Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 4

Negeri 5 menara pdf

Sinopsis novel negeri 5 menara pdf. Free download novel negeri 5 menara pdf. Download buku negeri 5 menara pdf. Negeri 5 menara pdf download. Download trilogi negeri 5 menara pdf. Resensi novel negeri
5 menara pdf.

You're Reading a Free Preview Pages 10 to 13 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 19 to 37 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 43 to 76 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Page 89 is not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 93 to 96 are
not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 103 to 119 are not shown in this preview.
You're Reading a Free Preview Pages 127 to 136 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 140 to 142 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Page 150 is not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 154 to 176 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Page 180
is not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 184 to 185 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 193 to 199 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 203 to 205 are not shown in this preview. You're Reading a Free Preview Pages 209 to 218 are not shown in this preview.
Academia.edu uses cookies to personalize content, tailor ads and improve the user experience. By using our site, you agree to our collection of information through the use of cookies.
To learn more, view our Privacy Policy. Sinopsis - Seumur hidupnya Alif tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya dilalui dengan berburu durian runtuk di rimba Bukit Barisan, main bola di sawah dan mandi air biru Danau Maninjau. Tiba-tiba saja dia harus melintasi punggung Sumatera menuju sebuah desa di pelosok
Jawa Timur.
Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie.

Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok. Di hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wa jada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses. Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari
Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka menunggu Maghrib sambil menatap awan lembayung berarak ke ufuk.
Awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Ke mana impian membawa mereka?

Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.

Ditulis oleh Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO & VOA, penerima 8 beasiswa luar negeri, penyuka fotografi, dan terakhir menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO Konservasi. Alumni Pondok Modern Gontor, HI Unpad, George Washington University, dan Royal Holloway, University of London ini meniatkan sebagian royalti trilogi ini untuk
membangun Komunitas Menara, sebuah lembaga sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu dengan basis sukarelawan. Info Novel Negeri 5 Menara Serial : Trilogi Negeri 5 Menara Genre : Novel, Religi, Edukasi, Remaja, Nonfiksi Kata Kunci : Novel Negeri 5 Menara PDF Download Novel Negeri 5 Menara Link Download & Baca
Online Akhir Kata Note: Jika terdapat link rusak atau mati, silahkan beri tahu kami dengan cara berkomentar pada kolom komentar di bawah ini! Terimakasih telah mengunjungi blog kami eBookIndolist. Semoga bermanfaat dan jangan lupa mampir kembali... Jump to ratings and reviewsAlif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak
tanah di luar ranah Minangkabau.

Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif
ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam
bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara
masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah
remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak? Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius? Siapa
Princess of Madani yang mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah trilogi.
Fuadi lahir di nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau , tidak jauh dari kampung Buya Hamka.
Ibunya guru SD, ayahnya guru madrasah.Lalu Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Di Pondok Modern Gontor dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda
wajada”, siapa yang bersungguh sungguh akan sukses.Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, UNPAD.Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili
Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada. Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship. Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru
tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan. Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka.
Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University. Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan. Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan
VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi
Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy.Fuadi dan istrinya tinggal di Bintaro, Jakarta. Mereka berdua menyukai membaca dan traveling.”Negeri 5 Menara” adalah buku pertama dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif.

Semoga buku ini bisa membukakan mata dan hati. Dan menebarkan inspirasi ke segala arah.Setengah royalti diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.Untuk informasi
lebih jauh, silakan klik www.negeri5menara.com, , ,htt... dan laman Facebook penulis menghubungi penulis, silakan email ke negeri5menara@yahoo.com .Atau add "Ahmad Fuadi" di Facebook dan follow "fuadi1" di twitterDisplaying 1 - 30 of 1,249 reviewsSeptember 15, 2009I moved this review to my blogMay 12, 2010Novel ini karya Ahmad Fuadi ,
penulis Minang yang sempat saya temui ketika berurusan dengan pihak PTS beberapa bulan yang lalu. Kebetulan ini telah menyebabkan saya berkesempatan mendengar sebahagian promosi buku Negeri 5 Menara (N5M) yang bakal diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu dan diterbitkan oleh PTS. Saya juga diminta memberikan testimoni untuk
buku ini. Novel ini boleh dimasukkan di bawah novel Islami yang memfokus kepada isu pendidikan. Pastinya, apabila saya menyebut novel Islami, ada yang segera membandingkannya dengan Ayat-ayat Cinta. Apabila saya menyebut isu pendidikan, barangkali buku Laskar Pelangijuga akan segara sampai ke minda.Terpulanglah apa yang singgah di
minda kalian, tetapi membaca N5M pastinya menawarkan pengalaman yang jauh berbeza apabila dibandingkan dengan kedua-dua novel tadi. Tiada kisah cinta mendayu-dayu merobek rasa seperti Ayat-ayat Cinta. Tiada kisah anak-anak kecil yang susah payah mahu menjejaki sekolah kerana masalah pendidikan umum di kawasan Pulau Belitung
seperti yang digambarkan oleh Laskar Pelangi. N5M secara mudahnya kisah anak muda bernama Alif yang mahu melanjutkan pengajian di dalam bidang kejuruteraan tetapi terhalang apabila satu-satunya permintaan ibunya (ibu Alif tidak banyak meminta, inilah satu sahaja permintaanya) supaya mendalami bidang agama. Hujah ibunya mudah :
bidang agama memerlukan pelajar pintar seperti Alif. Jika semua remaja terbuang dan rendah mentaliti sahaja yang dibiarkan melanjutkan bidang agama, bagaimanakah agama itu boleh berkembang dan diuruskan oleh mereka yang bijaksana. Oleh sebab ini ialah permintaan seorang ibu, Alif tidak berani menolak walaupun hatinya meronta mahu
menyertai bidang impiannya itu bersama-sama sahabatnya, Randai. Alif tidak dapat membayangkan bagaimanakah hidupnya nanti di Persantren Pondok Madani dan dia hanya dapat melihat bagaimana impiannya terbang pergi bersama-sama Randai. Ketibaannya di Persantren Pondok Madani disambut oleh pelbagai perasaan yang berbaur dan
langsung tersihir dengan mantra "Man Jadda Wajada" - siapa yang sungguh-sungguh berusaha pasti berjaya. Novel ini melingkar di sebalik falsafah "Man Jadda Wajada" itu dan seterusnya menggambarkan banyak insiden menarik bagaimana pihak pengurusan Pondok Madani membimbing anak-anak didiknya dengan cara yang berhikmah,
memberikan hukuman yang bukan berkesan pada fizikal tetapi pada hati. Setiap bab novel ini seperti membaca suatu episod. Setiap peristiwa diperinci di dalam setiap bab. Ini memudahkan pembacaan. Namun, bagi pembaca yang cepat hilang daya tarikan untuk membaca bab seterusnya, bahaya juga; kerana pembaca boleh jadi terhenti daripada
meneruskan pembacaan. Namun, setiap kali memulakan bab yang baharu, kita akan mudah terikut dengan gaya penulisan Ahmad Fuadi. Bahasanya santai dengan tempo bahasa yang pantas. Saya yang membaca versi Indonesia ini, dapat mengikuti beberapa istilah Minang (yang diberikan nota kaki), Bahasa Arab dan Bahasa Inggeris (yang diberikan
terjemahan terus pada ayat yang berikutnya). Lantas, pembacaan jadi kurang terganggu. Pembaca sudah dimaklumkan lebih awal bahawa bahasa utama di Pondok Madani ialah Bahasa Inggeris dan Bahasa Arab. Oleh itu, kita segera memahami bahawa perbualan mereka boleh sahaja berlangsung di dalam Bahasa Arab mahupun Inggeris, bukan di
dalam Bahasa Melayu. Namun, inti dan maknanya yang diberikan oleh pengarang. Petunjuknya ialah sepatah dua bahasa Arab atau Inggeris yang diselitkan di dalam perbualan bagi memberikan makluman jenis bahasa yang sedang digunakan. Keseluruhan, saya berikan 4 bintang kerana N5M ialah novel yang sederhana lagi jujur (sederhana bererti,
not trying too hard, berlebih-lebihan yang sengaja); berjaya mengangkat institusi sekolah agama ke takah yang lebih tinggi. Saya percaya kisahnya semi-autobiografi. Fakta tentang Pondok Madani barangkali kisah yang sudah lama berlaku tetapi setakat ini tidak diangkat di dalam bentuk novel dan tidak pernah juga terdedah kepada pembaca di
Malaysia, khususnya. Perbandingan barangkali dengan novel VT (Hilal Asyraf) tetapi saya belum selesai membaca VT, tidak adil untuk saya membandingkannya. Sangat disyorkan N5M kepada para guru, bakal guru, pelajar dan mereka yang terlibat di dalam bidang pendidikan.
Belajarlah tentang keikhlasan mengajar dan keikhlasan belajar. Pasti menginsafkan!fiksyen indonesian-writersDecember 12, 2009Sebuah tulisan yang tampak jelas dibuat untuk memotivasi remaja dalam menuntut ilmu, serta sederet nilai-nilai lainnya. Dikemas dalam konteks kehidupan pondok pesantren modern dengan sistem nilainya yang dirasa
lengkap dan satu-satunya, termasuk cara memandang realita di dunia ini.Kalau ini adalah kisah nyata - hanya nama tokoh dan tempat yang disamarkan - maka saya akan mengerti struktur dan jalan cerita yang ditampilkan. Kalau ini adalah sebuah novel, saya duga bentuk memoar lah yang sengaja dipilih, entah dengan pertimbangan apa. Sayang
sekali segala "kebebasan" atau kemungkinan eksplorasi yang disediakan penulisan kreatif (creative writing) bergenre novel tidak banyak digunakan. Pengalaman membacanya seperti seorang penyelam yang sudah siap dengan peralatan lengkap, namun kaki terikat rantai pendek ke kapal, sehingga dia hanya sanggup berenang-renang di permukaan.
PS. Terima kasih kepada Roos yang telah berbaik hati mengirimiku buku ini. Aku terinspirasi dan belajar dari buku ini walaupun dengan cara yang tidak disangka-sangka :-)=============Catatan Bacaan:Sembari membaca buku ini muncul beberapa pertanyaan dan catatan yang bisa dikelompokkan dalam dua tema.Pertama, memoar vs novel.
Buku ini mengklaim dirinya "sebuah novel yang terinspirasi kisah nyata". Cukupkah dengan menyamarkan nama tokoh dan tempat membuat kisah nyata (memoar) menjadi novel? Struktur memoar seringkali berupa rangkaian kenangan-kenangan lepas yang secara intuitif disusun kronologis. Perubahan atau pengembangan struktural apa yang bisa
membuat struktur memoar itu menjadi lebih "novel"?Ketiadaan isu sentral yang membutuhkan penyelesaian juga membuatku bertanya-tanya. Isu sentral biasanya berguna untuk memikat pembaca untuk terus membaca dengan "iming-iming" akan menemukan penyelesaiannya, apapun itu. Lagi-lagi ini adalah modus pembacaan novel. Orang biasanya
tidak membaca memoar dengan modus ini.
