Professional Documents
Culture Documents
Diversitas Semut (Hymenoptera, Formicidae) Di Beberapa Ketinggian Vertikal Di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat
Diversitas Semut (Hymenoptera, Formicidae) Di Beberapa Ketinggian Vertikal Di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat
Diversitas Semut (Hymenoptera, Formicidae) Di Beberapa Ketinggian Vertikal Di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRACT
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penenlitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DIVERSITAS SEMUT (HYMENOPTERA, FORMICIDAE)
DI BEBERAPA KETINGGIAN VERTIKAL DI KAWASAN
CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Tesis : Diversitas Semut (Hymenoptera:Formicidae) di Beberapa
Ketinggian Vertikal di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna
Jawa Barat
Nama : Meiry Fadilah Noor
NIM : G351050091
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Dedy Duryadi Sholihin DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena Rahmat
dan Berkat-Nya penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan
syarat untuk mendapatkan gelar Magister di Institut Pertanian Bogor. Adapun
judul penelitian ”Diversitas Semut (Hymenoptera:Formicidae) di Beberapa
Ketinggian Vertikal di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat.”
Penelitian ini dilaksanakan di sekitar kawasan Cagar Alam yang terletak di
kampung Lokapurna, Desa Gunung Sari, Kecamatan Cibungbulang, Jawa Barat
dengan total luas daerah sampling 368.25 hektar. Penelitian ini dilakukan dari
bulan Mei 2007 sampai dengan April 2008. Sedangkan pengambilan sampel
dilakukan dari bulan Mei sampai Juli 2007 dan pemilahan serta identifikasi dari
bulan Agustus 2007 sampai dengan April 2008.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Bambang Suryobroto dan Dr.
Rika Raffiudin, M.Si selaku pembimbing serta Dr. Rosichon Ubaidillah DIC
Mphil selaku penguji luar komisi pembimbing. Ucapan terima kasih juga
ditujukan kepada Ahmad Rizali, M.Si yang telah memberi saran, serta Puji
Aswari, B.Sc, Wara Asfiya, S.Si dan staf LIPI Cibinong dalam membantu
penyelesaian identifikasi. Di samping itu, penghargaan juga ditujukan kepada Ir.
Agus Mulyana selaku sub-seksi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)
Jawa Barat II beserta Ukar Sukarso dan Dikdik Suryadi selaku stafnya yang telah
membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta pihak-pihak yang membantu dan
mendukung dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Mei 1980 sebagai anak kedua
dari pasangan (Alm) Ulil Azmi Noor dan Nurhaida Hs. Riwayat Pendidikan pada
tahun 2008 telah penulis tempuh dalam mendapatkan gelar sarjana di Program
Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Lampung, dan lulus pada tahun 2003. Adapun judul karya ilmiah yang ditulis
sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana adalah “Perbandingan Morfometri dan
Kariotip Karang Mushroom di Kepulauan Krakatau dengan Pulau Tegal.”
Pada tahun 2005 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan ke
program studi Biologi Pascasarjana IPB. Pada saat itu penulis telah bekerja di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tenaga pengajar. Selama mengikuti
program S2, penulis pernah menjadi asisten Studi Lapang (SL) pada tahun 2006
dengan judul “Keanekaragaman Artropoda di Wana Wisata Cangkuang Cidahu
Sukabumi” dan tahun 2007 dengan judul “Keanekaragaman Artropoda Tanah di
Wana Wisata Cangkuang Sukabumi”. Pada tahun 2008 penulis pernah menjadi
pemakalah pada Seminar Nasional V Pemberdayaan Keanekaragaman Serangga
untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat dengan judul “Diversitas
Formicidae di Cagar Alam Telaga Warna Jawa Barat. Materi yang penulis
sampaikan pada seminar nasional tersebut merupakan progress report dari karya
ilmiah penulisan akhir program S2.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Tujuan Penelitian ................................................................................. 3
Manfaat Penelitian ............................................................................... 3
2 KERAGAMAN SEMUT (INSECTA:HYMENOPTERA) BERDASARKAN
KETINGGIAN DI CAGAR ALAM TELAGA WARNA JAWA BARAT
Pendahuluan .......................................................................................... 4
Bahan dan Metode ................................................................................ 5
Hasil ...................................................................................................... 6
Pembahasan .......................................................................................... 9
Kesimpulan ........................................................................................... 12
Halaman
4 Persentase semut dalam tiap subfamili yang dikoleksi secara kumulatif dengan
PSM, perangkap umpan dan manual di kawasan CATW ........................... 20
DAFTAR GAMBAR
Halaman
4 Cerapachys sp1 (a) Duri-duri tebal pada ujung hypopygium, (b) habitus
sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .................................................... 22
5 Dolichoderus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 23
6 Dolichoderus sp2: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 23
7 Dolichoderus sp3: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 23
8 Leptomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 24
9 Technomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan . 25
10 Paratrechina sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 27
11 Paratrechina sp2: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 27
12 Paratrechina sp3: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 27
13 Polyrachis sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ...................................................................................................... 28
14 Polyrachis sp2: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ...................................................................................................... 28
15 Polyrachis sp3: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ..................................................................................................... 28
16 Polyrachis sp4: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ...................................................................................................... 29
17 Polyrachis sp5: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole ..................................................................................................... 29
18 Pseudolasius sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ..... 30
19 Cardiocondyla sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan . . 31
20 Crematogaster sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) gaster ...................................................................................................... 31
21 Lophomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .. 33
22 Monomorium sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 33
23 Monomorium sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ... 33
24 Myrmicaria sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ....... 34
25 Myrmicina sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........ 34
26 Myrmicina sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ...... 35
27 Olygomyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .. 35
28 Pheidole sp1 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
29 Pheidole sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
30 Pheidole sp3 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
31 Pheidole sp4 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
32 Pheidole sp5 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 36
33 Pheidole sp6 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ........... 37
34 Rhoptromyrmex sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan 38
35 Smithistruma sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 39
36 Smithistruma sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ... 39
37 Strumygenys sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ..... 40
38 Tetramorium sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ..... 40
39 Tetramorium sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 40
40 Tetramorium sp3 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .... 40
41 Anochetus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan ......... 42
42 Odontomachus sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .. 43
43 Leptogenys sp1: (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) claw ........................................................................................................ 44
44 Leptogenys sp2 : (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) claw ........................................................................................................ 44
45 Leptogenys sp3 : (a) habitus sisi lateral (b) kepala tampak depan dan
(c) claw ........................................................................................................ 44
46 Odontoponera sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan .. 45
47 Pachycondyla sp1: (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan dan
(c) mandibula ................................................................................................ 46
48 Pachycondyla sp2 : (a) habitus sisi lateral dan (b) kepala tampak depan dan
(c) mandibula ................................................................................................ 46
49 Tetraponera sp1: (a) habitus sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) claw ........................................................................................................ 47
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
PENDAHULUAN
HASIL
Perubahan jumlah spesies pada tiap ketinggian tempat terjadi karena adanya
suatu perpindahan spesies karena beberapa faktor diantaranya disebabkan perilaku
predasi (Kaspari 1996; Hirosawa et al. 2000), pemilihan kelembaban (Kaspari
1996), pemilihan temperatur (Bestelmeyer 2000), topografi (Vasconcelos et al.
2003), tempat bersarang dan ketersediaan makanan (Herbers 1989; Byrne 1994;
Kaspari 1996b), kuantitas dan kualitas serasah (Kaspari 1996a), serta struktur dan
komposisi tanaman (Wilson 1958; Gadagkar et al. 1993; Bestelmeyer & Wiens
2001).
Perpindahan sejumlah spesies dianalisis menggunakan indeks kesamaan
Sorensen (Tabel 2). Indeks Sorensen yang dipersentasekan mencapai lebih dari
50% memiliki kesamaan komposisi spesies setengah dari total spesies di kedua
ketinggian tempat tersebut. Bila kurang dari 50% menunjukkan adanya perbedaan
fauna spesies semut di kedua ketinggian tempat (β-diversity). Berdasarkan
analisis, kesamaan spesies yang mencapai 50 % atau lebih terdapat di 1500 m
sampai dengan 1700 m. Sedangkan di ketinggian 1900 m yang dibandingkan
dengan ketinggian lainnya kesamaan spesies tidak mencapai 50 %. Hal ini
menunjukkan adanya perbedaan komposisi spesies antara ketinggian 1900 m
dengan ketinggian lainnya.
