Gender Stereotyping Dalam Cengkraman Peradaban

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 4

Gender Stereotyping dalam beban reproduksi yang ditanggung perempuan

Cengkraman Peradaban dan tanggung jawab membesarkan anak


membuat perempuan mempunyai posisi tawar
PEREMPUAN adalah rahim kehidupan. Dari sana yang lemah terhadap laki-laki. (Shulamith
tumbuhlah suatu peradaban: teologi, politik dan Firestone, The Dialectic of Sex, Canada: Douglas
hukum. Ketiganya menjadi pilar utama & McIntyre Ltd, 1971, 7).
kekuatan yang justru ditengarai acapkali tidak
berpihak terhadap kepentingan perempuan. Tetapi ajaib. Seringkali sebagian banyak
Sudah sejak lama, jarum jam peradaban perempuan sendiri justru menerima keadaan
manusia berputar sekadar untuk malayani semacam itu sebagai sesuatu yang taken for
arogansi laki-laki. Bahwa perempuan memang granted—semacam guratan nasib yang telah
oleh alam telah didesain begitu rupa sebagai digariskan langit. Meminjam istilah dari
pihak yang lemah—yang kalah; menstruasi, Beauvoir—ia membahasakannya sebagai Mitos:
mengandung dan menyusui menjadi term objektivitas palsu mengenai yang transenden.
paling rasional yang diedarkan pikiran laki-laki Dengan kata lain, bahwa segala jenis bentuk
bagi perempuan untuk tidak merecoki wilayah diskriminasi telah mengalami “memistifikasi”.
publik. Slogan semacam ini kemudian terus- Artinya pihak yang tertindas tidak merasa
menerus diulang demi mendulang penerimaan tertindas dan menganggap apa vang terjadi
hegemonik: peran yang dimainkan perempuan adalah wajar dan perlu diterima situasi
hanya berdetik di wilayah domestik. tersebut. (Simone de Beauvoir, The Etics Of
Ambiguity, terjemahan Bernard Frechtman,
Sejarah “history” selama ini memang ditulis New York: Citedal Press, 1984).
oleh laki-laki—“his-story”—dia dengan piawai
memainkan peran-peran penting dalam pentas Seolah-olah sudah menjadi kelaziman zaman,
sejarah tersebut, sebab yang kuat akan perempuan dan ketidakadilan memiliki jalinan
diagungkan, “prehistoric times when physical hubungan yang membelenggu: ia yang setuju
force was very important, those who are bahwa segala bentuk represi terhadap dirinya
strongest had all the right and power.” (Simone adalah postulat yang ditetapkan waktu,
de Beauvoir, The Second Sex). Jadi sejak awal sesungguhnya ia tak pernah tahu behwa ia
sebenarnya sudah terjadi ketidaksetaraan hanya mengikuti kebenaran yang palsu.
gender yang menempatkan perempuan pada Mitos-mitos virginitas terus dirawat sepanjang
wilayah marginal. Artinya, perempuan memang riwayat, bahkan berkembang sesuai konteks
lebih baik ada pada posisi pasif dan menepi; zaman. “Hawa diciptakan untuk menemani
cukup diam di balik sepi, menunggu diisi dan Adam,” menjadi semacam ide penuntun yang
tidak boleh protes. Hasilnya adalah peradaban dieksploitasi mesin pikiran laki-laki sebagai
yang kental akan stigmatisasi dan diskriminasi. pandangan hidup perempuan; bahwa ia adalah
Beauvoir melihat persoalan penindasan tawanan dalam kamar tersembunyi—adalah
perempuan dimulai dengan adanya beban tubuh yang direduksi menjadi sekadar alat
reproduksi di tubuh perempuan. Namun ia tidak reproduksi. Maka yang terjadi adalah
sendirian, Shulamith Firestone dalam bukunya stigmatisasi bahwa laki-laki lebih mulia
The Dialectic of Sex juga menyatakan bahwa ketimbang perempuan. Dalam kongkretnya:
laki-laki surplus kekuasaan, sedangkan menegasikan secara simbolis, bahwa
perempuan defisit peran. Mitos-mitos tersebut perempuan dianggap “femme fatale”, yaitu
tersimpan aman dalam lembaran ingatan sumber celaka—muasal segala petaka. Kisah
perempuan, diproteksi keangkuhan sejarah ke yang serupa juga dialami Hipatia, seorang
dalam alam bawah sadar, sehingga perempuan perempuan brilian di Aleksandria—yang
harus rela menerima kenyataan bahwa dirinya terpukau pada pesona alam semesta, tetapi
adalah sekadar manusia kelas dua belaka. kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan justru
membuatnya dituding telah bersekutu dengan
Di Inggris, Mary Wollstonecraft (1759-1797) setan; maka harus diberangus sebab telah
menulis A Vindication of the Rights of Woman. tergoda dan terjerumus ke dalam dosa.
