dan Amoksisilin + Asam
Streptococcus klavulanat IV, Dosis
sesuai dengan dosis
Amoksisilin
Anak: 10-25 mg/kg
Dewasa: 1 g

DILANJUTKAN
DENGAN

Amoksisilin + Asam
klavulanat oral, Dosis
sesuai dengan dosis Selama 5
Amoksisilin hari
Anak:
3 x (10-25 mg/kg )
Dewasa:
3 x 625 mg

Pada Infeksi Daerah


Operasi (IDO):
Klindamisin oral
anak: 10-20
mg/kgBB/hari dalam
6-8 jam
2 Cleft tercemar Bacteroides, Ampisillin sulbaktam Saat di
Palate Escherichia IV Anak: 25-50 rawat inap
coli, mg/kg
Klebsiella, Dewasa: 1,5 g
Serratia,Prote atau
us,
Staphylococc Amoksisilin +
us, dan
Streptococcus
Asam klavulanat,
Dosis sesuai dengan
dosis Amoksisilin
Anak: 10-25 mg/kg
Dewasa: 1 g

DILANJUTKAN
DENGAN

Amoksisilin + Asam
klavulanat oral, Dosis 10-14 hari
sesuai dengan dosis
Amoksisilin
Anak:
3 x (10-25 mg/kg)
Dewasa:
3 x 625 mg
3 Fraktur tercemar Bacteroides,E Ampisillin Sulbaktam Ampisillin
tulang sc herichia IV Anak: 25-50 Sulbaktam
wajah coli, mg/kg IV dapat
Klebsiella, Dewasa: 1,5 g diulang
Serratia,Prote setiap 6
us, atau jam
Staphylococc durante
usdan operasi
Streptococcus
Amoksisilin + Asam Amosisilin
klavulanat IV, Dosis + Asam
sesuai dengan dosis klavulanat
Amoksisi lin IV dapat
Anak: 10-25 mg/kg diulang
Dewasa: 1 g setiap 8
jam
durante
operasi.
Selama 5-
7 hari
5 Operasi tercemar Bacteroides,E Amoksisilin + Asam 7 hari
head and sc herichia klavulanat IV, Dosis
neck coli, sesuai dengan dosis
melibatka Klebsiella, Amoksisilin
n Serratia,Prote Anak: 10-25 mg/kg
transmuc us, Dewasa: 3x 1 g
osal Staphylococc
us, dan
Streptococcus

ATAU

Ampisillin Sulbaktam
IV Anak: 25-50
mg/kg
Dewasa: 4 x 1,5 g
6 Hipospadi tercemar Staphylococc Amoksisilin + Asam 7 hari
a us klavulanat oral, Dosis
epidermidis, sesuai dengan dosis
Staphylococc Amoksisilin
us aureus, Anak:
dan 3 x (10-25 mg/kg )
Escherichia Dewasa:
coli 3 x 625 mg

7 Epispadia tercemar Staphylococc Amosisilin + Asam 7 hari


us klavulanat oral, Dosis
epidermidis, sesuai dengan dosis
Staphylococc Amoksisilin
us aureus, Anak:
dan 3 x (10-25 mg/kg )
Escherichia Dewasa:
coli 3 x 625 mg

8 Sinekia tercemar Staphylococc Amoksisilin + Asam 7 hari


vulva us klavulanat oral, Dosis
epidermidis, sesuai dengan dosis
Staphylococc Amoksisilin
us aureus, Anak:
dan 3 x (10-25 mg/kg )
Escherichia Dewasa:
coli 3 x 625 mg

9 Siliconom tercemar Staphylococc Seftriakson IV 2 x 1g 1x


a Penis us pemberian
epidermidis DILANJUTKAN
dan DENGAN
Staphylococc
us aureus Sefiksim oral 2x200
mg 5 hari

10 Pembedah Tercemar/ Staphylococc Seftriakson 2 x 1g 5 hari


an crush k otor us
injury dan epidermidis atau
traumatic
amputasi Ampisilin sulbactam
IV Anak: 25-50
mg/kg
Dewasa: 4 x 1,5 g

11 Ulkus kotor Staphylococc Ceftriaxon (iv) 2 x 1g sampai


kronik us ada hasil
epidermidis atau kultur
jaringan
Ampisillin Sulbaktam
IV Anak: 25-50
mg/kg
Dewasa: 4 x 1,5 g
13 Degloving Tercemar/ Staphylococc Seftriakson IV 2 x 1g sampai
dan avulsi k otor us ada hasil
epidermidis atau kultur
jaringan
Ampisillin Sulbaktam
IV Anak: 25-50
mg/kg
Dewasa: 4 x 1,5 g

Tambahan
Diagnosa Klinis yang membutuhkan antibiotik lebih dari 10 hari:
1. Degloving (open dan closed)
2. Avulsi/ crush injury
3. Cleft palate
4. Fraktur tulang wajah dengan pemasangan ORIF
5. Wound dehisence

2.5.4 DIVISI BEDAH ONKOLOGI


A. ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS DIVISI BEDAH ONKOLOGI – TUMOR PAYUDARA
(OPERASI DENGAN DRAIN)*
No. Diagnosis Klinis Patogen Antibiotika dan Lama
Dosis Pemberian
1 Operasi Tumor
Payudara
Eksisi tumor jinak (-) (-) (-)
payudara
Mastektomi sederhana Staphylococcu Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
s aureus (<30 menit (maksimum 24
sebelum operasi) jam pasca
operasi)
Mastektomi dengan Staphylococcu Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
rekonstruksi (+implant) s aureus (<30 menit (maksimum 24
sebelum operasi) jam pasca
operasi)
Operasi bersih tumor Staphylococcu Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
payudara dengan s aureus (<30 menit (maksimum 24
diseksi KGB aksila sebelum operasi) jam pasca
operasi)
Operasi bersih tumor Staphylococcu Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
payudara dengan ASA s aureus (<30 menit (maksimum 24
>2 dan/atau operasi > sebelum operasi) jam pasca
3 jam operasi)
* Antibiotika profilaksis diberikan 30 menit sebelum waktu insisi di kamar
operasi, diberikan dosis tambahan saat operasi jika perdarahan intraoperatif
>1500 cc
B. ANTIBIOTIKA TERAPI EMPIRIK DIVISI BEDAH ONKOLOGI – TUMOR
PAYUDARA (OPERASI DENGAN DRAIN)
1 Operasi Staphylococcu Amoxycillin + Sampai ada
terkontaminasi/ kotor s aureus Asam Klavulanat hasil kultur
pada payudara (abses (IV)
mamma) Dilanjutkan :
amoksisilin-
klavulanat
3x625 mg
(peroral) selama
+ 7 hari
Atau
Klindamisin
3x300 mg
peroral selama +
7 hari

C. ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS DIVISI BEDAH ONKOLOGI – TUMOR KEPALA


LEHER (OPERASI DENGAN DRAIN)*

No. Diagnosis Klinis Patogen Antibiotika dan Lama


Dosis Pemberian
2 Operasi Tumor kepala
leher
Operasi bersih tumor (-) (-) (-)
kepala leher disertai
diseksi KGB leher
Operasi bersih tumor (-) (-) (-)
kepala leher pada
lokasi berdekatan
dengan
contaminated area
Operasi bersih tumor Staphylococcu Cefazolin 1 gram
kepala leher disertai s sp., (<30 menit
kontak minimal dengan klebsiella sp, sebelum operasi)
traktus aerodigestivus enterobacter Dilanjutkan :
sp,
pseudomonas amoksisilin-
klavulanat
3x625 mg
(peroral) selama
7 hari
Operasi bersih tumor Staphylococcu Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
kepala leher disertai s aureus (<30 menit (maksimum 24
pemasangan implan sebelum operasi) jam pasca
operasi)
Operasi bersih tumor Staphylococcu Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
kepala leher dengan s aureus (<30 menit (maksimum 24
ASA sebelum operasi) jam pasca
>2 dan/atau operasi > operasi)
3 jam
* Antibiotika profilaksis diberikan 30 menit sebelum waktu insisi di kamar
operasi, diberikan dosis tambahan saat operasi jika perdarahan intraoperatif
>1500 cc
D. ANTIBIOTIKA TERAPI EMPIRIK DIVISI BEDAH ONKOLOGI – TUMOR KEPALA
LEHER (OPERASI DENGAN DRAIN)
1 Operasi Staphylococcu Amoxycillin + Sampai ada
terkontaminasi/ kotor s sp., Asam hasil kultur
tumor kepala leher klebsiella sp, Klavulanat 1
yang melibatkan enterobacter gram (IV)
traktus sp, Atau
aerodigestivus/ abses pseudomonas
Ampisilin
Sulbactam 1,5
gram (IV)

Dilanjutkan
dengan:
amoksisilin-
klavulanat
3x625 mg
(peroral)
selama + 7 hari

E. ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS DIVISI BEDAH ONKOLOGI – TUMOR JARINGAN


LUNAK (OPERASI DENGAN DRAIN)

No. Diagnosis Klinis Patogen Antibiotika dan Lama


Dosis Pemberian
3 Operasi Tumor
Jaringan Lunak
Operasi bersih tumor (-) (-) (-)
jaringan lunak
disertai diseksi KGB
Operasi bersih tumor (-) (-) (-)
jaringan lunak pada
lokasi berdekatan
dengan contaminated
area
Operasi bersih tumor Staphylococcus Cefazolin 1 gram
jaringan lunak sp., klebsiella (<30 menit
disertai kontak sp, sebelum operasi)
minimal dengan enterobacter Dilanjutkan
traktus sp,
aerodigestivus pseudomonas amoksisilin-
klavulanat 3x625
mg selama 7 hari
Operasi bersih tumor Staphylococcus Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
jaringan lunak aureus (<30 menit (maksimum 24
disertai pemasangan sebelum operasi) jam pasca
implan operasi)
Operasi bersih tumor Staphylococcus Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
jaringan lunak aureus (<30 menit (maksimum 24
dengan ASA >2 sebelum operasi) jam pasca
dan/atau operasi operasi)
> 3 jam
*Antibiotika profilaksis diberikan 30 menit sebelum waktu insisi di kamar
operasi, diberikan dosis tambahan saat operasi jika perdarahan intraoperatif
>1500 cc
F. ANTIBIOTIKA TERAPI EMPIRIK DIVISI BEDAH ONKOLOGI – TUMOR
JARINGAN LUNAK (OPERASI DENGAN DRAIN)
1 Operasi Staphylococcu Amoxycillin + Sampai ada
terkontaminasi/ kotor s sp., Asam hasil kultur
pada tumor jaringan klebsiella sp, Klavulanat (IV)
lunak yang enterobacter Dilanjutkan :
melibatkan traktus sp,
aerodigestivus pseudomonas amoksisilin-
klavulanat
3x625 mg
(peroral) selama
+7 hari

Atau
Klindamisin
3x300 mg
peroral selama
+ 7 hari
2 Operasi tumor Staphylococcu Ceftriaxon (iv) 2 Sampai ada
jaringan lunak s epidermidis x 1g hasil kultur
disertai infeksi
sekunder Atau Ampisilin
Sulbactam (iv)
Dewasa: 4 x
1,5g

G. ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS DIVISI BEDAH ONKOLOGI – TUMOR KULIT


(OPERASI DENGAN DRAIN)*

No. Diagnosis Klinis Patogen Antibiotika dan Lama


Dosis Pemberian
1 Operasi Tumor kulit
Operasi bersih tumor (-) (-) (-)
kulit disertai diseksi
KGB
Operasi bersih tumor (-) (-) (-)
kulit pada lokasi
berdekatan dengan
contaminated
area
Operasi bersih tumor Staphylococcu Cefazolin 1 gram
kulit disertai adanya s sp., (<30 menit
kontak minimal dengan klebsiella sp, sebelum operasi)
traktus aerodigestivus enterobacter Dilanjutkan :
sp,
pseudomonas amoksisilin-
klavulanat
3x625 mg
selama 7 hari
Operasi bersih tumor Staphylococcu Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
kulit disertai s aureus (<30 menit (maksimum 24
pemasangan implan sebelum operasi) jam pasca
operasi)
Operasi bersih tumor Staphylococcu Cefazolin 1 gram Dosis tunggal
kulit dengan ASA >2 s aureus (<30 menit (maksimum 24
dan/atau operasi > 3 sebelum operasi) jam pasca
jam operasi)
* Antibiotika profilaksis diberikan 30 menit sebelum waktu insisi di kamar
operasi, diberikan dosis tambahan saat operasi jika perdarahan intraoperatif
>1500 cc

H. ANTIBIOTIKA TERAPI EMPIRIK DIVISI BEDAH ONKOLOGI – TUMOR KULIT


(OPERASI DENGAN DRAIN)

1 Operasi Staphylococcu Amoxycillin + Sampai ada


terkontaminasi/ kotor s sp., Asam hasil kultur
pada kulit yang klebsiella sp, Klavulanat (IV)
melibatkan traktus enterobacter Dilanjutkan :
aerodigestivusl; sp,
pseudomonas amoksisilin-
klavulanat
3x625 mg
(peroral) selama
+7 hari

Atau
Klindamisin
3x300 mg
peroral selama
+7 hari
2 Operasi tumor kulit Staphylococcu Ceftriaxon (iv) 2
disertai infeksi s epidermidis x 1g
sekunder Atau Ampisilin
Sulbactam (iv)
Dewasa: 4 x
1,5g
2.5.5 DIVISI BEDAH TORAKS KARDIOVASKULER
A. Antibiotik Profilaksis Divisi Bedah Toraks Kardiovaskuler
No. Prosedur Jenis Operasi Antibiotik Lama
dan Dosis Pemberian

1 Torakotomi

Wedge reseksi bersih/ tercemar


Lobektomi bersih/ tercemar
Pneunonektomi bersih/ tercemar
Esophagus repair Bersih tercemar
Sefazolin IV
Eksplorasi benda tercemar 1g 30-60
asing/perdarahan menit
Trakea-bronkial repair Tercemar sebelum
Kliping costa (implant) Bersih Sefazolin IV insisi,
1g dapat
Pleurodesis/pleurofibrosis bersih/ Sefazolin IV dilanjutka
tercemar 1g n 24-48
jam

2 Sternotomi
Sefazolin IV 1
g
Bypass grafting SVC Bersih Sefazolin IV
24-48 jam
syndrome 1g
Sefazolin IV 1
g
3 Servikotomi
Laringo-trakea repair Tercemar Sefazolin IV 24-48 jam
1g
4 VATS (sama Dengan bersih/tercemar Sefazolin IV 24-48 jam
approach torakotomi) 1g
Dengan

5 Subxyphoid Bersih Sefazolin IV 30 - 60


Subxypoind pericardial 1g menit
window (membuka rongga sebelum
jantung) insisi

B. Antibiotik Terapi Empirik Divisi Bedah Toraks Kardiovaskuler


No Diagnosis Klinik dan Patogen Antibiotik Lama
Tindakan dan Dosis Pemberian
1 Empiema pro Ampisilin- sampai keluar
Dekortikasi sulbactam IV hasil kultur
Torakotomi/Sternotomi 4 x 1,5 g

atau

Amoksisilin +
Asam
klavulanat IV,
Dosis sesuai
dengan dosis
Amosisilin
Anak:
10-25 mg/kg
Dewasa: 3x 1g
2 fasciitis nekrotikan/ Polimikrobial Ampisillin sampai keluar
mediastinitis sulbaktam IV hasil kultur
pro servikotomi dan 4 x 1,5 g (lihat pada
sternotomi algoritma)
Apabila luka
klinis, luka
baik, lab
(leukosit
normal)
sambil
menunggu
tutup defek
plastik tidak
perlu
antibiotik.
Algoritma fasciitis nekrotikans/mediastinitis pro servikotomi dan
sternotomi

Fasciitis Necroticans Colli


Diagnosis secara Klinis, Radiologis, dan Laboratorium (Leukosit, PCT, dan Kultur Darah)
Antibiotik Empirik : Ampisillin Sulbaktam IV ( 4x 1,5 gram)

Debridement dan Servikotomi s/d kemungkinan Sternotomi


Ambil Kultur Jaringan

Pertahankan ETT
Perawatan Luka (Madu atau NPWT)
Evaluasi Klinis, Hemodinamik, Laboratorium
Bila hasil kultur jaringan keluar ganti antibiotik yang sesuai

Klinis Baik Klinis tidak baik & Luka Baik


Klinis & Luka Klinis baik & Laboratorium Normal Laboratorium naik
Tidak Baik luka jelek.
Laboratorium Lab N
naik atau
Normal)

Antibiotik Stop

Redebridement Cari Antibiotik


Evaluasi Sumber SesuaiHasil
Tutup Defek (Bedah Plastik) Infeksi Kultur
Lain
2.5.6 DIVISI BEDAH VASKULER

A. Antibiotik Profilaksis Divisi Bedah Vaskuler


No Diagnosis Klinis Jenis Antibiotik dan Lama
Operasi dosis pemberian
1 Operasi dengan graft Bersih Sefazolin IV 1 g 1x pemberian
30 menit
sebelum
operasi

B. Antibiotik Terapi Empirik Divisi Bedah Vaskuler (sesuai dengan PPAB


Departemen IPD dan IKA)
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. JENIS OPERASI BERSIH TANPA ANTIBIOTIK DI
DEPARTEMEN ILMU BEDAH

No Divisi Jenis Operasi


1 Bedah Plastik Blefaroplasti
Breast lift
Eksisi Nevus
Eksisi tumor jinak kulit
Face lift
Mini Face lift
Nect lift
Rekonstrusksi Sindaktili
Rekonstruksi Polidaktili
2 Bedah Toraks Mediastinoskopi
Kardiovaskuler Biopsi Dinding dada
Biopsi Pleura Terbuka
Biopsi Mediastinum Terbuka
Biopsi Mediastinum Perkutan
Biopsi Diafragma
Thoracal Sympathectomy (VATS)
3 Bedah DIgestif Tumor Intraabdomen
Eksisi Tumor Mesentrium
Eksisi Tumor Retroperitonial
Herniotomi (dengan menggunakan implant)
4 Bedah Anak Ekstirpasi Lipoma
Ligasi Tinggi pada Hidrokel
Herniotomi pada Hernia tanpa Komplikasi
5 Bedah Vaskuler Cabut CDL Temporer
Venaseksi
Pasang CDL Temporer untuk Hemodialisis
Pasang CDL Semipermanen
A-V Shunt cubiti
Eksisi luas dan Rekonstruksi Malformasi
Vaskuler Kompleks (tanpa graft)
Rekonstruksi Aneurisma Perifer
Lumbar Simpatektomi Perifer
Simpatektomi Laparoskopi
Simpatektomi Torakoskopi
Karotis Endarterektomi (CEA,EEA)
Karotis Endarterektomi (CEA,EEA) dengan Graft
Rekonstruksi Carotid Body Tumor
Eksplorasi dan Ligasi tinggi vena ovarica pada
Pelcvic Congestive Disease
TIPS Endovaskuler
Implantasi Vena Cava Filter
Bedah Vaskuler AVM Angiografi + Embolisasi
(lanjutan) Ekstremitas Angiografi dengan Balon (1 balon)
Ekstremitas Angiografi dengan Balon + stent (1
balon, 1 stent)
Karotis Angiografi dengan Balon (1 balon)
Karotis Angiografi dengan Balon + stent (1 balon,
1 stent)
Viseral Angiografi dengan Balon (1 balon)
Viseral Angiografi dengan Balon + stent (1 balon,
1 stent)
6 Bedah Onkologi Eksisi kista bronchiogenik
Core Biopsi
Diseksi Kelenjar Inguinal Superfisial
Diseksi Kelenjar Inguinal Profunda
Diseksi Leher Radikal Modifikasi
Diseksi Leher Radikal Modifikasi
Diseksi Leher Radikal Modifikasi/Fungsioal
Diseksi Leher Upper Neck
DIseksi Leher posterolateral
DIseksi Leher supraomohyoid
DIseksi Leher Radikal Klasik
Eksisi Kelenjar Getah Bening
Eksisi Kelenjar Liur submandibula
Eksisi Kista Duktus Tiroglosus tanpa mengenai
Orofaring
Eksisi Hemangioma
Eksisi Mamma aberrant
Eksisi Neurofibroma
Eksisi Tumor Scalp
Eksisi Baker cyst
Eksisi dan Rekonstruksi Limfedema
Flap
Insisional Biopsi
Isthmolobektomi
Subtutal Tiroidektomi
Mastektomi Radikal Klasik
BAB III

PENUTUP

Masalah resistensi antimikroba terjadi di seluruh dunia dan dapat


merupakan ancaman bagi kesehatan bagi manusia karena menurunkan mutu
pelayanan kesehatan dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, serta
meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi. Oleh
karena itu, keadaan ini harus dicegah.
Resistensi antimikroba antara lain disebabkan oleh penggunaan
antimikroba secara masif pada manusia, dan di bidang pertanian, perikanan,
dan peternakan, sehingga terjadi tekanan selektif yang menyebabkan mikroba
bermutasi menjadi patogen resisten dan/atau membentuk koloni. Selanjutnya
mikroba resisten tersebar meluas karena para pelaksana yang terlibat tidak
menjalankan kewaspadaan standar, kewaspadaan kontak, dan kewaspadaan
transmisi.
Tekanan selektif terjadi akibat penggunaan antimikroba secara salah, yang
sebenarnya tidak dibutuhkan atau tidak ada indikasi, sehingga strategi utama
dan pertama yang harus dilakukan adalah menggunakan antimikroba secara
bijak (prudent use of antibiotic). Strategi untuk menggunakan antimikroba secara
bijak adalah dengan cara melaksanakan panduan praktek klinik (PPK) untuk
penyakit infeksi, dan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB), yaitu
bagaimana menegakkan diagnosis penyakit infeksi dan memilih jenis antimikroba
secara tepat, berapa dosisnya, bagaimana rute pemakaiannya, saat
pemberiannya, dan berapa lama penggunaannya.
Dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) diharapkan
dapat menyumbang secara nyata upaya pengendalian resistensi antimikroba
khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Direktur Utama,

Ttd.

LIES DINA LIASTUTI


DAFTAR PUSTAKA

1. Eliopoulos GM, Moellering RC. Principles of anti-infective therapy. In:


Mandell Douglas and Bannett’s Principles and Practice of Infectious
Disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. P.224-8
2. Gyssens IC. Antibiotic policy. Int J Antimicrob Agents. 2011 Dec;38
Suppl:11- 20. doi: 10.1016/j.ijantimicag.2011.09.002
3. Carlès M, Gindre S, Aknouch N, Goubaux B, Mousnier A, Raucoules-Aimé
M. Improvement of surgical antibiotic prophylaxis: a prospective evaluation
of personalized antibiotic kits. J Hosp Infect. 2006 Mar;62(3):372-5.
4. Hall C, Allen J, Barlow G. Antibiotic prophylaxis. 2015 Nov;33(11):542-9.
https://doi.org/10.1016/j.mpsur.2015.08.005
5. Garner BH, et al. Surgical Site Infections: An Update. Infect Dis Clin North
Am. 2016.
6. Mueck KM, Kao LS. Patients at High-Risk for Surgical Site Infection. Surg
Infect (Larchmt). 2017 May/Jun;18(4):440-446. doi:
10.1089/sur.2017.058
7. Anderson DJ, Sexton DJ. Antimicrobial prophylaxis for prevention of
surgical site infection in adults. [updated 2018 Mar 9; cited 2018 Dec 30].
Available from: https://www.uptodate.com/contents/antimicrobial-
prophylaxis-for- prevention-of-surgical-site-infection-in-adults#H1
8. Nugraha DP, Fauzia D, Hamidy MY, Noorrahman MI. Penggunaan
Antibiotik Profilaksis Pada Pembedahan Terbuka Batu Saluran Kemih Di
RSUD Arifin Ahmad Provinsi Riau. JIK. 2016 Sep; 10(2):67-70.
9. Dinata, PAW. Evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik profliaksis pada
pasien bedah tulang fraktur terbuka ekstremitas bawah di rumah sakit
ortopedi Prof. Dr.R. Soeharso Surakarta tahun 2017. Surakarta: Fakultas
Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2018.
10. Khabbaz R, et al. Emerging and reemerging infectious disease threats. . In:
Mandell Douglas and Bannett’s Principles and Practice of Infectious
Disease. 8th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. P.173

11. World Health Organization. Antimicrobial resistance. [updated 2018 Feb


15; cited 2018 Dec 30]. Available from: https://www.who.int/news-
room/fact- sheets/detail/antimicrobial-resistance
12. Division of infectious diseases department of clinical pathology
ciptomangunkusumo general hospital. Bacterial and antibiotics
susceptibility profile at cipto mangunkusumo hospital. July-December
2016.
13. Bratzler DW, Dellinger EP, Olsen KM, et al. Clinical practice guidelines for
antimicrobial prophylaxis in surgery. Am J Health-syst Pharm. 2013;
70:195- 283
14. Aznar ML, Schonmeyr B, Echaniz G, et al. Role of Postoperative
Antimicrobials in Cleft Palate Surgery: Prospective, Double-Blind,
Randomized, Placebo-Controlled Clinical Study in India. Plast Reconstr
Surg. 2015 Jul: 136(1):59e-66e
15. Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN) .Antibiotic prophylaxis in
surgery-a national clinical guideline. Edinburgh 2010
16. Gopinath G. Single dose antibiotic prophylaxis in clean soft tissue procedures.
Kerala Journal Of Orthopaedics 2012;25(2):57-64
17. Clarkson A; Bello; Weston V.Guideline for antibiotic prophylaxis in breast
surgery. Nottingham Antibiotic Guidelines committee 2011
18. Prtak LE; Ridgway RJ. Prophylactic antibiotics in surgery. Surgery 27:10. Elsevier
2009
19. Avenia N; Sanguinetti A; Cirocchi R; Docimo G; Ragusa M. Antibiotic prophylaxis
in thyroid surgery: a preliminary multicentric italian experience. Annals of
Surgical Innovation and Research 2009, 3:10
20. Clarkson A; Bello; Weston V.Guideline for antibiotic prophylaxis in breast
surgery. Nottingham Antibiotic Guidelines Committee 2011
21. The American Society of Breast Surgeon. Position statement on antibiotic and
surgical site infection. March 2012
22. Christiansen L; Hoffman H. Antibiotic prophylaxis in head and neck surgery.
Iowa Head and Neck Protocols. University of Iowa 2017
Lampiran Peraturan Direktur Utama
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Nomor : HK.02.03/4.2/20824/2022
Tanggal : 04 Juli 2022

PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPAB)