Kita pasrah saja menerima suguhan info yang disodorkan. Biasanya kita sudah punya komitmen atau ketertarikan pada figur atau ketokohan penulis memoar sejak awal kita memutuskan mau membacanya.Kedua, tulisan jurnalistik vs tulisan sastra.Mengingat2 pelajaran di diklat jurnalistik waktu SMA dulu, sebuah tulisan jurnalistik diusahakan untuk
menjawab pertanyaan 5W + 1H (What, Where, When, Who, Why + How). Buku ini sudah menjawab itu.
Tapi hanya sebatas pada event atau kejadian. Mungkin itu yang menyebabkan aku tidak sreg dengan gaya jurnalistiknya.
Penokohan jadi sekedar atribut kejadian (Who); detil latar, misalnya pondok madani, juga hanya jadi atribut kejadian (Where); dsb. Aku jadi berandai-andai mungkin kalau penerapan 5W+1H (formula dasar jurnalistik) diterapkan dalam setiap lapisan detil, dan tidak hanya dipusatkan pada kejadian/event, tulisan ini bisa menjadi tiga dimensi. Ruang
yang bisa dijelajahi pembacanya dengan lebih leluasa. Mungkinkah disaat itu dia mulai bisa disebut novel? Beberapa buku penulisan kreatif yang kubaca menyodorkan formula "show, don't tell". Mungkinkah penerapan 5W1H pada satu dimensi saja (kejadian) menyebabkan tulisan ini terasa lebih "telling" daripada "showing? February 23, 2010Satu
kata: “biasa saja” Setelah membaca buku ini, saya mendapat kesan yang biasa saja tentang buku ini. Maklum, mungkin sebelum membacanya saya cukup terpengaruh dengan pendapat dan review beberapa orang. Apalagi buku ini sempat dibahas di GRI. Jadi jujur saja, setelah membacanya, saya agak sedikit kecewa karena tidak sesuai dengan
ekspektasi awal.
Saya bilang biasa saja karena :1. Ide ceritanya standar. Tentang perjuangan hidup seseorang atau beberapa orang untuk meraih mimpi. Cerita model begini mulai booming pasca lascar pelanginya andrea hirata. Jadi tidak lagi terlalu orisinil. Walaupun dengan setting yang berbeda. Kisah LP menceritakan perjuangan Ikal dari kecil hingga ia meraih
mimpinya kuliah di Paris. Dan N5M, menceritakan kehidupan di balik pondok. Tetapi kalau bicara soal perjuangan seseorang meraih mimpi, di buku ini tidak terlalu dijelaskan secara detail kenapa dan bagaimana tokoh Alif dan teman-temannya bisa meraih mimpinya seperti sekarang. Seperti ada sesuatu yang terpotong dan hilang. Jadi mulai masa di
ponpes, lulus lantas “meloncat” begitu saja jadi orang sukses. Atau memang karena buku ini rencananya akan dibuat tetralogi? (kabarnya sih begitu). Padahal, dari sebuah cerita tentang perjuanagn meraih mimpi yang paling penting adalah bagaimana perjuangannya.
intinya, saya tdk bisa baca buku ini dgn semangat seperti saat saya baca LP.2. Membaca tahapan-tahapan tingkat di PM dalam buku ini mengingatkan saya pada kisah Harry Potter dengan Hogwartsnya.
Mulai dari masuk sekolah, ujian hingga pertandingan olahraganya. Bedanya di sini sepakbola dan di sana squiditch. Atau memang semua sekolah berasrama memiliki system seperti ini atau setidaknya mirip seperti ini? Entahlah, saya tidak tahu persis karena belum pernah tinggal di pondok ataupun sekolah berasrama. Tetapi saya merasakan cerita
dalam buku ini biasa saja. Nothing new.3. Judulnya negeri 5 menara.
Maksudnya apa sih? Dari awal sampai akhir saya menebak-nebak negeri mana saja yang di maksud. Bukittinggi? USA? London?
Kairo? Jakarta? Penggambaran yang kurang jelas. Lagi-lagi karena memang buku ini rencananya akan dibuat berseri? Jadi detailnya akan dimuat di buku lanjutannya?4. Cerita terkesan terlalu panjang, hingga hampir membosankan.
Banyak hal-hal yang tidak terlalu penting diceritakan panjang lebar. Tanpa tahu apa kaitan antara satu bagian cerita dengan bagian cerita yang lain. Untungnya, saya menggunakan cara speed reading saat membacanya. Jadi saya tidak sampai bosan dan tertidur mengikuti alur cerita. Tetapi sebaliknya, inti ceritanya kurang digali lebih dalam. Terlalu
datar. Tidak ada konflik ataupun pasang surut. Kurang dalam. kurang bisa menarik emosi pembaca. Kalau diumpamakan dalam sebuah grafik, mungkin grafik alur cerita novel ini hanya akan berbentuk garis-garis kecil naik turun tanpa perubahan kenaikan atau drastic yang berarti.
yang kalau diakumulasikan akan seperti garis datar.Tetapi walaupun begitu, harus saya akui sebenarnya banyak nilai moral yang bisa kita ambil dari kisah ini. tentang keikhlasan, keyakinan dan perjuangan.
“Man Jadda Wa jadda”.Dan kita bisa tahu lebih banyak tentang kehidupan di balik dinding-dinding pondok pesantren. Tetapi secara umum, dari sudut pandang saya pribadi, buku ini biasa saja. Nothing new. Nothing special.
Sebuah cerita, walaupun idenya sederhana, kalau dikemas dengan cerdas dan apik pasti akan jadi sangat menarik. Yang sayangnya tidak terlalu muncul di buku ini. Sekali lagi, ini hanya pandangan subyektif saya loch ^^ August 24, 2009One of the must read books of the year.
Buku ini sangat inspiratif dan membangkitkan semangat juang kepada siapapun yang membacanya.Cara penlisan buku ini mengalir, jernih, dan lugas. Ciri khas tulisan wartawan yang berusaha memberikan gambaran apa adanya tentang suatu kejadian dimasa lampau.Saya adalah Non Muslim. Tapi saya sangat menikmati buku ini. Menurut saya
Negeri 5 Menara membuka mata saya tentang islam dengan filosofi dibaliknya. Buku ini lintas agama,dan suku. Selama ini saya selalu berpikir bahwa pondok memberikan pelajaran agama saja- kuno, dan kaku. Tapi ternyata, dari buku ini saya mempelajari bahwa selain agama, para muridnya juga diberikan bekal pelajaran lain untuk memperkaya
wawasan-nya.Buku ini juga menjelaskan bahwa di pondok, para Murid diajarkan untuk menerima talenta yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka, karena tiap orang mempunyai kemampuan yang berbeda.
Jika kamu melakukan sesuatu dengan relatif mudah dengan hasil yang memuaskan, disitulah talenta kamu berada. Jadi bukan melulu semua orang harus jago ilmu pasti untuk berhasil dalam hidup ( kepercayaan yang masih dipenggang teguh oleh kebanyakan masyarakat Indonesia). Karakter-karakter dalam buku ini juga luar biasa, sangat hidup.
Ketakutan-ketakutan Alif ketika berada di suatu komunitas yang berbeda, rasa sedih dan sepi jauh dari keluarga, ataupun rasa bahagia ketika Alif mendapat wesel dari keluarganya bisa dengan jelas kita rasakan.This book deserves a two thumbs up!! Highly recommended. Khususnya untuk mereka yang menyukai buku yang membangkitkan jiwa
juang. Man Jadda Wajada!! Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses!!NB: Selama membaca buku ini, saya jadi sering makan masakan Padang...hahahaAugust 20, 2016 Inti hidup adalah kombinasi antara niat ikhlas, kerja keras, doa, dan tawakkal. Negeri 5 Menara merupakan salah satu bacaan paling berpengaruh bagi hidup saya.
Cerita Alif Fikri selama 'mondok' di Pondok Madani, yang diceritakan merupakan sebuah keterpaksaan yang kemudian berubah menjadi kesyukuran, memberikan saya banyak inspirasi.Buku inilah yang membuat saya ingin memiliki ukhuwah seperti Sahibul Menara, yang membangkitkan minat saya terhadap karya sastra seperti Menara 4 dan 5, yang
membuat saya rajin menekuni kamus Inggris-Indonesia karangan J. Echols seperti Menara 2, yang membuat saya selalu memiliki prinsip saajtahidu fauqa mustawal akhar seperti Menara 1, yang membuat saya ingin menjadi seorang penghafal Alquran seperti Menara 6, dan yang membuat saya berani bermimpi untuk sekolah di luar negeri, meskipun
saya 'hanya' lulusan pesantren seperti Menara 2, 3, dan 4. :)Terimakasih, bang Fuadi, you're truly an inspiration! "Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar." all-time-favorites indonesian-authors islamJanuary 27, 2019xleh bg star rating fr now... will do soon, InsyaAllah1. Man jadda wa jadda2. Tiada
menetap bg org yg beradab dan berilmu3. nk tau buku ni psl apa. cer bygkan Harry Potter, except Hogwarts tukar dngan Pondok Madani, magical education tukar dgn pengajian Islam. Basically it's like sekolah agama version of Harry Potter4. Watak utama; Alif Fikri yg asalnya nk masuk SMA, tp dipujuk ibunya utk belajar agama5. sbb bg no.4;
kbnykn org yg masuk sekolah agama adalah org2 yg 'trbuang', as in x perform dlm ujian or standard education, lastly dorang resort to sekolah agama6. perkara no.5 mnybbkan bnyk lahir ulama'/ustaz2 yg kurang berkualiti7. ibu Alif yg sedar perkara ini, tahu bhw Alif ini pandai n bijak, decide utk hntr ke sekolah agama bg melahirkan agamawan yg
berkualiti8. abt life of 6 friends, AKA Sahibul Menara at sekolah agama.
agak episodic.9. one chapter made me cry. 10. highlights n emphasize on sifat ikhlasaro-friendly indonesian islamic September 2, 2010Buku ini mengisahkan tentang perjalanan hidup Alif Fikri, seorang anak Minang dari keluarga sederhana yang atas amanah bundanya masuk menempuh pendidikan di Pondok Madani atau Pondok Pesantren Modern
Gontor – Jawa Timur yang terkenal itu. Di Pondok Madani dia berkarib dengan Said yang keturunan Arab, Raja yang anak Batak, Atang yang dari Sunda, Dulmajid yang keturunan Madura dan Baso keturunan Bugis. Sebuah persahabatan yang penuh kesetiakawanan dan kebersamaan terjalin di pondok itu, tanpa melihat latar belakang suku, daerah
maupun kondisi sosial ekonomi. Mereka mempunyai kelebihan/bakat masing-masing dan dengan perkariban itu mereka menjadi sebuah sinergi yang saling mengisi dan saling membantu. Anak-anak tersebut biasa berkumpul untuk ngobrol di bawah menara masjid sehingga mereka menyebut diri Sahibul Menara.Dari sisi alur cerita buku ini mirip
Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Banyak mutiara kehidupan yang bisa digali dari novel ini yang berangkat dari pengalaman nyata proses pendidikan karakter di lingkungan pondok. Beberapa mutiara kehidupan itu antara lain adanya indoktrinasi nilai-nilai luhur seperti:• Man Jadda Wajada yang berarti barang siapa bersungguh-sungguh dia akan
berhasil. Konsep nilai ini ditanamkan sejak awal sehingga akan melahirkan anak didik yang mempunyai semangat bekerja keras.• I’timad ‘ala nafsi yaitu bergantung pada diri sendiri, jangan bergantung pada orang lain. Cukuplah Tuhan yang menjadi anutanmu. Mandirilah maka kamu akan jadi orang merdeka dan maju.• Man shabara zhafira, Barang
siapa bersabar maka dia akan beruntung. Jangan risaukan penderitaan hari ini, jalani saja dan lihatlah apa yang akan terjadi di hari esok dan tetaplah fokus pada tujuan akhir untuk menemukan jati diri.• I’malu fauqa ma’amilu, Budayakan going the extra miles, lebihkan usaha, waktu, tekad, upaya dan lain-lainnya maka kita akan sukses.• Percaya
dirilah, jangan mau sedih, marah, kecewa, dan takut karena faktor luar.
Kitalah yang berkuasa terhadap diri kita sendiri, jangan serahkan kekuasaan kepada orang lain. Jadilah master dan penguasa hati kita sendiri. Hati yang selalu bisa dikuasai pemiliknya adalah hati orang yang sukses.• Sejarah adalah bukan seni bernostalgia. Sejarah adalah pelajaran yang bisa kita tarik ke masa sekarang untuk mempersiapkan masa
depan yang lebih baik.• Bacalah Quran dan hadits dengan mata hati kita.
Resapi dan lihatlah mereka secara menyeluruh, saling berkait menjadi pelita kehidupan kita.• Pasang niat kuat, berusaha keras dan berdoa khusyuk, lambat laun apa yang kalian perjuangkan akan berhasil. Itulah sunnatullah – hukum Tuhan.• Birrul Walidain yaitu berbaktilah pada orangtuamu. Mereka berdua adalah tempat pengabdian penting bagi
kita di dunia. Jangan pernah menyebutkan kata kasar yang menyebabkan mereka berduka. Selama mereka tidak membawa kepada kekafiran, wajib bagi kita untuk patuh.• Jangan berharap dunia yang berubah, tapi diri kitalah yang harus berubah.Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai kaum itu sendirilah yang melakukan perubahan.•
Barang siapa menuntut ilmu dengan niat ikhlas, dia akan mendapat kehormatan sebagai mujahid Allah. Bahkan kalau dia mati ketika menuntut ilmu maka akan diganjar dengan gelar syahid.• Berikan yang terbaik.
Setelah segala usaha sempurna, berdoa dan tawakallah. Tugas kita hanya sampai usaha dan doa, serahkan selebihnya kepada Tuhan, ikhlaskan keputusan kepada-Nya . Dengan cara itu kita tidak akan pernah stres. Stress hanya menjadi milik orang yang belum berusaha dan tawakal.• Man thalabal ‘ula sahiral layali yakni siapa ingin mendapatkan
kemuliaan maka bekerjalah sampai jauh malam.• Ballighul anni walau aayah, sampaikan sesuatu dariku walau hanya satu ayat.• Ikatlah ilmu dengan mencatatnya. Proses mencatat itulah yang akan mematri kosa kata baru di kepala kita.• Proses belajar mengajar akan berjalan efektif bila gurunya ikhlas mendidik dan sang murid juga ikhlas untuk
dididik. Keikhlasan adalah pakta suci yang tidak didasari pamrih dan imbalan tertentu, dan semuanya hanya berorientasi pada ridho Allah. Keikhlasan merupakan obat untuk merawat hati dan menguatkan raga.• Kullukum ra’in wakullukum masulun an raiyatihi yakni setiap orang adalah pemimpin dan setiap orang bertanggungjawab atas apa yang
dipimpinnya.• Inti hidup ini adalah kombinasi niat ikhlas, kerja keras, doa dan tawakal.
Ikhlaskanlah semuanya sehingga kita tidak ada kepentingan lain selain ibadah.• Jangan puas menjadi pegawai, tapi jadilah orang yang punya pegawai.• Orang yang berilmu dan beradab tidak akan tinggal di kampung halaman. Tinggalkan ngerimu dan merantaulah kenegeri orang (Imam Syafi’i)• Setiap orang harus berani bermimpi karena mimpi
itulah yang akan menuntun kita untuk menggapai tujuan hidup.Dari sisi ilmu pendidikan, novel ini menyodorkan metode pendidikan alternatif yang penuh dengan pendidikan karakter untuk menumbuhkan sikap kreatif, percaya diri, jujur, penuh setia kawan, profesional, mandiri, semangat kerja keras, disiplin, sportif, sabar, tawakal, penghormatan
kepada orangtua dan guru, rasa tanggungjawab dan kebersamaan serta kekeluargaan. Metode ini ternyata mampu menciptakan manusia unggulan berkualitas yang penuh dedikasi terhadap sesama. Metode alternatif yang penuh dengan character building inilah yang gagal dikembangkan di sekolah-sekolah formal selama ini. Kebangkrutan bangsa
Indonesia saat ini tidak terlepas dari metode pendidikan yang salah yang selama ini dianut dunia pendidikan formal. Sekolah formal mampu menciptakan manusia cerdas tapi tidak mempunyai karakter dan berpikir egois. Departemen Pendidikan nasional harusnya mampu berkaca dan mengadopsi sisi positif kasus pendidikan alternatif di pondok
pesantren.
Tidak ada kata terlambat dan tidak perlu malu untuk itu !!!!Buku ini ditutup dengan kesuksesan sahibul menara dalam hidupnya. Kesuksesan itu tidak terlepas dari keberanian untuk bermimpi...
January 31, 2021Baca lagi sekali setelah sekian lama. Saya suka di mana apabila cerita ini menggambarkan tentang alam persekolahan. Banyak perkara yang dititikberatkan terutamanya tentang persahabatan, keihklasan dalam menuntut ilmu pengetahuan, adab bersama pendidik, pengorbanan setiap ahli keluarga, keindahan perjuangan belajar
dalam agama dan al-quran serta banyak lagi. Memandangkan saya juga pernah menjadi penghuni asrama jadi ada beberapa situasi dalam cerita ini yang terasa dekat di jiwa. Membayangkan seronoknya zaman tinggal di asrama bersama rakan-rakan dengan belajar hidup berdikari. Seperti tak boleh lewat ke surau, memegang jawatan apabila menjadi
senior dan lain-lain lagi buku ini banyak mengingatkan saya dengan zaman persekolahan. Dan ilmu tambahan yang saya dapat ialah berbezaan antara sekolah harian biasa dengan pondok madani. Belajar di pondok juga tidak kurang hebatnya March 7, 2012Entahlah. Mungkin karena formulanya bagiku terlalu mirip Laskar Pelangi. Atau karena
penuturannya yang menurutku agak-agak pretentious.
Atau bisa jadi karena aku tidak merasa simpati dengan karakter-karakternya. Atau memang seleraku saja.Semua seolah datar saja. 200 halaman pertama, rasanya lambat dan bertele-tele, baru ketika masuk bagian pertengahan, agak mendingan. Bahkan menjelang akhir aku harus membaca ulang beberapa bagian, ini siapa sih? Karakternya seolah
sulit menempel di benakku (sampai sulit kubedakan).
Karakter utama pakai kacamata tapi hanya disinggung di dua adegan sepertinya? Agak susah membayangkan bagaimana penampilan karakter utama dan teman-temannya. Meski banyak pemaparan, aku agak susah terhanyut ke dalam ceritanya. Mungkin karena ada beberapa hal yang menurutku kurang penting untuk dibahas? Aku tidak paham
dengan diterangkannya inyiak (bagiku ini sudah masuk ranah abu-abu, bukankah ini masuk kategori orang yang 'ngelmu'?). Aku merasa beberapa penuturan yang mendetail agak mengganggu flow cerita (penting sekalikah makan hidangan apa di dalam pesawat, dan penganan yang disajikan di rumah salah satu sahabatnya di London? Dan mengapa
keduanya bernuansa Arab?
Apa agar ada alasan flashback ke masa silam saja?) Barangkali ini akan ada hubungannya dengan sekuel-sekuelnya kelak, dan aku protes kepagian?Tak kuasa untuk tak membandingkan dengan LP. Sama2 from zero to hero. LP perwatakannya sungguh kuat, sehingga sampai sekarang (setelah bertahun-tahun) aku masih ingat penampilan dan sifat
Lintang, Mahar, Trapani, dkk. Sama2 menjunjung persahabatan. Ada karakter yang cerdas namun harus putus sekolah. Sama2 sarat makna dan mengusung pentingnya pendidikan. Diksinya juga sama-sama Sumatra banget. Karakter utamanya pada akhirnya sama-sama... katakanlah, berjaya di luar negeri.OK, memang buku ini banyak memuat
kutipan yang memotivasi. Itu yang membuatku memberikan dua bintang dan bukannya satu. Banyak yang memberitahuku bahwa buku ini bagus sekali sehingga bisa mengubah pola pikir, dan untuk itu aku bersyukur akan ditulisnya buku ini, hingga bisa menyentuh banyak orang ke jalan yang lebih baik.Semoga aku salah satu di antaranya.Amin.Man
jadda wajada.April 27, 2010“ Layak dibaca para ibu yang bermimpi membesarkan anak-anak terbaik” HTR, Sastrawan dan Dosen UNJ. Tanpa meneliti buku ‘tester’ seperti biasa, saya merasa cukup dengan berbekal sepotong kalimat singkat di atas. Dengan impulsif, saya mengambilnya dari rak pajangan dan bergegas ke kasir. Saya berharap sesi
‘belanja kilat’ kali itu mampu memberikan saya barang-barang berkualitas, walaupun hanya berdurasi 20 menit. Bukan hanya jam terbang belanja yang jauh sedikit, tapi memang, hari itu adalah hari saya melatih intuisi belanja. Untuk buku ini, intuisi saya jauh dari meleset!Tentu, saya orang kesekian yang baru beruntung membaca tulisan ini.
