Professional Documents
Culture Documents
Materi Inti 3 - Sistem Pembiayaan
Materi Inti 3 - Sistem Pembiayaan
B. Deskripsi Singkat
Modul ini tersusun atas tiga kelompok 4A, yaitu: Konsep Pemerataan dalam Pelayanan
Kesehatan (Equity in Health Care Service, 4B: Konsep Health Account dan 4C yaitu: Berbagai
Sistem Pembiayaan untuk mencapai Equity dan Universal Coverage. Mengapa ketiga topik ini
dijadikan satu modul? Ada satu persamaan yaitu penggunaan data keuangan atau data ekonomi
sebagai dasar indicator pengukuran pemerataan pelayanan kesehatan.
Kebijakan pembiayaan kesehatan tahun 2000-2007 telah berhasil memperbaiki
pemerataan sosial ekonomi. Sebelum krisis, rumah sakit pemerintah maupun swasta cenderung
digunakan oleh kalangan masyarakat „mampu‟. Sebagian besar masyarakat miskin, belum atau
bahkan tidak memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan dikarenakan oleh keterbatasan sumber
daya. Dapat disimpulkan bahwa berbagai kebijakan Jaminan pendanaan seperti Jaring Pengaman
Sosial Bidang Kesehatan dan Askeskin berhasil mengurangi hambatan bagi masyarakat miskin
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan rumah sakit maupun fasilitas kesehatan non-rumah
sakit lainnya. Adanya program perlindungan kesehatan bagi masyarakat (ASKESKIN,
JAMKESMAS, dsb), mempunyai arah positif menuju semakin terlindunginya kaum miskin dan
kaum rentan-miskin terhadap katastropik akibat pengeluaran kesehatan
Akan tetapi data tentang akses dan kualitas kepelayanan dasar puskesmas) dan pelayanan
rujukan (rumah sakit) serta pemerataan sumber daya manusia, masih menunjukkan gejala ketidak
merataan secara horizontal. Jumlah rumah sakit dan dokter tidak terdistribusi secara merata di
berbagai daerah dan kualitas pelayanan juga masih berbeda-beda. Keadaan ini perlu dipelajari
oleh para pemimpin di sektor kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten dan Propinsi perlu
untuk memahami bagaimana teori equity berjalan di daerahnya. Konsepsi ini perlu dimiliki oleh
kepala dinas kesehatan sebagai kompetensi dasar untuk peningkatan kemampuan dalam
mengolah data dalam rangka pengembangan pemikiran untuk perencanaan strategis program
kesehatan di daerahnya. Sebagai regulator pemerintah harus menjadi wasit yang adil dalam
sistem pelayanan kesehatan di wilayahnya, harus menyediakan aturan-aturan dasar yang
tujuannya adalah untuk menjamin bahwa sistem bisa berjalan secara fair dan melindungi
masyarakat untuk mencapai status kesehatan masyarakat yang optimal. Sebagai pemberi biaya,
pemerintah harus menjamin bahwa layanan kesehatan yang diperlukan oleh masyarakat dapat
diakses oleh seluruh masyarakat, sehingga jika terjadi barier ekonomi dari kelompok masyarakat
yang miskin, maka pemerintah harus bertanggung jawab untuk menyediakan dana dan atau
membuat sistem supaya pelayanan kesehatan dapat diakses oleh penduduk miskin dengan
kualitas yang baik. Sebagai pelaksana, maka pemerintah menyediakan layanan kesehatan bagi
masyarakat.
