Professional Documents
Culture Documents
Tindak Pidana Pornografi
Tindak Pidana Pornografi
Tindak Pidana Pornografi
INDONESIA
Oleh :
Syarifatun Nadliyah
05020321062@student.uinsby.ac.id
Abstract
This study aims to describe the crime of stalking the distribution of pornographic
videos in Decision Number 82/PUU-XVIII/2020 Concerning Pornographic Videos, as well as to
explain and analyze the crime of stalking against the distribution of personal data according to
law Decision Number 82/PUU-XVIII/ 2020 About Pornographic Videos in Islamic Criminal
Law review.
This research was carried out through the legal research method, namely the normative
juridical approach method in which the legal research method was carried out by examining
literature or secondary data alone, the author also used library research which in this study the
author used court decisions, existing books, and also various laws which were used as the basis
for conducting this research which examines the problem of pornography crimes.
The results of this study can be concluded (1) According to Indonesian Positive Law,
the accused is subject to Article 27 Paragraph (1) Jo. Article 45 Paragraph (1) of the Law of the
Republic of Indonesia. Number 19 of 2016, so that the defendant was sentenced to imprisonment
for 8 months. (2) In Islamic Criminal Law, the punishment for adultery according to the
provisions of Allah SWT is 100 lashes (for those who have never been married). So for the study
of the decision above in accordance with Islamic law, the offender can be subject to 100 lashes
because neither of them has ever been married. The results of this research, we as the authors
suggest: First, the judge must pay more attention to the facts of the trial because in this case the
judge did not pay attention to a fact of the trial, namely the testimony of the defendant. Second,
the government is expected to block sites and all things related to pornography on the internet,
television and social media.
Abstrak
Pornografi dan pornoaksi adalah perbuatan yang berdampak negatif terhadap perilaku
generasi muda. Anak-anak dan perempuan banyak yang telah menjadi korban, baik sebagai
korban murni maupun sebagai “pelaku sebagai korban”. Karena itu, pornografi dan pornoaksi
dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Hal ini bukan masalah baru, karena Pasal 281, Pasal
282, Pasal 283, Pasal 532, dan Pasal 533 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah
melarang pornografi maupun pornoaksi dan telah menentukan hukumnya. Pornografi dan
pornoaksi berdampak pula terhadap perbuatan moral lainnya dan tindak pidana lainnya,
misalnya; perzinaan, pemerkosaan, pelacuran, aborsi, pembunuhan dan lain-lain.
1
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hlm. 14
2
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hlm. 15
dalam menilai, menafsirkan maupun merumuskan istilah serta makna dari pornografi dan
pornoaksi. Selain itu juga persoalan pelarangan dan pembatasan masalah pornografi dan
pornoaksi, yang pemaknaannya dikaitkan dengan masalah kebebasan dan HAM. Hal ini yang
menyebabkan spirit dilahirkannya undang-undang itu telah mengalami “kesalah pahaman” dan
“distorsi” dari maksud dan tujuan dimunculkannya perundangan tersebut.3
Oleh karena itu pengamatan, telaah dan kajian ketika “rancangan” itu sedang digodok di
badan legislasi demikian gencar, gemanya tidak hanya di ibu kota melainkan juga di daerah-
daerah dalam berbagai bentuk tanggapan, aksi, kajian, sampai kepada sikap atau pendirian dalam
merespon dibahasnya rangcangan undang-undang tersebut. Tidak terhitung banyaknya
pertemuan ilmiah yang dilakukan berupa; diskusi, workshop, seminar, semiloka yang
diselenggarakan berbagai lapisan masyarakat baik dari kalangan akademisi, kampus, mahasiswa,
LSM, Organisasi profesi sampai kepada organisasi masyarakat, perkumpulan-perkumpulan atau
komunitas yang peduli terhadap isu tersebut. Ini semua melibatkan berbagi komponen
masyarakat baik ulama, pendeta, ilmuan, budayawan, tokoh adat, praktisi, jurnalistik, seniman,
mahasiswa sampai kepada pelajar.
Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, saya menggunakan jenis penulisan kualitatif dengan metode
pendekatan deskriptif. Penulisan kualitatif adalah penulisan yang menghasilkan suatu deskriptif
yang mampu memberikan suatu gambaran keadaan atau sistem secara sistematis. Penulisan ini
termasuk jenis data sekunder, karena data yang diperoleh melalui perantara kedua atau tidak
secara langsung. Proses analisi data pada penulisan ini melalui beberapa tahap seperti
pengumpulan data, analisi data, penyajian data, dan pemaparan serta penarikan kesimpulan.