Sepintas, gaya penulisannya sangat khas jurnalistik, pendek-pendek. Memang bukan gaya penulisan atau pemilihan kata-kata yang membuat saya terkesan. Ide ceritanya, yang memang sudah merebut hati saya sejak awal. Seorang pemimpi dari kota kecil di pelosok negri ini yang berhasil meraih mimpi-mimpinya. Masya Allah...Terlahir dan
dibesarkan di kota metropolitan, membuat saya selalu membayangkan, nikmatnya bila hidup di sebuah kota kecil yang tenang dan tidak berpolusi. Langit biru setiap saat. Eksotisme logat daerah. Bebas macet. Pasti nikmat betul rasanya..Saya dulu tidak pernah mengerti, kenapa orang beramai-ramai ingin hidup di kota yang katanya identik dengan
‘gudang uang’. Tinggal di kampung, pastilah lebih nikmat. Lebih sedap.Menurut ‘kriteria’ yang disusun oleh seorang rekan, saya tergolong anak Jakarta-jakarta. Bukan, Jakarta pinggir, apalagi Jakarta coret. Ketika mungkin anak lain sedang sibuk mengayuh sepeda untuk berangkat ke sekolah, saya sudah sibuk mengamati beragam jenis tipe mobil
agar tak kalah dalam pembicaraan dengan teman-teman di sekolah. Sebagai seorang Jakarta-jakarta, tentu, nafas pesantren jauh berhembusnya dari kuduk saya.
Belajar dan hidup di pesantren? Oh, please….nggak banget deh! Mungkin ada beberapa kesempatan untuk ikut pesantren kilat, biasanya tiap bulan puasa atau liburan.Tapi toh, pada akhirnya, ketika saya berada di ‘pesantren’ saya selalu lihat gedung-gedung yang megah, indah, rapi, bahkan baru dibangun. Penghuninya? Tentu.. anak Jakarta-jakarta
lain lengkap dengan pernak-perniknya, termasuk segala kisah persilatan larak-lirik dan suit-suit. Berbeda sekali dengan jurus malu-malu para sahibul menara dengan "putri" Sarah, hehehe.Bahkan pernah, sekali waktu, saya mendapat segerombolan teman-teman pesantren kilat yang juga punya paket kenekatan yang mirip. Dengan malu saya
mengaku, pernah berpartisipasi dalam kegiatan ‘bakar-bakaran’ kecil rutin setiap malam di kamar yang kami tempati. Barangnya? Tentu dibeli dari warung, bergantian. Untung kulit saya coklat, sekalipun bersemu merah ketika membeli, pasti penjualnya sulit membedakan antara ungu atau coklat kemerahan. Jadi ketika giliran saya tiba, saya
mengumpulkan segenap kekuatan dan menumpulkan semua syaraf malu, dan berani bilang, “Pak, beli ya, yang warna itu, buat kakak pembimbing.”[Semoga Allah mengampuni kenakalan kami semua. Amiiin.:]Buku ini jelas mampu merobohkan stigma buruk apapun yang ada di dalam kepala saya tentang kehidupan di pesantren. Jorok, kotor, bau,
tampaknya tidak terbukti di sini. Dengan rasa tertampar malu, serta dengan segala kerendahan hati, saya pun mengakui pernah khilaf memandang sebelah mata kepada kualitas para ‘lulusan pesantren’. Tapi kemudian, semua pandangan berubah, ketika saya masuk dunia perkuliahan.Hujjah-hujjah yang saya baru dapatkan saat kuliah (dengan
tingkat kenakalan yang sudah jauh lebih terkontrol tentunya), ternyata sudah didapatkan teman-teman lain yang mendapat kesempatan belajar di ‘pondok madani’ tersebut. Mimpi saya kembali terputar. Langit biru. Bebas polusi. Bebas sumpah serapah di jalanan macet. Bebas dari para lelaki dengan punggung berduri. tentunya, hohoho.Kalau saja,
saya di’sekolahkan’ di sana, tentu saya tak perlu kerepotan ketika harus bergaul dengan teman-teman baru dari Timur Tengah. Kalau saja saya pernah menuntut ilmu di sana, tentu saya akan sudah mahir berbahasa Arab dan, bisa jadi, Kairo bukan hanya tinggal mimpi. Kalau saja saya di’amankan’ di pesantren, mungkin menghafal qur’an sudah
menjadi menu harian pada saat menginjak usia belasan (ketimbang sibuk mengurus masalah pacar dan orangtuanya).Yang terjadi adalah, saya sangat ber’gaul’ di lingkungan pusatnya Jakarta-jakarta (mungkin Anda bisa tebak?), dengan taman bermain yang selalu berada di segitiga emas Sudirman-Thamrin-Kuningan, serta fasilitas informasi dan
pendidikan yang luar biasa mudah dengan kualitas, tentu, jauh di atas rata-rata. Poros kehidupan menjadi Jakarta-Eropa. Tetap saja, saya ternyata masih menyimpan salah satu mimpi untuk bisa bersekolah di Kairo. Aneh? Mungkin. Belajar apa? Hmm.. Apa saja, deh! Hehehe.Betul, saya pantas digelari manusia yang sulit sekali bersyukur. Saya yakin,
saat itu, mungkin ada juga siswa pesantren yang berdoa sepenuh hati untuk bertukar hidup dengan saya.Antara saya dan si Alif, memang secara kasat mata, hidup kami sangatlah jauh berbeda. Terlepas dari topi yang saya angkat tinggi-tinggi kepada para lulusan pesantren, ada satu hal identik yang kami bagi hangatnya dalam hati: mimpi-mimpi
yang setinggi langit! Bahwa seorang anak kota metropolitan juga, ternyata, masih punya mimpi-mimpi yang hanya berbataskan langit ketujuh. Man jadda wajada. Berkaca pada pengalaman si Alif dari pelosok Agam sana, berbekal tujuan hanya kepada dengan ridho Allah, saya yakin bisa meraih semua mimpi itu yang sudah separuh jalan! (Hoo-
ah!!)April 29, 2020[kemaskini resensi untuk bacaan kali kedua]Pertama kali baca novel ini 7 tahun dulu. Ingat-ingat lupa pasal plot tapi masih ingat tentang Alif yang mahu jadi seperti Pak Habibie tapi terpaksa ikut kata ibu yang mahu dia menurut langkah Buya Hamka. Tiga hari ini aku baca novel ini semula untuk cabaran membaca Ramadan
anjuran kelab BOOKENDSMY.Negeri 5 Menara bermula dalam naratif imbas semula, kisah sahibul menara-- 6 anak muda yang menuntut di Pondok Madani di Jawa Timur.
Perjalanan mencari ilmu dalam fragmen rinci dari hal pembelajaran ke persahabatan dan keluarga, ia melarik antusias, impian dan angan-angan dalam mantera 'man jadda wajada'-- siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil. Hal qanun yang awalnya seakan menyesakkan tapi mengajar disiplin membuka lembah perjalanan ilmu buat Alif dan
angkatan sahibul menara. Ceriteranya enak dan fokus narasinya kukuh dan berlegar seiring personaliti setiap watak utamanya-- Alif, Raja, Baso, Atang, Said dan Dulmajid.Penulis bagus menghidup watak-watak utama dan naratif novel ini seakan aku menghadapi sendiri situasi harian dan bergabung belajar. Ada beberapa hal yang aku gemar--
tentang hal sepakbola dan pidato, acara menonton Piala Thomas, Raja dan Baso yang bersepakat menyusun kamus Inggeris-Arab-Indonesia khusus buat pelajar Pondok Madani, perihal adat minangkabau dan pepatah-pepatah lama, tentang hal-hal filosofi, sejarah Islam dan ceritera para ilmuwan yang menjadi idola para sahibul menara, sisipan istilah
arab dalam plot juga perihal guru-guru yang tegas namun baik hati.Watak kegemaran aku selain Alif adalah Said. Entah kenapa terkagum sendiri dengan personaliti Said-- baik hati dan merendah diri. Juga Baso yang bijaksana dalam hafalan Quran, aku terkilan sendiri akhirnya dia terpaksa tewas tapi alasannya menyedihkan namun aku kagum
semangat Baso tetap tinggi, syukur dia menemu apa yang dimahu akhirnya. Novel yang sangat inspiratif juga mengajar akan kekuatan ikhlas dan nilai moral yang bagus. Kisah perjalanan awal watak yang berani bermimpi dan berusaha keras menghadap masa depan segagah mungkin. "Bagaikan menara, cita-cita kami tinggi menjulang. Jangan
pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar."5 bintang untuk buku ini. ____________[resensi bacaan kali pertama]Paling ambil masa yang panjang untuk habis baca sebab terlalu sibuk dengan dunia (eish!).
Macam biasa, karya seberang memang selalunya tak menghampakan aku.
Dari jalan cerita, watak, pesan-pesan yang bagus juga 'kamus bahasa arab' di tiap sudut halaman bawah, susun bahasa yang indah dan tidak dikias keterlaluan- bacaan yang tidak bosan. Novel yang buat aku mengelamun terkenang zaman sekolah, sahabat lama dan cita-cita yang diputus harap *sigh*. Anyway, 5 bintang untuk inspirasi dan semangat,
juga untuk buat aku fikir akan masa hadapan.January 7, 2013This novel is the first book written by A. Fuadi. Negeri 5 Menara is inspired by the true story of the writer when he lives in an Islamic boarding school located in East Java. It's published in 2009.The main character of this novel is Alif Fikri Chaniago. He is from Maninjau, West Sumatra, and
he never goes far from his village.
When he has finished his education in a Madrasah Tsanawiyah (an Islamic school which has the same level with Junior High School) his dream is to continue his education in a Senior High School. On the day of his graduation he knows that his mother wants him to continue his study in a Madrasah Aliyah (an Islamic school which has the same level
with Senior High School). She wants him to learn more about his religion, and be someone who has big efforts for Islam like Buya Hamka.
Alif doesn't want to be Buya Hamka, but he wants to be more like Habibie.He chooses to leave his village and study in a Madrasah Aliyah called Pondok Madani (PM) that located miles and miles from his village. He wants it because he doesn't want to disappoint her mother, but at the same time he wants to show his dissappointment to her mother. At
the first day in his new school he's dazzled by a saying "man jadda wa jada". It means "who is struggling will reach success". He meets a lot of students from every single corner of Indonesia, but there are some friends who are so special for him. They are Raja Lubis from Medan, Said Jufri from Surabaya, Dulmajid from Sumenep, Atang from Bandung,
and Baso Salahuddin from Gowa. They brings their unique character from the place they come from, but they are united by the endless activities and the strict rules of Pondok Madani for six years. They are getting closer and call themself as Sahibul Menara. They paint their dreams by staring at the clouds together. They choose different path to
pursue their dream, but they take the same place to start; Pondok Madani.This novel is truly inspiring. It burns our spirit. There are so much positive energy in every single word in this novel. We can experience how it feels to live in a dormitory, and find that many things that happen there are so interesting. This true story reminds us that religion is
like an oxygen in everyone's life. We can't seperate it from every aspect of our life including education. It teaches us that we can reach success whatever our choice and our place to start might be. All you have to do is struggling.favorites indonesian spiritualityJune 16, 2011Sungguh membaca buku ini membuat pikiran saya kembali terbang ke masa2
MAN saya dahulu. Hidup di asrama dengan segala peraturan ketatnya yang sangat islami dan benar-benar DISIPLIN tak kalah dengan sekolah-sekolah militer.
