Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

MAKALAH

JARIMAH AL-BAGHYU (PEMBERONTAKAN)

Tugas Terstruktur Mata Kuliah Fikih Jinayah

Dosen Pengampu : Muhammad Fuad Zain, S.H.i, M.Sy.

Disusun Oleh:

Annisa Firdaus Hasanah (2017303064)

Ardi Mulya Prabowo (2017303050)

Intan Septianingsih (2017303081)

Abdul Manaf Assajaf (2017303090)

Imroatus Solikhah (2017302033)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI PROF. K.H. SAIFUDDIN ZUHRI

PURWOKERTO

2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam hukum pidana Islam disebut Al-baghyu yakni golongan yang melawan
khalifah/presiden yang sudah sah dan tidak melakukan sesuatu yang menyalahi
ketentuan agama. Dan golongan yang sengaja melakukan tindak pidana Al-baghyu
harus diperangi.

Al-baghyu secara harfiah berarti meningggalkan atau melanggar. Diistilah


hukum pidana Islam, Al-baghyu merupakan suatu usaha atau gerakan yang dilakukan
oleh suatu kelompok dengan tujuan menggulingkan atau menjatuhkan pemerintahan
yang sah. Al-Baghyu berasal dari akar kata bagha yang secara arti kata berarti
“menuntut sesuatu/pemberontakan". Hukum pidana Islam menyebut Tindak Pidana
sebagai Jarimah.

Jarimah adalah objek kajian utama Fiqih Jinayah yang mempunyai unsur-unsur
diantaranya dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu Al- rukn al-syar’i atau unsur formil,
Al-rukn al-madi atau unsur materil, dan Al-rukn al-adabi atau unsur moril. Al- rukn
alsyar’i atau unsur formil. Jarimah al-baghyu termasuk kedalam kategori hudud.
Kejahatan dalam kategori ini didefinisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan
hukuman had yaitu hukuman yang ditentukan kadarnya sebagai hak Allah.

2
A. Latar Belakang

Para pemberontak atau Hukum al-Baghyu merupakan kelompok jahat karena


berupaya melakukan kerusakan di muka bumi. Mereka meresahkan masyarakat,
merusak keamanan dan ketentraman negara, dan menimbulkan fitnah ditengah-tengah
masyarakat. Islam memerintahkan pemerintah yang sah untuk mengajak dan berunding
supaya mereka kembali bergabung dengan mayoritas orang islam atau mayoritas warga
negara. Apabila tidak bersedia bergabung, maka pemerintah harus memerangi mereka
sampai mereka sadar dan bergabung dengan pemerintahan yang didukung oleh
mayoritas warga negara muslim.

Apabila ada perintah dari pemerintah untuk memerangi kaum pemberontak atau
al-Baghyu, maka setiap muslim yang mampu wajib melaksanakan perintah tersebut,
karena taat kepada permerintah pada hal-hal yang bukan maksiat hukumnya adalah
wajib.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pengertian Jarimah Al-Baghyu
2. Bagaimana Dasar Hukum Al-Baghyu
3. Bagaimana Pengertian Uqubah Dan Contohnya

C. Tujuan
1. Agar mahasiswa mamnpu mengetahui Pengertian Jarimah Al-Baghyu
2. Agar mahasiswa mamnpu mengetahui Dasar Hukum Al-Baghyu
3. Agar mahasiswa mamnpu mengetahui Pengertian Uqubah Dan Contohnya

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Jarimah Al-Baghyu

Didalam buku M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, mendefinisikan


pemberontak secara etimologi disebut dengan istilah (al-baghyu) berasal dari kata ( ‫بغيا‬
‫بغى‬- ‫يبغي‬-) yang berarti menuntut sesuatu. Mencari atau menuntut sesuatu. Pengertian
tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak
halal, baik karena dosa maupun kezaliman yang melampaui batas. Secara terminologi
al-Baghyu memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqh, Ulama kalangan
Malikiyah mengatakan al-Baghyu adalah menolak untuk tunduk dan taat kepada orang
yang kkepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam maksiat, dengan
cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (takwil).

Secara terminologis, al-Baghyu adalah usaha melawan pemerintah yang sah


dengan terang-terangan atau nyata, baik dengan mengangkat senjata maupun tidak
mengindahkan ketentuan yang digariskan oleh pemerintah. Asy Syafi’I mengatakan,
pemberontakan adalah orang mulim yang menyalahi Imam, dengan cara tidak
menaatinya dan melepaskan diri dari Imam, dengan cara menolak kewajiban, yang
memiliki kekuatan, argumentasi dan pimpinan.