DI RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

BAB I

PENDAHULUAN

Antibiotik adalah suatu senyawa terlarut yang dihasilkan oleh organisme,


memiliki fungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri, selain itu terkandung
juga senyawa sintetis.1 Antibiotik pertama ditemukan pada tahun 1928 oleh
Alexander Fleming, ketika sedang mempelajari bakteri Staphylococcus, salah satu
biakan bakterinya terkontaminasi jamur Penicillum dan menjadi lisis. Oleh
karena itu, antibiotik pertama ini dinamakan sebagai penisilin.2
Antibiotik digunakan di praktik sehari-hari dalam tatalaksana penyakit yang
disebabkan oleh infeksi bakteri. Penggunaan antibiotik di bidang ilmu kesehatan
kulit dan kelamin bisa secara topikal maupun sistemik. Bakteri bisa menyerang
seluruh bagian tubuh, dari ujung rambut sampai ujung kaki, termasuk organ
kulit dan kelamin. Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak (IKJL) seringkali disebabkan
oleh organisme gram positif, yang cukup sensitif terhadap antibiotik spektrum
sempit.1 Infeksi kulit dan jaringan lunak ini sendiri paling sering disebabkan oleh
Staphylococcus dan Streptococcus, atau bahkan oleh kedua-duanya.3
Penggunaan antibiotik yang sering dan tidak tepat, menyebabkan
terjadinya resistensi bakteri terhadap beberapa antibiotik tertentu, seperti
Methicilin Resistant Staphylococcus aureus komunitas (MRSA-K), Vancomycin-
resistant Enterococcus (VRE), dan Penicillinase-Producing Neisseriae gonorrhoeae
(PPNG).1 Sebuah penelitian di Amerika, tahun 2019, mendapatkan bahwa
proporsi resep antibiotik yang dikeluarkan oleh dermatologi meningkat sebesar
0.7%, terutama antibiotik doksisiklin.4
Pada tahun 2013, Putra M dan kawan kawan melakukan studi prevalensi
MRSA di RSCM, dan didapatkan proporsi MRSA pada pasien IKJL yang dirawat
inap sebesar 47%. Selain itu dilaporkan juga bahwa faktor risiko dari infeksi
MRSA adalah keganasan, penggunaan antibiotik golongan kuinolon dan prosedur
medis invasif.5 Studi pola resistensi antibiotik pada akne vulgaris sedang dan
berat oleh Hafiza F, 2016, didapatkan bahwa bakteri yang ditemukan adalah
Staphylococcus epidermidis (SE) sebesar 50,5%, Proprionibacterium acnes (PE)
sebesar 11,0%, dan Staphylococcus aureus (SA) sebesar 7,7%. Resistensi
antibiotik paling banyak ditemukan adalah eritromisin, terhadap SE (65,2%), SA
(28,6%), dan PA (10%). Resistensi terhadap klindamisin SE (52,2%), SA (14,3%),
dan PA (10%). Resistensi terhadap tetrasiklin hanya ditemukan pada SE (14,3%)
dan PA (10%). Resistensi terhadap doksisiklin pada SA (14,3%) dan SE (4,3%).
Namun tidak ditemukan resistensi terhadap minoksiklin pada ketiga bakteri.6
Widyasari, 2016, melakukan sebuah studi mengenai efektivitas obat
antibiotik topikal terhadap pioderma superfisialis di poliklinik Kulit dan Kelamin
RSCM, didapatkan bahwa kuman penyebab paling banyak adalah
Staphylococcus aureus (23,8%), diikuti dengn Streptococcus pyogenes (7,1%),
dan campuran dari kedua bakteri (55%). Pada hasil kultur SA, didapatkan
Methicilin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) sebanyak 2%. Resistensi
terhadap mupirosin 2% ditemukan pada SA sebesar 6% namun tidak ditemukan
resistensi SP. Resistensi terhadap asam fusidat 2% pada SA sebesar 3% dan SP
sebesar 5,6%. 7 Untuk penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) sendiri, prevalensi
PPNG di dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Sebuah penelitian di Inggris,
tahun 2016 oleh Whittles dkk, mendapatkan bahwa resistensi gonore terhadap
tetrasiklin, ciprofloxacin, dan penisilin tinggi, sebesar 41%, 34%, dan 14%.
Resistensi terhadap azitromisin juga meningkat secara drastis dari tahun 2015 ke
2016, yakni dari 5% menjadi 10%.8
Penelitian di Kanada tahun 2016, oleh Martin dkk, mengatakan bahwa
proporsi Multi Drug Resistant Gonococci (MDR-GC) meningkat dari tahun 2012,
sebesar 2,7% dan ditemukan juga kasus Extreme Drug Resistant Gonococci (XDR-
GC) sebesar 0.1% atau 19 kasus dari total 18.768 kasus.9
Untuk Indonesia sendiri, tahun 2016, Hananta dan kawan kawan,
melakukan studi prevalensi mengenai infeksi gonore asimtomatik dan
resistensinya terhadap sefalosporin, makrolid, doksisiklin, dan kuinolon. Proporsi
gonore asimptomatik didapati sebesar 22.4% dan masih sensitif terhadap
antibiotika golongan seftriakson (100%) dan makrolid (98,7%), tetapi resisten
terhadap doksisiklin (98,7%) dan ciprofloxacin (97,4%).10
Pada tahun 2019, telah dilakukan studi prevalensi gonore yang resisten
terhadap antibiotik pada kelompok resiko tinggi di Jakarta, oleh Prayogo RL, yang
didapatkan bahwa resistensi terhadap penisilin, tetrasiklin, levofloksasin secara
berturut turut adalah 97,1%, 97,1%, 34,3%, namun resistensi terhadap sefiksim
dan seftriakson belum ada.11
Dengan permasalahan yang ada, sesuai dengan anjuran WHO dalam
pedoman tatalaksana gonore, sangatlah penting bagi setiap negara untuk
memiliki atau memperbarui pedoman penanganan IMS sesuai dengan perubahan
pola resistensi antibiotik di negara masing-masing.12 Pendekatan secara sindrom
sudah tidak disarankan oleh WHO karena tingginya angka resistensi gonore
terhadap antibiotiK.
Seiring meningkatnya prevalensi organisme yang resisten terhadap beberapa
antibiotik, hal ini bisa meningkatkan juga angka morbiditas dan bahkan
mortalitas seseorang terhadap suatu penyakit tertentu, dalam hal ini khususnya
IKJL. Sehingga sebagai seorang klinisi, kita harus bijak dalam menggunakan dan
memilih antibiotik untuk pasien kita.
BAB II
ISI

2.1 PENYAKIT BAKTERI


1) Pioderma
Pioderma termasuk dalam infeksi kulit dan jaringan lunak. Infeksi kulit dan
jaringan lunak dibedakan menjadi infeksi purulen dan nonpurulen; dan infeksi
ringan, sedang dan berat.13
Infeksi kulit dan jaringan lunak yang nonpurulen dibagi menjadi:14
1. Infeksi ringan : Infeksi lokalisata
2. Infeksi sedang : Sudah terdapat gejala infeksi sistemik, dengan ≥ 2 kriteria
SIRS
3. Infeksi berat : Tidak membaik dengan pemberian antibiotik oral selama
48 jam atau terdapat ≥ 2 kriteria SIRS dan klinis memburuk secara
progresif / terdapat disfungsi organ atau terdapat kondisi
imunokompromais.

Infeksi kulit dan jaringan lunak yang purulen dibagi menjadi:


1. Infeksi ringan : Infeksi lokalisata, hanya memerlukan insisi dan drainase.
2. Infeksi sedang : Sudah terdapat gejala infeksi sistemik, dengan ≥ 2
kriteria SIRS.
3. Infeksi berat : Tidak membaik dengan tindakan insisi-drainase dan
pemberian antibiotik oral selama 48 jam atau terdapat ≥ 2 kriteria SIRS
dan klinis memburuk secara progresif / terdapat disfungsi organ atau
terdapat kondisi imunokompromais.
Kriteria Systemic Inflamatory Response Syndrome (SIRS),14 yaitu:
1. Suhu tubuh >38oC atau <36oC
2. Nadi> 90 kali/menit
3. Laju nafas >20 kali/menit
4. Leukositosis> 12.000/ul atau <4000/ ul
Infeksi kulit dan jaringan lunak dapat ditatalaksana dengan antibiotik topikal
dan oral, namun pasien dengan kondisi sebagai berikut sebaiknya diberikan
antibiotik parenteral: 13,15
1. Infeksi kulit dan jaringan lunak derajat sedang dan berat.
2. Demam tinggi
3. Hemodinamik tidak stabil
4. Perkembangan eritema yang cepat
5. Kondisi dengan adanya komorbid (gangguan ginjal, diabetes, gagal
jantung, splenektomi) atau adanya kondisi imunosupresi.
6. Perburukan klinis dalam waktu 48 jam setelah pemberian terapi antibiotik
oral
7. Pasien tidak dapat mentoleransi antibiotik oral.

Lokasi lesi dekat dengan alat medis prostetik.


Pengobatan pioderma sebaiknya berdasarkan hasil kultur atau pewarnaan Gram
yang dilakukan sebelum memulai terapi antibiotik. Namun, pemberiaan
antibiotik secara empirik dapat diberikan selama menunggu hasil kultur selesai.
Pengobatan tambahan secara empirik untuk pasien yang terduga MRSA sesuai
dengan kondisi sbb:16
1. Populasi dengan risiko infeksi MRSA tinggi (anak umur < 2 tahun, atlit,
homoseksual, militer, dan pemilik binatang peliharaan)
2. Demam tinggi
3. Hemodinamik tidak stabil
4. Riwayat pernah terinfeksi MRSA
5. Respon klinis kurang dengan penggunaan antibiotik yang tidak aktif
melawan MRSA
6. Adanya faktor risiko MRSA (rawat inap, baru saja dilakukan operasi,
hemodialisa, dan infeksi HIV)
7. Kedekatan lesi dengan adanya alat medis prospetik

Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik
Staphylococcus
Aerius dan Asam Fusidat 2-4 kali sehari
Impetigo
Streptokokkus 2% topikal selama 7 hari
Grup A
Dewasa: 3 x 625 mg PO
selama 7 hari
Amoksisilin/
Anak: 25 mg/kgbb/hari PO
Asam Klavulanat
terbagi dalam 3 dosis
selama 7 hari
Dewasa: 2x 500 mg PO
selama 7 hari
Cefadroxil Anak: 30 mg/kgbb/ hari PO
Impetigo, Methicillin- terbagi dalam 2 dosis
Ektimaa, sensitive S. selama 7 hari
Folikulitis Aureus (MSSA) Dewasa: 3 – 4 x 300-450 mg
PO selama 7 hari
Klindamisin
Anak: 20-30 mg/kgbb/hari
PO terbagi dalam 3 dosis
Dewasa: 4 x 250-500mg PO
selama 7 hari
Eritromisinb
Anak: 30-50 mg/kgbb/hari
PO terbagi dalam 3-4 dosis
selama 7 hari
Dewasa: 4 x 300-450 mg PO
selama 7 hari
Klindamisin Anak: 20-40mg/ kgbb / hari
PO terbagi dalam 3-4 dosis
selama 7 hari
Dewasa: 2 x 160/800 mg
Impetigo, Methicillin- selama 7 hari
Trimetoprim-
Ektimaa, resistant S. Anak: 8 – 12 mg/kg /hari PO
sulfametoxazol
Folikulitis aureus (MRSA) terbagi dalam 2 dosis
selama 7 hari
Dewasa: 2 x 100 mg
selama 7 hari
Doksisiklin Anak : 2 mg/kgbb/ dosis PO
dua kali sehari
(max 100mg/dosis)
selama 7 hari
Hanya untuk usia 8 tahun ke
atas (13,17,18)
Dewasa: 3 x 625 mg
PO selama 10 hari
Amoksisilin/
Anak: 25 mg/kg/hari PO
asam klavulanat
terbagi dalam 3 dosis
Impetigo,
selama 10 hari
Ektimaa, Streptococcus
Dewasa: 3 – 4 x
Folikulitis Grup A
300-450 mg PO
Klindamisin selama 10 hari
Anak: 20-30 mg/kgbb/hari
PO terbagi dalam 3 dosis
selama 10 hari
Impetigo, Dewasa: 4 x 250-500mg PO
Streptococcus
Ektimaa, Eritromisinb
Grup A selama 10 hari
Folikulitis
Anak: 30-50 mg/kgbb/hari
PO terbagi dalam 3-4 dosis
selama 10 hari

Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit
Insisi dan drainase
Furunkel dan
Staphylococcus dilanjutkan dengan
Karbunkel
aerius Topikal Asam 2-4 kali sehari
ringan
Fusidat 2% selama 7 hari
Insisi dan drainase
dilanjutkan dengan
Dewasa: 3 x 625 mg PO
Amoksisilin/ selama 7 -14 hari
asam klavulanat Anak: 25 mg/kg /hari
PO terbagi dalam 3 dosis
selama 7-14 hari
Dewasa: 2x 500 mg PO
selama 7-14 hari
Furunkel
Anak: 30 mg/kgbb/ hari
dan Staphylococcus Cefadroxil
PO terbagi dalam 2 dosis
Karbunkel aureus
PO selama 7-14 hari
dengan
Dewasa: 3 – 4 x 300-450
penyulitc
mg PO selama 7-14 hari
Klindamisin Anak: 20-30 mg/kgbb /hari
PO terbagi dalam 3 dosis
selama 7-14 hari
Dewasa: 4 x 250-500mg
PO selama 7-14 hari
Eritromisinb Anak: 30-50 mg/kgbb /hari
PO terbagi dalam 3-4
dosis selama 7-14 hari
Furunkel
Anak: 50-100 mg/
dan Methicillin-
kgbb/hari terbagi dalam
Karbunkel sensitive S. Cefazolin IV
3 dosis (max 3 g/ hari)
yang luas Aureus (MSSA)
selama 7-14 hari
dan beratd
Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit
Dewasa: 15-20 mg/kg
Furunkel
terbagi 2 – 3 kali sehari
dan Methicillin- Vankomisin IV selama 7 – 14 hari
Karbunkel resistant S.
yang luas aureus (MRSA) Anak: 40 mg/kg/ hari
dan berat terbagi dalam 4 dosis
selama 7–14 hari

Dewasa: 1.5 – 3 gram

setiap 6 jam

(maks. 12 gram sehari)

selama 10-14 hari

Ampisilin Anak (di atas usia 1


Sulbactam IV tahun):

< 40 kg:200mg/kgbb /hari


terbagi 4 dosis

> 40 kg: 1.5 – 3 gram


Furunkel
setiap 6 jam (maksimal
dan
Streptococcus 12 gram sehari) Selama
Karbunkel
10-14 hari
Grup A
dengan
Dewasa: 600-900 mg
Limfangitis
setiap 8 jam selama 10 -
14 hari
Klindamisin IV
Anak: 10 – 13 mg/kg/
dosis setiap 8 jam selama
10–14 hari

Dewasa: 15-20 mg/kg


terbagi 2 – 3 kali sehari
selama 10 – 14 hari
Vankomisin IV
Anak: 40 mg/kg/ hari
terbagi dalam 4 dosis
selama 10 – 14 hari

a : Untuk ektima untuk mencegah penularan, diberikan pemberian topikal


bersamaan dengan sistemik.
b : Diberikan pada pasien yang alergi penisilin
c : Apabila dalam 2 x24 jam tidak respon dengan antibiotik oral, maka secara
empiris dianggap MRSA, dan terapi menggunakan Ab parenteral atau
intravena (IV)
d : Pemberian antibiotik untuk furunkel dan karbunkel luas pada dewasa,
secara empiris langsung dianggap MRSA
2) Selulitis dan Erisipelas 13,20,21

Selulitis dan Erisipelas adalah infeksi bakteri nonpurulen akut dari dermis yang
disebabkan oleh grup A Streptococcus-Hemolyticus. Tetapi bisa juga disebabkan
oleh Streptococcus grup B, grup C, grup G.
Derajat ringan-beratnya kasus infeksi kulit dan jaringan lunak secara umum,
termasuk erisipelas, dapat menggunakan klasifikasi karakteristik pasien oleh
Eron et al:
1. Afebris dan sehat
2. Demam dan kondisi umum tidak baik tapi tanpa penyakit komorbid yang
tidak stabil, atau keadaan umum baik namun terdapat penyakit komorbid
yang tidak terkontrol.
3. Toxic appearance atau terdapat risiko amputasi pada ekstremitas.
4. SIRS atau terdapat infeksi yang mengancam jiwa seperti fasiitis
nekrotikans. (Kriteria SIRS: Suhu tubuh >38oC atau <36oC, Nadi> 90
kali/menit, Laju nafas >20 kali/menit, Leukositosis> 12.000/ul atau
<4000/ ul).

Apabila pasien dengan erisipelas berat atau sudah terdapat gejala umum, maka
pasien harus diberikan antibiotik parenteral.

Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit
Dewasa: 3 x 500 mg PO
selama 7-10hari
Paling sering Anak: 25-50
Amoksisilin
Streptococcus 𝛽- mg/kgbb/hari dibagi
Hemolyticus. dalam 3 dosis
Erisipelas Dapat pula: selama 7-10 hari
Ringana Streptococcus Dewasa: 4 x 250-500mg
grup A, grup C, PO selama 7-10 hari
grup G. Anak: 30-50
Eritromisin
mg/kgbb/hari PO
terbagi dalam 3-4 dosis
selama 7-10 hari
Dewasa: 1 – 2 x
Paling sering 1 – 2 gram
Streptococcus 𝛽- Selama 7-10 hari
Erisipelas Hemolyticus. Anak <45 kg:
Sedang- Dapat pula: Seftriakson IV 50 mg/kgbb/hari terbagi
beratb Streptococcus dalam 1 kali dosis
grup A, grup C, Selama 7-10 hari
grup G Anak >45 kg:
1 – 2 x 1-2 gram IV
a: Tidak terdapat gejala umum
b: terdapat gejala umum; erisipelas bulosa; erisipelas hemoragik
Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit
Dewasa: 3 x 625 mg PO
selama 7-10 hari
Amoksisilin /
Anak: 25-50
Asam Klavulanat
mg/kgbb/hari PO terbagi
dalam 3 dosis
selama 7-10 hari
Dewasa: 2x 500 mg PO
selama 7-10 hari

MSSA Cefadroxil Anak: 30 mg/kgbb/ hari


PO terbagi dalam 2 dosis
selama 7-10 hari
Dewasa: 3 – 4 x
300-450 mg PO
selama 7-10 hari
Klindamisin Anak: 20-30
mg/kgbb/hari PO
terbagi dalam 3 dosis
Selama 7-10 hari
Dewasa: 4 x 300 mg PO
selama 7-10 hari
Selulitis Streptokokus Anak: 40 mg/kgbb/hari
ringana Klindamisin
dan MRSA PO terbagi dalam 3-4
dosis
selama 7-10 hari
Amoksisilin
Dewasa: 3 x 500 mg PO
selama 7-10 hari
Amoksisilin
Anak: 25-50
Amoksisilin mg/kgbb/hari PO
Dan terbagi dalam 3 dosis
Trimethoprim- selama 7-10 hari
sulfamethoxazole TMP-SMX
Streptokokus (1B) Dewasa: 2 x 160/800
dan MRSA mg selama 7-10 hari
TMP-SMX
Anak: 8 – 12 mg/kg/hari
PO terbagi dalam 2 dosis
selama 7-10 hari
Amoksisilin
Amoksisilin Dewasa: 3 x 500 mg PO
Dan selama 7-10 hari
Doksisiklin (1B) Amoksisilin
Anak: 25-50
mg/kgbb/hari PO terbagi
dalam 3 dosis
selama 7 hari
Doksisiklin
Dewasa: 2 x 100 mg
selama 7-10 hari
Doksisiklin
Anak 2 mg/kgbb/dosis PO
dua kali sehari
(max 100mg/dosis)
selama 7 hari
Hanya untuk usia 8
tahun ke atas (13,17,18)
Dewasa: 2 x 600 mg PO
selama 7-10 hari

Anak: 10 mg/kg/dosis PO
Linezolid (IA) diberikan 3 dosis
(dosis maksimum: 600
mg/dosis)
selama 7-10 hari

Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit

Dewasa: 600-900 mg
setiap 8 jam selama 10
Streptokokus Klindamisin IV hari

dan MSSA Anak: 10 – 13


mg/kg/dosis setiap 8
jam selama 10 hari

Dewasa: 1 – 2 x 1 – 2
gram

Selama 10 hari

Anak <45 kg:


Selulitis Seftriakson IV 50 mg/kgbb/hari terbagi
sedangb dalam 1 kali dosis

selama 10 hari
Streptokokus
Anak >45 kg:
dan MRSA
1 – 2 x 1-2 gram IV

Dewasa: 2 x 600 mg IV
selama 10 hari

Anak: 10 mg/kg/dosis IV
Linezolid IV (1A)
diberikan 3 dosis

(dosis maksimum: 600


mg/dosis)
selama 10 hari

Dewasa: 15-20 mg/kg IV


terbagi 2 – 3 kali sehari

selama 10 hari
Vankomisin
IV(1A)
Anak: 40 mg/kg/ hari
IV terbagi dalam 4 dosis
selama 10 hari

Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit

Vankomisin

Dewasa: 15-20 mg/kg IV


terbagi 2 – 3 kali sehari

selama 10-14 hari

Vankomisin

Anak: 40 mg/kg/ hari


IV terbagi dalam 4 dosis
Vankomisin selama 10-14 hari
Selulitis Streptokokus, IV(1A) dan
Piperasilin-tazobaktam
berat c MSSA dan MRSA Piperasilin-
tazobaktam IV Dewasa: 4 x 3,375 gram

Selama 10-14 hari

Piperasilin-tazobaktam

Anak: Piperasilin 100


mg/kgbb atau
Tazobactam 12,5
mg/kgbb dibagi 3 dosis

Selama 10-14 hari

a : Infeksi lokalisata, tidak terdapat gejala sistemik


b : Sudah terdapat gejala infeksi sistemik, dengan ≥ 2 kriteria SIRS
c : ≥2 Kriteria SIRS dan klinis memburuk secara progresif / terdapat disfungsi
organ atau terdapat kondisi imunokompromais.

3) Fasiitis Nekrotikans 13,20,23–26

Fasiitis nekrotikans adalah infeksi di jaringan lunak dalam yang menyebabkan


destruksi jaringan lemak subkutan, fasia, dan otot. Penyakit ini disebabkan oleh
polimikrobial (aerob dan anaerob), monomikrobial (Streptococcus grup A atau
Streptococcus 𝛽-Hemolyticus) dan gangren gas, dengan angka mortalitas
mencapai 50%. Penanganan kasus ini harus segera, dengan debridement dan
pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik secara empiris harus memiliki spektrum luas, termasuk
terhadap Gram-positif, Gram-negatif, MRSA dan anaerob. (Ic)
Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik
Ampisilin Sulbaktam
Dewasa: 1.5 – 3 gram IV
4 kali sehari (maks. 12
gram sehari)
Ampisilin Sulbaktam
Anak (di atas usia 1
tahun):
< 40 kg: 200mg/kgbb/hari
Ampisilin
IV terbagi 4 dosis
Sulbaktam IV
> 40 kg: 1.5 – 3 gram IV
dan
4 kali sehari (maks 12
Klindamisin PO
gram sehari)
Polimikrobial Klindamisin
(aerob dan Dewasa: 4 x 300-450 mg
anaerob), PO
Fasiitis monomikrobial Klindamisin
Nekrotikans (Streptococcus Anak: 20-40mg / kgbb /
grup A atau hari PO terbagi dalam 3-4
Streptococcus 𝛽- dosis
Hemolyticus) dan Gentamisin
gangren gas Dewasa : 3-5
mg/kgbb/hari IV terbagi
dalam 3 – 4 dosis
Gentamisin
Anak: 2-2.5 mg/kgbb IV
Gentamisin IV
setiap 8 jam
dan
Klindamisin
Klindamisin PO
Dewasa: 4 x 300-450 mg
PO
Klindamisin
Anak: 20-40mg/kgbb/
hari PO terbagi dalam 3-4
dosis

4) Sindrom Syok Toksik

Sindrom Syok Toksik (SST) adalah respons inflamasi yang ditandai dengan
demam, hipotensi, ruam pada kulit. Keterlibatan multiorgan menunjukkan
beratnya penyakit yang diperantarai oleh superantigen. 27
Secara klinis, SST ini dibagi menjadi dua, yaitu:
1. SST stafilokokal
Kondisi ini paling sering disebabkan oleh superantigen toksin SST-1, selain
itu juga stafilokokal enterotoksin B, enterotoksin C. Kondisi ini juga biasanya
berhubungan dengan luka setelah pembedahan, sinusitis, osteomielitis,
influenza, penggunaan narko ba suntik (penasun), luka bakar, dan infeksi
ginekologi (terutama masa postpartum).27
Kriteria SST stafilokokal menurut CDC 27
Kriteria mayor Keterlibatan multiorgan Hasil tes normal
(harus semua terpenuhi) (minimal 3 atau lebih)
- Demam >38.9 C o - Gastrointestinal: - Kultur darah,
- Ruam makular muntah atau diare tenggorokan, atau
eritroderma difus - Otot: mialgia berat atau cairan SSP
- Deskuamasi 1 – 2 minggu kadar kreatinin kinase - Peningkatan kadar
setelah onset dari penyakit, dua kali normal antibodi untuk
terutama di telapak tangan - Mukosa: hiperemis pada Rocky Mountain
dan kaki konjungtiva, orofaring spotted fever,
- Hipotensi, dengan atau vagina leptospirosis, atau
tekanan sistolik <95 mm - Renal: kadar BUN dan campak
Hg untuk dewasa atau < 5 kreatinin dua kali
tahun persentil untuk normal, atau kadar
anak < 16 tahun, atau leukosit >5 LPB
sinkop ortostatik - Hepar: Kadar SGPT,
SGOT, dan bilirubin total
dua kali nilai normal
Hematologi: Kadar
trombosit <
100.000/mm3
- Neurologi: disorientasi
atau perubahan
kesadaran tanpa defisit
neurologis fokal ketika
tidak disertai demam
atau hipotensi

2. SST streptokokal
Penyakit ini paling sering disebabkan oleh Streptococcal pyrogenic exotoxin
A (SPEA), selain itu juga bisa disebabkan Streptococcal pyrogenic exotoxin B
(SPEB), Streptococcal pyrogenic exotoxin C (SPEC), dan selain dari
streptokokus grup A. kondisi ini juga biasanya berhubungan dengan luka,
paska infeksi cacar atau influenza A.27

Nama
Nama antibiotik Dosis
Penyakit Patogen
SST Stafilokokal: Ampisilin Sulbaktam
superantigen Dewasa: 1.5 – 3 gram IV
toksin SST-1, 4 kali sehari (maks. 12
Sindrom selain itu juga gram sehari)
Syok Toksik stafilokokal Ampisilin Sulbaktam
Stafilokokal enterotoksin B, Anak (di atas usia 1
Ampisilin
enterotoksin C tahun):
Sulbaktam IV
& < 40 kg:
dan
SST Streptokokal: 200mg/kgbb/hari IV
Klindamisin PO
Sindrom Syok Streptococcal terbagi 4 dosis
Toksik pyrogenic exotoxin > 40 kg: 1.5 – 3 gram IV
Streptokokal A (SPEA), selain 4 kali sehari (maks 12
itu juga bisa gram sehari)
disebabkan Klindamisin
Streptococcal Dewasa: 4 x 300-450 mg
pyrogenic exotoxin PO
B (SPEB), Klindamisin
Streptococcal Anak: 20-
pyrogenic exotoxin 40mg/kgbb/hari PO
C (SPEC), dan terbagi dalam 3-4 dosis
selain dari Gentamisin
streptokokus Dewasa : 3-5
grup A mg/kgbb/hari IV terbagi
dalam 3 – 4 dosis
Gentamisin
Anak: 2-2.5 mg/kgbb IV
Gentamisin IV dan setiap 8 jam
Klindamisin PO Klindamisin
Dewasa: 4 x 300-450 mg
PO
Klindamisin
Anak: 20-40mg / kgbb
/ hari PO terbagi dalam
3-4 dosis

5) Hidradenitis Supuratif

Kriteria diagnosis hidradenitis supuratif (HS)28 adalah


Kriteria Keterangan

1. Lesi tipikal (1 atau Nodul nyeri dan dalam, abses, draining sinuses,
lebih) double-open-comedo, jembatan jaringan

Aksila, selangkangan, bokong, perineum dan regio


2. Distribusi tipikal
inframamae. Regio yang atipikal (Tungkai bagian
atas, lipatan kulit abdomen) juga bisa terjadi tetapi
harus disertai dengan lesi di tempat yang tipikal
3. Kronisitas dan Memiliki 2 kejadian rekurensi dalam periode 6
rekurensi bulan

Untuk menentukan derajat ringan beratnya HS, biasanya memakai kriteria


Hurley28, yakni:
Stadium
Karakteristik
Hurley

Stadium I Abses rekuren tanpa skar atau formasi sinus

Stadium II Abses rekuren dengan skar dan formasi sinus yang


dipisahkan dengan kulit normal

Stadium III Abses rekuren, skar difus, dan sinus yang menyambung
satu dengan yang lain dengan kulit normal yang minimal
atau bahkan tidak ada kulit normal
Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit

Lini Pertama:
Topikal 2 x sehari
Klindamisin 1% selama 12 minggu
Hidradenitis losion
Supuratif
Lini Alternatif :

Stadium I Keterlibatan Eritromisin 2 %


bakteri masih losion
kontroversial.
Namun pada Lini Pertama: Klindamisin
kultur
seringkali Klindamisin 3 x 300 mg PO
ditemukan
dan Rifampin
Coagulase-
negative Rifampicin 2-3 x 300 mg PO
staphylococcus
Hidradenitis dan bakteri Lini Alternatif : Moksifloksasin
Supuratif anaerob.
Moksifloksasin 1x400 mg PO
Stadium II &
dan Metronidazole
Stadium III
Metronidazole 3 x 500 mg PO

dan Rifampin
Rifampin 10 mg/kgbb/hari PO

6) Staphylococal Scalded-Skin Syndrome

Staphylococcal Scalded-Skin Syndrome (SSSS) adalah kumpulan gejala yang


disebabkan oleh exfoliatin toxin A dan B (ETA dan ETB) yang dihasilkan oleh
strain S.aureus tertentu. Toksin tersebut berikatan dengan molekul desmoglein-1
untuk adhesi sel, sehingga menyebabkan terjadinya epidermolisis. Gejala klinis
SSSS adalah eksantema berupa makula jingga kemerahan yang tidak mengenai
mukosa dan terasa nyeri. Eksantema biasanya lebih jelas di daerah perorifisial
dan fleksural. Tanda khas penyakit ini adalah kulit epidermis tampak keriput
(tissue-paper-like wringkling) berubah menjadi bula kendur yang luas di daerah
periorifisial dan fleksural. Terdapat tanda nikolsky positif. 27
Pemberian antibiotik pada SSSS dikhususkan untuk bakteri S. aureus saja 26,27

Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik

Dewasa:

Oral: 3-4 x 300-450 mg


PO

Parenteral: 3 x 600 –
900 mg IV

selama 7 – 14 hari

Anak:
Klindamisina
Oral: 20-30
mg/kgbb/hari terbagi 4
Exfoliatin toxin A dosis
Staphylococal dan B (ETA dan
ETB) yang Parenteral: 10 – 13
Scalded-Skin mg/kgbb/dosis IV
Syndrome dihasilkan oleh
strain S.aureus diberikan 3 dosis
tertentu selama 7 – 14 hari
(SSSS)

Dewasa: 2 g/hari

IM atau IV satu kali


sehari
Seftriakson
selama 7 – 14 hari

Anak: 75 mg/kgBB IV
satu kali sehari

selama 7 – 14 hari

a : Klindamisin memiliki anti-stafilokokus namun tidak direkomendasikan


sebagai tatalaksana utama sehubungan adanya laporan resistensi
klindamisin.

7) Tuberkulosis Kutis29,30

Tuberkulosis kutis adalah infeksi pada kulit yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. TB kutis ini termasuk ke dalam penyakit TB ekstra
paru.31
a. Topikal
Pada bentuk ulkus dengan pus (tanda-tanda infeksi sekunder) dilakukan
kompres dengan kalium permanganas 1/5000.
b. Sistemik
Pengobatan TB kutis sama dengan pengobatan TB paru pada umumnya
(Ia).32,33 Pemberian regimen terapi dapat berupa kombinasi dosis tetap
(KDT) atau dosis lepasan, tetapi WHO lebih merekomendasikan pemakaian
obat kombinasi dosis tetap (KDT) untuk meningkatkan kepatuhan pasien.
Dosis paduan KDT dapat dilihat pada tabel di bawah. 34
WHO juga merekomendasikan pemberian OAT dosis harian pada fase intensif dan
fase lanjutan, karena pemberian OAT intermitten (3 kali per minggu) pada pasien
lanjutan meningkatkan risiko terjadinya gagal terapi, kambuh dan resisten obat.
Tetapi sampai saat ini OAT yang berasal dari program kementerian kesehatan
masih memberikan terapi dengan dosis intermitten pada fase lanjutan. 34

Prinsip pengobatan OAT adalah sebagai berikut: 30,32-35


 Diberikan paduan OAT yang mengandung minimal kombinasi 4 macam obat

 Diberikan dalam dosis tepat

 Diberikan dalam jangka waktu yang cukup dalam 2 tahap, yaitu: tahap awal

(intensif) selama dua bulan dan tahap lanjutan selama minimal 7 bulan.
 Durasi total pengobatan (tahap intensif + tahap lanjutan) 9 bulan ATAU 2

bulan setelah lesi kulit menyembuh dengan minimal terapi selama 9 bulan.13
Sedangkan pada anak dapat sampai 12 bulan 36,37
 Regimen Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dewasa: 2HRZE (intensif) / 7(HR)3

(lanjutan) atau 2HRZE (intensif) / 7HR (lanjutan) 30,32,33


 Regimen Obat Anti Tuberkulosis (OAT) anak : 2HRZE (intensif) / 7-10HR

(lanjutan)

OAT Dewasa Kombinasi Dosis Tetap (KDT) 38


Tahap Intensif Tahap Lanjutan
Tiga kali
setiap hari Setiap hari
Berat seminggu
selama 56 hari selama 16
Badan selama 16
RHZE minggu
minggu
(150/75/400/275) RH (150/75)
RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT 2 tablet 2 KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT 3 tablet 2 KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT Atau 4 tablet 2 KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT 5 tablet 2 KDT

OAT Dewasa Dosis Lepasan 32,33,38


Dosis rekomendasi
Obat Harian
Dosis Maksimum
(mg/kgBB) (mg)
Isoniazid (H) 5 (4-6) 300
Rifampisin (R) 10 (8-12) 600
Pirazinamid (Z) 25 (20-30) -
Etambutol (E) 15 (15-20) -

OAT Anak Kombinasi Dosis Tetap (KDT) 35


Berat badan 2 bulan 7-10 bulan
(kg) RHZ (75/50/150) RH (75/50)
5–7 1 tablet 1 tablet
8 – 11 2 tablet 2 tablet
12 – 16 3 tablet 3 tablet
17 -22 4 tablet 4 tablet
23 – 30 5 tablet 5 tablet
OAT Anak Dosis Lepasan 38
Dosis
(mg/kb Dosis
Obat Efek samping
berat maksimal
badan)
Peningkatan transaminase,
Isoniazid 7 – 15 300 mg hepatitis, neuritis perifer,
hipersensitivitas
Warna sekresi urin kuning,
Rifampisin 10 – 20 600 mg mual, muntah, hepatitis, flu
like reaction
Hepatotoksisitas,
Pirazinamid 30 – 40 2g
hipersenstivitas
Neuritis optikal (reversibel),
Etambutol 15 -25 ,5 g gangguan visus, gangguan
warna, gangguan saluran cerna
Streptomisin 15 – 40 1g Ototoksisitas, neurotoksisitas

8) Mikobakterium Atipikal 39–41

Prinsip pengobatan mikobakterium atipikal atau Nontuberculous Mycobacteria


(NTM) secara umum:
 Durasi terapi sulit ditentukan, tetapi untuk area yang lebih luas, lesi yang
lebih dalam, atau sampai mengenai tulang, diperlukan durasi yang lebih
panjang, tergantung spesies.
 Terapi sebaiknya tidak empiris, tetapi bila diperlukan dapat dimulai dengan
klaritromisin, tetapi sebaiknya multi-drug regimen (dual therapy) untuk 3-6
bulan/ 4-8 minggu setelah resolusi klinis.
 Penanganan NTM sebaiknya secara multidisipliner dari beberapa bidang
kedokteran, dari departemen kulit dan kelamin dan departemen
mikrobiologi.

Nama Penyakit Patogen Nama antibiotik Dosis


Rifampisin Rifampisin
dan 10 mg/kgBB/hari PO
Mikobakterium Mycobacterium Klaritromisin (maksimal 600 mg)
Atipikal ulcerans
Klaritromisin
Selama 8 Minggu 2 x 500 mg PO
(Minimal Klaritromisin
Mycobacterium Menggunakan 2 2 x 500 mg PO
marinum Jenis Obat) Etambutol
15 mg/KgBB/hari PO
Klaritromisin
dan
Mikobakterium
Etambutol Rifampin
Atipikal
atau 600 mg PO, durasi
Rifampin pemberian minimal 3 –
6 bulan.
Durasi minimal 3-6 Infeksi lebih dalam
bulan. Infeksi lebih setidaknya 7 bulan
dalam setidaknya 7
bulan
(Minimal Kuinolon
Menggunakan 2 Siprofloksasin 2 x 750
Jenis Obat) mg PO
Sulfonamid
Siprofloksasin TMP/SMZ 2 x 160/800
dan mg PO
TMP/SMZ
Klaritromisin
dan
2 x 500 mg PO
Klaritromisin
Rapid Growers
atau
Mycobacterium
Doksisiklin

Selama 4-6 minggu


Infeksi yang luas Doksisiklin
sebaiknya 2 x 100 mg PO
ditambahkan
amikasin, cefoksitin,
imipenem, atau
linezolid.
Rifampisin
(Minimal Menggunakan
1 x 600 mg PO
2 Jenis Obat)
atau
Rifabutin
Rifampisin/Rifabutin
1 x 300 mg PO
dan
Klaritromisin
Klaritomisin/
2 x 500 mg
Azitromisin
Mycobacterium atau
Mikobakterium dan
haemophilum Azitromisin
Atipikal Moksifloksasin/
1 x 500 mg
Siprofloksasin
Kuinolon
Moksifloksasin
Durasi sampai
1 x 400 mg
beberapa bulan
atau
sampai dengan
Siprofloksasin
perbaikan klinis
2 x 500 mg
9) Kusta
Pengobatan kusta mengikuti program kementrian kesehatan/WHO.42–45

Penyakit Usia Lini Pertama Alternatif


Rifampisin 600
mg/bulan PO diberikan
sebanyak 6 dosis yang
Rifampisin 600
diselesaikan dalam
mg/bulan PO diberikan
6 – 9 bulan
sebanyak 6 dosis yang
Dan
diselesaikan dalam 6 – 9
Dapson 100 mg/hari PO
Dewasa, atau bulan
yang diselesaikan
> 15 tahun Dan
selama 6 – 9 bulan
Dapson 100 mg/hari PO
Dan
yang diselesaikan
Klofazimin 300 mg/
selama 6 – 9 bulan
bulan PO dan 50 mg/
hari PO yang
diselesaikan
selama 6 – 9 bulan
Rifampisin 450 mg/bulan
Kusta tipe
PO diberikan sebanyak 6
pausibasilar
dosis yang diselesaikan
(PB)
Anak 10-15 dalam 6-9 bulan
-
tahun Dan
Catatan: Untuk
Dapson 50 mg/hari PO
kusta tipe PB,
yang diselesaikan
rejimen terapi
selama 6 – 9 bulan
diselesaikan
Rifampisin 300 mg/bulan
dalam 6 bulan,
PO diberikan sebanyak 6
maksimal 9
dosis yang diselesaikan
bulan
dalam
Anak 5-9
6-9 bulan -
tahun
Dan
Dapson 25 mg/ hari PO
yang diselesaikan dalam
6-9 bulan
Rifampisin 10–15 mg/kg
/bulan PO diberikan
sebanyak
6 dosis yang
Anak < 5 diselesaikan dalam
-
tahun 6 – 9 bulan
Dan
Dapson 1-2 mg/kg/hari
PO yang diselesaikan
selama 6 – 9 bulan
Kusta tipe Rifampisin 600 mg/
multibasilar bulan PO diberikan
(MB) sebanyak 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12 –
Catatan: Untuk Dewasa, atau 18 bulan
-
kusta tipe MB, > 15 tahun Dan
rejimen terapi Dapson 100 mg/hari PO
diselesaikan selama 12 – 18 bulan
dalam 12 Dan
bulan, Klofazimin 300 mg/bln
maksimal 18 PO diberikan sebanyak
bulan 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12 –
18 bulan
Dan
Klofazimin 50 mg/hari
PO yang diselesaikan
dalam 12 – 18 bulan
Rifampisin 450
mg/bulan PO diberikan
sebanyak 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12 –
18 bulan
Dan
Dapson 50 mg/hari PO
selama 12 – 18 bulan
Dan
Anak 10-15
Klofazimin 150 -
tahun
mg/bulan PO diberikan
sebanyak 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12 –
18 bulan
Dan
Klofazimin 50 mg PO
selang sehari yang
diselesaikan dalam 12 –
18 bulan

Rifampisin 300
mg/bulan PO diberikan
sebanyak 12 dosis yang
diselesaikan dalam 12 –
Kusta tipe
18 bulan
multibasilar
Dan
(MB)
Dapson 25 mg/hari PO
selama 12 – 18 bulan
Catatan: Untuk
Dan
kusta tipe MB, Anak 5-9
Klofazimin 100 -
rejimen terapi tahun
mg/bulan PO diberikan
diselesaikan
sebanyak 12 dosis yang
dalam 12
diselesaikan dalam 12 –
bulan,
18 bulan
maksimal 18
Dan
bulan
Klofazimin 50 mg dua
kali seminggu yang
diselesaikan dalam 12 –
18 bulan
Rifampisin
10-15 mg/kg/bulan PO
diberikan sebanyak 12
dosis yang diselesaikan
dalam 12 – 18 bulan
Dan
Dapson 1-2 mg/kg/hari
PO selama 12 – 18
bulan
Anak < 5
Dan
tahun
Klofazimin 6
mg/kg/bulan PO
diberikan sebanyak 12
dosis yang diselesaikan
dalam 12 – 18 bulan
Dan
Klofazimin 1 mg/kg/hari
PO setiap hari
selama 12 – 18 bulan(43)

Penyakit Lini Pertama Alternatif


6 bulan pertama
Klofazimin 50 mg/hari PO 6 bulan pertama
dan Klofazimin 50 mg/hari PO
Ofloksasin 400 mg/hari dan
PO Ofloksasin 400 mg/hari
Kusta tidak dan PO
dapat Minosiklin 100 mg/hari PO dan
mengkonsumsi Klaritomisin 500 mg/hari
rifampisin 18 bulan selanjutnya PO
(resisten atau Klofazimin 50 mg/hari PO
alergi) Dan 18 bulan selanjutnya
Ofloksasin 400 mg/hari Klofazimin 50 mg/hari PO
PO Dan
Atau Ofloksasin 400 mg/hari
Minosiklin 100 mg/hari PO PO

Penyakit Lini Pertama Alternatif


6 bulan pertama
Klaritromisin 1x500 mg PO
dan
Kusta tidak dapat
Minoksiklin 1x100 mg PO
mengkonsumsi
dan
rifampisin dan -
Klofazimin 1x50 mg PO
ofloksasin (resisten
atau alergi)
18 bulan selanjutnya
Klaritromisin 1x 500 mg PO
Atau
Minoksiklin 1x100 mg PO
Dan
Klofazimin 1x50 mg PO

Keterangan: Ofloksasin bisa


digantikan oleh
levofloksasin 500 mg atau
moksifloksasin 400 mg

Penyakit Usia Lini Pertama Alternatif

Rifampisin 600 mg/bulan PO


diberikan sebanyak 6 dosis
yang diselesaikan dalam 6 – 9
bulan
Dan
Dewasa, Klofazimin 300 mg/bln PO
atau diberikan sebanyak 6 dosis -
> 15 tahun yang diselesaikan
selama 6 – 9 bulan
Dan
Klofazimin 50 mg/hari PO
yang diselesaikan
selama 6 – 9 bulan
Rifampisin 450 mg/bulan PO
diberikan sebanyak 6 dosis
Kusta tipe
yang diselesaikan
pausibasilar (PB)
dalam 6-9 bulan
tidak dapat
Dan
mengkonsumsi
Klofazimin 150 mg/bulan PO
dapson (resisten atau Anak 10-15
diberikan sebanyak 6 dosis -
alergi) tahun
yang diselesaikan dalam 6 – 9
bulan
Catatan: Untuk kusta
Dan
tipe PB, rejimen
Klofazimin 50 mg PO selang
terapi diselesaikan
sehari yang diselesaikan
dalam 6 bulan,
dalam 6 -9 bulan
maksimal 9 bulan
Rifampisin 300 mg/bulan PO
diberikan sebanyak 6 dosis
yang diselesaikan dalam 6-9
bulan
Dan
Klofazimin 100 mg/bulan PO
Anak 5-9 diberikan sebanyak 6 dosis
-
tahun yang diselesaikan dalam 6 –
9 bulan
Dan
Klofazimin 50 mg dua kali
seminggu yang diselesaikan
dalam
6 – 9 bulan
Rifampisin
Kusta tipe 10 -15 mg/kg/bulan PO
pausibasilar (PB) diberikan sebanyak 6 dosis
tidak dapat yang diselesaikan
mengkonsumsi dalam 6 – 9 bulan
dapson (resisten atau Dan
alergi) Anak < 5 Klofazimin 6 mg/kg/bulan
-
tahun PO diberikan sebanyak 6
Catatan: Untuk kusta dosis yang diselesaikan dalam
tipe PB, rejimen terapi 6-9 bulan
diselesaikan dalam 6 Dan
bulan, maksimal 9 Klofazimin 1 mg/kg/hari PO
bulan setiap hari
selama 6 – 9 bulan (43)
Kusta tipe Rifampisin 600 mg/ bulan
multibasilar (MB) PO diberikan sebanyak 12
tidak dapat dosis yang diselesaikan
mengkonsumsi dalam 12 – 18 bulan
dapson (resisten atau Dan
alergi) Dewasa, Klofazimin 300 mg/bln PO
atau > 15 diberikan sebanyak 12 dosis -
Catatan: Untuk kusta tahun yang diselesaikan dalam 12 –
tipe MB, rejimen terapi 18 bulan
diselesaikan dalam 12 Dan
bulan, maksimal 18 Klofazimin 50 mg/hari PO
bulan yang diselesaikan
dalam 12 – 18 bulan
Kusta tipe Rifampisin 450 mg/bulan PO
multibasilar (MB) diberikan sebanyak 12 dosis
tidak dapat yang diselesaikan dalam 12 –
mengkonsumsi 18 bulan
dapson (resisten atau Dan
alergi) Klofazimin 150 mg/bulan PO
Anak 10-15
diberikan sebanyak 12 dosis -
tahun
Catatan: Untuk kusta yang diselesaikan dalam 12 –
tipe MB, rejimen terapi 18 bulan
diselesaikan dalam 12 Dan
bulan, maksimal 18 Klofazimin 50 mg PO selang
bulan sehari yang diselesaikan
dalam 12 – 18 bulan
Rifampisin 300 mg/bulan PO
diberikan sebanyak 12 dosis
Kusta tipe
yang diselesaikan dalam 12 –
multibasilar (MB)
18 bulan
tidak dapat
Dan
mengkonsumsi
Klofazimin 100 mg/bulan PO
dapson (resisten atau Anak 5-9
diberikan sebanyak 12 dosis -
alergi) tahun
yang diselesaikan dalam 12 –
18 bulan
Catatan: Untuk kusta
Dan
tipe MB, rejimen terapi
Klofazimin 50 mg dua kali
diselesaikan dalam 12
seminggu yang diselesaikan
bulan, maksimal 18
dalam 12 – 18 bulan
bulan
Rifampisin
Anak < 5
10-15 mg/kg/bulan PO
tahun
diberikan sebanyak 12 dosis
yang diselesaikan
dalam 12 – 18 bulan
Dan -
Klofazimin 6 mg/kg/bulan
PO diberikan sebanyak 12
dosis yang diselesaikan dalam
12 – 18 bulan
Dan
Klofazimin 1 mg/kg/hari PO
setiap hari selama 12 – 18
bulan (43)

10) Kemoprofilaksis Kusta pada Narakontak

WHO guideline 2018 merekomendasikan penggunaan SDR (single dose


rifampicin) sebagai upaya prefensi terhadap narakontak yang serumah dengan
pasien kusta, setelah kemungkinan akan terjangkit kusta dan TB disingkirkan
pada narakontak tersebut. SDR satu kali dan diulang 2 tahun kemudian
terutama bila didapatkan kasus baru yang tinggal bersama (Permenkes no:11
tahun 2019)

Umur/Berat Badan Dosis Tunggal


Rifampisin

Umur 15 Tahun ke atas 600 mg

Umur 10-14 Tahun 450 mg

Anak umur 6-9 tahun (berat 300 mg


≥20 kg)

Anak < 20 kg (≥ 2 tahun) 10-15 mg/kg

2.2 KELAINAN KELENJAR PILOSEBASEA

1) Akne vulgaris

Merupakan peradangan kronis folikel pilosebasea, penyebab multifaktor dengan


manifestasi klinis komedo, papul, pustul, nodus, serta kista.46,47 Dimulai pada
usia pubertas-prepubertas, pada laki-laki biasanya lebih sering dan lebih berat,
dan dimulai pada usia pubertas, sedangkan pada perempuan lebih banyak pada
usia prepubertas.48
Keluhan utama biasanya jerawat, bisul dengan predileksi di daerah wajah, leher,
dada, punggung, bahu dan lengan atas.46,47 Lesi pada akne dibedakan menjadi
lesi non inflamasi (komedo hitam atau closed comedones dan komedo putih atau
open comedones), lesi inflamasi (papul, pustul, nodus, dan kista), dan lesi pasca
inflamasi (hiperpigmentasi) 46,47
Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit
Lini Pertama:
Klindamisin Satu sampai 2 kali sehari
topikal 1%
Lini Pertama:
Eritromisin Satu sampai 2 kali sehari
topikal 2%
2 x 50 – 100mg /hari PO
Akne Lini Pertama:
minimal 6 – 8 minggu,
vulgaris Doksisiklin PO
maksimal 12 – 18 minggu
derajat Propionibacterium
2-3 x 150 – 300 mg /hari
sedang acnes Lini Pertama:
PO minimal 6-8 minggu,
Papular/ Klindamisin PO
maksimal 12-18 minggu
pustular
2 x 500 mg/ hari PO
Lini Alternatif:
minimal 6 – 8 minggu,
Eritromisin PO
maksimal 12 – 18 minggu
2 x 800mg SMX / 160mg
Lini Alternatif: TMP PO, minimal 6 – 8
TMP/SMX PO minggu, maksimal 12 – 18
minggu
2 x 50 – 100 mg/hari PO
Propionibacterium Lini Pertama:
minimal 6 – 8 minggu,
acnes Doksisiklin PO
maksimal 12 – 18 minggu
2-3 x 150-300mg/hari PO
Lini Pertama:
Akne minimal 6 – 8 minggu,
Klindamisin PO
vulgaris maksimal 12 – 18 minggu
derajat 2 x 500mg/hari PO minimal
Lini Alternatif:
sedang 6-8 minggu, maksimal 12 –
Eritromisin PO
Nodular 18 minggu
2 x 800mg SMX / 160mg
Lini Alternatif: TMP PO, minimal 6 – 8
TMP/SMX PO minggu, maksimal 12 – 18
minggu
500 mg, tiga kali dalam
Akne seminggu, namun bukti
Propionibacterium Lini Pertama:
vulgaris ilmiah masih bervariasi
acnes Azitromisin PO
derajat berat mengenai berapa minggu
dalam sebulan
Nodular/ 2 x 500mg/hari PO
Lini Pertama:
konglobata minimal 6 – 8 minggu,
Eritromisin PO
maksimal 12-18 minggu
2.3 PENYAKIT MENULAR SEKSUAL

Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit
Dewasa dan ibu hamil:
Lini Pertama:
2.4 juta unit IM dosis
Penilisin G Benzatin
tunggal
Dewasa dan ibu hamil:
Lini Alternatif:
1,2 juta unit IM selama
Penisilin G Prokain
10 - 14 hari
Sifilis Dewasa: 2 x 100 mg PO
Lini Alternatif:
Stadium dini selama 14 hari (tidak
Treponema Doksisiklin
untuk perempuan hamil)
pallidum
(Sifilis primer Dewasa dan ibu hamil:
Lini Alternatif:
dan Sifilis 1 x 1 gram IM selama
Seftriakson
sekunder) 10 – 14 hari
Dewasa dan ibu hamil:
Lini Alternatif:
2 gram PO dosis
Azitromisin
tunggal
Lini Alternatif: Ibu hamil: 4 x 500 mg
Eritromisin PO selama 14 hari
Dewasa dan ibu Hamil:
2.4 juta unit IM, 3 dosis
penyuntikan dengan
Lini Pertama: selang pemberian 1
Penilisin G minggu (catatan: durasi
Sifilis Benzatin pemberian setiap dosis
Stadium penisilin G benzatin
Lanjut Treponema tidak boleh lebih dari 2
pallidum minggu)
(Sifilis laten Dewasa dan ibu hamil:
Lini Alternatif:
atau sifilis 1,2 juta unit IM selama
Penisilin G Prokain
tersier) 20 hari
Dewasa: 2 x 100 mg
Lini Alternatif:
PO selama 30 hari
Doksisiklin
(Tidak untuk
perempuan hamil)
100.000 – 150.000
Lini Pertama:
U/KgBB/hr IV
Penisilin benzil akua
selama 10 -15 hari
50.000 U/kgbb/hari
Lini Pertama:
Sifilis Treponema IM
Penisilin prokain
kongenital pallidum selama 10 – 15 hati
50.000 u/kgbb/hari
Lini Alternatif:
IM
Penilisin G
dosis tunggal
Benzatin
(bila obat tersedia)
1) Gonore 12,52,53

Gonore adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh bakteri Neisseria
gonorrhoeae, gram negatif, aerob, bentuk kokus dan ditemukan berpasangan.
Gonore bisa menyebabkan infeksi di kulit dan non-kulit (gonore orofaring,
penyakit radang panggul, disseminated diseasae, dan konjungtivitis).

Pengobatan Gonore mengikuti pedoman WHO

Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik
Sefiksim
Sefiksim
400 mg PO dosis tunggal
dan
Gonore Azitromisin
Azitromisin
1 gram PO dosis tunggal
Infeksi Seftriakson
Seftriakson
genital dan 250 mg IM dosis tunggal
dan
anorektal Azitromisin
Azitromisin
1 gram PO dosis tunggal
Seftriakson
Seftriakson
250 mg IM dosis tunggal
Bakteri Neisseria dan
Azitromisin
gonorrhoeae, gram Azitromisin
Infeksi 1 gram PO dosis tunggal
negatif, aerob, bentuk
gonore Sefiksim
kokus dan ditemukan Sefiksim
orofaring 400 mg PO dosis tunggal
berpasangan dan
Azitromisin
Azitromisin
1 gram PO dosis tunggal
Seftriakson
Seftriakson
500 mg IM dosis tunggal
dan
Infeksi Azitromisin
Azitromisin
gonore 2 gram PO dosis tunggal
setelah gagal Sefiksim
Sefiksim
pengobatan 800 mg PO dosis tunggal
dan
Azitromisin
Azitromisin
2 gram PO dosis tunggal
2) Infeksi Genital Non Spesifik (IGNS) 40,41

Infeksi Genital Non Spesifik adalah Infeksi menular seksual berupa peradangan
di uretra, rektum, atau serviks yang disebabkan oleh kuman non-spesifik.
Penyebab tersering IGNS adalah Chlamydia trachomatis (50%), Ureaplasma
urealyticum, dan Mycoplasma hominis, Trichomonas vaginalis, virus Herpes
simpleks, Gardnerella vaginalis, alergi dan bakteri.

Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik
Lini pertama: Dewasa dan ibu hamil: 1
Infeksi
Azitromisin gram PO dosis tunggal
Chlamydia
Lini pertama: Dewasa: 2 x 100 mg PO
trachomatis
Doksisiklin selama 7 hari
Dewasa: 4 x 500 mg PO
Lini selama 7 hari
Infeksi
alternatif: Oftalmia neonatorum:
Mycoplasma
Eritromisin 50mg/kgbb/hari PO dibagi
genital
4 dosis selama 14 hari
(Ureaplasma
Infeksi Lini
urealyticum, Dewasa: 2 x 300 mg PO
Genital alternatif:
dan selama 7 hari
Non Ofloksasin
Mycoplasma
Spesifik Lini
hominis Dewasa: 1 x 500 mg PO
(IGNS) alternatif:
selama 7 hari
Levofloksasin
Infeksi Dewasa: 1 gram PO dosis
Mycoplasma tunggal
genital 1 x 500 mg PO hari pertama
Azitromisin
(Ureaplasma dan
urealyticum, 1 x 250 mg PO hari ke
dan 2–5
Mycoplasma Moksifloksasin Dewasa: 1 x 400 mg selama 7
hominis) – 14 hari

3) Bakterial vaginosis 52,53,55

Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik

Dewasa: 2 x 500 mg PO
selama 7 hari
Bertambah banyaknya
organisme komensal Dewasa: 2 gram PO dosis
dalam vagina (yaitu Metronidazol tunggal
Bakterial Gardnerella vaginalis,
vaginosis Prevotella, Mobiluncus Ibu hamil: 2 x 500 mg PO
(BV) spp.) serta berkurangnya selama 7 hari
organisme laktobasilus.
Dewasa: 2 x 300 mg PO
Klindamisin
selama 7 hari
4) Trikomoniasis52

Trikomoniasis adalah infeksi menular seksual yang disebabkan oleh protozoa


urogenital Trichomonas vaginalis. Manifestasinya berupa vulvovaginitis pada
perempuan dan urethritis pada pria.

Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik

Dewasa:
Protozoa 2 gram PO dosis tunggal
urogenital
Metronidazol Dewasa:
Trikomoniasis Trichomonas
vaginalis
2x500 mg PO selama 7
hari

5) Ulkus Molle 52,56

Ulkus molle atau Chancroid adalah infeksi menular seksual akut bentuk ulseratif
yang biasanya berlokasi di area anogenital dan berkaitan dengan adenitis ingunal
atau bubo. Kondisi ini disebabkan oleh bakteri Haemophilus ducreyi, yang
merupakan bakteri kokobasil gram negatif, anaerob fakultatif.

Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik

Dewasa: 1 gram PO dosis


Azitromisin
tunggal

Dewasa: 250 mg IM dosis


Seftriakson
Haemophilus tunggal

Ulkus Molle ducreyi Dewasa: 2 x 500 mg PO


Siprofloksasin
selama 3 hari

Dewasa: 4 x 500 mg PO
Eritromisin
selama 7 hari

6) Limfogranuloma Venereum 52,57

Limfogranuloma Venereum (LGV) adalah penyakit menular seksual yang


disebabkan oleh L serovars (serologic variants) dari Chlamydia trachomatis.
Etiologi penyebab ini merupakan varian klamidia spesifik serovars L1, L2, dan
L3. Outbreak terbaru paling sering disebabkan oleh serovars L2 (L2b).
Nama
Nama Penyakit Patogen Dosis
antibiotik

Dewasa: 2 x 100 mg PO
selama 3 minggu
Doksisiklin
(Ibu hamil tidak boleh
L serovars diberikan)
(serologic
Limfogranuloma variants) dari Dewasa: 1 – 1,5 gram PO 1
Venereum Chlamydia Azitromisin kali seminggu
trachomatis
selama 3 minggu

Dewasa: 4 x 500 mg PO
Eritromisin
selama 3 minggu

7) Granuloma inguinale 52,58

Granuloma ingiunale (GI) atau donovanosis adalah penyakit ulseratif progresif,


kronik dan jarang, yang terutama mengenai genital dan kulit area perigenital. GI
biasanya disebabkan melalui hubungan seksual. Etiologi penyebab GI adalah
Klebsiella granulomatis.

Nama
Patogen Nama antibiotik Dosis
Penyakit

Anak: 20 mg/kgbb/dosis
Azitromisin
jangka pendek

Ibu positif GI: 20 mg/kgbb


1 kali perhari selama 3 hari

Dewasa: 1 gram PO 1 kali


seminggu selama 3 minggu
Profilaksis Dewasa: 1 x 500 mg gram
PO selama 3 minggu
Klebsiella (selama 3 minggu atau
Granuloma granulomatis sampai semua lesi sudah
Inguinale
sembuh)

Dewasa: 1 mg/kgbb/dosis
IV setiap 8 jam

(diberikan bersamaan
Gentamisin dengan azitromisin apabila
tidak ada perbaikan dalam
beberapa hari pertama
terapi azitromisin, pada
pasien HIV dan ibu hamil)
Lini alternatif Dewasa: 2 x 100 mg PO
Doksisiklin selama 21 hari

Lini alternatif: Dewasa: 2 x 750 mg PO


Siprofloksasin selama 21 hari

Lini alternatif: Dewasa: 4 x 500 mg PO


Eritromisin selama 21 hari

2.4 ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PRAOPERASI

Definisi Surgical Site Infections (SSIs) atau Infeksi Daerah Operasi (IDO) menurut
Disease Control and Prevention (CDC) adalah infeksi yang berkaitan dengan
prosedur operasi yang terjadi pada dan dekat area insisi dalam jangka waktu 30
hingga 90 hari setelah dilakukan operasi. Kriteria klinis untuk mendefinisikan
IDO, paling tidak terdapat satu dari kriteria berikut:
1. Drainase purulen dari insisi lokasi operasi.
2. Didapatkan isolat organisme dari kultur yang didapat dari cairan atau
jaringan insisi lokasi operasi.
3. Minimal satu dari tanda dan gejala infeksi berikut: nyeri, bengkak,
kemerahan, panas.
4. Diagnosis IDO oleh dokter bedah atau dokter penanggungjawab pasien.

Panduan profilaksis antibiotik untuk mencegah IDO akan dijelaskan pada bab
ini. Ahli bedah dalam memberikan antibiotik profilaksis perlu mengenali
klasifikasi luka bedah terlebih dahulu sehingga dapat menentukan apakah
diperlukan antibiotik profilaksis.59

Tabel 1. Golongan luka 59

Pertimbangan
Infection antibiotik profilaksis
Kelas
rate (%) pada operasi
dermatologis.

I. Bersih – tidak terkontaminasi, 5 Tidak diperlukan


teknik steril

II. Bersih – terkontaminasi – luka di 10 Jarang (case-by-case)


kavitas oral, saluran respiratori,
ketiak, perineum

III. Terkontaminasi – trauma, akut, 20-30 Diperlukan


inflamasi non purulent, terdapa
jeda mayor pada tindakan asepsis

IV. Terinfeksi – terdapat kontaminasi 30-40 Antibiotik terapeutik,


benda asing, jaringan yang bukan profilaksis
devitalisasi
Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis berdasarkan faktor resiko pada pasien:
- Obesitas dan gangguan nutrisi lainnya
- Gangguan ginjal kronis
- Pengguna nikotin
- Diabetes Mellitus dengan gula darah yang tidak terkontrol
- Elderly (umur > 60 tahun, menurut WHO)
- Kondisi Imunosupresi (AIDS, kanker, diabetes, malnutrisi, dalam
pengobatan anti-kanker, radioterapi, transplantasi organ, dan konsumsi
obat-obatan tertentu yang menurunkan sistem imun tubuh seperti
kortikosteroid)
- Gangguan sawar kulit yang luas, misalnya: psoriasis, dermatitis atopik,
dan dermatitis lainnya,
- Lokasi tertentu, yaitu: penggunaan flap pada daerah hidung dan dagu;
telinga; high tension closure pada kulit kepala dan punggung tangan.
- Tindakan pada pasien yang menembus tulang rawan diikuti penyembuhan
luka persekundam
- Melanoma

Tabel 2. Pilihan antibiotik berdasarkan area dan patogen potensial 13

Nama
Area Patogen Dosis
antibiotik

S. aureus
Kulit Dewasa: 1-2 gram IV
S. pyogenes

S. viridans Sefazolin
Oral atau Anak: 50 mg/kg IV
mukosa Anaerobes
nasal (Max 1 gram)
(peptostreptococcus)

Penggunaan antibiotik topikal setelah prosedur bedah kulit hanya


direkomendasikan pada luka bedah kelas III dan IV. Antibiotik topikal pilihan
adalah Mupirosin topikal yang merupakan anti-stafilokokal topikal spektrum
sempit yang paling efektif.59

Profilaksis Endokarditis Praoperasi

Endokarditis terinfeksi memberikan rate morbiditas dan mortalitas sekitar 20%


kepada pasien paska tindakan bedah. Oleh karena itu AHA (American Heart
Association) memberikan panduan yang jelas bagi pasien yang dikategorikan
“high-risk” sehingga memerlukan antibiotik profilaksis sebelum dilakukan
tindakan bedah, termasuk tindakan bedah kulit.59 Apabila pada anamesis pasien
memiliki riwayat defek jantung, maka akan dikonsultasikan ke spesialis
kardiovaskular.
Tabel 3. Kriteria pasien yang memerlukan profilaksis endokarditis 59

Pasien risiko tinggi yang memerlukan profilaksi endokarditis


(guidelines AHA 2007)

 Riwayat memiliki endokarditis sebelumnya


 Memiliki katup jantung prostetik
 Memiliki riwayat katup jantung yang dilakukan perbaikan
dengan menggunakan material prostetik.
 Memiliki alat yang tertanam pada jantung yang dalam kurun
waktu 6 bulan
 Pasien transplantasi jantung yang berkembang menjadi cardiac
valvulopathy
 Defek jantung kongenital yang belum dilakukan perbaikan.
 Defek jantung kongenital yang dilakukan perbaikan dengan
menggunakan material prostetik atau alat lainnya dalam 6
bulan terakhir
 Defek jantung kongenital yang sudah dilakukan perbaikan
dengan defek residual pada atau dekat dengan lokasi material
prostetik maupun alat lainnya.

Tabel 4. Profilaksis antibiotik untuk mencegah endokarditis 59

Nama Nama
Patogen Dosis
Penyakit antibiotik

Dewasa: 1 gram IM/IV


S. aureus atau beta – Sefazolin
Kulit glabrosa hemolitikus IV/IM
Anak: 50 mg/kgbb IM/IV
yang streptokokus pada anak
terinfeksi
BAB III

PENUTUP

Masalah resistensi antimikroba terjadi di seluruh dunia dan dapat


merupakan ancaman bagi kesehatan bagi manusia karena menurunkan mutu
pelayanan kesehatan dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, serta
meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi. Oleh
karena itu, keadaan ini harus dicegah.
Resistensi antimikroba antara lain disebabkan oleh penggunaan
antimikroba secara masif pada manusia, dan di bidang pertanian, perikanan,
dan peternakan, sehingga terjadi tekanan selektif yang menyebabkan mikroba
bermutasi menjadi patogen resisten dan/atau membentuk koloni. Selanjutnya
mikroba resisten tersebar meluas karena para pelaksana yang terlibat tidak
menjalankan kewaspadaan standar, kewaspadaan kontak, dan kewaspadaan
transmisi.
Tekanan selektif terjadi akibat penggunaan antimikroba secara salah, yang
sebenarnya tidak dibutuhkan atau tidak ada indikasi, sehingga strategi utama
dan pertama yang harus dilakukan adalah menggunakan antimikroba secara
bijak (prudent use of antibiotic). Strategi untuk menggunakan antimikroba secara
bijak adalah dengan cara melaksanakan panduan praktek klinik (PPK) untuk
penyakit infeksi, dan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB), yaitu
bagaimana menegakkan diagnosis penyakit infeksi dan memilih jenis antimikroba
secara tepat, berapa dosisnya, bagaimana rute pemakaiannya, saat
pemberiannya, dan berapa lama penggunaannya.
Dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) diharapkan
dapat menyumbang secara nyata upaya pengendalian resistensi antimikroba
khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Direktur Utama,

Ttd.

LIES DINA LIASTUTI


LAMPIRAN

Tabel 5. Kategori Keamanan Antibiotik untuk Ibu Hamil 64


*belum dikategorikan oleh Food and Drug Administration (FDA)

Kategori
Keamanan
No Antibiotik Keterangan
untuk Ibu
Hamil
Amoksisilin
1 B
Klavulanat
Ampisilin -
2 B
Sulbaktam
Gunakan dengan
kewaspadaan pada
3 Asam Fusidat N* trimester akhir karena
dapat menyebabkan kemik
terus
4 Azithromisin B
5 Cefadroxil B
6 Dapson C
7 Daptomisin B
8 Doksisiklin D
9 Eritromisin B
10 Etambutol C
11 Isoniazid C
12 Klaritomisin C
13 Klindamisin B
14 Klofazimin C
15 Kloksasilin B
16 Linezolid C
17 Lymecycline D
Hindari penggunaan pada
18 Metronidazol B
Trimester pertama
19 Minosiklin D
20 Moksifloksasin C
21 Mupirosin B
22 Ofloksasin C
23 Pirazinamid C
24 Rifampisin C
Kategori
Keamanan
No Antibiotik Keterangan
untuk Ibu
Hamil
25 Sefaleksin B
26 Sefazolin B
Hindari penggunaan pada
Trimester ke-3 karena
27 Seftriakson B meningkatkan insidensi
kernikterus pada bayi baru
lahir
28 Sefuroksim B
29 Streptomisin D
Tinidazol C Hindari penggunaan pada
30 trimester pertama
Trimethoprim–
31 C
Sulfamethoxazole
32 Vankomisin C
Tabel 6. Golongan antibiotik65
DAFTAR PUSTAKA

1. Condon SC, Isada CM, Tomecki KJ. Systemic and Topical Antibiotics. In:
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th Edition. New York: McGraw Hill Medical;
2019. p. 3407–22.
2. Petri WA. Penicillins, Cephalosporines, and Other beta-Lactam Antibiotics.
In: Goodman and Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics.
12th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2011. p. 1329–49.
3. Djuanda A. Pioderma. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2018. p. 71–7.
4. Kakpovbia E, Feng H, Feng PW, Cohen JM. Antibiotic Prescribing Trends
Among US Dermatologists in Medicare From 2013-2016. J Dermatol Treat.
2019 May 24;1–7.
5. Putra MIH, Suwarto S, Loho T, Abdullah M. Faktor Risiko Methicillin
Resistant Staphylococcus aureus pada Pasien Infeksi Kulit dan Jaringan
Lunak di Ruang Rawat Inap. J Penyakit Dalam Indones. 2017 Jan
25;1(1):3.
6. Fathan H. Pola Resistensi Bakteri Terhadap Antibiotik Pada Akne Vulgaris
Sedang dan Berat di Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Dr. CIpto Mangunkusumo Jakarta. Jakarta; 2016.
7. Widyasari I. Perbandingan Efektivitas Terapi Topikal Mupirosin 2% dengan
Asam Fusidat 2% Pada Pasien Pioderma Superfisialis di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSCM. Jakarta; 2016.
8. Whittles L, White P, Paul J, Didelot X. Epidemiological Trends of Antibiotic
Resistant Gonorrhoea in the United Kingdom. Antibiotics. 2018 Jul
13;7(3):60.
9. Martin I, Sawatzky P, Allen V, Lefebvre B, Hoang L, Naidu P, et al.
Multidrug-resistant and extensively drug-resistant Neisseria gonorrhoeae in
Canada, 2012–2016. Can Commun Dis Rep. 2019 Feb 7;45(2/3):45–53.
10. Hananta IPY, van Dam AP, Bruisten SM, Schim van der Loeff MF, Soebono
H, de Vries HJC. Gonorrhea in Indonesia: High Prevalence of Asymptomatic
Urogenital Gonorrhea but No Circulating Extended Spectrum
Cephalosporins-Resistant Neisseria gonorrhoeae Strains in Jakarta,
Yogyakarta, and Denpasar, Indonesia. Sex Transm Dis. 2016
Oct;43(10):608–16.
11. Prayogo R. Prevalensi Neisseria Gonorrhoeae yang resisten terhadap
Penisilin, Tetrasiklin, Levofloksasin, Sefiksim, dan Seftriakson pada
kelompok risiko tinggi di Jakarta dan berbagai faktor yang berhubungan.
Jakarta; 2019.
12. World Health Organization, Reproductive Health and Research. WHO
guidelines for the treatment of Neisseria gonorrhoeae. [Internet]. 2016 [cited
2019 Jun 5]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK379221/
13. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJC, Gorbach
SL, et al. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Skin
and Soft Tissue Infections: 2014 Update by the Infectious Diseases Society
of America. Clin Infect Dis. 2014 Jul 15;59(2):e10–52.
14. Pearson D, Margolis D. Cellulitis and Erysipelas. In: Fitzpatrick’s
Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2019. p. 2746–56.
15. Spelman D, Baddour LM. Cellulitis and skin abscess: Clinical
manifestations and diagnosis. :21.
16. Lowy FD. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) in adults:
Treatment of skin and soft tissue infections. :20.
17. Kaplan SL. Suspected Staphylococcus aureus and streptococcal skin and
soft tissue infections in children >28 days: Evaluation and management.
Eval Manag. :27.
18. Miller L. Superficial Cutaneus Infections and Pyodermas. In: Fitzpatrick’s
Dermatology. New York: McGraw Hill Medical; 2019. p. 2719–43.
19. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan M, Siswati A, Triwahyudi D.
Pioderma. In: Panduan Praktis Klinis. 2016.
20. Ortiz-Lazo E, Arriagada-Egnen C, Poehls C, Concha-Rogazy M. An Update
on the Treatment and Management of Cellulitis. Actas Dermo-Sifiliográficas
Engl Ed. 2019 Mar;110(2):124–30.
21. Sunderkötter C, Becker K. Frequent bacterial skin and soft tissue
infections: diagnostic signs and treatment. JDDG J Dtsch Dermatol Ges.
2015 Jun;13(6):501–26.
22. Spelman D, Baddour LM. Cellulitis and skin abscess in adults: Treatment.
:13.
23. Sartelli M, Guirao X, Hardcastle TC, Kluger Y, Boermeester MarjaA, Raşa K,
et al. 2018 WSES/SIS-E consensus conference: recommendations for the
management of skin and soft-tissue infections. World J Emerg Surg. 2018
Dec;13(1):58.
24. Pettis J, Mulji N, Navarro FA. Necrotizing fasciitis: A review of three clinical
encounters. Case Stud Surg. 2018 Nov 28;5(1):5.
25. Stevens DL, Baddour LM. Necrotizing soft tissue infections. :39.
26. LaChance A, Kroshinsky D. Necrotizing Fasciitis, Necrotizing Cellulitis, and
Myonecrosis. In: Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill
Medical; 2019. p. 2770–81.
27. Travers J. Gram-Positive Infections Associated with Toxin Production. In:
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2019. p.
2757–69.
28. Okoye G. Hidradenitis Suppurativa. In: Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed.
New York: McGraw Hill Medical; 2019. p. 1480–94.
29. Pedoman TB Nasional 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2014.
30. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 67 tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2016.
31. Sethi A. Tuberculosis and Infections with Atypical Mycobacteria. In:
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2019. p.
2858–75.
32. Panduan tatalaksana tuberkulosis sesuai ISTC dengan strategi DOTS
untuk praktik dokter swasta. Jakarta: Kemenkes RI dan IDI; 2012.
33. Panduan Nasional Pelayanan Kedokteran. Jakarta: Kemenkes RI; 2013.
34. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan M, Siswati A, Triwahyudi D.
Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia. In Jakarta: PERDOSKI; 2017. p. 141-6.
35. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia; 2016.
36. Lee JY. Diagnosis and Treatment of Extrapulmonary Tuberculosis. Tuberc
Respir Dis. 2015;78(2):47.
37. Swaminathan S, Ramachandran G. Challenges in childhood tuberculosis.
Clin Pharmacol Ther. 2015 Sep;98(3):240–4.
38. Pedoman Praktis Klinis Tuberkulosis Kutis. RSCM; 2019.
39. Chung J, Ince D, Ford BA, Wanat KA. Cutaneous Infections Due to
Nontuberculosis Mycobacterium: Recognition and Management. Am J Clin
Dermatol. 2018 Dec;19(6):867–78.
40. Lamb RC, Dawn G. Cutaneous non-tuberculous mycobacterial infections.
Int J Dermatol. 2014 Oct;53(10):1197–204.
41. van Zyl L, du Plessis J, Viljoen J. Cutaneous tuberculosis overview and
current treatment regimens. Tuberculosis. 2015 Dec;95(6):629–38.
42. Weltgesundheitsorganisation, editor. Eighth report / WHO Expert
Committee on Leprosy: Geneva, 12 - 19 October 2010. Geneva: World
Health Organization; 2012. 61 p. (WHO technical report series).
43. Cooreman E, Gillini L, Pemmaraju V, Shridar M, Tisocki K, Ahmed J.
Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Leprosy. Geneva:
World Health Organization; 2018.
44. Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan M, Siswati A, Triwahyudi D.
Kusta. In: Panduan Praktis Klinis. 2016.
45. Drug Used In Leprosy. Geneva: World Health Organization; 1998.
46. Acne | DynaMed Plus [Internet]. [cited 2019 Jun 19]. Available from:
http://www.dynamed.com/topics/dmp~AN~T115279/Acne#References
47. Goh C, Cheng C, Agak G, Zaenglein A, Graber EM, Thiboutot D, et al. Acne
vulgaris. In: Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill
Medical; 2019. p. 1391–418.
48. Tan JKL, Bhate K. A global perspective on the epidemiology of acne. Br J
Dermatol. 2015 Jul;172:3–12.
49. Djuanda A. Sifilis. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2017. p. 455–74.
50. Tuddenham S, Zenilman J. Syphilis. In: Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed.
New York: McGraw Hill Medical; 2019. p. 3145–72.
51. World Health Organization. WHO guidelines for the treatment of treponema
pallidum (Syphilis). [Internet]. 2016 [cited 2019 Jun 16]. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK384904/
52. 2015 STD Treatment Guidelines. 2015;64(3):140.
53. Strowd L, McGregor S, Pichardo R. Gonorrhea, Mycoplasma, and Vaginosis.
In: Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2019.
p. 3207–22.
54. Daili S, Nilasari H. Infeksi Genital Non Spesifik. In: Ilmu Penyakit Menular
Seksual. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017. p. 439–42.
55. Indriatmi W. Vaginosis Bakterial. In: Fitzpatrick’s Dermatology. 7th ed.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2017. p. 452–4.
56. Lautenschlager S, Brockmeyer N. Chancroid. In: Fitzpatrick’s Dermatology.
9th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2019. p. 3186–92.
57. Brockmeyer N, Lautenschlager S. Lymphogranuloma Venereum. In:
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2019. p.
3193–201.
58. Hoffman M, Pichardo R. Granuloma Inguinale. In: Fitzpatrick’s
Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill Medical; 2019. p. 3202–6.
59. Mariwalla K. Antibiotics. In: Surgery of the Skin. 3rd ed. Elsevier; 2015.
60. Rabb D, Lesher J. Antibiotic Prophylaxis in Cutaneous Surgery. Dermatol
Surg. 1995;(21):550–4.
61. Enzler MJ, Berbari E, Osmon DR. Antimicrobial Prophylaxis in Adults.
Mayo Clin Proc. 2011 Jul;86(7):686–701.
62. Clinical Practice Guidelines for Antimicrobial Prophylaxis in Surgery. :86.
63. Children’s Health Queensland Paediatric Antibiocard: Empirical Antibiotic
Guidelines. :21.
64. Cunha B. Antibiotic Essentials. 14th ed. Philadelphia: Jaypee Brothers
Medical Publishers Pvt. Ltd.; 2015.
65. Summary of Antibiotics | Medical blog ━ Drhliebov [Internet]. Dr. Hliebov.
2017 [cited 2019 Aug 7]. Available from:
http://drhliebov.com/pharmacology/antibiotics-summary-table/
Lampiran Peraturan Direktur Utama
RSUP Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo
Nomor : HK.02.03/4.2/20824/2022
Tanggal : 04 Juli 2022

PEDOMAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK (PPAB)


DI RSUP NASIONAL Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

BAB I

PENDAHULUAN

Antibiotik merupakan salah satu obat yang saat ini paling banyak digunakan
dalam praktek klinik, baik di rawat jalan maupun perawatan di rumah sakit.
Penggunaan antibiotik yang berlebihan tanpa indikasi, dosis dan lama yang tidak
sesuai, merupakan penyebab peningkatan resistensi antibiotik.
Saat ini kita dihadapkan pada permasalahan patogen yang semakin resisten
dan laju resistensi yang semakin cepat; sebaliknya, ketersediaan antibiotik baru
sangat sedikit. Berbagai strategi dilakukan untuk menahan laju resistensi, baik
melalui upaya meningkatkan penatagunaan antibiotik, mencegah penyebaran
kuman resisten dan mengoptimalkan penggunaan antibiotik menurut prinsip
farmakokinetik dan farmakodinamik (PKPD) dalam mengatasi kuman resisten
banyak obat (MDR/multi drug resistant).
Khusus pada pasien usia lanjut, gejala dan tanda infeksi seringkali tidak
khas. Munculnya sindrom geriatri dan manifestasi lain seperti gangguan status
mental, gangguan nutrisi, jatuh, gangguan status fungsional, dan inkontinensia,
patut dievaluasi lebih lanjut adanya infeksi.
Penanganan infeksi komplikata memerlukan pendekatan holistik khususnya
dalam penanganan sumber infeksi, identifikasi patogen, terapi antimikroba yang
optimal dan pencegahan penyebaran infeksi nosokomial. Kerjasama tim antara
dokter penanggung jawab pasien (DPJP), konsultan penyakit tropik dan infeksi
serta spesialis/konsultan lain sangat diperlukan untuk keberhasilan pengobatan.
Pedoman Penggunaan Antibiotik ini disusun untuk menjadi panduan bagi tenaga
kesehatan khususnya dokter yang menangani pasien dengan penyakit/kondisi
yang membutuhkan penggunaan antibiotik dalam lingkup RSUPN Cipto
Mangunkusumo.
BAB II

ISI

2.1 PRINSIP TERAPI ANTIBIOTIK1


1. Pilih antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan kuman penyebab, pola
kepekaan dan resistensi di rumah sakit setempat.
2. Pertimbangkan kondisi pasien: risiko terinfeksi kuman resisten, komorbiditas,
risiko morbiditas dan mortalitas bila terjadi kegagalan terapi, usia,
terdapatnya disfungsi dan kegagalan organ yang mempengaruhi metabolisme
dan ekskresi obat.
3. Pilih antimikroba dengan spektrum paling sempit kecuali pada infeksi berat
atau sepsis. Lakukan strategi deeskalasi pada infeksi berat dan sepsis dengan
memilih spektrum luas secara rasional. Infeksi yang berasal dari komunitas
dapat dimulai dengan antibiotik spektrum sempit dan bukan anti
Pseudomonas seperti golongan penisilin, sefalosporin, betalaktam-
betalaktamase inhibitor atau fluroquinolon. Pada infeksi yang berasal dari
rumah sakit (Hospital Acquired Infection/HAI atau Health Care Associated
Infections/HCAI), pasien dengan risiko tinggi terinfeksi pathogen MDR, dapat
dipertimbangkan pemberian antibiotik spektrum luas mencakup kuman
Pseudomonas aeruginosa, seperti golongan karbapenem generasi ke-2,
betalakam-betalaktamase inhibitor, sephalosporin generasi ke-4 atau
aminoglikosida baik monoterapi atau kombinasi.
4. Sebelum pemberian antibiotik, lakukan pemeriksaan mikrobiologi dengan
sampel yang diambil sesuai standar.
5. Bilamana patogen definit dapat diidentifikasi, segera ganti antibiotik dengan
spektrum yang lebih sempit, dengan obat yang direkomendasikan untuk
patogen tersebut.
6. Lakukan optimalisasi terapi antibiotik pada pasien dalam infeksi berat atau
sepsis, risiko terinfeksi patogen resisten, atau pada hasil pemeriksaan kultur
didapatkan kuman resisten banyak obat.
7. Lakukan evaluasi respon pengobatan setiap 3-5 hari baik secara klinis,
laboratoris dan/atau pencitraan (radiologi/ultrasonografi). Lakukan
pemantauan dengan menggunakan penanda (biomarker) inflamasi atau
infeksi seperti C-reactive protein/CRP dan atau prokalsitonin kuantitatif.
Bila antibiotik tidak memberikan respon sesuai dengan yang diharapkan,
lakukan evaluasi:
- Apakah diagnosis sudah tepat?
- Apakah terdapat sumber infeksi yang belum ditatalaksana secara
adekuat?
- Apakah spektrum antibiotik yang diberikan sesuai?
- Apakah dosis yang diberikan cukup?
- Apakah cara pemberian antibiotik sudah tepat?
8. Apabila spektrum antibiotik sebelumnya dinilai belum adekuat, dapat
dilakukan eskalasi antibiotik dengan cara:2
- Meningkatkan spektrum terapi,
- Melakukan kombinasi yang rasional
- Optimalisasi dosis dan cara pemberian menurut prinsip farmakokinetik
farmakodinamik (PKPD)
9. Deeskalasi dilakukan bila:
- Patogen definit dapat diidentifikasi
- Kondisi klinis/laboratoris pasien menunjukkan perbaikan
- Terdapat pilihan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit
- Terdapat antibiotik yang direkomendasikan terhadap patogen definitif
10. Deeskalasi sebaiknya dihindari bila:
- Hasil kultur merupakan kolonisasi
- Klinis pasien belum menunjukkan perbaikan
- Tidak terdapat pilihan antibiotik dengan spektrum yang lebih sempit
- Risiko tinggi bila antibiotik diganti dan risiko mengalami kegagalan
11. Penghentian antibiotik sebaiknya dilakukan bila:
- Parameter klinis, laboratoris, biomarker inflamasi dan pencitraan
menunjukan perbaikan
- Rata rata durasi pemberian antibiotik optimal selama 7 hari dan maksimal
14 hari untuk mencegah risiko terjadinya tekanan seletif dan resistensi
kuman.
- Pada kondisi tertentu diperlukan durasi antibiotik lebih lama seperti
prostatitis (4 minggu); karier Salmonella (4 minggu); endokarditis infektif,
infeksi vaskuler, osteomielitis, infeksi pada implan dan ensefalitis
toksoplasma (6-8 minggu).

2.2 PENILAIAN POLA KEPEKAAN DAN RESISTENSI


Dalam membaca pola kuman di rumah sakit, beberapa hal yang dapat
membantu dalam penilaian adalah:1–3
1. Pola kuman berdasarkan berdasarkan jenis sampel, jenis patogen, dan
ruang perawatan.
2. Patogen yang berasal dari komunitas, beberapa kuman yang perlu
mendapat perhatian adalah: S. pneumonia, S. aureus (MSSA), E. coli,
Klebsiella pneumonia; sedangkan patogen yang berasal dari Infeksi di
Rumah sakit adalah: E. coli, K. pneumonia yang menghasilkan enzim
Extended spectrum Beta Lactamase/ESBL, Carbapenem Resistant P.
aeruginosa (CRPA), Carbapenem Resistant A. baumanii (CRAB) dan
Carbapenem Resistant K. pneumonia (CRKP), dan Methicillin resistant S.
aureus/ MRSA.4
3. Pola kepekaan untuk masing-masing kuman tersebut terhadap antibiotik
yang direkomendasikan, sebagai contoh: kuman Pseudomonas
aeruginosa terhadap antibiotik golongan anti-Pseudomonas seperti
seftazidim, sefepime, karbapenem grup 2, piperasilin-tazobaktam,
aminoglikosida, dan fluorokuinolon.
4. Dari data tersebut dilakukan analisis pilihan antibiotik terbaik untuk
masing masing patogen.

2.3 STRATEGI DEESKALASI1


Deeskalasi adalah strategi optimalisasi terapi antibiotik empirik pada pasien
dengan kondisi berat atau sepsis, dimana diawali pemberian antibiotik spektrum
luas, dan dilakukan penyempitan spektrum setelah patogen definit diidentifikasi.
Keuntungan dari strategi deeskalasi adalah mengurangi risiko kegagalan
terapi antibiotik, menurunkan morbiditas dan mortalitas, serta mencegah
peningkatan angka resistensi.
Deeskalasi hanya dapat dilakukan apabila patogen definit dapat diidentifikasi,
sehingga pemeriksaan mikrobiologi yang akurat, mulai dari cara pengambilan,
pengiriman spesimen, prosedur pemeriksaan kultur dan resistensi serta
pelaporan hasil dalam waktu yang cepat dan tepat menjadi kunci keberhasilan
strategi deeskalasi.

2.4 OPTIMALISASI DOSIS2,4


Dosis merupakan parameter yang selalu mendapat perhatian dalam terapi
antibiotik karena efektivitas antimikroba sangat bergantung dari seberapa tinggi
kadar obat terhadap kadar hambat minimal (MIC) kuman pada lokasi infeksi.
Dosis yang sama akan memberikan kadar obat yang berbeda di tempat infeksi
bergantung dari:
1. Absorpsi, metabolisme dan ekskresi obat.
2. Ikatan obat dengan protein plasma (protein binding)
3. Penetrasi obat ke tempat infeksi.
Kadar obat relatif lebih rendah pada organ tertentu seperti tulang, prostat,
susunan saraf pusat, sehingga diperlukan dosis yang lebih besar untuk mencapai
efektivitas yang diharapkan. Eliminasi obat merupakan faktor yang menentukan
kadar obat, dan ini bergantung dari fungsi organ metabolisme obat yaitu hati dan
ginjal.
Pada sepsis dengan kondisi hiperdinamik, kadar obat yang bersifat hidrofilik
dalam darah akan relatif lebih rendah akibat volume distribusi yang bertambah
dan eliminasi yang meningkat. Kondisi hipoalbuminemia (<2,5 g/dL) akan
menyebabkan ikatan obat berkurang sehingga obat lebih cepat dieksresikan.

2.5 DOSIS PADA PASIEN OBESITAS5


Berat badan selalu harus diperhitungkan pada terapi antibiotik. Dosis obat
yang direkomendasikan adalah untuk berat badan 60 kg. Pada pasien dengan
obesitas, diperlukan dosis obat yang lebih besar.
Perhitungan untuk pasien non-obesitas umumnya mengacu pada berat badan
aktual dikali dosis/kgBB. Sementara, pada pasien dengan obesitas digunakan
berat badan ideal/ideal body weight (IBW). Untuk berat badan yang lebih dari
120% IBW, diperhitungkan berdasarkan adjusted body weight (AdjBW).
AdjBW = (Total Body Weight - IBW) x 0.4 + IBW

2.6 TERAPI ANTIBIOTIK PADA GANGGUAN FUNGSI GINJAL6


Pada gangguan fungsi ginjal, penyesuaian dosis didasarkan pada perhitungan
CCT (metode Cockcroft-Gault). Penggunaan perhitungan berat badan
berdasarkan Berat Badan Ideal/ adjusted body weight (pasien obesitas).
Tabel 0.1 Penyesuaian Antibiotik yang Dieliminasi di Ginjal
CCT 60-100% Tidak memerlukan penyesuaian dosis.

CCT 25-60% Loading dose dilanjutkan 50% dosis awal,


atau

Obat diberikan dengan interval 2 kali

CCT 10-25% Loading dilanjutkan 25% dosis awal atau

Obat diberikan dengan interval 4 kali

CCT <10 Diberikan tergantung rekomendasi masing-


masing obat atau diberikan dengan
monitoring kadar obat

Untuk obat-obat yang nefrotoksik diperlukan monitoring kadar kreatinin


serum setiap 24-48 jam. Bila creatinin meningkat >0.5 g/dL selama terapi, obat
tersebut dipertimbangkan untuk dihentikan.
2.7 PENGGUNAAN ANTIBIBIOTIK PADA PASIEN USIA LANJUT7
Populasi usia lanjut adalah kelompok rentan untuk terjadinya infeksi.
Infeksi adalah salah satu penyebab terbanyak pasien usia lanjut dirawat dan
mempunyai angka kematian yang tinggi. Proses menua yang berkaitan dengan
sistim imunitas pada berbagai organ tubuh, komorbiditas, penggunaan alat
bantu seperti kateter urin, naso gastric tube,malnutrisi, imobilitas, tingkat
ketergantungan yang tinggi terhadap orang lain, frailty, tempat perawatan jangka
panjang seperti panti ( nursing home ), gangguan pada status mental seperti
demensia menjadi faktor resiko terjadinya infeksi pada kelompok usia lanjut.7
Pada pasien usia lanjut yang mengalami infeksi bisa didapatkan gejala yang
tidak khas untuk terjadinya infeksi. Gejala tidak khas antara lain terjadinya
perubahan status mental ( acute confusional state ), nafsu makan atau asupan
menurun, jatuh dan imobilitas. Gejala tidak khas ini sering menjadi penyebab
keterlambatan untuk mengetahui adanya infeksi pada pasien usia lanjut
sehingga mengakibatkan keterlambatan dalam pemberian antibiotika.7
Pemberian antibiotika secara empirik merupakan dasar utama dalam
pemiihan antibiotika pada pasien usia lanjut. Pemberiaan antibiotika ini sesuai
dengan lokasi infeksi organ tubuh, pola kuman dan resistensi yang ada di rumah
sakit, dan derajat keparahan infeksi. Berbagai aspek dalam dosis dan durasi
pemberian antibiotika yang perlu dipertimbangkan adalah komorbiditas, fungsi
ginjal dan interaksi obat.7

2.8 FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK (PKPD)2,4


PKPD merupakan salah satu parameter penting yang dapat memprediksi
kemungkinan keberhasilan terapi antibiotik. PK merupakan hubungan antara
dosis dengan kadar obat, sedangkan PD merupakan hubungan antara kadar obat
dalam serum dengan efek terapi. Penentuan target PKPD didasarkan atas
karakteristik antibiotik, kaitan antara pencapaian target dengan keberhasilan
pengobatan.
Kadar hambat minimal/Minimum Inhibitory Concentration (MIC) terhadap
patogen tertentu yang didapat dari hasil pemeriksan mikrobiologi,
menggambarkan kadar minimal yang dapat menghambat pertumbuhan kuman in
vitro. Mutant Prevention Concentration (MPC) adalah kadar minimal obat dalam
plasma yang dapat menghambat terjadinya resistensi/mutasi.
Untuk antibiotik yang bersifat concentration-dependent, efek terapeutik
diperlukan dengan kadar antibiotik 8-10 di atas MIC kuman. Untuk antibiotik
yang bersifat time-dependent, efek terapeutik diperlukan dengan kadar obat di
atas 4 kali di atas MIC.
Untuk antibiotik yang bersifat time-dependent digunakan parameter T > MIC,
dengan target 40- 60% dari interval pemberian dalam 24 jam. Sedangkan
antibiotik yang bersifat concentration- dependent, digunakan parameter CMAX >
MIC dan AUC > MIC.
Antibiotik golongan betalaktam bersifat time-dependent, sedangkan yang
bersifat concentration- dependent adalah Aminoglikosida (CMAX > MIC) serta
Fluoroquinolon dan Glicopeptide (AUC> MIC).
Penilaian PKPD attainment merupakan simulasi yang digunakan bilamana
kuman yang didapatkan dari hasil kultur relatif resisten, sehingga berapa dosis
yang diperlukan dapat diperhitungkan.

2.9 MODIFIKASI CARA PEMBERIAN MENURUT PKPD2


Optimalisasi dapat dilakukan dengan cara:
1. Antibiotik yang tergolong time-dependent:
- Intermitten infusion: pemberian infus antibiotik secara intermitten,
misalnya tiap 8 atau 12 jam secara infus selama 30 menit hingga 1 jam.
Tujuan intermitten infusion adalah untuk mengurangi efek samping
pemberian antibiotik akibat bolus yang terlalu cepat.
- Prolonged infusion: pemberian antibiotik dengan infus yang lebih lama,
misalnya 3 hingga 4 jam dengan rentang tiap 8 atau 12 jam. Pemberian
prolonged infusion merupakan modifikasi dari continuous infusion karena
obat yang diberikan tidak bisa stabil hingga 24 jam.
- Continuous infusion: pemberian infus kontinu selama 24 jam. Umumnya
diberikan pada antibiotik yang relatif lebih stabil untuk waktu yang lebih
lama.
2. Antibiotik yang tergolong concentration-dependent:
- Aminoglikosida: diberikan dosis 1 kali sehari secara infus intermitten
selama 1 jam.
- Fluorokuiolone: diberikan infus intermiten tiap 12-24 jam tergantung jenis
antibiotik.

2.10 PENGGUNAAN ANTIBIOTIK MENURUT GOLONGAN ANTIBIOTIK

1.ERTAPENEM8
- Karbapenem grup 1
- Spektrum luas terhadap bakteri gram positif, gram negatif dan anaerob
kecuali Pseudomonas aeruginosa. Grup ini jarang dipilih pada infeksi
nosokomial.
- Indikasi:
a. Empirik :
○ Infeksi komunitas berat/sepsis
○ Infeksi intraabdominal komplikata/Complicated Intra-Abdominal
Infections (cIAI)
○ Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata/Complicated Skin and
Soft Tissue Infections (cSSTI)
○ Infeksi aliran darah/Bloodstream Infections (BSIs)
b. Definit infeksi karena Extended Spectrum Betalactamase (ESBL)
- Dosis: 1 g/hari pada pasien dengan bersihan kreatinin > 30 ml/menit,
dosis > 1 g dipertimbangkan pada BB > 70 kg.

2.PIPERASILIN TAZOBAKTAM9
- Penisilin antipseudomonas
- Spektrum luas terhadap bakteri gram positif, gram negatif, anaerob,
termasuk Pseudomonas sp.
- Indikasi :
a. Empirik :
- Infeksi berat dan sepsis
- Infeksi terkait rumah sakit/ Healthcare-associated infections (HAI)
- Pneumonia (Hospital-acquired Pneumonia/Ventilator-associated
Pneumonia)
- Infeksi intraabdominal komplikata (cIAI)
- Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata (cSSTI)
- Infeksi saluran kemih komplikata/ Complicated Urinary Tract
Infection (cUTI)
- Bloodstream Infections (BSIs)
- Demam neutropenia
b. Definit:
- Infeksi Pseudomonas sp.
- Efektivitas terhadap ESBL lebih rendah dibandingkan golongan
karbapenem.
- Dosis 4.5 g setiap 4 sampai 6 jam dengan intermitten atau continuous
infusion pada pasien dengan bersihan kreatinin lebih dari 40 ml/min.

3.KARBAPENEM GRUP 210


- Meropenem, Imipenem, Doripenem
- Spektrum luas meliputi Gram positif, Gram negatif, anaerob,
Pseudomonas sp dan Acinetobacter baumanii, kecuali MRSA dan E.
fecalis.
- Indikasi:
a. Empirik:
- Infeksi berat dan sepsis karena infeksi nosokomial (HAI) termasuk:
- Pneumonia (Hospital-acquired Pneumonia/Ventilator-associated
Pneumonia)
- Infeksi intraabdominal komplikata (cIAI)
- Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata (cSSTI)
- Infeksi saluran kemih komplikata (cUTI)
- Infeksi aliran darah (BSIs)
- Demam neutropenia
b. Definitif:
- Infeksi yang disebabkan oleh ESBL, Pseudomonas sp.,
Acinetobacter baumanii.
c. Penanganan XDR Pseudomonas sp dan Acinetobacter sp. dalam
kombinasi dengan Colistin/Polimiksin
d. Untuk infeksi Sistem Saraf Pusat (SSP) meropenem merupakan obat
pilihan utama.
- Dosis :
a. Meropenem 3 x 500 mg - 1g, dosis maksimal 3 x 2 g intermitten
infusion atau prolonged infusion 3 jam pada pasien dengan bersihan
kreatinin lebih dari 50 ml/min.
b. Imipenem 4 x 500 mg atau maksimal 3 x 1 g dengan intermitten
infusion atau prolonged infusion 3 jam pada pasien dengan bersihan
kreatinin lebih dari 50 ml/min.
c. Doripenem 3 x 500mg maksimal 3 x 1 g dengan intermitten infusion
atau prolonged infusion 4 jam pada pasien dengan bersihan kreatinin
lebih dari 50 ml/min.
d. Pada infeksi MDR atau patogen dengan MIC ≥ 4 ug/L, digunakan
dosis maksimal kombinasi dengan obat lain: Colistin/ aminoglikosida

4.TIGESIKLIN11
- Tigesiklin merupakan derivat minosiklin semi-sintetik
- Spektrum meliputi kuman Gram positif termasuk MRSA, Gram negatif
termasuk Acinetobacter sp., anaerob, dan bakteri atipikal.
- Tigesiklin tidak memiliki aktivitas pada Pseudomonas sp
- Indikasi:
a. Empirik:
- CAP, cIAI, cSSTI yang berasal dari komunitas
- Jangan diberikan pada cUTI karena kadar dalam urin rendah dan
pada BSI karena kadar dalam serum sangat rendah.
b. Definitif:
- Infeksi karena MRSA pada organ (kulit, paru dan abdomen)
- Infeksi karena ESBL
- Acinetobacter baumanii yang sensitif Tigesiklin
- Dosis: loading 100 mg IV dilanjutkan 2 x 50 mg IV intermitten infusion
(dosis maksimal 2x100mg) dalam 30-60 menit. Dosis Penyesuaian dosis
maintenance diperlukan pada pasien dengan gangguan hati berat.
- Hindari monoterapi pada sepsis atau infeksi aliran darah (BSI) karena
mortalitas tinggi

5.AMIKASIN12
- Termasuk dalam golongan aminoglikosida
- Spektrum meliputi kuman Gram negatif basil termasuk
Enterobacteriaceae, Pseudomonas sp., Acinetobacter sp.
- Amikasin tidak memiliki aktivitas terhadap kuman Gram positif
khususnya MRSA dan kuman anaerob
- Indikasi:
a. Empirik:
- Pneumonia (Hospital-acquired Pneumonia/ Ventilator-associated
Pneumonia) dikombinasi bersama karbepenem,piperasilin-
tazobaktam, atau sefalosporin dengan aktivitas anti-pseudomonas.
- Demam neutropenia
- Infeksi saluran kemih komplikata (cUTI)
- Infeksi intra-abdominal komplikata (cIAI)
b. Definit:
- Infeksi karena Gram negatif termasuk Pseudomonas, sebagian infeksi
Gram positif (MSSA)
- Dosis: 1x 15-20 mg/kgbb/hari IV diberikan dalam 30-60 menit pada
pasien dengan bersihan kreatinin di atas 60 ml/min.
- Dieliminasi melalui ginjal dan mengalami akumulasi di dalam ginjal,
risiko nefrotoksik terjadi pada 5-15% pasien. Pasien dengan usia
lanjut, gangguan ginjal dan hati sebelumnya, syok, pneumonia,
penggunaan bersamaan dengan obat nefrotoksik lain, dan durasi
terapi dengan amikasin yang lama meningkatkan nefrotoksisitas.
- Terdapat bukti adanya risiko ototoksisitas ireversibel pada 2-10%
pasien dengan risiko yang meningkat dengan penggunaan
aminoglikosida secara kumulatif.

6.POLIMIKSIN B13
- Terdapat dua kelas polimiksin intravena yang tersedia yakni polimiksin
B dan polimiksin E (kolistin)
- Spektrum kuman meliputi gram negatif aerob basil. Tidak memiliki
aktivitas terhadap gram positif dan anaerob yang baik.
- Indikasi:
 Terapi definitif XDR/PDR Pseudomonas aeruginosa dan Acinetobacter
baumanii dalam kombinasi dengan Karbapenem Grup 2, piperasilin-
tazobaktam, Fosfomisin, atau Aminoglikosida
- Dosis:
Polimiksin B: 0.75-1.25 mg (7,500-12,500 U)/kg/ IV tiap 12 jam
Dosis untuk 60 kg = 2.5 mg x 60 = 150 mg/hari = 1.500.000
unit/hari atau 2 x 750.000 unit

7.SEFALOSPORIN ANTIPSEUDOMONAS14
- Golongan sefalosporin yang memiliki aktivitas antipseudomonas yakni:
seftazidim (generasi 3), sefepim dan sefpirom (generasi 4)
- Indikasi :
a. Empirik:
- Bakteremia/sepsis dengan fokus infeksi pada:
- Pneumonia (Hospital-acquired Pneumonia/Ventilator-associated
Pneumonia) dikombinasi dengan golongan florokuinolon/amikasin
- Infeksi saluran kemih komplikata (cUTI)
- Infeksi prostesis sendi/ Prosthetic Joint Infection (PJI)
- Demam neutropenia
- Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata (cSSTI)
b. Definitif : Infeksi yang diakibatkan oleh Pseudomonas sp.

- Dosis:
a. Seftazidim 3 x 2 g intermitten infusion atau continuous infusion 24
jam.
b. Sefepim 3 x 2 g intermitten infusion atau prolonged infusion 3 jam.