Sekolah saya, Insan Cendekia mengadopsi sistem pesantren dan menerapkan beberapa nilai yang juga dijabarkan di buku ini.Sungguh mengesankan mengingat betapa besarnya semangat juang para anak pesantren ini dalam menghadapi 'penggojlokan' iman, jiwa dan raga dalam 'penjara suci'. Ketika iman diuji, kejujuran dipertanyakan dan juga
kebersihan hati dinilai. Semua murid dengan keikhlasan tinggi berjuang untuk mendapatkan yang terbaik. 'Man jadda wa jada' benar-benar menjadi motivasi yang terus menerus terpatri dalam hati. Dengan segala kenangan yang ada, sungguh air mata ikut menitik ketika membaca upacara pelepasan lulusan. Tidak ada ijazah. Menuntut ilmu adalah
ikhlas tidak mengharapkan apapun. Yang tak kalah membuat saya kagum dari sistem pesantren yang dijabarkan dalam buku ini adalah prinsip keikhlasan yang dimiliki tiap civitas. Murid belajar dengan ikhlas untuk menuntut ilmu meski tanpa ijazah. Para guru dan kyai yang mengajar di sana tidak mengharapkan uang sepeser pun. Hanya pengabdian
yang menggerakkan hati mereka untuk kembali ke sekolah tempat mereka belajar dahulu dan berbagi ilmu untuk diamalkan. Wallahu 'alam sungguh penerapan nafas-nafas Islam begitu terasa.Buku ini memberikan kita gambaran nyata tentang apa yang terjadi di balik tembok pesantren. Sistem yang dulu saya anggap hanya mengajarkan masalah
agama saja mulai pudar. Pesantren mengajarkan santrinya untuk belajar lebih banyak dan MENGAMALKAN ilmunya. Berbasis pada keikhlasan, pesantren dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat dengan biaya minim. Tanpa birokrasi dan dana yang entah lari kemana. Sungguh, sistem pesantren ini apabila dapat diterapkan secara luas,
saya rasa kemajuan anak bangsa akan lebih baik. Pendidikan benar-benar ada karena guru yang ikhlas mengamalkan ilmunya. Murid takdzim pada gurunya dan benar-benar menuntut ilmu karena Allah. Sungguh apabila jiwa pesantren ini mengakar dalam bangsa Indonesia, tiada pernah lagi ada kata korupsi, birokrasi berkepanjangan dan juga
keserakahan pribadi.February 3, 2018This book was given to me by a patron in a coffee shop in Indonesia. It was during my first week of my travels to Asia, and my first stop was in Bali, Indonesia. During this week, I had become a regular at a coffee shop down the street from me. Everyday, I would go grab my morning coffee and speak to the
Indonesian coffee owners about life in Indonesia, travelling, and, obviously, the beauty of coffee. The coffee shop was named Bahasa, a term in Indonesian that means language or dialect. This shop was aptly named, as it served as the meeting area for expats and locals from around the world.One day, I was the asking the barista questions about his
hometown. I knew that he was from the west of Java, the big island beside Bali, but I was interested in the culture of his island, the food of Indonesia, and the difference between Bali and Java. A major difference, he relayed, was the religions between the two islands. While Bali’s largest religion was Hinduism, the rest of Indonesia, Java included, it
was Islam.Listening into our conversation, another one of the regulars joined in and offered if I would like to read a firsthand account of Islam in Java. He mentioned that this book might be interesting to me, and that he would bring it to the shop the following day. This book came to me at a timely manner, as I was already in a period of reflection
about travel, morals, knowledge, and the journey of the past to the present. Each of these themes are addressed within the pages of the book.The story begins with Alif, a young village boy from West Sumatra – also our lively narrator – who makes a half-hearted decision to join a regimented religious boarding school (MP). It relates the journey of his
intensive learning, Islamic revelations, and own personal development, all while fueled by a sense of self-doubt lingering from his abrupt decision to leave home. This sets the tone for a book detailing the teaching of the Al-Quran’s tenants through motivational and captivating stories of Alif’s time in MP.The themes are brilliantly captured by Alif’s
personal trials and tribulations as a student in this strict penasaran (Islamic boarding school). His personal story is mixed in with characters of the Fellowship of Manara, five other schoolboys who become the close friends with our protagonist. Each member of the Fellowship is gifted with their own personality, traits, and strengths providing another
lens to view the hardships they endure together.It’s a brotherhood formed by congealed bond of strong solidarity required to push on in face of the hardships of exams, strict rules, and constant studying; each needing a strong perseverance to succeed in this pressurized environment. The words man jadda wajada, he who gives his all will surely
succeed, are shouted by the students in their first class, and are constantly echoed throughout the book.
Each passage of the book ties back to the premise of hard work, and Alif’s personal development growth is built on the backbone of these words.The experience of Alif and his fellow schoolmates revived memories of my own experience in university. The Ustads (teachers) whom the students looked up to as the carriers of knowledge, were the same
people they also feared, as they were also the ones to dole out punishment if they did not abide by the rules. It’s this sense of fear and respect combined that gave each of the Ustads a revered place in the students’ mind. This fits nicely with professors in a university who are the gatekeepers to knowledge. They have spent their entire career
engrossed in their specific discipline, and are the ones who dole out grades; mimicking the punishment of not following the rules of the class, and the knowledge of the doctrine.Outside of the teachers, I personally connected with the stories of Alif and his friends while they studied together in preparation for the famously difficult exams of MP. There
was the concept of sahirul lail, an arabic term that roughly describes staying up late to study into the early morning hours of the night; the attempt to squeeze out any last bits of knowledge. These huddled students, using only the light of a friend’s lantern as they studied, reminded me of the deep work sessions my friends and I would endure while
edging closer and closer to an approaching sunrise. Those late night sessions enacted a certain bond felt between each member of the session, one which I believe Alif accurately captures in this book.The story was not without its faults, however. The description of each passing character was superficial, describing their features (“clear-skinned”),
rather than the humanity behind them. The language was easy to follow, but there was no captivating style (perhaps due to the translation), and the meaning behind each important teaching was beaten over the reader’s head.
These teachings were overly referenced by Alif’s passages of overcoming any mental or physical challenge. This easy reading required no analysis for the reader’s part, making it a superficial version of moral lessons.However, my biggest gripe of the story was near the end of the book. There was a passage that seemingly summed up the stringent
rules of the MP. It was at a point in the story where the boys were celebrating a well done final event they had put on. But, its success was due to breaking a small, ridiculous rule, when gathering supplies for their show. Three boys, Alif included, were taken to the security center, and their heads were shaved as punishment for breaking this rule. It
was somehow related to a teaching in the Al-Quran, but I was not convinced by the goodwill of the punishment. This strict adherence to law closely resembled a form of deontological ethics that the students were forced to follow, and this caused me to reevaluate some of the book’s teachings. Looking back through the book’s passages, I was able to
draw out an underlying tone that cut deep into the heart of the book’s message.The tone of fear of breaking the rules, the impossible moral requirements of the students, and the strict enforcement of the Islamic law paraded itself in plain view once you took note of it. This tone was also reinforced by the concept of jasus, student spies, a punishment
put onto a student when they broke the rules. These spies would then watch for any fault made by their fellow students. These faults were things like not speaking the two official languages of English or Arabic, unkept sarongs, or cutting the bathroom lines. The jasus would have to record exactly two students convicted of these infractions, and hand
them into the the security office, where the convicted students would themselves be forced to become the new jasus. If they did not succeed in recording exactly two names, they were more severely punished.This creepy feeling of surveillance, harsh punishments for infractions, and underlying sense of fear may have helped keep order in the school,
but it must have also hampered free thought and expression. Even though the mission of the school was to inspire scholars – ones who would seek out knowledge throughout the world – it was forced through the lens of Islamic thought.
So, while I do agree with many of the teachings, passages, and morals of the story, it was hard for me to know whether these were Alif’s true belief.
The book preached sincerity as the main driver for the students’ actions, but this unquestioning of the rules, and fear of breaking them, made this sincerity a difficult motivator to accept.The book ends with a happy message, though. We encounter three brothers of the Fellowship reunited in London. This meeting takes place 11 years after their upper-
level final exams, where they last hugged each other before going back to their various homes across Indonesia. It’s in this last part of the book where we are once again treated to the beauty of the book’s themes. It’s the benefits of travel for the soul, the happiness of keeping a long lasting brotherhood, and that while we may still carry a sense of
self-doubt whether we took the correct path in life, the journey is what really matters.June 17, 2012This is a great story!It tells us about the life of santri in one of religion boarding schools in East Java. Such islamic boarding school is called 'Pesantren' and the students are called 'santri'. Girls and boys go to different schools and they cannot study
together. Mostly they learn religion and its practice. They are expected to become religion teachers once they are graduated. People often think that these schools are of 'second quality' in compare to the public schools, let alone the private schools. Parents who send their children to these schools are (usually but not always) those who either have a
weak economy to finance their children's education, whose children have grades so bad they cannot enroll to public schools, or whose children have behavioral problems they needed to be 'fixed', even combination of these factors.If you have read Three Cups of Tea, it is described that terorrist and extremist organizations alike, funded by Arabic
countries, build this kind of school in Pakistan to produce their 'worker bees' in multiplication. They teach their students for Jihad. These schools are shut to the world outside and people who don't have any relation or importance to these schools aren't allowed to come close.Pesantrens in Indonesia are rarely open to the public and stories or personal
experience of studying in such schools are not so often to be published. After 9/11 people are getting more curious with these schools. This book gives an answer to that curiosity.Life in Pesantren 'Pondok Madani' is certainly not lavished with pricey comfort, but it highly values knowledge alongside moral and religious values. From the first day of the
school, the teachers teach one key principle to their students: Man Jadda Wajadda, an arabic words which means "one who does one's utmost will succeed". They are the magic words to pump up your energy and motivation in chasing your dreams. The school educate its pupils with super high discipline. Students are not only taught religion and
doctrines of duties, but also general knowledge, math, history, and Arabic and English. Indonesian and provincial language are strictly prohibited within the school, students are only allowed to speak in either Arabic or English. Those who don't obey this rule will get punishment. It is not known whether they study science such as physics and
chemistry or not, but the school certainly encourages its pupils to develop themselves in other fields of interest, such as art, sport, debates, and even journalism. Teachers inspire students with their earnestness to share their knowledge with their pupils without wage (their lives are fully supported by the school but they don't get any salary).
Sometimes they inspire students by sharing the biography of well-known figures or by giving their ears to children's problems and give motivation to straighten their backs.This school also has a unique way to perceive exam week: as a celebration of knowledge, it is time to catch the knowledge they've been pursuing all along and bind them so that
they'll stay forever. Weeks prior the exam, students will wake up at 2am and study together until 4am - the time to morning prayer which also marks the start of the day and the activities, and continue to study until 10 pm - the time for students to sleep. For the seniors, they are even allowed to study until midnight. Teachers will also stay up until late
at night and go around from group to group so that each group has the opportunity to ask about things even chapter they haven't fully grabbed yet. What a way to celebrate knowledge! This creates huge drive to study among the students, which makes them love studying. This is the kind of Jihad the school is teaching to the students, to serve God
with their whole life, and strength, and knowledge. The main character, a smart graduate from junior high religious school, wanted to enroll in public school and chase his dream to study at the best technical university of Indonesia, Institut Teknologi Bandung, to follow the path of Habibie, our ex-president. His final scores in national exam was among
the highest 10 (people) in the entire area of Agam, West Sumatra.
A gem indeed. But his mother wanted him to study in Pesantren. She was concerned with the quality of Pesantrens and was dismayed by the quality of religious teacher they might produce, while the moslem municipalities are getting brighter and smarter in each generation. Therefore she wanted her son to join Pesantren, so that in the future he will
be a qualified teacher to lead the moslem people. After a while, he finally agreed to go to a Pesantren in Java.
From there begins the story of the pursue of knowledge, struggles, and friendship among 6 santris, each coming from different cities and backgrounds. Each share their dreams of going to Mecca, Asia, Africa, America, or staying in Indonesia, and pursue their destiny. But they all know in their deepest heart that, in time, they'll be back and stay in
Indonesia to share the knowledge they've got and serve the people.This story is based on the experience of the writer himself. The writer, a recipient of 8 schollarships including Fulbright and Chevening, is a journalist of the long time prominent magazine in Indonesia.
He throws a very inspiring story for everyone. Eventhough I'm a christian, I enjoy this book a lot and I know that everyone can gain something for their lives from this book. In addition to that, this book is also filled with Indonesian's cultural insights. In short, I love it. And I hope that other pesantrens, even public schools, will follow the lead of this
special school in its earnestness of knowledge dissemination. Man jadda wajadda! :)December 25, 2009Sayangnya buku ini datang setelah Laskar Pelangi jd kesannya agak 'membuntuti' tp bang Fuadi berhasil menghantarkan begitu banyak detil, dari sekolah PM Madani sampai keseharian masing-masing sahibul menara plus keseluruhan penduduk
pondokan. Seorang teman pagi ini laporan, "Gw dah beres baca bukunya, git... baru tau klo Gontor itu begitu ya, g mlah cek lsg dan mang bener.. hebat!! bukunya bagus," cerocosnya.Aq ingat pertama kali kenapa menginginkan buku ini,dan ternyata hal itu juga yg 'menghadiahi' aq buku ini.. dua hal yg menjadi sorotan dari banyak 'pelajaran hidup' di
buku pertama trilogi ini. Ikhlas dan kekuatan usaha.Thx to this inspiring book for giving me back the strengthwhich i think i almost have lost after series of yet-to-be-named success ;p (avoid calling it failure). Kalau mereka saja bisa, sekuat itu dengan segala keterbatasannya kenapa kita (yg lainnya) tidak... and those words by Leo Tolstoy is true, God
knows but He awaits dan siapa yg berusaha akan memetik jerih payahnya - man jadda wajada!Dua bintang buat kejujuran dan detil buku ini,semua dibuat seakan aq bisa melihat sahibul menara saling berbagi cerita di bawah menara masjid, melihat anak-anak itu antri kamar mandi (bukan ngintipin yaaaa), berjalan menuju masjid melintasi
pekarangan... aktivitas yang begitu hidup (plus peta di balik sampul yg informatif en bagus). Lompatannya ke masa kini sangat sedikit - bertanya2 juga apakah maksud Bang Fuadi memang seperti itu?
menanamkan personalitas secara kuat untuk mengenal lebih dalam pewatakan masing-masing tokoh, sedikit berbeda dg gaya Laskar Pelangi kendati rentan menimbulkan kebosanan karena gaya bahasa yg kurang dinamis (aka riuh rendah).Kisah-kisah yang begitu personal,seperti Said dari keluarga Arab Surabaya dan obsesinya terhadap Arnold
Schwarznegger, Atang dari pengikut Muhamadiyah Bandung, Dulmajid si lugu kawan Madura, dan Rahasia Baso jenius dengan photographic-memory, serta Raja si role model anak Medan yang ternyata brilian... hingga kehebohan bersumber dari puteri madani, Sarah :DGa sabar pengen baca kelanjutan kisah pertemuan mereka di
London,membayangkan Trafalgar Sq... "Dulu kami melukis langit dan membebaskan imaginasi itu lepas membumbung tinggi... Tapi lihatlah hari ini. Setelah kami mengerahkan ikhtiar dan menggenapkan dengan doa, Tuhan mengirimkan benua impian ke pelukan kami masing-masing. Kun fayakun, maka semula awan impian, kini hidup yang nyata.
Jadi jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apapun. Tuhan sungguh Maha Mendengar. Man jadda wajada, siapa yg bersungguh-sungguh akan berhasil..."satu bintang lagi untuk pelajaran hidupnya, thx buat Bang Fuadi (UNPAD Intl Relations alum, class92) dan sang Maha Mendengar!December 3, 2009Ahmad Fuadi bercerita tentang
kehidupan di sebuah Pondok Pesantren yaitu Pondok Madani, dalam buku ini dikisahkan oleh Alif seorang remaja dari Minangkabau tepatnya dari sebuah desa di dekat D. Maninjau Sumatra Barat. Alif yang pada awalnya memilih dengan setengah hati untuk belajar di Pondok Pesantren karena sebetulnya dia ingin melanjutkan sekolah ke SMA
akhirnya dapat meleburkan diri dengan warna-warni kehidupan di sana, bersama dengan kelima sahabatnya (yang berasal dari berbagai daerah) melalui kehidupan di Pondok dalam suka, duka dan semangat yang luar biasa. Sistem belajar mengajar dan kegiatan di Pondok sangat disiplin tapi terasa penuh kekeluargaan dan saling menolong bahkan
para ustad selalu siap sedia membantu setiap kesulitan muridnya baik dalam hal pelajaran maupun yang bersifat pribadi. Bahkan ada ustad-ustad yang mempunyai keahlian untuk memotivasi murid-murid yang sedang down atau putus asa menjadi bersemangat kembali. Ustad-ustad ini biasa dipanggil seagai 'ahli setrum'. Kunci dari semua ajaran
yang selalu ditanamkan pada muridnya adalah- Kombinasi dari niat ikhlas, kerja keras, doa dan tawakal,- Berjuang dengan usaha di atas rata-rata yang dilakukan orang lain,- dan yang terpenting 'mantera' :'Man jadda Wajada' Siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil Kehidupan di Pondok Pesantren dikisahkan dengan cukup lancar walaupun
dipertengahan agak membosankan tapi selanjutnya cukup menarik dan dapat membuka mata kita tentang pendidikan yang menjadikan murid tidak hanya sebagai objek tapi sekaligus subjek yang berperan dalam kelangsungan pondok. Yang menarik adalah 'rasa aman' bagi murid yang tidak mampu secara ekonomi karena bila telah diterima menjadi
santri, uang tidak dipersoalkan selama dia masih mau belajar. Sistem subsidi silang ditambah kemandirian Pondok dalam keuangan yang luarbiasa dan patut dijadikan contoh. Asalnya aku mau ngasih 3 bintang, tapi tambah 1 karena ada beberapa kesamaan isi buku ini dengan kehidupanku :)- (hal. 310 ).. entah kenapa, orang Minang lebih suka
mengirim anaknya sekolah di Bandung daripada ke kota lain, Seperti ada love affair antara Minangkabau dan tanah Parhyangan..
- aku salah satu dari orang Bandung yang sekarang mempunyai pasangan hidup orang Minang yang dulu merantau untuk menuntut ilmu di Bandung - ..untuk love affair ..amin:D- Kesamaan selera cemilan dengan Arif dan kawan-kawan yaitu.. kacang Sukro.. Bahkan ketika menyelesaikan membaca buku ini juga sambil makan kacang
sukro...kriuk..Man jadda Wajada!..kriuk..kriuk..February 14, 2022"Man Jadda Wajadda", salah satu motto yang sangat saya sukai dalam novel ini. Cerita yang mengisahkan tentang perjuangan dan mimpi seorang Alif menggugah saya untuk terus mengejar mimpi setinggi langit tanpa takut untuk jatuh setinggi apapun itu.September 11, 2012Bagi yang
telah tahu, saya pembaca tegar buku- buku Indonesia. Gaya bahasa dan penyampaiannya bersahaja dan cukup cantik, kalau dibanding dengan Bahasa Melayu, yang kadang- kadang bila ditulis/ dibaca, maksud dan pemahamannya tidak begitu sampai ke jiwa. Atau memang kerana saya punya soft spots towards Indonesia. Ketika hidup berkelana di
Bandung dahulu, selepas kelas saya akan naik angkot ke Gramedia terdekat di depan Bandung Indah Plaza. Hidup waktu itu cukuplah merana dan indah, merana kerana saya tidak suka major yang saya ambil, dan indah kerana saya amat sukakan Bandung. I was home. Saya masih ingat berlegaran dalam Gramedia, ambil- letak- ambil- letak buku-
buku yang bagi saya, hadiah dari syurga. Hadiah dari Tuhan kepada saya, kerana menimbulkan cinta untuk membaca, dan cinta kepada karya Indonesia. Anyway. Saya backpack seorang diri ke Saigon beberapa minggu lepas, dan saya bawa buku ini bersama sebagai peneman. Buku ini tebal, sarat dengan segala potongan sajak- sajak dari negara
Arab dan tafsiran hadith dan Al- Quran, jadi secara semujaladi saya ingat buku ini cuma mampu saya habiskan dalam masa yang lama. Tapi rupanya tidak, di lapangan terbang di KL saja saya telah di halaman 88. Setiap katanya indah sekali, membara- bara mimpi- mimpi dan semangat saya yang telah hidup saya kuburkan. Ada satu bait dalam buku
ini yang betul- betul memikat hati saya, Alif, watak utama dalam buku ini menceritakan tentang bagaimana manusia adalah pemilik hati masing- masing, selepas Tuhan. “Jadi pilihlah suasana hati kalian, dalam situasi paling kacau sekali pun.” ― Ahmad Fuadi, Negeri 5 MenaraSaya berpegang teguh pada konsep yang kita adalah penentu kebahagiaan.
