Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 11

Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia ( Putusan Nomor 24/PUU-XX/2022 )
Zahra Nurindah Amalie
20200401188
Tugas Legal Drafting

I. Identifikasi Legal Standing Pemohon


Nama : E. Ramos Petege

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Alamat : Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah.

sebagai -------------------------------------------------------------------------------------------- Pemohon;

Berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 28 Januari 2022, memberi kuasa kepada Ni
Komang Tari Padmawati, Hans Poliman S.H, Alya Fakhira, Dixon Sanjaya S.H, Asima Romian
Angelina, Ramadhini Silfi Adisty S.H, Sherly Angelina Chandra, dan Zico Leonard Djagardo
Simanjuntak S.H. yang merupakan tim pada Kantor Hukum Leo & Partners, beralamat di Jalan
Aries Asri VI E16 Nomor 3, Meruya Utara, Kembangan, Jakarta Barat, DKI Jakarta, bertindak
bersama-sama maupun sendiri sendiri, untuk dan atas nama pemberi kuasa. Selanjutnya
disebut sebagai --------------------------------------------------------------------------------------- Pemohon;

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON


1. Berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang sebagai
perorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang
diatur dalam undang-undang, badan hukum publik dan privat atau lembaga
negara. Dengan ini pemohon yang bernama E. Ramos Petege memenuhi
kedudukan hukum (legal standing) untuk pengujian UU terhadap UUD NRI
Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi sebagai orang perseorangan Warga
Negara Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-
Undang MK.

2. Bahwa yang dimaksud dengan Pasal 51 ayat (1) UU MK yaitu, “Yang dimaksud
dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Sementara dalam
penjelasan huruf a menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “perorangan”
termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama”
3. Selanjutnya kapasitas dan kerugian konstitusional Pemohon sehubungan
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan
Nomor 11/PUU-V/2007, menyebutkan syarat kualifikasi kerugian
konstitusional Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-
undang terhadap undang-undang dasar, dalam hal ini yaitu:

a. Adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang


Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
b. Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh para Pemohon
telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji.
c. Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat
spesifik atau khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi,
PEMOHON merupakan Warga Negara Indonesia yang memeluk agama Khatolik
yang hendak melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita yang memeluk
agama Islam. Pemohon telah menjalin hubungan dengan pasangannya selama 3
(tiga) tahun dan hendak melangsungkan perkawinan, meski demikian karena
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perkawinan
tidak memungkinkan untuk dilakukan perkawinan beda agama, maka pada
akhirnya perkawinan tersebut haruslah dibatalkan

d. Adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya


Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji, pengaturan mengenai
perkawinan beda agama mengandung ketidakjelasan dan ketidaktegasan maksa
sehingga secara actual ketentuan yang ada telah melanggar hak-hak
konstitusional yang dimiliki PEMOHON sehingga ia tidak dapat melangsungkan
perkawinannya berdasarkan kehendak bebas dan kebebasan beragama yang
justru terkendala karena perbedaan agama. - Hal ini tentunya menyebabkan
PEMOHON kehilangan kemerdekaannya untuk melangsungkan perkawinan
termasuk dalam memeluk agama dan kepercayaannya
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan
maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak
terjadi lagi, maka hal ini tidak hanya akan menghilangkan kerugian
melainkan memulihkan hak konstitusional Pemohon dan memberikan
kesempatan kepada masyarakat umum dalam melaksanakan haknya
melangsungkan perkawinan dan kebebasan beragamanya secara simultan
dalam perkawinan beda agama
III. Identifikasi Pengadilan atau Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Pemohon mengajukan permohonan tanggal 4 Februari 2022 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 4 Februari 2022, kemudian dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada tanggal 23 Februari 2022 dengan
Nomor 24/PUU-XX/2022, yang telah diperbaiki dan diterima di Mahkamah pada
tanggal 30 Maret 2022.
1. Dalam ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar NRI 1945”

2. Bahwa ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009


tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5076) yang selanjutnya disebut (UU Kekuasaan Kehakiman) menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.”