8.AMPISILIN-SULBAKTAM9
- Spektrum : Gram positif, gram negatif non Pseudomonas non ESBL
- Indikasi:
a. Empirik:
- Pneumonia komunitas (CAP)
- Infeksi intraabdominal komplikata (cIAI)
- Infeksi kulit dan jaringan lunak komplikata (cSSTI)
- Infeksi tulang/osteomielitis
b. Definit:
- Deeskalasi pada infeksi Acinetobacter sp.
- Dosis: 3-4 x 1.5 g intermitten infusion (Per vial berisi Ampisilin 1 gram
dan Sulbaktam 500 mg)
- Pada infeksi Acinetobacter, sp. diberikan Sulbaktam 3 g/hari dalam
dosis terbagi.
- Perlu dilakukan pengaturan dosis pada pasien dengan bersihan
kreatinin <30 ml/min.

9.FOSFOMISIN14
- Kelas antibiotik epoxide pertama
- Spektrum: Infeksi terhadap bakteri Gram positif, Gram negatif. Dalam
dosis tinggi (>16 g/hari) memiliki aktivitas terhadap Pseudomonas
aeruginosa dan Acinetobacter baumanii.
- Indikasi:

a. Empirik:
- Sediaan oral 3 g dosis tunggal, diberikan secara empirik pada
infeksi saluran kemih (UTI)
b. Definit:
- Infeksi saluran kemih komplikata yang disebabkan oleh bakteri
Gram negatif
- Terapi alternatif pada infeksi XDR Pseudomonas aeruginosa dan
Acinetobacter sp (CRPA dan CRAB) dalam kombinasi dengan
Polimiksin B

10. FLOROKUINOLON (SIPROFLOKSASIN/LEVOFLOKSASIN)15


- Spektrum aktivitas Gram negatif basil, Gram negatif kokus,
Pseudomonas sp., Gram positif (MSSA), bakteri atipikal, dan anti
Mycobacterium sp. Siprofloksasin memiliki aktivitas terutama terhadap
bakteri Gram negatif, Levofloksasin memiliki aktivitas terhadap Gram
positif S. pneumonia dan S. aureus selain terhadap bakteri Gram
negatif. Moksifloksasin memiliki spektrum sama dengan Levofloksasin
ditambah aktivitas terhadap bakteri anaerob.
- Indikasi
a. Empirik:
○ Infeksi saluran kemih (UTI)
○ Infeksi intraabdominal komplikata (CIAI)
○ Diare akut akibat bakteri
○ Demam tifoid
○ Pneumonia
Community Acquired Pneumonia : Levofloksasin dan Moksifloksasin
Hospital Acquired Pneumonia risiko rendah atau dengan kombinasi
antibiotik golongan beta-laktam pada risiko tinggi : Siprofloksasin
dan Levofloksasin
○ Infeksi kulit dan jaringan lunak (SSTI)
b. Definit
○ Infeksi akibat Gram negatif termasuk Pseudomonas sp.
- Dosis: Untuk infeksi didapat di rumah sakit (HAP): Siprofloksasin
diberikan dengan dosis 3 x 400 mg iv, Levofloksasin 1 x 750 mg IV
11. VANKOMISIN16
- Golongan Glikopeptida
- Spektrum terbatas terhadap bakteri Gram positif (S. aureus,
Enterococcus faecalis, Streptococcus sp.), Gram positif anaerob
(Clostridium sp.). Tidak memiliki spektrum aktivitas bakteri gram
negatif.
- Indikasi:
a. Empirik:
○ Infeksi berat dengan kecurigaan yang disebabkan MRSA.
○ cSSI termasuk fasitis nekrotikans, gangren diabetikum dan
flebitis septik yang progresif
○ Necrotizing pneumonia
○ Demam neutropenia
○ HAP/VAP yang tidak responsif dengan terapi antibiotik empirik
spektrum luas
○ Endokarditis infektif
b. Definit:
○ Infeksi yang disebabkan MRSA dari hasil kultur
- Dosis: Vankomisin 30 mg/kgbb/hari terbagi dalam 2 dosis IV
intermitten infusion dilarutkan dalam 100-250 ml D5 atau NS 0.9%
pada pasien dengan bersihan kreatinin >30 ml/menit. Pada infeksi
MRSA berat, dosis dapat dinaikkan menjadi 15-20 mg/kgbb setiap 8-
12 jam berdasarkan berat badan aktual, dengan dosis maksimal 2
gram.

12. LINEZOLID17
- Golongan Oxazolidinone
- Spektrum terbatas untuk bakteri Gram positif (S. aureus, Enterococcus
faecalis, Streptococcus sp.) dan gram positif anaerob (Clostridium sp.).
Tidak memiliki spektrum aktivitas Gram negatif.
- Indikasi:
a. Empirik:
- Infeksi berat dengan kecurigaan disebabkan MRSA
termasuk CAP, HAP, VAP, cSSTI, infeksi aliran darah.
b. Definit : infeksi MRSA dibuktikan dari hasil kultur
- Dosis : 2 x 600 mg IV. Tidak ada penyesuaian dosis pada gangguan
ginjal, kecuali gangguan fungsi hati berat.
13. SEFTAZIDIM/ AVIBACTAM8
- Termasuk dalam golongan kombinasi sefalosporin/beta laktamase
inhibitor
- Aktivitas terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumonia
resisten Karbapenem yang menghasilkan enzim Karbapenemase tipe KPC
dan OXA, tetapi tidak terhadap metalobetalakatamase (MBL).
- Tidak memiliki aktivitas terhadap MDR Acinetobacter baumanii
- Indikasi:
Definit: infeksi berat/komplikata yang disebabkan XDR Pseudomonas
dan Klebsiella pneumonia (CRPA dan CRKP) pada saluran kemih
(cUTI), intraabdominal (cIAI) , HAP dan VAP

14. CEFTOLOZANE/TAZOBAKTAM8
- Termasuk dalam golongan kombinasi sefalosporin/beta laktamase
inhibitor
- Aktivitas terhadap Pseudomonas aeruginosa resisten Karbapenem yang
menghasilkan Karbapenenmase tipe OXA. Tidak memiliki aktivitas
terhadap KPC dan MBL.
- Tidak memiliki aktivitas terhadap Acinetobacter dan carbapenenem-
resistant Klebsiella pneumonia.
- Indikasi:
Definit: infeksi berat/komplikata yang disebabkan XDR Pseudomonas
aeruginosa (CRPA) pada saluran kemih (cUTI) dan intra abdominal
(cIAI)

2.11 PILIHAN TERAPI MDR BERDASARKAN POLA KUMAN

 MRSA (methicillin-resistant Staphylococcus aureus)


● Kulit dan jaringan lunak komplikata: Vankomisin, Teicoplanin, Linezolid
● BSI: Vankomisin, Linezolid
● Paru: Linezolid, Vankomisin
 ESBL (Extended spectrum beta-lactamase) :
● Paru: Karbapenem Grup1 dan 2,piperasilin-tazobaktam, Tygecycline
● BSI: Karbapenem Grup 1 dan 2, piperasilin-tazobaktam
● Kulit dan jaringan lunak: Karbapenem Grup 1 dan 2, piperasilin-
tazobaktam
 Pseudomonas aeruginosa
● Seftazidim, Sefepim
● Aztreonam
● Piperasilin-tazobaktam
● Karbapenem Grup2
● Amikasin, Levofloksasin, Siprofloksasin
 XDR Acinetobacter baumanii
● Polimiksin B + Karbapenem + Fosfomisin
● PolimiksinB + Tigesiklin
 XDR Pseudomonas sp.
● Polimiksin B + Karbapenem + Fosfomisin
● Ceftolozane/tazobaktam
 KPC (Klebsiella pneumoniae Karbapenemase)
● Tigesiklin + Polimiksin B
● Polimiksin B + Karbapenem
● Tigesiklin + Karbapenem
● Seftazidim avibactam

2.12 PANDUAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TUJUAN PROFILAKSIS


NON BEDAH
1. Profilaksis pada tindakan non-bedah

Tabel 1.1 Rekomendasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis pada Tindakan Non-


bedah18
Kondisi pasien Tindakan Rekomendasi Antibiotik
non-bedah* profilaksis profilaksis

Kolangitis ERCP Tidak membutuhkan -


antibiotik profilaksis
dosis tunggal,
direkomendasikan
menggunakan
antiobiotik empirik pada
kondisi kolangitis
Obstruksi bilier ERCP dengan Tidak -
tanpa kondisi drainase direkomendasikan
kolangitis komplit pemberian antibiotik
profilaksis
Obstruksi bilier ERCP dengan Direkomendasikan Siprofloksasin /
tanpa kondisi drainase yang pemberian antibiotik Seftriakson
kolangitis tidak komplit profilaksis dan
dilanjutkan setelah
prosedur
Massa pada EUS-FNA Tidak -
pada traktus direkomendasikan
gastrointestinal pemberian antibiotik
profilaksis
Kista EUS-FNA/ Direkomendasikan Siprofloksasin/
mediastinal atau drainase pemberian antibiotik
kista pankreas profilaksis Seftriakson

Seluruh pasien PEG Direkomendasikan Cefazolin


pemberian antibiotik
profilaksis
Pasien sirosis Menjalani Direkomendasikan Seftriakson ATAU
dengan endoskopi pemberian antibiotik
perdarahan ataupun tidak profilaksis TMP-SMX PO
gastrointestinal ATAU
akut siprofloksasin
2x500 mg PO/
2x400 mg IV
ATAU
norfloksasin
2x400 mg PO,
apabila
perdarahan
berhenti dan
pasien stabil

Pasien dengan Endoskopi Direkomendasikan Ampisilin dan


peritoneal saluran cerna pemberian antibiotik Aminoglikosida
dialysis bawah profilaksis dengan/tanpa
metronidazol

*ERCP;Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography . EUS-FNA: Endoscopic


Ultrasound Fine Needle Aspiration, PEG; Percutaneous endoscopic gastrostomy;
TMP-SMX: Trimetoprim-sulfametoxazol

2. Profilaksis endokarditis infektif pada prosedur gigi19

Regimen antibiotik profilaksis endokarditis infektif pada prosedur gigi


(prosedur mencakup manipulasi pada regio ginggival atau periapikal atay
perforasi pada mukosa oral):
1. Regimen standar: amoksisilin 2 gram PO
2. Apabila tidak dapat intake peroral: ampisilin 2 gram IM atau IV
3. Apabila alergi penilisin: klindamisin 600 PO
4. Apabila alergi penisilin dan tidak dapat intake oral: klindamisin 600 mg
IM atau IV
Terapi diberikan pada pasien dengan risiko tinggi endokarditis infektif
(dengan katup prostetik, riwayat endokarditis infektif, & penyakit jantung
kongenital), dalam dosis tunggal 30-60 menit sebelum prosedur.

3. Profilaksis pada pasien dengan neutropenia20

- Profilaksis dengan florokuinolon perlu dipertimbangkan pada pasien risiko


tinggi dengan neutropenia berkepenjangan (ANC ≤100 sel/mm3 selama >7
hari). Levofloksasin dan siprofloksasin dianggap memiliki efektivitas yang
setara, tetapi levofloksasin lebih disukai pada kondisi dengan risiko
terjadinya mukositis oral yang disebabkan kuman kelompok Streptococcus
viridans.
- Penambahan antibiotik yang dapat meliputi bakteri gram positif tidak
direkomendasikan.
- Pemberian profilaksis tidak secara rutin direkomendasikan untuk pasien
risiko rendah yang diantisipasi akan mengalami neutropenia <7 hari.
- Bagi pasien yang tidak dapat mentolerir siprofloksasin dapat
dipertimbangkan sefalosporin generasi ketiga oral atau kotrimoksasol.

4. Profilaksis pada pasien HIV

Tabel 4.1 Rekomendasi Antibiotik Profilaksis pada Pasien HIV21,22

Infeksi Indikasi Dosis Antibiotik


Profilaksis

Pneumocystis - Seluruh pasien HIV yang - TMP-SMX 1x160/800


Pneumonia (PCP) terdiagnosis TB mg
- Pasien HIV dengan CD4 < - Profilaksis sekunder
200/mm3 setelah terapi komplit
- Pasien infeksi HIV dengan PCP TMP-SMX
terdapat oral thrush, gejala 160/800 mg
konstitusional, atau
riwayat PCP

Toksoplasmosis Pasien HIV dengan TMP-SMX 1x160/800 mg


100/mm3 pada pasien
dengan serologi toksoplasma
IgG positif

Tuberkulosis Pada pasien HIV yang tidak INH 300 mg/hari selama
menderita TB aktif namun 6 bulan
memiliki kontak erat dengan
pasien TB (tanpa melihat
CD4)

Kriptokokus Dilakukan penapisan antigen Flukonazol


kriptokokus.
Jika penapisan antigen tidak
dapat dilakukan, pemberian
profilaksis primer pada
pasien CD4<100 sel/µL

TB: tuberkulosis; HIV: human immunodeficiency virus; TMP-SMX: trimetropim-


sulfometoksazol; INH: isoniazid

2.13 PANDUAN PENGGUNAAN ANTIBIOTIK DALAM TUJUAN TERAPI EMPIRIK


BERDASARKAN LOKASI INFEKSI

1. PNEUMONIA

1.1. Pneumonia Komunitas

Tabel 1.1 Antibiotik empirik Pneumonia Komunitas Rawat Jalan23


Kondisi pasien Pilihan antibiotik

Tanpa komorbid atau faktor risiko Amoksisilin, ATAU


MRSA atau Pseudomonas
Doksisiklin, ATAU
aeruginosa
Makrolida (azitromisin, klaritomisin)

Dengan kormobid (penyakit Kombinasi: amoksisilin klavulanat/


jantung, paru, hati dan ginjal yang sefalosporin DAN makrolida atau
kronik, diabetes melitus, doksisiklin,
alkoholisme, keganasan, asplenia)
ATAU

Terapi tunggal: florokuinolon


respirasi (moksifloksasin,
levofloksasin)

Tabel 1.2 Faktor Risiko MDR pada Pasien Pneumonia23


1. Pasien dengan riwayat isolat infeksi sebelumnya dengan MRSA atau P.
aeruginosa
2. Pasien dengan riwayat perawatan di rumah sakit dan mendapatkan
antibiotik parenteral dalam 90 hari terakhir
Tabel 1.3 Antibiotik empirik Pneumonia Komunitas Rawat Inap
Terapi Standar Terapi pada Pasien dengan
Risiko MDR

Rawat Florokuinolon respirasi Beta laktam non-


bukan ICU injeksi (levofloksasin, antipseudomonas (sefotaksim,
moksifloksasin) seftriakson, atau ampisilin
sulbaktam)
ATAU
DAN
Beta laktam non-
antipseudomonas Florokuinolon (levofloksasin,
(sefotaksim, seftriakson, ciprofloksasin)
ampisilin sulbaktam)
DAN
makrolida (azitromisin atau
klaritromisin)

Rawat ICU Beta laktam non- Beta laktam non-


antipseudomonas antipseudomonas (sefotaksim,
(sefotaksim, seftriakson, seftriakson, atau ampisilin
atau ampisilin sulbaktam) sulbaktam)
DAN DAN
flourokuinolon respirasi flourokuinolon respirasi

ATAU ATAU

Karbapenem generasi 1 Karbapenem generasi 1


(ertapenem) atau generasi 2 (ertapenem) atau generasi 2
(meropenem/imipenem) (meropenem/imipenem)

1.2 Pneumonia Berasal dari Rumah Sakit(Non Ventilator-associated


Pneumonia)24
Tabel 1.4 Terapi Antibiotik Empirik untuk Pneumonia Nosokomial (Non Ventilator-
associated Pneumonia)24
Tidak risiko tinggi Tidak risiko tinggi Risiko tinggi mortalitas
mortalitas & mortalitas namun risiko atau riwayat pemberian
tanpa faktor risiko tinggi MRSA antibiotik intravena dalam
MRSA 90 hari terakhir
Salah satu dari Salah satu dari berikut: Dua dari berikut, hindari
berikut: 2 beta-laktam:
Piperasilin-tazobaktam Piperasilin-tazobaktam
Piperasilin-tazobaktam 4x4,5 gram IV 4x4,5 gram IV
4x4,5 gram IV ATAU ATAU
ATAU Sefepim atau Seftazidim Sefepim atau Seftazidim
Sefepim 3x2 gram IV 3x2 gram IV 3x2 gram IV
ATAU ATAU ATAU
Levofloksasin 1x750 mg Levofloksasin 1x750 mg Imipenem 4x500 mg IV
IV IV Meropenem 3x1 gram IV
ATAU Siprofloksasin 3x400 mg ATAU
Imipenem 4x500 mg IV IV Aztreonam 3x2 gram IV
Meropenem 3x1 gram IV ATAU
Imipenem 4x500 mg IV KOMBINASI:
Meropenem 3x1 gram IV Levofloksasin 1x750 mg IV
ATAU Siprofloksasin 3x400 mg IV
Aztreonam 3x2 gram IV ATAU
Amikasin 1x15-20
mg/kgBB IV
Gentamisin 1x5-7
mg/kgBB IV
Tobramisin 1x5-7 mg/kgBB
IV
Ditambah Ditambah
Vankomisin 15 mg/kgIV Vankomisin 15 mg/kgIV
tiap 8-12 jam tiap 8-12 jam
(pertimbangkan dosis (pertimbangkan dosis
loading 25-30 mg/kgBB loading 25-30 mg/kgBB 1x
1x pada kondisi berat) pada kondisi berat)
ATAU
Linezolid 2x600 mg IV ATAU
Linezolid 2x600 mg IV

Bila tidak diperlukan


antibiotik untuk MRSA dan
diperlukan antibiotik untuk
MSSA. Pilihan antibiotik
empirik sebagai berikut :
Piperasilin-tazobaktam,
sefepim, levofloksasin,
imipenem, meropenem
Bila pasien memiliki alergi penisilin berat maka digunakan Aztreonam ( dapat
digunakan pula untuk MSSA) daripada β-lactam- based antibiotic.
aDiberikan kombinasi dengan betalaktam
MRSA: methicillin resistant Staphylococcus aureus, MSSA: methicillin sensitive
Staphylococcus aureus

1.3 Pneumonia akibat pemakaian ventilator (Ventilator-associated


Pneumonia/VAP)

Tabel 1.5 Antibiotik Empirik untuk Ventilator-associated Pneumonia24


Pilihan Beta-Laktam Pilihan Non-Beta- Pilihan anti-MRSA
Anti Pseudomonas Laktam untuk Gram untuk Gram Positif
untuk Gram Negatif Negatif
Lini 1 Lini 2 Lini 3
Penisilin anti Florokuinolon : Glikopeptida :
Pseudomonas Siprofloksasin 3x400 mg Vankomisin 15 mg/kg IV
Piperasilin-tazobaktam IV tiap 8-12 jam
4 x 4,5 gram IV Levofloksasin 1x750 mg (pertimbangkan dosis
IV loading 25-30 mg/kgBB
1x pada kondisi berat)
ATAU ATAU
ATAU
Sefalosporin: Oxazolidinone:
Sefepim 3x2 gram IV Aminoglikosida (tiap 24 Linezolid 2x600 mg IV
Seftazidim 3x2 gram IV jam):
Amikasin 15-20 mg/kgBB
ATAU IV
Gentamisin 5-7 mg/kgBB
Karbapenem: IV
Imipenem 4x500 mg IV Tobramisin 5-7 mg/kgBB
Meropenem 3x1 gram IV IV

ATAU

Monobaktam:
Aztreonam 3x2 gram IV
MRSA: methicillin-resistant Staphilococcus aureus
Catatan: Pemberian antibiotik Lini 3 dan Pneumonia MDR/XDR dengan
persetujuan tim PPRA

2. INFEKSI INTRAABDOMINAL

2.1. Infeksi Bilier Akut

Tabel 2.1 Rekomendasi Terapi Antibiotik Empirik pada Infeksi Bilier Akut25
Tipe Infeksi Infeksi Ringan-Sedang Infeksi Berat

Kolesistitis Terapi berbasis sefalosporin Imipenem-silastatin,


akut (sefazolin, sefuroksim, meropenem, doripenem,
seftriakson, atau sefoperazon) piperasilin-tazobaktam
+ metronidazol ATAU
ATAU sefepim + metronidazol
Sefoperazon sulbaktam
Kolangitis akut Terapi berbasis (sefazolin, Imipenem-silastatin,
sefuroksim, seftriakson, atau meropenem, doripenem,
sefoperazon) + metronidazol piperasilin-tazobaktam
ATAU ATAU
Sefoperazon sulbaktam sefepim + metronidazol
Kolangitis akut Imipenem-silastatin, Imipenem-silastatin,
pada meropenem, doripenem, meropenem, doripenem,
anastomosis piperasilin-tazobaktam, piperasilin-tazobaktam
entero-bilier sefepim + metronidazol, ATAU
siprofloksasin + metronidazol, sefepim + metronidazol
levofloksasin + metronidazol,
moksifloksasin

Infeksi bilier Imipenem-silastatin, Imipenem-silastatin,


nosokomial meropenem, doripenem, meropenem, doripenem,
piperasilin-tazobaktam, piperasilin-tazobaktam
sefepim + metronidazol, ATAU
siprofloksasin + metronidazol, sefepim + metronidazol
levofloksasin + metronidazol, + vankomisin
moksiflokasain
+ vankomisin

2.2. Infeksi Intraabdominal Komplikata

Tabel 2.2 Rekomendasi Terapi Antibiotik Empirik pada Infeksi Intraabdominal


Komplikata25

Tipe terapia Infeksi ringan - sedang Infeksi komunitas risiko


berat tinggi atau berat,
nosokomial, dan infeksi
tersier

Terapi tunggal

Beta-laktam/ Sefoperazon sulbaktam Piperacilin-tazobaktam


kombinasi inhibitor
beta-laktamase

Florokuinolon Moksifloksasin Moksifloksasin

Karbapenem Ertapenem Imipenem-silastatin,


meropenem, doripenem

Glycylcycline Tigesiklinb

Terapi kombinasi

Berbasis Sefotaksim/ seftriakson + Sefalosporin generasi tiga


sefalosporin metronidazol atau empat (sefepim) +
metronidazol

Berbasis siprofloksasin/ Siprofloksasin +


florokuinolon levofloksasin + metronidazol
metronidazol

Berbasis Aztreonam + metronidazol


monobaktam ± vankomisin

a Antibiotik empirik disesuaikan dengan kultur dan laporan resistensi lokal


b Tigesiklin sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi empiris pada infeksi
nosokomial karena tidak aktif melawan Pseudomonas aeruginosa

2.3. Spontaneous Bacterial Peritonitis pada Sirosis Hepatis26,27

Sefalosporin generasi ke-3: Sefotaksim 2 gram IV tiap 8 jam selama minimal


5 hari. Pilihan antibiotik lainnya :
- Siprofloksasin 2 x 200 mg IV selama 2 hari lalu dilanjutkan dengan oral
selama 5 hari
- Sefriakson 2 x 1 gram IV selama 5 hari

2.4. Diare Akut

Pilihan terapi antibiotik empirik :


- Sefalosporin generasi ketiga : Sefriakson, Sefotaksim
- Florokuinolon: Siprofloksasin, Levofloksasin
- TMP-SMX (Trimetoprim-sulfametoksazol)

3. INFEKSI SALURAN KEMIH

Tabel 3.1 Rekomendasi Terapi Antibiotik pada Infeksi Saluran Kemih28–30


Tipe Infeksi Terapi
Sistitis nonkomplikata
Wanita hamil ● Fosfomisin (3 gram dosis tunggal)
● Betalaktam :
○ Amoksisilin-klavulanat, sefiksim, sefdinir, sefaklor,
cefpodoxim, sefaleksin selama 3-7 hari
● Trimetoprim-sulfametoksazol 2x160/800 mg tablet
selama 3 hari
Sistitis Oral Parenteral
komplikata
Wanita tidak Florokuinolon selama Florokuinolon
hamil atau pria 7 hari Siprofloksasin 2 Siprofloksasin 2 x 400 mg
x 500 mg (7 hari)
Levofloksasin 1 x 500 mg Levofloksasin 1 x 500 mg
(5 hari)
ATAU
Betalaktam:
Sefotaksim, Seftriakson,
Ampisilin- Sulbaktam,
Amoksisilin-clavulanat
(IV)
Pielonefritis Oral Parenteral
nonkomplikata

Wanita tidak Siprofloksasin 2x500 (7 Siprofloksasin 2x400 mg


hamil atau pria hari), Levofloksasin 1x750 Levofloksasin 500-750 mg
mg (5 hari), Sefpodoksim Sefuroksim 3x750 mg
proksetil 2x200 mg (10 Seftriakson 1x1-2 gram
hari), Ertapenem 1x1 gram
TMP-SMX 2x960 mg (14
hari)
Pielonefritis komplikata
Wanita tidak Terapi empirik pielonefritis komplikata disesuaikan
hamil atau pria dengan pielonefritis nonkomplikata. Apabila gejala klinis
berat, pilihan terapi empirik disesuaikan dengan
protokol terapi urosepsis
Pilihan:
Siprofloksasin 2x400 mg
Levofloksasin 500-750 mg
Sefuroksim 3x750 mg
Seftriakson 1x1-2 gram
Sefepim 2x1-2 gram
Piperasilin-tazobaktam 4x3,375 gram
Meropenem 3x1 gram
Imipenem-silastatin 3-4x500 mg
Doripenem 3x500 mg
Ertapenem 1x1 gram
Urosepsis
Wanita tidak Sefepim 2x1-2 gram
hamil atau pria Piperasilin-tazobaktam 4x3,375 gram
Meropenem 3x1 gram
Imipenem-silastatin 3-4x500 mg
Doripenem 3x500 mg
Ertapenem 1x1 gram

4. ENDOKARDITIS INFEKTIF31,32

Regimen antibiotik empirik inisial


1. Infeksi komunitas pada katup asli atau prostetik lama, ≥ 12 bulan setelah
operasi
o Ampisilin 12 gram IV (4-6 dosis) + gentamisin 3 mg/kg/hari IV (1 dosis)
o Seftriakson 2 gram IV (1 dosis) + gentamisin 3 mg/kg/hari IV (1 dosis)
o Vankomisin 30-60 mg/kg/hari IV (2-3 dosis) + gentamisin 3 mg/kg/
hari IV (1 dosis)
2. Katup prostetik baru (< 12 bulan setelah operasi) atau nosokomial/ non
nosokomial health care associated endocarditis.
o Vankomisin 30 mg/kg/ hari IV (2 dosis) + gentamisin 3 mg/kg/hari IV
(1 dosis) + rifampin 900-1200 mg IV/PO (2-3 dosis)

Untuk pasien Endokarditis Infektif yang sudah mendapatkan terapi, pilihan


profilaksis sekunder untuk pencegahan penyakit jantung rematik (berat badan >
27 kg):19,32
● Demam rematik dengan karditis dan penyakit katup jantung persisten:
Benzatin penisilin 1,2 juta IM / 1x sebulan selama 10 tahun atau pada
pasien usia muda sampai usia 40 tahun.
● Demam rematik dengan karditis tanpa penyakit katup jantung persisten:
Benzatin penisilin 1,2 juta IM / 1x sebulan selama 10 tahun atau pada
pasien usia muda sampai usia 21 tahun.
● Demam rematik tanpa karditis
Benzatin penisilin 1,2 juta IM / 1x sebulan selama 5 tahun atau pada pasien
usia muda sampai usia 21 tahun.
Terapi alternatif pada alergi penisilin: Eritromisin 1x250 mg per oral atau
Macrolide per oral dengan lama tahun seperti di atas atau pasien usia muda
sampai usia 21 tahun.