Dalam tulisannya, Wollstonecraft mendorong
perempuan untuk menjadi pembuat keputusan Seabsurd itulah wajah sejarah. Kebenaran akan
yang otonom. Adapun jalan yang ditempuh senantiasa berpusat pada siapa yang dianggap
adalah lewat pendidikan. Wollstonecraft juga memiliki otoritas: kaum laki-laki. Ilmu agama
berpendapat bahwa perempuan bukan sekadar dibentangkan, pengetahuan diedarkan, tetapi
alat untuk kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, yang mendominasi adalah watak
perempuan adalah tujuan, sosok agen bernalar, androsentrisme dalam rezim paradigmatik
manusia utuh yang memiliki harga diri dan raksasa yang dipelopori budaya patriarki.
kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri.
Ketidakadilan yang menimpa laki-laki, seringkali
(Mary Wollstonecraft (Carol H. Poston [ed.]), A
adalah ketidakadilan yang disebabkan
Vindication of the Rights of Woman (New York:
kekurangan hak, tetapi ketidakadilan bagi
Norton, 1979).
perempuan adalah kulminasi dari seluruh jenis
ketidakadilan; ketubuhan, sektor peran sampai
Seperti itulah otot-otot peradaban dibentuk harapan akan masa depan. Rasa sakit pada laki-
melalui logika laki-laki. Tujuannya tidak lain laki sangat mungkin disebabkan badan yang
adalah untuk melayani arogansi politik catu, tetapi rasa sakit pada perempuan adalah
kekuasaan. Alih-alih hendak memberi missery; penderitaan panjang yang dirawat
perlindungan terhadap perempuan, tetapi waktu.
sembari menikmati hegemoik kekuatan.
Pada tubuh perempuan, bergerombol seluruh
Dengan kata lain, setiap ada penguatan suatu
jenis ketidakadilan; bahwa liuk tubuh
identitas selalu ada motif politik yang
perempuan semata objek yang rapuh dan
diselundupkan.
ranjang seksual berlabuh, bahwa lekuk tubuh
Manakala kekuasaan diselenggarakan, endemi perempuan serupa baju yang melulu disterika
yang bernama hierarki akan metastasis di mata laki-laki, bahwa tubuh perempuan adalah
dalamnya. Riwayat yang tergurat pada ingatan udangan pesta untuk merayakan dosa.
merekam pesan—hierarki yang menjangkiti Kontruksi inilah yang dilanggengkan jalan
hukum dan teologi dalam tubuh sejarah pernah pikiran laki-laki; stigma yang senantiasa diminati
menghasilkan politik penyingkiran; perempuan dan dinikmati untuk tujuan melokalisir
tidak mampu bernalar, bayi bertubuh besar, perempuan ke dalam wilayah paling intim,
penyihir yang harus diburu dan dibakar. Kisah kemudian distabilkan melalui social culture
Medusa—dalam mitologi Yunani—betapa telah menjadi dikotomi antara yang imanensi dan
yang transendensi—antara “yang terbatas” terhadap karakter individu yang sentimentil,
dengan “yang bebas”. rewel dan kekanak-kanakan. Artinya, laki-laki
masih memegang kendali komunikasi; tradisi
* berpikir senantiasa fit and proper dengan laki-
Sekarang peradaban telah bertumbuh dan laki—cogito—yang mampu melakukan
berkembang seiring dengan getar nadi ilmu pertimbangan sekaligus mengeksekusi
pegetahuan. Imperium silih berganti. Dinasti kebenaran. Dengan kata lain, suara perempuan
datang dan pergi. Namun perangai politik tak masih dianggap sumber gaduh—bukan bermula
pernah berubah. dari pikiran yang utuh. Maka ungkapan yang
paling mewakili keadaan ini adalah: perempuan
Rentang-jarak di antara laki-laki dan perempuan melahirkan bahasa, tetapi laki-laki
tidak sekadar menebalan posisi, namun masih mengadopsinya untuk menguasai dunia.
saja meruncingkan distingsi; perempuan, ketika
mengajukan pinjaman di bank akan ditanya, Peradaban menyimpan ribuan peristiwa—
“Suami Anda profesinya apa?” Namun ketika ribuan ingatan, mulai dari kisah roman, hukum,
ada anak kecil yang diaggap berbuat salah, oleh perdagangan sampai perebutan kekuasaan;
masyarakat akan ada insinuasi: “Pasti ini salah sutradara, penulis naskah serta tokoh utamanya
didikan Ibunya!” ketika terjadi tindak adalah laki-laki. Seperti itulah panggung
perkosaan, kamera infotaimen akan menyorot peradaban selama ini bekerja. Ajaibnya,
pada baju apa yang perempuan tersebut seringkali ayat-ayat surga dan adat-adat lama
kenakan. Namun ketika perempuan muslim kerap menjadi sponsor resmi hierarki yang