Pemberontakan adalah sekelompok kaum Muslim yang tidak menaati


pemerintah yang sah. Mereka menolak menjalankan kewajiban kewajiban yang
diperintahkan dan memerangi jamaah kaum Muslimin yang lain, dengan dalih
perbedaan hukum yang mereka pahami dan Yakini, mereka mengaku bahwa kebenaran
berada di pihaknya dan kekuasaan berada di tangannya. Orang-orang seperti ini wajib
diperangi oleh kaum Muslim bersama pemerintah yang adil.

Ulama Malikiyah mendefinisikan pemberontakan sebagai penolakan untuk taat


kepada orang yang kepemimpinannya sudah tetap dalam hal yang bukan maksiat
dengan cara mengadakan perlawanan walaupun menggunakan takwil. Mereka
mendefinisikan pemberontak (bugat) sebagai sekelompok muslim yang melawan

4
pemimpin tertinggi (Imam al’azam) atau wakilnya dengan menolak hak yang wajib atas
mereka atau tidak taat padanya.1

B. Dasar Hukum Al-Baghyu


Dasar hukum Al-Baghyu dalam hukum pidana Islam:
a. Dalil Al-Qur’an
Dalil tentang pemberontakkan merupakan firman Allah SWT

‫وإن طايفتان من المؤمنين أقتتلوا فأصلحوا بينهما فإن بغت إحدتهما على األخرى فقتلوا التي تبغى حتى‬
‫تفيء إلى أمر هلال فإن فاءت فأصلحوا بينهما بالعدل وأقسطوا إن هلال تحب المقسطيب‬

Artinya: Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang,
maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu,
berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang
berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika
golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara
keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil. (Qs. al-Hujurat: 9)
Firman Allah SWT dalam ayat berikutnya adalah:
‫إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين أخويكم واتقوا هلال لعلكم ترحمون‬

Artinya: Orang-orang yang beriman sesungguhnya bersaudara. Maka dari


itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) dari kedua belah pihaksaudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. (QS. al-Hujurat:
10).
Selain surah Al-Hujurat ayat 9 dan 10 tadi, terdapat dalil nash yang
memerintahkan langkah tegas yang harus dilakukan oleh pemerintah, hal ini
berdasarkan atas firman Allah SWT yang berbunyi:
‫فمن اعتدى عليكم فأعتدوا عليه بمثل ما أعتدى عليكم‬

1Rany Aprilyady,Skripsi:”Hukum Terhadap Pemberontak”(Banda Aceh:Universitas Islam Negeri Ar-


Raniry,2008),Hal.25-26

5
Artinya: "Apabila ada yang menyerang kamu, Maka seranglah dia,
seimbang dengan serangannya terhadapmu". (Qs. al-Baqarah: 194).

b. Dalil Sunnah
Dalil sunah sabda Rasulullah SAW tentang pemberontakkan adalah;
،‫ وأبو الستنا ئب سا لم بن جنادة حد ثنا أبو أسامة عن بريد بن عبد هلال بن أبي بردة‬،‫حد ثنا أبو كر يب‬
‫ قال من حمل علينا السلح فليسي منا‬،‫ عن أبي موس عن النبي صلى هلال عليه وسلم‬،‫عن جده أبي بردة‬

Artinya: Abu Kuraib dan Abu as-Sa'ib Salim bin Janadah telah
menyampaikan kepada kami dari Abu Usmah, dari Buraid bin Abdullah bin
Abu Burdah, dari kakeknya, Abu Burdah, dari Musa bahwa Nabi SAW
bersabda, "Siapa yang menghunus Senjata untuk memerangi kami maka dia
bukan termasuk golongan kami. (HR. Ibnu Umar).
Perintah Allah SWT dan Rasul sebagaimana sabda Rasulullah SAW untuk taat
dan patuh terhadap pemimpin:
‫ عن أبن‬،‫ حد ثنا األعمش عن أبي صا لح‬،‫ قاال حد ثنا وكيع‬،‫حد ثنا أبو بكر بن أبي شيبة وعلي بن محمد‬
‫ فقد عص‬،‫ ومن عصا في‬،‫ فقد أطاع هلال‬،‫قال رسول هلال صلى هلال عليه ومن أطاع هلال‬: ‫هر يرة قال‬
‫ ومن عص اإل مام فقد عصا ني‬،‫ فقد أطا عني‬،‫وسلم (من أطا إل مام‬

Artinya: Abu Bakar bin Abu Syaibah dan Ali bin Muhammad menyampaikan
kepada kami dari Waki', dari al-A'masy, dari Abu Salih, dari 5 Abu Hurairah
bahwa Rasulullah SAW bersabda, "siapa yang mematuhuiku berarti dia
mematuhi Allah dan siapa yang durhaka kepada ku berarti dia durhaka kepada
Allah. Siapa yang mematuhi pemimipin berarti dia mematuhiku dan siapa yang
durka kepada pemimpin berarti dia durhaka kepada ku. (HR. Ibnu Majah).