Gambar 1 Penyebaran spesies semut (●) menggunakan tiga tipe metode koleksi di
kawasan CATW
Faktor Abiotik
Rata-rata temperatur udara mengalami penurunan dari 23oC di 1500 m
sampai 18oC di 1900 m. Begitu pula dengan temperatur tanah yang mengalami
penurunan dari 18.75oC di 1500 m sampai 17oC di 1900 m. Temperatur udara dan
tanah ini menunjukkan adanya penurunan bersamaan dengan peningkatan gradien
ketinggian (Gambar 2). Hal ini berbanding terbalik dengan kadar kelembaban
udara dari ketinggian 1500 m sampai 1900 m. Pada ketinggian 1500 m
kelembaban udara mencapai 83.5% sedangkan ketinggian 1900 m mencapai 100
%. Kelembaban udara mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan
gradien ketinggian.
120
100
Temperatur( 0 C), 80
Kelembaban(%) 60
Temperatur Tanah
40
Kelembaban
20
0
1500 1600 1700 1900
K etin g g ia n ( m dpl)
PEMBAHASAN
Kekayaan spesies di tiap ketinggian tempat yang terkoleksi dengan tiga tipe
pengkoleksian dan lamanya pengambilan pada 2 x 24 jam mencapai 90.14%.
Pencapaian pengambilan semut ini telah cukup menggambarkan keberadaan
spesies semut di tiap ketinggian tempat. Namun kekayaan spesies ini belum dapat
menggambarkan total kekayaan spesies di CATW. Bila dibandingkan dengan
penelitian Ito et al. (2001), Kebun Raya Bogor memiliki total kekayaan spesies
mencapai 216 spesies dan 61 genus. Pengkoleksian di Kebun Raya Bogor tersebut
dilakukan dengan berbagai tipe pengambilan. Penambahan spesies akan terus
meningkat bila pengambilan sampel semut dilakukan secara kontinu pada tiap
periode musim dengan berbagai metode pengkoleksian (Wolda 1987). Dengan
demikian perlunya penambahan metode pengkoleksian dan lamanya pengambilan
sehingga dapat menggambarkan keseluruhan spesies semut.
Kekayaan spesies tertinggi dari empat rentang ketinggian tempat terdapat di
1600 m. Spesies semut yang terambil di 1600 m berjumlah 22 dan prediksi ACE
berjumlah 27.12. Tingginya jumlah spesies berbanding lurus dengan indeks
keragaman Shannon. Keragaman spesies yang tinggi di 1600 m diduga karena
keberadaan lokasi plot yang terletak di antara ketinggian 1500 dan 1700 m. Pada
ketinggian 1500 m sebagian besar spesies semut berpindah tempat mencapai 1700
m. Hal ini ditunjukkan dengan 55% spesies di 1500 m sama dengan spesies di
1700 m. Tingginya keragaman spesies di 1600 m yang diapit oleh ketinggian
1500 dan 1700 m diduga karena jenis vegetasi dan keragaman vegetasi di 1600 m
lebih kompleks. Dimana, semakin kompleks vegetasi maka keragaman spesies
baik spesies yang dimangsa maupun predator akan meningkat (Prize 1997).
Begitu pula dengan kondisi mikroiklim seperti temperatur dan kelembaban.
Mikroiklim diduga dapat pula menghambat aktifitas spesies sehingga spesies
tersebut tidak mampu berkembang maupun memperluas wilayah pencarian
makan. Seperti beberapa spesies semut di 1500 m yang terdapat di 1600 m namun
tidak terdapat di 1700 m. Adapun spesiesnya pada genus Dolichoderus,
Polyrachis, Monomorium, Anochetus, dan Odontomachus. Keberadaan genus-
genus tersebut umumnya pada lingkungan yang cenderung hangat (Agosti et al.
2000; Shattuck 2000; Taylor 1971). Hal ini sesuai dengan mikroiklim di 1500
daan 1600 m yang cenderung lebih hangat dibandingkan ketinggian 1700 m
(Lampiran 3). Dengan demikian genus-genus tersebut memungkinkan jarang
ditemukan di lingkungan yang dingin (1700 m).
Kesamaan komunitas yang lebih dari 50% terdapat pada ketinggian 1500 m
sampai 1700 m dengan selisih ketinggian dari 0 sampai 200 m. Kesamaan ini
kemungkinan disebabkan dengan kondisi abiotik berupa kelembaban dan
temperatur di tiap lokasi pada rentang tersebut tidak jauh berbeda (Lampiran 3;
Gambar 2). Walaupun kelembaban di 1700 m dapat mencapai 100%, bila
terdapat sumber makanan yang melimpah maka beberapa spesies semut ada yang
mampu memperluas jelajah pencarian makan ke wilayah yang lebih dingin
(Bernstein 1979). Seperti pada spesies dalam genus Paratrechina, Pheidole dan
Tetramorium yang terdapat di ketinggian 1700 m dan 1900 m.
Kekayaan spesies dan individu pada tiap ketinggian tempat dapat dilihat
korelasinya dengan persamaan linear (Gambar 1). Garis linear menunjukkan
adanya korelasi jumlah spesies yang mengalami penurunan dari ketinggian 1500
m sampai 1900 m. Penelitian Araujo & Fernandes (2003) di Gunung Espinhaco
Brazil juga membuktikan adanya penurunan spesies dari 800 m sampai 1500 m.
Penurunan jumlah spesies akan terus terjadi sampai pada ketinggian tertentu tidak
terdapat lagi komunitas semut. Seperti halnya di Gunung Kinabalu Malaysia
penurunan terjadi dan pada ketinggian tempat 2600 m tidak ditemukan semut
(Brühl et al. 1999). Begitu pula di Costa Rica Mexico yang tidak menemukan
spesies semut pada ketinggian 2600 m (Atkin & Proctor 1988).
Pola penurunan keragaman jumlah spesies semut juga terjadi pada taksa
hewan lainnya seperti burung (Telborg 1977), dan Coleoptera Chrysomelidae.
Hubungan timbal balik antara ketinggian tempat dan kekayaan spesies
kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor seperti; kompleksitas vegetasi,
kompetisi, predator dan mikroiklim. Vegetasi yang kompleks mempengaruhi
keragaman spesies (Prize 1997). Pengurangan struktur vegetasi akan mengurangi
kekayaan dan meningkatkan dominansi pada semut (Greenslade & Greenslade
1977). Pengurangan kekayaan spesies semut kemungkinan dapat terjadi karena
adanya kompetisi dengan serangga lain, sehingga terjadi perpindahan peran dalam
ekosistem. Brown (2000) menyatakan bahwa kumbang Carabidae dapat
menggantikan peran semut di ketinggian tempat yang tinggi. Selain itu, predator
dapat pula mengurangi kekayaan spesies semut seperti semut predator (Kaspari
1996) dan burung (Phillpott et al. 2004).
Kekayaan spesies dan individu yang mengalami penurunan di ketinggian
tempat yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh mikroiklim. Temperatur dan
kelembaban dapat mempengaruhi keberadaan semut. Pada ketinggian tempat yang
tinggi umumnya temperatur rendah dan kelembaban tinggi. Temperatur yang
rendah dan kelembaban yang tinggi akan mengurangi perkembangan dan umur
larva (Brown 1973; Lawton et al. 1987). Kecuali spesies pada genus
Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium yang dapat mencapai ketinggian 1900
m. Keberadaan Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium menunjukkan adanya
kemampuan bertahan dan mampu memperluas wilayah pencarian makan sampai
pada ketinggian 1900 m (suhu udara 18oC dan kelembaban mencapai 100%).
Ketiga genus ini melimpah pula di tiap ketinggian dan habitat. Melimpahnya
Paratrechina, Pheidole dan Tetramorium di kawasan CATW dapat dikategorikan
sebagai spesies tramps, karena kemampuan penyebarannya diberbagai tipe habitat
(Agosti et al. 2000).
KESIMPULAN
PENDAHULUAN
Sampel semut diambil di dua ketinggian tempat yang berbeda sebagai bahan
perbandingan (Lampiran 1). Pada ketinggian tempat 1400 m sampel semut
perkebunan teh dibandingkan dengan kawasan taman wisata. Sedangkan pada
ketinggian tempat 1500 m sampel semut perkebunan teh dibandingkan dengan
cagar alam. Masing-masing ketinggian tempat diambil dua lokasi pengambilan
dan tiap lokasi dibuat plot berukuran 10 x 10 m. Pada tiap plot, sampel semut
dikoleksi dengan tiga pengkoleksian yaitu perangkap sumuran (PSM), perangkap
umpan dan pengambilan langsung secara manual.
Keragaman sampel semut yang didapat dianalisis dengan menggunakan
indeks Shannon dan Indeks Simpson. Nilai indeks keragaman dan jumlah spesies
yang didapat selanjutnya dianalisis menggunakan Uji banding Fisher (Beda Nyata
Terkecil) untuk menguji adanya tidaknya perbedaan nilai tengahnya (Aududdin
2005).