Perlu diperhatikan perbedaan peran pemerintah antara sebagai pelaksana dan sebagai
regulator (Bossert, dkk, 1998): Pada saat sebagai pelaksana, tujuan pemerintah adalah untuk
mengupayakan efisiensi dan survival institusi pelayanan publik, namun sebagai regulator tujuan
tersebut bergeser menjadi menjamin kompetisi dan sistem kompensasi mengarah ke pencapaian
indikator kesehatan wilayah. Pada masa sebelum krisis, rata-rata biaya kesehatan nasional adalah
$12/kapita/tahun. Jumlah tersebut berasal dari pemerintah dan non pemerintah. Yang non-
pemerintah berasal dari: pengeluaran langsung oleh rumah tangga yang dikenal dengan istilah
”out of pocket payment”, dari perusahaan swasta, yaitu untuk biaya kesehatan karyawannya, dan
dari sistem asuransi kesehatan. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut maka perlu
dikembangkan suatu sistem pembiayaan kesehatan yang sesuai dengan keadaan setempat.
Sistem pembiayaan merupakan manifestasi peran pemerintah sebagai pemberi biaya.
Filosofi dasarnya adalah pemerintah harus menjamn agar pelayanan kesehatan yang diperlukan
oleh masyarakat dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga jika terjadi hambatan
ekonomi dari kelompok masyarakat yang miskin, maka pemerintah harus bertanggung jawab
menghilangkan hambatan tersebut dengan menyediakan dananya.Yang menjadi masalah untuk
mencapai hal tersebut adalah bagaimana sistem pembiayaan harus dibangun, konsep universal
apa saja yang bisa diacu, adakah daerah lain atau negara lain yang dapat dijadikan referensi.
Untuk itu, dalam kegiatan pengembangan sistem pembiayaan perlu dinilai kondisi ekonomi
mikro daerah, kemauan politik para pengambil kebijakan dan keberadaan infrastruktur yang lain
pada dasarnya.
Dalam usaha mengembangkan manajemen kesehatan di era otonomi daerah, Sistem
pembiayaan kesehatan dan perhitungan biaya pelayanan kesehatan merupakan hal yang relative
penting dalam pelaksanaan desentralisasi. Daerah harus mampu melakukan perhitungan dan
penyusunan suatu sistem pembiayaan kesehatan mulai dari penyediaan data yang berasal dari
berbagai sumber hingga mobilisasi dana yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan
kesehatan yang optimal.Untuk itu diperlukan adanya sistem alur pembiayaan kesehatan yang
menggambarkan aliran keuangan, sumber-sumber biaya kesehatan, mobilisasi dana serta
pemanfaatannya. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui alur pembiayaan yang berasal dari
bermacam sektor dan sumber.
Tujuan dari sistem pembiayaan kesehatan yang baik adalah untuk menjamin masyarakat
agar tidak terkendala dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan ketika diperlukan dan tidak
menjadi miskin ketika sakit. Sistem pembiayaan seperti ini adalah system pembiayaan yang
didasarkan pada mekanisme pengumpulan risiko (risk pooling). Artinya sumber daya keuangan
dikumpulkan dari orang yang sehat dan ketika orang masih sehat untuk membiayai ketika sakit.
Di duniadikenal berbagai jenis Pembiayaan Kesehatan dengan metode pengumpulan risiko yaitu:
1. State funded systems
2. Social Health Insurance
3. Community Health Insurance
4. Voluntary Health Insurance
C. Tujuan Pembelajaran
a. Tujuan pembelajaran umum:
Setelah mengikuti pelatihan ini peserta mampu memahami Memahami konsep
konsep pemerataan (Equity), konsep Health Account, dan konsep system jaminan
kesehatan untuk pengambilan kebijakan pelayanan dan pendanaan kesehatan bagi
masyarakat berdasarkan kepada pemerataan sosial ekonomi, geografis, serta dampak
katastropik kesehatan di Indonesia.
