Diversitas Semut (Hymenoptera, Formicidae) Di Beberapa Ketinggian Vertikal Di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 80

DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE)

DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN


CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

MEIRY FADILAH NOOR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRACT

MEIRY FADILAH NOOR. Species Richness and Distribution Pattern of Ants


(Hymenoptera,Formicidae) in Different Altitude at Telaga Warna Nature
Conservation, West Java. Supervised by of BAMBANG SURYOBROTO and
RIKA RAFFIUDIN

The ants, Formicidae is one of the largest family in the Order


Hymenoptera and is known to be the most abundance and diverse animal in
ecosystems. Formicidae consist of 15 000 species worldwide of which 296 genera
and 16 subfamilies exist. There is limited study on ant diversity and distribution in
higher altitude such as Telaga Warna Nature Conservation (Cagar Alam Telaga
Warna = CATW), West Java. This area is a suitable site for comparing ants
species richness between undisturbed and disturbed areas i.e. the tea plantation
and recreation area at the forest border. Hence, the aims of this study were to
examine (1) the relationship between ant species richness and four altitudinal
gradients (1500, 1600, 1700, and 1900 m asl), (2) the relationship between ants
species richness and habitat disturbance at two elevation (1400 and 1500 m for tea
plantation and Telaga Warna Recreation Area, respectively), and (3) the ants
distribution along all elevation in CATW. Ants were collected by using pitfall
traps, bait traps and hand sampling. A total of 46 species in 25 genera and 6
subfamilies were recorded in CATW. The number of ground-dwelling ants
species decreased from 1500 m to 1900 m asl. The decreased number of ants
species at higher elevations might be due to habitat condition i.e. lower
temperature and high humidity. The turnover on most ants species occurred from
1500 m up to 1700 m asl, as shown in ants species composition (50% similarity
community amongst areas). Thus, the range on ants turnover was 0-200 m. The
range and distribution each species might be depended on temperature, humidity
and food sources, except some species on Myrmicinae and Formicinae, Those ants
had important functions in ecosystems as generalized foragers. These was no
significant different in species richness between disturbed and undisturbed area.
However, this study found that Lophomyrmex sp1 was found in the disturbed area.
These ants species richness and compositions on each elevation provides baseline
data which are needed for conservation strategies and environmental monitoring
in the future.

Keywords: foraging, microclimate, tropical forest, conservation


RINGKASAN

MEIRY FADILAH NOOR. Diversitas Semut (Hymenoptera,Formicidae) di


Beberapa Ketinggian Vertikal di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat.
Dibimbing oleh BAMBANG SURYOBROTO, RIKA RAFFIUDIN

Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan kelompok hewan Avertebrata


yang berdasarkan jumlah keanekaragaman jenis, sifat biologi dan ekologinya
sangat penting. Perilaku sosial semut sebagai predator, pengurai dan herbivor
dalam ekosistem telah menjadi subjek intensif yang menarik untuk diteliti dalam
segala aspek. Selain itu, semut dapat pula dijadikan sebagai indikator biologi
terhadap perubahan lingkungan karena relatif mudah dikoleksi, biomassa
dominan, taksonomi relatif maju, dan kondisi hidup yang sensitif pada perubahan
lingkungan. Dengan demikian, semut dapat digunakan untuk membantu
memahami kaidah ekologi, biomonitoring untuk tujuan konservasi dan
pengelolaan kawasan.
Namun di kawasan konservasi, khususnya di Indonesia masih sedikit
informasi mengenai keragaman semut. Hal ini dimungkinkan dari kurangnya
tanggapan terhadap pentingnya peran semut. Selain itu, penelitian keragaman
semut di Indonesia sebagian besar dilakukan oleh peneliti yang berasal dari luar
Indonesia.
Indonesia memiliki hutan yang sangat luas dengan mencapai 102 hektar.
Umumnya hutan di Indonesia termasuk hutan tropis dengan kekayaan keragaman
hayati, salah satunya hutan pegunungan. Cagar Alam Telaga warna (CATW) Jawa
Barat merupakan hutan pegunungan yang dijadikan kawasan konservasi. CATW
memiliki ketinggian tempat yang bervariasi dari ±1400 m sampai ±1800 m dpl.
Kawasan konservasi ini baik biota maupun fisiknya masih asli dan belum
mendapat gangguan dari manusia. Namun hal ini belum dibuktikan berdasarkan
keberadaan semut yang sensitif terhadap aktifitas manusia dan perubahan
lingkungan. Oleh karena itu, landasan taksonomi, khususnya dalam memahami
keragaman semut perlu dikuasai. Dasar penelitian ekologi dan taksonomi semut
sangat bermanfaat untuk arah pengelolaan kawasan dalam mencapai keberlanjutan
lingkungan, khususnya di sekitar kawasan konservasi CATW Jawa Barat.
Keragaman semut di hutan tropis umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor
diantaranya ketinggian tempat. Pengurangan keragaman semut berdasarkan
ketinggian tempat terjadi di dataran tinggi, sebaliknya di dataran rendah
mengalami peningkatan. Hal ini kemungkinan karena adanya suatu perubahan
peran dalam ekosistem. Selain itu struktur dan pola perubahan spesies dapat
dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya perilaku predasi, pemilihan kelembaban,
pemilihan temperatur, topografi, tempat bersarang dan ketersediaan makanan,
kuantitas dan kualitas serasah, serta struktur dan komposisi tanaman. Peran semut
umumnya digantikan oleh Artropoda lain. Kumbang Carabidae dan kumbang
penggerek diduga sebagai pengganti peran semut di tempat yang tinggi. Untuk
mengetahui perubahan peran dalam ekosistem maka perlu diketahuinya
keberadaan semut pada ketinggian tempat tertentu.
Metode pengkoleksian untuk mengukur keragaman semut pada penelitian ini
dilakukan dengan tiga cara, yaitu perangkap sumuran (PSM), perangkap umpan
dan pengambilan langsung secara manual. Berdasarkan kondisi topografi CATW,
sampel semut dikoleksi pada rentang ketinggian 1400, 1500, 1600, 1700 dan 1900
m dalam plot berukuran 10 m x 10 m. Tiap plot diletakkan 10 gelas PSM dengan
jarak antar gelas 2 x 2.5 m. dan sepasang perangkap umpan (sarden dan gula) di
tengah PSM. Sedangkan pengambilan manual dilakukan dengan meneluri dalam
plot. Sampel yang telah dikoleksi dimasukkan dalam tabung film berisi alkohol
70% dan diberi label. Selanjutnya sampel dibawa ke laboratorium untuk dilakukan
pemilahan dan identifikasi.
Hasil identifikasi yang didapat selanjutnya dilakukan perhitungan jumlah
spesies dan jumlah individu. Untuk mengantipasi kesalahan dalam
memperhitungkan kekayaan spesies data dianalisis dengan program EstimateS
75.2 (Abudance-based Coverage Estimator-ACE). Sedangkan indeks keragaman
dihitung dengan menggunakan rumus indeks Shannon dan Simpson. Perpindahan
spesies dari dua ketinggian tempat yang berbeda diukur dengan indeks Sorensen.
Serta perbedaan nilai tengah dari habitat cagar alam, taman wisata dan kebun teh
dilakukan dengan uji Beda Nyata Terkecil Fisher.
Hasil perhitungan keragaman semut di kawasan CATW Jawa Barat sudah
cukup tergambarkan berdasarkan tiga metode pengkoleksian. Hal ini sesuai
dengan perhitungan ACE, dimana total nilai ACE mencapai 90.14%. Namun data
ini tidak dapat dibandingkan dengan penelitian inventarisasi semut di wilayah
yang dekat dengan CATW yaitu Kebun Raya Bogor dimana total kekayaan
spesies mencapai 216 spesies dan 61 genus. Hal ini dikarenakan penelitian
tersebut dilakukan dengan berbagai tipe pengkoleksian dalam waktu yang lama.
Untuk itu, pengambilan sampel yang kontinu dengan berbagai metode
pengkoleksian perlu dilakukan dalam penelitian selanjutnya. Dengan demikian
spesies yang terkoleksi dapat menggambarkan keseluruhan semut yang terdapat di
CATW.
Keragaman semut di CATW berdasarkan jumlah spesies dipengaruhi oleh
ketinggian tempat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penurunan jumlah spesies
dari ketinggian tempat 1500 m sampai 1900 m. Penurunan keragaman semut
terjadi diduga karena kondisi lingkungan baik temperatur dan kelembaban tidak
memungkinkan semut beraktifitas dan berkembang baik. Seperti spesies pada
subfamili Dolichoderinae dan Ponerinae yang terkoleksi hanya mencapai
ketinggian 1600 m dan 1700 m.
Subfamili Dolichoderinae yang hanya terkoleksi sampai ketinggian 1600 m
diduga karena kelimpahan terbatas pada dataran rendah dan lingkungan yang
cenderung hangat. Sehingga Dolichoderinae mengalami penurunan bersamaan
dengan peningkatan ketinggian tempat. Begitu pula dengan subfamili Ponerinae
yang ditemukan sampai di ketinggian 1700 m. Dengan demikian, dapat diduga
terjadinya suatu pertukaran peran Ponerinae sebagai predator oleh Artropoda lain.
Adapula pada beberapa spesies dari subfamili Formicinae dan Myrmicinae
dapat terkoleksi sampai ke ketinggian 1900 m. Adapun spesies tersebut termasuk
dalam genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium. Keberadaan Paratrechina,
Pheidole dan Tetramorium yang mencapai ketinggian tempat 1900 m diduga
karena adanya kemampuan bertahan dan mampu memperluas area mencari makan
sampai ke kondisi yang ekstrem. Kondisi lingkungan di 1900 m dengan
temperatur udara minimal mencapai 18oC dan kelembaban mencapai 100 %.
Kemampuan beraktifitas ketiga genus ini diduga adanya suatu invasif, maka dapat
dikategorikan sebagai kelompok tramps. Kelompok tramps adalah semut yang
memiliki kemampuan menyebar diberbagai tipe habitat.
Namun pada subfamili Cerapachynae dan Pseudomyrmicinae hanya
terkoleksi satu spesies dan satu individu. Spesies Cerapachynae yaitu Cerapachys
hanya terkoleksi di ketinggian 1600 m. Sedangkan spesies pada
Pseudomyrmicinae yaitu Tetraponera hanya terkoleksi di ketinggian 1500 m.
Sulitnya pengkoleksian ini diduga karena kebiasaan Cerapachys dalam mencari
makan dengan mengirim satu pengintai (scout). Sedangkan Tetraponera hanya
mampu hidup arboreal di kondisi lingkungan yang hangat.
Mikroiklim lingkungan seperti temperatur dan kelembaban diduga
mempengaruhi keragaman semut. Pada ketinggian tempat yang tinggi umumnya
temperatur rendah dan kelembaban tinggi. Temperatur yang rendah dan
kelembaban yang tinggi akan mengurangi aktifitas dan wilayah pencarian makan
semut. Kelembaban yang mencapai kondensasi 100% menyebabkan tanah tertutup
dengan embun air (bila kelembaban tanah lebih dari 80%). Semut yang berukuran
kecil pada kelompok Decetine (Strumygenys dan Smithistruma) akan mudah
terperangkap air. Strumygenys yang hanya ditemukan pada ketinggian 1500 m
diduga tidak mampu memperluas area pencarian makan. Namun pada
Smithistruma ditemukan di ketinggian 1700 m. Kemampuan Smithistruma
mencari makan yang diduga sampai ke atas kanopi tanaman mempermudah
Smithistruma terkoleksi secara manual di batang pohon. Dengan demikian kondisi
lingkungan yang ekstrem akan mengurangi kemampuan beberapa spesies untuk
berpindah tempat mencari makanan.
Kemampuan semut berpindah tempat dapat terukur dengan indeks Sorensen.
Indeks Sorensen yang dipersentasekan mencapai lebih dari 50% memiliki
kesamaan komposisi spesies di kedua ketinggian tempat yang dibandingkan. Bila
kurang dari 50% menunjukkan adanya perbedaan fauna spesies semut di kedua
ketinggian tempat (β-diversity) yang dibandingkan. Berdasarkan analisis,
kesamaan spesies yang mencapai 50 % atau lebih terdapat pada selisih rentang
ketinggian di 0-200 m. Selisih tersebut terdapat dari ketinggian tempat 1500 m
sampai mencapai 1700 m. Sedangkan di ketinggian 1900 m yang dibandingkan
dengan ketinggian lainnya tidak memiliki kesamaan spesies mencapai 50 %. Hal
ini diduga karena kondisi abiotik berupa kelembaban dan temperatur di tiap lokasi
pada rentang tersebut (200 m) tidak jauh berbeda. Walaupun kelembaban di 1700
m dapat mencapai 100%, bila terdapat sumber makanan yang melimpah maka
beberapa spesies semut mampu memperluas jelajah pencarian makan ke wilayah
yang lebih dingin.
Keberadaan semut di Kawasan CATW tidak dipengaruhi aktifitas manusia.
Penggunaan lahan perkebunan dan pariwisata di sekitar Kawasan CATW dapat
dijadikan sebagai tempat bernaung dan mencari makan oleh spesies-spesies
semut. Seperti halnya pada spesies genus Olygomyrmex, Rhoptromyrmex dan
Tetraponera yang berkemampuan mencari makan di lingkungan yang hangat.
Namun lingkungan yang dipengaruhi manusia ini dapat juga menguntungkan
spesies tertentu seperti Lophomyrmex sp1 yang hanya ditemukan di perkebunan
teh dan taman wisata. Kelimpahan individu Lophomyrmex sp1 menunjukkan
adanya dominansi yang diduga adanya suatu adaptasi dengan gangguan manusia.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penenlitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE)
DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN
CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

MEIRY FADILAH NOOR

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Tesis : Diversitas Semut (Hymenoptera:Formicidae) di Beberapa
Ketinggian Vertikal di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna
Jawa Barat
Nama : Meiry Fadilah Noor
NIM : G351050091

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Bambang Suryobroto Dr. Ir. Rika Raffiudin, M.Si


Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Pascasarjana


Biologi

Dr. Dedy Duryadi Sholihin DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:


8 Juli 2008 12 September 2008
KARYA ILMIAH INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK
AYAHANDA DAN IBUNDA TERCINTA
PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena Rahmat
dan Berkat-Nya penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan
syarat untuk mendapatkan gelar Magister di Institut Pertanian Bogor. Adapun
judul penelitian ”Diversitas Semut (Hymenoptera:Formicidae) di Beberapa
Ketinggian Vertikal di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat.”
Penelitian ini dilaksanakan di sekitar kawasan Cagar Alam yang terletak di
kampung Lokapurna, Desa Gunung Sari, Kecamatan Cibungbulang, Jawa Barat
dengan total luas daerah sampling 368.25 hektar. Penelitian ini dilakukan dari
bulan Mei 2007 sampai dengan April 2008. Sedangkan pengambilan sampel
dilakukan dari bulan Mei sampai Juli 2007 dan pemilahan serta identifikasi dari
bulan Agustus 2007 sampai dengan April 2008.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Bambang Suryobroto dan Dr.
Rika Raffiudin, M.Si selaku pembimbing serta Dr. Rosichon Ubaidillah DIC
Mphil selaku penguji luar komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga
ditujukan kepada Ahmad Rizali, M.Si yang telah memberi saran, serta Puji
Aswari, B.Sc, Wara Asfiya, S.Si dan staf LIPI Cibinong dalam membantu
penyelesaian identifikasi. Di samping itu, penghargaan juga ditujukan kepada Ir.
Agus Mulyana selaku sub-seksi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Jawa Barat II beserta Ukar Sukarso dan Dikdik Suryadi selaku stafnya yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta pihak-pihak yang membantu dan
mendukung dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2008


Meiry Fadilah Noor
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Mei 1980 sebagai anak kedua
dari pasangan (Alm) Ulil Azmi Noor dan Nurhaida Hs. Riwayat Pendidikan pada
tahun 2008 telah penulis tempuh dalam mendapatkan gelar sarjana di Program
Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung, dan lulus pada tahun 2003. Adapun judul karya ilmiah yang ditulis
sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana adalah “Perbandingan Morfometri dan
Kariotip Karang Mushroom di Kepulauan Krakatau dengan Pulau Tegal.”
Pada tahun 2005 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan ke
program studi Biologi Pascasarjana IPB. Pada saat itu penulis telah bekerja di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tenaga pengajar. Selama mengikuti
program S2, penulis pernah menjadi asisten Studi Lapang (SL) pada tahun 2006
dengan judul “Keanekaragaman Artropoda di Wana Wisata Cangkuang Cidahu
Sukabumi” dan tahun 2007 dengan judul “Keanekaragaman Artropoda Tanah di
Wana Wisata Cangkuang Sukabumi”. Pada tahun 2008 penulis pernah menjadi
pemakalah pada Seminar Nasional V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga
untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan judul “Diversitas
Formicidae di Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat. Materi yang penulis
sampaikan pada seminar nasional tersebut merupakan progress report dari karya
ilmiah penulisan akhir program S2.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
Manfaat Penelitian ............................................................................... 3
2 KERAGAMAN SEMUT (INSECTA:HYMENOPTERA) BERDASARKAN
KETINGGIAN DI CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT
Pendahuluan .......................................................................................... 4
Bahan dan Metode ................................................................................ 5
Hasil ...................................................................................................... 6
Pembahasan .......................................................................................... 9
Kesimpulan ........................................................................................... 12

3 KERAGAMAN SPESIES SEMUT (INSECTA:HYMENOPTERA) PADA


EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN CAGAR ALAM TELAGA
WARNA JAWA BARAT
Pendahuluan .......................................................................................... 13
Bahan dan Metode ................................................................................ 14
Hasil ...................................................................................................... 14
Pembahasan .......................................................................................... 15
Kesimpulan ........................................................................................... 17

4 DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN RELATIF SPESIES SEMUT DI


CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT
Pendahuluan .......................................................................................... 18
Bahan dan Metode ................................................................................ 19
Hasil ...................................................................................................... 19
Pembahasan .......................................................................................... 21
Kesimpulan ........................................................................................... 47

5 PEMBAHASAN UMUM ........................................................................... 49

6 SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 53

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 54


DAFTAR TABEL

Halaman

1 Total kekayaan spesies Formicidae pada tiap ketinggian tempat di CATW 7

2 Indeks kesamaan Sorensen antar dua ketinggian tempat ............................. 8

3 Perbandingan keragaman spesies pada dua habitat di ketinggian yang berbeda


...................................................................................................................... 15

4 Persentase semut dalam tiap subfamili yang dikoleksi secara kumulatif dengan
PSM, perangkap umpan dan manual di kawasan CATW ........................... 20
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Penyebaran spesies Formicidae (●) menggunakan tiga tipe metode koleksi di


kawasan CATW .......................................................................................... 8

2 Penurunan temperatur udara dan tanah serta peningkatan kelembaban udara


di berbagai ketinggian tempat di kawasan CATW ...................................... 9

3 Jumlah spesies semut pada subfamili di Kawasan CATW berdasarkan


ketinggian tempat ........................................................................................ 20

4 Cerapachys sp1 (a) Duri-duri tebal pada ujung hypopygium, (b) habitus
sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .................................................... 22

5 Dolichoderus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 23
6 Dolichoderus sp2: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 23
7 Dolichoderus sp3: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 23
8 Leptomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 24
9 Technomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan . 25
10 Paratrechina sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 27
11 Paratrechina sp2: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 27
12 Paratrechina sp3: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 27
13 Polyrachis sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ...................................................................................................... 28
14 Polyrachis sp2: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ...................................................................................................... 28
15 Polyrachis sp3: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ..................................................................................................... 28
16 Polyrachis sp4: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ...................................................................................................... 29
17 Polyrachis sp5: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ..................................................................................................... 29
18 Pseudolasius sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ..... 30
19 Cardiocondyla sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan . . 31
20 Crematogaster sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) gaster ...................................................................................................... 31

21 Lophomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .. 33
22 Monomorium sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 33
23 Monomorium sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ... 33
24 Myrmicaria sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ....... 34
25 Myrmicina sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........ 34
26 Myrmicina sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ...... 35
27 Olygomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .. 35
28 Pheidole sp1 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
29 Pheidole sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
30 Pheidole sp3 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
31 Pheidole sp4 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
32 Pheidole sp5 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
33 Pheidole sp6 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 37
34 Rhoptromyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 38
35 Smithistruma sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 39
36 Smithistruma sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ... 39
37 Strumygenys sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ..... 40
38 Tetramorium sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ..... 40
39 Tetramorium sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 40
40 Tetramorium sp3 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 40
41 Anochetus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ......... 42
42 Odontomachus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .. 43
43 Leptogenys sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) claw ........................................................................................................ 44
44 Leptogenys sp2 : (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) claw ........................................................................................................ 44
45 Leptogenys sp3 : (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) claw ........................................................................................................ 44
46 Odontoponera sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .. 45
47 Pachycondyla sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan dan
(c) mandibula ................................................................................................ 46
48 Pachycondyla sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan dan
(c) mandibula ................................................................................................ 46
49 Tetraponera sp1: (a) habitus sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) claw ........................................................................................................ 47
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel semut .......................................... 60


2 Posisi peletakkan perangkap umpan dan PSM, ( )untuk perangkap umpan
sedangkan ( ) untuk PSM dalam Plot ....................................................... 61
3 Kondisi lingkungan di tiap ketinggian tempat ........................................... 62
4 Spesies semut yang terkoleksi di empat ketinggian tempat ....................... 63
5 Spesies semut yang terkoleksi di perkebunan teh, taman wisata dan cagar alam
pada dua ketinggian tempat ........................................................................ 64
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan kelompok hewan yang


berdasarkan jumlah keragaman jenis, sifat biologi dan ekologinya sangat penting.
Perilaku sosial semut sebagai predator, pengurai dan herbivor dalam ekosistem
telah menjadi subjek intensif yang menarik untuk diteliti dalam segala aspeknya
(Hölldobler & Wilson 1990). Selain itu, semut dapat pula dijadikan sebagai
indikator biologi terhadap perubahan lingkungan karena relatif mudah dikoleksi,
biomassa dominan, taksonomi relatif maju, dan kondisi hidup yang sensitif pada
perubahan lingkungan (Alonso & Agosti 2000). Dengan demikian, semut dapat
digunakan untuk membantu memahami kaidah ekologi, biomonitoring untuk
tujuan konservasi dan pengelolaan kawasan (Agosti et al. 2000).
Namun di kawasan konservasi, khususnya di Indonesia masih sedikit
informasi mengenai keragaman semut. Hal ini dimungkinkan dari kurangnya
tanggapan terhadap pentingnya peran semut. Selain itu, adanya tanggapan negatif
dalam sulitnya memperhitungkan kekayaan spesies (Robertson 2000). Salah satu
data keragaman yang sangat dini telah dilakukan di kawasan konservasi di Pulau
Jawa yaitu Kepulauan Seribu yang mengungkapkan 48 spesies (Rizali 2006).
Selain itu, penelitian inventarisasi keragaman semut telah dilakukan Ito et al.
(2001) di dalam Kebun Raya Bogor Jawa Barat, yang mendapatkan keragaman
semut dengan 216 spesies.
Keragaman semut di hutan tropis umumnya dipengaruhi oleh banyak faktor
diantaranya ketinggian tempat. Pengurangan keragaman semut berdasarkan
ketinggian tempat terjadi di dataran tinggi, sebaliknya di dataran rendah
mengalami peningkatan (Brown 1973). Penurunan ini dibuktikan dengan Araưjo
dan Fernandes (2003) berdasarkan pola ketinggian tempat dan variasi habitat di
Gunung Espinhaco Brazil. Hasil penelitian Araưjo dan Fernandes (2003)
menunjukkan adanya penurunan jumlah spesies dari 800 m sampai 1500 m.
Begitu pula dengan Brühl et al. (1999) melaporkan bahwa jumlah spesies dan
individu semut serasah daun di Gunung Kinibalu Sabah Malaysia mengalami
pengurangan. Pengurangan semut ini terjadi dari ketinggian tempat 560 m sampai
2600 m.
Penurunan keragaman semut pada dataran tinggi kemungkinan karena
adanya suatu perubahan peran dalam ekosistem. Selain itu struktur dan pola
perubahan spesies dapat dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya perilaku predasi
(Kaspari 1996; Hirosawa et al. 2000), pemilihan kelembaban (Kaspari 1996),
pemilihan temperatur (Bestelmeyer 2000), topografi (Vasconcelos et al. 2003),
tempat bersarang dan ketersediaan makanan (Herbers 1989; Byrne 1994; Kaspari
1996b), kuantitas dan kualitas serasah (Kaspari 1996a), serta struktur dan
komposisi tanaman (Wilson 1958; Gadagkar et al. 1993; Bestelmeyer & Wiens
2001). Peran semut umumnya digantikan oleh Artropoda lain (Darlington 1971).
Penelitian Olson (1994) mengenai keragaman Avertebrata serasah di Panama,
menunjukkan kumbang Carabidae dan kumbang penggerek mengalami
peningkatan keragaman dan semut mengalami penurunan keragaman pada dataran
tinggi. Untuk mengetahui perubahan peran dalam ekosistem maka perlu
diketahuinya keberadaan semut pada ketinggian tempat tertentu.
Cagar Alam Telaga Warna (CATW) Jawa Barat adalah kawasan hutan tropis
yang memiliki ketinggian bervariasi dari ±1400 m sampai ±1800 m dpl (Meijer
1959). CATW dikategorikan sebagai cagar alam dan kawasan konservasi karena
didalamnya terdapat kekhasan berupa telaga sebagai penyangga kehidupan di
sekitarnya. Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kondisi
CATW baik biota maupun fisik masih asli dan belum mendapat gangguan dari
manusia (Dephut 2002). Namun hal ini belum dibuktikan berdasarkan keberadaan
semut yang sensitif terhadap aktifitas manusia dan perubahan lingkungan. Dengan
demikian, landasan taksonomi, khususnya dalam memahami keragaman semut
perlu dikuasai. Dasar penelitian ekologi dan taksonomi semut sangat bermanfaat
untuk arah pengelolaan kawasan dalam mencapai keberlajutan lingkungan,
khususnya di sekitar kawasan konservasi CATW Jawa Barat.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk; (1) Mempelajari pola keragaman semut


berdasarkan perbedaan ketinggian, dengan studi kasus empat rentang ketinggian
di kawasan CATW Jawa Barat, masing-masing 1500, 1600, 1700 dan 1900 m, (2)
Mengkaji pengaruh perubahan habitat akibat aktifitas manusia terhadap kekayaan
semut, dan (3) Mempelajari keragaman dan penyebaran spesies semut
berdasarkan rentang ketinggian tempat di kawasan CATW Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat pada penelitian ini adalah untuk; (1) Memberikan


informasi pola penyebaran semut berdasarkan ketinggian tempat, (2) Memberikan
pemahaman peran semut di kawasan CATW Jawa Barat; dan (3) Memberikan
informasi kekayaan spesies semut untuk pemeliharaan dan pelestarian keaslian
kawasan konservasi CATW Jawa Barat.
BAB II
KERAGAMAN SEMUT (INSECTA: HYMENOPTERA)
BERDASARKAN KETINGGIAN
DI CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

PENDAHULUAN

Semut merupakan kelompok serangga yang sukses tersebar di seluruh dunia


(Triplehorn & Johnson 2005). Beberapa catatan mengungkapkan bahwa semut
tersebar di delapan daerah zoogeografi yaitu Palearctic, Afrotropical, Malagasy,
Oriental, Indo-Australia, Australian, Neartic, dan Neotropical (Bolton 1994).
Daerah tropis memiliki keragaman spesies semut yang tinggi dan keragaman
tersebut dapat menurun secara drastis pada peningkatan garis lintang (Agosti et al.
2000). Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang kaya
keragaman semut, namun penelitian semut masih sangat kurang. Adapun
penelitian yang telah dilaksanakan umumnya dilakukan oleh peneliti asing (Ito et
al. 2001, Yamane 1997, Agosti et al. 2000) yang tersebar di beberapa jurnal
ilmiah..
Kekayaan semut di hutan tropis dan subtropis dipengaruhi oleh ketinggian
tempat. Pada dataran tinggi, semut umumnya mengalami penurunan kekayaan
spesies dan individunya, dan sebaliknya pada dataran rendah kekayaan spesies
semut umumnya tinggi (Brown 1973). Bukti tersebut dikuatkan oleh penelitian
Araưjo dan Fernandes (2003) di Gunung Espinhaco Brazil. Begitu pula dengan
laporan Brühl et al. (1999) yang menegaskan bahwa terjadi penurunan jumlah
spesies dan individu semut serasah daun di Gunung Kinibalu Sabah Malaysia.
CATW merupakan kawasan hutan tropis yang memiliki topografi
bergelombang dengan ketinggian bervariasi dari ±1400 m sampai ±1800 m dpl
(Meijer 1959). Berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menyatakan bahwa kondisi CATW masih asli dan belum mendapat gangguan dari
manusia (Dephut 2002). Pendataan keragaman flora dan fauna besar di CATW
sebagian besar telah tercatat. Seperti, pendataan vegetasi di CATW umumnya
berupa tumbuhan puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea) liana,
epifit dan lain-lain. Sedangkan, satwa yang mendiami cagar alam ini berupa
tekukur (Streptopelia chinensis), puyuh (Turnix suscitator), kadanca (Ducula sp.),
walet (Collocalia maxima) dan lain-lain. Namun, pendataan serangga khususnya
pada ordo Hymenoptera famili Formicidae belum pernah dilakukan. Oleh karena
itu, CATW merupakan lokasi yang strategis untuk mempelajari pola keragaman
semut berdasarkan ketinggian tempat dan pola distribusinya.

BAHAN DAN METODE

Pengambilan sampel semut dilakukan di ketinggian tempat yang berbeda.


Hasil survei lokasi didapatkan empat rentang ketinggian tempat. Pada tiga rentang
ketinggian tempat yaitu; 1500, 1600 dan 1700 m dpl dilakukan pengambilan
sampel semut dengan dua lokasi. Sedangkan rentang ketinggian tempat di 1900
m, pengambilan sampel semut dilakukan dengan satu lokasi. Tiap lokasi dibuat
plot berukuran 10 x 10 m.
Untuk mengevaluasi kekayaan spesies semut, pada setiap plot dilakukan
pengambilan contoh semut dengan metode pengambilan secara manual (Delabie
et al. 2000), perangkap umpan (Agosti et al. 2000) serta perangkap sumuran
(PSM). Lama pengambilan contoh secara manual untuk satu plot berkisar 30
sampai 1 jam dalam 2 x 24 jam. Waktu pengambilan sampel secara manual ini
sudah cukup mendapatkan semut kecil (cryptic) yang hidup di bawah serasah dan
permukaan tanah (Bestelmeyer et al. 2000). Sedangkan lamanya peletakkan
perangkap umpan dan PSM selama 2 kali 24 jam. Umumnya waktu peletakkan
perangkap dalam dua hari sudah cukup pula untuk mengkoleksi kelimpahan semut
yang beraktifitas mencari makan di permukaan tanah (Bestelmeyer et al. 2000).
Perangkap umpan dan PSM terbuat dari gelas plastik berukuran 9 cm tinggi,
diameter atas 7,5 cm dan diameter bawah 5 cm yang diisi dengan larutan deterjen
sebagai killing agent (Agosti et al. 2000). Gelas plastik ditanam, sehingga
permukaan atas gelas sejajar dengan permukaan tanah (Borror et al. 1981). Untuk
gelas yang diberi umpan, umpan diletakkan sejumlah ±5 gram di kasa berdiameter
0,1 cm yang menutupi setengah dari permukaan atas gelas.
Pada tiap lokasi 10 PSM dipasang di dalam plot. PSM diletakkan di sisi-sisi
plot dengan jarak antar PSM ±2.5 m. Perangkap umpan pada tiap lokasi
diletakkan sepasang (umpan sarden dan gula) di tengah plot dan PSM. Sedangkan
pengambilan langsung secara manual dilakukan dengan menelusuri dalam plot
(Lampiran 2). Semut yang terlihat, baik di permukaan tanah maupun di batang
pohon diambil.
Semut hasil koleksi dengan tiga metode tersebut setelah 2 x 24 jam
kemudian diambil dan dimasukkan dalam tabung film berisi alkohol 70%. Tabung
film selanjutnya diberi label yang menginformasikan tanggal pengambilan dan
metode pengambilan. Tabung film dibawa ke laboratorium Entomologi Museum
Zoologicum Bogoriense, LIPI untuk dilakukan pemilahan dan identifikasi.
Pemilahan dilakukan untuk memisahkan semut dengan serangga lainnya.
Selanjutnya semut diidentifikasi berdasarkan karakter ukuran, bentuk, dan warna
yang berbeda menggunakan kunci identifikasi dari Bolton (1994) dan dipilah ke
dalam subfamili, genus dan spesies (morfospesies).