HASIL
PEMBAHASAN
Penggunaan lahan untuk perkebunan teh dan pariwisata di sekitar cagar alam
tidak mempengaruhi kekayaan semut. Hubungan keragaman semut pada
ketinggian 1400 m di perkebunan teh dan taman wisata serta 1500 m di
perkebunan teh dan cagar alam dengan berdasarkan uji BNT menunjukkan tidak
adanya perbedaan. Lokasi pengambilan sampel di perkebunan teh dan taman
wisata yang terletak di tepi cagar alam tidak mengurangi keragaman semut.
Penggunaan lahan untuk agrikultur di sekitar hutan dapat mempertahankan
keragaman spesies. Seperti halnya perkebunan kopi di bawah naungan kanopi di
daerah Mexico yang dijadikan tempat perlindungan dan pencarian makan spesies
dari hutan ke lahan pertanian (Perfecto et al. 1996). Pada semut khususnya yang
hidup sebagai predator akan berpindah tempat dan memperluas area pencarian
makan ke lahan pertanian. Keberadaan lahan pertanian di sekitar hutan dari segi
ekonomi menguntungkan dalam managemen pengontrol hama (Philpott &
Armbrecht 2006).
Lophomyrmex sp1 terkoleksi dengan jumlah individu terbesar dan melimpah
di perkebunan teh ketinggian 1400 m. Spesies ini juga ditemukan di taman wisata
ketingian 1400 m dan perkebunan teh pada ketinggian 1500 m. Keberadaan
Lophomyrmex sp1 yang melimpah mempengaruhi nilai Indeks Simpson yang
menyatakan adanya suatu dominansi. Kelimpahan ini terjadi karena
ketertarikannya pada perangkap umpan gula dengan mencapai 4721 individu dari
4750 individu. Walaupun umumnya Lophomyrmex disebut sebagai generalized
forager (Agosti et al. 2000), karena dapat memakan berbagai jenis makanan.
Paratrechina dan Pheidole juga terkoleksi melimpah di perkebunan teh
(1400 m dan 1500 m), taman wisata (1400 m) dan cagar alam (1500 m).
Paratrechina didapatkan dua spesies, sedangkan Pheidole didapatkan tiga spesies
yang melimpah di keempat habitat ini. Keberadaan kedua genus ini pada keempat
habitat tersebut menunjukkan adanya kemampuan hidup dan kemampuan mencari
makan di lingkungan yang dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Penyebaran semut
sampai ke lingkungan yang dipengaruhi aktifitas manusia disebut sebagai spesies
tramp (Agosti et al. 2000) karena mampu hidup diberbagai tipe habitat.
Beberapa semut lainnya yang hanya terdapat di perkebunan teh yaitu
Olygomyrmex, Rhoptromyrmex dan Tetraponera. Olygomyrmex dan Tetraponera
berkemampuan mencari makan di lingkungan yang hangat (Shattuck 2000).
Dengan demikian mempermudah kedua genus ini ditemukan di perkebunan teh.
Begitu pula Rhoptromyrmex yang umumnya ditemukan di tanaman rendah dan
padang rumput (Shattuck 2000) sehingga mudah ditemukan di perkebunan teh.
KESIMPULAN
PENDAHULUAN
Semut merupakan salah satu suku dalam ordo Hymenoptera, serangga yang
dominan di hampir setiap ekosistem daratan di daerah tropis (Wilson 1990).
Berdasarkan jenis dan sifat ekologinya, kelompok hewan ini sangat penting dan
dapat ditemukan pada tiap strata hutan (Brühl et al. 1998). Perilaku sosial semut
sebagai predator, pengurai dan herbivor telah menjadi subjek menarik untuk
dipelajari (Hölldobler & Wilson 1990). Dibandingkan dengan kelompok serangga
lainnya, semut relatif mudah untuk dikoleksi dan dipelajari bioekologinya.
Dengan kekhasan biologi semut yang sensitif pada perubahan lingkungan (Agosti
et al. 2000) menjadikan semut sebagai indikator biologi untuk melihat perubahan
lingkungan. Dengan demikian, semut dapat membantu dalam pemahaman
ekologi, konservasi, biomonitoring, dan pengendalian biologi.
Penelitian semut di Indonesia relatif masih sangat sedikit. Bila ada,
umumnya penelitian ini tersebar pada publikasi yang membahas tentang
taksonomi semut (Bolton 1995; Terayama et al. 1998; Ito et al. 2001;). Namun
sedikit sekali penelitian semut yang membahas mengenai ekologinya. Kawasan
CATW termasuk dalam wilayah konservasi yang penelitian mengenai keragaman
semut belum pernah dilakukan. Salah satu data keragaman yang sangat premature
telah dilakukan di kawasan konservasi Kepulauan Seribu, dengan keragaman
semut 48 spesies (Rizali 2000). Data tersebut berdasarkan luas pulau dan jarak
isolasi pulau dengan pulau besar. Selain itu, Ito et al. (2001) melakukan penelitian
di dalam Kebun Raya Bogor Jawa Barat didapatkan keragaman semut dengan 216
spesies.
Pola keragaman semut dipengaruhi dengan latitude dan altitude (ketinggian
tempat). Penurunan keragaman semut pada ketinggian tempat tertinggi
kemungkinan karena adanya perubahan peran dalam ekosistem. Peran semut
umumnya digantikan oleh Artropoda lain (Darlington 1971). Pergantian peran ini
diamati Olson (1994) dalam penelitiannya mengenai keragaman Avertebrata
serasah di Panama. Penelitian ini menunjukkan adanya peningkatan keragaman
kumbang Carabidae dan kumbang penggerek di ketinggian tempat tertinggi.
Namun keragaman semut di ketinggian tempat tertinggi tersebut mengalami
penurunan. Untuk mengetahui perubahan peran dalam ekosistem maka perlu
diketahuinya keberadaan semut pada ketinggian tempat tertentu.
Cagar Alam merupakan kawasan suaka alam yang memiliki kekhasan
tumbuhan, satwa dan ekosistemnya. Ekosistem tersebut dilindungi agar
perkembangannya berlangsung secara alami (Pasal 1 butir 10 No.5 Tahun 1999).
CATW dikategorikan sebagai cagar alam karena di dalamnya terdapat telaga yang
dijadikan kawasan taman wisata dan penyangga kehidupan sekitarnya. Untuk
mengetahui berbagai peran semut di kawasan CATW maka perlunya mempelajari
keberadaan dan penyebaran spesies semut berdasarkan lima rentang ketinggian
tempat.
METODE
HASIL
Tabel 4 Persentase semut dalam tiap subfamili yang dikoleksi secara kumulatif
dengan metode PSM, perangkap umpan dan manual di kawasan CATW
Jumlah Persentase
No Subfamili Genus Spesies
Individu %
1 Cerapahyinae 1 1 1 2.17
2 Dolichoderinae 57 3 5 10.87
3 Formicinae 1246 3 9 19.57
4 Myrmicinae 9395 12 22 47.83
5 Ponerinae 396 5 8 17.39
6 Pseudomyrmicinae 1 1 1 2.17
Total 11096 25 46 100
40
35
30
Pseudomyrmicinae
Jumlah spesies
25
Ponerinae
20
Myrmicinae
15 Formicinae
10 Dolichoderinae
5 Cerapahyinae
0
1400 1500 1600 1700 1900
Ketinggian (m dpl)
Genus umum yang ditemukan di cagar alam dan perkebunan teh berjumlah
empat belas genus (60%). Adapun anggota genus umum yaitu; Paratrechina,
Polyrachis, Technomyrmex pada subfamili Formicinae; Cardiocondyla,
Crematogaster, Lophomyrmex, Monomorium, Myrmicaria, Pheidole, dan
Tetramorium pada subfamili Myrmicinae; serta, Leptogenys, Odontomachus,
Odontoponera, dan Pachycondyla pada subfamili Ponerinae. Enam genus (28%)
yaitu satu genus Cerapachys (Cerapachynae), Pseudolasius (Formicinae),
Myrmicina, Smithistruma dan Strumygenys (Myrmycinae) serta Anochetus
(Ponerinae) yang terkoleksi di cagar alam. Di taman wisata terdapat satu genus
yaitu Leptomyrmex (Dolichoderinae). Sedangkan di perkebunan teh sekitar cagar
alam hanya ditemukan 3 genus (12%) yaitu; dua genus Myrmicinae
(Olygomyrmex dan Rhoptromyrmex) serta satu genus Pseudomyrmicinae
(Tetraponera).
PEMBAHASAN
Subfamili Cerapachyinae
Subfamili ini berbeda dengan subfamili lainnya ditentukan oleh beberapa
karakter. Tubuh dengan satu petiole yang terletak antara alitrunk dan gaster.
Ujung gaster pada bagian dorsal hypopygium terdapat duri yang tersusun menebal
(Gambar 4). Spirakel yang terdapat di gaster terlihat jelas dan tidak tumpang
tindih dengan ruas gaster. Pada subfamili Cerapachyinae hanya didapati satu
genus yaitu Cerapachys di ketinggian 1600 m dpl CATW. Adapun karakter yang
membedakan dengan genus lain dengan terdapatnya sisir di tibia kaki tengah,
kuku di pretarsal sederhana (tanpa adanya penambahan gigi), serta basitarsus pada
tungkai belakang tidak memipih secara longitudinal (Shattuck 2000).
Subfamili Cerapachynae umumnya tersebar di wilayah tropis dan subtropis
di dunia sebagai spesialisasi pemakan semut lainnya. Subfamili ini diketahui
memiliki total spesies mencapai 198 spesies dari 5 genus. Empat dari lima genus
Cerapachynae hanya tersebar di wilayah tertentu namun Cerapachys tersebar di
seluruh daerah zoogeografi (Bolton 1994). Cerapachys merupakan salah satu
spesies yang berukuran kecil dengan koloni tersebar di permukaan tanah
membentuk satu sarang satu lubang dengan beberapa pekerja. Kebiasaan
Cerapachys dalam mencari makan hanya mengirim satu scout (pengintai)
(Shattuck 2000) yang diduga sebagai penyebab sulitnya pengkoleksian genus ini.
Terkoleksinya Cerapahys (2.17%) di ketinggian 1600 m dpl kemungkinan
dikarenakan keragaman semut yang tinggi yang memudahkan Cerapahys dalam
mencari makan.
0.5 mm
a
1 mm
0.5 mm
b c
Gambar 4 Cerapachys sp1 (a) Duri-duri tebal pada ujung hypopygium, (b)
habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Subfamili Dolichoderinae
Dolichoderinae dengan satu petiole yang terletak antara alitrunk dan gaster.
Ujung gaster pada bagian dorsal hypopygium tidak terdapat duri, sting maupun
acidopore. Bagian tergite dari helcium membentuk huruf U. Anggota
Dolichoderinae dapat ditemukan di berbagai tipe ekosistem. Spesies
Dolichoderinae diketahui mencapai 1000 spesies dalam 22 genus (Shattuck 2000).
Pada subfamili ini ditemukan 3 genus yaitu Dolichoderus, Leptomyrmex dan
Technomyrmex di ketinggian tempat 1400 m sampai 1600 m. Subfamili
Dolichoderinae hanya 10.87% spesies dengan Dolichoderus yang paling banyak
melimpah dibandingkan genus lainnya. Keberadaan subfamili ini yang hanya
mencapai ketinggian 1600 m kemungkinan dikarenakan kelimpahan terbatas pada
dataran rendah di hutan tropis. Keragaman Dolichoderinae akan mengalami
penurunan bersamaan dengan peningkatan ketinggian tempat. Sedangkan
lingkungan yang dingin biasanya tidak ditemukan Dolichoderinae (Andersen
2000).
Genus Dolichoderus
Bentuk petiole pada genus ini seperti bulatan atau sisik yang mengarah ke
anterior. Jumlah palpus maksila dan labial Dolichoderus dengan rumus 6:4.
Hypostoma yang terdapat di bawah clypeus berbentuk seperti gigi pada tiap
sisinya. Integumen Dolichoderus tebal dan fleksibel serta permukaan halus.
Dolichoderus ditemukan tiga bentuk yang berbeda. Dolichoderus sp1 memiliki
karakter sebagai berikut; warna tubuh coklat muda dengan warna tungkai dan
tubuh sama; serta permukaan integumen bagian lateral dari gundukan
promesonotum agak kasar (Gambar 5). Dolichoderus sp2 memiliki karakter
dengan warna tungkai dan badan yang sama-sama berwarna hitam dan permukaan
integumen agak kasar (Gambar 6). Dolichoderus sp3 memiliki karakter dengan
warna tungkai coklat muda kemerahan dan badan berwarna coklat kehitaman serta
permukaan integumen bagian lateral gundukan promesonotum kasar (rugose)
(Gambar 7).
1 mm
1 mm
a b
Gambar 5 Dolichoderus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm
1 mm
a b
Gambar 6 Dolichoderus sp2: (a) Sisi lateral dan (b) kepala
1 mm
1 mm
a b
Gambar 7 Dolichoderus sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Dolichoderus diketahui 142 spesies yang tersebar di wilayah bagian
selatan Amerika Utara, bagian utara Amerika Selatan, Eropa Barat sampai Laut
Hitam, India Barat, Jepang sampai Australia. Dolichoderus umumnya ditemukan
di area hutan dari savana sampai hutan hujan. Dolichoderus biasanya membuat
sarang di tanah dan di pohon. Aktifitas Dolichoderus mencari makan sebagai
predator, scavenger dan pengumpul madu Hemiptera (Shattuck 2000)
memudahkan Dolichoderus di kawasan CATW ditemukan baik di perkebunan teh
maupun cagar alam. Genus ini didapati tiga spesies dari ketinggian 1400 sampai
1600 m dpl dengan kemelimpahan terkecil pada Dolichoderus sp2 yang hanya
terkoleksi di ketinggian 1600 m.
Genus Leptomyrmex
Leptomyrmex memiliki petiole dan rumus palpus yang sama dengan
Dolichoderus. Sedangkan karakter pembeda yang khas dimiliki genus ini sebagai
berikut; kepala dan alitrunk terlihat memanjang dan memipih; tungkai tipis dan
panjang; hypostoma meruncing di bagian tengah. Mandibula panjang berbentuk
triangular dengan tepi terluarnya mencekung sampai ke bagian tengah
perpanjangannya (Gambar 8).
2 mm
1 mm
a b
Gambar 8 Leptomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Technomyrmex
Petiole Technomyrmex berbentuk sederhana dan tidak terlihat pada saat
alitrunk dan gaster pada bidang yang sama. Bila dilihat dari dorsal, tergit
berjumlah 5 dengan anal dan orifice terletak di bagian apikal gaster. Mandibula
Technomyrmex memiliki gigi yang besar berjumlah lima (Gambar 9).
0.5 mm
0.5 mm
a b
Gambar 9 Technomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Subfamili Formicinae
Petiole yang memisahkan alitrunk dan gaster pada subfamili Formicinae
berjumlah satu. Tidak terdapat sengat yang menjulur (sting) di ujung gaster.
Ujung gaster dengan acidopore berbentuk sirkular yang tepinya dikelilingi bulu.
Subfamili Formicinae terkoleksi tiga genus dengan sembilan spesies dengan
persentase 15.57% dari total spesies semut yang terkoleksi.
Penyebaran spesies pada Formicinae dapat dijumpai di berbagai lokasi di
dunia. Total spesies yang teridentifikasi mencapai 3700 spesies dalam 49 genus.
Hasil pengkoleksian sampel didapati tiga genus yaitu Paratrechina, Polyrachis
dan Pseudolasius dengan Paratrechina sp1 yang paling banyak melimpah
dibandingkan genus lainnya. Paratrechina dan Polyrachis ditemukan di cagar
alam dan perkebunan teh. Sedangkan Pseudolasius hanya ditemukan di cagar
alam pada ketinggian 1700 m.
Genus Paratrechina
Antena dengan 12 ruas. Rumus palpus 6:4. Mandibula berbentuk
subtriangular. Kantung antena terletak dekat dengan tepi clypeus. Pada
metapleuron terdapat kelenjar orifice yang terletak di atas koksa belakang dan
tepat di bawah spirakel propodeal. Bagian ventral gaster terdapat sternum
pertama tanpa sulcus di belakang helcium. Orifice pada propodeum berbentuk
sirkular. Mata terletak di depan pertengahan kepala. Bulu yang keras dan
menghitam tersusun berpasangan di pertengahan atas kepala dan alitrunk.
Genus Paratrechina tercatat empat bentuk yang berbeda. Paratrechina sp1
dengan warna tubuh coklat muda dengan tubuh licin dan mengkilat (Gambar 10).
Paratrechina sp2 berwarna coklat tua kehitaman dengan tubuh tidak licin dan
mengkilat (Gambar 11). Paratrechina sp3 berwarna coklat tua dengan tubuh licin
dan mengkilat (Gambar 12). Sedangkan Paratrechina sp4 warna dan bentuknya
seperti Paratrechina sp1, namun berukuran sangat kecil dan rapuh.