b. Tujuan pembelajaran khusus:
Setelah Peserta mengikuti pembelajaran ini, Peserta mampu:
a. Konsepsi dasar tentang pemeratan yang berkeadilan sesuai dengan konsep ekuitas
pelayanan kesehatan (Equity in Health Care);
b. Pemanfaatan analisis data dengan pendekatan sosio-ekonomi, dan factor geografis
untuk menganalisis dan menemukan solusi dalam permasalahan pendanaan dan
layanan kesehatan;
c. Pengaruh ketimpangan sumber daya kesehatan terhadap pemerataan dan kualitas
layanan serta status kesehatan;
d. Bencana katastropik akibat pengeluaran pembiayaan kesehatan oleh masyarakat
e. Indikator-indikator data statistic yang menunjang pengambilan keputusan
kebijakan pembiayaan kesehatan berdasarkan konsep ekuitas pelayanan
kesehatan(Equity in Health Care)
f. Memahami alur pembiayaan kesehatan berbasis Konsep National/District Health
Account sebagai dasar kebijakan pembiayaan kesehatan daerah.
g. Memahami pengembangan data base keuangan daerah bagi pengembangan
sistempembiayaan kesehatan daerah
h. Memahami konsep Sistem Pembiayaan
i. Memahami kelemahan dan kelebihan dalam berbagai Sistem Pembiayaan
j. Memahami peran sistem pembiayaan dalam mencapai Equity dan Universal
F. Langkah-langkah Pembelajaran
Langkah 1. Pengkondisian (15 menit)
• Fasilitator menyampaikan tujuan pembelajaran, metode yang digunakan, mengapa
modul/materi ini diperlukan dalam pelatihan eksekutif pengembangan kapasitas
pemimpin dinas kesehatan, serta keterkaitan dengan materi sebelumnya.
• Fasilitator memberi kesempatan kepada peserta untuk menyampaikan pengalaman
saat mengikuti pelatihan-pelatihan pengembangan kapasitas terdahulu.
• Fasilitator memberikan tanggapan dan memotivasi peserta untuk tetap bersemangat
mengikuti pelatihan ini sampai selesai
Langkah 4. Rangkuman
Fasilitator menyampaikan rangkuman secara keseluruhan dan melakukan dialog dengan
Peserta bagaimana selanjutnya Ia dapat mempraktekkan konsep-konsep ini dalam
instansinya.
G. URAIAN MATERI
a. Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan (Equity In Health Care Services)
Pokok Bahasan 1: Konsep Equity
Kemiskinan telah menjadi suatu isu penting bagi badan-badan dunia, seperti Bank Dunia,
International Monetary Fund, Asian Development Bank, serta World Health Organization
(WHO), serta menjadi isu sentral terutama di negara berkembang dan negara-negara terbelakang,
termasuk di Indonesia. Kemiskinan mempunyai banyak dimensi, hal tersebut harus dilihat
melalui berbagai indikator-tingkat konsumsi dan pendapatan, indikator-indikator sosial, dan
indikator-kerawanan terhadap resiko serta akses sosio/political, mencakup terbatasnya
kesempatan untuk mengakses kesehatan dan pendidikan. Walaupun pendapatan tidak dapat
mengukur kesejahteraan social seseorang, sedikitnya kita sependapat bahwa masyarakat dengan
pendapatan yang tidak merata cenderung memiliki status kesehatan yang kurang baik.
Hasil penelitian secara konsisten menunjukkan bahwa kurangnya pemerataan pendapatan
adalah salah satu faktor pada masalah kesehatan yang muncul, meskipun hal tersebut bukan satu-
satunya faktor penyebab utama, karena kurangnya pendapatan mempengaruhi keterbatasannya
mengakses pelayanan kesehatan yang memadai.
Kurangnya kemampuan orang yang berpendapatan rendah memanfaatkan sikap ramah
tamah, teknologi, dan kondisi layak seperti bagi orang yang berpendapatan tinggi, sehingga
perlakuan social ini membuat mereka semakin termarginalisasi. Oleh karena itu, pemerintah
turun tangan dan mengintervensi untuk melindungi akses orang miskin terhadap pelayanan
kesehatan dasar (WHO, World Health Report 2003).
Kebijakan menentukan bagaimana uang, kekuasaan dan sumberdaya mengalir ke
masyarakat, sehingga menjadi salah satu faktor determinan kesehatan. Advokasi kebijakan
kesehatan publik semakin menjadi strategi yang penting yang dapat kita gunakan sebagai
panduan dalam penentuan status kesehatan. Meskipun agenda kebijakan merupakan bagian dari
strategi politik dengan kepentingan yang berbeda-beda, sistem pembiayaan dan legislasi
pelayanan kesehatan yang tersedia bagi orang miskin adalah strategi pendekatan utama untuk
mencapai pemerataan kesehatan (Rosen S. 2002).
Kontribusi dari pendapatan pemerintah yang digunakan untuk kesehatan pada tahun 2002
untuk setiap propinsi, sangat bervariasi, yaitu antara 5%-10% dari total anggaran belanja
pemerintah atau hanya sekitar 2%-3% dari rata-rata PDRB daerah (National Health Account,
Ministry of Health, 2002). Hal ini sangat dirasakan keterbatasan sumber daya biaya untuk
kesehatan. Secara ideal, pembiayaan kesehatan pemerintah ini sekurang-kurangnya adalah 5%
dari PDRB daerah atau kurang lebih 15% dari anggaran pemerintah daerah, APBD (Forum
Asosiasi Dinas Kesehatan, 2000). Perbedaan anggaran kesehatan di tingkat daerah akan
mengakibatkan perbedaan distribusi subsidi pemerintah untuk pelayanan kesehatan. Perbedaan
distribusi subsidi akan membentuk pola yang variatif apabila dilakukan komparasi antar daerah.
Anggapan umum mengemukakan bahwa, subsidi pemerintah akan terdistribusi secara lebih besar
di daerah yang mempunyai proporsi masyarakat miskin lebih besar. Sehingga kebijakan yang
diambil Merupakan kebijakan untuk melindungi orang miskin. Variasi dalam pengeluaran
subsidi akan Mengakibatkan dampak distribusi yang berbeda pula. Hal ini terlihat pada
komparasi distribusi penduduk miskin yang dilakukan oleh WHO, tahun 2003.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh O'Donnell, O., E. Van Doorslaer, et al.
(2005) menunjukkan bahwa standar pengeluaran kesehatan yang diterapkan oleh WHO ($1 dan
$2 Perhari) memiliki dampak terhadap tingkat kemiskinan. Semakin besar standar yang
diterapkan, semakin besar penduduk yang akan menjadi ”miskin”. Hal ini terutama dinegara-
negara yang mempunyai pendapatan perkapita yang relatif rendah, seperti Indonesia, India,
Bangladesh, dan Nepal. Karakteristik yang demikian, juga menunjukkan bawah kaum miskin
sangat rentan terhadap kesehatan (vulnerable). Sehingga dibutuhkan suatu skema subsidi untuk
”melindungi” Mereka dari resiko kesehatan (O'Donnell, O., E. Van Doorslaer, et al.,2005).
Hasil Penelitian tentang Equity dalam pembiayaan pelayanan kesehatan (PMPK FK-
UGM 2009), menunjukkan adanya indikasi bahwa kebijakan subsidi kesehatan Indonesia masih
terlihat dinikmati oleh orang kaya (pro-rich) dan terjadi kesenjangan yang semakin besar
(equality reducing), khususnya untuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit. Sedangkan untuk
pelayanan lainnya, subsidi pelayanan kesehatan relatif sampai ke sasaran. Hal lainnya adalah,
disparitas antarnpropinsi, dimana propinsi yang memiliki anggaran kesehatan yang besar,
memiliki kecenderungannuntuk melindungi masyarakat miskin melalui subsidi kesehatan
semakin besar. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya (O'Donnell, O., E. Van Doorslaer,
et al,2005) yang membandingkan kondisi pengguna fasilitas kesehatan pemerintah antar
beberapa Negara di Asia Pasifik.