Jenis peneltian yang digunakan dalam penyusunan artikel ini adalah penelitian kepustakaan
(library research) yang dilakukan dengan menekan kan sumber informasi dari buku-buku
hukum, jurnal, makalah, surat kabar, dan menelaah dari berbagai literatur yang mempunyai
hubungan relevan dengan permasalahan tentang tindak pidana pornografi.
Pembahasan
3
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hlm. 16
Istilah pornografi pada dasarnya merupakan sebuah kata yang relatif baru dalam
penggunaannya pada zaman modern. Namun, arti dari pornografi sudah lama
dikenal oleh masyarakat luas, bahkan sejak awal Islam sebagai pedoman hidup
manusia. Pornografi berasal dari kata Yunani, yaitu porne yang berarti perempuan
penghibur dan graphein yang berarti menulis. Selain itu, pornografi juga bisa
diartikan sebagai gambar perempuan penghibur. Oleh karena itu, pornografi dapat
dijelaskan sebagai gambar yang menampilkan tentang pekerjaan perempuan
penghibur atau sebuah tulisan yang membicarakan tentang pekerjaan perempuan
penghibur.4
Menurut Encyclopedia Britanica, pornografi merujuk pada “a disclosure
or behavior erotic like in books, pictures, in movies, designed to induce sexual
arousal” (penggambaran atau perilaku erotis, seperti dalam buku, gambar, atau
film, yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual).
Sedangkan Menurut Witjono Prodjodikoro, pornografi ialah istilah yang
berasal dari kata pornas yang artinya melanggar norma kesopanan atau cabul, dan
grafi yang artinya tulisan dan kini mencakup juga gambar serta patung atau benda
pada umumnya yang memuat atau menggambarkan hal sesuatu yang merugikan
moralitas dari orang yang membaca atau melihatnya.
Berikutnya, definisi pornografi dari waktu ke waktu juga mengalami
perubahan arti. Pengertian pornografi itu sendiri dalam bahasa dipengaruhi oleh
perubahan dalam kehidupan sosial atau bahkan dipengaruhi oleh pergeseran
pandangan masyarakat. Dalam kamus bahasa Indonesia, pornografi diartikan
sebagai penggambaran perilaku secara erotis dengan gambar atau tulisan untuk
membangkitkan hasrat seksual. Atau materi bacaan yang sengaja dan semata-mata
dirancang untuk membangkitkan hasrat seksual.5
Secara etimologi menurut Adami Chazawi, mengemukakan bahwa artinya
pornografi berasal dari dua sukua kata, yakni porno dan grafi. Porno artinya suatu
perbuatan yang Asusila (berkaitan dengan seksual), sedangkan grafi adalah
gambar atau tulisan yang isi atau artinya menunjukan atau menggambarkan
4
Neng Djubaedah, Ponografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), h. 144.
5
Topo Santoso, ‘Pornografi dan Hukum Pidana’, Hukum dan Pembangunan, Vol. VI, No. VI, 1996. h. 514.
sesuatu yang bersifat Asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
pornografi, yang dimaksud pornografi adalah yaitu :
“gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat”.6
Sementara itu, menurut definisi beberapa ahli pornografi, dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Abu Al-Ghifari
Pornografi merupakan materi yang meliputi tulisan, gambar, lukisan,
tayangan audiovisual, pembicaraan, dan gerakan tubuh yang menampilkan
bagian tubuh tertentu secara kasar, dengan tujuan untuk memikat perhatian
orang dari lawan jenis.
b. Feminis dan Moralis Konservatif mendefenisikan pornografi sebagai
“Penggambaran meterial seksual yang mendorong pelecehan seksual yang
mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan.”
c. Menurut RUU Anti Pornografi
“Pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan,
foto, film, atau yang dipersamakan film, video terawang, tayangan atau media
komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-
terangan atau tersamar kepada bublik alat vital dan bagianbagian tubuh serta
gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan atau seksualitas,
serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut
diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain.”
Penggunaan istilah pornografi dapat dijelaskan dalam beberapa konteks :
a. pornografi sebagai media atau produk media, ini adalah penggunaan
istilah yang paling tepat dan resmi. Sebagai contoh pada kalimat:
konten pornografi sangat membahayakan moral masyarakat.