HASIL

Total kekayaan spesies di tiap ketinggian tempat dengan menggunakan tiga


metode pengkoleksian ditunjukkan di tabel 1. Kesalahan dalam memperkirakan
kekayaan spesies telah diantisipasi dengan menggunakan asumsi matematika dari
program EstimateS 75.2 Abudance-based Coverage Estimator-ACE (Chao et al.
2000). Berdasarkan hasil pengukuran ACE, persentase spesies semut yang
terambil pada tiap ketinggian tempat dengan yang diprediksikan rata-rata telah
mencapai lebih dari 80% dengan total keseluruhan mencapai 90,14%. Hal ini
menunjukkan bahwa spesies yang terambil telah mendekati keseluruhan spesies
semut yang ada di CATW berdasarkan tiga tipe pengkoleksian.
Keragaman spesies tertinggi dengan menggunakan indeks Shannon terdapat
pada ketinggian 1600 m. Sedangkan keragaman spesies dengan menggunakan
indeks Simpson menunjukkan keragaman tertinggi di 1900 m. Sebaliknya,
keragaman spesies terendah dengan menggunakan indeks Shannon dan Simpson
pada ketinggian 1700 m (Tabel 1).
Tabel 1 Total kekayaan spesies semut pada tiap ketinggian tempat di CATW
Ketinggian Total Spesies Indeks Keragaman
1) 2) 2)
m dpl Sp Obs Sp ACE % H' 1/D
1500 19 22.21 85.55 1.61 3.53
1600 22 27.12 81.12 1.81 3.14
1700 14 15.35 91.21 0.76 1.41
1900 5 5 100 1.43 3.77
1)
Sp Obs = kekayaan spesies Semut dari hasil observasi
2)
Sp ACE = Abudance-based Coverage Estimator, prediksi keseluruhan spesies, % = persentase
spesies hasil observasi dengan spesies hasil prediksi

Perubahan jumlah spesies pada tiap ketinggian tempat terjadi karena adanya
suatu perpindahan spesies karena beberapa faktor diantaranya disebabkan perilaku
predasi (Kaspari 1996; Hirosawa et al. 2000), pemilihan kelembaban (Kaspari
1996), pemilihan temperatur (Bestelmeyer 2000), topografi (Vasconcelos et al.
2003), tempat bersarang dan ketersediaan makanan (Herbers 1989; Byrne 1994;
Kaspari 1996b), kuantitas dan kualitas serasah (Kaspari 1996a), serta struktur dan
komposisi tanaman (Wilson 1958; Gadagkar et al. 1993; Bestelmeyer & Wiens
2001).
Perpindahan sejumlah spesies dianalisis menggunakan indeks kesamaan
Sorensen (Tabel 2). Indeks Sorensen yang dipersentasekan mencapai lebih dari
50% memiliki kesamaan komposisi spesies setengah dari total spesies di kedua
ketinggian tempat tersebut. Bila kurang dari 50% menunjukkan adanya perbedaan
fauna spesies semut di kedua ketinggian tempat (β-diversity). Berdasarkan
analisis, kesamaan spesies yang mencapai 50 % atau lebih terdapat di 1500 m
sampai dengan 1700 m. Sedangkan di ketinggian 1900 m yang dibandingkan
dengan ketinggian lainnya kesamaan spesies tidak mencapai 50 %. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan komposisi spesies antara ketinggian 1900 m
dengan ketinggian lainnya.

Tabel 2 Indeks kesamaan Sorensen antar dua ketinggian tempat


Ketinggian Ketinggian (m dpl)
(m dpl) 1500 1600 1700 1900
1500 - 0.63 0.55 0.33
1600 - 0.56 0.37
1700 - 0.42
1900 -
Jumlah Spesies 100
75
50
25
0

1500 1600 1700 1800 1900


Ketinggian(mdpl)

Gambar 1 Penyebaran spesies semut (●) menggunakan tiga tipe metode koleksi di
kawasan CATW

Hubungan keragaman jumlah spesies yang didapat dari tiga tipe


pengkoleksian dengan ketinggian tempat membentuk garis linear dengan slope
yang negatif (y = 82 – 0.04x). Sedangkan nilai F sebesar 0.08 hanya sedikit
terpaut dari batas signifikan 0.05. Walaupun secara statistik penurunan ini tidak
signifikan, tetapi Gambar 1 menunjukkan bahwa jumlah spesies semakin menurun
bila ketinggian meningkat. Dengan demikian penurunan kekayaan semut terjadi
dari ketinggian tempat di 1500 m sampai dengan ketinggian tempat di 1900 m.

Faktor Abiotik
Rata-rata temperatur udara mengalami penurunan dari 23oC di 1500 m
sampai 18oC di 1900 m. Begitu pula dengan temperatur tanah yang mengalami
penurunan dari 18.75oC di 1500 m sampai 17oC di 1900 m. Temperatur udara dan
tanah ini menunjukkan adanya penurunan bersamaan dengan peningkatan gradien
ketinggian (Gambar 2). Hal ini berbanding terbalik dengan kadar kelembaban
udara dari ketinggian 1500 m sampai 1900 m. Pada ketinggian 1500 m
kelembaban udara mencapai 83.5% sedangkan ketinggian 1900 m mencapai 100
%. Kelembaban udara mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan
gradien ketinggian.
120

100

Temperatur( 0 C), 80
Kelembaban(%) 60
Temperatur Tanah
40
Kelembaban
20

0
1500 1600 1700 1900

K etin g g ia n ( m dpl)

Gambar 2 Penurunan temperatur udara dan tanah serta peningkatan


kelembaban udara di berbagai ketinggian tempat di kawasan CATW

PEMBAHASAN

Kekayaan spesies di tiap ketinggian tempat yang terkoleksi dengan tiga tipe
pengkoleksian dan lamanya pengambilan pada 2 x 24 jam mencapai 90.14%.
Pencapaian pengambilan semut ini telah cukup menggambarkan keberadaan
spesies semut di tiap ketinggian tempat. Namun kekayaan spesies ini belum dapat
menggambarkan total kekayaan spesies di CATW. Bila dibandingkan dengan
penelitian Ito et al. (2001), Kebun Raya Bogor memiliki total kekayaan spesies
mencapai 216 spesies dan 61 genus. Pengkoleksian di Kebun Raya Bogor tersebut
dilakukan dengan berbagai tipe pengambilan. Penambahan spesies akan terus
meningkat bila pengambilan sampel semut dilakukan secara kontinu pada tiap
periode musim dengan berbagai metode pengkoleksian (Wolda 1987). Dengan
demikian perlunya penambahan metode pengkoleksian dan lamanya pengambilan
sehingga dapat menggambarkan keseluruhan spesies semut.
Kekayaan spesies tertinggi dari empat rentang ketinggian tempat terdapat di
1600 m. Spesies semut yang terambil di 1600 m berjumlah 22 dan prediksi ACE
berjumlah 27.12. Tingginya jumlah spesies berbanding lurus dengan indeks
keragaman Shannon. Keragaman spesies yang tinggi di 1600 m diduga karena
keberadaan lokasi plot yang terletak di antara ketinggian 1500 dan 1700 m. Pada
ketinggian 1500 m sebagian besar spesies semut berpindah tempat mencapai 1700
m. Hal ini ditunjukkan dengan 55% spesies di 1500 m sama dengan spesies di
1700 m. Tingginya keragaman spesies di 1600 m yang diapit oleh ketinggian
1500 dan 1700 m diduga karena jenis vegetasi dan keragaman vegetasi di 1600 m
lebih kompleks. Dimana, semakin kompleks vegetasi maka keragaman spesies
baik spesies yang dimangsa maupun predator akan meningkat (Prize 1997).
Begitu pula dengan kondisi mikroiklim seperti temperatur dan kelembaban.
Mikroiklim diduga dapat pula menghambat aktifitas spesies sehingga spesies
tersebut tidak mampu berkembang maupun memperluas wilayah pencarian
makan. Seperti beberapa spesies semut di 1500 m yang terdapat di 1600 m namun
tidak terdapat di 1700 m. Adapun spesiesnya pada genus Dolichoderus,
Polyrachis, Monomorium, Anochetus, dan Odontomachus. Keberadaan genus-
genus tersebut umumnya pada lingkungan yang cenderung hangat (Agosti et al.
2000; Shattuck 2000; Taylor 1971). Hal ini sesuai dengan mikroiklim di 1500
daan 1600 m yang cenderung lebih hangat dibandingkan ketinggian 1700 m
(Lampiran 3). Dengan demikian genus-genus tersebut memungkinkan jarang
ditemukan di lingkungan yang dingin (1700 m).
Kesamaan komunitas yang lebih dari 50% terdapat pada ketinggian 1500 m
sampai 1700 m dengan selisih ketinggian dari 0 sampai 200 m. Kesamaan ini
kemungkinan disebabkan dengan kondisi abiotik berupa kelembaban dan
temperatur di tiap lokasi pada rentang tersebut tidak jauh berbeda (Lampiran 3;
Gambar 2). Walaupun kelembaban di 1700 m dapat mencapai 100%, bila
terdapat sumber makanan yang melimpah maka beberapa spesies semut ada yang
mampu memperluas jelajah pencarian makan ke wilayah yang lebih dingin
(Bernstein 1979). Seperti pada spesies dalam genus Paratrechina, Pheidole dan
Tetramorium yang terdapat di ketinggian 1700 m dan 1900 m.
Kekayaan spesies dan individu pada tiap ketinggian tempat dapat dilihat
korelasinya dengan persamaan linear (Gambar 1). Garis linear menunjukkan
adanya korelasi jumlah spesies yang mengalami penurunan dari ketinggian 1500
m sampai 1900 m. Penelitian Araujo & Fernandes (2003) di Gunung Espinhaco
Brazil juga membuktikan adanya penurunan spesies dari 800 m sampai 1500 m.
Penurunan jumlah spesies akan terus terjadi sampai pada ketinggian tertentu tidak
terdapat lagi komunitas semut. Seperti halnya di Gunung Kinabalu Malaysia
penurunan terjadi dan pada ketinggian tempat 2600 m tidak ditemukan semut
(Brühl et al. 1999). Begitu pula di Costa Rica Mexico yang tidak menemukan
spesies semut pada ketinggian 2600 m (Atkin & Proctor 1988).
Pola penurunan keragaman jumlah spesies semut juga terjadi pada taksa
hewan lainnya seperti burung (Telborg 1977), dan Coleoptera Chrysomelidae.
Hubungan timbal balik antara ketinggian tempat dan kekayaan spesies
kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti; kompleksitas vegetasi,
kompetisi, predator dan mikroiklim. Vegetasi yang kompleks mempengaruhi
keragaman spesies (Prize 1997). Pengurangan struktur vegetasi akan mengurangi
kekayaan dan meningkatkan dominansi pada semut (Greenslade & Greenslade
1977). Pengurangan kekayaan spesies semut kemungkinan dapat terjadi karena
adanya kompetisi dengan serangga lain, sehingga terjadi perpindahan peran dalam
ekosistem. Brown (2000) menyatakan bahwa kumbang Carabidae dapat
menggantikan peran semut di ketinggian tempat yang tinggi. Selain itu, predator
dapat pula mengurangi kekayaan spesies semut seperti semut predator (Kaspari
1996) dan burung (Phillpott et al. 2004).
Kekayaan spesies dan individu yang mengalami penurunan di ketinggian
tempat yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh mikroiklim. Temperatur dan
kelembaban dapat mempengaruhi keberadaan semut. Pada ketinggian tempat yang
tinggi umumnya temperatur rendah dan kelembaban tinggi. Temperatur yang
rendah dan kelembaban yang tinggi akan mengurangi perkembangan dan umur
larva (Brown 1973; Lawton et al. 1987). Kecuali spesies pada genus
Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium yang dapat mencapai ketinggian 1900
m. Keberadaan Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium menunjukkan adanya
kemampuan bertahan dan mampu memperluas wilayah pencarian makan sampai
pada ketinggian 1900 m (suhu udara 18oC dan kelembaban mencapai 100%).
Ketiga genus ini melimpah pula di tiap ketinggian dan habitat. Melimpahnya
Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium di kawasan CATW dapat dikategorikan
sebagai spesies tramps, karena kemampuan penyebarannya diberbagai tipe habitat
(Agosti et al. 2000).

KESIMPULAN

Kekayaan spesies dan individu semut mengalami penurunan dari ketinggian


tempat yang rendah ke yang tinggi. Penurunan kekayaan semut di kawasan
CATW diduga dipengaruhi oleh faktor mikroiklim. Temperatur dan kelembaban
merupakan faktor mikroiklim yang akan menghambat beberapa spesies untuk
hidup dan beraktifitas. Sebagian besar spesies semut di CATW diduga mampu
beraktifitas dan memperluas wilayah pencarian makan pada rentang ketinggian 0-
200 m. Kecuali pada beberapa spesies dalam genus Paratrechina, Pheidole dan
Tetramorium yang ditemukan di tiap ketinggian tempat. Keberadaan genus ini
menunjukkan adanya kemampuan hidup di berbagai kondisi habitat dan hidup
dominan di kawasan CATW.
BAB III
KERAGAMAN SPECIES SEMUT
PADA EKOSISTEM TERGANGGU DI KAWASAN
CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

PENDAHULUAN

Semut (Formicidae:Hymenoptera) merupakan hewan Avertebrata komponen


terestrial yang melimpah di kepulauan maupun daratan luas (Holldobler & Wilson
1990). Keragaman semut diperkirakan mencapai 15.000 spesies dengan yang
telah teridentifikasi sebanyak 9.000 – 10.000 spesies (Bolton 1994). Daerah tropis
khususnya di hutan hujan memiliki keragaman spesies semut yang tinggi (Brühl et
al. 1998) dan keragaman tersebut dapat berkurang secara drastis pada peningkatan
garis lintang.
Cox dan Moore (2000), menyatakan bahwa perbedaan temperatur, mikro
iklim cahaya, kelembaban, pola makan, aktifitas dan lain-lain berpengaruh
terhadap keragaman spesies. Sebagai contoh, iklim dan pola makan dapat
mengubah ukuran dan tampilan tubuh semut (Newman & Dalton 1976). Selain
itu, keragaman semut dapat pula dipengaruhi oleh kompetisi interspesifik, variasi
ketersediaan sumber makanan, kualitas habitat (Palmer 2003), dan perubahan
aktifitas tertentu (Bestelmeyer 2000).
Aktifitas manusia seperti agrikultur dapat mengancam kepunahan sebagian
besar Artropoda (Tilman et al. 2002). Penggunaan lahan yang terjadi secara
intensif dan berlebihan mengakibatkan adanya penurunan keragaman dan
meningkatkan dominansi (MacArthur 1972). Penggunaan lahan yang terjadi terus
menerus di sekitar hutan dapat meningkatkan ketidakstabilan biodiversitas.
Misalnya pada perkebunan kopi (Coffe spp.) dan coklat (Themobrema cacao L.).
Penanaman intensif coklat dapat mengurangi keragaman Artropoda predator
(Klein et al. 2002). Begitu pula pada penanaman kopi dapat mengurangi
keragaman Artropoda khususnya yang berfungsi sebagai pengontrol biologi
termasuk Formicidae (Ballinas 1999).
Kawasan CATW yang terletak di puncak daerah perkebunan teh Desa
Gunung Sari, Kecamatan Cibungbulang Jawa Barat merupakan daerah konservasi
wilayah II. Hal ini sesuai dengan dasar penunjukkan pada keputusan Menteri
Pertanian No.481/Kpts/Um/6/1981 tanggal 9 Juni 1981. Hutan pegunungan
dengan danau di tengahnya menjadi keunikan sebagai daerah konservasi dan
taman wisata telaga komersil. Walaupun dinyatakan lingkungan biota dan fisik
masih asli dan belum mendapat gangguan dari manusia (Dephut 2002) namun
lokasi CATW ini terletak di lingkungan yang ekosistemnya terganggu. Gangguan
tersebut disebabkan aktifitas manusia yang menggunakan lahan sekitar CATW
sebagai lahan agrikultur maupun pariwisata. Untuk mengetahui ada tidaknya
pengaruh aktifitas manusia terhadap keaslian CATW, maka perlu adanya
perbandingan keragaman semut di perkebunan teh sekitar CATW dan di taman
wisata.

BAHAN DAN METODE

Sampel semut diambil di dua ketinggian tempat yang berbeda sebagai bahan
perbandingan (Lampiran 1). Pada ketinggian tempat 1400 m sampel semut
perkebunan teh dibandingkan dengan kawasan taman wisata. Sedangkan pada
ketinggian tempat 1500 m sampel semut perkebunan teh dibandingkan dengan
cagar alam. Masing-masing ketinggian tempat diambil dua lokasi pengambilan
dan tiap lokasi dibuat plot berukuran 10 x 10 m. Pada tiap plot, sampel semut
dikoleksi dengan tiga pengkoleksian yaitu perangkap sumuran (PSM), perangkap
umpan dan pengambilan langsung secara manual.
Keragaman sampel semut yang didapat dianalisis dengan menggunakan
indeks Shannon dan Indeks Simpson. Nilai indeks keragaman dan jumlah spesies
yang didapat selanjutnya dianalisis menggunakan Uji banding Fisher (Beda Nyata
Terkecil) untuk menguji adanya tidaknya perbedaan nilai tengahnya (Aududdin
2005).