Indikator Garis Kemiskinan (poverty) dan pengeluaran biaya hidup rumah tangga.
Banyak pandangan terhadap kemiskinan. Namun tidak ada yang sempurna memberikan
argumen-argumen yang dalam teori dan dilakukan dalam praktek secara mudah. Di sini
menggunakan sistem dasar kebutuhan dasar seperti makan dan pakaian sebagai dasar garis
kemiskinan untuk menghitung (estimasi) pembelanjaan rumah tangga.
Garis kemiskinan ini didefinisikan sebagai garis imajiner yang merupakan batas
pengeluaran minimal yang dikeluarkan oleh suatu rumah tangga untuk hidup secara subsisten
(hanya tercukupi kebutuhan pokok). Jika suatu keluarga mempunyai pendapatan dibawah angka
kebutuhan pokok, bisa dikatakan keluarga tersebut berada di bawah garis kemiskinan.
Benefit for each group merupakan manfaat subsidi yang diterima oleh masing-masing grup per
distribusi pendapatan (Income decile group).
Utilization of Services merupakan penggunaan pelayanan kesehatan tiap rumah tangga.
Net Unit Cost Services merupakan biaya kesehatan per unit pelayanan.
Dari manfaat atau benefit yang diterima oleh masing-masing grup tersebut kemudian
dilihat Kakwani indeks-nya, apakah cenderung untuk grup rumah tangga yang mempunyai
income tinggi (mempunyai konsentrasi indeks positif) atau rumah tangga yang mempunyai
income rendah (mempunyai konsentrasi indeks negatif). Identifikasi dari analisis ini adalah
apabila distribusi pelayanan kesehatan ditujukan untuk masyarakat miskin, maka mereka
harusnya mendapatkan subsidi lebih banyak dibandingkan masyarakat kaya. Hal ini yang disebut
sebagai penurunan ketimpangan atas ketidak setaraan (equality increasing), demikian pula
sebaliknya apabila justru masyarakat kaya mendapatkan lebih banyak subsidi, maka yang terjadi
adalah perbesaran ketidaksetaraan (equality reducing).
Kerangka Konsep NHA; Aliran Dana Umum Dalam Sistem Health Account
Pokok Bahasan 7: DISTRICT HEALTH ACCOUNT
District Health Account merupakan suatu cara sistematis, komprehensif dan pemantauan
secara konsisten dari aliran dana/pembiayaan pada sistem kesehatan di suatu wilayah
kabupaten/kota atau provinsi.
Data Sekunder
Pengambilan data sekunder (study laporan keuangan) dengan sumber data:
a. Data Alokasi dan Realisasi Anggaran dari pemerintah (Dinkes, Dinas lain dan lembaga
pemerintah lainnya) terkait pembiayaan kesehatan.
b. Data BPS, terkait pengeluaran konsumsi masyarakat untuk kesehatan
c. Survey ke institusi dan pelayanan swasta
Sumber Pembiayaan dan Agen Pembiayaan
a. Sumber Pembiayaan adalah suatu lembaga yang menyediakan dana awal
b. Agen Pembiayaan adalah lembaga yang mengatur, mengelola dan menyalurkan dana dari
sumber ketujuan akhir (end uses)
Data DHA yang terkumpul akan memetakan atau menunjukkan dari mana sumber dana
yang diperoleh dan berapa jumlah sumber dana tersebut. Sehingga pada saat pembuatan
perencanaan tahun berikutnya kita akan memperoleh data sumber dana dari bukti-bukti sumber
dana tahun lalu. Berdasarkan bukti tersebut kita bisa merencanakan besarnya sumber dana yang
akan dianggarkan dan alokasi yang tepat untuk sumber dana yang tepat. DHA juga dapat
digunakan sebagai monitoring dan evaluasi program dan pembiayaannya. Hal ini tentu saja harus
didukung dengan data yang betul dan ada secara terus menerus. Komponen-komponen
pembiayaan akan terkumpul dan akan dapat dilihat secara jelah dalam tabel DHA yang dibuat.
