Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NO 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN

NEGARA REPUBLIK INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

J URNAL

Oleh :

Nama : BALQIS RIMANDA

NIM : 130200590

Departemen : Hukum Administrasi Negara

Email : balqisrimanda@gmail.com

Dosen Pembimbing : 1. Suria Ningsih,SH.,M.Hum

2. Boy Laksamana,SH.,M.Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

1
ABSTRAK

KEWENANGAN DISKRESI KEPOLISIAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG


NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK
INDONESIA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM
ADMINISTRASI NEGARA

Balqis Rimanda*
Suria Ningsih**
Boy Laksamana***

Diskresi Kepolisian merupakan kewenangan polisi untuk mengambil


keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah
pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya.
Permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah apakah dasar
hukum diskresi kepolisian , mengapa diskresi harus diterapkan dalam pelaksanaan
tugas kepolisian, bagaimana penerapan diskresi dalam tugas kepolisian.
Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian yuridis normatif yaitu melakukan analisis peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan judul dan menggunakan bahan hukum sekunder
seperti buku-buku, kamus-kamus hukum, jurnal, dan lain sebagainya di
perpustakaan (library search) dan juga mengakses media online seperti internet..
Diskresi kepolisian diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU RI No. 2 Tahun
2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa untuk kepentingan
umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Kepolisian
dalam melakukan tindakan diskresi harus dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia. Diskresi Kepolisian harus diterapkan dalam pelaksanaan tugas
kepolisian adalah karena undang-undang ditulis dalam bahasa yang terlalu umum
untuk bisa dijadikan petunjuk pelaksanaan sampai detail bagi petugas dilapangan,
mengisi kekosongan hukum, mewujudkan keadilan dan menjaga ketertiban, serta
pertimbangan sumber daya dan kemampuan dari petugas kepolisian. Penerapan
diskresi kepolisian perlu dibatasi oleh asas keperluan yaitu bahwa tindakan itu
harus benar-benar diperlukan, asas masalah yaitu tindakan yang diambil benar-
benar untuk kepentingan tugas kepolisian, asas tujuan sebagai ukuran yaitu bahwa
tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan atau tidak terjadinya
suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar, asas keseimbangan yaitu bahwa
dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan keseimbangan antara sifat
tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat
ringannya suatu obyek yang harus ditindak.

Kata Kunci: Diskresi, Kepolisian, Hukum Administrasi Negara

*
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
**
Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
***
Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

i
ABSTRACT

THE AUTHORITY Of POLICE DISCRETION BASED ON ACT NUMBER


2 OF 2002 ABOUT REPUBLIC OF INDONESIA CONSTABULARY
VIEWED FROM THE PERSPECTIVE OF STATE ADMINSTRATIVE
LAW

BalqisRimanda*
SuriaNingsih**
Boy Laksamana***

Police Discretion is the police authority to make decisions or choose


various actions in resolving the issue of lawlessness or criminal case which it
handled.
The issue which raised in this study is what is the legal basisof police discretion,
why the discretion should be applied in the implementation of police tasks or
works, how the application of this discretion in the police task/work.
The research method that is used in this research is a normative juridical
research which is doing the legislation analysis relating to the title of this study
and using the secondary legal material sources, such as books, legal dictionaries,
journals, and others in libraries (library search) and also accessing the online
media, like internet .
Police discretion is regulated in Article 18 verse (1) in RI Statute No. 2 of
2002 about the Republic of Indonesia Constabulary which said that for the public
good of the State Police of the Republic of Indonesia functionaies in carrying out
their duties and authorities, they may act in their own judgment. Police in
conducting the discretion must uphold the human rights. The Police Discretion
should be applied in the implementation of police tasks, it is because the statute is
written in a language that is too general to be used as a guideline for the detail
implementation for the field officers, to fill the legal vacuum, actualizing justice
and maintaining order, as well as consideration of resources and capabilities of
police officers. The application of police discretion needs to be limited by the
principle of necessity that the action must be absolutely necessary, the principle of
problem is the action which has taken completely for the sake of the police task,
the principle of purpose as a measure is that the most appropriate action to
eliminate a nuisance or there is no occurrence of a concernabout the greater
consequence, the principle of equilibrium is that in taking an action it must be
calculated the balance between the nature of the action or the target that is used by
the magnitude of the disturbance or the severity of an object to be deal with.

Keywords: Discretion, Police, State Administrative Law

*
Student of Law Faculty University of North Sumatera
**
Supervisor I of Law FacultyUniversity of North Sumatera
***
Supervisor II of Law FacultyUniversity of North Sumatra

ii
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Peran Polisi secara umum dikenal sebagai pemelihara Kamtibmas juga
sebagai aparat penegak hukum dalam proses pidana. Polisi adalah aparat penegak
hukum jalanan yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat. Pasal
2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Pasal 4 UU No.2
Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Polisi di semua negara dalam melaksanakan penegakan hukum di
lapangan adalah sama wewenangnya. Selain mengadakan tindakan berdasarkan
peraturan perundang-undangan, juga dapat secara leluasa memakai peraturan
sendiri dan pengalaman pribadi dalam memutuskan apa yang harus dilakukan dan
bagaimana menangani penegakan hukum serta situasi dalam memelihara
ketertiban yang polisi temui dalam melaksanakan tugasnya. Polisi tidak perlu
mempunyai bukti cukup untuk menangkap orang dan dimintai keterangan,
walaupun tanpa dibekali atau didukung tanpa surat perintah sepotong pun, cukup
mengenakan identitasnya saja. Wewenang tersebut disemua negara terutama
Amerika Serikat dan Inggris, dikenal dengan istilah police discretion dan di
Indonesia menyebut dengan istilah diskresi.1
Diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan dalam setiap
situasi yang dihadapi. Diskresi selalu dikaitkan dengan pengambilan keputusan,
kekuasaan atau kewenangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap persoalan

1
R. Abdussalam, Penegakan Hukum Dilapangan Oleh Polri, Dinas Hukum Polri,
Jakarta, 2007, hlm.7.

1
yang dihadapi.2 Diskresi merupakan kewenangan polisi untuk mengambil
keputusan atau memilih berbagai tindakan dalam menyelesaikan masalah
pelanggaran hukum atau perkara pidana yang ditanganinya. Sangatlah penting
bahwa diskresi ini dapat dilakukan dengan benar dengan mempertimbangkan
segala aspek atau hal- hal diatas disertai etika yang baik seperti yang diuraikan
sebelumnya. Oleh karena itu dengan diskresi ini maka tindakan yang diambil oleh
Polisi harus benar secara hukum.3
2. Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan dalam penyusunan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
1. Apakah dasar hukum penerapan diskresi oleh Kepolisian Republik Indonesia ?
2. Mengapa diskresi harus diterapkan dalam pelaksanaan tugas kepolisian ?
3. Bagaimana penerapan diskresi dalam pelaksanaan tugas kepolisian ?
3. Metodologi
Jenis penelitian yang digunakan adalah bersifat deduktif yang mengarah
kepada penelitian normatif, yaitu data penelitian berasal dari peraturan yang
tertulis yang disebut bahan hukum. Sumber data penelitian ini terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah dengan menggunakan studi pustaka. Analisis data yang
digunakan adalah analisis normatif kuantitatif, yaitu data yang diperoleh
kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif
untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya dituangkan
dalam bentuk skripsi.
B. Hasil Penelitian
1. Tinjauan Umum Mengenai Diskresi
Diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat
oleh hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Diskresi
kepolisian adalah suatu wewenang menyangkut pengambilan suatu keputusan

2
Djoko Prakoso, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegak Hukum, (Jakarta : PT. Bima Aksara,
1987), hal 182.
3
Mulardi Sasmita, “Diskresi Kepolisian Dalam Perspektif”, diakses Senin, 2 September 2017
Pukul 21.00 wib.

2
pada kondisi tertentu atas dasar pertimbangan dan keyakinan pribadi seorang
anggota kepolisian.4 Diskresi diartikan sebagai kebebasan mengambil keputusan
dalam setiap situasi yang dihadapi. Diskresi selalu dikaitkan dengan pengambilan
keputusan, kekuasaan atau kewenangan yang dilakukan oleh seseorang terhadap
persoalan yang dihadapi.5 Jadi dapat diartikan diskresi yaitu kebebasan untuk
dapat bertindak atas inisiatif sendiri, terutama dalam menyelesaikan persoalan
yang memerlukan penanganan segera tetapi peraturan untuk penyelesaian
persoalan itu belum ada karena belum dibuat oleh badan yang diserahi tugas
legislatif.
Menurut Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan, bahwa diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan
yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.6
Kewenangan diskresi tersebut diatur dalam pasal 18 Undang- undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:
a. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas Dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.
b. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Aturan yang memperkenankan anggota Polri mengambil diskresi diatur
dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pasal 18 ayat (1)
memang tidak definitif menyebut istilah diskresi, tetapi bertindak menurut

4
Susanto F. Anton, Kepolisian Dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, 2004 hlm. 12
5
Djoko Prakoso, Op.Cit, hlm.182
6
Pasal 1 Angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan

3
penilaiannya sendiri. Selanjutnya, ayat (2) menegaskan syarat pelaksanaan
diskresi, yaitu “dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia”.
Penerapan diskresi kepolisian mempunyai landasan hukum yang menjadi
pedoman atau dasar-dasar hukum dalam pelaksanaan tindakan diskresi agar
tindakannya itu tidak keluar dari garis-garis ketentuan aturan perundang-undangan
maka ketentuan yang digunakan adalah Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 7 ayat (1)
point i dan j, Pasal 18 KUHAP ayat (2), kemudian ketentuan UU No 2 Tahun
2002 tentang tugas pokok kepolisian yaitu Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15 ayat (1)
point b,c, dan g, Pasal 16 ayat (1) point b, c, d, f, k, adalah pelaksanaan penerapan
diskresi, tetapi ketentuan PERKAP No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana Pasal 76 ayat (1) merupakan penjelasan lagi dari point
f ketentuan Pasal 16 ayat (1). Sedangkan Pasal 16 ayat (2) adalah garis-garis
pedoman agar penerapan tindakan diskresi tujuannya dapat tercapai, ketentuan
Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) tetapi ayat (2) menjelaskan tentang cara menerapkan
diskresi, Pasal 19 ayat (1) dan 2, ketentuan Pasal 19 ayat (2) ketentuanya lebih
kepada pencegahan Pasal (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan yang menjelaskan tentang penerapan diskresi kategori
melampaui wewenang.
Beberapa ketentuan-ketentuan diatas merupakan dasar hukum dalam
penerapan tindakan diskresi yang dilakukan oleh kepolisian tetapi ada ketentuan
sebagai pedoman yang membatasi tindakan diskresi itu dilakukan seperti
ketentuan PERKAP No 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia (KEPP) Pasal (1) point 5, Pasal 4, Pasal 6, Pasal 7
ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11.
2. Diskresi Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian
Adanya diskresi kepolisian akan mempermudah polisi di dalam
menjalankan tugasnya, terutama pada saat penyidikan di dalam menghadapi
perkara pidana yang dinilai kurang efisien jika dilanjutkan ke proses selanjutnya.
Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

4
2009 Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, prinsip-prinsip
penggunaan kekuatan sebagai batas dalam tindakan kepolisian (diskresi) adalah: 7
1. Legalitas, yang berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai
dengan hukum yang berlaku
2. Nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan
bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan
situasi yang dihadapi
3. Proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan
tingkat kekuatan atau respon anggota polri, sehingga tidak
menimbulkan kerugian/korban/ penderitaan yang berlebihan
4. Kewajiban umum, yang berarti bahwa anggota polri diberi kewenangan
untuk bertindak atau tidak bertindak menurut penilaian sendiri, untuk
menjaga, memelihara ketertiban dan menjamin keselamatan umum
5. Preventif, yang berarti bahwa tindakan kepolisian mengutamakan
pencegahan
6. Masuk akal (reasonable), yang berarti bahwa tindakan kepolisian
diambil dengan mempertimbangkan secara logis situasi dan kondisi dari
ancaman atau perlawanan pelaku kejahatan terhadap petugas atau
bahaya terhadap masyarakat.
Perkara - perkara yang masuk dibidang tugas perventif polisi dalam hal
pemberian diskresi memang lebih besar daripada perkara-perkara penegakan
hukum. Hal ini dikarenakan tugas-tugas polisi itu umumnya adalah tugas-tugas
perventif. Tugas-tugas dilapangan atau tugas-tugas umum polisi, yang lingkupnya
sangat luas dan tidak seluruhnya tertulis dalam suatu peraturan perundang-
undangan. Maka diserahkan tindakan berikutnya kepada polisi itu sendiri
sehingga jalan keluarnya oleh anggota polisi itu. Dan disinilah terdapat ruangan –
ruangan diskresi.

7
Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009
Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

5
Yang menjadi landasan kenapa Diskresi ini diperlukan dalam pelaksanaan
tugas Polri hal ini menurut Soerjono Soekanto dimunkingkan karena:
1) Tidak ada peraturan perundang- undangan yang sedemikian lengkapnya
sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.
2) Adanya keterlambatan- keterlambatan untuk menyesuaikan perundang-
undangan dengan perkembangan didalam masyarakat, sehingga
menimbulkan ketidak pastian.
3) Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang- undangan sebagaimana
yang dikehendaki oleh pembentukan Undang- undang.8
3. Penerapan Diskresi Dalam Tugas Kepolisian
Adapun penerapan Diskresi Kepolisian yang tidak dapat dituntut di depan
hukum diiatur dalam pasal 18 Undang- undang No. 2 Tahun 2002 dan Pasal 7
KUHAP, namun tentunya kewenangan ini dapat dilakukan dengan pertimangan
tertentu sebagai batasan – batasan. Tindakan diskresi oleh polisi dibatasi oleh:
1. Asas keperluan, bahwa tindakan itu harus benar- benar diperlukan.
2. Tindakan yang diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian.
3. Asas tujuan, bahwa tindkan yang paling tepat untuk meniadakan suatu
gangguan atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang
lebih besar.
4. Asas keseimbangan, bahwa dalam mengambil tindakan harus
diperhitungkan keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang
digunakan dengan besar kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu
objek yang harus ditindak9
Kewenangan diskresi tersebut diatur dalam pasal 18 Undang- undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu:
c. Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia
dalam melaksanakan tugas Dan wewenangnya dapat bertindak menurut
penilaiannya sendiri.

8
Soejono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Rajawali, Jakarta:
1986) Hlm 12.
9
Subroto Brotodiredjo, 1995, Polri Sebagai Penegak Hukum, Penerbit Fakultas Hukum
UI, Jakarta, h. 534-535.

6
d. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan
peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Dengan syarat dalam pelaksanaan diskresi harus mempertimbangkan hal-
hal berikut ini:
1. Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
2. Selaras denagn kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan. Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk
dalam lingkungan jabatannya
3. Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa harus
menghormati hak asasi manusia.
Wewenang yang diberikan terhadap anggota Polri dalam menerapkan
Diskresi, perlu diberikan bentuk, kriteria yang jelas karena bentuk dan kriteria ini
tidak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
yang ada hanya berupa pembatasan yang dijadikan ukuran dalam menggunakan
diskresi yaitu berdasarkan penjelasan dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 16 ayat 2 Undang-
Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “tindakan lain” adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan
penyelidikan sebagai berikut :
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya
tindakan jabatan,
c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan
jabatannya, atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa,
menghormati hak asasi manusia
Prakteknya, penggunaan diskresi oleh petugas kepolisian dalam
menangani berbagai masalah seringkali memiliki batasan yang kabur sehingga
sering menyimpang dari ketentuan atau prinsip diskresi. Masalah dalam
pelaksanaan diskresi yang dilakukan oleh petugas kepolisian adalah karena