C. Uqubah Dan Contohnya


A. Pengertian Uqubah atau Hukuman

Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah. Lafadz ‘uqubah menurut bahasa berasal
dari kata yang sinonimnya ‫ و ء‬,artinya “mengiringinya dan datang dibelakangnya”.
Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafadz
tersebut bisa diambil dari lafadz yang sinonimnya ‫اه اء‬artinya “membalasnya sesuai

6
dengan apa yang dilakukan”.Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa
sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilaksanakan sesudah
perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian kedua dapat dipahami bahwa
sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang
menyimpang yang telah dilakukannya.

“Hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan


masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuanketentuan pembuat syara’
(Allah)”.

B. Macam-macam Uqubah

Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada beberapa bagian, dengan
meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini ada lima penggolongan. 2

1. Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya,
hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman pokok (‘uqubah ashliyah), yaitu hukuman yang ditetapkan untuk
jarimah yang bersangkutan sebagai hukuman yang asli.
Contohnya: hukuman qishas untuk jarimah pembunuhan, hukuman dera seratus
kali untuk jarimah zina, atau hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian.
b. Hukuman pengganti (‘uqubah badaliyah), yaitu hukuman yang menggantikan
hukuman pokok, apabila hukuman pokok tidak dapat dilaksanakan karena
alasan yang sah.
Contohnya: hukuman diyat (denda) sebagai pengganti hukuman qishas, atau
hukuman ta’zir sebagai pengganti hukuman had atau hukuman qishas yang tidak
dapat dilaksanakan. Sebenarnya hukuman diyat itu sendiri adalah hukuman
pokok, yaitu untuk pembunuhan menyerupai sengaja atau kekeliruan, akan
tetapi juga menjadi hukuman pengganti untuk hukuman qishas dalam
pembunuhan sengaja. Demikian pula hukuman ta’zir juga merupakan hukuman
pokok untuk jarimah ta’zir, tetapi sekaligus juga menjadi hukuman pengganti
untuk jarimah hudud atau qishas dan diyat yang tidak bisa dilaksanakan karena
ada alasan-alasan tertentu.

2
Ahmad Mawardi Muslih, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika,
cetakan I, 2004, hlm. 142

7
c. Hukuman tambahan (‘uqubah taba’iyah), yaitu hukuman yang mengikuti
hukuman pokok tanpa memerlukan keputusan secara tersendiri.
Contohnya: larangan menerima warisan bagi orang yang membunuh orang yang
akan diwarisinya, sebagai tambahan untuk hukuman qishas atau diyat, atau
hukuman pencabutan hak untuk menjadi saksi bagi orang yang melakukan
jarimah qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), di samping hukuman
pokoknya yaitu jilid (dera) delapan puluh kali.
d. Hukuman pelengkap (‘uqubah takmiliyah), yaitu hukuman yang mengikuti
hukuman pokok dengan syarat harus ada keputusan tersendiri dari hakim dan
syarat inilah yang membedakannya dengan hukuman tambahan.
Contohnya: seperti mengalungkan tangan pencuri yang telah dipotong
dilehernya.3
2. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman
maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian:
a. Hukuman yang mempunyai satu batas, artinya tidak ada batas tertinggi atau
batas terendah.
Contohnya: hukuman jilid (dera) sebagai hukuman had (delapan puluh kali atau
seratus kali). Dalam hukuman jenis ini, hakim tidak berwenang untuk
menambah atau mengurangi hukuman tersebut, karena hukuman itu satu macam
saja.
b. Hukuman yang mempunyai dua batas, yaitu batas tertinggi dan batas terendah.
Dalam hal ini hakim diberi kewenangan dan kebebasan untuk memilih hukuman
yang sesuai antara kedua batas tersebut.
Contohnya: hukuman penjara atau jilid pada jarimah-jarimah ta’zir.

3. Ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan hukuman tersebut, hukuman
dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman yang sudah ditentukan (‘uqubah muqaddarah), yaitu hukuman-
hukuman yang jenis dan kadarnya telah ditentukan oleh syara’ dan hakim
berkewajiban untuk memutuskannya tanpa mengurangi, menambah, atau
menggantinya dengan hukuman yang lain. hukuman ini disebut hukuman

3
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, cetakan ke V, 1993,
hlm. 261

8
keharusan (‘uqubah lazimah). Dinamakan demikian, karena ulil amri tidak
berhak untuk menggugurkannya atau memaafkannya.
b. Hukuman yang belum ditentukan (‘uqubah ghair muqaddarah), yaitu hukuman
yang diserahkan kepada hakim untuk memilih jenisnya dari sekumpulan
hukuman-hukuman yang ditetapkan oleh syara’ dan menentukan jumlahnya
untuk kemudian disesuaikan dengan pelaku dan perbuatannya. Hukuman ini
disebut juga hukuman pilihan (‘uqubah mukhayyarah), karena hakim dibolehkan
untuk memilih di antara hukuman-hukuman tersebut.

4. Ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman maka hukuman dapat dibagi
kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman badan, yaitu yang dijatuhkan atas badan seperti hukuman mati, dera,
penjara.
b. Hukuman jiwa, yaitu dikenakan atas jiwa seseorang, bukan badannya, seperti
ancaman, peringatan, teguran.
c. Hukuman harta, yaitu yang dikenakan terhadap harta seseorang, seperti diyat,
denda, dan perampasan harta.

5. Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, hukuman dapat
dibagi kepada empat bagian, yaitu sebagai berikut:
a. Hukuman had, yaitu hukuman untuk jarimah hudud.
b. Hukuman qishas-diyat, yaitu hukuman untuk jarimah qishas-diyat.
c. Hukuman kifarat, yaitu hukuman bagi sebagian jarimah qishasdiyat dan
beberapa macam jarimah kifarat.
d. Hukuman ta’zir, yaitu hukuman untuk jarimah-jarimah ta’zir.4

C. Sebab-Sebab Gugurnya Hukuman

Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman menurut hukum Islam adalah sebagai


berikut:
1. Meninggalnya pelaku
2. Hilangnya anggota badan yang akan di-qishas

4
Marsuni, Jinayat, Yogjakarta: Perpustakaan Fakultas Hukum UII, 1991, hlm. 186

9
3. Taubatnya pelaku
4. Perdamaian (shuluh)
5. Pengampunan
6. Diwarisnya hak qishas
7. Kadaluwarsa.

10
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Pemberontak secara etimologi disebut dengan istilah (al-baghyu) berasal dari


kata (‫بغى‬- ‫يبغي‬- ‫ )بغيا‬yang berarti menuntut sesuatu. Mencari atau menuntut sesuatu.
Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu
yang tidak halal, baik karena dosa maupun kezaliman yang melampaui batas. Secara
terminologi al-Baghyu memiliki beragam definisi dalam berbagai mazhab fiqh, Ulama
kalangan Malikiyah mengatakan al-Baghyu adalah menolak untuk tunduk dan taat
kepada orang yang kkepemimpinannya telah tetap dan tindakannya bukan dalam
maksiat, dengan cara menggulingkannya, dengan menggunakan alasan (takwil).Dasar
hukum jarimah al-baghyu yaitu dalam Al-Quran terdapat dalam QS. Al Hujarat ayat 9
dan terdapa dalam (HR. Ibnu Umar).

Uqubah/takzir atau sering disebut pada zaman ini adalah hukuman, terhadap
orang yang melanggar suatu aturan sebagaimana yang mereka langar. Macam-macam
dari uqubah ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang
lainnya, segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman, segi
keharusan untuk memutuskan dengan hukuman tersebut, segi tempat dilakukannya
hukuman, dan dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman.

Uqubah dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada beberapa bagian,
dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini ada lima penggolongan. Jika
ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, uqubah
dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu Uqubah ashliyah, uqubah badaliyah, uqubah
taba’iyah, dan uqubah takmiliyah. Dan jika ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam
menentukan berat ringannya hukuman maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian
yaitu Hukuman yang mempunyai satu batas dan Hukuman yang mempunyai dua batas.
Ditinjau dari segi keharusan untuk memutuskan dengan hukuman tersebut, uqubah
dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu Uqubah muqaddarahdan uqubah ghair
muqaddarah. Ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman maka hukuman dapat
dibagi kepada tiga bagian, yaitu Hukuman badan, Hukuman jiwa, dan Hukuman harta.

11
DAFTAR PUSTAKA

Aprilyady, Rany. 2008. “Hukum Terhadap Pemberontak” Jurnal Skripsi, Bandar Aceh

Projodikoro, Wirjono. 1981. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT.


Eresco.

Muslih, Ahmad M. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar
Grafika.

Hanafi, Ahmad. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang.

12

You might also like