5. DEMAM NEUTROPENIA33–37

5.1. Regimen antibiotik empirik untuk pasien risiko tinggi

- Pasien dengan risiko tinggi (Skor MASCC <21) membutuhkan perawatan di


rumah sakit dan diberikan antibiotik empiric intravena (IV). Antibiotik yang
direkomendasikan oleh Infectious Disease Society of America (IDSA),
American Society of Clinical Oncology (ASCO), European Society of Medical
Oncology (ESMO), dan National Comprehensive Cancer Network (NCCN)
berupa monoterapi dengan β-laktam anti-pseudomonas seperti sefepim (2
gram tiap 8 jam), karbapenem (meropenem 1 gram tiap 8 jam atau
imipenem-silastatin 500 mg tiap 6 jam), Seftazidim 2 gram tiap 8 jam, atau
jika dibutuhkan cakupan untuk kuman anaerob dapat diberikan
piperasilin-tazobaktam (4.5 gram tiap 6 jam). Antimikroba lain yang dapat
dikombinasikan yaitu aminoglikosida seperti amikasin 15-20 mg/kg/hari,
florokuinolon seperti levofloksasin 750 mg/hari, dan/ atau vankomisin 15-
20 mg/kg/8-12 jam) untuk tata laksana komplikasi (seperti hipotensi dan
pneumonia) atau jika terdapat resistensi antimikroba

- Modifikasi antibiotik empirik inisial dapat dipertimbangkan pada pasien


dengan risiko infeksi mikroorganisme resisten, khususnya pada kondisi
pasien yang tidak stabil atau jika ditemukan hasil positif pada kultur darah
yang mengarah pada bakteri resisten. Yang termasuk bakteri resisten yaitu
methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA), vankomisin resistant
enterococcus (VRE), bakteri gram negatif yang memproduksi extended-
spectrum-β- lactamase (ESBL), dan organisme yang memproduksi
karbapenemase seperti Klebsiella pneumonia karbapenemase (KPC).
o Pada MRSA pertimbangkan untuk menambahkan vankomisin (15-20
mg/kg/8-12 jam) atau, linezolid (600 mg tiap 12 jam IV).
o Pada VRE pertimbangkan untuk menambahkan linezolid (600 mg tiap 12
jam IV).
o Pada ESBL pertimbangkan untuk menambahkan karbapenem
(meropenem 1 gram tiap 8 jam atau imipenem-silastatin 500 mg tiap 6
jam IV).
o Pada KPC pertimbangkan untuk menambahkan polimiksin-colistin (0.75-
1.25 mg/kgbb tiap 12 jam IV) atau tigesiklin (50 mg tiap 12 jam IV).
- Pasien dengan gejala abdomen seperti nyeri perut atau diare dapat
dipertimbangkan pemberianpiperasilin-tazobaktam 4.5 gram tiap 6 jam,
atau sefepim 2 gram tiap 8 jam, plus metronidazol 500 mg tiap 8 jam.

- Sebagian besar pasien yang alergi penisilin dapat mentoleransi pemberian


sefalosporin, tetapi yang memiliki riwayat hipersensitivitas tipe I (urtikaria
dan bronkospasme) perlu diberikan kombinasi yang tidak mengandung β-
laktam dan karbapenem, seperti siprofloksasin plus atau aztreonam plus
vankomisin.

5.2. Regimen antibiotik empirik untuk pasien risiko rendah

- Pasien dengan risiko rendah dapat diberikan antibiotik inisial oral atau IV.
Kombinasi siprofloksasin (500 mg per 12 jam) plus amoksisilin-klavulanat
875/175 mg per 8 jam direkomendasikan untuk antibiotik empirik oral.
- Pilihan lain dengan levofloksasin 500-750 mg/hari, atau moksifloksasin
400 mg/hari hari

5.3. Terapi antifungal pada demam neutropenia

Terapi antijamur empirik pelu dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan risiko


tinggi, seperti leukemia akut, resipien transplantasi sumsum tulang alogenik,
atau pasien yang mendapatkan kortikosteroid dosis tinggi. Terapi antijamur
empirik dapat dipertimbangkan pada kelompok pasien dengan risiko tinggi yang
masih mengalami demam setelah mendapatkan terapi antibiotik spektrum luas
selama 4-7 hari. Panduan NCCN menganjurkan pemberian antijamur dengan
cakupan mold apabila demam menetap ≥4 hari walau sudah diberikan antibiotik
empirik.

6. INFEKSI KULIT DAN JARINGAN LUNAK

6.1. Infeksi Kaki Diabetes38

Tatalaksana Rekomendasi Internasional Working Group on The Diabetic Foot:38


- Antibiotik definitif direkomendasikan setelah didapatkan hasil kultur dan
sensitivitas.
- Antibiotik empirik dipilih berdasarkan kemungkinan patogen penyebab dan
spektrum antibiotik, derajat klinis beratnya infeksi, risiko efek samping,
interaksi obat, ketersediaan obat dan biaya.
- Pada pasien yang tinggal di negara tropis, atau yang telah mendapatkan
antibiotik dalam beberapa minggu sebelumnya, atau pasien dengan klinis
infeksi sedang-berat, pertimbangkan regimen terapi antibiotik empirik
dengan spektrum aktivitas gram positif, gram negatif dan kuman anaerob.
Sesuaikan antibiotik segera setelah hasil kultur dan sensitifitas keluar.
- Pada infeksi berat dan sebagian besar infeksi moderat lebih dipilih
antibiotik parenteral dan dapat diganti ke terapi oral setelah pasien secara
sistemik stabil dan hasil kultur tersedia. Pada sebagian besar kasus infeksi
ringan dan moderat dapat digunakan antibiotik oral dengan bioavailabilitas
tinggi.
- Pemberian antibiotik disarankan hingga resolusi infeksi, tetapi tidak perlu
sampai luka sembuh. Pemberian antibiotik untuk infeksi jaringan lunak
disarankan selama 1-2 minggu untuk infeksi ringan dan 2-3 minggu untuk
infeksi moderat hingga berat. Jika bukti infeksi tidak membaik setelah 4
minggu pemberian terapi yang adekuat, pertimbangkan pemeriksaan
diagnosis lanjutan seperti kultur ulang dan terapi alternatif tambahan.
- Pada pasien infeksi kaki diabetes yang disertai dengan osteomyelitis
pertimbangkan reseksi surgical luas, pengambilan spesimen tulang untuk
kultur ulang apabila klinis tidak membaik dalam 2-4 minggu.

Tabel 6.1 Terapi Antibiotik Empirik pada Infeksi Kaki Diabetes38,39


Tipe Infeksi Dugaan Patogen Antibiotik Keterangan
Ringan MSSA, Klindamisin Biasanya dapat
(biasanya Streptococcus
digunakan untuk
terapi oral) spp
MRSA komunitas,
menghambat
sintesis protein dari
toksin bakteri
Levofloksasin Dosis 1x sehari;
suboptimal
terhadap S. aureus
Amoksisilin- Merupakan AB yang
klavulanat
mempunyai spektrum
relatif luas termasuk
kuman anaerob

MRSA Doksisiklin Aktif terhadap


MRSA dan
beberapa bakteri
gram negatif,
aktivitas belum
pasti terhadap
spesies streptococcus
Trimetoprim- Aktif terhadap MRSA
sulfametoksas
dan beberapa bakteri
ol
(TMP-SMX) gram negatif,
aktivitas belum
pasti terhadap
spesies streptococcus
Infeksi MSSA; Levofloksasin Dosis 1x sehari;
Sedang Streptococcus
suboptimal
(Dapat spp;
diobati Enterobacteria terhadap S.
dengan oral cea, anaerob
aureus
atau obligat
parenteral
inisial)
Infeksi Berat
(Biasanya
diobati
dengan
parenteral)
Sefriakson Dosis sekali sehari

Ampisilin- Adekuat bila risiko P.


sulbaktam
aeruginosa
kecil
Moksifloksasin Dosis sekali sehari;
relatif spektrum
luas; termasuk
sebagian
besar organisme
anaerob
Ertapenem Dosis sekali
sehari; relatif
spektrum luas;
termasuk untuk
anaerob; tidak
aktif terhadap P.
aeruginosa
Aktif terhadap MRSA.
Termasuk
spektrum luas.
Meropenem, Spektrum sangat
Imipenem
luas; namun tidak
untuk MRSA;
gunakan hanya bila
sangat diperlukan.
Dipertimbangkan bila
ada risiko
ESBL.
MRSA Linezolid Mahal; meningkatkan
risiko
toksisitas bila
digunakan lebih dari
2 minggu
Vankomisin MIC Vankomisin
terhadap MRSA
meningkat bertahap
Pseudomonas Piperasilin- Berguna untuk
aeruginosa tazobaktam
spektrum luas. P.
aeruginosa
merupakan
patogen yang tak
sering ditemukan
pada infeksi kaki
DM kecuali pada
kondisi tertentu
MRSA, Vankomisin; Spektrum sangat
Enterobacteriace ditambah
luas; biasanya
ae, satu dari
Pseudomonas, antibiotik hanya digunakan
dan anaerob berikut :
untuk terapi
Obligat Seftazidim,
Sefepim, empirik pada
Piperasilin-
infeksi berat.
tazobaktam,
aztreonam
atau
Karbapenem
MSSA: Methicillin-sensitive S. aureus; MRSA: Methicillin-resistant S. aureus; TMP-
SMX: Trimetoprim- sulfametoksasol; MIC: minimum inhibitory concentration

6.2. Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak Non-Purulenta39

- Infeksi kulit dan jaringan non purulenta diantaranya adalah erisipelas atau
selulitis
- Pemeriksaan kultur darah direkomendasikan dan pemeriksaan kultur dan
gram dari aspirat, biopsi, atau swab dapat dipertimbangkan khususny pada
pasien dengan keganasan dalam kemoterapi, neutropenia, imunodefisiensi
primer, dan gigitan binatang.

Tabel 6.2 Tatalaksana Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak Non-purulenta


Derajat Definisi Tatalaksana dan pilihan
Infeksi antibiotik

Ringan Selulitis tipikal/ersipelas tanpa Cefalosporin ATAU


ada fokus purulenta
Klindamisin

Sedang Selulitis tipikal/ersipelas dengan Penisilin ATAU


tanda infeksi sistemik
Sefriakson ATAU

Klindamisin

Berat - Pasien yang gagal dengan terapi - Konsultasikan untuk


antibiotik oral ATAU drainase segera untuk
- Pasien dengan tanda infeksi menyingkirkan
sistemik (suhu diatas 38°C, kemungkinan fasciitis
takikardia >90 kali per menit, nekrotikans,
takaipnea >24 kali per menit - Pertimbangkan
atau sel darah putih abnormal pemberian Piperasilin
>12 atau <400 sel/mm3 ATAU tazobaktam dan/atau
-
Pasien dengan kondisi vankomisin. Sebagai
immunocompromised, ATAU alternatif vankomisin,
-
Pasien dengan tanda klinis dapat diberikan
infeksi dalam seperti adanya klindamisin 4x600 mg
bullae, kulit yang terlepas,
hipotensi atau kegagalan
disfungsi organ

6.3. Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak Purulenta

- Insisi dan drainase memiliki peranan penting dalam tatalaksana infeksi kulit
dan jaringan lunak purulenta

Tabel 6.3 Tatalaksana Infeksi Kulit dan Jaringan Lunak Purulenta


Derajat Definisi Tatalaksana dan
Infeksi pilihan antibiotik

Ringan Infeksi jaringan lunak Insisi dan drainase


purulenta tanpa tanda infeksi
sistemik

Sedang Infeksi jaringan lunak Insisi dan drainase


purulenta tanda infeksi
Kotrimoxazole ATAU
sistemik
Doksisiklin ATAU

Vankomisin ATAU

Linezolid

Berat Pasien yang gagal berepson Kotrimoxazole ATAU


dengan insisi dan drainase dan
Doksisiklin ATAU
terapi antibiotik oral ATAU
Vankomisin ATAU
Pasien dengan klinis sistemik
(suhu diatas 38°C, takikardia Linezolid
>90 kali per menit, takaipnea
>24 kali per menit atau sel
darah putih abnormal >12 atau
<400 sel/mm3)

7. ARTRITIS SEPTIK

- Terapi antibiotik empirik pada arthritis septik40


● Tidak ada faktor risiko infeksi organisme atipikal
Sefalosporin generasi ketiga: seftriakson IV
● Risiko tinggi sepsis gram-negatif (lanjut usia, ISK berulang, dan operasi
abdomen)
Sefalosporin generasi ketiga: seftriakson IV, Ampicilin–sulbaktam IV
● Risiko MRSA (perawatan di rumah sakit dalam waktu dekat, tinggal di
rumah perawatan, ulkus pada tungkai bawah, penggunaan kateter)
Vankomisin IV + sefalosporin generasi ketiga IV

8. INFEKSI OPORTUNISTIK PADA HIV

8.1. Infeksi Pneumocystis Pneumonia (PCP)

Tabel 8.1 Rekomendasi Terapi Pneumocystis Pneumonia21


Tipe Infeksi Pilihan Terapi Terapi Alternatif

Infeksi Ringan- TMP-SMX (15-20 mg TMP Primakuin 1 x 30 mg


Sedang dan 75-100 mg SMX) per oral ditambah
/kgBB/hari pemberian Klindamisin x 300 mg
per oral dibagi 3-4 kali per oral
pemberian selama 21 hari
ATAU
TMP-SMX 3x160 mg/800
mg per oral selama 21
hari
Infeksi Sedang- TMP-SMX (15-20 mg TMP Primakuin 1 x 30 mg
Berat dan 75-100 mg SMX) per oral ditambah
/kgBB/hari pemberian Klindamisin 4 x 600
per oral dibagi 3-4 kali mg selama 21 hari
pemberian selama 21 hari bersama dengan
bersama dengan penggunaan
penggunaan kortikosteroid s etara
kortikosteroid s etara prednison 40 mg per
prednison 40 mg per 12 12 jam diturunkan
jam diturunkan bertahap bertahap selama 21
selama 21 hari. hari.

TMP-SMX: Trimetoprim- sulfametoksasol

8.2. Infeksi Toksoplasma Ensefalitis

Tabel 8.2 Rekomendasi Terapi Toksoplasma Ensefalitis41


Tipe Infeksi Pilihan Terapi

Infeksi Akut Pirimetamin 200 mg PO (hari I), selanjutnya


dosis sesuai berat badan
BB ≤ 60 kg :
Pirimetamin 50 mg/hari leukovorin 1x10-25
mg/per oral (maks. 50 mg)

BB >60 kg :
Pirimetamin 75 mg/hari + leukovorin 1x10-25
mg/per oral
(maks. 50 mg)

Lama terapi 3-6 minggu


Dosis rumatan Dosis rumatan kronik yang direkomendasikan
kronik adalah setengah dari dosis yang diberikan saat
terapi fase akut. Terapi rumatan diberikan
hingga CD4 >200 sel/ul selama 6 bulan
berturut-turut setelah pemberian ARV.

9. INFEKSI TERKAIT KATETER PERITONEAL DIALISIS42,43

Infeksi terkait kateter terdiri dari infeksi exit site, infeksi tunnel, dan
peritonitis.

9.1. Infeksi Exit site

- Infeksi exit site adalah ditemukannya discharge atau sekret yang purulen,
dengan atau tanpa eritema pada kulit disekitar exit site
- Antibiotik empiris oral untuk pengobatan infeksi exit site diberikan yang
mencakup infeksi S. aureus seperti penicillinase-resistant penicillin
(contoh dicloxacillin atau flucloxacillin) atau sefalosporin generasi
pertama, kecuali pasien memiliki riwayat infeksi atau kolonisasi
methicillin-resistant S. aureus (MRSA) atau Pseudomonas species (pada
kasus ini diberikan glikopeptida atau klindamisin, atau antibiotik yang
memiliki kemampuan anti-pseudomonas.
- Infeksi exit site, kecuali yang disebabkan oleh Pseudomonas species,
diterapi minimal 2 minggu dengan antibiotik yang optimal.
- Infeksi exit site yang disebabkan oleh Pseudomonas species diterapi
minimal 3 minggu dengan antibiotik yang optimal.
9.2. Infeksi Tunnel

- Infeksi tunnel adalah ditemukannya tanda peradangan secara klinis


(eritema, edema, indurasi, nyeri tekan) maupun bukti ultrasonografi ada
koleksi/endapan di sepanjang tunnel kateter4
- Infeksi tunnel diterapi minimal 3 minggu dengan antibiotik yang optimal.

Tabel 9.1 Antibiotik Oral Empirik yang Digunakan pada Exit Site Infection42
Antibiotik Dosis
Amoksisilin 250 – 500 mg 2x sehari
Amoksisilin/klavulanat 875 mg/125 mg 2x sehari
Siprofloxasin 250 mg 2x sehari atau 500 mg 1x sehari
Klaritromisin Loading 500 mg, selanjutnya 250 mg 2x
sehari
Klindamisin* 300-450 mg 3x sehari
Eritromisin 250 mg 4x sehari
Flukonazol Loading 200 mg, selanjutnya 50-100 mg per
hari
Levofloksasin 300 mg per hari
Metronidazol* 500 mg 3x sehari
Moxiflosasin 400 mg per hari
Trimetroprim 80 mg/400 mg per hari sampai 160 mg/800
sulfametoksasol mg 2x sehari
*diberikan secara kombinasi dengan antibiotik oral lain
9.3. Peritonitis terkait Kateter Peritoneal Dialisis

Evaluasi klinis
Periksa exit site dan tunnel kateter
Ambil sampel cairan dialisat untuk analisis cairan dialisat, pewarnaan Gram dan kultur bakteri

Mulai antibiotik intraperitoneal sesegera mungkin,


dengan waktu dwelling minimal 6 jam (malam hari)
Antibiotik empiris yang mencakup Gram positif dan Gram negatif, berdasarkan riwayat pemakaian
antibiotik pasien dan juga pola sensitivitas lokal.

Pemberian antibiotik intraperitoneal: sefazolin dan


Gentamisin
Jika pasien alergi Sefalosporin, berikan
Levofloxacin* atau Ampisilin Sulbaktam*

Jika klinis tidak perbaikan, pertimbangkan add on


metronidazole dan/atau vankomisin dan/atau
flukonazol dan/atau anti-tuberkulosis

Pertimbangkan terapi adjuvan: kontrol nyeri, heparin IP, profilaksis anti-jamur


Edukasi dan evaluasi teknik injeksi IP
Memastikan jadwal follow-up dan home visit

*pemberian tunggal
Bagan 9.1 Algoritma Penatalaksanaan Peritonitis Terkait Peritoneal Dialisis
Empirik44
Tabel 9.2 Dosis antibiotik intraperitoneal untuk tatalaksana peritonitis44
Intermitten Kontinyu

(satu kali sehari) (semua pergantian)

Aminoglikosida

Amikasin 2 mg/kg/hari LD 25 mg/L, MD 12 mg/L

Gentamisin 0.6 mg/kg/hari LD 8 mg/L, MD 4 mg/L

Netilmisin 0.6 mg/kg/hari MD 10 mg/L

Tobramisin 0.6 mg/kg/hari LD 3 mg/kg, MD 0.3 mg/kg


Sefalosporin

Sefazolin 15-20 mg/kg/hari LD 500 mg/L, MD 125


mg/L
Sefepime 1000 mg/hari
LD 250-500 mg/L, MD 100-
Sefoperazone ND
125 mg/L
Sefotaxime 500-1000 mg/hari
LD 500 mg/L, MD 62.5-125
Seftazidim 1000-1500 mg/hari mg/L

Seftriaxon 1000 mg/hari ND

LD 500 mg/L, MD 125


mg/L

ND

Penisilin

Penisilin G ND LD 50.000 U/L, MD 25.000


U/L
Amoksisilin ND
MD 150 mg/L
Ampisilin ND
MD 125 mg/L
Ampisilin/Sulbaktam 2 g/1 g setiap 12 jam
LD 750-1000 mg/L, MD
Piperasilin/Tazobakta ND
100 mg/L
m
LD 4 g/0.5 g, MD 1 g/0.125
g

Lain-lain

Aztreonam 2 g/hari LD 1 g/L, MD 250 mg/L

Siprofloksasin ND MD 50 mg/L

Klindamisin ND MD 600 mg/kantung

Daptomisin ND LD 100 mg/L, MD 20 mg/L

Imipenem/Silastatin 500 mg selang 1 LD 250 mg/L, MD 50 mg/L


penggantian
Ofloksasin LD 200 mg, MD 25 mg/L
ND
Polimiksin B MD 300.000 U (mo
ND mg)/kantung
Quinupristin/Dalfopris
tin 25 mg/L selang 1 ND
Meropenem penggantian ND

Teicoplanin 1 g/hari LD 400 mg/kantung, MD


20 mg/kantung
Vankomisin 15 mg/kg setiap 5 hari
LD 30 mg/kg, MD 1.5
15-30 mg/kg setiap 5-7
mg/kg/kantung
hari

Anti jamur

Flukonazol 200 mg IP setiap 24-48 ND


jam
Vorikonazol ND
2.5 mg/kg/hari IP

LD: loading dose; MD: maintenance dose; IP: intraperitoneal; ND: no data
- Antibiotik diberikan intraperitoneum (IP), kecuali ditemukan klinis infeksi
sistemik (sepsis).
- Antibiotik IP diberikan secara intermiten untuk mengurangi risiko
kontaminasi.
- Jika hasil kultur dan sensitivitas telah ada, maka pemberian antibiotik
disesuaikan dengan hasil tersebut.
- Pada pasien dengan kondisi berat/sepsis maka ditambahkan antibiotik
sistemik di samping antibiotik lokal.

Hasil kultur: kokus Gram Positif

Lanjutkan AB yang mencakup Gram positif sesuai hasil tes sensitivitas.


Jika enterokokus, ganti ke vankomisin atau obat lain yang sesuai.
Jika resisten metisilin, ganti ke vankomisin atau obat lain yang sesuai.

Evaluasi respon klinis, ulang hitung sel dan kultur cairan dialisat pada hari ke- 3-5

Klinis membaik: Klinis tidak membaik: Klinis tidak membaik dalam 5 hari
Lanjutkan antibiotik; evaluasi Kultur ulang dan dengan AB yang tepat: cabut kateter
ulang adanya infeksi exit site evaluasi
atau tunnel

Coagulase-negative S. aureus Enterokokus Streptokokus lain


staphylococci

Obati selama 14 hari Skrining karier Obati selama 21 Obati selama 14


S.aureus; obati hari hari
selama 21 hari

Peritonitis membaik namun infeksi exit site atau tunnel Pertimbangkan cabut kateter simultan dan re-
persisten insersi
Bagan 9.2 Algoritma Tatalaksana Peritonitis untuk Coccus Gram Positif44

Hasil kultur: Basil Gram Negatif atau Mixed Bacterial Growth

Lanjutkan AB yang mencakup Gram Negatif sesuai hasil tes sensitivitas.


Jika perlu, ganti ke Sefalosporin generasi 3 atau 4

Evaluasi respon klinis, ulang hitung sel dan kultur cairan dialisat pada hari ke- 3-5

Klinis tidak membaik: Klinis tidak membaik dalam 5 hari dengan


Klinis membaik: Kultur ulang dan evaluasi AB yang tepat: cabut kateter
Lanjutkan antibiotik

Pseudomonas atau Basil Gram negatif lain Mixed Gram negative atau organisme
Stenotrophomonas Gram negative + Gram positif

Berikan 2 antibiotik berdasarkan Evaluasi masalah bedah; tambahan


hasil sensitivitas*, evaluasi ulang thd cakupan Gram negative, dapat
exit site dan tunnel ditambah metronidazole dan
Obati selama 21 hari ampisilin/vankomisin

Obati selama 21-28 hari


Obati selama 21 hari

Bagan 9.3 Algoritma Tatalaksana Peritonitis untuk Basil Gram Negatif Atau Mixed
Peritonitis membaik namun infeksi exit site atau tunnel
Pertimbangkan cabut kateter simultan dan re-
Bacterial Growth 44
persisten insersi

10. INFEKSI ALIRAN DARAH TERKAIT KATETER45–47

- Infeksi aliran darah terkait kateter adalah adalah suatu kondisi bakteremia
atau fungemia pada pasien yang memiliki alat intravaskular (kateter)
dimana hasil kultur darah yang positif didapatkan dari 1 atau lebih lokasi
pengambilan darah (sentral dan perifer) dengan gejala klinis infeksi
(demam, mengigil, dan/atau hipotensi) tanpa adanya sumber infeksi aliran
darah lain selain kateter.
- Pertimbangan antibiotik empirik pada pasien dengan infeksi aliran darah
terkait kateter mempertimbangkan antibiotik dengan cakupan patogen
gram positif dan gram negatif berdasarkan data kepekaan antimikroba
lokal dan kondisi klinis pasien.
- Pertimbangan antibiotik empirik dapat menggunakan ampisilin sulbaktam,
cefalosporin generasi ketiga, cefalosporin generasi empat, atau
karbapenem.
- Pertimbangan terapi antibiotik kombinasi dengan antibiotik dengan
aktivitas terhadap P. aeruginosa dapat diberikan pada pasien dengan
infeksi aliran darah terkait kateter dengan kondisi sakit berat atau sepsis,
pasien dengan neutropenia, atau pasien dengan kolonisasi patogen MDR.
- Pada pasien dengan kondisi khusus, seperti pasien dengan penyakit kritis
dan kateter femoral, perlu dipertimbangkan pemberian antibiotik dengan
cakupan gram negatif basil dan Candida.
- Pertimbangan terapi empirik pada pasien yang dicurigai menderita
kandidemia diberikan pada pasien sepsis dengan nutrisi parenteral total,
penggunakan antibiotik spektrum luas dalam jangka waktu yang lama,
keganasan darah, penerima transplantasi organ padat atau transplantasi
susum tulang, kateter femoral, atau terdapat kolonisasi Candida di
beberapa lokasi. Pertimbangan terapi empirik kandidemia terkait kateter
dapat menggunakan echinocandin. Pertimbangan flukonazol dapat
diberikan pada pasien tanpa riwayat pemberian anti jamur golongan azole
dalam 3 bulan terakhir, dan pada rumah sakit dengan risiko C. krusei dan
C. glabrata sangat rendah.
- Penggunaan terapi antimicrobial lock dapat dipertimbangkan pada infeksi
terkait kateter non-komplikata pada pengguna kateter jangka panjang
dengan patogen selain S. aureus, P. aeruginosa, Bacillus sp. Micrococcus sp.
Pripionibacteria, jamur ataupun Mycobacterium sp.
- Antibiotik jangka panjang dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
fungemia dan/atau bakteremia persisten setelah pelepasan kateter
intravaskular (lebih dari 172 jam setelah pelepasan kateter).
- Kateter jangka panjang harus dilepas pada pasien dengan infeksi aliran
darah terkait kateter dengan kondisi: sepsis berat, tromboflebitis
supurativa, endokarditis, bakteremia jangka panjang, atau bakteremia
akibat S. aureus, P. aeruginosa, atau fungemia.

