Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 14

JURNAL SOSIOLOGI USK: MEDIA PEMIKIRAN & APLIKASI

Volume 17, Nomor 1, Juni 2023, Halaman: 193-206


P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
……………..………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………..……………………………………………

Dhanyang dan Prewangan:


Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik Orang Jawa Perantau di
Dataran Tinggi Gayo
*Sehat Ihsan Shadiqin1, Tuti Marjan Fuadi2
1
Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh
2
Universitas Abulyatama Aceh
*email: sehatihsan@ar-raniry.ac.id

Abstract
The purpose of this study is to investigate how members of disadvantaged communities
imagine "other lives," and how such perceptions influence their own lives. This study will
explore how society defines things that are unseen but are believed to exist and may
impact human existence by having a look at the overseas Javanese population in the Gayo
highlands in Aceh. The findings of this study will be used to illustrate how society views
these creatures. This study, in contrast to the majority of other studies of overseas
Javanese, is interested in how the construction efforts of danyang and prewangan are and
how they communicate with each other. Other studies of overseas Javanese focus on
topics such as cultural assimilation, conflict, and resilience. The information needed for
this study was gleaned through participant observation and in-depth interviews with local
Javanese residents of Aceh's Bener Meriah District. Because of the economic and cultural
marginalization they face when interacting with the dominant ethnic groups of Gayo and
Aceh, which persuades them to seek alternative protection, this article demonstrates that
the concepts of danyang and prewangan are part of the identity that was brought from
Javanese culture.
Keywords: Dhanyang and Prewangan, Mystic, Javanese, Gayo
***

A. Pendahuluan
Migrasi orang Jawa telah terjadi jauh sebelum kemerdekaan Indonesia, tidak
hanya di wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda namun juga ke berbagai negara
di dunia (Lockard, 1971). Salah satu faktur migrasi tersebut adalah ketika pemerintah
kolonial Belanda melakukan kebijakan politik etis yang terjadi dari irigasi, edukasi dan
migrasi. Belanda telah membawa ratusan ribu orang Jawa ke berbagai daerah jajahannya
yang lain untuk dijadikan pekerja perkebunan. Hal ini terkait juga dengan jumlah
penduduk yang semakin padat yang menimbulkan masalah pertanian di sana (Kim, 2002).
Diantara daerah yang menjadi tujuan emigrasi adalah daerah ujung Barat pulau Sumatera
yang saat ini kita kenal dengan Sumatera Utara dan Aceh. di sana Belanda membuka
perkebunan karet dan damar yang membutuhkan banyak buruh harian. Orang Jawa
dimobilisasi dengan perjanjian kerja akan dikembalikan ke daerahnya sendiri setelah
program selesai. Dalam kenyataannya, banyak orang Jawa yang telah melakukan migrasi

Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

193
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

enggan kembali ke Jawa karena sulitnya mendapatkan lahan dan pekerjaan di sana.
Mereka kemudian membentuk koloni di daerah baru.
Komunitas orang Jawa tersebut tetap mempertahankan unsur-unsur kebudayaan
mereka di sana. Banyak kampung orang Jawa yang sama sekali tidak bercampur dengan
penduduk lokal yang menjadikan mereka dapat membangun dan mempertahankan
identitas kesukuan sendiri meskipun berada diluar Jawa (Elmhirst, 2000). Hal ini terus
berlangsung jauh setelah kemerdekaan. Banyak studi menunjukkan bagaimana orang
Jawa tetap mempertahankan ide kebudayaan mereka di tengah kebudayaan berbeda yang
ada di daerah tempatan. Hal ini terlihat antara lain dengan upaya mereka mempertahankan
kebudayaan kesenian Jawa seperti orang Jawa di Sumatera Utara yang terus mengadakan
pertunjukan kuda kepang (Hendriko & Effendy, 2019), atau tetap menjaga agar terus
menggunakan bahasa Jawa di tengah bahasa daerah di mana mereka tinggal (Budhiono,
2019), dan mempertahankan adat pernikahan Jawa meskipun mereka menikah dengan
masyarakat lokal di sana (Yulita et al., 2021). Upaya ini terus dilakukan sebagai sebuah
bentuk kesadaran etnis tentang mempertahankan identitas kejawaan mereka di tanah
perantauan (Iriani, 2018; Jaya et al., 2016).
Aspek penting dari kebudayaan Jawa selain kesenian, bahasa dan pernikahan
sebagaimana tersebut di atas adalah agama dan kepercayaan pada kehidupan mistis yang
ada di kalangan masyarakat. Banyak sekali studi yang menunjukkan adanya sebuah
proses panjang terjadinya asimilasi antara budaya Jawa dengan budaya agama yang
datang dan berkembang dalam masyarakat di sana yang kemudian dikenal dengan
kejawen (Syamsul Bakri, 2006). Kejawen adalah perkawinan antara budaya Jawa dengan
budaya Islam yang menghasilkan sebuah kebudayaan baru baik dalam praktik atau dalam
interpretasinya (Munna & Ayundasari, 2021). Dalam sejarahnya hal ini tidak berlangsung
lancar dan mulus melainkan penuh dengan kontestasi dan perseteruan. Munculnya
gerakan purifikasi agama yang terjadi di dalam masyarakat telah mendorong munculnya
kritik serangan atas praktik beragama masyarakat Jawa yang kejawen karena dianggap
bertentangan dengan Islam yang murni terutama dalam masyarakat urban kota (Arifin et
al., 2019). Hal ini juga terjadi di dalam masyarakat Jawa perantauan seperti di Aceh
(Shadiqin, 2022).
Artikel ini akan menjelaskan tentang dua aspek kepercayaan orang Jawa yang
masih bertahan dalam masyarakat Jawa perantauan yakni dayang dan perewangan.
Keduanya berinduk ada kosmologi orang Jawa yang membagi dunia di luar kehidupan
ini ke dalam dua hal, yakni Kosmologi Ageng dan Kosmologi Alit, di mana dayang dan
perewangan termasuk ke dalam kosmologi alit. Beberapa peneliti telah menulis tentang
tema ini namun dalam masyarakat Jawa di pulau Jawa sendiri (Masruri, 2013). Artikel
ini akan membahas bagaimana masyarakat Jawa perantauan, khususnya di Aceh
memahami, menginterpretasikan, dan mengaktualisasikan keyakinan ini di dalam
kehidupan sosial mereka. Dengan menempatkan kosmologi ini dalam kacamata occultism
artikel ini menunjukkan bahwa dayang dan perewangan adalah bagian dari strategi
resiliensi masyarakat Jawa atas pemarginalan budaya dan politik yang terjadi di sana.
Kosmologi ini memberikan mereka kekuatan dan ketenagaan dalam menghadapi masalah
hidup.
Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

194
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

B. Metode
Artikel ini ditulis berbasis pada penelitian etnografis yang penulis lakukan di
Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Penelitian ini sendiri merupakan bagian dari sebuah
penelitian besar tentang kehidupan orang Jawa perantauan di Aceh. Satu artikel yang
membahas tentang perubahan pemahaman agama di kalangan masyarakat Jawa
pendatang telah penulis terbitkan (Shadiqin, 2022) dan beberapa bagian lain yang terkait
juga akan dipublikasi. Bener Meriah merupakan kawasan dataran tinggi di Aceh yang
berada di 800-1500 mdpl sehingga memiliki udara sejuk. Ia menjadi daerah perkebunan
teh pemerintah kolonial sejak awal abad XX di mana orang Jawa menjadi pekerjanya dan
terus menetap di sana hingga saat ini. Penulis mengunjungi beberapa desa orang Jawa
untuk melakukan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan pada kehidupan sosial
masyarakat Jawa di sana, termasuk dalam praktik-praktik yang terkait dengan tema
penelitian ini. Sementara wawancara dilakukan dengan beberapa pihak, seperti petuah
desa yang datang dari Jawa pada tahun 1930-an (saat penelitian ini dilakukan mereka
sudah berusia lebih dari 80 tahun atau lebih) atau mereka yang lahir di sana sebelum
kemerdekaan sehingga masih memiliki pengalaman hidup dalam masa penjajahan dan
awal kemerdekaan. Beberapa narasumber adalah mereka yang ikut membangun desa di
mana mereka tinggal hingga sekarang ini. Data pengamatan dan wawancara ini ditulis
dengan pendekatan domain dan dianalisis langsung tanpa dipisahkan dalam subbab
tersendiri. Artikel ini disajikan dalam empat subbab hasil, yakni penjelasan tentang
okultisme dalam kebudayaan Jawa, gambaran umum kondisi orang Jawa di dataran tinggi
Gayo, penjelasan tentang kuasa danyang dan perewangan sebagai bagian dari praktik
okultisme dalam masyarakat Jawa di perantauan Aceh.

C. Hasil dan Pembahasan


1. Dataran Tinggi Gayo dan Sejarah Keberadaan Orang Jawa
Provinsi Aceh terbagi ke dalam 23 kabupaten kota, empat diantaranya berada di
dataran tinggi yakni Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara. Bener
Meriah semula merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Tengah. Mereka memisahkan
diri menjadi kabupaten sendiri pada tahun 2003 setelah keluar UU Otonomi Daerah di
mana berdampak luas pada pemekaran wilayah di Indonesia. Dari sisi budaya mereka
memiliki karakteristik yang sama dengan Aceh Tengah. Pada umumnya daerah ini dihuni
oleh Suku Gayo yang memiliki Bahasa berbeda dengan Bahasa Aceh. Suku Aceh sendiri
kebanyakan adalah imigran dari Kawasan pesisir yang datang ke sana setelah
kemerdekaan. Saat ini daerah Aceh Tengah dan Bener Meriah dikenal sebagai penghasil
kopi Arabika yang memiliki nilai ekspor yang telah tumbuh subur di sana sejak pertama
kali ditemukan pada awal abad XX (Iswanto et al., 2020). Kondisi lahan yang subur ini
menyebabkan daerah ini menjadi salah satu daerah yang menarik perantau dari berbagai
daerah lain di Indonesia sehingga menimbulkan pluralitas budaya dan agama dalam
masyarakat. Setidaknya ada tiga buah gereja yang berdiri di Aceh Tengah, dua
diantaranya milik Kristen Protestan dan satu miliki Katolik. Di sana juga berdiri sebuah
Vihara Buddha yang aktif dan dikunjungi oleh banyak umat Buddha pada waktu tertentu.

Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

195
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, salah satu kebijakan yang dilakukan


oleh pemerintah kolonial Belanda pada masa-masa akhir keberadaan mereka di Aceh
adalah melakukan praktik “balas budi” yang kemudian dikenal dengan politik etis. Salah
satu aksi dari kebijakan ini adalah mengirimkan masyarakat dari daerah yang memiliki
kepadatan penduduk tinggi ke daerah yang masih sepi. Tentu saja pulau Jawa menjadi
satu-satunya daerah di Hindia Belanda yang memiliki penduduk yang padat saat itu (Kim,
2002). Oleh sebab itu banyak masyarakat di sana dikirim oleh Pemerintah Kolonial
Belanda ke berbagi daerah lain di Indonesia, seperti Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.
Meskipun pada awalnya tujuan politik etis adalah baik, namun dalam praktiknya
pengiriman masyarakat tersebut tidak terlepas dari kepentingan Belanda memiliki buruh
dengan bayaran murah yang dapat bekerja di perkebunan mereka.
Banyak orang Jawa migran yang dibawa Belanda ke dataran tinggi Gayo tidak
mau kembali ke pulau Jawa setelah kemerdekaan Indonesia (Gany & Halli, 1993).
Mereka secara Bersama menetap di sebuah kawasan yang kemudian terbentuk menjadi
sebuah desa, atau tinggal dan menetap di desa-desa yang dihuni oleh suku Gayo atau
Aceh. Dalam perkembangan saat ini telah terjadi proses asimilasi yang intensif antara
orang Jawa dan suku lain yang ada di sana. Beberapa desa di mana suku Jawa adalah
mayoritas, maka mereka menggunakan bahasa dan budaya Jawa sebagai budaya harian
mereka. Mereka menggunakan Bahasa Jawa dalam komunikasi sehari-hari,
melaksanakan pesta pernikahan dengan menggunakan adat Jawa, dan melaksanakan seni
pertunjukan Jawa dalam berbagai kegiatan yang mereka lakukan, seperti wayang dan
kuda kepang. Sementara di daerah di mana orang Jawa tidak menjadi mayoritas, bahasa
dan budaya Jawa dipraktikkan di rumah atau keluarga saja. Pun demikian kebutuhan akan
pergaulan dan pendidikan, penggunaan bahasa Jawa di kalangan masyarakat Jawa di
Aceh Tengah dan Bener Meriah semakin terdegradasi. Sementara dalam beragam praktik
kebudayaan yang lain, masyarakat Jawa masih mempertahankan kebudayaan mereka dan
menyesuaikannya dengan budaya lain yang ada di sekitar mereka (Hasibuan et al., 2017;
Ihwanto et al., 2017).
Dalam perkembangan sejarah politik di Provinsi Aceh, orang Jawa menjadi
bagian yang kelompok yang sering terdiskriminasi. Pada saat terjadi Gerakan Darul Islam
(DI) pada tahun 1953, banyak masyarakat Jawa yang terseret dalam putaran konflik dan
menjadi kelompok masyarakat yang berhadapan dengan pasukan DI. Demikian halnya
pada masa pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang terjadi pada tahun 1998-
2005 di mana pasukan GAM sering menjadikan masyarakat Jawa sebagai kelompok yang
pro pemerintah dan menjadi sasaran kekerasan yang dilakukan GAM. Pada tahun 1999
orang Jawa perantau di Aceh Tengah membentuk sebuah gerakan milisi bersenjata untuk
melakukan perlawanan pada GAM (Barter, 2012). Pun demikian setelah terjadinya
perdamaian Aceh tahun 2005 pasukan milisi dan mantan GAM telah kembali berdamai
dan melakukan gerakan politik bersama.
Salah satu desa di mana masyarakat Jawa terkonsentrasi secara mayoritas adalah
desa Kresek di Kabupaten Bener Meriah. Desa ini pertama kali didirikan pada awal
kemerdekaan oleh beberapa keluarga yang kemudian diikuti oleh banyak warga etnis
Jawa lainnya. Semula mereka menanam teh dan tebu, namun anjloknya harga kedua
Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

196
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

komoditas tersebut mereka beralih kepada tanaman kopi yang masih bertahan hingga
sekarang ini. Desa ini telah menjadi simbol perlawanan pada GAM saat terjadi konflik
bersenjata tahun 1998-2005 yang lalu di mana pimpinan gerakan milisi berasal dari sana
(Zulfauzi, 2009). Desa ini pula yang menjadi salah satu sasaran serangan GAM pada
tahun 2001 di mana mereka membakar lima buah rumah penduduk dan menewaskan lima
orang penduduknya. Sebagai desa dengan penduduk mayoritasnya Jawa maka banyak
praktik kebudayaan yang ada di sana juga masih mempertahankan kebudayaan Jawa, baik
dalam bentuk pertunjukan ritual kalender, dan ritual terkait dengan kehidupan manusia.

2. Danyang dan Kuasa Teritori


Salah satu bentuk kebudayaan Jawa yang masih dipertahankan dalam masyarakat
Jawa perantauan di dataran tinggi Gayo adalah selametan. Dalam berbagai kajian
antropologi, selamaten adalah wujud paling nyata dari asimilasi yang terjadi antara
kebudayaan Jawa dan Islam (Geertz, 1983; van der Kroef, 1955). Dalam perkembangan
kontemporer, selamatan memiliki ciri kas budaya Jawa yang diisi dengan nilai-nilai ritual
Islam. Sementara pada masa lalu, selametan berhubungan dengan upaya mencari
perlindungan dari suatu komunitas masyarakat kepada roh penguasa wilayah di mana
mereka tinggal yang disebut dengan danyang. Kalau kita melihat definisi asalnya dalam
kebudayaan Jawa, danyang (bahasa Jawa: dhanyang) adalah roh halus yang diyakini
menjadi pelindung suatu tempat atau wilayah seperti pohon, gunung, mata air, desa, mata
angin, atau bukit. Danyang diyakini menetap di suatu tempat yang dalam bahasa Jawa
disebut punden. Danyang bisa saja berkelompok atau berbentuk tunggal. Para danyang
inilah yang akan menerima permohonan dari masyarakat yang meminta pertolongan
padanya. Untuk itu masyarakat perlu melaksanakan ritual dalam bentuk selametan
(Endraswara, 2005; Hafida et al., 2021). Dalam konsep ini maka danyang merupakan
roh halus yang tidak mengganggu ataupun menyakiti, melainkan bersifat melindungi.
a. Asal muasal danyang
Masyarakat Jawa di dataran tinggi Gayo meyakini danyang adalah roh halus yang
menjadi “penguasa” pada sebuah tempat tertentu. Roh ini sebenarnya berasal dari para
tokoh pendahulu atau leluhur sebuah desa yang sudah meninggal. Para leluhur ini adalah
pendiri sebuah desa atau orang pertama yang membuka lahan suatu desa. Roh halus ini
akan mencerminkan karakter dasar penduduk tempat tersebut. Desa dengan danyang laki-
laki yang keras, maka desa itu juga dikenal dengan desa yang “keras”, suka berkelahi dan
berperangai kasar. Sementara desa yang dijaga danyang perempuan, cenderung
menampilkan “sikap perempuan” yang lembut dan menarik. Makhluk halus yang menjadi
danyang ini pada awalnya adalah manusia biasa yang hidup pada masa penjajahan.
Masyarakat Jawa meyakini danyang berwujud dari seorang ulama yang
mengasingkan diri dari kehidupan sosial pada masa penjajahan. Pada era kolonialisme
Belanda banyak praktik sosial yang dilakukan kaum penjajah bertentangan dengan
norma-norma agama seperti perzinahan, pembunuhan, mabuk-mabukan dan lain
sebagainya. Ia sendiri tidak mampu melawan dan menghancurkan praktik tersebut karena
mereka memiliki senjata dan pasukan perang. Di sisi lain ia juga tidak mau menjadi
bagian dari kehidupan demikian yang sangat bertentangan dengan keimanan dan
Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