7
petugas-petugas lapangan dalam beberapa hal mempunyai otonomi yang lebih
besar dalam pengambilan keputusan daripada para perwira dan pimpinan, dimana
pelaksanaan diskresi oleh petugas polisi di lapangan bersifat individual, dengan
berdasarkan pada apa yang diketahui atau dimengerti oleh petugas dilapangan.
Selain itu, petugas lapangan seringkali menghadapi tugas yang mendadak
sehingga penanganan tugas tersebut tidak direncanakan dengan baik dan teliti. Hal
demikian dapat menyebabkan kesalahan dalam penggunaan asas diskresi, dimana
nantinya dapat menimbulkan detournement de povouir (penyalahgunaan
wewenang) atau abuse of power (pelampauan kewenangan).
Permasalahan penerapan diskresi oleh kepolisian dapat diatasi secara
perlahan. Salah satu caranya adalah dengan memperhatikan serta mematuhi batas-
batas dalam melaksanakan tugas dan wewenang petugas kepolisian tersebut.
Diskresi yang diberikan kepada petugas dalam kepolisian juga mengenal batas-
batas tertentu yang harus diperhatikan dan tidak boleh disimpangi karena
penyimpangan dari asas diskresi akan melahirkan penyalahgunaan wewenang dan
kesewenang-wenangan. Hal demikian tentu saja akan berdampak buruk kepada
masyarakat. Maka dari itu, ketika petugas kepolisian akan menggunakan diskresi
untuk melakukan tindakan bagi keadaan yang mendesak, ia harus benar-benar
memahami pembatasan dalam pengambilan tindakan tersebut.
Menurut Warsito Hadi Utomo sistem pertanggungjawaban atas kesalahan
ataupun kelalaian yang telah dilakukan oleh anggota Polri adalah sebagai berikut :
1. Pelanggaran dari norma hukum pidana harus dipertanggung jawabkan
menurut hukum pidana;
2. Apabila ia merugikan orang lain dalam melaksanakan tugas atau perintah
jabatan yang sah, maka negaralah yang bertanggung jawab, sehingga
setiap orang yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi dari negara
berdasarkan suatu “inrechtmatige overheidsdaad” melalui Peradilan Tata
Usaha Negara.10

10
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Rajawali, Jakarta:
1986) Hlm 104.

8
Dari rumusan-rumusan tersebut diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
tindakan seorang petugas Kepolisian dapat dianggap tidak sah, tidak hanya
apabila :
a. Melanggar hukum baik yang berlaku umum (misalnya melanggar Undang-
Undang Hukum Pidana), maupun yang berlaku khusus (misalnya
melakukan pemeriksaan kendaraan di jalan umum walaupun ada larangan
dan dinas);
b. Tanpa dasar hukum baik berupa tindakan tanpa hak dan wewenang
(misalnya memaksa seseorang membayar hutangnya) maupun tindakan
melampaui batas-batas wewenang (misalnya memukul dan menganiaya
tersangka);
c. Mempunyai pertimbangan-pertimbangan diluar persoalan (misalnya
mengulur-ulur pemeriksaan tersangka bukan karena kurang alat-alat bukti,
tetapi karena sikap tersangka tidak sopan);
d. Ingin mencapai tujuan lain (misalnya menahan surat ijin mengemudi
sipelanggar lalu lintas agar mendapat uang tebusan). 11
Oleh karena itu, meskipun tujuan dan maksud dilakukannya Diskresi
Kepolisian sangat abstrak dan dapat mengundang bermacam – macam penafsiran,
sepatutnya dapat dipertanggungjawabkan dari segi hukum, segi moral maupun
etika kepolisian. Diskresi kepolisian sangat rentan penyimpangan dan
penyalahgunaan sehingga perlu diberikan batasan dan pengawasan.12 Menurut
Roeslan Saleh, suatu tindakan penyalahgunaan kekuasaan harus
dipertanggungjawabkan dan kena hkum sesuai dengan sistem hukum atau norma
yang dilanggar itu.13