Paratrechina diketahui 147 spesies yang menyebar di Eropa, Afrika Timur,
China, Australia dan Indonesia. Genus ini yang merupakan generalized forager
dapat ditemukan di hutan yang kondisinya kering, semak di tepi pantai, dan hutan
hujan. Salah satu anggota genus ini dikenal sebagai kelompok tramp karena
kemampuannya berpindah dan membuat sarang dengan mudah (Shattuck 2000).
Paratrechina di kawasan CATW mencapai ketinggian 1900 m (Paratrechina
sp3) dengan Paratrechina sp1 yang ditemukan paling melimpah dari
Paratrechina lainnya (6.79%). Dengan demikian, keberadaan Paratrechina
menunjukkan adanya kemampuan hidup dan membuat sarang di lingkungan yang
lembab (1900 m: rH 100%).
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 10 Paratrechina sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 11 Paratrechina sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
1 mm 0.5 mm
a b
Gambar 12 Paratrechina sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Genus Polyrachis
Antena dengan 12 ruas dan rumus palpus 5 ruas maksila dan 3 ruas labial.
Kantung antena terletak jauh dari tepi clypeus. Pada metapleuron tidak terdapat
kelenjar orifice. Mandibula memiliki jumlah gigi 5-7. Mata berukuran besar dan
terletak di belakang pertengahan kepala. Bagian Pronotum, Propodeum dan
petiole terdapat duri atau gigi (atau tidak).
Kawasan CATW ditemukan tiga bentuk Polyrachis. Polyrachis sp1 di
bagian pronotum, propodeum, dan petiole terdapat duri yang panjang dan
menebal. Pada petiole terdapat 2 duri yang panjang dan melekuk serta sepasang
gigi yang terletak dipertengahan petiole (Gambar 13). Polyrachis sp2 bagian
pronotum tidak terdapat duri. Namun pronotum sampai dengan propodeum
mengalami penyempitan secara lateral membentuk tepi persegi dengan diakhiri
duri yang tebal di bagian propodeum (Gambar 14). Petiole memiliki sepasang
duri yang pendek dan tebal yang terletak dipertengahan dengan sepasang gigi di
tepi petiole. Polyrachis sp3 bagian pronotum dan propodeum terdapat sepasang
gigi. Sedangkan petiole memiliki gigi 2 pasang (Gambar 15). Pada Polyrachis
sp4 di bagian pronotum, propodeum tidak memiliki duri atau gigi, namun di
bagian petiole terdapat gigi 2 pasang berbentuk seperti petiole pada Polyrachis
sp3 (Gambar 16).
2 mm 1 mm
1 mm
a b c
Gambar 13 Polyrachis sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole
2 mm
1 mm
1 mm
a b c
Gambar 14 Polyrachis sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole
2 mm
1 mm
1 mm
a b c
Gambar 15 Polyrachis sp3(a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole 1 mm
2 mm
1 mm 1 mm
a b c
Gambar 16 Polyrachis sp4: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole
2 mm
1 mm
0.5 mm
a b c
Gambar 17 Polyrachis sp5: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) petiole
Polyrachis terdiri dari 639 spesies dan dapat ditemukan di daerah tropis
Afrika, Asia dan Australia. Polyrachis di kawasan CATW terkoleksi tiga spesies
dengan kelimpahan terbesar pada Polyrachis sp2 (1.01%). Polyrachis merupakan
semut arboreal karena mampu membuat sarang dari sutera dan daun (Agosti et al.
2000). Kebiasaan genus ini membuat sarang di atas pohon mempermudah
pengkoleksian di kedua habitat ketinggian 1400 sampai 1600 m.
Genus Pseudolasius
Genus Pseudolasius memiliki 12 ruas antena. Mandibula berbentuk
triangular. Kantung antena terletak dekat tepi clypeus. Metapleuron terdapat
kelenjar orifice yang terletak di atas koksa belakang dan di bawah spirakel
propodeum. Palpus maksila dengan 4 ruas. Pada alitrunk bagian mesonotum dan
anepisternum bergabung membentuk triangular. Tepi clypeus bagian anteriornya
mencekung. Sedangkan tepi lateral mandibula agak melengkung. Pada genus ini
hanya ditemukan satu bentuk (Gambar 18).
Pseudolasius terdiri dari 64 spesies yang tersebar di wilayah tropis dari
Afrika, Asia sampai Australia. Genus ini hanya ditemukan di hutan hujan di
wilayah Australia (Shattuck 2000). Genus ini berinteraksi dengan Hemiptera
Pseudococcidae dengan menjaga sarangnya sambil mengkoleksi madu (Taylor
1991). Pseudolasius di kawasan CATW hanya ditemukan satu spesies di cagar
alam ketinggian 1700 m dengan kelimpahan 0.12% dari total individu.
1 mm
1 mm
a b
Gambar 18 Pseudolasius sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Subfamili Myrmecinae
Subfamili ini paling banyak ditemukan di kawasan CATW. Petiole
Myrmicinae berjumlah dua (petiole dan postpetiole). Pygidium bulat, kecil dan
tidak dilengkapi oleh susunan gigi atau sting di ujungnya. Frontal lobes tidak ada
atau mengecil dan memanjang secara vertikal. Mata dengan ukuran dan jumlah
ommatidia yang bervariasi. Tibia tungkai belakang tidak terdapat sisir. Tepi
belakang clypeus tepat di bawah kantung antena.
Myrmicinae merupakan subfamili terbesar di dunia ditemukan di berbagai
habitat (kecuali daerah kutub utara dan selatan). Total spesies Myrmicinae
mencapai 6700 spesies dalam 155 genus (Shattuck 2000). Subfamili Myrmecinae
yang terkoleksi di kawasan CATW memiliki persentase spesies terbesar dari
subfamili lainnya (47.83%) dengan kelimpahan terbesar pada Lophomyrmex sp1,
sedangkan jumlah spesies terbanyak pada genus Pheidole.
Genus Cardiocondyla
Genus Cardiocondyla dengan ruas antena 12 dan dua ruas pertama
membesar atau menggada (club). Rumus palpus 5:3. Alitrunk bagian dorsal tanpa
penonjolan. Frontal lobe terpisah. Bagian tengah clypeus melekuk ke dalam
sehingga membentuk alur antar lobe. Tepi mandibula bagian dasar tidak bergigi
(Gambar 19).
Genus Cardiocondyla terdiri dari 49 spesies yang ditemukan tersebar di
wilayah dunia. Cardiocondyla hidup di habitat hutan hujan, padang rumput dan
lingkungan yang terganggu seperti di kota. Genus ini biasanya hidup arboreal
dengan beberapa spesies dapat menjadi hama di daerah tropis (Shattuck 2000).
Kebiasaan Cardiocondyla yang arboreal mempermudah dalam pengkoleksian di
ketinggian 1500 m dengan satu spesies di cagar alam dan perkebunan teh.
1 mm
0 5 mm
a b
Gambar 19 Cardiocondyla sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Genus Crematogaster
Crematogaster tidak memiliki alur antena. Postpetiole menempel pada
permukaan dorsal ruas pertama gaster. Bila dilihat dari bagian dorsal, gaster
berbentuk hati. Petiole memipih dorsoventrally (Gambar 20).
1 mm
0.5 mm
a b c
Gambar 20 Crematogaster sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan dan (c) gaster
a b
Gambar 21 Lophomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Genus Monomorium
Ruas antena berjumlah 11 dengan tidak terdapat alur di bawahnya. Petiole
pediculate. Sedangkan pronotum bagian dorsal mencembung dengan tidak
terdapat penggentingan di bagian lateralnya (Gambar 22). Monomorium
ditemukan dua bentuk dengan spesies pertama memiliki ciri ruas antena
berjumlah 12, integumen tubuh tidak halus (agak kasar) dan bagian propodeum
agak menonjol sejajar dengan tinggi pronotum. Sedangkan Monomorium sp2
memiliki antena 11, integumen halus dan mengkilat, serta bagian propodeum
tidak sejajar dengan pronotum.
Monomorium tersebar di seluruh wilayah dunia dengan total spesies yang
diketahui mencapai 351 spesies. Monomorium dapat ditemukan diberbagai tipe
habitat. Monomorium di kawasan CATW ditemukan dua spesies dengan
Monomorium sp1 terkoleksi di ketinggian 1400 m perkebunan teh dan 1600 m
cagar alam. Sedangkan Monomorium sp2 terkolesi di ketinggian 1400 m taman
wisata dan 1500 m perkebunan teh. Sebagian besar genus Monomorium
melakukan aktifitas pencarian makan pada waktu panas di siang hari (Taylor
1991). Monomorium merupakan pemakan biji dan scavenger. Beberapa spesies
Monomorium dapat hidup di kawasan dengan aktifitas manusia tinggi.