197
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

pengetahuan agamanya. Oleh sebab itu ia pergi mengasingkan diri dari kampung dan
kehidupan sosialnya. Ia bertapa ke dalam hutan, berzikir kepada Tuhan terus menerus
hingga ia meninggalkan apek insaniah yang melekat pada raganya. Di sana ia berpisah
antara raga dengan jiwa. Tuhan “mengangkat” tubuhnya ke alam gaib sementara jiwanya
tetap berada di dunia dimana saia dapat melakukan sesuatu seperti jalanya manusia
namun tidak terlihat. Jiwa atau roh itu kemudian menempati tempat tertentu di lingkungan
manusia dan dapat mempengaruhi kehidupan manusia.
Di desa Keresek masyarakat meyakini memiliki seorang dayang berwujud
perempuan muda yang cantik. Ia menetap di perempatan desa. Oleh sebab itu masyarakat
sangat percaya kalau desa mereka menarik dan disukai oleh banyak orang. Beberapa
warga bercerita pada saya bahwa setiap orang yang datang ke desa mereka selalu
mengatakan kalau desa mereka cantik, menarik, dan mereka betah tinggal beralam-lama
di sana. Sebaliknya, seorang yang memiliki niat jahat yang ingin berbuat jahat maka tidak
akan betah tinggal di desa mereka dan akan segera keluar setelah beberapa minggu
berada di sana. Bukan hanya tamu biasa, undangan, pejabat pemerintah, atau bahkan
dewan juri sebuah perlombaan juga dianggap akan mengalami hal yang sama. Oleh
karena itu, desa Keresek sering memenangi berbagai lomba yang diselenggarakan
pemerintah daerah kabupaten Bener Meriah dan bahkan Provinsi. Desa ini sering menjadi
utusan dari Kecamatan untuk Kabupaten atau dari Kabupaten untuk provinsi. Kalau ada
lomba kebersihan, kesuksesan program pemerintah, kesehatan masyarakat, mereka sering
memenanginya (Hasil Wawancara dengan Bapak TH, 28 April 2015).
b. Danyang dan Karakter Masyarakat
Di sisi lain, desa ini juga memiliki sifat “perempuan” yang “suka ikut-ikutan.”
Jika ada seorang warga yang membeli kendaraan sepeda motor, maka akan ada warga
lain yang akan ikut membeli juga. Demikian juga jika ada seorang membuat sesuatu di
depan rumahnya, misalnya kolam ikan, atau menanam bunga jenis tertentu, maka akan
ada yang lain melakukan hal yang sama. Bahkan jika ada seorang yang membeli baju
untuk tujuan yang khusus maka akan banyak yang mengikutinya. Seorang ibu PKK
bercerita kepada saya bagaimana ia sangat mudah menjual baju senam kepada ibu-ibu di
desa karena sifat ikut-ikutan tersebut. Ia mengatakan:
“Di sini itu enak kalau urusan begini. Jual aja dua atau tiga buah baju, besoknya
yang lain akan segera pesan. Itu baju senam sekarang, saya yang beli di Medan
([Sumatera Utara]. Awalnya saya beli setengah lusin saja, setelah laku, yang lain
pada mesen. Saya balek lagi [ke Medan] dan pesan dua lusin lagi. Sebentar saja
sudah habis.” (Wawancara dengan Ibu SK, 28 April 2015)
Masyarakat juga percaya sifat ikut-ikutan itu juga ada pada hal yang terkait
dengan musibah. Sepanjang bulan Februari hingga Maret 2015 terjadi belasan insiden
kecelakaan di desa Keresek. Kecelakaan pertama melibatkan mobil kepada desa yang
ditabrak oleh mobil minibus jenis L300 pickup yang membawa barang dagangan.
Meskipun Pak Kepala desa tidak mengalami luka-luka, namun mobilnya rusak berat,
sehingga setelah diperbaiki ia segera menjualnya, dan membeli mobil lain. Ia meyakini
sebuah mobil yang telah mengalami kecelakaan akan diikuti dengan kecelakaan lain.
Kejadian pertama adalah peringatan baginya agar segera melepaskan kendaraan tersebut
Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

198
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

sebelum nantinya ia bisa mendapatkan kecelakaan yang lebih buruk (Hasil, Wawancara
dengan Bapak RL, 10 Maret 2015).
Kejadian ini kemudian disusul dengan beberapa insiden yang lain. Seminggu
setelah kecelakaan Bapak Kepala Desa, seorang anak laki-laki usia SMP mengalami
kecelakaan sepeda motor. Ia berjalan-jalan sore dengan temannya mengendarai sepeda
motor milik orang tuanya. Pada sebuah tikungan jalan yang tidak jauh dari desa, tiba-tiba
kendaraan mereka jatuh sendiri ke dalam jurang yang tidak terlalu dalam. Hal ini
menyebabkan dua jari tangan kiri si anak masuk ke dalam rantai sehingga tergilas dan
putus. Ia segera mendapatkan pertolongan dari masyarakat yang melihatnya dan dilarikan
ke rumah sakit. Peristiwa ini diikuti dengan peristiwa kecelakaan lainnya. Tiga hari
kemudian seorang anak usia SD yang sedang bermain sepeda di dekat rumahnya
kehilangan kendali dan jatuh menabrak pagar kebun. Kebun itu sendiri dipagar dengan
kawat berduri. Hal ini menyebabkan pipi si anak sobek. Ia dibawa ke rumah sakit dan
mendapatkan beberapa jahitan.
Tidak berhenti di sana, keesokan harinya, Pak Suwandi bersama istri dan anak
perempuannya jatuh dari sepeda motor di jalan lintas kabupaten yang dikenal dengan
jalan KKA. Mereka berkendaraan bertiga. Di satu bagian jalan mereka berusaha
menghindari pasangan anak muda yang mengendarai kendaraan ugal-ugalan dengan
berjalan zig-zag di jalan raya. Meskipun ketiganya tidak mengalami akibat yang fatal,
namun mereka harus istirahat di rumah beberapa hari karena kesakitan. Peristiwa ini
berlanjut dengan seorang petani yang kendaraannya tiba-tiba masuk ke dalam jurang saat
ia pulang dari kebunnya. Untungnya ia sempat melompat dari kendaraan itu sehingga ia
selamat, namun kendaraannya terjun jauh ke dalam jurang yang kemudian ditarik kembali
oleh warga. Masih ada seorang tukang bangunan yang jatuh dari lantai dua bangunan
yang sedang dibangunnya hingga tangannya patah.
c. Danyang dan Transformasi Pemahaman Agama
Rentetan kecelakaan yang terjadi sangat berdekatan itu membuat Kepala Desa dan
Imam kampung mengambil sikap. Pada suatu malam mereka mengajak rapat jamaah
masjid untuk melakukan sesuatu atas musibah yang terjadi di desa mereka. Mereka
mendiskusikan kemungkinan penyebab atas musibah yang terjadi beruntun yang terjadi
di desa mereka dan kemungkinan “kesalahan” yang dilakukan di desa mereka. Dalam
pertemuan itu juga didiskusikan apa yang harus dilakukan untuk mengakhiri rentetan
musibah tersebut. Beberapa jamaah mengatakan kalau kejadian yang terjadi di desa
disebabkan “desa kita sudah kotor oleh perbuatan maksiat.” Seorang warga bercerita
kalau selama itu banyak pasangan muda yang berpacaran di sepanjang jalan KKA dan
bahkan ada yang melakukan hubungan seksual di kebun kopi petani. Hal itu dilakukan
oleh anak muda dari berbagai daerah di kabupaten, bukan dari desa mereka. “Mereka
yang berpacaran di sini, kita yang mendapatkan musibah.”( Wawancara dengan Bapak
RL, 10 Maret 2015). Dalam rapat itu disimpulkan mereka akan melakukan “doa
istighasah” yaitu doa bersama untuk menolak bala. Mereka sepakat doa bersama ini akan
dilaksanakan di mesjid setelah shalat Jum’at.

Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

199
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

Bapak TH yang pulang bersamaan dengan saya setelah rapat di mesjid


dilaksanakan mengatakan kalau semua musibah yang terjadi belakangan ini karena tahun
ini tidak dilaksanakan kenduri tolak bala seperti biasanya. Menurut dia, kenduri itu perlu
untuk meminta perlindungan kepada Allah melalui danyang yang ada di desa mereka agar
Allah melindungi desa ini dari berbagai bala. Sayangnya tahun tersebut hal itu tidak
dilakukan sama sekali. Bapak Imam yang baru berpandangan kalau praktik ritual tolak
bala pada tanggal satu Suro yang biasa dilaksanakan oleh masyarakat Jawa di sana secara
turun temurun adalah haram dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Padangan seperti ini
muncul akibat adanya transformasi pemahaman agama yang terjadi di desa tersebut yang
menyebabkan perspektif tentang ritual dan budaya Jawa ikut berubah (Shadiqin, 2022).
Sementara dalam banyak masyarakat Jawa lain di Indonesia masih mempertahankan
kebudayaan selamaten di bulan suro tersebut dan menganggapnya sebagai bagian budaya
Jawa yang terislamkan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Selamaten sendiri
adalah media komunikasi simbolik antara manusia dengan Tuhan (Nasir, 2019). Dalam
pandangan Bapak TH sendiri, menghilangnya praktik ritual tersebut telah menyebabkan
terjadinya rentetan musibah yang dialami warga dan ia berharap Bapak Imam yang baru
akan mengembalikan tradisi tersebut. “Makanya, sekarang sudah terjadi musibah terus
menerus. Baru tengku-tengku itu sadar ada hal yang tidak dilakukan selama ini.”
3. Perewangan dalam Kuasa Penyembuhan
Aspek lain yang terkait dengan dunia mistik masyarakat Jawa perantauan di Aceh
adalah praktik perdukunan perewangan. Perewangan dikenal juga dengan istilah
khodam, yakni makhluk halus yang mendampingi manusia selama hidupnya. Istilah ini
sering dihubungkan dengan konsep Islam tentang jin dan malaikat yang mendampingi
manusia selama ia hidup. Setelah seorang manusia meninggal dunia, jin dan malaikat
pendampingnya tetap hidup dan ia tahu semua cerita tentang manusia tersebut. Sementara
dalam tradisi Jawa, perewangan dikaitkan dengan keberadaan makhluk halus yang hidup
berdampingan dengan manusia yang bersifat mutualis (Sutrisni, 2012). Di satu sisi ia
mendapatkan “tempat” untuk menetap, sementara manusia tersebut dapat menggunakan
kuasanya sesuai dengan yang dibutuhkan. Dalam praktiknya, masyarakat Jawa pada
umumnya menggunakan dukun dalam berbagai “spesialisasi” yang dimilikinya, seperti
dukun bayi, ahli pijat yang disebut dukun pijet, ahli sunat yang dinamakan dukun calak,
atau ahli merias pengantin yaitu dukun paes. Sebutan dukun didasarkan atas aktivitas
yang sering dilakukan oleh dukun berdasarkan pendapat dari masyarakat sekitar tempat
tinggal dukun (Sutrisni, 2012). Dalam masyarakat Keresek sendiri dukun prewangan
yang paling popular adalah dalam bidang pengobatan. Dari empat orang yang ada di sana
semuanya melayani proses pengobatan.
Praktik perdukunan sesungguhnya bukanlah hal yang asing dalam masyarakat
Indonesia. Studi mengenai dukun sering dihubungkan juga dengan aspek magis dalam
agama (Geertz, 1983). Hingga saat ini, dukun bukan hanya eksis di dalam masyarakat
tradisional pedesaan yang sering dianggap emosional, namun juga dalam masyarakat
urban kota yang lebih rasional. Pada awalnya banyak dukun berperan dalam hal-hal
terkait dengan penyakit atau kuasa suprarasional, namun sekarang ini keberadaan dukun
Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

200
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

juga dalam banyak aspek lain kehidupan manusia modern, seperti dalam upaya
memenangkan kontestasi pemilihan umum kepada kepala desa, pertandingan olah raga,
perjudian, dan lain sebagainya. Masih perlu penelitian lebih dalam tentang alasan
terjadinya transformasi peran dukun yang semakin luas dalam masyarakat yang semakin
rasional. Kemungkinan terbesar hal ini dilatari oleh ketidakjelasan sistem dan hukum
yang menyebabkan orang tidak percaya pada hasil akhir dari sistim tersebut (Wulansari
et al., 2021).
a. Menjadi Dukun Prewangan
Dalam praktik perdukunan sama sekali tidak ada sebuah khusus yang harus dilalui
seseorang untuk menjadi dukun. Setiap orang yang berminat untuk memiliki prewangan
bisa saja mendapatkannya dan kemudian ia menjadi dukun. Ia bisa mendapatkan
prewangan dari dukun yang lebih senior dan berpengalaman. Beberapa orang yang
mengaku memiliki prewangan yang saya jumpai mengakui kalau mereka mendapatkan
prewangan dengan jalan diturunkan dari dukun yang lain setelah “menuntut ilmu” dengan
cara dan metode tertentu. Metode yang digunakan biasanya menghafal ayat tertentu dari
Al-Quran dalam jumlah tertentu dan metode yang diatur oleh dukun seniornya. Seorang
calon dukun juga diminta untuk melakukan “puasa tirakat” atau “puasa mutih” untuk
mempermudah proses mendapatkan prewangan.
Perewangan adalah roh halus yang diyakini hidup di dunia yang berbeda. Ia
masuk atau sengaja dimasukkan dalam tubuh seseorang untuk berbagai tujuan. Roh
tersebut kemudian dapat menjalin komunikasi dengan orang lain yang masih hidup. Ada
dua jalan seorang mendapatkan prewangan. Pertama orang yang telah memiliki “orang
yang selalu mengikutinya sejak ia masih kecil.” Jika ia mengetahui ini dan kemudian ia
ingin memilikinya secara permanen di dalam tubuhnya maka ia “meminta dimasukkan”
prewangan ke dalam tubuhnya kepada dukun yang dianggap ahli dalam bidang itu.
Kedua, seseorang yang mendapatkan perewangan atas permintaannya sendiri walaupun
ia sama sekali tidak ada “pengikut” sebelumnya. Ia pergi kepada dukun dan meminta
dukun memasukkan sebuah prewangan padanya agar ia bisa menggunakan perewangan
itu untuk tujuan “yang baik” yaitu membantu manusia. Seorang dukun bisa mencarikan
makhluk halus yang bersedia masuk dan duduk di dalam tubuh manusia, lalu
memasukkan ke tubuh orang yang meminta itu. Berbeda dengan model pertama yang
proses memasukkan prewangan selalu sukses, pada model yang kedua ini tidak demikian.
Beberapa yang meminta dimasukkan prewangan ke dalam tubuhnya tidak berhasil karena
berbagai alasan. Pak SK menceritakan pengalamannya:
“Saya minta itu [prewangan] trus Pak Pirin bilang boleh. Harus puasa mutih dulu.
Malam-malam habis dimandikan dimasukkan. Tapi tidak mau. Dicoba lagi, tidak
mau. Besoknya kami ke sungai yang di jalan Samarkilang sana. Kami potong
ayam hitam. Waktu mau magrib saya tidur di batu besar trus dimasukkan
[prewangan]. Ngak bisa juga. Akhirnya Dukunnya bilang kalau saya ngak bisa.
Katanya saya sudah ada isi jadi ngak mau masuk prewangan.” (Wawancara Bapak
SK 20 April 2015)
Di Keresek ada beberapa orang dukun yang memiliki perewangan yang biasa
didatangi oleh masyarakat untuk berkonsultasi mengenai obat bagi penyakit-penyakit
Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