3. Bahwa selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun


2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6554) tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK)
menyatakan bahwa :
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
e. kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang.”
4. Bahwa selanjutnya, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 6554) tentang Perubahan Ketiga Atas Undang Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK)
menyatakan bahwa : “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a. menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
c. memutus pembubaran partai politik;
d. memutus tentang hasil perselisihan pemilihan umum.
e. wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat
mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.”;

5. Lebih lanjut Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah dalam
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan 4 Atas Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 183,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6398) yang
selanjutnya disebut UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
menegaskan bahwa: “Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi”

6. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk memiliki fungsi antara lain sebagai


lembaga pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), lembaga
demokrasi pengimbang dan pengarah sistem demokrasi, lembaga penafsir
tertinggi atas ketentuan konstitusi (the sole and the highest interpreter of the
constitution) dan lembaga penjaga hak-hak konstitusional warga negara (the
protector of constitutional rights of the citizens). Maka apabila dalam proses
pembentukan undang-undang terdapat hal-hal yang bertentangan dengan
konstitusi apalagi sampai melanggar hak konstitusional warga negara
Indonesia, maka Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan secara menyeluruh
ataupun bersyarat Pasal dari undang-undang yang diuji sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU MK, yang menyatakan:
Pasal 57 (1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan
bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik 5 Indonesia Tahun 1945,
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(2) Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa
pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang tersebut tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat.

7. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-IX/2011 yang


membatalkan ketentuan dalam Pasal 45 dan Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang
untuk memutuskan amar selain yang ditetapkan dalam Pasal 57 ayat (1) dan
ayat (2), memberi perintah kepada pembuat undang-undang, dan rumusan
norma sebagai pengganti norma dari undang undang yang dinyatakan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

8. Pengujian undang-undang yang dimohonkan pengujiannya oleh Pemohon


kepada Mahkamah Konstitusi dalam perkara ini adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
9. Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, permohonan Pemohon untuk
melakukan pengujian UU Perkawinan terhadap UUD NRI Tahun 1945. Maka
berkenaan dengan yurisdiksi dan kompetensi, Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pengujian
konstitusional perkara a quo dalam permohonan ini.

IV. Dasar Gugatan atau Kompetensi


1. Pasal 29 Ayat (1) UUD 1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”
2. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu”
3. Pasal 28E ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat
menurut agamanya, memilih Pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan,
memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.”
4. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”
5. Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wjaib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
6. Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak
kemerdekaan pikiran dan hati Nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlkau surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
7. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
8. Pasal 28B ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melului perkawinan yang sah”
9. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”

Hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh
suatu Undang-Undang yang diuji. Bahwa Pemohon telah mengalami kerugian
dengan berlakunya ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f
UU Perkawinan yang mengakibatkan Pemohon tidak dapat melangsungkan
perkawinan dengan pasangan yang berbeda agama meskipun keduanya telah memiliki
keinginan bersama untuk melangsungkan perkawinan.

V. PETITUM
1. Menyatakan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara 34 Republik Indonesia Tahun
1945 dan oleh karena itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

ATAU Menyatakan Pasal 2 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 8 huruf f Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3019) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
3. Memerintahkan pemuatan isi putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.

VI. PERTIMBANGAN HUKUM


KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), Pasal 10 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
6554, selanjutnya disebut UU MK), dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009),
salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
2. Bahwa oleh karena permohonan yang diajukan a quo adalah pengujian
konstitusionalitas norma undang-undang, in casu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019), selanjutnya disebut UU
1/1974 terhadap UUD 1945, maka Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo

POKOK PERMOHONAN
1. Menimbang bahwa dalam mendalilkan inkonstitusionalitas Pasal 2 ayat (1) dan
ayat (2), serta Pasal 8 huruf f UU 1/1974, Pemohon mengemukakan dalil dalil
permohonan yang pada pokoknya sebagai berikut (alasan-alasan Pemohon
selengkapnya telah dimuat dalam bagian Duduk Perkara Putusan ini):
a. Bahwa menurut Pemohon, perkawinan adalah hak asasi yang
merupakan ketetapan atau takdir Tuhan. Setiap orang berhak untuk
menikah dengan siapapun juga terlepas dari perbedaan agama. Oleh
karenanya negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan
beda agama. Harus ada suatu solusi yang diberikan oleh negara bagi
mereka yang melangsungkan perkawinan beda agama;
b. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (1) pada hakikatnya telah
menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terkait dengan apa yang
dimaksud dengan “hukum masing-masing agama dan kepercayaannya
itu”. Menurut Pemohon, banyak institusi agama yang tidak bersedia
melangsungkan perkawinan beda agama termasuk pula adanya
penolakan pencatatan oleh petugas catatan sipil. Apabila perkawinan
hanya diperbolehkan dengan yang seagama hal ini mengakibatkan
negara pada hakikatnya memaksa warga negaranya;
c. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 2 ayat (2) telah menimbulkan tafsir
bagi pelaksana UU 1/1974 bahwa tidak dimungkinkan untuk
melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi
berbagai tafsir dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing
untuk menghindari perkawinan beda agama;
d. Bahwa menurut Pemohon, Pasal 8 huruf f menimbulkan ambiguitas,
kekaburan, atau ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda
agama sebagai suatu peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang
dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing dan tolok ukur
apa yang digunakan untuk mengukur larangan atau kebolehan
perkawinan beda agama mengingat tidak adanya kesamaan pendapat di
antara para ahli hukum agama dan hukum negara;
e. Bahwa berdasarkan alasan-alasan di atas, Pemohon memohon kepada
Mahkamah agar menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8
huruf f UU 1/1974 adalah inkonstitusional;
f. Bahwa selain petitum tersebut, Pemohon dalam petitum alternatifnya
juga memohon agar Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 8 huruf f
UU 1/1974 adalah inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai
Pasal 2 ayat (1): “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu dengan
berdasarkan pada kehendak bebas para mempelai untuk memilih salah
satu metode pelaksanaan perkawinan sesuai dengan tata cara dan
prosedur yang ditetapkan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaanya itu”; Pasal 2 ayat (2): “Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dapat
dibuktikan telah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan pada
ayat (1)”; dan Pasal 8 huruf f: “Perkawinan dilarang antara dua orang
yang: f. mempunyai hubungan yang oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku, dilarang kawiN.

VII. KONKLUSI
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

VIII. AMAR PUTUSAN


Mengadili:
Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.

IX. ALASAN BERBEDA

Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi a quo, dua Hakim Konstitusi, yaitu Hakim
Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh memiliki
alasan berbeda (concurring opinion), sebagai berikut:

[6.1] Alasan berbeda Hakim Konstitusi Suhartoyo


1. Dasar hukum sahnya Perkawinan dan kebebasan/kemerdekaan memeluk dan
beribadah menurut agamanya masing-masing, diatur dalam ketentuan norma,
sebagai berikut :
1. Pasal 1 UU 1/1974 adalah “…ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
2. Pasal 2 ayat (1) UU 1/1974 yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ayat
(2) yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.
3. Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Negara berdasar atas
Ketuhanan yang Maha Esa” menunjukan bahwa Indonesia bukanlah negara
penganut sekularisme. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
“Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu”
Ketiga dasar hukum tersebut menjadi bentuk konkrit negara didalam memaknai
hakikat perkawinan dan juga negara di dalam menjamin kebebasan masyarakat
dalam memilih dan menjalankan agama dan kepercayaan masing-masing.
Dasar hukum tersebut secara filosofi dibangun karena memang tidak dapat
dipungkiri bahwa Indonesia merupakan negara plural yang memiliki
keragaman suku, budaya, ras, agama dan kepercayaan. Fakta bahwa terdapat
pluralisme agama serta keyakinan/kepercayaan yang dianut oleh masyarakat
membutuhkan peran negara untuk dapat menyediakan regulasi yang adaptif
serta mengakomodasi kepentingan setiap warga negara.

2. Bahwa peningkatan keberagaman masyarakat Indonesia, semakin tipisnya


sekat dalam menjalankan aktivitas sosial yang mengaburkan perbedaan suku
agama dan ras mengakibatkan semakin meningkatnya potensi perkawinan beda
agama dalam kehidupan masyarakat. Dalam kenyataannya, berdasarkan data
yang dihimpun Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), sejak
2005 hingga 2022 terdapat 1.425 pasangan beda agama yang melangsungkan
perkawinan di Indonesia. Hal ini seolah menjawab fenomena banyaknya warga
negara Indonesia yang melakukan penyelundupan hukum perkawinan
(berdasarkan UU 1/1974) dalam konteks perkawinan beda agama melalui cara-
cara yang kemudian “dapat dilegalkan” secara administrasi kependudukan,
misalnya:
- Melangsungkan perkawinan di luar negeri, kemudian mencatatkan
perkawinan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil pada wilayah
tempat tinggal di Indonesia;
- “Manipulasi agama”, yaitu dengan cara melakukan perpindahan agama
sementara dalam rangka melangsungkan perkawinan pada salah satu
tata ibadah/tata cara perkawinan secara agama salah satu pasangan
suami/istri dalam rangka mendapatkan Surat Kawin/ Akta Kawin.
Setelah pasangan suami/istri mendapatkan Akta Salinan Perkawinan
dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, salah satu suami/istri akan
kembali menganut agamanya masing masing sebelum melangsungkan
perkawinan.
- Mengajukan permohonan penetapan pengadilan untuk melangsungkan
perkawinan beda agama sekaligus untuk pencatatan perkawinannya.
Langkah ini dapat dikatakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU Administrasi
Kependudukan.
3. Persoalan perkawinan beda agama berawal dari ketentuan dalam Pasal 2 ayat
(1) UU 1/1974 yang juga berkaitan dengan ketentuan norma Pasal 8 huruf f UU
1/1974, yang dapat dikatakan merupakan pasal jantung dari keseluruhan norma
yang diatur dalam UU Perkawinan, dimana ketentuan norma tersebut menjiwai
serta menjadi ruh dan berkaitan erat (mendasari) penormaan pasal-pasal lain
dalam UU a quo, Oleh karena itu, apabila Mahkamah menggunakan
kewenangannya untuk memaknai norma yang diuji dalam perkara a quo,
dikhawatirkan intepretasi norma tersebut dapat memengaruhi keberlakuan
norma lainnya dalam UU a quo. Disamping itu, secara substansial hal tersebut
berkenaan dengan sesuatu yang bersifat mendasar dan berkaitan pula dengan
persoalan syariat agama dan kepercayaan. Oleh karenanya, saya berpendapat
bahwa lebih tepat bagi Mahkamah untuk mengembalikan kepada pembentuk
undang undang yang memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan UU
Perkawinan tersebut jika memang akan dilakukan perubahan. Sehingga
permasalahan perkawinan beda agama dapat terselesaikan dari akar
masalahnnya (root cause), tidak hanya selesai dalam ranah pencatatan
administrasi, tetapi juga diperoleh jalan tengah yang bijak dengan tetap
mengedepankan pemenuhan hak-hak warga negara untuk mempunyai 637
kebebasan untuk memeluk agama dan keprcayaannya dan beribadah menurut
agama dan kepercayaannya masing-masing.
4. Bahwa berdasarkan fakta hukum tersebut di atas saya berpendapat yang sama
dengan majelis hakim mayoritas untuk menolak permohonan a quo, namun
seharusnya Mahkamah menambahkan perbedaan alasan (concurring opinion)
saya ini dalam bagian pertimbangan hukum terhadap putusan perkara a quo.

You might also like