Monomorium menjadi hama karena mencari makan di kawasan perumahan dan
pergedungan (Shattuck 2000).
0.5 mm
0.5 mm
a b
Gambar 22 Monomorium sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
0.5 mm
0.5 mm
a b
Gambar 23 Monomorium sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Genus Myrmicaria
Myrmicaria memiliki antena berjumlah tujuh ruas. Pada tiga ruas pertama
mengalami perbesaran membentuk penggadaan (Gambar 24). Tidak terdapat alur
di bawah antena.
Myrmicaria tersebar di wilayah tropis Afrika dan Indomalayan. Genus ini
terkoleksi dengan menggunakan semua metode pengoleksian di ketinggian 1400
m dan 1600 m. Ketertarikan genus ini terhadap umpan gula dan sarden
menunjukkan spesialisasinya yang mampu memakan berbagai jenis makanan.
Sedangkan keberadaan Myrmicaria di ketinggian 1400 m dan 1600 m
kemungkinan karena kemampuan hidupnya di lingkungan yang hangat (Agosti et
al. 2000). Untuk mempertahankan suhu hangat Myrmicaria biasanya membuat
sarang berbentuk gundukan tanah (Wilson 1971).
2 mm
1 mm
a b
Gambar 24 Myrmicaria sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Myrmecina
Ruas antena Myrmecina berjumlah 12. Clypeus pada bagian lateralnya tidak
membentuk sudut yang tajam. Kepala bagian ventrolateral terdapat carina dari
bagian dasar ventral mandibula sampai di bawah mata. Petiole tanpa anterior
pediculate. Genus ini ditemukan dua bentuk yang berbeda dimana bentuk
pertama berukuran besar dengan permukaan promesonotum sangat kasar (Gambar
25). Pada bagian propodeumnya terdapat sepasang duri dan sepasang berbentuk
seperti gigi. Sedangkan Myrmecina sp2 berukuran lebih kecil dengan permukaan
promesonotum yang kasar (Gambar 26). Bagian propodeum hanya terdapat
sepasang duri.
Myrmecina diketahui 33 spesies yang tersebar di sentral dan utara Amerika
(Shattuck 2000) serta di wilayah Neartic dan Paleartic (Agosti et al. 2000).
Myrmecina mampu hidup sampai ketinggian 1700 m dpl dengan suhu mencapai
18oC dan kelembaban udara yang mencapai 100%. Myrmecina dapat ditemukan di
tanah dan di bawah bebatuan serta kayu mati. Genus ini termasuk dalam
kelompok predator rayap (Termite).
2 mm
0.5 mm
a b
Gambar 25 Myrmicina sp1: ((a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 26 Myrmicina sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Olygomyrmex
Antena Olygomyrmex berjumlah sembilan ruas dua ruas pertama menggada.
Tidak terdapat alur antena dan carina di kepalanya. Bagian anterior pertengahan
clypeus tidak terdapat bulu yang panjang tapi hanya terdapat sepasang bulu kecil.
Propodeum dengan sepasang gigi. Mata berukuran kecil dengan satu facet. Kepala
cenderung berbentuk persegi dan berukuran sangat besar (Gambar 27).
0.5 mm
0.25 mm
a b
Gambar 27 Olygomyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Genus Pheidole
Ruas antena Pheidole berjumlah 12. Rumus palpus 3:2. Daerah
pertengahan clypeus melebar dan tidak membentuk garis bicarina. Tepi apikal
mandibula dengan tujuh gigi atau lebih dimana gigi ketiga lebih kecil dari
keempat. Morfospesies genus Pheidole paling banyak ditemukan dibandingkan
genus lainnya yaitu berjumlah 6 jenis.
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 28 Pheidole sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 29 Pheidole sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 30 Pheidole sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
0.5 mm
0.25 mm
a b
Gambar 31 Pheidole sp4: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 32 Pheidole sp5: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
0.5 mm
0.5 mm
a b
Gambar 33 Pheidole sp6: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Pada Pheidole sp1 dengan antena tiga ruas pertama menggada, tubuh
berwarna coklat kehitaman dengan permukaan integumen cenderung kasar dan
mengkilat (Gambar 28). Pheidole sp2 dengan tiga ruas antena membentuk gada,
warna tubuh coklat muda dengan permukaan integumen cenderung halus dan
mengkilat (Gambar 29). Pheidole sp3 berantena empat ruas antena membentuk
gada, berwarna coklat tua dengan permukaan integumen cenderung kasar dan
mengkilat (Gambar 30). Pheidole sp4 dengan tiga ruas antena membentuk gada,
berukuran paling kecil dari Pheidole lainnya, serta berwarna tubuh coklat muda
dengan permukaan tubuh halus dan mengkilat (Gambar 31). Pheidole sp5 mirip
dengan Pheidole sp1 dengan warna tubuh coklat, namun pada bagian pertengahan
pronotum terdapat sepasang penonjolan yang jelas (Gambar 32). Sedangkan
Pheidole sp6 berantena tiga ruas antena membentuk gada, tubuh berwarna hitam
dengan permukaan integumen kasar dan tidak mengkilat, serta duri pada
propodeum lebih panjang dari Pheidole lainnya (Gambar 33).
Pheidole merupakan genus terbesar nomor dua yang memiliki jumlah
spesies mencapai 808 spesies. Keberadaan genus ini umumnya dominan di
permukaan hutan hujan wilayah tropis di seluruh dunia (Andersen 2000). Di
kawasan CATW Pheidole ditemukan enam spesies yang melimpah baik di tiap
ketinggian dan habitat dengan total mencapai 35.08%. Spesies terbanyak yang
terkoleksi pada genus ini adalah Pheidole sp3 yang mencapai 14.55%.
Kemelimpahan genus ini kemungkinan dikarenakan kemampuannya dalam
mencari makan dan membuat sarang dikondisi yang dingin (Shattuck 2000).
Pheidole terspesialisasi sebagai scavenger, predator, dan pemakan biji (Hőlldobler
& Wilson 1990) memberikan kemampuan untuk hidup dalam habitat yang
beragam dan mampu memperluas wilayah pencarian makan. Kemampuan
Pheidole mencari makan telah diteliti Davidson et al. (2004) dengan adanya
modifikasi otot proventikular sehingga dapat menyimpan makanan dalam jumlah
besar. Dengan demikian Pheidole mampu memperluas aranya mencapai
ketinggian tempat 1900 m.
Genus Rhoptromyrmex
Rhoptromyrmex memiliki ruas antena berjumlah 12 dengan tiga ruas
pertama menggada. Bagian lateral clypeus membentuk lekukan bersudut tajam.
Duri di bagian apicodorsal gaster berbentuk triangular. Kepala berbentuk hati
dengan clypeus yang menonjol. Tepi ventral petiole mencembung seperti lunas
(keel). Mata terletak di belakang pertengahan kepala. Spirakel di propodeum
terletak di dasar pertengahan duri. Rumus palpus 3:2 (Gambar 34).
Genus Rhoptromyrmex tersebar di lingkungan tropis wilayah Afrika Barat,
India, Indonesia sampai New Guinea. Jumlah spesies yang diketahui mencapai 10
spesies. Rhoptromyrmex biasanya ditemukan di padang rumput dan hutan hujan.
Di kawasan CATW Rhoptromyrmex hanya ditemukan di perkebunan teh dengan
satu spesies dan kelimpahan mencapai 0.96%. Keberadaan Rhoptromyrmex di
perkebunan teh kemungkinan dikarenakan sumber nutrisi Rhoptromyrmex berupa
Artropoda kecil dan madu dari Hemyptera melimpah. Rhoptromyrmex biasanya
membuat sarang di serasah daun dan tanaman rendah (Shattuck 2000). Sehingga
dapat mempermudah Rhoptromyrmex dalam mendapatkan sumber makanan.
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 34 Rhoptromyrmex sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Genus Smithistruma
Smithistruma hanya memiliki enam ruas antena. Mandibula berbentuk
triangular dengan tepi basal tipis (tidak menebal) yang tidak bersentuhan dengan
tepi anterior clypeus. Tepi apikal mandibula bergigi seri 10 atau lebih seperti
perangkap hewan (bear trap-like). Smithistruma didapati dua bentuk yang
berbeda. Smithistruma sp1 pada bagian kepala dan alitrunk terdapat bulu-bulu
yang tegak (standing seta) dengan bagian propodeumnya dilengkapi sepasang
duri (Gambar 35). Sedangkan Smithistruma sp2 pada bagian kepala dan alitrunk
tidak terdapat bulu serta di sepanjang lereng propodeum terdapat lapisan tipis
berbentuk spons (Gambar 36).