HASIL

Total semut yang terkoleksi di lingkungan yang mengalami kerusakan tinggi


(perkebunan teh di 1400 dan 1500 m), gangguan (taman wisata di 1400 m) dan
yang asli (cagar alam di 1500 m) berjumlah 9041 individu (Lampiran 5).
Kelimpahan spesies yang tinggi terdapat di perkebunan teh pada ketinggian 1400
m dan terendah di taman wisata ketinggian 1400 m. Rendah dan tingginya
kelimpahan ini bersamaan dengan indeks Shannon dan Simpson. Sedangkan
jumlah spesies yang terkoleksi lebih banyak terdapat pada ketinggian 1500 m
perkebunan teh. Namun hasil uji banding Fisher (Beda Nyata Terkecil) pada
indeks keragaman Shannon (BNT = 1.65; df = 3; P = 0.05) serta jumlah spesies
yang terkoleksi (BNT = 8.297; df = 3; P = 0.05) tidak menunjukkan adanya
perbedaan (Tabel 3).
Kelimpahan semut yang tinggi di perkebunan teh pada 1400 m dikarenakan
didapatkannya satu spesies pada satu genus yaitu Lophomyrmex sp1 mencapai
4750 individu. Spesies yang jarang ditemukan sebagian besar terdapat di sekitar
taman wisata dan cagar alam seperti Leptomyrmex sp1, Smithistruma sp1 dan
Anochetus sp1. Spesies yang hanya ditemukan di perkebunan teh yaitu
Olygomyrmex sp1 dan Tetraponera sp1 (1 individu). Sedangkan keberadaan
genus Paratrechina dan Pheidole di empat habitat tersebut menunjukkan adanya
kemampuan hidup di lingkungan yang tidak terganggu maupun yang terganggu
dari aktifitas manusia.

Tabel 3 Perbandingan keragaman spesies pada dua habitat di ketinggian yang


berbeda
1400 1500
KT TW KT CA
N 5483 429 1873 1238
S 19 19 25 19
S ACE 22.08 20.82 30.04 22.21
H' 0.7 2.17 2.09 1.61
1/D 1.32 6.43 4.41 3.53
KT = Kebun Teh
CA = Cagar Alam

PEMBAHASAN

Penggunaan lahan untuk perkebunan teh dan pariwisata di sekitar cagar alam
tidak mempengaruhi kekayaan semut. Hubungan keragaman semut pada
ketinggian 1400 m di perkebunan teh dan taman wisata serta 1500 m di
perkebunan teh dan cagar alam dengan berdasarkan uji BNT menunjukkan tidak
adanya perbedaan. Lokasi pengambilan sampel di perkebunan teh dan taman
wisata yang terletak di tepi cagar alam tidak mengurangi keragaman semut.
Penggunaan lahan untuk agrikultur di sekitar hutan dapat mempertahankan
keragaman spesies. Seperti halnya perkebunan kopi di bawah naungan kanopi di
daerah Mexico yang dijadikan tempat perlindungan dan pencarian makan spesies
dari hutan ke lahan pertanian (Perfecto et al. 1996). Pada semut khususnya yang
hidup sebagai predator akan berpindah tempat dan memperluas area pencarian
makan ke lahan pertanian. Keberadaan lahan pertanian di sekitar hutan dari segi
ekonomi menguntungkan dalam managemen pengontrol hama (Philpott &
Armbrecht 2006).
Lophomyrmex sp1 terkoleksi dengan jumlah individu terbesar dan melimpah
di perkebunan teh ketinggian 1400 m. Spesies ini juga ditemukan di taman wisata
ketingian 1400 m dan perkebunan teh pada ketinggian 1500 m. Keberadaan
Lophomyrmex sp1 yang melimpah mempengaruhi nilai Indeks Simpson yang
menyatakan adanya suatu dominansi. Kelimpahan ini terjadi karena
ketertarikannya pada perangkap umpan gula dengan mencapai 4721 individu dari
4750 individu. Walaupun umumnya Lophomyrmex disebut sebagai generalized
forager (Agosti et al. 2000), karena dapat memakan berbagai jenis makanan.
Paratrechina dan Pheidole juga terkoleksi melimpah di perkebunan teh
(1400 m dan 1500 m), taman wisata (1400 m) dan cagar alam (1500 m).
Paratrechina didapatkan dua spesies, sedangkan Pheidole didapatkan tiga spesies
yang melimpah di keempat habitat ini. Keberadaan kedua genus ini pada keempat
habitat tersebut menunjukkan adanya kemampuan hidup dan kemampuan mencari
makan di lingkungan yang dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Penyebaran semut
sampai ke lingkungan yang dipengaruhi aktifitas manusia disebut sebagai spesies
tramp (Agosti et al. 2000) karena mampu hidup diberbagai tipe habitat.
Beberapa semut lainnya yang hanya terdapat di perkebunan teh yaitu
Olygomyrmex, Rhoptromyrmex dan Tetraponera. Olygomyrmex dan Tetraponera
berkemampuan mencari makan di lingkungan yang hangat (Shattuck 2000).
Dengan demikian mempermudah kedua genus ini ditemukan di perkebunan teh.
Begitu pula Rhoptromyrmex yang umumnya ditemukan di tanaman rendah dan
padang rumput (Shattuck 2000) sehingga mudah ditemukan di perkebunan teh.
KESIMPULAN

Keberadaan semut di Kawasan CATW tidak dipengaruhi aktifitas manusia.


Penggunaan lahan perkebunan dan pariwisata di sekitar Kawasan CATW dapat
diduga dijadikan tempat bernaung dan mencari makan oleh spesies-spesies semut.
Seperti halnya pada spesies genus Olygomyrmex, Rhoptomyrmex dan Tetraponera
yang berkemampuan mencari makan di lingkungan yang hangat. Namun
lingkungan yang dipengaruhi manusia ini dapat juga menguntungkan spesies
tertentu seperti Lophomyrmex sp1 yang hanya ditemukan di perkebunan teh dan
taman wisata. Kelimpahan individu Lophomyrmex sp1 menunjukkan adanya suatu
dominansi yang diduga sebagai adaptasi terhadap aktifitas manusia.
BAB IV
DISTRIBUSI DAN KELIMPAHAN RELATIF SPESIES SEMUT
DI CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT

PENDAHULUAN

Semut merupakan salah satu suku dalam ordo Hymenoptera, serangga yang
dominan di hampir setiap ekosistem daratan di daerah tropis (Wilson 1990).
Berdasarkan jenis dan sifat ekologinya, kelompok hewan ini sangat penting dan
dapat ditemukan pada tiap strata hutan (Brühl et al. 1998). Perilaku sosial semut
sebagai predator, pengurai dan herbivor telah menjadi subjek menarik untuk
dipelajari (Hölldobler & Wilson 1990). Dibandingkan dengan kelompok serangga
lainnya, semut relatif mudah untuk dikoleksi dan dipelajari bioekologinya.
Dengan kekhasan biologi semut yang sensitif pada perubahan lingkungan (Agosti
et al. 2000) menjadikan semut sebagai indikator biologi untuk melihat perubahan
lingkungan. Dengan demikian, semut dapat membantu dalam pemahaman
ekologi, konservasi, biomonitoring, dan pengendalian biologi.
Penelitian semut di Indonesia relatif masih sangat sedikit. Bila ada,
umumnya penelitian ini tersebar pada publikasi yang membahas tentang
taksonomi semut (Bolton 1995; Terayama et al. 1998; Ito et al. 2001;). Namun
sedikit sekali penelitian semut yang membahas mengenai ekologinya. Kawasan
CATW termasuk dalam wilayah konservasi yang penelitian mengenai keragaman
semut belum pernah dilakukan. Salah satu data keragaman yang sangat premature
telah dilakukan di kawasan konservasi Kepulauan Seribu, dengan keragaman
semut 48 spesies (Rizali 2000). Data tersebut berdasarkan luas pulau dan jarak
isolasi pulau dengan pulau besar. Selain itu, Ito et al. (2001) melakukan penelitian
di dalam Kebun Raya Bogor Jawa Barat didapatkan keragaman semut dengan 216
spesies.
Pola keragaman semut dipengaruhi dengan latitude dan altitude (ketinggian
tempat). Penurunan keragaman semut pada ketinggian tempat tertinggi
kemungkinan karena adanya perubahan peran dalam ekosistem. Peran semut
umumnya digantikan oleh Artropoda lain (Darlington 1971). Pergantian peran ini
diamati Olson (1994) dalam penelitiannya mengenai keragaman Avertebrata
serasah di Panama. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan keragaman
kumbang Carabidae dan kumbang penggerek di ketinggian tempat tertinggi.
Namun keragaman semut di ketinggian tempat tertinggi tersebut mengalami
penurunan. Untuk mengetahui perubahan peran dalam ekosistem maka perlu
diketahuinya keberadaan semut pada ketinggian tempat tertentu.
Cagar Alam merupakan kawasan suaka alam yang memiliki kekhasan
tumbuhan, satwa dan ekosistemnya. Ekosistem tersebut dilindungi agar
perkembangannya berlangsung secara alami (Pasal 1 butir 10 No.5 Tahun 1999).
CATW dikategorikan sebagai cagar alam karena di dalamnya terdapat telaga yang
dijadikan kawasan taman wisata dan penyangga kehidupan sekitarnya. Untuk
mengetahui berbagai peran semut di kawasan CATW maka perlunya mempelajari
keberadaan dan penyebaran spesies semut berdasarkan lima rentang ketinggian
tempat.

METODE

Sampel semut yang telah diambil dengan tiga metode pengkoleksian


selanjutnya dipilah. Semut yang telah dipilah kemudian dikelompokkan
berdasarkan bentuk, warna dan ukuran tubuh (morfospesies). Selanjutnya
diidentifikasi dan dikelompokkan dari tingkat subfamili sampai genus dengan
panduan Identification Guide to the Ant genera of the World (Bolton 1994).

HASIL

Semut yang terkoleksi dengan menggunakan perangkap sumuran (PSM),


perangkap umpan dan manual di kawasan CATW (Cagar Alam, Taman Wisata
dan Perkebunan Teh) berjumlah 11096 individu. Total spesies yang teridentifikasi
dari 13 plot dengan lima rentang ketinggian berjumlah 46 spesies dari 25 genus
dan 6 subfamili. Adapun persentase semut berdasarkan subfamili pada Tabel 4.
Subfamili Myrmicinae dan Formicinae terdapat pada semua ketinggian
tempat (Gambar 3). Subfamili Ponerinae terdapat di tiap ketinggian pada habitat
perkebunan teh dan taman wisata, kecuali cagar alam pada ketinggian 1900 m.
Dolichoderinae terdapat di perkebunan teh ketinggian 1400 m, taman wisata, serta
cagar alam pada ketinggian 1500 dan 1600 m. Sedangkan anggota subfamili yang
hanya ditemukan pada satu ketinggian yaitu Pseudomyrmicinae dan
Cerapachyinae. Pseudomyrmicinae terkoleksi di perkebunan teh pada ketinggian
1500 m. Cerapachyinae terkoleksi di cagar alam pada 1600 m.

Tabel 4 Persentase semut dalam tiap subfamili yang dikoleksi secara kumulatif
dengan metode PSM, perangkap umpan dan manual di kawasan CATW
Jumlah Persentase
No Subfamili Genus Spesies
Individu %
1 Cerapahyinae 1 1 1 2.17
2 Dolichoderinae 57 3 5 10.87
3 Formicinae 1246 3 9 19.57
4 Myrmicinae 9395 12 22 47.83
5 Ponerinae 396 5 8 17.39
6 Pseudomyrmicinae 1 1 1 2.17
Total 11096 25 46 100

40
35
30
Pseudomyrmicinae
Jumlah spesies

25
Ponerinae
20
Myrmicinae
15 Formicinae
10 Dolichoderinae
5 Cerapahyinae
0
1400 1500 1600 1700 1900

Ketinggian (m dpl)

Gambar 3 Jumlah spesies semut pada subfamili di Kawasan CATW berdasarkan


ketinggian tempat

Genus umum yang ditemukan di cagar alam dan perkebunan teh berjumlah
empat belas genus (60%). Adapun anggota genus umum yaitu; Paratrechina,
Polyrachis, Technomyrmex pada subfamili Formicinae; Cardiocondyla,
Crematogaster, Lophomyrmex, Monomorium, Myrmicaria, Pheidole, dan
Tetramorium pada subfamili Myrmicinae; serta, Leptogenys, Odontomachus,
Odontoponera, dan Pachycondyla pada subfamili Ponerinae. Enam genus (28%)
yaitu satu genus Cerapachys (Cerapachynae), Pseudolasius (Formicinae),
Myrmicina, Smithistruma dan Strumygenys (Myrmycinae) serta Anochetus
(Ponerinae) yang terkoleksi di cagar alam. Di taman wisata terdapat satu genus
yaitu Leptomyrmex (Dolichoderinae). Sedangkan di perkebunan teh sekitar cagar
alam hanya ditemukan 3 genus (12%) yaitu; dua genus Myrmicinae
(Olygomyrmex dan Rhoptromyrmex) serta satu genus Pseudomyrmicinae
(Tetraponera).

PEMBAHASAN

Subfamili Cerapachyinae
Subfamili ini berbeda dengan subfamili lainnya ditentukan oleh beberapa
karakter. Tubuh dengan satu petiole yang terletak antara alitrunk dan gaster.
Ujung gaster pada bagian dorsal hypopygium terdapat duri yang tersusun menebal
(Gambar 4). Spirakel yang terdapat di gaster terlihat jelas dan tidak tumpang
tindih dengan ruas gaster. Pada subfamili Cerapachyinae hanya didapati satu
genus yaitu Cerapachys di ketinggian 1600 m dpl CATW. Adapun karakter yang
membedakan dengan genus lain dengan terdapatnya sisir di tibia kaki tengah,
kuku di pretarsal sederhana (tanpa adanya penambahan gigi), serta basitarsus pada
tungkai belakang tidak memipih secara longitudinal (Shattuck 2000).
Subfamili Cerapachynae umumnya tersebar di wilayah tropis dan subtropis
di dunia sebagai spesialisasi pemakan semut lainnya. Subfamili ini diketahui
memiliki total spesies mencapai 198 spesies dari 5 genus. Empat dari lima genus
Cerapachynae hanya tersebar di wilayah tertentu namun Cerapachys tersebar di
seluruh daerah zoogeografi (Bolton 1994). Cerapachys merupakan salah satu
spesies yang berukuran kecil dengan koloni tersebar di permukaan tanah
membentuk satu sarang satu lubang dengan beberapa pekerja. Kebiasaan
Cerapachys dalam mencari makan hanya mengirim satu scout (pengintai)
(Shattuck 2000) yang diduga sebagai penyebab sulitnya pengkoleksian genus ini.
Terkoleksinya Cerapahys (2.17%) di ketinggian 1600 m dpl kemungkinan
dikarenakan keragaman semut yang tinggi yang memudahkan Cerapahys dalam
mencari makan.
0.5 mm
a
1 mm

0.5 mm

b c
Gambar 4 Cerapachys sp1 (a) Duri-duri tebal pada ujung hypopygium, (b)
habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

Subfamili Dolichoderinae
Dolichoderinae dengan satu petiole yang terletak antara alitrunk dan gaster.
Ujung gaster pada bagian dorsal hypopygium tidak terdapat duri, sting maupun
acidopore. Bagian tergite dari helcium membentuk huruf U. Anggota
Dolichoderinae dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem. Spesies
Dolichoderinae diketahui mencapai 1000 spesies dalam 22 genus (Shattuck 2000).
Pada subfamili ini ditemukan 3 genus yaitu Dolichoderus, Leptomyrmex dan
Technomyrmex di ketinggian tempat 1400 m sampai 1600 m. Subfamili
Dolichoderinae hanya 10.87% spesies dengan Dolichoderus yang paling banyak
melimpah dibandingkan genus lainnya. Keberadaan subfamili ini yang hanya
mencapai ketinggian 1600 m kemungkinan dikarenakan kelimpahan terbatas pada
dataran rendah di hutan tropis. Keragaman Dolichoderinae akan mengalami
penurunan bersamaan dengan peningkatan ketinggian tempat. Sedangkan
lingkungan yang dingin biasanya tidak ditemukan Dolichoderinae (Andersen
2000).