Definisi bahagia berbeza antara saya dan kamu, tetapi tetap juga sama. Saya menentukan bahagia saya, kamu menentukan bahagia kamu. Buku ini telah diangkat ke filem, dan telah mula ditayangkan di bioskop seluruh Indonesia pada bulan Mac. Saya ada sedikit perasaan tidak sedap hati kalau buku- buku kegemaran saya dibuat filem, dan saya
tidak akan sekali- kali menontonnya. Perasaannya tidak sama, kawan. November 15, 2009n my opinion, this book is a combination between Laskar Pelangi and Malory Tower serials (If your childhood during the 80’s,I bet you read this serial as well – and owh….I read the translated ones of course back in those year ;) ) or probably Harry Potter suits
better ?Cerita tentang persahabatan enam anak bangsa ini dari sudut dari sisi seorang Alif Fikri, lelaki asal Sumatra Barat yang awalnya dipaksa oleh Amak (ibunya) untuk belajar di Pesantren Modern ini. Bersama 5 temannya berjuang menuntut pengetahun umum dan agama dengan segala suka dan duka. Banyak kalimatnya yang membuai saya,
salah satunya pada tulisan ini dan satu lagi menjelang akhir buku. Disini diceritakan kenapa Baso, pemuda asal Gowa yang memang terlahir miskin mati-matian belajar menghafal Alquran selama di Pesantren, dan blio berucap…“kalian tahu aku sudah habis-habis mencoba menghapal Al Quran. Sudah selama ini (hampir 4 tahun-red) aku baru hapal
10 juz atau sekitar 2000 ayat. Aku ingin semuanya, lebih dari 6000 ayat. Tahukah kalian, ada sebuah hadist yang mengajarkan bahwa kalau seorang anak menghapal Al Quran, maka kedua orang tuanya akan mendapat jubah kemuliaan di akhirat nanti. Keselamatan akhirat buat kedua orang tuaku…”(Saya ngga cerita ya, kenapa sampai Baso
ngomong ini…ngga seru nanti).And there goes my tears …I recalled the never ending arguments between me and my mother which still happen every now and then.June 5, 2011seru, inspiratif, filosofis. ngebuka wawasan dan semangat buat terus berjuang dan ikhlas. kunci utama hidup, man jadda wajada :)January 24, 2010Kesan pertama memang
membuat penasaran saat membaca sampul belakang buku ini. Bagaimana tidak, potongan komentar kekaguman bergulir dari orang-orang yang cukup dikenal dalam skala nasional. Seperti BJ Habiebie, Riri Rija, Kak Seto, Ary Ginanjar Agustian, Helvy Tiana Rosa. Biasanya celoteh komentar itu tak membuatku bergeming, tapi nama BJ Habibie
berhasil membuatku mencoba membuka lembaran buku ini. Baru kali ini kutemukan tokoh teknologi memberi komentar dalam novel.Lembar demi lembar kulahap dengan bertahan melawan rasa bosan dengan alur cerita yang datar dalam novel ini. Sedatar catatan perjalanan hidup dalam blog. Sempat jengah karena merasa deretan komentar tokoh
penting itu ada karena latar belakang penulis sebagai wartawan. Satu-satunya yang membuat ku bertahan adalah karena Kisah yang direkam adalah kehidupan penulis semasa di Pesantren.Tema Kehidupan Pesantren inilah yang menurutku menjadi satu-satunya daya tarik sekaligus dan daya jual buku ini. Bukankah tak banyak yang menyingkap
kehidupan pesantren?. Bukankah seringkali kita memberi cap lebih dahulu, padahal tidak melihat seluk beluk di balik tembok pagar pesantren?.Pesantren, dalam ingatanku di masa SMA, adalah sekolah nomor dua. Tempat orang tua yang putus asa melepaskan anaknya yang biasanya di cap bandel dan nakal agar dibimbing menjadi anak yang soleh,
seperti idaman semua orang tua manapun didunia ini. Jarang kutemui teman yang menggapai cita-citanya melalui pendidikan pesantren. Tepatnya Pesantren memang seperti tempat pembuangan anak.Novel ini, memberikan gambaran berbeda dengan pandangan umum. Melalui Para Sahibul Menara, Atang, Alif, Baso, Raja, Dulmajid, dan Said,
mereka adalah tokoh yang dikisahkan sebagai anak baik-baik dan berkualitas unggul. Karena bibit unggul, diharapkan akan juga unggul dapat menerapkan ilmu Agama yang diperolehnya dan menjadi teladan di masyarakat. Novel ini memang menggambarkan fenomena yang ada di masyarakat umum. Disatu sisi menganggap lulusan pesantren adalah
manusia yang plus dalam agama, namun anak-anak yang di kirim kedalamnya pada awalnya justru bukan berniat menekuni agama bahkan sering di cap nakal. Jangan tersinggung hai kawan-kawan tamatan pesantren. Ini persepsiku dulu. Menurutku cap sekolah kelas nomer dua juga dialami oleh sekolah dengan latar belakang agama
lainnya.Belakangan setelah menyelesaikan pendidikan formal disediakan pemerintah, dan bergelut dalam diskusi diskusi pendidikan, aku mulai mengagumi Pesantren. Bisa dikatakan Pesantren adalah pendidikan alternatif yang tertua dan masih bertahan di negeri yang kini cenderung menjadikan pendidikan sebagai bisnis semata.Kalau sekolah
formal milik pemerintah sering dikacau balaukan oleh kurikulum/peraturan yang bagai badai berganti di setiap pergantian mentri pendidikan, Pesantren justru lebih bebas karena tidak berada dibawah koordinasi Kementrian Pendidikan Nasional.Saat pendidikan formal negeri ini terjebak dengan tujuan mendapatkan lembar ijazah untuk modal kerja,
dari novel ini, Pesantren tetap percaya diri dan tak sedikitpun berorientasi ijazah. Tamatannya dibiasakan belajar keras, disiplin, dan tekun beribadah tak sekalipun di anjurkan untuk menjadi Karyawan, tapi justru diharapkan mempekerjakan karyawan. Guru-gurunya malah mencontohkan pengabdian sepenuhnya pada pendidikan, tanpa gaji, tanpa
berharap kemewahan materil. Yang paling membuatku gigit jari...adalah lingkungan belajar Pesantren yang memaksa diri untuk menguasai bahasa arab dan inggris. Ketrampilan yang sering membuatku terseret-seret untuk maju. Karena bahasa kunci ilmu pengetahuan.Deskripsi dalam novel ini begitu jelas menggambarkan suasana dan semangat
belajar yang dibangun dengan tersistematis.
Bagaimana santri terpicu belajar dengan lingkungan penuh dengan aura belajar. Ada juga kisah yang menggambarkan trik untuk menguasai bahasa inggris dan arab, bagaimana cara santrinya menghapal Al-quran dan kamus, bagaimana menegakkan disiplin.
Sangat menarik. Usai membaca, ada suara lain di relung hatiku berkata...andai aku dulu masuk pesantren.Lalu kenapa judulnya Negeri Lima Menara?. Awalnya ada Enam orang sahabat mencari tempat berkumpul.
Dan satu-satunya tempat yang dianggap nyaman adalah Menara Mesjid di pesantren Madani. Dari sana merekapun kemudian dikenal sebagai sahibul menara. Lalu kenapa 6 sahibul menara menjadi Negeri 5 Menara?. Hmm...baca sendiri lah :D. Kalau masih belum ketemu, perhatikan saja sampul bukunya dan kisah pertemuan sahibul menara setelah
selesai pendidikan pesantren.Meski tema novel ini cukup membuat pembaca yang lambat membaca seperti ku ini masih tetap bertahan hingga halaman terakhir, tapi akan lebih menarik jika konflik ceritanya juga menonjol. Tak semata menjual kehidupan yang indah di Pesantren namun juga sisi gelap pesantren. Santri juga manusia, bisa juga
melakukan kesalahan atau tergiur pada godaan.
Manusiawi kan?.Tapi mungkin keinginan si penulis sengaja nyaris meniadakan penyimpangan perilaku di pesantren, karena tujuan novel ini adalah agar masyarakat meluruskan persepsi tentang pesantren sebagai tempat orang-orang terbaik untuk menjadi manusia terbaik. Apapun itu, ya...novel ini menurutku menarik, karena belum banyak tema
sejenis yang diangkat. Layak di baca, untuk membandingkan dan merenungi pendidikan. Apakah pendidikan yang kita geluti selama ini telah menanamkan konsep Man jadda Wajadda?. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.December 7, 2019Lagi sekrol2 buku2 Kusala, ternyata ada beberapa buku yg belum ku tandai sdh kubaca.
Jadi ya tandai aja. Ceritanya ya nanti2 aja klo ada waktu nulis review. Kayaknya kok ngga bakal ditulis April 22, 2011 Kisah ini diawali lima sahabat yang sedang mondok di sebuah pesantren, dan kemudian bertemu lagi ketika mereka sudah beranjak dewasa.
Uniknya, setelah bertemu, ternyata apa yang mereka bayangkan ketika menunggu Azhan Maghrib di bawah menara masjid benar-benar terjadi. Itulah cuplikan cerita novel laris Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi. Ahmad Fuadi yang berperan sebagai Alif di novel itu berkisah, ia tak menyangka dan tak percaya bisa menjadi seperti sekarang ini.
Pemuda asal Desa Bayur, Maninjau, Sumatera Barat itu adalah pemuda desa yang diharapkan bisa menjadi seorang guru agama seperti yang diinginkan kedua orangtuanya. Keinginan kedua orangtua Fuadi tentu saja tidak salah. Sebagai “amak” atau Ibu kala itu, menginginkan agar anak-anaknya menjadi orang yang dihormati di kampung seperti
menjadi guru agama. “Mempunyai anak yang sholeh dan berbakti adalah sebuah warisan yang tak ternilai, karena bisa mendoakan kedua orangtuanya mana kala sudah tiada,” ujar Ahmad Fuadi mengenang keinginan Amak di kampung waktu itu. Namun ternyata Fuadi alias Alif mempunyai keinginan lain. Ia tak ingin seumur hidupnya tinggal di
kampung.
Ia mempunyai cita-cita dan keinginan untuk merantau. Ia ingin melihat dunia luar dan ingin sukses seperti sejumlah tokoh yang ia baca di buku atau mendengar cerita temannya di desa. Namun, keinginan Alif tidaklah mudah untuk diwujudkan. Kedua orangtuanya bergeming agar Fuadi tetap tinggal dan sekolah di kampung untuk menjadi guru
agama.
Namun berkat saran dari ”Mak Etek” atau paman yang sedang kuliah di Kairo, akhirnya Fuadi kecil bisa merantau ke Pondok Madani, Gontor, Jawa Timur. Dan, disinilah cerita kemudian bergulir. Ringkasnya Fuadi kemudian berkenalan dengan Raja alias Adnin Amas, Atang alias Kuswandani,Dulmajid alias Monib, Baso alias Ikhlas Budiman dan Said
alias Abdul Qodir. Kelima bocah yang menuntut ilmu di Pondok Pesantren Gontor ini setiap sore mempunyai kebiasaan unik. Menjelang Azan Maghrib berkumpul di bawah menara masjid sambil melihat ke awan. Dengan membayangkan awan itulah mereka melambungkan impiannya. Misalnya Fuadi mengaku jika awan itu bentuknya seperti benua
Amerika, sebuah negara yang ingin ia kunjungi kelak lulus nanti. Begitu pula lainnya menggambarkan awan itu seperti negara Arab Saudi, Mesir dan Benua Eropa. Melalui lika liku kehidupan di pesantren yang tidak dibayangkan selama ini, ke lima santri itu digambarkan bertemu di London, Inggris beberapa tahun kemudian. Dan, mereka kemudian
bernostalgia dan saling membuktikan impian mereka ketika melihat awan di bawah menara masjid Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur. Belajar di pesantren bagi Fuadi ternyata memberikan warna tersendiri bagi dirinya.