Smithistruma tersebar di daerah tropis dengan kondisi lingkungan yang
hangat dan dapat ditemukan di serasah daun (Agosti et al. 2000). Smithistruma di
kawasan CATW terdapat di cagar alam pada ketinggian 1400 m sampai 1700 m
dengan dua spesies dan total kelimpahan 0.14%. Keberadaan Smithistruma di
kawasan ini berperan sebagai predator Collembola (Agosti et al. 2000).
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 35 Smithistruma sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
0.5 mm
0.25 mm
a b
Gambar 36 Smithistruma sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Strumygenys
Jumlah ruas antena pada genus ini sama dengan pada Smithistruma. Namun
bentuk mandibulanya panjang dengan ujung mandibula memiliki 3 pasang gigi
seperti garpu. Mata terletak ventrolateral dari kepala. Palpus dengan rumus 1:1
dapat dijadikan karakter yang khas untuk dibedakan dengan genus lainnya yang
terdekat (Gambar 37).
Strumygenys diketahui mencapai 168 spesies yang tersebar di wilayah tropis
dan subtropis berbagai wilayah dunia kecuali Palearctic Bagian Barat (Shattuck
2000). Di kawasan CATW Strumygenys hanya terkoleksi satu spesies dan
kelimpahan 0.07% di ketinggian 1500 m dpl dengan suhu udara 23oC dan
kelembaban 84%. Strumygenys memiliki peran yang sama dengan Smithistruma
yaitu sebagai predator Collembola.
0.5 mm
0.25 mm
a b
Gambar 37 Strumygenys sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Tetramorium
Genus ini memiliki jumlah ruas antena, bentuk lateral clypeus dan duri
apicodorsal yang sama dengan Rhoptromyrmex. Namun kepala tidak berbentuk
seperti hati dengan mata terletak di depan pertengahan kepala. Terdapat carina
dipertengahan kepala bagian anterior. Rumus palpus 4:3.
0.5 mm
0.25 mm
a b
Gambar 38 Tetramorium sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
1 mm
0.5 mm
a b
Gambar 39 Tetramorium sp2: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
0.5 mm
0.25 mm
a b
Gambar 40 Tetramorium sp3: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Tetramorium yang ditemukan di CATW ada tiga spesies. Spesies pertama
berukuran lebih besar dari kedua spesies lainnya. Bentuk duri yang terdapat di
propodeum runcing dan melekuk di ujungnya. Pada anterior kepala terdapat tiga
carina yang jelas sampai puncak kepala. Warna tubuh, tungkai dan mandibula
terlihat hitam kecoklatan yang pekat (Gambar 38). Spesies kedua berukuran lebih
kecil dari spesies pertama. Bentuk duri runcing namun tidak ada pelekukan
diujungnya. Anterior kepala terdapat carina yang semu. Warna tubuh hitam pekat
tapi tungkai dan mandibula berwarna coklat tua (Gambar 39). Sedangkan spesies
ketiga berukuran paling kecil dengan warna tubuh sama dengan spesies kedua.
Anterior kepala tidak terlihat jelas alur carina. Sedangkan sepasang duri di
propodeum berbentuk gigi triangular (Gambar 40).
Tetramorium tersebar di daerah tropis dan daerah dingin (Agosti et al. 2000)
dan dapat ditemukan di habitat yang dingin dan basah (Shattuck 2000). Genus ini
spesialisasi sebagai scavenger, predator, dan pemakan biji (Hőlldobler & Wilson
1990). Tetramorium mampu hidup dalam habitat yang beragam dan mampu
memperluas wilayah pencarian makan. Dengan demikian, Tetramorium dapat
ditemukan di tiap ketinggian dari 1500 m sampai 1900 m dengan kelimpahan
terbesar pada Tetramorium sp2 (1.15%). Begitu pula diberbagai habitat baik di
cagar alam, perkebunan teh maupun cagar alam.
Subfamili Ponerinae
Subfamili Ponerinae memiliki satu petiole yang dapat memisahkan alitrunk
dan gaster. Ujung gaster dengan sting yang terlihat jelas dengan pygidium dan
hipopygidium tidak dilengkapi sisir atau susunan duri yang menebal. Kantung
antena dengan ujung tepi posterior dan clypeus terpisah. Spirakel pada ruas gaster
keempat dan kelima tersembuyi. Ponerinae pada kawasan CATW ditemukan lima
genus dan delapan spesies. Spesies terbanyak pada subfamili ini terdapat di genus
Leptogenys, sedangkan kelimpahan terbesar pada genus Pachycondyla.
Anggota subfamili Ponerinae memiliki ukuran yang kecil dan besar.
Ponerinae dapat ditemukan di berbagai habitat dan dapat ditemukan di lingkungan
yang terganggu. Jumlah anggota Ponerinae mencapai 2000 spesies dari 22 genus.
Di kawasan CATW Ponerinae terkoleksi dari ketinggian 1400 m sampai 1700 m.
Kecuali pada Odontoponera yang hanya terdapat di ketinggian 1400 m. Seluruh
anggotanya yang terkoleksi merupakan predator serangga lainnya. Anochetus,
Odontomatchus, Leptogenys dan Pachycondyla spesialisasi pemakan rayap
(Shattuck 2000). Beberapa jenis Pachycondyla merupakan predator Semut genus
Messor, Monomorium, Pheidole, dan Ponogomyrmex (Hőlldobler & Wilson
1990). Namun Odontomatchus di Afrika juga dapat bermutualisasi dengan aphids
dan coccid dalam menjaga sarang dan memberikan perlindungan dari predator
lainnya. Kemungkinan keberadaan Ponerinae dari 1400 m sampai dengan 1700 m
menunjukkan kelimpahan sumber makanan pada rentang ketinggian tersebut.
Genus Anochetus
Genus Anochetus memiliki petiole yang hampir melekat dengan ruas
pertama gaster karena adanya pelengkap berupa dua penghubung tipis antar
petiole dengan gaster. Mandibula panjang dengan ujung apikalnya berseri tiga
gigi. Nuchal carina yang merupakan pemisah dorsal dari permukaan posterior
kepala bersatu membentuk garis melebar yang panjang. Puncak kepala tidak
membentuk alur namun membentuk lekukan ke dalam seperti parit (Gambar 41).
0.5 mm
1 mm
a b
Gambar 41 Anochetus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak depan
Genus Odontomachus
Odontomachus memiliki petiole dan mandibula yang sama dengan
Anochetus. Namun Nuchal carina di posterodorsal kepala bergabung
dipertengahannya membentuk huruf V. Sedangkan puncak kepala membentuk
garis mengalur dipertengahannya (Gambar 42).
2 mm
2 mm
a b
Gambar 42 Odontomachus sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Genus Leptogenys
Leptogenys memiliki petiole yang tidak bergabung dengan gaster namun
dihubungan dengan dua lapisan tipis diantaranya. Mandibula berbentuk triangular
dengan permukaan ventral dekat dengan dasar tanpa membentuk pola segitiga.
Daerah basal dari mandibula tanpa adanya bentuk seperti lubang atau alur.
Ventral tibia tungkai belakang bila dilihat dari sisi depan akan terlihat dua sisir
berbentuk pectinate dan sederhana. Cakar pretarsal tungkai belakang dekat point
apikal memiliki lebih dari satu gigi.
Leptogenys yang ditemukan di kawasan CATW terdapat tiga jenis yang
berbeda. Perbedaan yang mencolok pada bentuk cakar pretarsal, petiole, warna
tubuh dan permukaan tubuh. Pada Leptogenys sp1 cakar pretarsal tungkai
belakang memiliki tujuh gigi yang menyebar dari ujung apikal cakar sampai
pertengahan cakar mengikuti lekukan cakar. Bentuk petiole Leptogenys sp1 pipih
dan melebar. Warna tubuh hitam pekat dengan permukaan tubuh yang licin dan
mengkilat (Gambar 43). Leptogenys sp2 gigi cakar pretarsal berjumlah lima
berbentuk sisir yang tersebar dipertengahan cakar pada kedua sisinya dengan
tinggi masing-masing gigi cakar sejajar. Bentuk petiole tipis namun tidak begitu
melebar. Warna tubuh coklat muda dengan permukaan tubuh yang licin dan
mengkilat (Gambar 44). Sedangkan Leptogenys sp3 gigi cakar pretarsal berjumlah
enam, berukuran pendek dan tersebar jarang-jarang. Bentuk petiole besar dan
melebar (Gambar 45).
2 mm
1 mm
a b c 0.25 mm
Gambar 43 Leptogenys sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) claw
1 mm 0.5 mm
0.25 mm
a b c
Gambar 44 Leptogenys sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) claw
1 mm
0.5 mm
0.25 mm
a b c
Gambar 45 Leptogenys sp3: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan dan
(c) claw
2 mm
1 mm
a b
Gambar 46 Odontoponera sp1: (a) Habitus, sisi lateral dan (b) kepala tampak
depan
Genus Pachycondyla
Genus ini memiliki mandibula dengan bentuk triangular dan bergigi 7.
Frontal lobes dan metatibia tungkai belakang sama dengan Odontoponera.
Namun pronotum tidak bergerigi dan tidak terdapat gerigi di tepi anterior clypeus.
Pachycondyla ditemukan dua bentuk. Spesies pertama berukuran besar sama
dengan ukuran tubuh genus Odontoponera. Warna tubuh hitam pekat dengan
permukaan tubuh yang kasar. Bagian dasar mandibula terdapat celah seperti
lingkaran (Gambar 47). Sedangkan pada spesies kedua berukuran kecil. Warna
tubuh coklat tua dengan permukaan tubuh agak kasar namun mengkilat. Bagian
dasar mandibula pada jenis kedua ini tidak memiliki celah seperti lingkaran
(Gambar 48).
2 mm
1 mm
0.5 mm
Gambar 47 Pachycondyla sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan
dan (c) mandibula
1 mm 0.5 mm
0.5 mm
a b c
Gambar 48 Pachycondyla sp2: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan
dan (c) mandibula
Subfamili Pseudomyrmicinae
Pseudomyrmicinae memiliki dua petiole. Pygidium melekuk tanpa adanya
duri yang tersusun diujungnya. Tidak terdapat frontal lobes. Kantung antena
terbuka tidak ditutupi frontal lobes. Tibia tungkai belakang dengan taji berbentuk
pectinate. Tepi posterior dari pertengahan clypeus tidak melekuk ke kantung
antena. Subfamili ini ditemukan satu genus yaitu Tetraponera. Adapun ciri genus
ini memiliki tepi basal mandibula tidak memiliki gigi yang berdekatan dengan
sambungan. Mata besar dengan lebar dua kali tingginya (Gambar 49).
1 mm
0.5 mm
a b c
Gambar 49 Tetraponera sp1: (a) Habitus, sisi lateral, (b) kepala tampak depan
dan (c) claw
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Atkin L. Proctor J. 1988. Invertebrates in the litter and soil on Volcan Barva,
Costa Rica. J Trop Ecol 4:307-310.
Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR. 2000. Ants: Standard Methods for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian
Institution Pr.
Araưjo LM, Fernandes GW. 2003. Altitudinal pattern in a tropical ant assemblage
and variation in species richness between habitats. Lundiana 4(2):103-104.
Bernstein RA. 1979. Schedules of foraging activity in species of ants. J Anim Ecol
48:921-930.
Bestelmeyer BT, Wiens JA. 1996. The effects of land use on the structure of
ground-foraging ant communities in the Argenitne Chaco. Ecol Appl
6:1225-1240.
Bolton B. 1994. Identification Guide to the Ant Genera of the World. Cambridge
Massachusetts: Harvard Univ Pr.
Bolton B. 1995. A new general catalogue of the ants of the world. Cambridge:
Harvard University Pr.
Borror DJ, Triplehorn CA, Johnson NF. 1989. An Introduction to the Study of
Insects. Philadephia: W.B. Saunders.
Brown WL. 1973. A comparison of the Hylean and Congo-West African rain
forest ant faunas. Pp 161-185 in Meggers, BJ, Ayensu ES, Duckworth WD
(eds). Tropical Forest Ecosystem in Africa and South America: a
Comparative Review. Washington: Smithsonian Institute Pr.
Chao A, Hwang WH, Chen YC, Kuo CY. 2000. Estimating the number of shared
species in two communities. Stat Sinica 10:227-246.
Darlington PJ. 1971. The carabid beetles of New Guinea. Part IV. General
considerations;analysis and history of fauna; taxonomic supplement. Bull
Museum of Comp Zoo 142:129-337.
Davidson DW, Cook SC, Snelling RR. 2004. Liquid-feeding performances of ants
(Formicidae): ecological and evolutionary implications. Oecologia 139:
255-266.
Delabie JHC, Fisher BL, Majer JD, Wright IW. 2000. Sampling Effort and Choice
and Methods. In: Agosti D, Majer JD, Alonso LE, Schultz TR (eds). Ants:
Standard Methods For Measuring And Monitoring Biodiversity.
Washington: Smithsonian Institution Pr.
Gadagkar RP, Nair K, Chandrashekara, Bhat DM. 1993. Ant species richness and
diversity in some selected localities in Western Ghats, India. Hexapoda
5:79-94.
Herbers JM. 1989. Community structure in north temperate ants: Temporal and
spatial variation. Oecologia 81:201-211.
Hirosawa H.; Higashi S.; Mohamed M. 1998. Food habits of army ants Aenictus
and their effects on ant community in a rainforest of Borneo. [Abstract.] P.
210 in: Schwarz, M. P., Hogendoorn, K. (eds.) Social Insects at the Turn of
the Millenium. Proceedings of the XIII International Congress of IUSSI.
Adelaide, Australia. 29 December 1998 - 3 January 1999. Adelaide: XIII
Congress of IUSSI, 535 pp.
Ito F et al. 2001. Ant species diversity in the Bogor Botanical Garden, West Java,
Indonesia, with descriptions of two new species of the genus Leptanilla
(Hymenoptera: Formicidae). Tropics 10: 379-404.
Kaspari M. 1996a. Litter ant patchiness at the 1-m2 scale: disturbance dynamics in
three Neotropical forests. Oecologia (Berl.) 107: 265-273.
Krushelnycky PD, Joe SM, Medeiros AC, Daehler CC, and Loope LL. 2005. The
role of abiotic conditions in shaping the long-term of a high-elevation
Argentine ant invasion. Diver Distrb 11:319-331.
McArthur RH. 1972. Geographical Ecology. New York: Harper & Row.
Newman H, Dalton S. 1967. Ants from Close up. Thomas Y. Crowell Company.
Norris KR. 1991. General Biology. Pp.68-108. In: Naumann ID, Carne PB (eds).
The Insect of Australia. A Textbook for Student and Research Workers.
Melbourne Univ Pr.
Olson DM. 1991. A comparison of the efficacy of litter sifting and pitfall trap for
sampling leaf litter ants (Hymenoptera:Formicidae) in a tropical wet forest,
Costa Rica. Biotropica 23:166-172.
Price PW. 1997. Insect Ecology.3th (eds). Ney York:John Wiley & Sons Inc.
Taylor RW. 1991. Formicidae. Pp.980-989. In: Naumann ID, Carne PB (eds). The
Insect of Australia. A textbook for student and research workers.
Melbourne: Univ Pr.
Triplehorn CA. Johnson NF. 2005. Study of Insect (7th eds). Singapore. Thomson
Learning Inc.
Wilson EO. 1971. The Insect Societies. Cambridge Massachusetts : The Belknap
Pr of Harvard Univ. Pr.
Wilson EO.1958. Patchy distributions of ants species in New Geinue rain forests.
Psyche (Cambridge) 65:26-38.
Wolda H. 1987. Causes of ecological success: The case of the ants. Bio J Linn
Society 30:313-323.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Lokasi dan jumlah pengambilan sampel semut
Ketinggian
Cagar Alam Kebun Teh Taman Wisata
(m dpl)
1400 - 2 2
1500 2 2 -
1600 2 - -
1700 2 - -
1900 1 - -
Lampiran 2 Posisi peletakkan perangkap umpan dan PSM, ( )untuk perangkap
umpan sedangkan ( ) untuk PSM dalam Plot
10 m
10 m
Lampiran 3 Kondisi lingkungan di tiap ketinggian tempat
Ketinggian (m dpl)
Mikroiklim Taman
Cagar Alam Kebun Teh
Wisata
1400 1500 1600 1700 1900 1400 1500
Temperatur
23 23 19.75 18 18 26.5 22.5
Udara
Temperatur
18.75 18 17.75 16.5 17 23.25 21.5
Tanah
Kelembaban
83.5 84 94.5 100 100 82.5 95
Udara
Kelembaban
80 80 70 80 80 80 80
Tanah