memilih untuk mengenakan cadar—kendati menopang setiap jengkal ceritanya.
masih ada perdebatan mengenai tuntunan **
syariat dengan adopsi produk budaya—tetapi
secara samar-samar akan tiba tuduhan: Refleksi hari ini. Gerakan etis—yang kita sebut
“Teroris! Taliban!” sebagai feminis—untuk memperjuangkan
kesetaraan gender, menyingkap kelambu
Ajaib, bukan! Ilmu pengetahuan berkembang, patriarki dan selubung juntai tirai diskriminasi
tetapi kesadaran literasi mengenai kesetaraan
usai dicurangi peradaban masih dan akan terus
gender dan kebebasan hak individu masih jauh berkembang—berkumandang. Upaya ini
tertinggal di belakang. Imperatif ini tidak cukup merupakan ijtihad demi terbinanya egalitarisasi
puas beroperasi pada penundukan busana, peradaban dari produk-produk kemaksiatan
melainkan sampai pada wilayah penguasaan intelektual yang berabad-abad diwariskan rahim
bahasa. gelap sejarah; agama dijadikan alat menindas—
Istilah “pelakor”, misalnya, dinegasikan bahwa bahwa pemahaman agama masih bias kultur
perempuan adalah sumber penggoda, sundal dan gender akan menghasilkan pemaknaan
dan binal. Sementara pada laki-laki masih baru sekaligus membongkar sangkar dogma
disugestikan sebagai pihak yang bijaksana, yang dianggap membelenggu perempuan.
tenang dan rasional. Atau ungkapan, Cukup berlimpahan kasus nyata dewasa ini yang
“Perempuan itu sulit dimengerti dan selalu masih mengindikasikan perempuan adalah
benar,” mengandaikan semacam olok-olok
korban dari tindakan deskriminatif-represif Sampai sekarang, agama—sebagai the
dengan mengeksploitasi otoritas agama. fundamental need and the way of life—dalam
kehidupan bermasyarakat masih sering terjadi
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap bias kultur dan gender. Padahal agama tiba—
Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat
sebagai gejala sosial—dimaksudkan untuk
adanya diskriminasi yang diterapkan kepada membebaskan manusia dari penindasan.
perempuan yang ditindak pidana untuk kasus Dengan kata lain, masih kita temukan segregasi
penodaan agama. Dilansir dari KOMPAS.com,
dalam praktiknya.
Komnas Perempuan menemukan ada bentuk
ketidakadilan dalam salah satu kasus, yakni Agama hadir sebagai institusi yang
kasus M yang dipidana 1,6 tahun. M merupakan mengakomodir kepercayaan manusia mengenai
perepuan Tionghoa beragama Budha yang keilahian—yang diperoleh dari mekanisme
tinggal di Tanjungbalai dan harus menjalani perwahyuan. Sinopsisnya: segala diktum
hukuman karena mempertanyakan suara dari filosofis perihal yang rasional dan yang empiris
masjid yang begitu besar tak seperti biasanya. akan taklid pada semacam cahaya gaib
Pertanyaan M itu malah berubah dan keemasan yang disebut iman. Maka, akidah
berkembang menjadi rumor bahwa dirinya akademisi untuk menghubungkan yang kudus
melarang suara adzan dari masjid. dengan yang profan bukan lantas hendak
(https;//amp.kompas.com/nasional/read/2020/ membatalkan dalil yang ditulis di langit,
03/06/20193541/komnas-perempuan-catat- melainkan mempersoalkan mengenai
ada-diskriminasi-dalam-kasus-penodaan- intepretasi dalil usai tiba di bumi.
agama)
Pada titik ini, feminis teologis merespon bukan
Kasus yang menimpa M memperlihatkan otot untuk menentang agama. Sebab agama dan
mayoritarianisme masih bekerja melampaui feminis memiliki benang merah sama, yaitu
dalil-dalil agama. Dengan kata lain, agama terbinanya keadilan bagi seluruh manusia.
hanya dijadikan alas kaki untuk menempuh
Terkait pertanyaan bagaimana kita menyingkap
jalan suci tetapi sambil menutup mata
mengenai apa yang benar—apa yang sakral. ayat-ayat yang dianggap misoginis terhadap
perempuan, Historical Value mestinya mampu
Dari skema kasus ini, kita bila melihat betapa memberi celah untuk mendeteksi ketidakadilan
seluruh jenis minoritas melekat pada satu gender yang disembunyikan doktrin-doktrin
tubuh. M adalah seorang Tionghoa, beragama budaya.
Budha dan dia perempuan.

Walhasil, perempuan—sebagai korban utama


dari peradaban yang eksploitatif—belum Hendrik Yuda
sepenuh tuntas lepas dari multi-lapis hambatan
untuk menunaikan aktivitasnya secara
proposional sebagai individu atau bagian dari
kelompok agama.

You might also like