Tabel tersebut akan menggambarkan efisiensi penggunaan dana dan efektifitas program yang
didanai.
Pilihan Indonesia
Secara hukum(dejure),Indonesia telah memilih sistem Asuransi Sosial yang tertera dalam
UU no 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 19: Jaminan kesehatan
diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip equitas. Namun
secara fakta (de facto), di Indonesia ternyata lebih dominan sistem pajak daripada asuransi social
karena saat ini terdapat lebih dari 70 Juta orang yang dijamin oleh program Jamkesmas yang
pada prinsipnya adalah system berbasis pajak. Bahkan. direncanakan akan ada penambahan dana
untuk Jamkesmas dan perluasan keanggotaan. Terlebih lagi saat ini terdapat lebih dari 100
kabupaten/kota yang mempunyai program Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) yang tidak
menarik iuran tetapi membiayainya dengan sumber dana dari APBD (uang pajak yang dikelola
daerah).
Prediksi ke depan
Berdasarkan perkembangan terakhir dapat diprediksi arah sistem pembiayaan kesehatan.
Perkembangan politik menunjukkan bahwa arah sistem pembiayaan akan menuju sistem pajak
(non contributory) dalam jangka waktu 15 – 20 tahun ke depan. Hal ini terbukti dengan adanya
Jaminan Persalinan (Jampersal) yang menjamin tidak hanya ibu-ibu miskin tetapi semua ibu
yang melahirkan akan dibiayai oleh negara. Apabila sistem pajak mendominasi sistem
pembiayaan maka akan sulit berubah menjadi sistem asuransi sosial (contributory). Hal ini sudah
terjadi di Chile, yang juga menerapkan UU tentang asuransi kesehatan social namun ternyata
hanya sekitar 50% yang membayar premi dan itupun kurang dari 15% yang rutin membayar
seperti tampak pada gambar berikut:
G. REFERENSI
a. Konsep Pemerataan dalam Pelayanan Kesehatan (Equity In Health Care Services)
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2008, Analyzing Health Equity Using Household Survey Data:
A Guide to Techniques and Their Implementation, WorldBank, Washington.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2006, Effect of Payments for Health Care on Poverty; Estimates
In 11 Countries, The Lancet.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2007, The Incidence of Public Spending on Health Care;
Comparative Studies among Asia Pacific Countries, World Bank Economic Review.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2008, Who Pays for Health Care in Asia Pacific, Journal of
Health Economics.
O‟Donnell, Van Dorslaer, et.al, 2007, Catastrophic Payment For Health Care in Asia Pacific,
Journal of Health Economics.
Ping, Whynes, Sach, 2008, Equity in health care financing: The case of Malaysia, BioMed
Central.
Whitehead, 1991, The Concepts And Principles Of Equity And Health, Health Promotion
International, Great Britain.
FKMUI, Dinas Kesehatan Provinsi NTB & GTZ, 2009, PELATIHAN dan PENDAMPINGAN
PENYUSUNAN DISTRICT HEALTH ACCOUNT TAHUN 2006 -2007 DI
KABUPATEN/KOTA PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT, NTB. Didownload dari:
www.batukar.info/referensi/modul-pelatihan-dha-ntb, tanggal 8 Juli 2011.
WHO, Guide to producing National Health Account, Canada, 2004
WHO, Guidelines For Producing Reproductive Health Subaccount Within The NHA
Framework, 2005
WHO, Guide to Producing District Health Accounts, 2007 WHO, Guidelines For Producing
Malaria Subaccount Within The NHA Framework, 2007
WHO, National Health Account Regional Report, New Delhi, 2007
WHO, Indonesia National Health Account Matriks Report, 2008