Professional Documents
Culture Documents
Tugas Legal Drafting Zahra Nurindah Amalie
Tugas Legal Drafting Zahra Nurindah Amalie
Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Januari 2022, memberi kuasa kepada Ni
Komang Tari Padmawati, Hans Poliman S.H, Alya Fakhira, Dixon Sanjaya S.H, Asima Romian
Angelina, Ramadhini Silfi Adisty S.H, Sherly Angelina Chandra, dan Zico Leonard Djagardo
Simanjuntak S.H. yang merupakan tim pada Kantor Hukum Leo & Partners, beralamat di Jalan
Aries Asri VI E16 Nomor 3, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat, DKI Jakarta, bertindak
bersama-sama maupun sendiri sendiri, untuk dan atas nama pemberi kuasa. Selanjutnya
disebut sebagai --------------------------------------------------------------------------------------- Pemohon;
2. Bahwa yang dimaksud dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK yaitu, “Yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sementara dalam
penjelasan huruf a menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “perorangan”
termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama”
3. Selanjutnya kapasitas dan kerugian konstitusional Pemohon sehubungan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007, menyebutkan syarat kualifikasi kerugian
konstitusional Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap undang-undang dasar, dalam hal ini yaitu:
5. Lebih lanjut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan 4 Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398) yang
selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menegaskan bahwa: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”
Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh
suatu Undang-Undang yang diuji. Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian
dengan berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f
UU Perkawinan yang mengakibatkan Pemohon tidak dapat melangsungkan
perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama meskipun keduanya telah memiliki
keinginan bersama untuk melangsungkan perkawinan.
V. PETITUM
1. Menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara 34 Republik Indonesia Tahun
1945 dan oleh karena itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
ATAU Menyatakan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
3. Memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
POKOK PERMOHONAN
1. Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974, Pemohon mengemukakan dalil dalil
permohonan yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan Pemohon
selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
a. Bahwa menurut Pemohon, perkawinan adalah hak asasi yang
merupakan ketetapan atau takdir Tuhan. Setiap orang berhak untuk
menikah dengan siapapun juga terlepas dari perbedaan agama. Oleh
karenanya negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan
beda agama. Harus ada suatu solusi yang diberikan oleh negara bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan beda agama;
b. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (1) pada hakikatnya telah
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terkait dengan apa yang
dimaksud dengan “hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu”. Menurut Pemohon, banyak institusi agama yang tidak bersedia
melangsungkan perkawinan beda agama termasuk pula adanya
penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil. Apabila perkawinan
hanya diperbolehkan dengan yang seagama hal ini mengakibatkan
negara pada hakikatnya memaksa warga negaranya;
c. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (2) telah menimbulkan tafsir
bagi pelaksana UU 1/1974 bahwa tidak dimungkinkan untuk
melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi
berbagai tafsir dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing
untuk menghindari perkawinan beda agama;
d. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 8 huruf f menimbulkan ambiguitas,
kekaburan, atau ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda
agama sebagai suatu peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang
dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan tolok ukur
apa yang digunakan untuk mengukur larangan atau kebolehan
perkawinan beda agama mengingat tidak adanya kesamaan pendapat di
antara para ahli hukum agama dan hukum negara;
e. Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah agar menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8
huruf f UU 1/1974 adalah inkonstitusional;
f. Bahwa selain petitum tersebut, Pemohon dalam petitum alternatifnya
juga memohon agar Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f
UU 1/1974 adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai
Pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu dengan
berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai untuk memilih salah
satu metode pelaksanaan perkawinan sesuai dengan tata cara dan
prosedur yang ditetapkan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaanya itu”; Pasal 2 ayat (2): “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dapat
dibuktikan telah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan pada
ayat (1)”; dan Pasal 8 huruf f: “Perkawinan dilarang antara dua orang
yang: f. mempunyai hubungan yang oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dilarang kawiN.
VII. KONKLUSI
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, dua Hakim Konstitusi, yaitu Hakim
Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki
alasan berbeda (concurring opinion), sebagai berikut: