Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

RESUME SKRIPSI

ANALISIS KONFLIK ATURAN DALAM


PROSEDUR PENYELESAIAN
SENGKETA PAJAK

Disusun Oleh:
YULIWANTONO WIRAWAN
NIM: 02111063

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NAROTAMA
SURABAYA
2015

1
ABSTRACT

Understanding differences between tax payer and tax officer can occur
since there are interpretations in tax law application. The differences between both
party shall induce tax dispute. The settlement for tax dispute could be solved
through Directorate General of Taxation ,Tax Court or Supreme Court. Legal
effort for tax dispute between tax payer could be taken through Tax Objection,
Tax Appeal, or Judicial Review
Legal basis for tax dispute stipulate in Law No. 28 Year 2007 regarding
General Tax Provisions and Procedures, Law No. 14 Year 2002 regardingTax
Court, Law Number 19 year 2000 regarding Tax Collection with Coerce
Warrants, andMinister of Finance Decree Number 17/PMK.03/2013. However,
there are rule conflicts in the implementation of legal basis for the settlement of
tax dispute so that arouse legal uncertainty.
Rule Conflict in settlement of tax dispute can be solved through application
of preference principle. Preference principle consist of lex specialis derogat legi
generalis, lex posteriori derogat legi prioriand lex superiori derogat legi inferiori.
Lex specialis derogat legi generalisapplied for conflict between The General Tax
Provisions and Procedures Law with Law Number 19 year 2000 regarding Tax
Collection with Coerce Warrants. While lex superiori derogat legi
inferioriprinciple use for ruling conflict between The General Tax Provisions and
Procedures Law with Law No. 14 Year 2002 regardingTax Court and Minister of
Finance Decree Number 17/PMK.03/2013

Key Words : Ruling Conflict, Legal Certainty, Tax Dispute, Preference Principle

2
A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia merupakan negara hukum berdasarkan Pancasila dan


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD NRI 1945).
Sebagai negara hukum (Rechtstaat), Indonesia menganut ajaran / faham
kedaulatan hukum (Rechtssouvereignireit). Kedaulatan hukum di Indonesia dapat
dilihat dari isi Undang-Undang Dasar 1945 yang secara tegas menyatakan menganut
paham kedaulatan hukum, dimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945
menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Tentang kedaulatan
hukum dipertegas dalam rumusan pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyebutkan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar”.
Dalam perspektif negara hukum asas legalitas merupakan hal yang tidak dapat
dielakkan. Asas legalitas bertujuan untuk memperkuat kepastian hukum,
menciptakan keadilan dan kejujuran,efektifnya detterent function dari sanksi,
tercegahnya penyalahgunaan kekuasaan, dan kokohnya penerapan prinsip rule of
law. Mengenai hal tersebut, ditegaskan oleh Prof Jimly Ashidiqie bahwa asas
legalitas dipandang perlu eksistensinya dalam sistem hukum di Indonesia,
dimanadalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas
dalam segala bentuk (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan
harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan
tertulis.Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus
didasarkan atas aturan.
Salah satu sumber keuangan negara yang berperan penting bagi perekonomian
negara adalah pajak. Dasar hukum pemungutan pajak diatur dalam Pasal 23 ayat
(2) UUD 1945 yang telah diamandemenkan dalam Pasal 23A UUD NRI 1945,
yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang”. Makna yang terdapat didalam Pasal 23A
UUDNRI 1945 adalah pemungutan pajak harus berlandaskan undang-undang
dikarenakan pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah
dimana tidak terdapat imbalan secara langsung.
Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak dalam proses
pemungutan pajak dapat menimbulkan permasalahan.Pada penerapan peraturan
perpajakan di lapangan,perbedaan pendapat relatif sering terjadi karenaadanya
perbedaan penafsiran dan kepentinganantara petugas pajak atau
fiskusdenganwajib pajak. Perbedaan pendapat atau ketidaksamaanpersepsi antara
wajib pajak denganfiskusmengenaipenetapan pajak terutang yang diterbitkan atau
adanyapenagihan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak yang dapat
menyebabkan terjadinyasengketa pajak. Dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, definisi sengketa pajak adalah
sengketa yang timbuldalam bidang perpajakan antara wajib pajak ataupenanggung
pajak dengan pejabat yang berwenangsebagai akibat dikeluarkannya keputusan
yang dapatdiajukan banding atau gugatan kepada pengadilan. Perbedaan tersebut
dapat terjadi karena deskripsi hukum yang tidak jelas atau dikarenakan wajib
pajak atau fiskus yang tidak konsisten dalam menerapkan peraturan perpajakan
Secara umum Barata menyebutkan bahwa terjadinya sengketa pajak antara wajib
pajak dan fiskus antara lain disebabkan oleh :

3
a. Perbedaan persepsi dalam memahami peraturan perundang-undangan
perpajakan
b. Keterbatasan waktu petugas pajak dalam menginterpretasikan pola bisnis
dan sistem akuntansi dari wajib pajak
c. Keterbatasan petugas dalam memahami istilah aktivitas bisnis dan
penamaan akun / rekening pembukuan karena wajib tidak melakukan
komunikasi dengan baik
d. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan wajib pajak dalam memahami
peraturan perundangan yang berlaku
e. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan dalam membedakan laporan
keuangan komersial dan fiskal
f. Perbedaan pendapat dalam pengakuan bukti pendukung transaksi laporan
keuangan.
Atas penyelesaian sengketa pajak terdapat beberapa upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh wajib pajak yaitu :
a. Keberatan
b. Banding atau gugatan yang diajukan kepada Pengadilan Pajak
c. Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung
Dalam proses penyelesaian sengketa pajak sering diwarnai dengan
ketidakpastian hukum dan ketidakpastian kebijakan pajak. Hal ini dikarenakan
banyaknya aturan pajak yang tumpang tindih dan interpretasi yang berbeda antara
pengusaha dan pemerintah membuat sengketa pajak semakin bertambah. Pada saat proses
pemeriksaan, terdapat kontradiksi antara Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun1983) yang telah
direvisi melalui Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentangPerubahan Atas Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
Pasal 29 ayat (3b) dengan PMK 17 tahun 2013 Pasal 31 tentang Tata Cara Pemeriksaan,
dimana penetapan pajak terutang untuk wajib pajak badan dapat ditetapkan secara
jabatan.
Dalam proses keberatan dimana penyelesaian sengketa pajak dilakukan dalam
lingkungan administratif DJP maka kemungkinan besar permohonan wajib pajak ditolak..
Terdapat pula ketidaksinkronan antara Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa (UU PPSP) dengan UU KUP
Lebih lanjut diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat (4) diatur bahwa proses peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan, namun dalam kenyataannya terdapat
ketidakharmonisan antara UU KUP dengan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) mengenai syarat formal
pengajuan banding.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapatdirumuskan permasalahan sebagai
berikut

2.Rumusan Masalah :

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapatdirumuskan permasalahan sebagai


berikut
1. Apa saja produk hukum yang mengalami konflik aturan dalam prosedur
penyelesaian sengketa pajak ?

4
2. Bagaimana penyelesaian produk hukum yang mengalami konflik aturan
dalam prosedur penyelesaian sengketa pajak ?

3. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakan penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui produk hukum yang mengalami konflik aturan dalam
penyelesaian sengketa pajak;
2. Untuk mengetahui penyelesaian atas produk hukum yang mengalami konflik
aturan dalam penyelesaian sengketa pajak

4. Metode Penelitian

4.1 Tipe Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitianhukumnormatif.Penelitian hukum normatif adalahpenelitian hukum
yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka dan peraturan
perundangan-undangan perpajakan. Pendekatan normatif digunakan dengan
maksud untuk mengkaji danmenganalisis bahan pustaka yang berkaitan dengan
materi penelitian yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
dan bahan hukum tersier.Penelitian ini akan mempelajari dan mengkaji asas-
asas hukum dan kaidah-kaidah hukum positif yang berasal dari bahan-bahan
kepustakaan yang ada dalam peraturan perundang-undangan serta ketentuan-
ketentuan hukum, asas-asas hukum dan/atau doktrin-doktrin hukum terutama
yang berkaitan dengan kedudukan pengadilan pajak dan upaya hukum dalam
penyelesaian sengketa pajak.

4.2 Pendekatan Masalah


Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan karena
penulis akan melakukan penelitian dengan menelaah undang-undang
perpajakan (UU KUP, UU Pengadilan Pajak, dan UU PPSP ) dan regulasi yang
terkait dengan upaya penyelesaian sengketa pajak, serta asas keadilan dalam
penyelesaian sengketa. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan karena
penulis juga akan melakukan pendekatan atas pandangan-pandangan dan
dokrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum pajak, khususnya yang
terkait dengan upaya hukum terkait penyelesaian sengketa pajak di Indonesia.

4.3 Sumber Bahan Hukum


Dalam menyusun skripsi ini, sumber bahan hukum yang digunakan adalah
bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
1. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan
perundangundangan, yurisprudensi, traktat, bahan hukum dari zaman
penjajahan yang hingga kini masih berlaku.
2. Bahan hukum sekunderyaitu bahan hukum yang terdiri dari semua
publikasitentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen

5
resmi.Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum,jurnal-jurnal hukum, putusan pengadilan serta komentar-komentar
atasputusan pengadilan.
3. Bahan hukum tersier atau bahan penunjang yaitu yang terdiri daribahan
hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadapbahan
hukum sekunder seperti misalnya kamus umum, kamus hukum,majalah
dan/atau jurnal-jurnal ilmiah.

4.4 Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Bahan Hukum


Teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam menyusun
penulisan ini diperoleh dengan cara studi dokumen atau studi kepustakaan.
Studi kepustakaan ini akan dilakukan penulis dengan memanfaatkan berbagai
literatur berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, karya-karya
ilmiah, maupun bahan kuliah yang terkait dengan Perjanjian, asas kebebasan
berkontrak dan asas keseimbangan, serta sumber data sekunder lain yang
dibahas oleh penulis.

B. PEMBAHASAN
2.1 Teori Perundang-Undangan menurut Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
Hans Kelsen mengkualifikasikan hukum sebagai sesuatu yang murni formil,
sehingga tata hukum adalah suatu sistem norma. Sistem norma merupakan
suatu susunan berjenjang (hirarki) dan setiap norma bersumber pada norma
yang berada di atasnya, yang membentuknya dan menentukan validasinya
serta menjadi sumber bagi norma yang terdapat dibawahnya.
Karateristik korelasi antara satu norma dengan norma yang lain dalam tata
hukum yang hirarkis tersebut dapat dipahami melalui deskripsi yang
dikemukakan Hans Kelsen.Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of
norms yang diintrodusir Hans Kalsen di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau
memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.
2. Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terkait dengan atau ketidaksesuaian antara suatu norma dengan norma yang
lain, Hans Kelsen menunjukan bahwa tidak terdapat jaminan norma yang lebih
rendah selalu sesuai dengan norma yang lebih tinggi yang menentukan dan
materi muatan norma yang lebih rendah tersebut. Namun menurut kostruksi
tata hukum, penentuan terhadap konflik norma tersebut diserahkan kepada
lembaga yang berwenang.Hans Kelsen menyebut organ yang berwenangadalah
pengadilan.Institusi pengadilan diberi hak untuk memberikan keputusan akhir
atas penyelesaian sebuah perkara. Lebih lanjut, Hans Kelsen menjelaskan
bahwa sifat keputusan final yang dibuat oleh otoritas berkompeten tersebut
adalah bersifat konstituif bukan deklaratif
Dari paradigma yang dikonstruksi Hans Kelsen di atas dalam hal
terjadinya konflik normamaka diperlukan terbentuknya suatu organ yang
menentukan konstitusionalitas atau legalitas suatu norma dengan norma
lainnya, melaluiprosesjudicial review. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya

6
setiap norma hukum selalu valid, tidak batal (null), tetapi ia dapat dibatalkan
oleh suatu lembaga atau organ yang berkompeten dengan alasan tertentu
menurut tata hukum. Konsekuensinya, suatu norma hukum harus selalu
dianggap valid sampai ia dibatalkan manakala lembaga yang berkompeten
memutuskan demikian melalui judicial review atau jika suatu norma hukum
tersebut adalah undang-undang, maka ia pula lazimnya dibatalkan oleh
undang-undang lain menurut asas Lex posterior derogate priori.
2.2 Hirarki Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
Hirarki peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditegaskan
dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menjelaskan bahwa jenis dan
hirarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

2.3 Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Perpajakan


Dalam sistem pemungutan perpajakan tidak terdapat dasar hukum yang mengatur
mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku
di Indonesia, namun pada pelaksanaannya, fiskus menerapkan tata urutan
peraturan perundang-undangan perpajakan adalah sebagai berikut:
2.3.1 Undang-Undang (UU)
Disamakan dengan Undang-Undang yang dibuat oleh Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Presiden dan Perpu
2.3.2 Peraturan Pemerintah
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat oleh
Presiden dimana dalam hal ikhwal kepentingan yang memaksa dengan
ketentuan Perpu harus diajukan ke DPR dalam persidangan kemudian
DPR dapat menerima atau menolak dengan tidak mengadakan
perubahan dan jika ditolak DPR maka Perpu harus dicabut. Contoh PP
46 Tahun 2013.
2.3.3 Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan
dalam melaksanakan operasional kegiatan di Departemen Keuangan
yang berhubungan dengan perpajakan.
2.3.4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak (PER-DJP)
Direktorat Jenderal Pajak dapat mengeluarkan peraturan yang mengatur
perpajakan dimana produk hukum adalah berupa PER-DJP
2.3.5 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak (SE-DJP)
Direktorat Jenderal Pajak dapat mengeluarkan Surat Edaran
untuk pemungutan pajak.
2.3.6 Surat Direktur Jenderal Pajak (S-DJP)

7
Produk hukum paling akhir yang dapat dikeluarkan oleh
Direktorat Jenderal Pajak dalam melaksanakan pemungutan perpajakan
adalah Surat Direktur Jenderal Pajak, dimana S-DJP ini dikeluarkan
mungkin saja dikarenakan tidak terdapat dalam produk hukum lainnya
dari tingkat UU sampai dengan PER-DJP.
Dalam melaksanakan tugas menyelenggarakan kesejahteraan umum, pemerintah
diberi juga freies Ermessen yaitu kewenangan yang sah untuk turut campur dalam
kegiatan melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum. Freies
Ermessenmerupakansarana yang memberikan ruang gerak bagi pejabat atau badan-
badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa terikat sepenuhnya
pada undang-undang. Salah satu bentuk bentuk kebijakan Freies Ermessen adalah
timbulnya legislasi semu.
Pengertian legislasi semu adalah tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait
tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang secara tegas memberikan
kewenangan kepada organ tersebut. Bentuk-bentuk legislasi semu antara lain :
1. Surat Edaran (SE)
2. Petunjuk Pelaksana.
3. Petunjuk Operasional atau Petunjuk Teknis
4. Instruksiyang dikeluarkan oleh pimpinan yang bersifat perintah untuk
menjalankan tugas tertentu
5. Pengumuman
Di luar jenis peraturan perundang-undangan yang bersifat hierarkis, berdasarkan
uraian di atas Menteri Keuangan dan Direktrur Jenderal dapat menerbitkan
berbagai instrumen pemerintahan dalam bentuk legislasi semu (peraturan
kebijakan), yang diperlukan untuk menjalankan peraturan di bidang perpajakan.
2.4 Beberapa Produk Hukum yang mengatur mengenai Penyelesaian
Sengketa Pajak
2.4.1 Keberatan
Ketika Wajib Pajak menerima Surat Ketetapan Pajak dan tidak
menyetujui ketetapan tersebut maka wajib pajak dapat mengajukan upaya
hukum keberatan. Adapun Pengajuan keberatan oleh wajib pajak
menyebabkan jumlah pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak menjadi
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitanSurat
Keputusan Keberatan. Mengenai upaya hukum keberatan diatur dalam UU
KUP pasal 25 ayat (1) dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan
Kewajiban Perpajakan Pasal 30

2.4.2 Banding dan Gugatan


Apabila wajib pajak akan mengajukan upaya hukum banding, maka
harus memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam UU KUP dan UU
Pengadilan Pajak Pasal 35-36. Pengajuan banding oleh wajib pajak
menyebabkan jumlah pajak terutang dalam Surat Ketetapan Pajak menjadi
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Banding. Sesuai Pasal 27 ayat (5c) jumlah pajak yang belum

8
dibayar pada saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak
yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
Selain upaya banding, wajib pajak juga dapat mengajukan upaya
hukum gugatan. Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh
wajib pajak atau penanggung pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak
atau terhadap keputusan yang dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan
perundangan perpajakan yang berlaku.

2.5 Beberapa Produk Hukum yang Mengalami Konflik Aturan dalam Proses
Penyelesaian Sengketa Pajak
Beberapa bentuk peraturan pajak yang mengalami konflik aturan dalam proses
penyelesaian sengketa pajak antara lain :

2.5.1Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan ( UU KUP)


denganPeraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Terdapat perbedaan antara ketentuan dalam UU KUP Pasal 29 ayat 3b
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/ 2013 Pasal 31 ayat (2)
tentang Tata Cara Pemeriksaan, bagi wajib pajak yang tidak meminjamkan
dokumen pada saat proses pemeriksaan, dimana dalam UU KUP Pasal 29 ayat
(3b) disebutkan bahwa :
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) sehingga tidak dapat dihitung besarnya
penghasilan kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat
dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan
Sedangkan dalam PMK 17 tahun 2013 Pasal 31 ayat 2 dijelaskan bahwa :
Dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang
pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas atau Wajib
Pajak badan, dan Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan pengujian
dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penghasilan kena pajak dapat
dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan
Berdasarkan penjelasan diatas terdapat konflik aturan dalam kedua
produk hukum tersebut, dimana dalam UU KUP penetapan pajak secara
jabatan hanya dapat dilakukan untuk wajib pajak orang pribadi sedangkan
dalam PMK, penetapan secara jabatan dapat dilakukan untuk wajib pajak
badan dan orang pribadi.
2.5.2Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) dengan
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP)
Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan pada dasarnya mengatur mengenai
tata cara dan prosedur serta ketentuan-ketentuan yang bersifat umum di
bidang perpajakan. Apabila diperhatikan lebih lanjut, ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam Undang-Undang KUP tersebut, merupakan sebuah
rangkaian kegiatan sistem perpajakan di Indonesia. UU KUP mengatur
prosedur atau tata cara pelaksanaan dari hak dan kewajiban tersebut.

9
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa mengatur tentang tata cara
penagihan utang pajak. Terhadap wajib Pajak yang tidak atau lalai dalam
melaksanakan kewajiban Perpajakan, Fiskus dapat melakukan upaya-upaya
penagihan aktif, dimulai dari mengirim Surat Teguran, Surat Paksa,
Penyitaan sampai jika diperlukan melakukan tindakan penyanderaan.
Apabila dilihat dari isi kedua Undang-Undang tersebut, sebenarnya berfungsi
untuk suksesnya pengumpulan Pajak di Indonesia. Pada satu sisi UU KUP
mengatur tentang hak dan kewajiban Wajib Pajak, sedangkan disisi lain
UU penagihan pajak akan menindak wajib Pajak yang lalai dalam
melaksanakan kewajiban perpajakannya. Kedua Undang-undang ini sangat
penting, namun dalam kenyataannya terdapat beberapa pasal yang tidak
sejalan,diantaranya:
2.5.2.1 Pasal 10 ayat (12) UU 19 Tahun 2000 dengan Pasal 25 ayat (7) UU 28
Tahun 2007
Pasal 10 ayat (12) UU Penagihan Pajak berbunyi Pengajuan
keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan
Surat Paksa, sedangkan dalam Pasal 25 ayat (7) UU KUP berbunyi :
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) atas
jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan,
tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Keberatan
Ketentuan dalam UU Penagihan Pajak sudah tidak sejalan dengan
UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 1994,
dan terakhir diubah lagi dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 dan UU
Nomor 16 Tahun 2009.
UU KUP yang baru ini mengatur bahwa pengajuan upaya hukum keberatan yang
dilakukan oleh Wajib Pajak mengakibatkan penundaan pelaksanaan
penagihan dan kewajiban membayar pajak. Oleh karena itu, Surat paksa
tidak dapat disampaikan kepada Wajib Pajak apabila Wajib Pajak
mengajukan upaya hukum keberatan.
2.5.2.2 Pasal 13 UU Nomor 19 Tahun 2000 dengan Pasal 25 ayat (7) UU
Nomor 28 Tahun 2007
Dalam pasal13 Undang-Undang Penagihan Pajak berbunyi Pengajuan
keberatan oleh Wajib Pajak tidak mengakibatkan penundaan pelaksanaan
penyitaan.
Berdasarkan UU KUP yang baru, maka pelaksanaan penyitaan tidak dapat
dilaksanakan, apabila wajib pajak mengajukan keberatan. Dengan kata
lain, pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak, mengakibatkan penundaan
pelaksanaan penyitaan. Hal ini berhubungan juga dengan keterangan
penyampaian Surat Paksadi atas sesuai pasal 25 ayat (7). Pelaksanaan
penyitaan adalah lanjutan dari pelaksanaan penyampaian Surat Paksa,
sehingga apabila Surat Paksa tidak boleh disampaikan kepada wajib Pajak,
maka penyitaan juga tidak dapat dilaksanakan.
2.5.2.3. Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2000 dengan Pasal 19-24 UU
Nomor 28 Tahun 2007

10
Dalam Undang-Undang Penagihan Pajak Pasal 27 ayat
(1)berbunyi “Lelang tetap dapat dilaksanakan walaupun keberatan yang
diajukan oleh Wajib Pajak belum memperoleh keputusan keberatan”.
Pasal tersebut tidak lagi sejalan dengan yang diatur oleh bab IV (pasal 19
sampai dengan pasal 24) UU KUP . Lelang tidak dapat dilaksanakan
apabila siklus kegiatan penagihan belum dilaksanakan secara berurutan.
Urutan dari siklus kegiatan penagihan pajak yaitu dimulai dengan
mengirim surat peringatan/surat teguran. Namun, apabila Wajib Pajak tidak
memberikan jawaban, maka dilakukan tindakan upaya-upaya sebagai
berikut :
a. Menyampaikan Surat Paksa
b. Melakukan penyitaan
c. Melaksanakan lelang terhadap barang yang disita.
2.5.2.4. Pasal 41 ayat (2) UU 19 Tahun 2000 dengan Pasal 25 ayat (7) dan (8)
UU 28 Tahun 2007
Pasal 41 ayat(2) UU Penagihan Pajak berbunyi “Pengajuan keberatan
atau permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak
dan pelaksanaan penagihan pajak”
Pasal 41 ayat (2) UU Penagihan Pajak sudah tidak sejalan dengan UU
KUP khususnya pasal 25 ayat (7) dan ayat (8). Dalam Pasal 25 ayat 7
mengatur bahwa:
Apabila wajib Pajak mengajukan keberatan, maka jangka waktu
pembayaran pajak dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah
saat terhutang, menjadi tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan
sejak tanggal Surat Keputusan Keberatan
Selanjutnya Pasal 25 ayat 8 menjelaskan bahwa “ Jumlah pajak
yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak termasuk sebagai utang
pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan ayat (1a)”
Berdasarkan pasal 25 ayat (7) UU KUP, Wajib Pajak yang mengajukan keberatan,
maka secara otomatis kegiatan administrasi penagihan aktif tidak dapat
dilaksanakan. Kegiatan penagihan aktif harus menunggu keputusan
keberatan. Keputusan keberatan dikeluarkan paling lama 12 bulan dari
kelengkapan permohonan Wajib Pajak. SetelahKeputusan
Keberatandikeluarkan, maka jangka waktu 1 bulan kemudian baru dapat
dilaksanakan kegiatan penagihan Pajak. Kegiatan penagihan akan
disesuaikan dengan keputusan keberatan yang akan dikeluarkan oleh
Fiskus. Namun apabila menurut surat keputusan keberatan tidak
terdapathutang pajak atau permohonan keberatan Wajib Pajak diterima,
berarti tidak perlu dilakukan kegiatan penagihan aktif
Selanjutnya apabila atas keputusan keberatan ini, apabila Wajib Pajak
tidak puas dan mengajukan upaya banding, maka kegiatan penagihan harus
ditangguhkan. Ketentuan ini diatur pada pasal 27 ayat 5a UU KUP.
Berdasarkan pasal ini, upaya hukum Banding ke Pengadilan Pajak oleh
Wajib Pajak membawa konsekuensi bahwa utang pajak belum wajib
dibayar berdasarkan Surat Keputusan Keberatan. Dengan arti kata, UU ini
mewajibkan Wajib Pajak membayar utang pajak berdasarkan keputusan
Hakim di Pengadilan Pajak. Artinya apabila belum ada kewajiban

11
membayar oleh Undang-undang Pajak, maka Penagihan aktif belum perlu
dilaksanakan. Kemudian ditegaskan juga oleh pasal 27 ayat (5a) UU
KUP, bahwa jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
permohonan banding belum merupakan pajak yang terutang sampai
dengan Putusan Banding diterbitkan.
2.5.3 Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) dengan Undang-
Undang Pengadilan Pajak
2.5.3.1 Pasal 36 ayat (4) UU Nomor 14 Tahun 2002 dengan Pasal 27
ayat (5c) UU Nomor 28 Tahun 2007
Pasal 36 ayat 4 UU Pengadilan Pajak berbunyi:
“Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), serta Pasal 35, dalam hal banding diajukan,
terhadap besarnya jumlah pajak yang terutang dimaksud telah
dibayar 50% (lima puluh persen)”
Ketentuan ini sudah tidak sejalan dengan UU KUP. UU KUP yang
baru mengatur bahwa pengajuan upaya hukum banding yang
dilakukan oleh WP tidak mengharuskan WP membayar 50% pajak
terutang berdasarkan Surat Keputusan Keberatan.
Berdasarkan Pasal 27 ayat (5c), UU KUP mengatur bahwa jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan
banding belum merupakan pajak yang terutang sampai dengan
Putusan Banding diterbitkan. Penekanan dari UU KUP adalah,
setiap proses mencari keadilan yang dilakukan oleh WP,
mengakibatkan pembayaran atas semua utang pajak menjadi
tertangguh, karena keputusan (beschikking) yang dikeluarkan oleh
Ditjen Pajak belum mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

3.1 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pajak


Secara sistematis beberapa mekanisme penyelesaian sengketa pajak dapat
diselesaikan melalui sebagai berikut :
a. Penyelesaian pada internal Direktorat Jenderal Pajak (KPP), melalui :
1) Pembetulan ketetapan pajak
2) Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
3) Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
4) Keberatan
b. Penyelesaian di Pengadilan Pajak, melalui :
1. Gugatan
2. Banding
c. Penyelesaian di Mahkamah Agung, melalui :
1. Peninjauan Kembali (PK)
d. Pelaksanaan Putusan
e. Judicial review

3.1.1Penyelesaian pada internal Direktorat Jenderal Pajak (KPP)


3.1.1.1 Pembetulan Ketetapan Pajak
Ketentuan mengenai pembetulan ketetapan pajak diatur dalam pasal
16 UU KUP ayat (1) dengan penjelasan sebagai berikut :

12
Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib
pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan
Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan
Pengurangan atau Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau
Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, yang
dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan
atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Apabila terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam ketetapan pajak yang tidak
mengandung persengketaan antara fiskus dan wajib pajak, dapat dibetulkan
oleh Direktur Jenderal Pajak secara jabatan atau atas permohonan wajib
pajak.
3.1.1.2 Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
Ketentuan mengenai pengurangan/penghapusan sanksi administrasi
diatur dalam Pasal 36 UU KUP tahun 2007 dengan penjelasan sebagai
berikut :“Direktur Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terhutang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena
kesalahannya”
3.1.1.3 Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan wajib pajak,
dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan
ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya wajib pajak yang ditolak
pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal
(memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan
material terpenuhi.
Ketentuan pengurangan / pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar untuk
masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak diatur dalam pasal 36
UU KUP tahun 2007 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
8/PMK.03/2013. Pasal 36 ayat 2 UU KUP menjelaskan bahwa “Direktur
Jenderal Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan ketetapan pajak
yang tidak benar”

3.1.1.4. Upaya Hukum Keberatan


Keberatan merupakan upaya hukum biasa yang diperuntukkan bagi wajib pajak
untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran terhadap perbuatan hukum
yang dilakukan oleh pejabat pajak dalam melakukan penagihan pajak
sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang KUP.
Keberatan yang diajukan adalah terhadap materi atau isi ketetapan pajak, yaitu
jumlah rugi berdasarkan ketentuan undang-undang perpajakan, jumlah
besarnya pajak, pemotongan atau pemungutan pajak. Keberatan tersebut
harus diajukan terhadap satu jenis pajak dan satu tahun pajak sehingga
apabila diajukan keberatan untuk jenis pajak yang sama, tetapi tahun
pajaknya berbeda, maka masing-masing diajukan secara terpisah (dalam
dua buah surat keberatan). Demikian pula halnya untuk dua jenis pajak
berbeda dalam tahun pajak yang sama, juga diajukan secara terpisah.
3.1.2 Penyelesaian pada Pengadilan Pajak

13
3.1.2.1 Upaya Hukum Banding
Upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum
keberatan. Dalam arti, apabila Wajib Pajak tetap merasa tidak puas atas keputusan
keberatan yang telah dikeluarkan oleh Direktur Jenderal Pajak dapat
dimungkinkan adanya upaya hukum dengan nama banding. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terhadap surat
keputusan keberatan yang diterbitkan akan menjadi dasar untuk diajukannya
upaya hukum banding ke Pengadilan Pajak. Upaya hukum banding merupakan
upaya hukum bersifat biasa yang memberi peluang untuk mempersoalkan surat
keputusan keberatan di tingkat Pengadilan Pajak.
Dengan diberlakukannya UU Pengadilan Pajak, maka diharapkan dapat
diperoleh kepastian hukum yang diharapkan Wajib Pajak menjadi jelas. Dalam
Pasal 77 (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 menegaskan bahwa putusan pengadilan
pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Penegasan lainnya juga disebutkan dalam Pasal 27 ayat (2) UU KUP bahwa
putusan badan peradilan pajak bukan merupakan keputusan tata usaha negara.
Meskipun demikian, sistem peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung
tetap berjalan, yaitu sesuai dengan ketentuan Pasal 91 UU Pengadilan Pajak
dengan dimungkinkannya Wajib Pajak mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali ke Mahkamah Agung.
Seperti halnya upaya hukum keberatan apabila Wajib Pajak akan mengajukan
upaya hukum banding, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
• Permohonan diajukan secara tertulis dengan menggunakan bahasa
Indonesia;
• Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima
Keputusan Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatan perpajakan yang
diajukan banding, atau 60 (enam puluh) hari sejak tanggal diterimanya
Keputusan yang dibanding kecuali diatur lain dalam peraturan
perundangundangan perpajakan;
• Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
• Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas dan
dicantumkan tanggal diterimanya surat keputusan banding;
• Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding;
• Dalam hal banding diajukan terhadap besarnya jumlah pajak yang
terutang, banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang
dimaksud telah dibayar sesuai dalam pembahasan akhir.
3.1.2.2 Upaya Hukum Gugatan
Selain upaya banding yang dapat diajukan ke pengadilan pajak, Wajib
Pajak juga dapat mengajukan upaya hukum gugatan. Yang dimaksud
dengan gugatan adalah upaya hukum yang dilakukan Wajib Pajak
terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang
dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
Gugatan sebagai upaya hukum biasa berbeda dengan banding, karena
banding dapat menangguhkan keputusan keberatan sehingga tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Sementara itu, gugatan tidak
demikiannya halnya karena yang digugat bukan surat keputusan
keberatan dari Lembaga Keberatan melainkan keputusan pejabat pajak

14
yang terkait dengan penagihan pajak. Gugatan hanya diperuntukkan bagi
wajib pajak atau penanggung pajak untuk melawan surat tagihan pajak
maupun keputusan yang terkait dengan pelaksanaan penagihan pajak
secara paksa yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum pajak.
Dalam arti, pejabat pajak dalam proses gugatan selalu dalam kedudukan
sebagai pihak tergugat dan wajib pajak atau penanggung pajak selalu
berada dalam kedudukan sebagai penggugat. Dalam arti, pejabat pajak
tidak boleh mengajukan gugatan kepada Pengadilan Pajak sebagai
penggugat melawan wajib pajak atau penanggung pajak.
3.1.3 Penyelesaian di Mahkamah Agung
3.1.3.1 Peninjauan Kembali
Jika pihak yang bersengkata masih tidak puas atas hasil banding di dalam
pengadilan pajak, maka proses akhir yang masih bisa ditempuh adalah
melalui peninjauan kembali (PK) di Mahkamah Agung melalu pengadilan
pajak. Putusan Mahkamah Agung merupakan putusan akhir dan
mempunyai kekuatan hukum tetap. Sesuai dengan pasal 77 ayat 3 UU
Pengadilan Pajak, pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan
peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah
Agung.
3.1.4 Pelaksanaan Putusan
Dalam banding, putusan pengadilan pajak langsung dapat dilaksanakan
dan tidak memerlukan keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan
perundang-undangan mengatur lain. Dalam halputusan pengadilan pajak
mengabulkan sebagian atau seluruh banding, kelebihan pembayaran pajak
dikembalikan dengan ditambah bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan
selama-lamanya 24 (duapuluh empat) bulan.
Salinan putusan Pengadilan Pajak dikirim kepada para pihak dengan
surat oleh Sekretaris Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan sedangkan putusan Pengadilan
Pajak harus dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang dalam jangka waktu
30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya putusan. Hal ini dikarenakan
putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap.
Dalam tahap akhir penyelesaian proses peninjauan kembali, Majelis
Hakim Agung akan mengadakan sidang untk mengambil putusan berdasarkan
data dan keterangan yang ada. Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan peninjauan kembali, Mahkamah Agungmembatalkan putusan
yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa
serta memutus sendiri perkaranya.
Selanjutnya Mahkamah Agung harus mengirimkan salinan keputusan
atas permohonan Peninjauan Kembali beserta berkas perkaranya kepada
Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 30 (tigapuluh) hari. Selanjutnya
Pengadilan Pajak harus menyampaikan salinan putusan tersebut kepada
pemohon dan termohon dalam jangka waktu 30 (tigapuluh hari) dan
mengirimkan bukti pemberitahuan putusan dalam jangka waktu 30
(tigapuluh) hari.

3.1.5Mekanisme Penyelesaian melalui judicial review ke Mahkamah Agung

15
Upaya Hukum lain yang dapat ditempuh oleh wajib pajak selain melalui
mekanisme penyelesaian sengketa pajak di atas, wajib pajak bisa menempuh
upaya judicial review ke Mahkamah Agung untuk menguji apakah peraturan
peraturan perpajakan yang berlaku itu melanggar Undang-Undang di atasnya.
Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Mahkamah
Agung berwenang menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan
yang berlaku.
Sesuai Pasal 31A ayat (1) UU Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung,
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang terhadap undang-undang dapat diajukan langsung oleh pemohon atau
kuasanya kepada MA dan dibuat secara tertulis dan rangkap sesuai keperluan
dalam Bahasa Indonesia. Permohonan judicial review hanya dapat dilakukan
oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
c. Badan hukum publik atau badan hukum privat.
Permohonan judicial review ke Mahkamah Agung diatur lebih rinci dalam Perma
No. 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (Perma 1/2011) dengan menggunakan
terminologi Permohonan Keberatan.
3.2. Penerapan Asas Preferensi dalam PPSP yang Mengalami Konflik
Aturan

3.2.1 Teori Penalaran Hukum (Legal Reasoning Theorie)


Banyaknya konflik aturan dalam penyelesaian sengketa pajak akibat
perbedaan penafsiran dapat merugikan negara dan wajib pajak. Oleh karena
itu diperlukan upaya agar berlakunya hukum tesebut dapat sesuai dengan
tujuan dibentuknya hukum yaitu sebagai social engineering, dimana hukum
dibuat agar masyarakat melaksanakan atau bertindak sesuai dengan hukum
sehingga hukum berlaku sebagai alat rekaya sosial) dan social control
(apakah masyarakat sudah bertindak atau berprilaku sesuai dengan hukum
yang berlaku).
Penemuan hukum merupakan salah satu kegiatan dalam praktik hukum,
yang tentunya hal ini tidak mungkin dipisahkan dari ilmu atau teori hukum,
termasuk dalam hal ini adalah memahami asas / prinsip hukum. Dalam
penyelesaian konflik aturan, prinsip dan teori hukum sangat melekat
kepadanya. Oleh karena itu diperlukan pemahaman mengenai proses tentang
penalaran hukum dan asas hukum.
Penalaran hukum (legal reasoning) adalah kegiatan berpikir problematis
tersistematis (gesystematiseerd probleemdenken) dari subjek hukum
(manusia) sebagai makhluk individu dan sosial di dalam lingkaran
kebudayaannya. Penalaran hukum dapat didefinisikan sebagai kegiatan

16
berpikir yang bersinggungan dengan pemaknaan hukum yang multiaspek
(multidimensional dan multifaset).
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan
hukum, yaitu kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma
hukum (antinomi hukum), dan norma yang kabur (vage normen) atau norma
tidak jelas.

3.2.2 Asas Hukum


Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum) dan
dalam penemuan hukum , maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik
(asas preferensi), yaitu:
1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah;
2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan
melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang
khususlah yang harus didahulukan;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru
mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.

3.2.3 Analisis atasProduk Hukum yang Mengalami Konflik Aturan


dalam PPSP
. Berikut analisis atas produk hukum yang mengalami konflik
aturan dalam proses penyelesaian sengketa pajak :
3.2.3.1Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan
Pasal 29 dijelaskan bahwa :
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sehingga tidak dapatdihitung besarnya penghasilan
kena pajak, penghasilan kena pajak tersebut dapat
dihitung secara jabatan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan

Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa apabila wajib


pajak orang pribadi tidak meminjamkan data, buku, catatan,
dan dokumen pada saat proses pemeriksaan pajak maka
penetapan pajak terutang dapat dilakukan secara jabatan
ataupun menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
Namun dalam Pasal 31 ayat (2) Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
disebutkan bahwa :
Dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha

17
atau pekerjaan bebas atau Wajib Pajak badan, dan
Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan pengujian
dalamrangka menghitung besarnya penghasilan kena
pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),penghasilan
kena pajak dapat dihitung secara jabatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Asas lex superiori derogat legi inferiori menjelaskan bahwa


peraturan perundang-undanganbertingkat lebih tinggi
mengesampingkan peraturan perundangan dengan tingkatan
lebih rendah. Dalam tatanan perundang-undangan,
kedudukan Undang-Undang memiliki tingkatan lebih tinggi
(superiori) dibandingkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan. Oleh karena itu penetapan pajak secara jabatan
dalam proses pemeriksaan hanya dapat dilakukan untuk wajib
pajak orang pribadi yang melakukan pekerjaan bebas.

3.2.3.2Undang-UndangKetentuan Umum Perpajakan (KUP)


dengan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa (PPSP)
Dalam Pasal 10 ayat (12) UU 19 Tahun 2000 dengan Pasal 25
ayat (7) UU 28 Tahun 2007 terdapat konflik aturan mengenai
saat terbitnya surat paksa. Undang-Undang KUP menjelaskan
apabila Wajib Pajak mengajukan keberatan maka seharusnya
kegiatan penagihan aktif tidak dapat dilaksanakan. Hal ini
dikarenakan jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan
keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Implikasi dari pasal tersebut
segala kegiatan penagihan aktif meliputi penerbitan surat paksa,
surat sita dan pelaksanaan penagihan pajak serta lelang tidak dapat
dijalankan.
Asas lex specialis derogat legi generalimengatur bahwa
peraturan yang khusus akan melumpuhkan peraturan yang
bersifat umum atau peraturan yang bersifat khusus harus
didahulukan. Dalam konflik aturan tersebut, Undang-Undang
KUP bersifat lex generalis, sedangkan Undang-Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa bersifat lex spesialis,
sehingga kegiatan penagihan aktif berupa penerbitan surat
paksa, surat sita dan lelang tetap dapat dijalankan.
3.2.3.3Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)
dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak
Dalam Pasal 36 ayat 4 UU Pengadilan Pajak disebutkan
bahwa salah satu persyaratan formal dalam pengajuan banding
adalah wajib pajak yang mengajukan banding wajib membayar
sebesar 50% (lima puluh persen) terhadap besarnya jumlah
pajak yang terutang. Dalam UU KUP mengatur bahwa
pengajuan upaya hukum banding yang dilakukan oleh WP
tidak mengharuskan WP membayar 50% pajak terutang
berdasarkan Surat Keputusan Keberatan. Hal ini dijelaskan

18
dalam Pasal 27 ayat (5c)jumlah pajak yang belum dibayar pada
saat pengajuan permohonan banding belum merupakan pajak
yang terutang sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
Ketentuan pasal 36 ayat (4) Undang-Undang Pengadilan
Pajak yang mensyaratkan harus dilunasinya utang pajak
sebesar 50% (lima puluh persen) agar banding dapat diproses
sering kali menjadi pertanyaan Wajib Pajak, mengapa syarat
ini harus ada dan bagaimana apabila Wajib Pajak tidak
mempunyai dana sebesar yang ditentukan atau mengalami
kesulitan likuiditas. Undang-Undang pengadilan pajak tidak
menjelaskan alasan disyaratkannya pembayaran 50% dari
utang pajak. Oleh karenanya, Wajib Pajak merasa
diperlakukan tidak adil.
Asas lex specialis derogat legi generali, menyebutkan
bahwa aturan hukum yang bersifat khusus akan
mengesampingkan aturan hukum yang bersifat umum.
Persyaratan formal pengajuan banding diatur secara khusus
(lex specialis) dalam Undang-Undang Pengadilan Pajak,
sedangkan Undang-Undang KUP lebih bersifat umum (lex
generalis). Berdasarkan asas tersebut, ketentuan tentang
pemenuhan syarat formal pengajuan banding seharusnya
mengacu kepada Undang-Undang Pengadilan Pajak.

19
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
4.1.1Terdapat produk hukum yang mengalami konflik aturan dalam proses
penyelesaian sengketa pajak. Produk hukum yang mengalami konflik
aturan antara lain Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 tahun 2013, Undang-
Undang Ketentuan Umum Perpajakan dengan Undang-Undang
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, dan Undang-Undang Ketentuan
Umum Perpajakan dengan Undang-Undang Pengadilan Pajak. Konflik
aturan dalam proses penyelesaian sengketa perpajakan dapat
menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum bagi wajib
pajak.
4.1.2 Upaya penyelesaian produk hukum yang mengalami konflik aturan
dalam prosedur penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui
penerapan asas preferensi. Atas konflik aturan antara Undang-Undang
Ketentuan Umum Perpajakan denganPeraturan Menteri Keuangan
Nomor 17 tahun 2013 dapat digunakan asaslex superiori derogat legi
inferiori.Lebih lanjut atas konflik aturan antara Undang-Undang
Ketentuan Umum Perpajakan dengan Undang-Undang Penagihan
Pajak dengan Surat Paksa dan Undang-Undang Pengadilan Pajak
digunakan asaslex specialis derogat legi generali

4.2. Saran
4.2.1Kebijakan hukum dalampembentukan peraturan perpajakan atas
penyelesaian sengketa pajak harus tidak bertentangan dan selaras
dengan peraturan lainnya sehingga dapat memberikan keadilan dan
kepastian hukum bagi wajib pajak. Berdasarkan hal tersebut,
Pemerintah perlu segera melakukan revisi terhadap produk hukum
yang mengalami konflik aturan dalam proses penyelesaian sengketa
pajak.
4.2.2 Diperlukan pemahaman ilmu hukum dalam proses pembentukan dan
pelaksanaan hukum yang berlaku. Pemahaman tentang proses
pembentukan hukum dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
atas produk hukum yang mengalami konflik aturan oleh fiskus dan
wajib pajak. Dengan adanya pemahaman hukum setidaknyadapat
terwujud keadilan hukum bagi wajib pajak, dimanasesuai dengan
tujuan terbentuknya hukum yaitu sebagai social engineering dan
kontrol sosial.

20
DAFTAR PUSTAKA

I. Buku-Buku
Afandi, Romy, Advance Ruling:Memperjelas Ketidakpastian Bagi Wajib Pajak”,
Inside Tax, Edisi 23, September 2014.

Barata, Atep Adya, Memahami Pengadilan Pajak-Meminimalisasi dan Menghindari


Sengketa Pajak dan Bea Cukai.Jakarta :PT Elex Media Komputindo, 1998

Brotodiharjo, R Santoso SH, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, Eresco, 1991

Djafar Saidi, Muhammad, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta, PT.Raja


Grafindo Persada, 2007.

DjafarSaidi, Muhammad,Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam


Penyelesaian Sengketa Pajak,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2007.

Fidel, Tindak Pidana Perpajakan dan Amandemen Undang-Undang KUP, PPh, PPN,
Pengadilan Pajak,Carofin Media, Jakarta, 2015

Ilyas, Wirawan B dan Richard Burton , Hukum Pajak Edisi 6, Salemba Empat,
Jakarta, 2013.

Judisseno , Rimsky K., Pajak dan Strategi Bisnis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2005.

Kelsen,Hans, General Theory of Law and State;TheLawbook Exchange Ltd; New


Jersey,2009.

Kelsen,Hans, Pure Theory of Law, Translation from second Germany Edition,


Translated by : Max Knight (Berkeley, Los Angeles,London, University of
California Press), 1967.

Marbun, SF dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,


Yogyakarta, Liberty, 2004.

21
Pudyatmoko,Y.Sri..Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa di Bidang
Pajak.Cetakan pertama. PT.Gramedia Pustaka Utama..Jakarta, 2002.

Purwito M.,Ali dan Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak, Proses Keberatan dan
Banding.Depok:Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007.

Radjagukguk, Erman, Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid 2,


Universitas Indonesia, Jakarta, 1995.

Sadhani ,Dr.Djazoeli, Syahriful Anwar, SH, Msc, dan K.Subroto, SH, Mencari
Keadilan di Pengadilan Pajak, PT Gemilang Gagasindo Handal, 2008.

Saputra, Nata , Hukum Administrasi Negara , Rajawali, Jakarta,1988.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu


Tinjauan Singkat, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

II. Peraturan Perundangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas


Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan

22
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban.

Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2013


tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013


tentang Tata Cara Pemeriksaan

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pengurangan


atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat
Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor-65/PJ/2012 tentang Tata Cara


Penanganan Sidang Banding dan Gugatan di Pengadilan Pajak

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ/2014 tentang Petunjuk


Pelaksanaan Penyelesaian Keberatan Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah

III. Artikel

Ginting, Budiman, “Kepastian Hukum dan Implikasinya terhadap


Pertumbuhan Investasi di Indonesia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Investasi pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang disampaikan pada 20 September 2008

23

You might also like