201
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

yang mereka rasakan, atau untuk meminta saran penyelesaian masalah-masalah keluarga
yang mereka hadapi. Tiga dari empat orang dukun yang ada di sana masih satu keluarga,
yakni anak-anak Pak Pirin. Pak Pirin anak Pak Nowardi. Pak Nowardi sendiri adalah satu
diantara orang Jawa yang didatangkan Belanda pada tahun 1915 ke Aceh untuk menjadi
pekerja di kebun teh mereka. Pak Pirin adalah anak pertamanya yang lahir di Aceh dari
pernikahannya dengan Ibu Suliem. Semula Pak Pirin belajar ilmu perdukunan dari orang
tuanya sendiri, Pak Nowardi, yang membawa ilmu itu dari Jawa. Kemudian ia juga belajar
dari beberapa orang dukun lain baik yang berasal dari duku Jawa maupun suku Gayo.
Oleh sebab itu ia tidak hanya menguasai ilmu perdukunan, namun juga memahami ilmu
berburu binatang liar di hutan sehingga ia dikenal sebagai seorang pawang. Sebagai
dukun, ia dianggap mampu mengobati orang sakit, terutama sakit yang terkait dengan
sihir yang dikenal dengan istilah santet. Sementara sebagai pawang ia dapat menangkap
rusa liar tanpa bantuan orang lain sekalipun. Pak Pirin meninggal dunia dalam serangan
yang dilakukan GAM ke desa Keresek tahun 2001. Masyarakat sangat percaya kalau ia
memiliki ilmu kebal terhadap senjata. Pada saat penyerangan bersenjata yang dilakukan
GAM di desa yaitu tahun 2001, ia menjadikan tubuhnya sebagai tameng dan tembakan
senjata tidak melukai tubuhnya. Namun teriakan istrinya yang tertembak dalam serangan
itu membuat ia kehilangan konsentrasi sehingga peluru menembus dadanya.
Dukun lain yang ada di sana adalah Nek Darem. Nek Darem adalah dukun yang
memiliki prewangan dan hanya bisa mengobati orang yang sakit yang datang kepadanya.
Saat penelitian ini saya lakukan, Nek Darem sudah sangat tua dan hanya bisa berjalan di
sekitar rumahnya saja. Pada sore terkadang ada pasien yang datang kepadanya untuk
berobat. Di atas dipan ia duduk dan memanggil prewangan-nya, lalu mulai memberikan
instruksi kepada pasien tentang apa yang terjadi padanya (pada pasien), apa obatnya, dan
apa yang harus dilakukannya untuk penyembuhan. Dua dukun lain yang berprofesi yang
sama dengan Nek Darem adalah Sakiman dan Pak Darno (anak Pak Pirin dari istrinya
yang pertama). Nek Darem dan Pak Sakiman adalah dukun yang mendapatkan
prewangan dari Pak Pirin, sementara Pak Darno memiliki “pengikut” sejak kecil hingga
ia ditetapkan oleh Pak Pirin di dalam tubuhnya.
b. Perewangan dan Penyembuhan
Semua dukun yang ada di desa Keresek menggunakan perewangan untuk tujuan
pengobatan berbagai jenis penyakit. Dalam Bahasa mereka disebut “mengobati penyakit
biasa maupun penyakit kampung.” Apa yang mereka maksud dengan penyakit kampung
adalah penyakit yang dianggap tidak dapat diobati secara medis karena dalam
pemeriksaan di rumah sakit menggunakan alat-alat kesehatan tidak ditemukan adanya
penyakit dan ia dianggap sehat dan normal. Di sisi lain seseorang bisa saja merasa sakit,
seperti rasa khawatir berlebihan, mudah marah, tiba-tiba sakit, kerasukan, sakit yang tidak
sembuh-sembuh, dan lain sebagainya. Banyak diantara mereka yakin kalau hal demikian
adalah penyakit yang “dikirim” oleh orang lain dengan maksud buruk. Seorang dukun
akan memanggil perewangannya untuk masuk ke dalam tubuhnya dan menjawab
pertanyaan pasien yang ingin mengobati penyakitnya.

Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

202
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

Dalam proses pengobatan, dukun yang memiliki prewangan tidak dapat


mengobati seorang pasien di luar teritorinya sehingga orang yang sakitlah yang harus
datang kepadanya. Hal ini terkait dengan kuasa teritori dari prewangan itu sendiri.
Prewangan itu sendiri diyakini memiliki hierarki yang berbeda antara satu dengan yang
lainnya, baik yang duduk menetap di dalam tubuh seseorang atau yang lepas dan tidak
[belum?] memiliki raga. Seperti diungkapkan Bapak SK:
“Itu seperti tentara, ada komandan, ada prajurit, ada jenderal. Kalau kopral harus
tunduk sama letnan. Kalau letnan tunduk sama mayor. Semua harus tunduk sama
jenderal. Kita tidak tahu mereka ada di mana dan menguasai daerah mana. Kita
juga tidak tahu yang duduk di dalam tubuh pangkat apa. Jadi ngak boleh
sembarangan masuk daerah lain. Siapa tahu di sana pangkatnya besar.”
(Wawancara Bapak SK, 20 April 2015)
Mereka meyakini kalau hierarki tersebut juga menentukan kuasa penyembuhan
yang dimiliki oleh seorang dukun. Jika seorang dukun memiliki prewangan yang “hanya”
seorang “kopral” sementara yang memberi penyakit adalah seorang “mayor” maka akan
berat untuk disembuhkan. Kemungkinan ia akan sembuh hanya di daerah tertentu dan
penyakitnya akan kambuh kembali kalau ia pergi ke daerah di mana kuasa teritori
dikuasai oleh sang “mayor”. Kuasa teritori di kalangan prewangan ini juga
menjadikannya tidak dapat menyembuhkan
c. Agama, Modernisasi dan Degradasi peran prewangan
Dalam dua dekade terakhir peran-peran dukun dalam masyarakat semakin
berkurang. Pada saat saya berada di lapangan semua dukun yang saya wawancarai
mengaku tidak mewariskan ilmunya kepada orang lain, baik anaknya atau orang lain yang
dianggapnya bisa. Beberapa anak muda juga mengatakan kalau mereka tidak berminat
dengan praktik pengobatan demikian meskipun beberapa diantaranya mengaku pernah
menjadi “pasien” dukun. Mereka mengakui banyak pandangan yang keliru tentang rumah
sakit dan dokter yang beredar dalam masyarakat sekarang ini sudah berubah. Banyak pula
yang sama sekali tidak pernah dikonfirmasi melainkan dipercaya begitu saja dan
berkembang luas dalam masyarakat tanpa adanya pembuktian dan penjelasan yang
berimbang. Setelah adanya keterbukaan informasi dalam masyarakat dan banyaknya
warga yang dapat mengakses rumah sakit dengan mudah, pandangan pun menjadi
berbeda.
Penandatanganan MoU Helsinki antara GAM dengan Pemerintah Indonesia tahun
2005 seolah menjadi titik balik penting dari banyak masalah sosial yang terjadi di dalam
masyarakat Kresek. Hal ini tidak sebagai sebab akibat dari penandatanganan tersebut
melainkan pada masa yang sama perkembangan teknologi komunikasi jauh sudah lancar.
Di sisi lain harga komoditas kopi yang baik juga mendorong lebih banyak anak muda
yang merantau untuk tujuan pendidikan. Hal ini semua menjadikan generasi baru yang
lahir tahun 1980-an lebih melek teknologi, terbuka, berwawasan, dan memiliki
pandangan yang berbeda tentang dunia mistik, terutama praktik perdukunan.
Penandatanganan perdamaian antara GAM dan Pemerintah Indonesia juga telah
membawa perubahan baru dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa di Aceh. Banyak
orang Jawa yang mulai terlibat dalam politik electoral di Aceh dan mendapatkan posisi
Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

203
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

di parlemen. Meskipun pada pemilihan umum tahun 2006 mereka mengampanyekan diri
sebagai “perwakilan orang Jawa’, namun dalam pemilihan umum selanjutnya kampanye
berbasis isu etnis demikian ternyata tidak mendapatkan hasil yang memuaskan sehingga
politisi yang beretnis Jawa sekalipun memilih mengampanyekan isu-isu yang lebih sesuai
untuk mendapatkan dukungan masyarakat.

D. Kesimpulan
Masyarakat Jawa perantau yang pada mulanya dibawa oleh pemerintah kolonial
Belanda ke dataran tinggi Gayo untuk dipekerjakan sebagai buruh dalam perkebunan teh
dan perkebunan lainnya telah memilih menetap di sana pasca kemerdekaan dan tidak
Kembali lagi ke Jawa. Mereka pada umumnya membentuk perkampungan sendiri yang
terpisah dengan suku-suku lain yang ada di sana, seperti suku Gayo dan suku Aceh.
Meskipun dalam perkembangan selanjutnya terjadi asimilasi melalui proses perkawinan
dan pindah kampung, namun banyak desa di sana yang masih mempertahankan budaya
Jawa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini menyebabkan banyak kebudayaan
yang berbasis etnik Jawa, baik berbentuk budaya pertunjukan maupun pandangan hidup,
dipertahankan dan dilaksanakan dalam masyarakat. Diantaranya adalah budaya dhanyang
dan prewangan.
Dhanyang dan prewangan adalah keyakinan masyarakat Jawa tentang eksistensi
kehidupan di luar kehidupan duniawi manusia. Mereka meyakini keduanya memiliki
hubungan yang dengan kehidupan manusia yang saling membutuhkan. Danyang
merupakan roh halus yang menetap di tempat tertentu di desa dan berperan dalam
menjaga kedamaian dan ketenteraman desa. Sebagai kompensasi masyarakat desa
memberikan sajen kepadanya melalu ritual selametan terutama pada awal bulan suro. Di
sisi lain prewangan adalah roh halus yang menempati tubuh manusia melalui sebuah
ritual mistis yang dilakukan oleh seorang dukun. Meskipun ia berada dalam tubuh
manusia, namun ia hanya akan melakukan sesuatu yang diminta kepada melalui sebuah
proses pemanggilan. Pada umumnya prewangan terkait dengan perdukunan, khususnya
dalam pengobatan penyakit yang diyakini bukan bersifat medis.
Dalam perkembangan kontemporer, modernisasi dan keterbukaan akses pada
penduduk telah menyebabkan peran dan keyakinan akan eksistensi danyang dan
prewangan ini memudar di dalam masyarakat. Di kalangan anak muda sudah jarang ada
keinginan untuk menguasai ilmu yang terkait dengan prewangan sehingga sulit adanya
regenerasi peran dukun di sana.

***

Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

204
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

Daftar Pustaka

Arifin, M., Abdullah, I., & Ratnawati, A. T. (2019). Contestation between Puritan Islam
and Kejawen in the Urban Yogyakarta of Indonesia. Al-Albab, 8(2).
https://doi.org/10.24260/alalbab.v8i2.1460
Barter, S. J. (2012). Unarmed Forces: Civilian Strategy in Violent Conflicts. Peace &
Change, 37(4), 544–571. https://doi.org/10.1111/j.1468-0130.2012.00770.x
Budhiono, R. H. (2019). Pergeseran dan Pemertahanan Bahasa Jawa di Daerah
Transmigrasi di Kota Palangkaraya. Aksara, 31(2).
https://doi.org/10.29255/aksara.v31i2.378.285-298
Elmhirst, R. (2000). A Javanese diaspora? gender and identity politics in Indonesia’s
transmigration resettlement program. Women’s Studies International Forum, 23(4),
487–500. https://doi.org/10.1016/S0277-5395(00)00108-4
Endraswara, S. (2005). Buku Pinter Budaya Jawa. Gelombang Pasang.
Gany, A. H. A., & Halli, S. S. (1993). Land Development and Transmigrant Farmers in
Southern Sumatra, Indonesia. International Migration, 31(4), 561–577.
https://doi.org/10.1111/j.1468-2435.1993.tb00683.x
Geertz, C. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Pustaka Jaya.
Hafida, M. N., Safitri, R., Azizah, N., Suhadak, A., Maisaroh, A. A., Sapaike, A. A., &
Sulistyo, W. D. (2021). Kajian Historis Kepercayaan Danyang Telaga Rambut
Monte Pada Masyarakat Desa Krisik Blitar. Fajar Historia: Jurnal Ilmu Sejarah
Dan Pendidikan, 5(2), 130–144. https://doi.org/10.29408/FHS.V5I2.3939
Hasibuan, H., Effiati, J., & Muda, I. (2017). Komunikasi Antar Budaya pada Etnis Gayo
dengan Etnis Jawa. JURNAL SIMBOLIKA: Research and Learning in
Communication Study (E-Journal), 3(2), 106–113.
https://doi.org/10.31289/SIMBOLLIKA.V3I2.1456
Hendriko, T., & Effendy, E. (2019). Kuda kepang: A case report of javanese cultural-
related trance in medan. Open Access Macedonian Journal of Medical Sciences,
7(16). https://doi.org/10.3889/oamjms.2019.823
Ihwanto, I., Husaini, H., & Yoesoef, A. (2017). Perkembangan Komunitas Jawa di
Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tengah (1931-2015). JIM: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Pendidikan Sejarah, 2(2).
https://jim.unsyiah.ac.id/sejarah/article/view/3772
Iriani, I. (2018). Mempertahankan Identitas Etnis: Kasus Orang Jawa di Desa Lestari,
Kecamatan Tomoni Kabupaten Luwu Timur. Walasuji : Jurnal Sejarah Dan
Budaya, 9(1). https://doi.org/10.36869/wjsb.v9i1.23
Iswanto, S., Zulfan, Z., & Suryana, N. (2020). Gayo Highland Takengon from 1904 To
1942: A Historical Analysis of Coffee Plantations at the Era of Dutch Colonialism.
Paramita: Historical Studies Journal, 30(1), 69–82.
https://doi.org/10.15294/PARAMITA.V30I1.21637
Jaya, M., Moramo, K., Kabupaten, U., Selatan, K., Ningsih, J., Roslan, H. S., &
Anggraini, D. D. (2016). Strategi Adaptasi Transmigran Suku Jawa Di Daerah
Tujuan Transmigrasi. Jurnal Neo Societal, 1(2).
Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

205
JURNAL SOSIOLOGI USK: P-ISSN: 2252-5254│E-ISSN: 2722-6700
Media Pemikiran & Aplikasi DOI: 10.24815.jsu.v17i1.33046
Vol. 17, No. 1, Juni 2023 Hal. 193-206

Kim, H.-J. (2002). Agrarian and social change in a Javanese village. Journal of
Contemporary Asia, 32(4), 435–455. https://doi.org/10.1080/00472330280000301
Lockard, C. A. (1971). The Javanese as Emigrant : Observations on the Development of
Javanese Settlements Overseas. Indonesia, 11, 41–62.
http://www.jstor.org/stable/3350743
Munna, U. L., & Ayundasari, L. (2021). Islam Kejawen: Lahirnya akulturasi Islam
dengan budaya Jawa di Yogyakarta. Jurnal Integrasi Dan Harmoni Inovatif Ilmu-
Ilmu Sosial, 1(3). https://doi.org/10.17977/um063v1i3p317-325
Nasir, M. A. (2019). Revisiting the Javanese Muslim Slametan: Islam, Local Tradition,
Honor and Symbolic Communication. Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies,
57(2), 329–358. https://doi.org/10.14421/AJIS.2019.572.329-358
Masruri, M. (2013). Kosmologi Danyang Masyarakat desa Sekoto Dalam Ritual Bersih
Desa. Jurnal Penelitian, 7(2). https://doi.org/10.21043/JUPE.V7I2.813
Shadiqin, S. I. (2022). Dari Kejawen, Muhammadiyah, ke Dayah: Transformasi Ritual
Agama dalam Masyarakat Jawa Pendatang di Aceh. Jurnal Sosiologi USK (Media
Pemikiran & Aplikasi), 16(2), 170–185.
https://doi.org/10.24815/JSU.V16I2.29037
Sutrisni, S. (2012). Dukun prewangan (studi deskriptif kehidupan dukun prewangan di
desa ngodean dan desa teken glagahan, kecamatan loceret, kabupaten nganjuk).
AntroUnairDotNet, 1(1).
Syamsul Bakri. (2006). Islam Kejawen: Agama dalam Kesejarahan Kultur Lokal.
Repository IAIN Surakarta.
van der Kroef, J. M. (1955). Folklore and Tradition in Javanese Society. The Journal of
American Folklore, 68(267), 25. https://doi.org/10.2307/537108
Wulansari, A. P., Hadi, N., Hesti, J., & Purwasih, G. (2021). Pijat Kendiku: Antara
Kearifan Lokal dan Kekecewaan Terhadap Pengobatan Medis. Jurnal
Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, 23(2), 129–137.
https://doi.org/10.25077/jantro.v23.n2.p129-137.2021
Yulita, O., Anwar, K., Putra, D., Isa, M., & Yusup, M. (2021). Akulturasi Budaya
Pernikahan Minangkabau dengan Transmigrasi Jawa di Kabupaten Solok Selatan
Sumatera Barat. Ideas: Jurnal Pendidikan, Sosial, Dan Budaya, 7(2).
https://doi.org/10.32884/ideas.v7i2.333
Zulfauzi. (2009). Perlawanan Nan Tak Kunjung Padam (Studi tentang Dinamika Aksi
Kolektif Suku Jawa dan Suku Gayo terhadap GAM di Tanoh Gayo 1999 – 2008).
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Shadiqin & Fuadi: Dhanyang dan Prewangan: Kuasa Roh Halus dalam Dunia Mistik....

206

You might also like