Ia yang tadinya beranggapan bahwa pesantren adalah konservatif, kuno, ”kampungan” ternyata adalah salah besar. Di pesantren ternyata benar-benar menjujung disiplin yang tinggi, sehingga mencetak para santri yang bertanggung jawab dan komitmen. Di pesantren mental para santri itu ”dibakar” oleh para ustadz agar tidak gampang menyerah.
Setiap hari, sebelum masuk kelas, selalu didengungkan kata-kata mantera ”Manjadda Wajadda” jika bersungguh-sungguh akan berhasil.Nama : Ahmad Nadhif FaishalKelas: X-10No. : 01July 28, 2010I just have read ‘Negeri 5 Menara’ book. So excellently. Haha : D keren deh, pokoknya! Menurut gua, buku ini ditujukan khusus untuk para remaja [so,
orang dewasa tidak ada larangan untuk membacanya, ya:]. Untuk remaja yang akan & sedang merajut mimpi-mimpinya.
Mereka yang tumbuh dalam lingkungan pendidikan formil.Secara keseluruhan, buku yang ditulis oleh A. Fuadi ini bagus banget untuk meotivasi diri seseorang. Apalagi ia menggunakan sudut pandang agamis, yang jarang sekali dipakai oleh kebanyakan penulis. Secara langsung kegiatan tumbuh kembang masa remaja ini diliput dari pondok
pesantren! Ya, itu sebuah nilai lebih dari buku ini.Diksinya kaya dan hiperbolis.
Tidak stuck dengan kata-kata biasa.Namun, gua akan memberikan sedikit kritik atau bisa juga suatu komentar agar nantinya bisa lebih bagus lagi. dalam cara dia menyampaikan suatu permasalahan, I think, gak terlalu memikat pembaca [khususnya gua:]. Kalimatnya terlampau teoritis, berlebihan dalam menyampaikan petuahnya. Gaya penulisan
buku ini mirip dengan ’9 MATAHARI’ yang dikarang oleh Adenita.
Sama, based from true story dirinya. gayanya sama2 kayak wartawan. Yang satu wartawan media massa [tempo:], yang satu lagi wartawan televisi [SCTV:]. So, gua jadi kurang fokus dalam menemukan inti yang ingin disampaikan buku ini. Antuciasm gua terhadap buku ini hanya pada pertanyaan di dalam diri gua, “Apa lagi yang bisa gua dapatkan di
Pondok Madani ketika membaca buku ini?”. Lainnya? Nothing. Gua jadi merasa bersalah ketika memaksakan diri untuk menikmati buku ini.Sekilas di beberapa bab yang gua hayati, rasa-rasanya gua kok jadi kayak sedang membaca novel imajinasi bikinannya JK Rowling. Terbayang-bayangnya jadi ke situ. Dari persaingan antar-asrama seperti
Quidditch yang dianalogikan dengan pertandingan akbar sepakbola antar-asrama. Lalu ada aula PM yang mirip banget dengan aula besar Hogwarts. Kemudian guru-guru yang horror seperti Ustad Torik dkk., sistem asrama yang gak beda dengan Prefek. Banyak lagi yang lainnya. Dan yang bikin gua makin yakin dengan pendapat gua adalah, kiai Rais
sebagai pemimpin pondok pesantren ini sama bijaksananya dengan Profesor Dumbledore. It’s not good, mate.Ya, ya. Penulis mungkin memang pure gak nyontek buku Harpot, tapi kenyataan yang gua jabarkan di atas tadi bukanlah hal baik. Jadi terkesan following, gitu loh.Dan malah jadi lebih mirip Laskar Pelangi pas Baso yang jenius dalam
matematik & penghafal Quran itu berhenti bersekolah DENGAN ALASAN ingin menghidupi keluarganya yang tersisa. Lintang bangeeeeets!Nevertheless, yang patut dibanggakan dari buku anak minang ini, ia memang punya ruh dan nafas religi [akhirat:] dan sekaligus nasionalism [dunia:] yang kuat. Balans. Dan sama sekali tidak ada niat egois dari
penulis. Thumb up!!!Mohammad Faiz HidayatullohOctober 26, 2011Resensi Buku "Negeri 5 Menara"IDENTITAS:Judul : Negeri 5 MenaraPengarang : Ahmad FuadiPenerbit : GramediaTahun : 2009Jumlah halaman: 432SINOPSIS:Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah
berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie.
Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding
mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang,
mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing.
Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka?
Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.Bagaimana perjalanan mereka ke ujung dunia ini dimulai? Siapa horor nomor satu mereka? Apa pengalaman mendebarkan di tengah malam buta di sebelah sungai tempat jin buang anak?
Bagaimana sampai ada yang kasak-kusuk menjadi mata-mata misterius?
Siapa Princess of Madani yang mereka kejar-kejar? Kenapa mereka harus botak berkilat-kilat? Bagaimana sampai Icuk Sugiarto, Arnold Schwarzenegger, Ibnu Rusyd, bahkan Maradona sampai akhirnya ikut campur? Ikuti perjalanan hidup yang inspiratif ini langsung dari mata para pelakunya. Negeri Lima Menara adalah buku pertama dari sebuah
trilogi.KESIMPULAN:Di dalamn novel "Negeri 5 Menara" ini, anda akan diajak untuk menjelajahi kehidupan di sebuah pondok pesantren dengan segala kebiasaan yang ada. Novel ini juga sangat bermanfaat dan sarat akan pesan-pesan dan makna religius.September 17, 2009Sampulnya keren, itu yang terpikir waktu melihat tumpukan buku di depan
eskalator Gramedia Matraman. Niat awal membeli Arok Dedes nya Pramudya malah mendapat tambahan buku ini. Sekilas membaca sinopsis pada sampul belakang, saya langsung membayangkan cerita laskar pelangi.
Dan kerika saya lihat halaman awal, bahwa buku ini baru terbitan pertama, saya langsung membelinya. Cerita negeri 5 menara dibuka dengan deskripsi detil tentang situasi Washington DC.
Ahmad Fuadi berkisah dengan cara kilas balik sedari ia lulus SMA sampai ragam kehidupan di Pesantren Madani. Kisahnya sendiri saya akui bagus sekali menggambarkan kehidupan pesantren Gontor yang menerapkan pendidikan agama secara modern.
Tidak ekslusif atau jumud terhadap dunia luar, tidak mengajarkan ajaran ekstrim ataupun tidak berburuk sangka terhadap kemajuan jaman. Saya yang orang awam tentang kehidupan pesantren mendapat gambaran jelas tentang pelajaran apa saja yang didapat disana sekaligus suasana sehari-hari.
Mulai dari metode pelajaran bahasa ala Gontor (yang diubah menjadi pesantren Madani di buku ini), sampai menu favorit para santri disana.Bahkan para alumnus pesantren mungkin akan teringat masa -masa di pesantren terdahulu. Tambahan lagi, buku ini yang awalnya saya kira seperti Laskar Pelangi ternyata lebih baik dalam beberapa
hal.Pertama, rangkaian ceritanya dibuat runut dan penggambaran situasinya dibuat rapi dan tidak hiperbolis. Kedua, Penulis mengakui bahwa cerita ini diilhami, bukan merupakan kisah yang benar-benar nyata. Mungkin tidak ingin mengulangi polemik yang ditimbulkan kesuksesan Laskar Pelangi.Sedang sisi yang kurang dari buku ini menurut saya
adalah tidak dikembangkannya cerita masing2 siswa setelah lulus dari pesantren. Rangkaian kilas balik juga terlalu mendominasi cerita di buku. Saya ingat dari pembacaan saya, ada 3 kali penulis menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Pada pembukaan cerita, lalu di tengah2 ketika penerbangan trans atlantik, dan terakhir di Trafalgar Square.
Mungkin memang dari awal buku ini difokuskan pada kehidupan pesantren. Dan hal itu tidak memenuhi harapan saya ketika melihat sampul buku ini, yang berharap akan dibawa penulis keliling dunia dengan melihat gambar 5 menara dari 5 negeri.October 30, 2013“MAN JADDA WA JADDA”Judul : Negeri 5 Menara Penulis : A.FuadiPenerbit :
Gramedia Kota Terbit : JakartaTahun Terbit : 2009Jumlah Halaman : 423ISBN : 978-979-22-4861-6 Keinginan yang tak sampai pastilah sangat menyakitkan hati. Itulah yang dirasakan Alif. Saat, keinginannya melanjutkan sekolahnya di SMA ditentang oleh sang ibu. Ibunya menghehdakinya untuk belajar agama agar bisa menjadi Buya Hamka. Itu
sangat berlainan dengan hati kecil alif yang sejak dulu bercita-cita ingin menjadi seperti Habibie. Akhirnya dengan berat hati dia mengikuti perintah ibunya untuk belajar di pondok. Alif yang selama hidupnya tidak pernah menginjak tanah diluar ranah Minangkabau kini harus merantau menuju desa di pelosok Jawa Timur. Dihari pertama di Pondok
Madani, Alif terkesima dengan “mantera” sakti Man Jadda Wa Jadda, Siapa yang bersungguh- sungguh pasti sukses yang diucapkan Ustadz Salaman saat mengajar. Mantera itu dijadikan alif sebagai motivasi untuk bisa menjadi orang sukses dan menyemangatinya saat dia patah semangat mengetahui Randai teman akrabnya di kampung halaman
melanjutkan studinya di SMA yang dulu ia idam-idamkan. Di PM dia berteman dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajjid dari Sumenep, Atang dari Bandung, dan Baso dari Gowa. Mereka sering disebut sebagai Sahibul Menara, karena sering mereka menunggu maghrib dibawah menara masjid. Mereka mempunyai mimpi yang tinggi,
menatap awan yang berarak ke ufuk, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian mereka masing-masing, mereka yakin suatu hari impian mereka akan terwujud. “Jangan takut punya mimpi yang tinggi karena Allah akan mendengar itu”. Novel karya A. Fuadi ini begitu inspiratif. Bercerita tentang impian, cobaan, dan persahabahan
yang merupakan pengalaman pribadi penulis di Pondok Modern Gontor. Semua itu dikemas begitu apik menjadi sebuah cerita yang sarat akan hikmah. Dengan diselingi sedikit cerita cinta dan humor khas pondok novel ini menjadi semakin menarik. Novel ini patut untuk dibaca terutama bagi orang-orang yang punya mimpi yang tinggi akan
menambah motivasi untuk meraihnya. ^_^ @tc Displaying 1 - 30 of 1,249 reviewsGet help and learn more about the design. You're Reading a Free Preview Page 2 is not shown in this preview.

You might also like