6
Rizky Maulana dan Putri Amelia, Kamus Pelajar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Lima Bintang), h. 331.
b. pornografi sebagai kata sifat yang mengandung nilai-nilai keamoralan.
Sebagai contohnya pada kalimat: gaya bicara orang itu cenderung ke
arah pornografi.7
Tindakan-tindakan yang tertera dalam Pasal 282 KUHP, baik dalam ayat (1), (2),
maupun (3), dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yakni:
Setelah melalui perjalanan panjang selama lima tahun, pada tanggal 18 Maret
2008, naskah akhir UU ITE dibawa ke tingkat II untuk pengambilan keputusan. Pada
tanggal 25 Maret 2008, 10 fraksi menyetujui RUU ITE dan ditetapkan menjadi
Undang-Undang. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani
naskah UU ITE menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kemudian dimuat dalam Lembaran
Negara Nomor 58 Tahun 2008.10
Sanksi pidana pasal 27 ayat (1) diatur dalam pasal 45 ayat (1) yaitu
hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).11
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pasal 27 ayat (1), di
antaranya :
1. Dalam hal penerapan pelaku (subjek hukum). Pelaku yang dapat dijerat oleh
ketentuan ini adalah pihak yang mengedarkan, mengirimkan, dan/atau
membuat tersedia Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki konten melanggar kesusilaan, sementara pihak yang memproduksi
dan yang menerima distribusi dan transmisi tersebut tidak dapat dijerat
dengan pasal ini. Selain itu, pihak yang mengakses informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki konten yang melanggar
kesusilaan juga tidak dapat dihukum oleh pasal ini. Terdapat tiga pihak yang
terlibat dalam penyebaran pornografi di internet, yaitu: produsen,
distributornya, dan pihak yang menerima dan/atau mengaksesnya.
2. Dalam hal muatan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Pasal
ini mengatur pelanggaran dalam hal penyebaran informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.
Pelanggaran terhadapnya, termasuk pelanggaran terhadap kesopanan.12
KESIMPULAN
11
Andi Hamzah, DelikdDelik Tertentu di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 155.
12
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 157.
1. Pornografi berasal dari dua sukua kata, yakni porno dan grafi. Porno artinya suatu
perbuatan yang Asusila (berkaitan dengan seksual), sedangkan grafi adalah gambar atau
tulisan yang isi atau artinya menunjukan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat
Asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat.
2. Masyarakat secara umum menganggap pornografi sebagai bentuk kelainan/kejahatan,
karena melanggar hukum dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Karakteristik
pornografi yang hanya menampilkan erotisisme, hubungan seksual, dan pemanfaatan
tubuh manusia dianggap masih sangat sensitif oleh masyarakat yang masih memegang
teguh nilai-nilai moral dan agama. Permasalahan seksualitas merupakan hal yang sangat
pribadi dan tidak boleh ditampilkan atau disebarluaskan kepada siapa saja.
3. Pasal 44 Undang-Undang Pornografi dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki situs
web yang menawarkan kisah pornografi, gambar telanjang, film pornografi, dan berbagai
informasi dengan muatan pornografi akan dikenai Pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun
2008 tentang Pornografi, dengan pidana penjara minimal 6 (enam) bulan dan maksimal
12 (dua belas) tahun serta/atau denda minimal sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan maksimal sebesar Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
4. Sanksi pidana pasal 27 ayat (1) diatur dalam pasal 45 ayat (1) yaitu hukuman pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Leo, Memahami Pornografi Dari Sudut Pandang HAM, Hotel Sheraton Media Jakarta,
2006
Penjelasan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010Andi Hamzah, Delik-
Delik Tertentu dalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika. 2019
Kurniyati Ero, Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Penyebaran Video Pornografi Melalui Media
Elektronik, 2021
Indriani Sepsilia, Peran Digital Forensik Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Pornografi, 2021
Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992
A Djazuli, Fiqih Jinayah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000
Ahmad Mawardi Muslich,Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2000
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Budi Suharianto, Tindak Pidana Teknologi
Informasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Ghali Rizky Subagya, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Pembuatan dan
Penyebaran Foto dan Video Bermuatan Pornografi Melalui Internet, 2021
Muhammad Arif Iskandar Agung, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penyebaran Video
Pornografi Melalui Jejaring Sosial Facebook, 2020