11. SEPSIS

Terapi antibiotik empirik pada Sepsis48


1. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada sepsis akan meningkatkan
risiko kegagalan pengobatan yang berdampak pada peningkatan morbiditas
dan mortalitas.
2. Antibiotik intravena yang efektif diberikan dalam waktu satu jam sejak
diagnosis renjatan septik dan sepsis tanpa renjatan.
3. Terapi empirik antibiotik:
a. Terapi antibiotik empiris awal dapat berupa satu atau lebih obat dengan
spektrum luas yang memiliki aktivitas terhadap suspek patogen dan
juga memiliki kemampuan penetrasi dalam konsentrasi yang adekuat ke
dalam jaringan yang diduga menjadi sumber sepsis dengan
mempertimbangkan faktor asal infeksi (infeksi komunitas atau
nosokomial), komorbid, dan pola kepekaan dan resistensi mikroba di
rumah sakit setempat.
b. Rejimen antibiotik yang diberikan harus dinilai setiap hari untuk melihat
kemungkinan deeskalasi.
c. Rejimen antibiotik sebaiknya dipertimbangkan untuk diganti
menggunakan antibiotik spektrum yang lebih sempit segera setelah
patogen teridentifikasi.

4. Gunakan kadar prokalsitonin untuk memonitor respons terhadap


pengobatan tiap 3 hari sampai dengan 5 hari tergantung respons klinis.
5. Terapi empiris kombinasi digunakan untuk pasien neutropenia dengan
sepsis berat dan untuk pasien yang sulit diterapi karena diduga terinfeksi
patogen yang resisten terhadap banyak obat seperti Acinetobacter dan
Pseudomonas sp. Untuk pasien tertentu dengan infeksi berat yang disertai
kegagalan napas dan renjatan septik karena bakteremia P. aeruginosa
diberikan terapi kombinasi beta-laktam spektrum luas dengan
aminoglikosida atau florokuinolon. Terapi empiris kombinasi sebaiknya
tidak diberikan lebih dari 3-5 hari. Deeskalasi harus segera dilakukan
sesudah profil kepekaan kuman definitif diketahui.
6. Lama terapi antimikroba sebaiknya 7-10 hari. Pemberian lebih lama dapat
dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan respons klinis yang lambat,
fokus infeksi yang tidak dapat didrainase, sepsis yang diakibatkan oleh
Staphylococcus aureus, atau beberapa infeksi dimana penetrasi antibiotik
ke jaringan sulit dicapai seperti prostat, tulang, endokarditis dan susunan
saraf pusat.
Tabel 111.1 Pilihan Antibiotika Empiris pada pasien Sepsis dan Syok Sepsis49
Dugaan Sumber Infeksi

Paru Abdomen Infeksi Kulit dan Saluran kemih Sumber Belum Pasti
Jaringan Lunak

Infeksi Kemungkinan - Streptococcus - Eschericia coli - Streptococcus - Eschericia coli


Komunitas Patogen pneumoniae - Bacteroides pyogenes - Klebsiella, sp.
- Haemophilus fragilis - Staphylococcus - Enterobacter,
influenzae aureus sp.
- Legionella sp. - Polimikrobial - Proteus, sp.
- Chlamydia - Enterococci, sp.
pneumoniae

Terapi Moksifloksasin/ Pada infeksi Ampisilin Siprofloksasin/ Meropenem/


Antibiotik Levofloksasin/ intraabdominal sulbaktam Levofloksasin Imipenem Silastatin/
Empirik Azitromisin komplikata: ATAU ATAU Doripenem
Meropenem/ Ampisilin
DAN Ertapenem Imipenem sulbaktam dan pertimbangan
ATAU silastatin/ ATAU pemberian Vankomisin
Seftriaxon/ Tigesiklin Ertapenem Seftriakson
Sefotaksim/ ATAU ATAU
Ampisilin sulbaktam Seftriakson DAN dan pertimbangan Ertapenem
Metronidazol pemberian
ATAU Vankomisin
Sefotaksim DAN
Metronidasol

Pada infeksi
bilier:
Ampisilin
sulbaktam
ATAU
Sefoperazon
sulbaktam
ATAU
Seftriakson DAN
Metronidasol

Infeksi Kemungkinan Basil gram negatif Batang gram Staphylococcus Batang gram Pertimbangkan
Nosokomia Patogen aerob negatif aerob aureus (MRSA) negatif aerob MDRO pada daerah
l Anaerob Batang gram negatif dengan prevalensi tinggi
Candida sp. aerob Enterococus
Pertimbangkan
Echinocandin jika
neutropenia atau
terdapat penggunaan
kateter intravaskular

Terapi Meropenem/ Meropenem/ Meropenem/ Meropenem/ Meropenem/


Antibiotik Imipenem Silastatin/ Imipenem Imipenem Imipenem Imipenem Silastatin
Empirik Doripenem Silastatin/ Silastatin/ Silastatin/
ATAU Doripenem Sefepim Sefepim dan pertimbangan
Sefepim pemberian Vankomisin/
dan dan pertimbangan Linezolid
DAN pertimbangan pemberian
Levofloksasin/ pemberian Vankomisin/ Dan pertimbangan:
Siprofloxasin/ Vankomisin/ Linezolid Echinocandin
Aminoglikosida Linezolid (Anidulafungin/
Mikafungin)
Dan pertimbangan Dan
pemberian pertimbangan:
Vankomisin/ Ekinokandin
Linezolid (Anidulafungin)
MDRO: multidrug resistant organisms; MRSA: methicillin resistant S. aureus
DOSIS OPTIMAL PADA INFEKSI BERAT (CCT>50%)
a. Siprofloksasin: 400 mg tiap 8 jam
b. Levofloksasin 750 mg/24 jam
c. Imipenem silastatin 500 mg tiap 6 jam, maksimal 1000 mg tiap 8 jam,
intermitten infusion atau
prolonged infusion 3 jam.
d. Meropenem 1000 mg tiap 8 jam, maksimal 2000 mg tiap 8 jam,
intermitten infusion atau prolonged infusion 8 jam.
e. Doripenem 500 mg tiap 8 jam, maksimal 1000 mg tiap 8 jam, intermitten
infusion atau prolong infusion 8 jam.
f. Piperasilin/Tazobaktam 4.5 g tiap 6 jam intermitten infusion atau
continuous infusion 24 jam.
g. Sefepim 2 g tiap 12 jam, maksimal 2 g tiap 8 jam, intermiten
infusion atau prolonged infusion 3 jam.
h. Seftazidim 2 g tiap 8 jam intermitten atau continuous infusion 24 jam..
i. Gentamisin atau Tabromisin 7 mg/kg/hari sebanyak 1x/hari.
j. Amikasin 15-20 mg/kg/hari 1x/hari intermitten infusion 1 jam.
k. Linezolid 600 mg tiap 12 jam.
l. Vankomisin 15 mg/kg tiap 12 jam
BAB III

PENUTUP

Masalah resistensi antimikroba terjadi di seluruh dunia dan dapat


merupakan ancaman bagi kesehatan bagi manusia karena menurunkan mutu
pelayanan kesehatan dan meningkatkan biaya pelayanan kesehatan, serta
meningkatkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit infeksi. Oleh
karena itu, keadaan ini harus dicegah.
Resistensi antimikroba antara lain disebabkan oleh penggunaan
antimikroba secara masif pada manusia, dan di bidang pertanian, perikanan,
dan peternakan, sehingga terjadi tekanan selektif yang menyebabkan mikroba
bermutasi menjadi patogen resisten dan/atau membentuk koloni. Selanjutnya
mikroba resisten tersebar meluas karena para pelaksana yang terlibat tidak
menjalankan kewaspadaan standar, kewaspadaan kontak, dan kewaspadaan
transmisi.
Tekanan selektif terjadi akibat penggunaan antimikroba secara salah, yang
sebenarnya tidak dibutuhkan atau tidak ada indikasi, sehingga strategi utama
dan pertama yang harus dilakukan adalah menggunakan antimikroba secara
bijak (prudent use of antibiotic). Strategi untuk menggunakan antimikroba secara
bijak adalah dengan cara melaksanakan panduan praktek klinik (PPK) untuk
penyakit infeksi, dan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB), yaitu
bagaimana menegakkan diagnosis penyakit infeksi dan memilih jenis antimikroba
secara tepat, berapa dosisnya, bagaimana rute pemakaiannya, saat
pemberiannya, dan berapa lama penggunaannya.
Dengan menerapkan pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) diharapkan
dapat menyumbang secara nyata upaya pengendalian resistensi antimikroba
khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.

Direktur Utama,

Ttd.

LIES DINA LIASTUTI


DAFTAR PUSTAKA

1. MacDougall C. Antimicrobial Stewardship. In: Mandell Douglas, and


Bannett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2020. p. 661–7.
2. Pai MP, Cotrell ML, Bertino JS. Pharmacokinetics and Pharmacodynamics of
Anti-infective Agents. In: Mandell, Douglas, and Bennett’s Principles and
Practice of Infectious Diseases. 9th editio. Philadelphia: Elsevier; 2020. p.
240–50.
3. Spellberg B. Principles of Anti-infctive Therapy. In: Mandell, Douglas, and
Bennett’s Principles and Practice of Infectious Disease. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2020. p. 240–4.
4. Lewis P, James W M. Therapeutic Drug Monitoring. In: Gantz’s Manual of
Clinical Problems in Infectious Disease. 6th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2013. p. 442–54.
5. Lewis P, Myers JW. Antibiotic Dosing in Obesity. In: Gantz’s Manual of
Clinical Problems in Infectious Diseasse. 6th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2013. p. 455–60.
6. Lewis P, Myers JW. Dosing Patients in Renal Failure. In: Gantz’s Manual of
Clinical Problems in Infectious Disease. 6th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2013. p. 461–72.
7. High, Kevin P. Infection: General Principles. In: Hazzard’s Geriatric Medicine
and Gerontology. 7th ed. New York: McGraw-Hill; p. 2322–7.
8. Gallagher J, MacDougall C. Antibiotics Simplified. Philadelphia: Jones &
Bartlett Learning; 2018. 83 p.
9. Doi Y. Penicillin and B-lactamase Inhibitors. In: Mandell, Douglas, and
Bennett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2020. p. 264.
10. Doi Y. Ertapenem, Imipenem, Meropenem, Doripenem and Aztreonam. In:
Mandell Douglas, and Bannett’s Principles and Practice of Infectious
Diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 384.
11. Moffa M, Brook I. Tetracycline, Glycylcycline, and Chloramphenicol. In:
Mandell Douglas, and Bannett’s Principles and Practice of Infectious
Diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 329.
12. Legget J. Aminoglycoside. In: Mandell Douglas, and Bannett’s Principles and
Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 309–
11.
13. Kaye S, Pogue J, Kaye D. Polymyxins. In: Mandell Douglas, and Bannett’s
Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier;
2020. p. 406.
14. Lepak A, Andes D. Cephalosporins. In: Mandell Douglas, and Bannett’s
Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier;
2020. p. 271–80.
15. Barber G. Unique Antibacterial Agents. In: Mandell Douglas, and Bannett’s
Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier;
2020. p. 454–5.
16. Hooper D, Strahilevitz J. Quinolons. In: Mandell Douglas, and Bannett’s
Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier;
2020. p. 430–1.
17. Cox H, Donowitz G. Linezolid, Tedizolid, and Other Oxalolidinones. In:
Mandell Douglas, and Bannett’s Principles and Practice of Infectious
Diseases. 9th ed. Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 410–2.
18. With BA, Procedures E. Antibiotic prophylaxis for GI endoscopy.
2015;81(1):81–9.
19. Hoen B, Duval X, Durack D. Prevention of Infective Endocarditis. In: Mandell
Douglas, and Bannett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 1016.
20. NCCN. National Comprehensive Cancer Network. Prevention and treatment of
cancer-related infections 2021 [Internet]. 2021 [cited 2021 Aug 5]. Available
from: https://www.nccn.org/professionals/physician_gls/pdf/infections.pdf.
21. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK 01.07/MENKES/90/2019 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana HIV. Jakarta; 2019.
22. NIH. Cryptococcosis [Internet]. 2021 [cited 2021 Jul 29]. Available from:
https://clinicalinfo.hiv.gov/en/guidelines/adult-and-adolescent-
opportunistic-infection/cryptococcosis
23. Metlay JP, Waterer GW, Long AC, Anzueto A, Brozek J, Crothers K, et al.
Diagnosis and treatment of adults with community-acquired pneumonia.
American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.
2019;200(7):E45–67.
24. Kalil AC, Metersky ML, Klompas M, Muscedere J, Sweeney DA, Palmer LB, et
al. Management of Adults With Hospital-acquired and Ventilator-associated
Pneumonia: 2016 Clinical Practice Guidelines by the Infectious Diseases
Society of America and the American Thoracic Society. Clinical Infectious
Diseases. 2016;63(5):e61–111.
25. Sifri CD, Madoff LC. Infections of the Liver and Biliary System (Liver Abcess,
Cholangitis, Cholecystitis). In: Mandell Douglas, and Bannett’s Principles and
Practice of Infectious Diseases. 9th editio. Philadelphia: Elsevier; 2020. p.
1044.
26. Bush L, Levison M. Peritonitis and Intraperitoneal Abscess. In: Mandell
Douglas, and Bannett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 1023.
27. Runyon BA. Introduction to the revised American Association for the Study of
Liver Diseases Practice Guideline management of adult patients with ascites
due to cirrhosis 2012. Hepatology. 2012;57(4):1651–3.
28. Gupta K, Hooton TM, Naber KG, Wullt B, Colgan R, Miller LG, et al.
International clinical practice guidelines for the treatment of acute
uncomplicated cystitis and pyelonephritis in women: A 2010 update by the
Infectious Diseases Society of America and the European Society for
Microbiology and Infectious Diseases. Clinical infectious diseases : an official
publication of the Infectious Diseases Society of America. 2011
Mar;52(5):e103-20.
29. Sobel JD, Kaye D. Urinary Tract Infections. In: Mandell Douglas, and
Bannett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed. Philadelphia:
Elsevier; 2020. p. 886–913.
30. Kang CI, Kim J, Park DW, Kim BN, Ha US, Lee SJ, et al. Clinical Practice
Guidelines for the Antibiotic Treatment of Community-Acquired Urinary
Tract Infections. Infection & chemotherapy. 2018 Mar;50(1):67–100.
31. Habib G, Lancellotti P, Antunes MJ, Bongiorni MG, Casalta JP, Del Zotti F, et
al. 2015 ESC Guidelines for the management of infective endocarditis: The
Task Force for the Management of Infective Endocarditis of the European
Society of Cardiology (ESC). Endorsed by: European Association for Cardio-
Thoracic Surgery (EACTS), the European. European heart journal. 2015
Nov;36(44):3075–128.
32. Baddour LM, Wilson WR, Bayer AS, Fowler VGJ, Tleyjeh IM, Rybak MJ, et al.
Infective Endocarditis in Adults: Diagnosis, Antimicrobial Therapy, and
Management of Complications: A Scientific Statement for Healthcare
Professionals From the American Heart Association. Circulation. 2015
Oct;132(15):1435–86.
33. Freifeld AG, Bow EJ, Sepkowitz KA, Boeckh MJ, Ito JI, Mullen CA, et al.
Clinical Practice Guideline for the use of antimicrobial agents in neutropenic
patients with cancer: 2010 update by the Infectious Diseases Society of
America. CID. 2011;52(15 Februari 2011):e56–93.
34. Zimmer AJ, Freifeld AG. Optimal Management of Neutropenic Fever in
Patients With Cancer. Journal of oncology practice. 2019 Jan;15(1):19–24.
35. Klastersky J, Naurois J de, Rolston K, Rapoport B, Maschmeyer G, Aapro M,
et al. Management of febrile neutropaenia: ESMO clinical practice guidelines.
Annals of Oncology. 2016;27(August):(Supplement 5): v111-v118.
36. Khorana AA, Carrier M, Garcia DA, Lee AYY. Guidance for the prevention and
treatment of cancer-associated venous thromboembolism. Journal of
Thrombosis and Thrombolysis. 2016;41(1):81–91.
37. Trifilio S, Mehta J. Aztreonam and Vancomycin for Initial Treatment of Febrile
Neutropenia in Penicillin-Allergic Patients During Hematopoietic Stem Cell
Transplantation. Journal of the advanced practitioner in oncology.
2019;10(7):685–90.
38. Schaper NC, van Netten JJ, Apelqvist J, Bus SA, Hinchliffe RJ, Lipsky BA.
Practical Guidelines on the prevention and management of diabetic foot
disease (IWGDF 2019 update). Diabetes/metabolism research and reviews.
2020 Mar;36 Suppl 1:e3266.
39. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJC, Gorbach
SL, et al. Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Skin and
Soft Tissue Infections: 2014 Update by the Infectious Diseases Society of
America. Clinical Infectious Diseases. 2014 Jul 15;59(2):e10–52.
40. Coakley G, Mathews C, Field M, Jones A, Kingsley G, Walker D, et al. BSR &
BHPR, BOA, RCGP and BSAC guidelines for management of the hot swollen
joint in adults. Rheumatology (Oxford, England). 2006 Aug;45(8):1039–41.
41. NIH. Toxoplasma gondii Encephalitis [Internet]. 2021 [cited 2021 Jul 29].
Available from: https://clinicalinfo.hiv.gov/en/guidelines/adult-and-
adolescent-opportunistic-infection/toxoplasma-gondii-encephalitis
42. Szeto CC, Li PKT, Johnson DW, Bernardini J, Dong J, Figueiredo AE, et al.
ISPD Catheter-Related Infection Recommendations: 2017 Update. Peritoneal
dialysis international : journal of the International Society for Peritoneal
Dialysis. 2017;37(2):141–54.
43. Lui SL, Yip T, Tse KC, Lam MF, Lai KN, Lo WK. Treatment of refractory
pseudomonas aeruginosa exit-site infection by simultaneous removal and
reinsertion of peritoneal dialysis catheter. Peritoneal dialysis international :
journal of the International Society for Peritoneal Dialysis. 2005;25(6):560–3.
44. Li PKT, Szeto CC, Piraino B, de Arteaga J, Fan S, Figueiredo AE, et al. ISPD
Peritonitis Recommendations: 2016 Update on Prevention and Treatment.
Peritoneal dialysis international : journal of the International Society for
Peritoneal Dialysis. 2016/06/09 ed. 2016 Sep 10;36(5):481–508.
45. Mermel LA, Allon M, Bouza E, Craven DE, Flynn P, O’Grady NP, et al. Clinical
Practice Guidelines for the Diagnosis and Management of Intravascular
Catheter-Related Infection. ClinInfectDis. 2009;49(1):1–45.
46. Cox E, Thom KA. Infections Involving Intravascular Catheters. In: Wright W,
editor. Essentials of Clinical Infectious Disease. Demos Medical Publishing;
2013. p. 70–6.
47. Lok CE, Huber TS, Lee T, Shenoy S, Yevzlin AS, Abreo K, et al. KDOQI
Clinical Practice Guideline for Vascular Access: 2019 Update. American
Journal of Kidney Diseases. 2020;75(4):S1–164.
48. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, Levy MM, Antonelli M, Ferrer R, et al.
Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for Management of
Sepsis and Septic Shock: 2016. Intensive care medicine. 2017
Mar;43(3):304–77.
49. Van der Poll T, Wiersinga W. Sepsis and Septic Shock. In: Mandell Douglas,
and Bannett’s Principles and Practice of Infectious Diseases. 9th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2020. p. 991–3.
50. Abramowicz M. Handbook of Antimicrobial Therapy. 18th ed. New York; 2008.
420–441 p.
2

Lampiran

TABEL PENYESUAIAN DOSIS ANTIBIOTIK BERDASARKAN FUNGSI GINJAL50

Nama Dosis pada Dewasa Penyesuaian Dosis berdasarkan Laju Dosis


Antibiotik Filtrasi Glomerolus (mL/min) ekstra
setelah
80-50 50-10 <10
Hemodialis
a

Amikasin 5 mg/kg q8h IV 5-7.5 5-7.5 mg/kg Ya


mg/kg q24-36h
7.5 mg/kg q12h IV
q12h
15-20 mg/kg q24h
IV

Amoksisili 250-500 mg q8h PO 250-500 250-500 mg 250-500 Ya


n mg q8h q12h mg
500-875 mg q12h
q24h
PO

Amoksisili 250-500 mg q8h PO Tidak ada 250-500 mg 250-500 Ya


n perubahan q12h mg
500-875 mg q12h
Klavulanat q24h
PO

2000 mg q12 h PO

Ampisilin 1.5 – 3g q6h IV 0.5 – 2 g 0.5 – 2 g q8h 0.5 – 2g Ya


sulbaktam q6h q12h

Azitromisi 250-1000 mg q24h Tidak memerlukan perubahan Tidak


n PO

Cefadroksi 0.5 – 1g q12-24h 500 mg 500 mg q12- 500 mg Ya


l PO q12-24h 24h q36h

Cefepim 1-2 g q8-12h IV 2 g q8-12 1-2 gr q12- 500 mg Ya


h 24h – 1 g
q24h

Sefiksime 200 mg q12 h PO 200-400 200-400 mg 200 mg Tidak


atau mg q24h q24h q24h

400 mg q24h PO
3

Cefoperazo 500 mg – 4 g q6- Tidak memerlukan perubahan Tidak


ne 12h

Sefotaksim 1-2 g q4-12h IV Tidak 1-2 g q6-12h 1-2 g Ya


memerluka q12-24h
n
perubahan

Seftazidim 250 mg – 2g q8-12h 0.5-2g q8- 0.5-2g q12- 0.5-2g Ya


IV 12h 24h q24-48h

Seftriakso 1-2 g q12-24h IV Tidak memerlukan perubahan Ya


n

Sefuroksi 750 mg – 1.5 g q6- 0.75-1.5 g 0.75-1.5 g 0.75-1.5 Ya


m 8h IV q8h q8-12h g q24h

Siprofloks 250-750 mg q12h Tidak LFG <30 ml/min 200- Tidak


asin PO memerluka 400 mg IV atau
n
200-400 mg q8-12h 250-500 mg PO q18-
perubahan
IV 24h

Klaritromi 250-500 mg q12h Tidak q24h Tidak


sin PO memerluka diketah
n ui
1000 mg q24h PO
perubahan

Klindamisi 150-450 mg q6-8h Tidak memerlukan perubahan Tidak


n PO

Colistin 2.5-5 mg/kg/hari Berdasarkan creatinin:


dalam 2-4 dosis IV
Creatinin 1.3-1.5 mg/dl: 2.5-3.8
mg/kg/hari dalam 2 dosis

Creatinin 1.6-2.5 mg/dl: 2.5


mg/kg/hari setiap 24 jam

Creatinin 2.6-4 mg/dl: 1.5 mg/kg


setiap 36 jam

Doripenem 500 mg q8h IV Tidak ada 250 mg q8- Tidak


perubahan 12h diketah
ui

Doksisikli 100 mg q12-24h PO Tidak memerlukan perubahan Tidak


4

Ertapenem 1g q24h IV Tidak LFG<30 500 mg Ya


memerluka ml/min 500 q24h
n mg q24h
perubahan

Gentamisi 1-2.5 mg/kg q8h IV 1.5 mg/kg 1.5 mg/kg HAL.48


n atau q8-12 h q12-24h

5-7 mg/kg q24h IV

Imipenem 250 mg – 1g q6-8h 250-500 250-500 mg 250-500 Ya


Cilastin IV mg q6-8h q8-12h mg
q12h

Levofloksa 250-750 mg q24h Tidak LFG 20-49: 250 mg Tidak


sin PO memerluka q24h atau 500 mg
n loading, selanjutnya
250-750 mg q24h
perubahan 250 mg q24h atau 750
IV
mg q48h

LFG 10-19: 250 mg


q48h

Linezolid 600 mg q12h IV Tidak memerlukan perubahan Tidak

400-600 mg q12h
PO

Imipenem 250 mg – 1g q6-8h 250-500 250-500 mg 250-500 Ya


silastin IV mg q6-8h q8-12h mg
q12h

Meropene 1-2 g q8h IV Tidak 0.6-1 g q12h 0.5 g Tidak


m memerluka q24h
n
perubahan

Metronida 500 mg q6-8h PO Tidak memerlukan 500 mg Tidak


zol perubahan q12h
500 mg q6-8h IV

Moksifloks 400 mg q24h PO Tidak memerlukan perubahan Tidak


asin 400 mg q24h IV

Penicillin 1.3-30 juta U/d div Tidak Ya


lebih
5

G q2-12h dari
sepertig
a dosis
maksim
um
harian

Piperasilin 3.375 g q6h atau Tidak 2.25-3.375 g 2.25 g Ya


tazobakta memerluka q6h q6-8h
4.5 g q6-8h
m n
perubahan

Tigesiklin 100 mg loading Tidak memerlukan perubahan Tidak


selanjutnya 50 mg
q12h

Trimetopri 480 mg q6h PO 4-5 mg/kg 50% dosis Tidak Tidak


m- atau (TMP) q6- direkom
sulfametok 12h endasik
960 mg q12h PO
sasol (TMP an
SMX)

You might also like