Genus Dolichoderus
Bentuk petiole pada genus ini seperti bulatan atau sisik yang mengarah ke
anterior. Jumlah palpus maksila dan labial Dolichoderus dengan rumus 6:4.
Hypostoma yang terdapat di bawah clypeus berbentuk seperti gigi pada tiap
sisinya. Integumen Dolichoderus tebal dan fleksibel serta permukaan halus.
Dolichoderus ditemukan tiga bentuk yang berbeda. Dolichoderus sp1 memiliki
karakter sebagai berikut; warna tubuh coklat muda dengan warna tungkai dan
tubuh sama; serta permukaan integumen bagian lateral dari gundukan
promesonotum agak kasar (Gambar 5). Dolichoderus sp2 memiliki karakter
dengan warna tungkai dan badan yang sama-sama berwarna hitam dan permukaan
integumen agak kasar (Gambar 6). Dolichoderus sp3 memiliki karakter dengan
warna tungkai coklat muda kemerahan dan badan berwarna coklat kehitaman serta
permukaan integumen bagian lateral gundukan promesonotum kasar (rugose)
(Gambar 7).

1 mm

1 mm

a b

Gambar 5 Dolichoderus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm

1 mm

a b
Gambar 6 Dolichoderus sp2: (a) Sisi lateral dan (b) kepala

1 mm

1 mm

a b
Gambar 7 Dolichoderus sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Dolichoderus diketahui 142 spesies yang tersebar di wilayah bagian
selatan Amerika Utara, bagian utara Amerika Selatan, Eropa Barat sampai Laut
Hitam, India Barat, Jepang sampai Australia. Dolichoderus umumnya ditemukan
di area hutan dari savana sampai hutan hujan. Dolichoderus biasanya membuat
sarang di tanah dan di pohon. Aktifitas Dolichoderus mencari makan sebagai
predator, scavenger dan pengumpul madu Hemiptera (Shattuck 2000)
memudahkan Dolichoderus di kawasan CATW ditemukan baik di perkebunan teh
maupun cagar alam. Genus ini didapati tiga spesies dari ketinggian 1400 sampai
1600 m dpl dengan kemelimpahan terkecil pada Dolichoderus sp2 yang hanya
terkoleksi di ketinggian 1600 m.

Genus Leptomyrmex
Leptomyrmex memiliki petiole dan rumus palpus yang sama dengan
Dolichoderus. Sedangkan karakter pembeda yang khas dimiliki genus ini sebagai
berikut; kepala dan alitrunk terlihat memanjang dan memipih; tungkai tipis dan
panjang; hypostoma meruncing di bagian tengah. Mandibula panjang berbentuk
triangular dengan tepi terluarnya mencekung sampai ke bagian tengah
perpanjangannya (Gambar 8).

2 mm
1 mm

a b

Gambar 8 Leptomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

Leptomyrmex terdiri dari 40 spesies yang tersebar di wilayah New Guinea,


Australia bagian barat, dan Caledonia Baru. Genus ini umumnya ditemukan di
hutan hujan. Karakteristik morfologi yang khas dengan tungkai yang panjang
memudahkan Leptomyrmex mencari makan di permukaan tanah yang banyak
genangan air hujan. Genus ini hidup di permukaan tanah dengan mengumpulkan
cairan manis untuk makanannya (nectafloral), khususnya setelah hujan (Wilson
1971). Leptomyrmex biasanya melakukan aktifitas mencari makan sendiri atau
membentuk kelompok kecil dengan dua atau tiga forager yang tersebar di
permukaan tanah (Shattuck 2000). Dengan demikian kebiasaan Leptomyrmex
mencari makan (individual) mempersulit pengkoleksian sehingga hanya
ditemukan di taman wisata pada ketinggian 1400 m dengan persentase 0.009%
dari total individu yang terkoleksi.

Genus Technomyrmex
Petiole Technomyrmex berbentuk sederhana dan tidak terlihat pada saat
alitrunk dan gaster pada bidang yang sama. Bila dilihat dari dorsal, tergit
berjumlah 5 dengan anal dan orifice terletak di bagian apikal gaster. Mandibula
Technomyrmex memiliki gigi yang besar berjumlah lima (Gambar 9).

0.5 mm

0.5 mm

a b

Gambar 9 Technomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Technomyrmex diketahui 86 spesies yang tersebar di Afrika Barat sampai


Asia Selatan, Australia dan Panama. Technomyrmex biasanya hidup di habitat
hutan yang lembab. Technomyrmex beraktifitas di tumbuhan rendah sebagai
scavenger dan mampu hidup di kondisi yang baik dalam iklim dingin maupun
lingkungan yang terganggu (Shattuck 2000). Technomyrmex yang hanya
terkoleksi satu spesies dengan persentasi 0.04% dari total individu memiliki
kemampuan hidup di lingkungan yang dingin. Dengan demikian dapat terkoleksi
di cagar alam ketinggian 1700 m. Sedangkan Technomyrmex yang ditemukan di
perkebunan teh ketinggian tempat 1500 m, dikarenakan hidupnya di tumbuhan
rendah memudahkan terkoleksinya genus ini.

Subfamili Formicinae
Petiole yang memisahkan alitrunk dan gaster pada subfamili Formicinae
berjumlah satu. Tidak terdapat sengat yang menjulur (sting) di ujung gaster.
Ujung gaster dengan acidopore berbentuk sirkular yang tepinya dikelilingi bulu.
Subfamili Formicinae terkoleksi tiga genus dengan sembilan spesies dengan
persentase 15.57% dari total spesies semut yang terkoleksi.
Penyebaran spesies pada Formicinae dapat dijumpai di berbagai lokasi di
dunia. Total spesies yang teridentifikasi mencapai 3700 spesies dalam 49 genus.
Hasil pengkoleksian sampel didapati tiga genus yaitu Paratrechina, Polyrachis
dan Pseudolasius dengan Paratrechina sp1 yang paling banyak melimpah
dibandingkan genus lainnya. Paratrechina dan Polyrachis ditemukan di cagar
alam dan perkebunan teh. Sedangkan Pseudolasius hanya ditemukan di cagar
alam pada ketinggian 1700 m.

Genus Paratrechina
Antena dengan 12 ruas. Rumus palpus 6:4. Mandibula berbentuk
subtriangular. Kantung antena terletak dekat dengan tepi clypeus. Pada
metapleuron terdapat kelenjar orifice yang terletak di atas koksa belakang dan
tepat di bawah spirakel propodeal. Bagian ventral gaster terdapat sternum
pertama tanpa sulcus di belakang helcium. Orifice pada propodeum berbentuk
sirkular. Mata terletak di depan pertengahan kepala. Bulu yang keras dan
menghitam tersusun berpasangan di pertengahan atas kepala dan alitrunk.
Genus Paratrechina tercatat empat bentuk yang berbeda. Paratrechina sp1
dengan warna tubuh coklat muda dengan tubuh licin dan mengkilat (Gambar 10).
Paratrechina sp2 berwarna coklat tua kehitaman dengan tubuh tidak licin dan
mengkilat (Gambar 11). Paratrechina sp3 berwarna coklat tua dengan tubuh licin
dan mengkilat (Gambar 12). Sedangkan Paratrechina sp4 warna dan bentuknya
seperti Paratrechina sp1, namun berukuran sangat kecil dan rapuh.
Paratrechina diketahui 147 spesies yang menyebar di Eropa, Afrika Timur,
China, Australia dan Indonesia. Genus ini yang merupakan generalized forager
dapat ditemukan di hutan yang kondisinya kering, semak di tepi pantai, dan hutan
hujan. Salah satu anggota genus ini dikenal sebagai kelompok tramp karena
kemampuannya berpindah dan membuat sarang dengan mudah (Shattuck 2000).
Paratrechina di kawasan CATW mencapai ketinggian 1900 m (Paratrechina
sp3) dengan Paratrechina sp1 yang ditemukan paling melimpah dari
Paratrechina lainnya (6.79%). Dengan demikian, keberadaan Paratrechina
menunjukkan adanya kemampuan hidup dan membuat sarang di lingkungan yang
lembab (1900 m: rH 100%).
1 mm

0.5 mm

a b
Gambar 10 Paratrechina sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
1 mm

0.5 mm

a b
Gambar 11 Paratrechina sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

1 mm 0.5 mm

a b
Gambar 12 Paratrechina sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Genus Polyrachis
Antena dengan 12 ruas dan rumus palpus 5 ruas maksila dan 3 ruas labial.
Kantung antena terletak jauh dari tepi clypeus. Pada metapleuron tidak terdapat
kelenjar orifice. Mandibula memiliki jumlah gigi 5-7. Mata berukuran besar dan
terletak di belakang pertengahan kepala. Bagian Pronotum, Propodeum dan
petiole terdapat duri atau gigi (atau tidak).
Kawasan CATW ditemukan tiga bentuk Polyrachis. Polyrachis sp1 di
bagian pronotum, propodeum, dan petiole terdapat duri yang panjang dan
menebal. Pada petiole terdapat 2 duri yang panjang dan melekuk serta sepasang
gigi yang terletak dipertengahan petiole (Gambar 13). Polyrachis sp2 bagian
pronotum tidak terdapat duri. Namun pronotum sampai dengan propodeum
mengalami penyempitan secara lateral membentuk tepi persegi dengan diakhiri
duri yang tebal di bagian propodeum (Gambar 14). Petiole memiliki sepasang
duri yang pendek dan tebal yang terletak dipertengahan dengan sepasang gigi di
tepi petiole. Polyrachis sp3 bagian pronotum dan propodeum terdapat sepasang
gigi. Sedangkan petiole memiliki gigi 2 pasang (Gambar 15). Pada Polyrachis
sp4 di bagian pronotum, propodeum tidak memiliki duri atau gigi, namun di
bagian petiole terdapat gigi 2 pasang berbentuk seperti petiole pada Polyrachis
sp3 (Gambar 16).
2 mm 1 mm

1 mm

a b c

Gambar 13 Polyrachis sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole
2 mm

1 mm

1 mm

a b c

Gambar 14 Polyrachis sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole
2 mm

1 mm
1 mm

a b c

Gambar 15 Polyrachis sp3(a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole 1 mm
2 mm

1 mm 1 mm

a b c

Gambar 16 Polyrachis sp4: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole
2 mm

1 mm
0.5 mm

a b c
Gambar 17 Polyrachis sp5: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole

Polyrachis terdiri dari 639 spesies dan dapat ditemukan di daerah tropis
Afrika, Asia dan Australia. Polyrachis di kawasan CATW terkoleksi tiga spesies
dengan kelimpahan terbesar pada Polyrachis sp2 (1.01%). Polyrachis merupakan
semut arboreal karena mampu membuat sarang dari sutera dan daun (Agosti et al.
2000). Kebiasaan genus ini membuat sarang di atas pohon mempermudah
pengkoleksian di kedua habitat ketinggian 1400 sampai 1600 m.

Genus Pseudolasius
Genus Pseudolasius memiliki 12 ruas antena. Mandibula berbentuk
triangular. Kantung antena terletak dekat tepi clypeus. Metapleuron terdapat
kelenjar orifice yang terletak di atas koksa belakang dan di bawah spirakel
propodeum. Palpus maksila dengan 4 ruas. Pada alitrunk bagian mesonotum dan
anepisternum bergabung membentuk triangular. Tepi clypeus bagian anteriornya
mencekung. Sedangkan tepi lateral mandibula agak melengkung. Pada genus ini
hanya ditemukan satu bentuk (Gambar 18).
Pseudolasius terdiri dari 64 spesies yang tersebar di wilayah tropis dari
Afrika, Asia sampai Australia. Genus ini hanya ditemukan di hutan hujan di
wilayah Australia (Shattuck 2000). Genus ini berinteraksi dengan Hemiptera
Pseudococcidae dengan menjaga sarangnya sambil mengkoleksi madu (Taylor
1991). Pseudolasius di kawasan CATW hanya ditemukan satu spesies di cagar
alam ketinggian 1700 m dengan kelimpahan 0.12% dari total individu.
1 mm

1 mm

a b

Gambar 18 Pseudolasius sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Subfamili Myrmecinae
Subfamili ini paling banyak ditemukan di kawasan CATW. Petiole
Myrmicinae berjumlah dua (petiole dan postpetiole). Pygidium bulat, kecil dan
tidak dilengkapi oleh susunan gigi atau sting di ujungnya. Frontal lobes tidak ada
atau mengecil dan memanjang secara vertikal. Mata dengan ukuran dan jumlah
ommatidia yang bervariasi. Tibia tungkai belakang tidak terdapat sisir. Tepi
belakang clypeus tepat di bawah kantung antena.
Myrmicinae merupakan subfamili terbesar di dunia ditemukan di berbagai
habitat (kecuali daerah kutub utara dan selatan). Total spesies Myrmicinae
mencapai 6700 spesies dalam 155 genus (Shattuck 2000). Subfamili Myrmecinae
yang terkoleksi di kawasan CATW memiliki persentase spesies terbesar dari
subfamili lainnya (47.83%) dengan kelimpahan terbesar pada Lophomyrmex sp1,
sedangkan jumlah spesies terbanyak pada genus Pheidole.

Genus Cardiocondyla
Genus Cardiocondyla dengan ruas antena 12 dan dua ruas pertama
membesar atau menggada (club). Rumus palpus 5:3. Alitrunk bagian dorsal tanpa
penonjolan. Frontal lobe terpisah. Bagian tengah clypeus melekuk ke dalam
sehingga membentuk alur antar lobe. Tepi mandibula bagian dasar tidak bergigi
(Gambar 19).
Genus Cardiocondyla terdiri dari 49 spesies yang ditemukan tersebar di
wilayah dunia. Cardiocondyla hidup di habitat hutan hujan, padang rumput dan
lingkungan yang terganggu seperti di kota. Genus ini biasanya hidup arboreal
dengan beberapa spesies dapat menjadi hama di daerah tropis (Shattuck 2000).
Kebiasaan Cardiocondyla yang arboreal mempermudah dalam pengkoleksian di
ketinggian 1500 m dengan satu spesies di cagar alam dan perkebunan teh.
1 mm
0 5 mm

a b
Gambar 19 Cardiocondyla sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Genus Crematogaster
Crematogaster tidak memiliki alur antena. Postpetiole menempel pada
permukaan dorsal ruas pertama gaster. Bila dilihat dari bagian dorsal, gaster
berbentuk hati. Petiole memipih dorsoventrally (Gambar 20).

1 mm
0.5 mm

a b c

Gambar 20 Crematogaster sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan dan (c) gaster

Spesies Crematogaster yang diketahui berjumlah 806 jenis. Crematogaster


tersebar di seluruh dunia. Crematogaster dapat ditemukan di berbagai tipe habitat
termasuk mangrove. Crematogaster di kawasan CATW ditemukan satu spesies
(kelimpahan 0.30% dari total individu) di kedua habitat pada tiap ketinggian
kecuali 1900 m cagar alam. Crematogaster biasanya hidup di lubang ranting
pohon sebagai predator Hemiptera, namun dapat pula sebagai pemakan madu
dengan melindungi hemyptera dari predator lainnya (Norris 1991). Crematogaster
yang hidup arboreal mempermudah dalam mendapatkan makanan sehingga dapat
ditemukan baik di perkebunan teh maupun di cagar alam.
Genus Lophomyrmex
Hasil identifikasi menggunakan Bolton 1994, ruas antena berjumlah 11
dengan tidak ada alur antena di bawahnya. Tepi apikal mandibula dengan enam
gigi. Petiole tipe pediculate. Bagian dorsal pronotum memipih dan membentuk
sisi yang menggenting berupa duri triangular pada bagian lateralnya (Gambar 21).
1 mm
0.5 mm

a b
Gambar 21 Lophomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Lophomyrmex tersebar di wilayah Indomalayan. Genus ini ditemukan satu


spesies di kawasan CATW di ketinggian 1400 m dan 1500 m di perkebunan teh,
serta 1400 m di taman wisata. Lophomyrmex sp1 ditemukan paling melimpah dari
total individu yang terkoleksi dengan persentase 43.37%. Kemelimpahan ini
dikarenakan ketertarikannya pada umpan gula sehingga perekrutan pekerja dalam
jumlah besar dilakukan. Lophomyrmex sp1 yang terkoleksi dengan tiga metode
pengkoleksian dan dua jenis umpan menunjukkan kemampuan makan berbagai
jenis makanan, hal ini sesuai dengan Agosti et al. (2000) yang mengkategorikan
genus ini sebagai generalized forager.

Genus Monomorium
Ruas antena berjumlah 11 dengan tidak terdapat alur di bawahnya. Petiole
pediculate. Sedangkan pronotum bagian dorsal mencembung dengan tidak
terdapat penggentingan di bagian lateralnya (Gambar 22). Monomorium
ditemukan dua bentuk dengan spesies pertama memiliki ciri ruas antena
berjumlah 12, integumen tubuh tidak halus (agak kasar) dan bagian propodeum
agak menonjol sejajar dengan tinggi pronotum. Sedangkan Monomorium sp2
memiliki antena 11, integumen halus dan mengkilat, serta bagian propodeum
tidak sejajar dengan pronotum.
Monomorium tersebar di seluruh wilayah dunia dengan total spesies yang
diketahui mencapai 351 spesies. Monomorium dapat ditemukan diberbagai tipe
habitat. Monomorium di kawasan CATW ditemukan dua spesies dengan
Monomorium sp1 terkoleksi di ketinggian 1400 m perkebunan teh dan 1600 m
cagar alam. Sedangkan Monomorium sp2 terkolesi di ketinggian 1400 m taman
wisata dan 1500 m perkebunan teh. Sebagian besar genus Monomorium
melakukan aktifitas pencarian makan pada waktu panas di siang hari (Taylor
1991). Monomorium merupakan pemakan biji dan scavenger. Beberapa spesies
Monomorium dapat hidup di kawasan dengan aktifitas manusia tinggi.
Monomorium menjadi hama karena mencari makan di kawasan perumahan dan
pergedungan (Shattuck 2000).
0.5 mm

0.5 mm

a b

Gambar 22 Monomorium sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
0.5 mm

0.5 mm

a b

Gambar 23 Monomorium sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Genus Myrmicaria
Myrmicaria memiliki antena berjumlah tujuh ruas. Pada tiga ruas pertama
mengalami perbesaran membentuk penggadaan (Gambar 24). Tidak terdapat alur
di bawah antena.
Myrmicaria tersebar di wilayah tropis Afrika dan Indomalayan. Genus ini
terkoleksi dengan menggunakan semua metode pengoleksian di ketinggian 1400
m dan 1600 m. Ketertarikan genus ini terhadap umpan gula dan sarden
menunjukkan spesialisasinya yang mampu memakan berbagai jenis makanan.
Sedangkan keberadaan Myrmicaria di ketinggian 1400 m dan 1600 m
kemungkinan karena kemampuan hidupnya di lingkungan yang hangat (Agosti et
al. 2000). Untuk mempertahankan suhu hangat Myrmicaria biasanya membuat
sarang berbentuk gundukan tanah (Wilson 1971).
2 mm

1 mm

a b
Gambar 24 Myrmicaria sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

Genus Myrmecina
Ruas antena Myrmecina berjumlah 12. Clypeus pada bagian lateralnya tidak
membentuk sudut yang tajam. Kepala bagian ventrolateral terdapat carina dari
bagian dasar ventral mandibula sampai di bawah mata. Petiole tanpa anterior
pediculate. Genus ini ditemukan dua bentuk yang berbeda dimana bentuk
pertama berukuran besar dengan permukaan promesonotum sangat kasar (Gambar
25). Pada bagian propodeumnya terdapat sepasang duri dan sepasang berbentuk
seperti gigi. Sedangkan Myrmecina sp2 berukuran lebih kecil dengan permukaan
promesonotum yang kasar (Gambar 26). Bagian propodeum hanya terdapat
sepasang duri.
Myrmecina diketahui 33 spesies yang tersebar di sentral dan utara Amerika
(Shattuck 2000) serta di wilayah Neartic dan Paleartic (Agosti et al. 2000).
Myrmecina mampu hidup sampai ketinggian 1700 m dpl dengan suhu mencapai
18oC dan kelembaban udara yang mencapai 100%. Myrmecina dapat ditemukan di
tanah dan di bawah bebatuan serta kayu mati. Genus ini termasuk dalam
kelompok predator rayap (Termite).
2 mm
0.5 mm

a b

Gambar 25 Myrmicina sp1: ((a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm

0.5 mm

a b

Gambar 26 Myrmicina sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

Genus Olygomyrmex
Antena Olygomyrmex berjumlah sembilan ruas dua ruas pertama menggada.
Tidak terdapat alur antena dan carina di kepalanya. Bagian anterior pertengahan
clypeus tidak terdapat bulu yang panjang tapi hanya terdapat sepasang bulu kecil.
Propodeum dengan sepasang gigi. Mata berukuran kecil dengan satu facet. Kepala
cenderung berbentuk persegi dan berukuran sangat besar (Gambar 27).
0.5 mm

0.25 mm

a b
Gambar 27 Olygomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Olygomyrmex tersebar di wilayah tropis dengan kondisi lingkungan yang


hangat (Agosti et al. 2000). Olygomyrmex yang telah diketahui mencapai 102
spesies dan dapat ditemukan di hutan hujan pada habitat yang lembab (Shattuck
2000). Di kawasan CATW Olygomyrmex hanya terkolesi di perkebunan teh
ketinggian 1400 m dengan 0.26% dari total individu. Kondisi lingkungan di
perkebunan teh tersebut cukup lembab dengan kelembaban udara 82.5% dan
kelembaban tanah 80% (Lampiran 3).

Genus Pheidole
Ruas antena Pheidole berjumlah 12. Rumus palpus 3:2. Daerah
pertengahan clypeus melebar dan tidak membentuk garis bicarina. Tepi apikal
mandibula dengan tujuh gigi atau lebih dimana gigi ketiga lebih kecil dari
keempat. Morfospesies genus Pheidole paling banyak ditemukan dibandingkan
genus lainnya yaitu berjumlah 6 jenis.
1 mm

0.5 mm

a b
Gambar 28 Pheidole sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm

0.5 mm

a b
Gambar 29 Pheidole sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm
0.5 mm

a b
Gambar 30 Pheidole sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
0.5 mm

0.25 mm

a b

Gambar 31 Pheidole sp4: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm

0.5 mm

a b

Gambar 32 Pheidole sp5: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
0.5 mm

0.5 mm

a b

Gambar 33 Pheidole sp6: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

Pada Pheidole sp1 dengan antena tiga ruas pertama menggada, tubuh
berwarna coklat kehitaman dengan permukaan integumen cenderung kasar dan
mengkilat (Gambar 28). Pheidole sp2 dengan tiga ruas antena membentuk gada,
warna tubuh coklat muda dengan permukaan integumen cenderung halus dan
mengkilat (Gambar 29). Pheidole sp3 berantena empat ruas antena membentuk
gada, berwarna coklat tua dengan permukaan integumen cenderung kasar dan
mengkilat (Gambar 30). Pheidole sp4 dengan tiga ruas antena membentuk gada,
berukuran paling kecil dari Pheidole lainnya, serta berwarna tubuh coklat muda
dengan permukaan tubuh halus dan mengkilat (Gambar 31). Pheidole sp5 mirip
dengan Pheidole sp1 dengan warna tubuh coklat, namun pada bagian pertengahan
pronotum terdapat sepasang penonjolan yang jelas (Gambar 32). Sedangkan
Pheidole sp6 berantena tiga ruas antena membentuk gada, tubuh berwarna hitam
dengan permukaan integumen kasar dan tidak mengkilat, serta duri pada
propodeum lebih panjang dari Pheidole lainnya (Gambar 33).
Pheidole merupakan genus terbesar nomor dua yang memiliki jumlah
spesies mencapai 808 spesies. Keberadaan genus ini umumnya dominan di
permukaan hutan hujan wilayah tropis di seluruh dunia (Andersen 2000). Di
kawasan CATW Pheidole ditemukan enam spesies yang melimpah baik di tiap
ketinggian dan habitat dengan total mencapai 35.08%. Spesies terbanyak yang
terkoleksi pada genus ini adalah Pheidole sp3 yang mencapai 14.55%.
Kemelimpahan genus ini kemungkinan dikarenakan kemampuannya dalam
mencari makan dan membuat sarang dikondisi yang dingin (Shattuck 2000).
Pheidole terspesialisasi sebagai scavenger, predator, dan pemakan biji (Hőlldobler
& Wilson 1990) memberikan kemampuan untuk hidup dalam habitat yang
beragam dan mampu memperluas wilayah pencarian makan. Kemampuan
Pheidole mencari makan telah diteliti Davidson et al. (2004) dengan adanya
modifikasi otot proventikular sehingga dapat menyimpan makanan dalam jumlah
besar. Dengan demikian Pheidole mampu memperluas aranya mencapai
ketinggian tempat 1900 m.

Genus Rhoptromyrmex
Rhoptromyrmex memiliki ruas antena berjumlah 12 dengan tiga ruas
pertama menggada. Bagian lateral clypeus membentuk lekukan bersudut tajam.
Duri di bagian apicodorsal gaster berbentuk triangular. Kepala berbentuk hati
dengan clypeus yang menonjol. Tepi ventral petiole mencembung seperti lunas
(keel). Mata terletak di belakang pertengahan kepala. Spirakel di propodeum
terletak di dasar pertengahan duri. Rumus palpus 3:2 (Gambar 34).
Genus Rhoptromyrmex tersebar di lingkungan tropis wilayah Afrika Barat,
India, Indonesia sampai New Guinea. Jumlah spesies yang diketahui mencapai 10
spesies. Rhoptromyrmex biasanya ditemukan di padang rumput dan hutan hujan.
Di kawasan CATW Rhoptromyrmex hanya ditemukan di perkebunan teh dengan
satu spesies dan kelimpahan mencapai 0.96%. Keberadaan Rhoptromyrmex di
perkebunan teh kemungkinan dikarenakan sumber nutrisi Rhoptromyrmex berupa
Artropoda kecil dan madu dari Hemyptera melimpah. Rhoptromyrmex biasanya
membuat sarang di serasah daun dan tanaman rendah (Shattuck 2000). Sehingga
dapat mempermudah Rhoptromyrmex dalam mendapatkan sumber makanan.

1 mm

0.5 mm

a b
Gambar 34 Rhoptromyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Genus Smithistruma
Smithistruma hanya memiliki enam ruas antena. Mandibula berbentuk
triangular dengan tepi basal tipis (tidak menebal) yang tidak bersentuhan dengan
tepi anterior clypeus. Tepi apikal mandibula bergigi seri 10 atau lebih seperti
perangkap hewan (bear trap-like). Smithistruma didapati dua bentuk yang
berbeda. Smithistruma sp1 pada bagian kepala dan alitrunk terdapat bulu-bulu
yang tegak (standing seta) dengan bagian propodeumnya dilengkapi sepasang
duri (Gambar 35). Sedangkan Smithistruma sp2 pada bagian kepala dan alitrunk
tidak terdapat bulu serta di sepanjang lereng propodeum terdapat lapisan tipis
berbentuk spons (Gambar 36).
Smithistruma tersebar di daerah tropis dengan kondisi lingkungan yang
hangat dan dapat ditemukan di serasah daun (Agosti et al. 2000). Smithistruma di
kawasan CATW terdapat di cagar alam pada ketinggian 1400 m sampai 1700 m
dengan dua spesies dan total kelimpahan 0.14%. Keberadaan Smithistruma di
kawasan ini berperan sebagai predator Collembola (Agosti et al. 2000).

1 mm

0.5 mm

a b

Gambar 35 Smithistruma sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

0.5 mm
0.25 mm

a b
Gambar 36 Smithistruma sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

Genus Strumygenys
Jumlah ruas antena pada genus ini sama dengan pada Smithistruma. Namun
bentuk mandibulanya panjang dengan ujung mandibula memiliki 3 pasang gigi
seperti garpu. Mata terletak ventrolateral dari kepala. Palpus dengan rumus 1:1
dapat dijadikan karakter yang khas untuk dibedakan dengan genus lainnya yang
terdekat (Gambar 37).
Strumygenys diketahui mencapai 168 spesies yang tersebar di wilayah tropis
dan subtropis berbagai wilayah dunia kecuali Palearctic Bagian Barat (Shattuck
2000). Di kawasan CATW Strumygenys hanya terkoleksi satu spesies dan
kelimpahan 0.07% di ketinggian 1500 m dpl dengan suhu udara 23oC dan
kelembaban 84%. Strumygenys memiliki peran yang sama dengan Smithistruma
yaitu sebagai predator Collembola.
0.5 mm
0.25 mm

a b
Gambar 37 Strumygenys sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Tetramorium
Genus ini memiliki jumlah ruas antena, bentuk lateral clypeus dan duri
apicodorsal yang sama dengan Rhoptromyrmex. Namun kepala tidak berbentuk
seperti hati dengan mata terletak di depan pertengahan kepala. Terdapat carina
dipertengahan kepala bagian anterior. Rumus palpus 4:3.
0.5 mm

0.25 mm

a b

Gambar 38 Tetramorium sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm

0.5 mm

a b
Gambar 39 Tetramorium sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
0.5 mm

0.25 mm

a b

Gambar 40 Tetramorium sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Tetramorium yang ditemukan di CATW ada tiga spesies. Spesies pertama
berukuran lebih besar dari kedua spesies lainnya. Bentuk duri yang terdapat di
propodeum runcing dan melekuk di ujungnya. Pada anterior kepala terdapat tiga
carina yang jelas sampai puncak kepala. Warna tubuh, tungkai dan mandibula
terlihat hitam kecoklatan yang pekat (Gambar 38). Spesies kedua berukuran lebih
kecil dari spesies pertama. Bentuk duri runcing namun tidak ada pelekukan
diujungnya. Anterior kepala terdapat carina yang semu. Warna tubuh hitam pekat
tapi tungkai dan mandibula berwarna coklat tua (Gambar 39). Sedangkan spesies
ketiga berukuran paling kecil dengan warna tubuh sama dengan spesies kedua.
Anterior kepala tidak terlihat jelas alur carina. Sedangkan sepasang duri di
propodeum berbentuk gigi triangular (Gambar 40).
Tetramorium tersebar di daerah tropis dan daerah dingin (Agosti et al. 2000)
dan dapat ditemukan di habitat yang dingin dan basah (Shattuck 2000). Genus ini
spesialisasi sebagai scavenger, predator, dan pemakan biji (Hőlldobler & Wilson
1990). Tetramorium mampu hidup dalam habitat yang beragam dan mampu
memperluas wilayah pencarian makan. Dengan demikian, Tetramorium dapat
ditemukan di tiap ketinggian dari 1500 m sampai 1900 m dengan kelimpahan
terbesar pada Tetramorium sp2 (1.15%). Begitu pula diberbagai habitat baik di
cagar alam, perkebunan teh maupun cagar alam.

Subfamili Ponerinae
Subfamili Ponerinae memiliki satu petiole yang dapat memisahkan alitrunk
dan gaster. Ujung gaster dengan sting yang terlihat jelas dengan pygidium dan
hipopygidium tidak dilengkapi sisir atau susunan duri yang menebal. Kantung
antena dengan ujung tepi posterior dan clypeus terpisah. Spirakel pada ruas gaster
keempat dan kelima tersembuyi. Ponerinae pada kawasan CATW ditemukan lima
genus dan delapan spesies. Spesies terbanyak pada subfamili ini terdapat di genus
Leptogenys, sedangkan kelimpahan terbesar pada genus Pachycondyla.
Anggota subfamili Ponerinae memiliki ukuran yang kecil dan besar.
Ponerinae dapat ditemukan di berbagai habitat dan dapat ditemukan di lingkungan
yang terganggu. Jumlah anggota Ponerinae mencapai 2000 spesies dari 22 genus.
Di kawasan CATW Ponerinae terkoleksi dari ketinggian 1400 m sampai 1700 m.
Kecuali pada Odontoponera yang hanya terdapat di ketinggian 1400 m. Seluruh
anggotanya yang terkoleksi merupakan predator serangga lainnya. Anochetus,
Odontomatchus, Leptogenys dan Pachycondyla spesialisasi pemakan rayap
(Shattuck 2000). Beberapa jenis Pachycondyla merupakan predator Semut genus
Messor, Monomorium, Pheidole, dan Ponogomyrmex (Hőlldobler & Wilson
1990). Namun Odontomatchus di Afrika juga dapat bermutualisasi dengan aphids
dan coccid dalam menjaga sarang dan memberikan perlindungan dari predator
lainnya. Kemungkinan keberadaan Ponerinae dari 1400 m sampai dengan 1700 m
menunjukkan kelimpahan sumber makanan pada rentang ketinggian tersebut.

Genus Anochetus
Genus Anochetus memiliki petiole yang hampir melekat dengan ruas
pertama gaster karena adanya pelengkap berupa dua penghubung tipis antar
petiole dengan gaster. Mandibula panjang dengan ujung apikalnya berseri tiga
gigi. Nuchal carina yang merupakan pemisah dorsal dari permukaan posterior
kepala bersatu membentuk garis melebar yang panjang. Puncak kepala tidak
membentuk alur namun membentuk lekukan ke dalam seperti parit (Gambar 41).

0.5 mm
1 mm

a b
Gambar 41 Anochetus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan

Anochetus diketahui 87 spesies dan tersebar di wilayah tropis. Anochetus


dapat ditemukan di lingkungan yang dingin dan basah (Shattuck 2000). Di
kawasan CATW Anochetus hanya ditemukan satu spesies di cagar alam pada
ketinggian 1500 m dan 1600 m dengan kelimpahan 0.02%. Di kawasan ini
Anochetus memiliki peran sebagai predator.

Genus Odontomachus
Odontomachus memiliki petiole dan mandibula yang sama dengan
Anochetus. Namun Nuchal carina di posterodorsal kepala bergabung
dipertengahannya membentuk huruf V. Sedangkan puncak kepala membentuk
garis mengalur dipertengahannya (Gambar 42).
2 mm

2 mm

a b
Gambar 42 Odontomachus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Odontomachus diketahui mencapai 60 spesies yang tersebar di lingkungan


tropis dan subtropis. Biasanya Odontomachus ditemukan di lingkungan kering
sampai hutan hujan (Shattuck 2000). Di kawasan CATW Odontomachus
terkoleksi satu spesies di perkebunan teh dan taman wisata ketinggian 1400 m
serta cagar alam dari ketinggian 1500 m sampai 1600 m. Keberadaan
Odontomachus di kawasan ini dengan kelimphan 0.38% memiliki peran yang
sama dengan Anochetus sebagai predator serangga lainnya.

Genus Leptogenys
Leptogenys memiliki petiole yang tidak bergabung dengan gaster namun
dihubungan dengan dua lapisan tipis diantaranya. Mandibula berbentuk triangular
dengan permukaan ventral dekat dengan dasar tanpa membentuk pola segitiga.
Daerah basal dari mandibula tanpa adanya bentuk seperti lubang atau alur.
Ventral tibia tungkai belakang bila dilihat dari sisi depan akan terlihat dua sisir
berbentuk pectinate dan sederhana. Cakar pretarsal tungkai belakang dekat point
apikal memiliki lebih dari satu gigi.
Leptogenys yang ditemukan di kawasan CATW terdapat tiga jenis yang
berbeda. Perbedaan yang mencolok pada bentuk cakar pretarsal, petiole, warna
tubuh dan permukaan tubuh. Pada Leptogenys sp1 cakar pretarsal tungkai
belakang memiliki tujuh gigi yang menyebar dari ujung apikal cakar sampai
pertengahan cakar mengikuti lekukan cakar. Bentuk petiole Leptogenys sp1 pipih
dan melebar. Warna tubuh hitam pekat dengan permukaan tubuh yang licin dan
mengkilat (Gambar 43). Leptogenys sp2 gigi cakar pretarsal berjumlah lima
berbentuk sisir yang tersebar dipertengahan cakar pada kedua sisinya dengan
tinggi masing-masing gigi cakar sejajar. Bentuk petiole tipis namun tidak begitu
melebar. Warna tubuh coklat muda dengan permukaan tubuh yang licin dan
mengkilat (Gambar 44). Sedangkan Leptogenys sp3 gigi cakar pretarsal berjumlah
enam, berukuran pendek dan tersebar jarang-jarang. Bentuk petiole besar dan
melebar (Gambar 45).

2 mm

1 mm

a b c 0.25 mm

Gambar 43 Leptogenys sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) claw

1 mm 0.5 mm

0.25 mm
a b c
Gambar 44 Leptogenys sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) claw
1 mm
0.5 mm

0.25 mm
a b c

Gambar 45 Leptogenys sp3: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) claw

Leptogenys merupakan genus terbesar di subfamili Ponerinae dengan 236


spesies. Leptogenys tersebar di wilayah tropis dunia dan dapat ditemukan di
habitat yang kering sampai hutan hujan (Shattuck 2000). Di kawasan CATW
Leptogenys dapat ditemukan dua spesies di cagar alam ketinggian 1500 m sampai
1700 m dan satu spesies di perkebunan teh ketinggian 1500 m. Leptogenys juga
berperan sebagai predator, khususnya predator isopoda dan rayap (Agosti et al.
2000).
Genus Odontoponera
Mandibula Odontoponera berbentuk triangular dengan lima gigi yang
besar-besar. Terdapat frontal lobes yang saling berdekatan dan hanya terpisah
dengan garis tipis segitiga. Bila dilihat dari sisi anterior tubuh, metatibia tungkai
belakang terdapat dua taji pectinate yang kecil. Cakar pretarsal sederhana tanpa
adanya gigi. Tepi anterior clypeus dengan tujuh geligi kecil yang tumpul.
Pronotum dengan sepasang gigi triangular. Permukaan pronotum dan kepala yang
kasar beralur dijadikan karakter yang khas untuk genus ini (Gambar 46).
Odontoponera tersebar di wilayah Indomalayan. Di kawasan CATW
Odontoponera hanya ditemukan di perkebunan teh dan taman wisata ketinggian
1400 m dengan satu spesies dan kelimpahan 0.08%. Odontoponera memiliki
peran yang sama dengan anggota Ponerinae lainnya yaitu sebagai predator (Agosti
et al. 2000).

2 mm

1 mm
a b
Gambar 46 Odontoponera sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan

Genus Pachycondyla
Genus ini memiliki mandibula dengan bentuk triangular dan bergigi 7.
Frontal lobes dan metatibia tungkai belakang sama dengan Odontoponera.
Namun pronotum tidak bergerigi dan tidak terdapat gerigi di tepi anterior clypeus.
Pachycondyla ditemukan dua bentuk. Spesies pertama berukuran besar sama
dengan ukuran tubuh genus Odontoponera. Warna tubuh hitam pekat dengan
permukaan tubuh yang kasar. Bagian dasar mandibula terdapat celah seperti
lingkaran (Gambar 47). Sedangkan pada spesies kedua berukuran kecil. Warna
tubuh coklat tua dengan permukaan tubuh agak kasar namun mengkilat. Bagian
dasar mandibula pada jenis kedua ini tidak memiliki celah seperti lingkaran
(Gambar 48).
2 mm
1 mm

0.5 mm

Gambar 47 Pachycondyla sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan
dan (c) mandibula

1 mm 0.5 mm

0.5 mm

a b c
Gambar 48 Pachycondyla sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan
dan (c) mandibula

Pachycondyla tersebar di wilayah tropis dan subtropis dengan jumlah


spesies yang diketahui mencapai 277. Pachycondyla dapat ditemukan diberbagai
tipe habitat. Di kawasan CATW Pachycondyla terkoleksi 2 spesies dengan speise
pertama di tiap habitat pada tiap ketinggian tempat kecuali 1900 m cagar alam
serta spesies kedua di perkebunan teh paling melimpah (1.40% ) dan cagar alam
ketinggian 1600 m (0.009%). Pachycondyla merupakan predator rayap namun
dapat pula berperan sebagai scavenger (Shattuck 2000).

Subfamili Pseudomyrmicinae
Pseudomyrmicinae memiliki dua petiole. Pygidium melekuk tanpa adanya
duri yang tersusun diujungnya. Tidak terdapat frontal lobes. Kantung antena
terbuka tidak ditutupi frontal lobes. Tibia tungkai belakang dengan taji berbentuk
pectinate. Tepi posterior dari pertengahan clypeus tidak melekuk ke kantung
antena. Subfamili ini ditemukan satu genus yaitu Tetraponera. Adapun ciri genus
ini memiliki tepi basal mandibula tidak memiliki gigi yang berdekatan dengan
sambungan. Mata besar dengan lebar dua kali tingginya (Gambar 49).
1 mm

0.5 mm

a b c

Gambar 49 Tetraponera sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan
dan (c) claw

Tetraponera sebagai genus arboreal spesialisasi pemakan tanaman. Genus


ini dapat merusak tanaman karena hidup dan mencari makan di batang, ranting
sampai daun. Salah satu spesies yang hidup di Afrika adalah Tetraponera aethiops
dan T. latifrons yang memakan bongkol dan melubangi ranting tanaman liana
Barteria fistulosa (Hőlldobler & Wilson 1990). Keberadaan Tetraponera yang
hanya ditemukan satu spesies kelimpahan 0.009% di perkebunan teh
kemungkinan tanaman teh dijadikan inang (host) untuk membuat sarang dan
mencari makan.

KESIMPULAN

Pola penyebaran dan keberadaan spesies pada subfamili semut di kawasan


CATW diduga dipengaruhi oleh faktor mikroiklim dan sumber makanan.
Mikroiklim seperti temperatur dan kelembaban udara dapat menghambat aktifitas
spesies semut. Seperti spesies dalam anggota subfamili Dolichoderinae yang
umumnya mampu hidup di dataran rendah hutan tropis, sehingga hanya
ditemukan pada ketinggian 1400 m sampai 1600 m. Begitu pula dengan spesies
dalam anggota subfamili Ponerinae. Ponerinae merupakan semut yang
terspesialisasi sebagai predator. Keberadaan Ponerinae yang hanya mencapai
ketinggian 1700 m diduga bahwa mikroiklim mengurangi sumber makanan,
sehingga Ponerinae tidak terkoleksi di ketinggian 1900 m. Sedangkan Subfamili
Myrmicinae dan Formicinae sebagian besar anggotanya terdapat pada semua
ketinggian tempat. Keberadaan anggota kedua subfamili ini menunjukkan
kemampuan bertahan hidup di berbagai tipe kondisi habitat. Hal ini didukung
dengan sebagian besar anggota Myrmicinae dan Formicinae terspesialisasi
sebagai generalize forager sehingga dapat ditemukan di berbagai tipe habitat.
Sedangkan subfamili Pseudomyrmicinae dan Cerapachyinae yang hanya
terkoleksi di ketinggian 1500 m dan1600 m diduga karena perilaku biologi dalam
mencari makan yang cenderung individualistis sehingga mempersulit
pengkoleksian dengan tiga metode pengambilan sampel.
BAB V
PEMBAHASAN UMUM

Semut (Formicidae) di CATW Jawa Barat sangat berperan dalam


memberikan pemahaman dalam pemeliharaan dan biomonitoring di kawasan
konservasi. Informasi yang diberikan dapat berupa indikator akan seberapa besar
pengaruh aktifitas manusia di kawasan CATW. Selain itu, memberikan informasi
peran semut di ekosistem tersebut sehingga kestabilan rantai makanan tetap ada.
Informasi yang mendasar di kawasan konservasi ini berupa data dasar keragaman
fauna khususnya semut yang terdapat di Indonesia.
Keragaman semut di kawasan CATW Jawa Barat sudah cukup
tergambarkan berdasarkan tiga metode pengkoleksian (PSM, perangkap umpan
dan pengambilan manual). Hal ini sesuai dengan perhitungan ACE untuk mencari
kesalahan dalam memperkirakan kekayaan spesies dimana total nilai ACE
mencapai 90.14%. Namun data ini tidak dapat dibandingkan dengan penelitian Ito
et al. (2001) di Kebun Raya Bogor dimana total kekayaan spesies mencapai 216
spesies dan 61 genus. Hal ini dikarenakan penelitian tersebut dilakukan dengan
berbagai tipe pengkoleksian dalam waktu yang lama dari tahun 1900 sampai
1998. Dengan demikian, pengambilan sampel yang secara kontinu tiap periode
musim dengan berbagai metode pengkoleksian perlu dilakukan untuk
meningkatkan spesies yang dikoleksi (Wolda 1987) di kawasan CATW.
Keragaman semut baik jumlah spesies maupun individu berdasarkan empat
ketinggian tempat (1500, 1600, 1700, dan 1900 m) membentuk garis linear. Garis
linear ini menurun dari 1500 m sampai 1900 m. Penurunan ini terjadi
dimungkinkan karena kondisi lingkungan baik temperatur dan kelembaban tidak
memungkinkan semut beraktifitas dan berkembang baik. Seperti pada subfamili
Dolichoderinae dan Ponerinae yang terkoleksi sampai ketinggian 1600 m dan
1700 m.
Subfamili Dolichoderinae hanya terkoleksi sampai ketinggian 1600 m. Hal
ini diduga karena kelimpahan Dolichoderinae terbatas pada dataran rendah di
hutan tropis (Agosti et al. 2000) sehingga mengalami penurunan bersamaan
dengan peningkatan ketinggian tempat. Sedangkan subfamili Ponerinae yang
ditemukan sampai ketinggian 1700 m diduga karena adanya pertukaran peran
sebagai predator. Pertukaran peran ini kemungkinan tergantikan dengan kumbang
Carabidae dan kumbang penggerek (Olson 1994).
Adapula pada beberapa spesies dari subfamili Formicidae dan Myrmicinae
dapat terkoleksi pada ketinggian 1900 m. Adapun spesies tersebut termasuk dalam
genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium. Keberadaan Paratrechina,
Pheidole dan Tetramorium yang mencapai ketinggian tempat 1900 m diduga
karena adanya kemampuan bertahan dan mampu mencari makan pada kondisi
yang ekstrim. Kondisi lingkungan di 1900 m dengan temperatur udara minimal
mencapai 18oC dan kelembaban mencapai 100 %. Adanya kemampuan
beraktifitas pada ketiga genus ini, maka dapat dikategorikan sebagai kelompok
tramps. Kelompok tramps adalah semut yang memiliki kemampuan menyebar di
berbagai tipe habitat (Agosti et al. 2000).
Namun pada subfamili Cerapachynae dan Pseudomyrmicinae hanya
terkoleksi satu spesies dan satu individu. Spesies Cerapahynae yaitu Cerapachys
hanya terkoleksi di ketinggian 1600 m. Cerapachys merupakan genus pemakan
semut lainnya. Biasanya Cerapachys mencari makan dengan mengirim satu scout
(pengintai) (Shattuck 2000). Kebiasaan tersebut yang memungkinkan sulitnya
mengkoleksi genus ini. Sedangkan keberadaan Cerapachys di ketinggian 1600 m
diduga karena keragaman semut yang tinggi yang memudahkan Cerapachys
mencari makan.
Spesies pada Pseudomyrmicinae yaitu Tetraponera hanya terkoleksi di
ketinggian 1500 m. Tetraponera ini hanya ditemukan di kebun teh di luar wilayah
CATW. Keberadaan Tetraponera di kebun teh selain kemampuan hidupnya hanya
pada kondisi lingkungan yang hangat (Shattuck 2000), diduga pula karena
aktifitasnya yang hidup arboreal dan terspesialisasi sebagai pemakan tanaman.
Seperti pada Tetraponera aethiops dan T. litifrons yang hidup di Afrika, kedua
spesies ini memakan bongkol dan melubangi ranting tanaman liana Barteria
fistulosa (Hölldobler & Wilson 1990). Dengan demikian, tanaman teh diduga
sebagai inang (host) untuk membuat sarang dan mencari makan Tetraponera di
kawasan CATW.
Mikroiklim lingkungan seperti temperatur dan kelembaban mempengaruhi
keberadaan semut. Pada ketinggian tempat yang tinggi umumnya temperatur
rendah dan kelembaban tinggi. Temperatur yang rendah dan kelembaban yang
tinggi akan mengurangi aktifitas dan wilayah pencarian makan semut.
Kelembaban yang mencapai kondensasi 100% menyebabkan tanah tertutup
dengan embun air (bila kelembaban tanah lebih dari 80%). Semut yang berukuran
kecil pada kelompok Decetine (Strumygenys dan Smithistruma) akan mudah
terperangkap air. Strumygenys yang hanya ditemukan pada ketinggian 1500 m
diduga tidak mampu memperluas area pencarian makan. Namun pada
Smithistruma ditemukan di ketinggian 1700 m. Kemampuan Smithistruma
mencari makan yang diduga sampai ke atas kanopi tanaman mempermudah
Smithistruma terkoleksi secara manual di batang pohon. Brühl et al. (1998) juga
mendapatkan Smithistruma di kanopi dengan pengasapan (canopy fogging).
Dengan demikian kondisi lingkungan yang ekstrim akan mengurangi kemampuan
beberapa spesies untuk berpindah tempat mencari makanan.
Kemampuan semut berpindah tempat dapat terukur dengan indeks Sorensen
(Magurran 1998). Indeks Sorensen yang dipersentasekan mencapai lebih dari 50%
memiliki kesamaan komposisi spesies di kedua ketinggian tempat yang
dibandingkan. Bila kurang dari 50% menunjukkan adanya perbedaan fauna
spesies semut dikedua ketinggian tempat (β-diversity) yang dibandingkan.
Berdasarkan analisis, kesamaan spesies yang mencapai 50 % atau lebih terdapat
pada selisih rentang ketinggian di 0-200 m. Selisih tersebut terdapat dari
ketinggian tempat 1500 m sampai mencapai 1700 m. Sedangkan di ketinggian
1900 m yang dibandingkan dengan ketinggian lainnya tidak memiliki kesamaan
spesies yang mencapai 50 %. Hal ini diduga karena kondisi abiotik berupa
kelembaban dan temperatur di tiap lokasi pada rentang tersebut (200 m) tidak jauh
berbeda (Lampiran 5; Gambar 2). Walaupun kelembaban di 1700 m dapat
mencapai 100%, bila terdapat sumber makanan yang melimpah maka beberapa
spesies semut mampu memperluas jelajah pencarian makan ke wilayah yang lebih
dingin (Bernstein 1979).
Pengukuran keragaman semut dapat dijadikan informasi indikator
lingkungan. Indikator ini akan terukur seberapa besar pengaruh aktifitas manusia
di kawasan CATW. Perbandingan keragaman semut di CATW dengan
perkebunan teh dan taman wisata berdasarkan uji BNT menunjukkan tidak adanya
perbedaan. Penggunaan lahan untuk perkebunan teh dan pariwisata di sekitar
cagar alam tidak mempengaruhi kekayaan semut. Diduga penggunaan lahan untuk
agrikultur di sekitar hutan dapat mempertahankan keragaman spesies. Seperti
halnya perkebunan kopi di bawah naungan kanopi di daerah Mexico yang
dijadikan tempat perlindungan dan pencarian makan spesies dari hutan ke lahan
pertanian (Perfecto et al. 1996). Semut yang hidup sebagai predator akan
berpindah tempat dan memperluas area pencarian makan ke lahan pertanian.
Keberadaan lahan pertanian di sekitar hutan dari segi ekonomi menguntungkan
dalam managemen pengontrol hama (Philpott & Armbrecht 2006).
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Kekayaan spesies semut yang terkoleksi dengan tiga tipe pengambilan


