Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 24

MATERI INTI 4.

Konsep Pembiayaan dan Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan


(Equity In Health Care Services)
A. Kompetensi Dasar
Materi ini sesuai dengan kompentensi dasar; kemampuan analisis situasi social ekonomi
dan manajemen kesehatan, khususnya pembiayaan kesehatan bagi Kepala Dinas Kesehatan,
untuk membuat keputusan dan kebijakan kesehatan secara lebih akurat, terinci, tepat sasaran dan
tepat anggaran serta dilandasi dengan bukti data.

B. Deskripsi Singkat
Modul ini tersusun atas tiga kelompok 4A, yaitu: Konsep Pemerataan dalam Pelayanan
Kesehatan (Equity in Health Care Service, 4B: Konsep Health Account dan 4C yaitu: Berbagai
Sistem Pembiayaan untuk mencapai Equity dan Universal Coverage. Mengapa ketiga topik ini
dijadikan satu modul? Ada satu persamaan yaitu penggunaan data keuangan atau data ekonomi
sebagai dasar indicator pengukuran pemerataan pelayanan kesehatan.
Kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki
pemerataan sosial ekonomi. Sebelum krisis, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung
digunakan oleh kalangan masyarakat „mampu‟. Sebagian besar masyarakat miskin, belum atau
bahkan tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan sumber
daya. Dapat disimpulkan bahwa berbagai kebijakan Jaminan pendanaan seperti Jaring Pengaman
Sosial Bidang Kesehatan dan Askeskin berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah
sakit lainnya. Adanya program perlindungan kesehatan bagi masyarakat (ASKESKIN,
JAMKESMAS, dsb), mempunyai arah positif menuju semakin terlindunginya kaum miskin dan
kaum rentan-miskin terhadap katastropik akibat pengeluaran kesehatan
Akan tetapi data tentang akses dan kualitas kepelayanan dasar puskesmas) dan pelayanan
rujukan (rumah sakit) serta pemerataan sumber daya manusia, masih menunjukkan gejala ketidak
merataan secara horizontal. Jumlah rumah sakit dan dokter tidak terdistribusi secara merata di
berbagai daerah dan kualitas pelayanan juga masih berbeda-beda. Keadaan ini perlu dipelajari
oleh para pemimpin di sektor kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten dan Propinsi perlu
untuk memahami bagaimana teori equity berjalan di daerahnya. Konsepsi ini perlu dimiliki oleh
kepala dinas kesehatan sebagai kompetensi dasar untuk peningkatan kemampuan dalam
mengolah data dalam rangka pengembangan pemikiran untuk perencanaan strategis program
kesehatan di daerahnya. Sebagai regulator pemerintah harus menjadi wasit yang adil dalam
sistem pelayanan kesehatan di wilayahnya, harus menyediakan aturan-aturan dasar yang
tujuannya adalah untuk menjamin bahwa sistem bisa berjalan secara fair dan melindungi
masyarakat untuk mencapai status kesehatan masyarakat yang optimal. Sebagai pemberi biaya,
pemerintah harus menjamin bahwa layanan kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat dapat
diakses oleh seluruh masyarakat, sehingga jika terjadi barier ekonomi dari kelompok masyarakat
yang miskin, maka pemerintah harus bertanggung jawab untuk menyediakan dana dan atau
membuat sistem supaya pelayanan kesehatan dapat diakses oleh penduduk miskin dengan
kualitas yang baik. Sebagai pelaksana, maka pemerintah menyediakan layanan kesehatan bagi
masyarakat.
Perlu diperhatikan perbedaan peran pemerintah antara sebagai pelaksana dan sebagai
regulator (Bossert, dkk, 1998): Pada saat sebagai pelaksana, tujuan pemerintah adalah untuk
mengupayakan efisiensi dan survival institusi pelayanan publik, namun sebagai regulator tujuan
tersebut bergeser menjadi menjamin kompetisi dan sistem kompensasi mengarah ke pencapaian
indikator kesehatan wilayah. Pada masa sebelum krisis, rata-rata biaya kesehatan nasional adalah
$12/kapita/tahun. Jumlah tersebut berasal dari pemerintah dan non pemerintah. Yang non-
pemerintah berasal dari: pengeluaran langsung oleh rumah tangga yang dikenal dengan istilah
”out of pocket payment”, dari perusahaan swasta, yaitu untuk biaya kesehatan karyawannya, dan
dari sistem asuransi kesehatan. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut maka perlu
dikembangkan suatu sistem pembiayaan kesehatan yang sesuai dengan keadaan setempat.
Sistem pembiayaan merupakan manifestasi peran pemerintah sebagai pemberi biaya.
Filosofi dasarnya adalah pemerintah harus menjamn agar pelayanan kesehatan yang diperlukan
oleh masyarakat dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga jika terjadi hambatan
ekonomi dari kelompok masyarakat yang miskin, maka pemerintah harus bertanggung jawab
menghilangkan hambatan tersebut dengan menyediakan dananya.Yang menjadi masalah untuk
mencapai hal tersebut adalah bagaimana sistem pembiayaan harus dibangun, konsep universal
apa saja yang bisa diacu, adakah daerah lain atau negara lain yang dapat dijadikan referensi.
Untuk itu, dalam kegiatan pengembangan sistem pembiayaan perlu dinilai kondisi ekonomi
mikro daerah, kemauan politik para pengambil kebijakan dan keberadaan infrastruktur yang lain
pada dasarnya.
Dalam usaha mengembangkan manajemen kesehatan di era otonomi daerah, Sistem
pembiayaan kesehatan dan perhitungan biaya pelayanan kesehatan merupakan hal yang relative
penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Daerah harus mampu melakukan perhitungan dan
penyusunan suatu sistem pembiayaan kesehatan mulai dari penyediaan data yang berasal dari
berbagai sumber hingga mobilisasi dana yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang optimal.Untuk itu diperlukan adanya sistem alur pembiayaan kesehatan yang
menggambarkan aliran keuangan, sumber-sumber biaya kesehatan, mobilisasi dana serta
pemanfaatannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alur pembiayaan yang berasal dari
bermacam sektor dan sumber.
Tujuan dari sistem pembiayaan kesehatan yang baik adalah untuk menjamin masyarakat
agar tidak terkendala dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan ketika diperlukan dan tidak
menjadi miskin ketika sakit. Sistem pembiayaan seperti ini adalah system pembiayaan yang
didasarkan pada mekanisme pengumpulan risiko (risk pooling). Artinya sumber daya keuangan
dikumpulkan dari orang yang sehat dan ketika orang masih sehat untuk membiayai ketika sakit.
Di duniadikenal berbagai jenis Pembiayaan Kesehatan dengan metode pengumpulan risiko yaitu:
1. State funded systems
2. Social Health Insurance
3. Community Health Insurance
4. Voluntary Health Insurance

C. Tujuan Pembelajaran
a. Tujuan pembelajaran umum:
Setelah mengikuti pelatihan ini peserta mampu memahami Memahami konsep
konsep pemerataan (Equity), konsep Health Account, dan konsep system jaminan
kesehatan untuk pengambilan kebijakan pelayanan dan pendanaan kesehatan bagi
masyarakat berdasarkan kepada pemerataan sosial ekonomi, geografis, serta dampak
katastropik kesehatan di Indonesia.
b. Tujuan pembelajaran khusus:
Setelah Peserta mengikuti pembelajaran ini, Peserta mampu:
a. Konsepsi dasar tentang pemeratan yang berkeadilan sesuai dengan konsep ekuitas
pelayanan kesehatan (Equity in Health Care);
b. Pemanfaatan analisis data dengan pendekatan sosio-ekonomi, dan factor geografis
untuk menganalisis dan menemukan solusi dalam permasalahan pendanaan dan
layanan kesehatan;
c. Pengaruh ketimpangan sumber daya kesehatan terhadap pemerataan dan kualitas
layanan serta status kesehatan;
d. Bencana katastropik akibat pengeluaran pembiayaan kesehatan oleh masyarakat
e. Indikator-indikator data statistic yang menunjang pengambilan keputusan
kebijakan pembiayaan kesehatan berdasarkan konsep ekuitas pelayanan
kesehatan(Equity in Health Care)
f. Memahami alur pembiayaan kesehatan berbasis Konsep National/District Health
Account sebagai dasar kebijakan pembiayaan kesehatan daerah.
g. Memahami pengembangan data base keuangan daerah bagi pengembangan
sistempembiayaan kesehatan daerah
h. Memahami konsep Sistem Pembiayaan
i. Memahami kelemahan dan kelebihan dalam berbagai Sistem Pembiayaan
j. Memahami peran sistem pembiayaan dalam mencapai Equity dan Universal

D. Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan

Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan (Equity In Health Care Services)


Pokok Bahasan 1: Pengertian dan konsep ekuitas dalam pelayanan kesehatan (Equity in Health)
Pokok Bahasan 2: Hubungan Sosial Ekonomi Terhadap Equity Pembiayaan dan Pelayanan
Kesehatan.
Pokok Bahasan 3: Dampak Letak Geografi Wilayah Terhadap Equity Pelayanan Kesehatan
Pokok Bahasan 4: Katastropik Pembiayaan Kesehatan.
Pokok Bahasan 5: Indikator Statistik Dalam Equity Pelayanan Kesehatan.

Konsep Health Account


Pokok Bahasan 6: Konsep Nasional Health Account
a. Pengertian, komponen, dan tujuan National Health Account
b. Peran Pengorganisasian National Health Account
c. Kerangka Konsep Health Account, Alur Health Account dan Aliran Dana Umum dalam
Health Account
Pokok Bahasan 7: Konsep District Health Account
a. Pengertian & Data Sekunder
b. Sumber Pembiayaan dan Agen Pembiayaan
c. Provider dan Fungsi Kesehatan
d. Kebijakan Berbasis Health Account

Berbagai Sistem Pembiayaan untuk mencapai Equity dan Universal Coverage


Pokok Bahasan 8: State funded systems
Pokok Bahasan 9: Social Health Insurance
Pokok Bahasan 10: Community Health Insurance
Pokok Bahasan 11: Voluntary Health Insurance
E. Bahan Belajar

a. Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan (Equity In Health Care Services)


O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2008, Analyzing Health Equity Using Household Survey Data:
A Guide to Techniques and Their Implementation, WorldBank, Washington.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2006, Effect of Payments for Health Care on Poverty; Estimates
In 11 Countries, The Lancet.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2007, The Incidence of Public Spending on Health Care;
Comparative Studies among Asia Pacific Countries, World Bank Economic Review.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2008, Who Pays for Health Care in Asia Pacific, Journal of
Health Economics.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2007, Catastrophic Payment For Health Care in Asia Pacific,
Journal of Health Economics
Ping, Whynes, Sach, 2008, Equity in health care financing: The case of Malaysia, BioMed
Central.
Whitehead, 1991, The Concepts And Principles Of Equity And Health, Health Promotion
International, Great Britain

b. Konsep Health Account


WHO, Guide to producing National Health Account, Canada, 2004
WHO, Guidelines For Producing Reproductive Health Subaccount Within The NHA
Framework, 2005
WHO, Guide to Producing District Health Accounts, 2007 WHO, Guidelines For Producing
Malaria Subaccount Within The NHA Framework, 2007
WHO, National Health Account Regional Report, New Delhi, 2007
WHO, Indonesia National Health Account Matriks Report, 2008
Bappenas, FKM UI, Kajian National Heath Account Indonesia 2002 – 2007, Jakarta, 2008

c. Berbagai Sistem Pembiayaan untuk mencapai Equity dan Universal Coverage


Arifianto A, Marianti R, Budiyati S, and Tan E.(2005).Making Services Work for the Poor in
Indonesia: A Report on Health Financing Mechanisms (JPK-Gakin) Scheme in
Kabupaten Purbalingga, East Sumba, and Tabanan. Indonesia: The SMERU Research
Institute and The World Bank. www.smeru.or.id
Saltman R. B., Busse R, and.Figueras J.(2004).Social health insurance systems in western
Europe. World Health Organization (WHO). New York, USA: Open University Press.
www.openup.co.uk
National Endowment for Financial Education.(2006).Understanding Private Health
Insurance.First in the Series MANAGING MEDICAL BILLS Strategies for Navigating
the Health Care System.Grant Project number 004-04-2004.www.healthinsuranceinfo.net

F. Langkah-langkah Pembelajaran
Langkah 1. Pengkondisian (15 menit)
• Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran, metode yang digunakan, mengapa
modul/materi ini diperlukan dalam pelatihan eksekutif pengembangan kapasitas
pemimpin dinas kesehatan, serta keterkaitan dengan materi sebelumnya.
• Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan pengalaman
saat mengikuti pelatihan-pelatihan pengembangan kapasitas terdahulu.
• Fasilitator memberikan tanggapan dan memotivasi peserta untuk tetap bersemangat
mengikuti pelatihan ini sampai selesai

Langkah 2. Membahas Pokok Bahasan (45 menit/1 JPL)


a. Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan (Equity In Health Care Services)
• Fasilitator membimbing peserta untuk belajar mandiri melalui website, yaitu
membaca dan memahami konsep-konsep yang terdapat pada Pokok Bahasan 1:
Pengertian dan konsep ekuitas dalam pelayanan kesehatan (Equity in Health), Pokok
Bahasan 2: Hubungan Sosial Ekonomi Terhadap Equity Pembiayaan dan Pelayanan
Kesehatan, :Pokok Bahasan 3: Dampak Letak Geografi Wilayah Terhadap Equity
Pelayanan Kesehatan, Pokok Bahasan 4: Katastropik Pembiayaan Kesehatan, dan
Pokok Bahasan 5: Indikator Statistik Dalam Equity Pelayanan Kesehatan.
• Fasilitator memberi kesempatan kepada Peserta untuk mendiskusikan keadaan
keadaan nyata di tempat kerja yang tercakup dalam konsep-konsep tersebut, melalui
e-mail, sms, telepon, atau Skype.
• Fasilitator memberikan arahan tentang bahan-bahan belajar yang dapat digunakan
oleh Peserta untuk memperdalam konsep yang telah mereka pahami.

b. Konsep Health Account


• Fasilitator membimbing peserta untuk belajar mandiri melalui website, yaitu
membaca dan memahami konsep-konsep yang terdapat pada Pokok Bahasan 6:
Konsep Nasional Health Account dan Pokok Bahasan 7: Konsep District Health
Account (beberapa point penjelasan).
• Fasilitator memberi kesempatan kepada Peserta untuk mendiskusikan keadaan-
keadaan nyata di tempat kerja yang tercakup dalam konsep-konsep tersebut, melalui
e-mail, sms, telepon, atau Skype.
• Fasilitator memberikan arahan tentang bahan-bahan belajar yang dapat digunakan
oleh Peserta untuk memperdalam konsep yang telah mereka pahami.

c. Berbagai Sistem Pembiayaan untuk mencapai Equity dan Universal Coverage


• Fasilitator membimbing peserta untuk belajar mandiri melalui website, yaitu
membaca dan memahami konsep-konsep yang terdapat pada Pokok Bahasan 8: State
funded system, Pokok Bahasan 9: Social Health Insurance, Pokok Bahasan 10:
Community Health Insurance dan Pokok Bahasan 11: Voluntary Health Insurance.
• Fasilitator memberi kesempatan kepada Peserta untuk mendiskusikan keadaan-
keadaan nyata di tempat kerja yang tercakup dalam konsep-konsep tersebut, melalui
e-mail, sms, telepon, atau Skype.
• Fasilitator memberikan arahan tentang bahan-bahan belajar yang dapat digunakan
oleh Peserta untuk memperdalam konsep yang telah mereka pahami.

Langkah 3. Penugasan (225 menit/5 JPL @ 45 menit)


a. Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan (Equity In Health Care Services)
Fasilitator mengarahkan Peserta untuk menjawab dan mendiskusikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Apakah Konsep Equity ini bermanfaat bagi tugas bapak dan atau ibu dalam
menjalankan fungsi kebijakan dalam kesehatan?
2. Apakah Equity dapat menjadi tolok ukur derajat kesehatan di Indonesia?
3. Katastropik akibat pembiayaan kesehatan, apakah hal ini bisa terjadi didaerah
bapak/ibu, bagaimana mengidentifikasi masalah ini dan bagaimana solusi
kebijakannya?
4. Dalam kebijakan apa saja, Teori Equity ini bisa menjadi dasar atau bukti nyata
pengambilan keputusan dibidang kesehatan.? Mohon di berikan contoh.
Peserta mengirimkan jawaban melalui website atau mengirimkan ke e-mail:
pelatihandinkes@gmail.com

b. Konsep Health Account


Fasilitator mengarahkan Peserta untuk menjawab dan mendiskusikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Menurut pendapat bapak / ibu apakah konsep health account dapat membantu dalam
proses perencanaan pembiayaan kesehatan di dinas kesehatan.
2. Mengapa health account dibutuhkan sebagai salah satu dasar pembuatan perencanaan
dan pemetaan pembiayaan kesehatan di daerah?
3. Apakah konsep health account bisa menjelaskan pembiayaan kesehatan yang sudah
ada dan pemerataan pembiayaan kesehatan?
4. Bagaimana konsep health account bisa dilakukan di dinas kesehatan? Strategi dan
kebijakan apa yang bisa mendukung diterapkannya konsep health account di dinas
kesehatan”.
5. Untuk mendukung dilaksanakannya Health Account upaya apa yang dilakukan oleh
dinas kesehatan:
a. Pelatihan apa saja?
b. Pengorganisasian di tempat kerja
c. Apakah sumber daya yang melaksanakan sudah memadai dan kualifikasi juga
sudah memadai
Peserta mengirimkan jawaban melalui website atau mengirimkan ke e-mail:
pelatihandinkes@gmail.com

c. Berbagai Sistem Pembiayaan untuk mencapai Equity dan Universal Coverage


Fasilitator mengarahkan Peserta untuk menjawab dan mendiskusikan hal-hal sebagai
berikut:
1. Mengapa jaminan kesehatan nasional akan memperburuk pemerataan regional jika tidak
ada perbaikan penyebaran fasilitas pelayanan dan tenaga kesehatan?
2. Apa ide Anda untuk mengatasi ketidak merataan geografis di Papua?
Peserta mengirimkan jawaban melalui website atau mengirimkan ke e-mail:
pelatihandinkes@gmail.com

Langkah 4. Rangkuman
Fasilitator menyampaikan rangkuman secara keseluruhan dan melakukan dialog dengan
Peserta bagaimana selanjutnya Ia dapat mempraktekkan konsep-konsep ini dalam
instansinya.

G. URAIAN MATERI
a. Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan (Equity In Health Care Services)
Pokok Bahasan 1: Konsep Equity
Kemiskinan telah menjadi suatu isu penting bagi badan-badan dunia, seperti Bank Dunia,
International Monetary Fund, Asian Development Bank, serta World Health Organization
(WHO), serta menjadi isu sentral terutama di negara berkembang dan negara-negara terbelakang,
termasuk di Indonesia. Kemiskinan mempunyai banyak dimensi, hal tersebut harus dilihat
melalui berbagai indikator-tingkat konsumsi dan pendapatan, indikator-indikator sosial, dan
indikator-kerawanan terhadap resiko serta akses sosio/political, mencakup terbatasnya
kesempatan untuk mengakses kesehatan dan pendidikan. Walaupun pendapatan tidak dapat
mengukur kesejahteraan social seseorang, sedikitnya kita sependapat bahwa masyarakat dengan
pendapatan yang tidak merata cenderung memiliki status kesehatan yang kurang baik.
Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kurangnya pemerataan pendapatan
adalah salah satu faktor pada masalah kesehatan yang muncul, meskipun hal tersebut bukan satu-
satunya faktor penyebab utama, karena kurangnya pendapatan mempengaruhi keterbatasannya
mengakses pelayanan kesehatan yang memadai.
Kurangnya kemampuan orang yang berpendapatan rendah memanfaatkan sikap ramah
tamah, teknologi, dan kondisi layak seperti bagi orang yang berpendapatan tinggi, sehingga
perlakuan social ini membuat mereka semakin termarginalisasi. Oleh karena itu, pemerintah
turun tangan dan mengintervensi untuk melindungi akses orang miskin terhadap pelayanan
kesehatan dasar (WHO, World Health Report 2003).
Kebijakan menentukan bagaimana uang, kekuasaan dan sumberdaya mengalir ke
masyarakat, sehingga menjadi salah satu faktor determinan kesehatan. Advokasi kebijakan
kesehatan publik semakin menjadi strategi yang penting yang dapat kita gunakan sebagai
panduan dalam penentuan status kesehatan. Meskipun agenda kebijakan merupakan bagian dari
strategi politik dengan kepentingan yang berbeda-beda, sistem pembiayaan dan legislasi
pelayanan kesehatan yang tersedia bagi orang miskin adalah strategi pendekatan utama untuk
mencapai pemerataan kesehatan (Rosen S. 2002).
Kontribusi dari pendapatan pemerintah yang digunakan untuk kesehatan pada tahun 2002
untuk setiap propinsi, sangat bervariasi, yaitu antara 5%-10% dari total anggaran belanja
pemerintah atau hanya sekitar 2%-3% dari rata-rata PDRB daerah (National Health Account,
Ministry of Health, 2002). Hal ini sangat dirasakan keterbatasan sumber daya biaya untuk
kesehatan. Secara ideal, pembiayaan kesehatan pemerintah ini sekurang-kurangnya adalah 5%
dari PDRB daerah atau kurang lebih 15% dari anggaran pemerintah daerah, APBD (Forum
Asosiasi Dinas Kesehatan, 2000). Perbedaan anggaran kesehatan di tingkat daerah akan
mengakibatkan perbedaan distribusi subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Perbedaan
distribusi subsidi akan membentuk pola yang variatif apabila dilakukan komparasi antar daerah.
Anggapan umum mengemukakan bahwa, subsidi pemerintah akan terdistribusi secara lebih besar
di daerah yang mempunyai proporsi masyarakat miskin lebih besar. Sehingga kebijakan yang
diambil Merupakan kebijakan untuk melindungi orang miskin. Variasi dalam pengeluaran
subsidi akan Mengakibatkan dampak distribusi yang berbeda pula. Hal ini terlihat pada
komparasi distribusi penduduk miskin yang dilakukan oleh WHO, tahun 2003.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh O'Donnell, O., E. Van Doorslaer, et al.
(2005) menunjukkan bahwa standar pengeluaran kesehatan yang diterapkan oleh WHO ($1 dan
$2 Perhari) memiliki dampak terhadap tingkat kemiskinan. Semakin besar standar yang
diterapkan, semakin besar penduduk yang akan menjadi ”miskin”. Hal ini terutama dinegara-
negara yang mempunyai pendapatan perkapita yang relatif rendah, seperti Indonesia, India,
Bangladesh, dan Nepal. Karakteristik yang demikian, juga menunjukkan bawah kaum miskin
sangat rentan terhadap kesehatan (vulnerable). Sehingga dibutuhkan suatu skema subsidi untuk
”melindungi” Mereka dari resiko kesehatan (O'Donnell, O., E. Van Doorslaer, et al.,2005).
Hasil Penelitian tentang Equity dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (PMPK FK-
UGM 2009), menunjukkan adanya indikasi bahwa kebijakan subsidi kesehatan Indonesia masih
terlihat dinikmati oleh orang kaya (pro-rich) dan terjadi kesenjangan yang semakin besar
(equality reducing), khususnya untuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Sedangkan untuk
pelayanan lainnya, subsidi pelayanan kesehatan relatif sampai ke sasaran. Hal lainnya adalah,
disparitas antarnpropinsi, dimana propinsi yang memiliki anggaran kesehatan yang besar,
memiliki kecenderungannuntuk melindungi masyarakat miskin melalui subsidi kesehatan
semakin besar. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya (O'Donnell, O., E. Van Doorslaer,
et al,2005) yang membandingkan kondisi pengguna fasilitas kesehatan pemerintah antar
beberapa Negara di Asia Pasifik.

Pokok Bahasan 2: Hubungan Sosial Ekonomi Terhadap Equity Pembiayaan dan


Pelayanan Kesehatan
Hasil dari penelitian Equitap mengenai pemerataan pendanaan kesehatan di Indonesia
antara tahun 2000-2007 memberikan dampak situasi yang positip. Kebijakan pembiayaan
kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki kemerataan sosial ekonomi. Sebelum
krisis, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung digunakan oleh kalangan masyarakat
“mampu‟. Sebagian besar masyarakat miskin, belum atau bahkan tidak memanfaatkan fasilitas
pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan sumber daya. Dapat disimpulkan bahwa
berbagai kebijakan Jaminan pendanaan seperti Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan dan
Askeskin berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit lainnya.
Apakah pemerataan antar sosial ekonomi sudah cukup? Jawabannya mungkin belum
cukup. Data tentang distribusi rumah sakit dan sumber daya manusia menunjukkan gejala
ketidak merataan yang lain. Jumlah rumah sakit dan dokter tidak terdistribusi secara merata di
berbagai daerah. Sementara itu, kebijakan pendanaan saat ini, Jamkesmas mengijinkan rumah
sakit pemerintah dan swasta untuk melayani pasien dari kalangan masyarakat miskin atau hampir
miskin. Hal tersebut meningkatkan akses bagi masyarakat miskin atau hampir miskin di
perkotaan dan di pulau Jawa untuk mendapat perawatan rumah sakit pemerintah dan swasta dan
pelayanan esehatan yang berbiaya tinggi. Manfaat pengobatan yang didapat bersifat luas,
termasuk yang berteknologi tinggi, akan mempunyai implikasi biaya perawatan kesehatan yang
besar. Diproyeksikan bahwa alokasi biaya untuk kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional
akan banyak dipergunakan oleh kelompok masyarakat di perkotaan dan di dekat rumahsakit-
rumahsakit berteknologi tinggi. Diperkirakan terjadi ketidak adilan geografis.

Pokok Basahan 3: Dampak Letak Geografi Wilayah Terhadap Equity Pelayanan


Kesehatan
Analisis mengenai sebaran utilisasi pelayanan kesehatan di Indonesia antara tahun 2000-
2007 memberikan gambaran situasi menarik, khususnya komparasi antar wilayah. Kebijakan
pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki kemerataan sosial ekonomi
secara umum/nasional, tetapi belum bisa memperbaiki kesenjangan antar wilayah. Rumah sakit
diwilayah yang jauh dari pusat pemerintahan (baca: Indonesia Timur) cenderung digunakan oleh
kalangan masyarakat „mampu‟. Sebagian besar masyarakat miskin, belum dapat atau bahkan
tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan akses menuju
ke pelayanan kesehatan (Geographical Barrier). Kondisi pembiayaan social saat ini yang
dilakukan melalui berbagai skema jaminan kesehatan social seperti JPKM, ASKESKIN, dan
JAMKESMAS belum berhasil/mengurangi hambatan akses bagi masyarakat miskin untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah sakit
lainnya di wilayah terpencil, perbatasan dan kepulauan (DTPK). Saat ini Jamkesmas engijinkan
rumah sakit pemerintah dan swasta untuk melayani pasien dari kalangan masyarakat miskin atau
hampir miskin. Hal tersebut meningkatkan akses bagi masyarakat miskin atau hampir miskin di
perkotaan dan di pulau Jawa untuk mendapat perawatan rumah sakit pemerintah dan swasta dan
pelayanan kesehatan yang berbiaya tinggi. Tetapi salah satu kelemahan Jamkesmas adalah belum
adanya biaya untuk akses ke pelayanan bagi kaum miskin. Sebagai contoh, di Kep Maluku
Utara, mungkin biaya berobatnya gratis, tetapi biaya transport dari suatu pulau ke pulau yang
yang tersedia layanan kesehatan, mungkin sampai jutaan rupiah. Hal ini menyebabkan biaya
berobat menjadi semakin mahal, dan menyebabkan terjadi ketidak adilan geografis.

Pokok Bahasan 4: Katastropik Pembiayaan Kesehatan


Sistem Kesehatan memberikan pelayanan kesehatan, pencegahan dan pengobatan, yang
dapat membuat perbedaan yang besar/banyak pada kesehatan masyarakat. Bagaimanapun juga
untuk memenuhi atau mendapatkan pelayanan tersebut bisa menimbulkan kebutuhan individu
menjadi pengeluaran catastrophic dari pendapatan mereka, dan beberapa rumah tangga terpaksa
menjadi miskin karenanya. Lebih jauh lagi karena dampak negatifnya beberapa rumah tangga
tidak jadi berobat dan terus menderita karena sakitnya.
Pemerataan dalam bidang pembiayaan kesehatan adalah salah satu bagian dari tujuan
pokok dari sistem kesehatan. Keadilan dalam kontribusi pembiayaan dan perlindungan terhadap
resiko keuangan berdasarkan dugaan bahwa sebaiknya rumah tangga dapat membayar bagian
yang secara adil. Apa yang merupakan bagian yang adil tergantung pada perkiraan/dugaan
normatif masyarakat bagaimana sistem kesehatan dapat membiayainya. Namun demikian
disetiap negara, keadilan dalam kontribusi pembiayaan mencakup 2 aspek yang penting yaitu
risk-polling diantara sehat dan sakit dan pembagian resiko (risk-sharing) antar kemakmuran atau
tingkat pendapatan. Penggabungan resiko merupakan dasar pemikiran kontribusi untuk biaya
kesehatan adalah perawatan ketika sakit. Jadi setiap orang yang sakit tidak ditimpa beban ganda
karena sakit dan karena ongkos perawatan kesehatan. Sepanjang masa setiap orang
menginginkan manfaat pengamanan keuangan dari penggabungan resiko ketika dia sakit. Serupa
dengan berbagi resiko (risk-sharing) berhubungan dengan alasan /dasar pemikiran bahwa adil
tidak berarti kontribusi yang dari semua, tanpa memperhatikan pendapatan atau kemakmuran
(kekayaan), tetapi kontribusi menjadi lebih besar bagi mereka yang mempunyai sumber-sumber
keuangan yang lebih. Dalam kenyataannya menanamkan dugaan-dugaan keadilan dalam
pembiayaan merupakan satu langkah ke depan untuk mencegah pengeluaran yang catastrophic
ketika salah satu anggota keluarga sakit. Pembuat kebijakan kesehatan sudah lama
memperhatikan secara khusus dengan perlindungan orang dari kemungkinan terganggu
kesehatannya yang menyebabkan catastrophic dari pembayaran keuangan dan sesudahnya
menyebabkan pemiskinan (impoverishment).

Pokok Bahasan 5: Indikator Statistik Dalam Equity Pelayanan Kesehatan


Dalam melakukan analisis equity untuk pembiayaan kesehatan, ada beberapa variable
dasar yang harus dipahami oleh pengambil keputusan dalam. Indikator berikut ini terkait dengan
estimasi pembiayaan kesehatan oleh rumah tangga.

Indikator Pengeluaran Kesehatan Tunai Langsung (Out Of Pocket)


Pendanaan kesehatan secara langsung tunai (Out Of Pocket) menunjukkan berapa besar
biaya yang dikeluarkan oleh rumah tangga untuk memperoleh pelayanan kesehatan; mencakup
biaya konsultasi dokter, pembelian obat, dan retribusi pelayanan kesehatan. Termasuk
didalamnya adalah pembelanjaan ke pengobatan alternatif, dan/atau obat tradisional. Sedangkan
pengeluaran untuk transportasi ke sarana kesehatan. dan nutrisi tidak termasuk ke dalam belanja
kesehatan Rumah Tangga.

Indikator Garis Kemiskinan (poverty) dan pengeluaran biaya hidup rumah tangga.
Banyak pandangan terhadap kemiskinan. Namun tidak ada yang sempurna memberikan
argumen-argumen yang dalam teori dan dilakukan dalam praktek secara mudah. Di sini
menggunakan sistem dasar kebutuhan dasar seperti makan dan pakaian sebagai dasar garis
kemiskinan untuk menghitung (estimasi) pembelanjaan rumah tangga.
Garis kemiskinan ini didefinisikan sebagai garis imajiner yang merupakan batas
pengeluaran minimal yang dikeluarkan oleh suatu rumah tangga untuk hidup secara subsisten
(hanya tercukupi kebutuhan pokok). Jika suatu keluarga mempunyai pendapatan dibawah angka
kebutuhan pokok, bisa dikatakan keluarga tersebut berada di bawah garis kemiskinan.

Katastropik Pembiayaan Kesehatan (catastrophic impact of health care spending)


Katastropik pengeluaran kesehatan terjadi (occurs) ketika pembayaran kesehatan total
dari rumahtangga sama atau melebihi (exceed) 40% dari kapasitas membayar atau pembelanjaan
untuk sekedar hidup. Batas threshold 40% ini dapat memberi perubahan situasi khusus dari
Negara.
Variabel dari pengeluaran kesehatan yang menyebabkan catastrophic di susun sebagai
variable boneka (dummy) dengan nilai 1 memberi indikasi sebuah rumah tangga mengalami
kejadian catasthrophic, dan 0 tanpa pengeluaran yang catastrophic.

Indeks keadilan dalam kontribusi keuangan (FFC fairness in financial contribution)


Untuk memberikan perbandingan, distribusi dari kontribusi pembiayaan dari RT dapat di
diringkas menggunakan indeks yang di sebut FFC. Indeks ini di desain secara berat (heavily)
dengan bobot dari rumah tangga untuk yang memiliki pembelanjaan yang sangat besar dari
bagian mereka melebihi pendapatan efektif untuk sekedar hidup untuk kesehatan. Indeks ini
menggambarkan ketidaksamaan dalam kontribusi keuangan RT dalam sistem kesehatan, tetapi
juga gambaran keterangan yang tampak dari catastrophic pengelu ran kesehatan rumah tangga.
Metode matematis yang digunakan dalam pengitungan derajat pemerataan ini adalah
menggunakan indeks konsentrasi (Concentration Index) untuk melihat kekuatan arah
kesenjangan pengguna pelayanan kesehatan sektor publik untuk setiap grup pendapatan
(mendekati 0 berarti seimbang/equal dan mendekati 1 berarti tidak seimbang/kesenjangan
sempurna) dan Indeks Kakwani (KI) untuk melihat kecenderungan pemberian biaya subsidi
pelayanan kesehatan sector publik, dengan mengadopsi penelitian yang pernah dilakukan oleh
O‟Donnel dan Van Dorslaer (2003). Kakwani Indeks dihitung melalui metode sederhana yaitu:
Kakwani Indeks = 1 – Koefisien Gini
Koefisien Gini disini menunjukkan angka indeks distribusi pengguna pelayanan
kesehatan per-grup pendapatan masyarakat (Income-Group re- Distribution Index). Angka
koefisien negative menunjukkan bahwa manfaat subsidi untuk pelayanan lebih banyak diterima
oleh kaum miskin (equality increasing) demikian juga sebaliknya bila indeks menunjukkan
angka positif, maka utilitas untuk pelayanan kesehatan publik digunakan oleh kaum mampu/kaya
(pro-rich or qualityreducing). Sedangkan untuk penghitungan benefit subsidi untuk masing-
masing grup, secara sederhana metode tersebut adalah:
Benefit for each group = (Utilization of Services) X (Net Unit Cost Services)

Benefit for each group merupakan manfaat subsidi yang diterima oleh masing-masing grup per
distribusi pendapatan (Income decile group).
Utilization of Services merupakan penggunaan pelayanan kesehatan tiap rumah tangga.
Net Unit Cost Services merupakan biaya kesehatan per unit pelayanan.
Dari manfaat atau benefit yang diterima oleh masing-masing grup tersebut kemudian
dilihat Kakwani indeks-nya, apakah cenderung untuk grup rumah tangga yang mempunyai
income tinggi (mempunyai konsentrasi indeks positif) atau rumah tangga yang mempunyai
income rendah (mempunyai konsentrasi indeks negatif). Identifikasi dari analisis ini adalah
apabila distribusi pelayanan kesehatan ditujukan untuk masyarakat miskin, maka mereka
harusnya mendapatkan subsidi lebih banyak dibandingkan masyarakat kaya. Hal ini yang disebut
sebagai penurunan ketimpangan atas ketidak setaraan (equality increasing), demikian pula
sebaliknya apabila justru masyarakat kaya mendapatkan lebih banyak subsidi, maka yang terjadi
adalah perbesaran ketidaksetaraan (equality reducing).

b. Konsep Health Account


Pokok Bahasan 6: NATIONAL HEALTH ACCOUNT
National Health Account (NHA) adalah suatu cara sistematis, komprehensif dan
pemantauan secara konsisten dari aliran dana/pembiayaan pada sistem kesehatan di suatu negara.
Health system yang dimaksud disini adalah segala sesuatu upaya yang dilakukan dengan maksud
utamanya adalah untuk mempromosikan, meningkatkan dan mempertahankan status kesehatan
NHA merupakan Input untuk mengarahkan dan meningkatkan kinerja sistem kesehatan.
Fokusnya adalah pada dimensi pembiayaan dari suatu sistem kesehatan, terutama pengeluaran
biaya untuk kesehatan Dimensi analisis dari NHA mencakup:
1. Sumber pembiayaan (Financing sources)
2. Badan/ agen pembiayaan (Financing agents)
3. Pemberi pelayanan (Providers)
4. Fungsi pembiayaan (functions), Biaya sumber daya (Resource costs)
5. Beneficiaries (demographic, socioeconomics, health status)Wilayah (Region)
NHA merupakan sistem yang terstandarisasi yakni:
1. ICHA (International Classification of Health Account), adopted by OECD ----> detailed
definition of each item
2. SNA (System of National Account) ---> SHA (System of Health Account)
Health Account dan reformasi pembiayaan sektor kesehatan akan memfokuskan pada
hal-hal sbb:
1. Desentralisasi fiscal (Fiscal decentralization/DHA)
2. Biaya tarif yang dibayar lien pada saat menggunakan pelayanan (Users fee)
3. Asuransi kesehatan (Health Insurance)
4. Pembiayaan kesehatan untuk masyarakat miskin (Funding health care for the poor)
5. Alokasi pembiayaan publik (Allocation public spending; Public Expenditure
Review/PER)

Peran dari Pengorganisasian NHA


Fungsi Utama Pengorganisasian:
1. Pengumpulan data
2. Manajemen data
3. Bank Data
4. Analisis Output NHA
5. Diseminasi hasil/output NHA
Fungsi tambahan adalah:
1. Clearing house
2. Rujukan terhadap inventory
3. Fungsi asistensi teknis kepada institusi lain mengenai NHA
4. Seminar hasil NHA
Penunjang/Fungsi Manajemen
1. Administrasi Umum
2. Koordinasi dan jejaring (networking) dengan sumber-sumber data
3. Koordinasi dan jejaring dengan analist Health Account

Kerangka Konsep NHA; Aliran Dana Umum Dalam Sistem Health Account
Pokok Bahasan 7: DISTRICT HEALTH ACCOUNT
District Health Account merupakan suatu cara sistematis, komprehensif dan pemantauan
secara konsisten dari aliran dana/pembiayaan pada sistem kesehatan di suatu wilayah
kabupaten/kota atau provinsi.
Data Sekunder
Pengambilan data sekunder (study laporan keuangan) dengan sumber data:
a. Data Alokasi dan Realisasi Anggaran dari pemerintah (Dinkes, Dinas lain dan lembaga
pemerintah lainnya) terkait pembiayaan kesehatan.
b. Data BPS, terkait pengeluaran konsumsi masyarakat untuk kesehatan
c. Survey ke institusi dan pelayanan swasta
Sumber Pembiayaan dan Agen Pembiayaan
a. Sumber Pembiayaan adalah suatu lembaga yang menyediakan dana awal
b. Agen Pembiayaan adalah lembaga yang mengatur, mengelola dan menyalurkan dana dari
sumber ketujuan akhir (end uses)

Provider dan Fungsi Kesehatan


a. Provider Kesehatan adalah suatu lembaga yang menyediakan Jasa
Pelayanan Kesehatan.
b. Fungsi Kesehatan adalah jenis pelayanan kesehatan yang dihasilkan oleh
provider dalam rangka peningkatan status kesehatan
Kebijakan Berbasis Health Account

Perencanaan dan Penganggaran yang lebih Efektif dan Efisien


Pertanyaannya adalah seberapa penting Health Account itu?
Permasalahan yang muncul dalam pembuatan Health Account di Indonesia yaitu 1)
Terkendala pada terbatasnya data yang dikumpulkan baik ditingkat pusat maupun di tingkat
daerah. 2) SDM yang khusus menangani pembuatan Health Account masih terbatas dan tidak
maksimal dalam pengerjaan karena beberapa kendala. 3) Pelatihan dan pendampingan dalam
proses pembuatan Health Account masih belum maksimal dengan SDM yang terbatas. 4)
Pembuatan Health Account masih terbatas pada kegiatan terbatas belum pada tingkat
implementasi secara rutin setiap tahun. Beberapa kendala di atas menggambarkan bagaimana
sulitnya membuat Health Account. Kendala yang terbesar adalah pada SDM dan data.
Adakah kaitan antara NHA, PHA, DHA dan Sub-Account serta dokumen kebijakan di
berbagai jenjang?
Seperti dijelaskan dalam buku panduan NHA, informasi mengenai pembiayaan
dibutuhkan diberbagai jenjang, dimulai dari pusat (NHA), provinsi (PHA), maupun
kabupaten/kota (DHA). Bila NHA mencakup gambaran semua dana kesehatan (berbagai
program), maka sub-account hanya memotret pendanaan untuk program tertentu saja, contohnya
pada program HIV/AIDS, program TBC atau program KIA. Program-program prioritas tersebut
memerlukan gambaran rinci untuk memperoleh potret bagaimana sejumlah dana dialirkan dan
dimanfaatkan oleh target populasi.
Adapun kaitan dengan dokumen kebijakan diberbagai jenjang, sebagai contoh di tingkat
nasional, NHA memberikan informasi penting untuk kebijakan pembiayaan kesehatan. Data
yang dihasilkan akan menjadi acuan alokasi sumber daya, selaras dengan SKN, Rencana Jangka
Panjang, bahkan reformasi kebijakan yang terkait dengan MDGs di mana secara eksplisit
disebutkan pentingnya monitoring keuangan untuk bidang kesehatan.
Lebih lanjut bahwa DHA menjelaskan pendanaan kesehatan di kabupaten/kota, serta
menunjukkan bahwa transparansi pemanfaatan dana kesehatan. Modul DHA FKM UI (2008)
menjelaskan:
1. DHA Membantu Perencanaan dan Advokasi
Perencanaan dan penganggaran dibuat berdasarkan hasil evaluasi yang sistematis, data
mengenaipembiayaan, sumber, pemanfaatan dan penerima manfaat akan menunjukkan:
a. Kecukupan (sufficiency)
b. Efektifitas dan efisiensi
c. Equity (pemerataan)
d. Sustainability (keberlanjutan)
e. Partisipasi sosial
Keterbatasan data menjadi kesulitan tersendiri. Pengumpulan data DHA menjelaskan
“kemampuan‟ financial dan identifikasi kesenjangan (gap) kebutuhan di mana dapat
dibandingkan dengan kenyataan dana tersedia tahun-tahun lalu.

Data DHA yang terkumpul akan memetakan atau menunjukkan dari mana sumber dana
yang diperoleh dan berapa jumlah sumber dana tersebut. Sehingga pada saat pembuatan
perencanaan tahun berikutnya kita akan memperoleh data sumber dana dari bukti-bukti sumber
dana tahun lalu. Berdasarkan bukti tersebut kita bisa merencanakan besarnya sumber dana yang
akan dianggarkan dan alokasi yang tepat untuk sumber dana yang tepat. DHA juga dapat
digunakan sebagai monitoring dan evaluasi program dan pembiayaannya. Hal ini tentu saja harus
didukung dengan data yang betul dan ada secara terus menerus. Komponen-komponen
pembiayaan akan terkumpul dan akan dapat dilihat secara jelah dalam tabel DHA yang dibuat.
Tabel tersebut akan menggambarkan efisiensi penggunaan dana dan efektifitas program yang
didanai.

c. Berbagai Sistem Pembiayaan untuk mencapai Equity dan Universal Coverage


Sistem ini dijalankan oleh Inggris dan bekas jajahannya (negara anggota persemakmuran
seperti Australia, New Zealand, Canada, Singapura, Malaysia) serta beberepa negara Eropa.
Dalam system ini masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan gratis atau nyaris gratis namun
mereka ditarik berbagai pajak sebelumnya. Keuntungan dari system ini adalah biasanya
mencakup lebih banyak orang (universal coverage), serta dapat mengandalkan pada banyak
sumber pembiayaan, serta secara relatif mudah dikelola. Namun di sisi lain karena tergantung
pada anggaran yang secara tahunan harus bersaing dengan dinas lain, maka sifatnya kurang stabil
dan bahkan sering tidak memadai. Di banyak negara sistem ini ternyata tidak efisien. Selain itu,
state funded systems cenderung menguntungkan yang kaya daripada yang miskin. Oleh karena
itu, untuk menjaga agar sistem ini berjalan baik di negara berpenghasilan rendah, harus ada
kondisi yang mendukung misalnya pertumbuhan ekonomi yang baik, administrasi pajak yang
profesional, dan institusi yang kompeten. Selain itu yang penting terdapat upaya khusus untuk
membantu orang miskin, untuk mencegah “a poor system for poor people” (Mossialos and Dixon
2002).
Dalam system ini, pemberi pelayanan dibayar langsung oleh pemerintah, seperti tampak
pada gambar di bawah ini:

Pokok Bahasan 9: Social health insurance (SHI)


Sistem ini dianut oleh Jerman, Taiwan, Korea Selatan dan beberapa negara lain. Bentuk
asuransi ini berupa iuran wajib dari setiap warga negara kepada lembaga asuransi yang terpisah
dari lembaga pemerintah. Sistem ini bertujuan untuk mencakup sebanyak mungkin orang dengan
sistem subsidi silang antara yang kaya dan yang miskin. Selain itu membuat sumber biaya
kesehatan lebih stabil dan masyarakat lebih mandiri. Tapi tujuan ini hanya bisa dicapai lewat
tahapan dengan kecepatan yang berbeda-beda tergantung pada karakteristik politik, sosial dan
ekonomi di suatu negara. Di banyak negara dengan pendapatan rendah, terutama yang
konominya stagnan dan jumlah pekerja informal banyak, akan terdapat kendala besar bagi
tercapainya tujuan ini . Oleh karena itu, sebelum mengimplementasikan sistem ini pemerintah
harus mengkaji secara mendalam. Pengkajian ini akan memutuskan apakah reformasi perlu
segera dilakukan atau harus menunggu semua lingkungan kondusif. Pengalaman menunjukkan
bahwa pada tahap awal implementasinya, SHI cenderung mengalihkan sumber daya dari segmen
populasi yang miskin ke yang kaya. Sistem SHI juga harus didukung oleh upaya pengendalian
biaya (cost containment).

Pokok Bahasan 10: Community-based health insurance


Di Indonesia system ini pernah dikenal dengan nama Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM). Dalam system ini, kelompok-kelompok masyarakat mengumpulkan iuran
asuransi kesehatan sendiri secara sukarela. Sistem ini memberikan proteksi finansial kepada
mereka yang tidak mempunyai akses lain ke pelayanan kesehatan. Walaupun demikian,
kebanyakan community based health insurance preminya dan benefitnya kecil dan seringkali
tidak bisa bertahan. Asuransi ini juga sering tidak efektif dalam mencapai populasi yang
termiskin. Asuransi semacam ini dapat dikembangkan bila banyak sektor informal serta tidak
terdapat institusi yang memadai untuk mengelola asuransi.
Tetapi syaratnya harus ada komitmen dan solidaritas tinggi diantara masyarakat.
Intervensi pemerintah seperti pemberian subsidi, bantuan teknis dan inisiatif untuk
menghubungkan antara community based insurance dengan sistem pembiayaan kesehatan yang
lebih formal adalah penting untuk meningkatkan efisiensi dan keberlangsungan sistem ini.
Banyak literature menganggap bahwa model ini “lebih baik daripada tidak ada sama sekali”
Namun demikian community based insurance harus dianggap sebagai pelengkap bukan
pengganti dari yang sudah ada (Preker and others 2004). Tantangan yang paling besar adalah
bagaimana merancang community based insurance agar berubah menjadi sistem pembiayaan
yang lebih komprehensif dan canggih.

Pokok Bahasan 11: Voluntary Health Insurance (Asuransi Kesehatan Sukarela)


Dalam system ini, setiap orang berhak untuk ikut atau tidak ikut menjadi anggota sebuah
perusahaan asuransi swasta komersial. Sistem ini memerlukan adanya perusahaan komersial
yang kompeten. Sistem ini dapat mengambil untung dari (tetapi tidak tergantung dari) kapasitas
pemerintah yang kuat. Tidak seperti asuransi sosial yang lebih sulit dikembangkan. Asuransi
sukarela tidak tergantung pada solidaritas sosial atau nasional dan pasar formal yang stabil,
walaupun kondisi semacam ini membantu. Namun demikian, system ini, kecuali disubsidi oleh
pemerintah, hanya dapat mengandalkan pada kemampuan membayar masyarakat dan kalangan
bisnis. Selain itu sistem ini rentan terhadap kegagalan pasar dan isu keadilan. (Tapay and
Colombo 2004). Oleh karenanya harus dikembangkan secara hati-hati dan perlu ada peraturan
pemerintah yang kuat. Dalam ketiga system asuransi di atas, perusahaan asuransi yang
membayar pemberi pelayanan kesehatan (PPK) sedangkan pemerintah berfungsi sebagai
regulator seperti tampak pada gambar berikut ini:
Kritik Terhadap Sistem Pembiayaan Berbasis Pajak (State Funded/Tax based)
Sistem ini dianggap menjadikan masyarakat manja dan tidak mendidik karena merasa
gratis sehingga tidak mempunyai keinginan untuk menjaga kesehatan, cenderung memanfaatkan
secara berlebihan (moral hazard). Selain itu, terdapat sangat rentan terhadap politik jangka
pendek. Sebagai contoh:pejabat yang dipilih sekarang menjanjikan “pelayanan gratis”, namun
tapi bila pejabat tersebut tidak terpilih kembali belum tentu pejabat baru melanjutkan. Yang
terjadi di beberapa negara berkembang, seringkali yang “gratis” hanya sesuatu yang tidak
berbiaya besar seperti misalnya pelayanan rawat jalan di Puskemas, atau diberi batasan yang
terlalu ketat misalnya hanya akan ditanggung sampai maksimal Rp 1.000.000,-.

Kritik Terhadap Sistem Asuransi


Perusahaan asuransi dikritik cenderung menganggap uang premi sebagai “pendapatan
perusahaan” sehingga berperilaku terlalu “efisien” dan akhirnya mutu layanan kesehatan
dikorbankan. Permasalahan dalam pengumpulan premi juga dapat menjadi kendala. Mekanisme
penarikan premi yang berasal dari masyarakat yang pendapatan tidak tetap (sector informal) sulit
karena mereka tidak memiliki gaji tetap bulanan yang tercatat. Selain itu, kepercayaan
masyarakat kepada sistem asuransi masih rendah karena tidak ada “uang kembali” bila tidak
sakit.

Pilihan Indonesia
Secara hukum(dejure),Indonesia telah memilih sistem Asuransi Sosial yang tertera dalam
UU no 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 19: Jaminan kesehatan
diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip equitas. Namun
secara fakta (de facto), di Indonesia ternyata lebih dominan sistem pajak daripada asuransi social
karena saat ini terdapat lebih dari 70 Juta orang yang dijamin oleh program Jamkesmas yang
pada prinsipnya adalah system berbasis pajak. Bahkan. direncanakan akan ada penambahan dana
untuk Jamkesmas dan perluasan keanggotaan. Terlebih lagi saat ini terdapat lebih dari 100
kabupaten/kota yang mempunyai program Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang tidak
menarik iuran tetapi membiayainya dengan sumber dana dari APBD (uang pajak yang dikelola
daerah).

Prediksi ke depan
Berdasarkan perkembangan terakhir dapat diprediksi arah sistem pembiayaan kesehatan.
Perkembangan politik menunjukkan bahwa arah sistem pembiayaan akan menuju sistem pajak
(non contributory) dalam jangka waktu 15 – 20 tahun ke depan. Hal ini terbukti dengan adanya
Jaminan Persalinan (Jampersal) yang menjamin tidak hanya ibu-ibu miskin tetapi semua ibu
yang melahirkan akan dibiayai oleh negara. Apabila sistem pajak mendominasi sistem
pembiayaan maka akan sulit berubah menjadi sistem asuransi sosial (contributory). Hal ini sudah
terjadi di Chile, yang juga menerapkan UU tentang asuransi kesehatan social namun ternyata
hanya sekitar 50% yang membayar premi dan itupun kurang dari 15% yang rutin membayar
seperti tampak pada gambar berikut:

Sumber: Gerard, Y, Bank Dunia, 2010

Sistem Mana Yang Lebih Cepat Mencapai Universal Coverage 2014?


Berdasarkan perkembangan yang ada sampai saat ini, sistem pajak diproyeksikan akan
lebih feasible bila ingin mencapai Universal Coverage 2014. Namun tantangan dari sisi pasokan
sumber daya (jumlah dokter spesialis, RSU dan layanan kesehatan lain) berat. Hal ini karena
masih belum meratanya tenaga dan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia. Akibatnya kalaupun
semua penduduk dijamin sebuah system pembiayaan kesehatan, namun mereka yang ada di
daerah terpencil tidak akan mampu memanfaatkannya. Ini berarti ada Universal Coverage
(semua orang punya jaminan kesehatan) namun hanya akan dimanfaatkan oleh mereka yang
dekat dengan fasilitas kesehatan. Dan bagi mereka yang di daerah terpencil, hanya yang cukup
kaya yang dapat membiayai perjalanan untuk dapat mencapai fasilitas kesehatan. Dengan
demikian akan terdapat equity (keadilan) yang rendah.

G. REFERENSI
a. Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan (Equity In Health Care Services)
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2008, Analyzing Health Equity Using Household Survey Data:
A Guide to Techniques and Their Implementation, WorldBank, Washington.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2006, Effect of Payments for Health Care on Poverty; Estimates
In 11 Countries, The Lancet.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2007, The Incidence of Public Spending on Health Care;
Comparative Studies among Asia Pacific Countries, World Bank Economic Review.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2008, Who Pays for Health Care in Asia Pacific, Journal of
Health Economics.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2007, Catastrophic Payment For Health Care in Asia Pacific,
Journal of Health Economics.
Ping, Whynes, Sach, 2008, Equity in health care financing: The case of Malaysia, BioMed
Central.
Whitehead, 1991, The Concepts And Principles Of Equity And Health, Health Promotion
International, Great Britain.

b. Konsep Health Account


Bappenas, FKM UI, Kajian National Heath Account Indonesia 2002 – 2007, Jakarta, 2
FKMUI, Dinas Kesehatan Provinsi NTB & GTZ, 2009, PROVINCIAL HEALTH ACCOUNT
(PHA) PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT TAHUN 2008, NTB. Didownload dari:
http://www.batukar.info/referensi/provincial-health-account-pha-provinsi-nusa-tenggara-
barat-tahun-2008, tanggal 8 Juli 2011.

FKMUI, Dinas Kesehatan Provinsi NTB & GTZ, 2009, PELATIHAN dan PENDAMPINGAN
PENYUSUNAN DISTRICT HEALTH ACCOUNT TAHUN 2006 -2007 DI
KABUPATEN/KOTA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT, NTB. Didownload dari:
www.batukar.info/referensi/modul-pelatihan-dha-ntb, tanggal 8 Juli 2011.
WHO, Guide to producing National Health Account, Canada, 2004
WHO, Guidelines For Producing Reproductive Health Subaccount Within The NHA
Framework, 2005
WHO, Guide to Producing District Health Accounts, 2007 WHO, Guidelines For Producing
Malaria Subaccount Within The NHA Framework, 2007
WHO, National Health Account Regional Report, New Delhi, 2007
WHO, Indonesia National Health Account Matriks Report, 2008

c. Berbagai Sistem Pembiayaan untuk mencapai Equity dan Universal Coverage


Arifianto A, Marianti R, Budiyati S, and Tan E.(2005).Making Services Work for the
Poor in Indonesia: A Report on Health Financing Mechanisms (JPK-Gakin) Scheme in
Kabupaten Purbalingga, East Sumba, and Tabanan. Indonesia: The SMERU Research Institute
and The World Bank. www.smeru.or.id
Saltman R. B., Busse R, and.Figueras J.(2004).Social health insurance systems in western
Europe. World Health Organization (WHO). New York, USA: Open University Press.
www.openup.co.uk
National Endowment for Financial Education.(2006).Understanding Private Health
Insurance.First in the Series MANAGING MEDICAL BILLS Strategies for Navigating the
Health Care System.Grant Project number 004-04-2004. www.healthinsuranceinfo.net

You might also like