11
Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta, Prestasi Pustaka 2005, Hlm 20.
12
Pudi Rahardi, Hukum Kepolisian Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang Mediatama,
Surabaya, 2007, hlm. 29.
13
Roeslan Saleh, Pikiran – pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1984), hal 34.

9
C. Penutup
1) Kesimpulan
1. Diskresi kepolisian diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia bahwa untuk
kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya
sendiri. Kepolisian dalam melakukan tindakan diskresi harus dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.
2. Diskresi Kepolisian harus diterapkan dalam pelaksanaan tugas kepolisian
dalam perwujudan akan suatu keadilan yang materiil mempunyai alas hak
yang sah untuk mengambil suatu tindakan yang berada diluar wewenangnya
sejauh tidak melanggar asas yang ada di masyarakat juga penyimpangan
dalam pengambilan tindakan yang dilakukannya tersebut adalah merupakan
suatu keharusan dalam kaidah hukum lain yang ditujukan untuk kemaslahatan
masyarakat seperti yang tercantum dalam Pasal 3 Peraturan Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan
Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, prinsip-prinsip penggunaan kekuatan
sebagai batas dalam tindakan kepolisian (diskresi) adalah legalitas, yang
berarti bahwa semua tindakan kepolisian harus sesuai dengan hukum yang
berlaku, nesesitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan dapat dilakukan
bila memang diperlukan dan tidak dapat dihindarkan berdasarkan situasi yang
dihadapi, proporsionalitas, yang berarti bahwa penggunaan kekuatan harus
dilaksanakan secara seimbang antara ancaman yang dihadapi dan tingkat
kekuatan atau respon anggota polri, sehingga tidak menimbulkan
kerugian/korban/ penderitaan yang berlebihan
3. Penerapan diskresi kepolisian dibatasi oleh asas keperluan yaitu bahwa
tindakan itu harus benar-benar diperlukan, asas kelugasan yaitu tindakan yang
diambil benar-benar untuk kepentingan tugas kepolisian, asas tujuan sebagai
ukuran yaitu bahwa tindakan yang paling tepat untuk meniadakan suatu gangguan
atau tidak terjadinya suatu kekhawatiran terhadap akibat yang lebih besar, asas
keseimbangan yaitu bahwa dalam mengambil tindakan harus diperhitungkan

10
keseimbangan antara sifat tindakan atau sasaran yang digunakan dengan besar
kecilnya gangguan atau berat ringannya suatu obyek yang harus ditindak.
Perlindungan dan bantuan dalam diskresi kepolisian terdapat pada Pasal 12
ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, yang
menyatakan bahwa anggota Polri yang menggunakan kekuatan dalam
pelaksanaan tindakan kepolisian sesuai dengan prosedur yang berlaku berhak
mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum oleh Polri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Pasal 12 ayat (2) menyatakan bahwa hak
anggota Polri tersebut wajib diberikan oleh institusi Polri.
2) Saran
1. Penerapan diskresi terhadap kasus-kasus tertentu perlu menjadi bahan dalam
pembentukan peraturan hukum pidana yang akan datang sebagai pembaharuan
KUHP yang baru..
2. Perlunya peran masyarakat untuk memahami bahwa kewenangan diskresi
memang diberikan oleh hukum kepada Polisi dalam lingkup tugasnya, tetapi
dalam batas-batas yang ditentukan aturan hukum.
3. Diskresi dalam kepolisian sangat rentan akan penyalahgunaan. Hal ini
merupakan suatu alasan yang cukup kuat untuk meningkatkan peran pejabat
kepolisian dalam mengawasi anggotanya hingga ke jajaran paling rendah,
karena justru penyalahgunaan banyak digunakan oleh anggota yang berada
jauh dari pengawasan kepala kepolisian. Fungsi pengawasan yang sangat
ditekankan ini membutuhkan suatu interaksi yang baik dan juga komunikasi
yang baik antara pejabat kepolisian dengan anggotanya. Jadi distribusi tugas
tidak hanya terhenti sampai tersampaikannya tugas tersebut kepada
anggotanya akan tetapi harus juga disertai penjelasan-penjelasan yang dapat
dipahami dengan baik oleh anggota yang akan melaksanakan tugas tersebut
secara langsung di lapangan. Hal ini diperlukan untuk mengurangi peluang
para anggota memberikan suatu alasan akan ketidakjelasan tugas yang telah
diberikan