yaitu perangkap sumuran (PSM), perangkap umpan dan manual di kawasan Cagar
Alam Telaga Warna (CATW) Jawa Barat didapatkan 6 subfamili, 25 genus dan 46
jenis. Kawasan CATW Jawa Barat dengan topografi bergelombang dan rentang
ketinggian tempat dari 1400 m sampai dengan 1900 m memiliki keragaman semut
yang dipengaruhi oleh ketinggian tempat. Keragaman semut berupa kekayaan
spesies mengalami penurunan dari ketinggian tempat yang rendah (1500 m) ke
yang tinggi (1900 m). Penurunan ini diduga karena dipengaruhi oleh faktor
mikroiklim seperti temperatur dan kelembaban yang dapat menghambat aktifitas
semut. Begitu pula dengan kelimpahan sumber makanan yang memungkinkan
berkurang pada ketinggian tempat yang tinggi, sehingga semut tidak mampu
memperluas wilayah pencarian makan.
Semut di kawasan CATW mampu berpindah tempat untuk mencari makan
pada rentang ketinggian 0-200 m. Penyebaran semut di kawasan ini terjadi dari
ketinggian tempat 1500 m sampai 1700 m, dimana komposisi spesies yang sama
antar ketinggian lebih dari 50%. Namun beberapa spesies pada subfamili
Formicinae dan Myrmicinae mampu mencapai 1900 m. Adapun spesies dari
kedua subfamili ini terdapat pada genus Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium.
Kemampuan spesies pada genus ini kemungkinan karena peran ekologinya
sebagai pemakan segala (generalized forager), sehingga dapat ditemukan di tiap
ketinggian tempat dan tiap habitat.
Keragaman semut di kawasan CATW dapat pula dijadikan indikator
perubahan lingkungan. Adapun spesies yang diduga sebagai indikator adalah
Lophomyrmex sp1. Spesies ini terkoleksi di habitat kebun teh dan taman wisata.
Walaupun kawasan CATW tidak menunjukkan adanya gangguan lingkungan,
namun dominansi Lophomyrmex sp1 diduga sebagai indikator awal perubahan
lingkungan.
SARAN

Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya.


Adapun hal-hal yang disarankan adalah perlunya penambahan lokasi pengambilan
dan tipe pengkoleksian pada tiap rentang ketinggian. Selain itu, identifikasi
sampai tingkat spesies perlu dilakukan sehingga dapat ditemukan spesies endemik
maupun spesies pendatang (introduced) di kawasan CATW. Serta, keberadaan
genus Pheidole yang melimpah di tiap ketinggian tempat dan habitat perlu
dipelajari lebih lanjut untuk melihat pola penyebaran dan peran yang jelas dalam
ekosistem tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Atkin L. Proctor J. 1988. Invertebrates in the litter and soil on Volcan Barva,
Costa Rica. J Trop Ecol 4:307-310.

Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR. 2000. Ants: Standard Methods for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian
Institution Pr.

Andersen AN. 2000. A Global Ecology of Rainforest Ants:Functional Groups in


Relation to Enviromental Stress and Disturbance. In: Agosti D, Majer JD,
Alonso LE, Schultz TR (eds). Ants: Standard Methods For Measuring and
Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Pr.

Araưjo LM, Fernandes GW. 2003. Altitudinal pattern in a tropical ant assemblage
and variation in species richness between habitats. Lundiana 4(2):103-104.

Aududdin. 2005. Statistika:Rancangan dan Analisis Data. Bogor: IPB.

Bernstein RA. 1979. Schedules of foraging activity in species of ants. J Anim Ecol
48:921-930.

Bestelmeyer BT, Wiens JA. 1996. The effects of land use on the structure of
ground-foraging ant communities in the Argenitne Chaco. Ecol Appl
6:1225-1240.

Bolton B. 1994. Identification Guide to the Ant Genera of the World. Cambridge
Massachusetts: Harvard Univ Pr.

Bolton B. 1995. A new general catalogue of the ants of the world. Cambridge:
Harvard University Pr.

Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1989. An Introduction to the Study of
Insects. Philadephia: W.B. Saunders.

Brown WL. 1973. A comparison of the Hylean and Congo-West African rain
forest ant faunas. Pp 161-185 in Meggers, BJ, Ayensu ES, Duckworth WD
(eds). Tropical Forest Ecosystem in Africa and South America: a
Comparative Review. Washington: Smithsonian Institute Pr.

Brühl CA, Gunsalam G, Linsenmair KE. 1998. Stratification of ants


(Hymenoptera, Formicidae) in primary forest on Mount Kinabalu, Sabah
Malaysia. Trop Ecol 14:285-297.

Brühl CA, Mohamed M, Linsenmair KE. 1999. Altitudinal distribution of leaf


litter ants along a transect in primary forest on Mount Kinabalu, Sabah
Malaysia. Trop Ecol 15:265-277.
Byrne MM. 1994. Ecology of twig dwelling ants in a wet lowland tropical forest.
Biotropical 26:61-72.

Chao A, Hwang WH, Chen YC, Kuo CY. 2000. Estimating the number of shared
species in two communities. Stat Sinica 10:227-246.

Cox CB, D. Moore. 1999. Biogeography: an Ecological and Evolutionary


Approach. 6th ed. Australia: Blackwell Science Ltd.

Darlington PJ. 1971. The carabid beetles of New Guinea. Part IV. General
considerations;analysis and history of fauna; taxonomic supplement. Bull
Museum of Comp Zoo 142:129-337.

Davidson DW, Cook SC, Snelling RR. 2004. Liquid-feeding performances of ants
(Formicidae): ecological and evolutionary implications. Oecologia 139:
255-266.

Delabie JHC, Fisher BL, Majer JD, Wright IW. 2000. Sampling Effort and Choice
and Methods. In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR (eds). Ants:
Standard Methods For Measuring And Monitoring Biodiversity.
Washington: Smithsonian Institution Pr.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 1991. Undang-undang No.5 Tahun 1990


tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Jakarta:Dephut.

[Dephut] Departemen Kehutanan. 2002. UU No. 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan, PP No. 47 Tahun 1997 tentang RTRWN dan Hasil Analisis
Bapeda Jabar. Jakarta:Dephut.

Gadagkar RP, Nair K, Chandrashekara, Bhat DM. 1993. Ant species richness and
diversity in some selected localities in Western Ghats, India. Hexapoda
5:79-94.

Herbers JM. 1989. Community structure in north temperate ants: Temporal and
spatial variation. Oecologia 81:201-211.

Hőlldobler B, Wilson E. 1990. The Ants. Cambridge Massachusetts: The Belknap


Pr of Harvard Univ Pr.

Hirosawa H.; Higashi S.; Mohamed M. 1998. Food habits of army ants Aenictus
and their effects on ant community in a rainforest of Borneo. [Abstract.] P.
210 in: Schwarz, M. P., Hogendoorn, K. (eds.) Social Insects at the Turn of
the Millenium. Proceedings of the XIII International Congress of IUSSI.
Adelaide, Australia. 29 December 1998 - 3 January 1999. Adelaide: XIII
Congress of IUSSI, 535 pp.
Ito F et al. 2001. Ant species diversity in the Bogor Botanical Garden, West Java,
Indonesia, with descriptions of two new species of the genus Leptanilla
(Hymenoptera: Formicidae). Tropics 10: 379-404.

Kaspari M. 1996a. Litter ant patchiness at the 1-m2 scale: disturbance dynamics in
three Neotropical forests. Oecologia (Berl.) 107: 265-273.

Kaspari M. 1996b. Testing resource-based models on pacthiness in four


Neotropical litter ants assemblages. Oikos 76:443-454.

Klein AM. Steffan-Dewenter I. Tscharntke T. 2002. Predator-prey ratios on cocoa


along a land-use gradient in Indonesia. Biov and Consev 1:683-693.

Krushelnycky PD, Joe SM, Medeiros AC, Daehler CC, and Loope LL. 2005. The
role of abiotic conditions in shaping the long-term of a high-elevation
Argentine ant invasion. Diver Distrb 11:319-331.

Magurran AN. 2003. Measuring Biological Diversity. Australia: Blackwell


Publishing Company.

McArthur RH. 1972. Geographical Ecology. New York: Harper & Row.

Newman H, Dalton S. 1967. Ants from Close up. Thomas Y. Crowell Company.

Norris KR. 1991. General Biology. Pp.68-108. In: Naumann ID, Carne PB (eds).
The Insect of Australia. A Textbook for Student and Research Workers.
Melbourne Univ Pr.

Olson DM. 1991. A comparison of the efficacy of litter sifting and pitfall trap for
sampling leaf litter ants (Hymenoptera:Formicidae) in a tropical wet forest,
Costa Rica. Biotropica 23:166-172.

Perfecto I. Dice RA. Greenberg R. VanderVoort ME. 1996. Shade coffe: A


disappearing refuge for biodiversity. Bioscience 46:598-608.

Philpott SM, Armbrecht I. 2006. Biodiversity in tropical agroforest and the


ecological role of ants and ant diversity in predatory function. Ecol Entomol
31:369-377.

Price PW. 1997. Insect Ecology.3th (eds). Ney York:John Wiley & Sons Inc.

Rizali A. 2000. Keanekaragaman semut di Kepulauan Seribu, Indonesia [tesis].


Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Robertson HG. 2000. Anfrotropical ants (Hymenoptera:Formicidae): taxonomy


progress and estimation of species richness. J Hymen Res 9:71-84.
Shattuck SO. 2000. Australian Ants: Their Biology and Identification.
Collingwood: CSIRO Publi.

Taylor RW. 1991. Formicidae. Pp.980-989. In: Naumann ID, Carne PB (eds). The
Insect of Australia. A textbook for student and research workers.
Melbourne: Univ Pr.

Telborgh J. 1977. Bird species diversity on an Andean elevational gradient.


Ecology 58:1007-1019.

Terayama M. Ito F. Gobin B. 1998. Three new species of the genus


Acanthomyrmex Emery (Hymenoptera: Formicidae) from Indonesia, with
notes on the reproductive caste and colony composition. Entomol Sci. 1:
257-264

Tilman D. Cassmaan KG. Matson PA. Naylor R. Polasky S. 2002. Agricultural


sustainability and intensive production practices. Nature 418:671-677.

Triplehorn CA. Johnson NF. 2005. Study of Insect (7th eds). Singapore. Thomson
Learning Inc.

Vasconcelos HL. 1999. Effects of forest disturbance on the structure of ground


foraging ant communities in central Amazonia. Biodiv Conserv 8:409-420.

Wilson EO. 1971. The Insect Societies. Cambridge Massachusetts : The Belknap
Pr of Harvard Univ. Pr.

Wilson EO.1958. Patchy distributions of ants species in New Geinue rain forests.
Psyche (Cambridge) 65:26-38.

Wolda H. 1987. Causes of ecological success: The case of the ants. Bio J Linn
Society 30:313-323.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel semut

Ketinggian
Cagar Alam Kebun Teh Taman Wisata
(m dpl)

1400 - 2 2
1500 2 2 -
1600 2 - -
1700 2 - -
1900 1 - -
Lampiran 2 Posisi peletakkan perangkap umpan dan PSM, ( )untuk perangkap
umpan sedangkan ( ) untuk PSM dalam Plot

10 m

10 m
Lampiran 3 Kondisi lingkungan di tiap ketinggian tempat

Ketinggian (m dpl)
Mikroiklim Taman
Cagar Alam Kebun Teh
Wisata
1400 1500 1600 1700 1900 1400 1500

Temperatur
23 23 19.75 18 18 26.5 22.5
Udara

Temperatur
18.75 18 17.75 16.5 17 23.25 21.5
Tanah

Kelembaban
83.5 84 94.5 100 100 82.5 95
Udara

Kelembaban
80 80 70 80 80 80 80
Tanah

PH Tanah 6.25 6.1 6.6 6.35 6.4 5.9 6.3


Berawan Berawan, Berawan,
Cerah
Iklim Berawan Cerah Berawan ,hujan hujan hujan
Berawan
rintik rintik rintik
Lampiran 4 Spesies semut yang terkoleksi di empat ketinggian tempat
Ketinggian (m dpl)
Morfospesies Total
1500 1600 1700 1900
Anochetus sp1 1 1 2
Cardiocondyla sp1 1 1
Cerapachys sp1 1 1
Crematogaster sp1 7 1 8
Dolichoderus sp2 3 3
Dolichoderus sp3 27 1 28
Leptogenys sp1 8 8 9 25
Leptogenys sp2 31 31
Monomorium sp1 13 13
Myrmicaria sp1 4 4
Myrmicina sp1 11 11
Myrmicina sp2 3 3
Odontomachus sp1 1 7 8
Pachycondyla sp1 12 9 4 25
Pachycondyla sp2 1 1
Paratrechina sp1 345 34 10 389
Paratrechina sp2 4 4
Paratrechina sp3 6 4 59 55 124
Pheidole sp2 43 75 118
Pheidole sp3 39 259 1099 99 1496
Pheidole sp4 200 28 16 244
Pheidole sp5 522 2 524
Pheidole sp6 3 12 30 17 62
Polyrachis sp2 13 13
Polyrachis sp4 1 1
Pseudolasius sp1 13 13
Smithistruma sp2 1 6 8 15
Strumygenys sp1 8 8
Technomyrmex sp1 1 1
Tetramorium sp1 2 2
Tetramorium sp2 27 1 56 22 106
Tetramorium sp3 9 9
Total 1238 476 1311 268 3293
Lampiran 5 Spesies semut yang terkoleksi di perkebunan teh, taman wisata dan
cagar alam pada dua ketinggian tempat

Habitat dan Ketinggian (m dpl)


Morfospesies Taman Wisata Cagar Alam Kebun Teh
Total
1400 1500 1400 1500
Anochetus sp1 1 1
Cardiocondyla sp1 1 12 13
Crematogaster sp1 4 1 20 25
Dolichoderus sp1 25 25
Dolichoderus sp3 27 27
Leptogenys sp1 8 8
Leptogenys sp3 1 1
Leptomyrmex sp1 1 1
Lophomyrmex sp1 11 4750 51 4812
Monomorium sp1 2 2
Monomorium sp2 47 32 79
Myrmicaria sp1 74 12 86
Myrmicina sp1 11 11
Odontomachus sp1 12 1 23 36
Odontoponera sp1 5 4 9
Oligomyrmex sp1 29 29
Pachycondyla sp1 6 12 82 15 115
Pachycondyla sp2 124 32 156
Paratrechina sp1 77 345 48 240 710
Paratrechina sp2 10 4 54 131 199
Paratrechina sp3 6 2 8
Paratrechina sp4 1 1 2
Pheidole sp1 2 32 34
Pheidole sp2 2 128 130
Pheidole sp3 117 39 1 157
Pheidole sp4 42 200 147 144 533
Pheidole sp5 8 522 1 825 1356
Pheidole sp6 3 3
Polyrachis sp1 2 13 15
Polyrachis sp2 5 13 94 112
Polyrachis sp3 15 15
Polyrachis sp4 4 4
Pseudomyrmex sp1 1 1
Rhoptromyrmex sp1 45 62 107
Smithistruma sp1 1 1
Smithistruma sp2 1 1
Strumygenys sp1 8 8
Technomyrmex sp1 4 4
Tetramorium sp1 49 60 109
Tetramorium sp2 4 27 18 49
Tetramorium sp3 5 9 1 32 47
Total 434 1238 5483 1886 9041

You might also like