11
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdussalam, R. Penegakan Hukum Dilapangan Oleh Polri, Dinas Hukum Polri,


Jakarta, 2007.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja


Grafindo Persada, Jakarta, 2004.

Basah, Syachran, Perlindungan Hukum Atas Sikap Tindak Administrasi Negara,


Alumni, Bandung, 2002.

Djamin, Awaloedin, Sejarah dan Perkembangan Kepolisian di Indonesia.


Yayasan Brata Bhakti Polri, Jakarta, 2007

Faal, M. Penyaring Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya


Paramita, Jakarta, 2001

HR. Ridwan, Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2013.

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum


Pidana, Usu Press, Medan, 2010

Marzuki, Laica, Peraturan Kebijaksanaan Hakikat Serta Fungsinya Selaku


Sarana Hukum Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta, 2006

M. Hadjon, Philipus, Tentang Wewenang, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007.

Mulyadi, Mahmud dan Andi Sujendral. Community Policing: Diskresi Dalam


Pemolisian Yang Demokratis,PT Sofmedia, Jakarta, 2011

Prakoso, Djoko, Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, Jakarta, Bima
Aksara, 2007.

Rahardi, Pudi, Hukum Kepolisian Profesionalisme dan Reformasi Polri, Laksbang


Mediatama, Surabaya, 2007

Raharjo, Satjipto dan Anton Tabah,. Polisi, Pelaku Dan Pemikir, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Rianto, Budi, Polri dan Aplikasi E-Government. Putra Media Nusantara,


Surabaya, 2012

Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, 2006.

12
Sadjijono, Mengenal Hukum Kepolisian : Perspektif Kedudukan dan
Hubungannya dalam Hukum Administrasi, Laksbang Mediatama,
Surabaya,2008

Susanto, F. Anton, Kepolisian dalam Upaya Penegakan Hukum di Indonesia,


Rineka Cipta, Jakarta, 2004.

Soekanto, Soerjono dan Srimamudji, Penelitian Hukum Normatif, Ind-Hillco,


Jakarta, 2001.

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta,


2003

Surianingrat, Bayu, Pemerintahann Administrasi Desa dan Kelurahan, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 2011.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam praktek, Sinar Grafika, Jakarta,


2006

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Hukum Acara Pidana

Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009


Tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian

C. Internet

Andi Munwarman. “Sejarah Ringkas Kepolisian RI”, melalui


http://www.HukumOnline.com/, diakses tanggal 19 Oktober 2017 Pukul
10.00 WIB.

https://news.detik.com/berita//Kapolri Soal Diskresi Antara Kasus Lubuklinggau


dan Aiptu Sunaryanto, diakses tanggal 19 Januari 2018 Pukul 10. 00 WIB.

http://www.hukumonline.com/Kabareskrim Diskresi Polisi Harus Dibatasi,


diakses tanggal 19 Januari 2018 Pukul 10.00 WIB

Mulardi Sasmita, “Diskresi Kepolisian Dalam Perspektif”, diakses Senin, 2


September 2017 Pukul 21.00 WIB.

13

You might also like