Tindak Pidana Pornografi

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 13

TINDAK PIDANA PORNOGRAFI DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF

INDONESIA
Oleh :

Syarifatun Nadliyah
05020321062@student.uinsby.ac.id

Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah)


Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Jl. Ahmad Yani No. 117, Jemur Wonosari, Kec. Wonocolo, Surabaya, Jawa Timur 60237. Tlp 031-8410298

Abstract

This study aims to describe the crime of stalking the distribution of pornographic
videos in Decision Number 82/PUU-XVIII/2020 Concerning Pornographic Videos, as well as to
explain and analyze the crime of stalking against the distribution of personal data according to
law Decision Number 82/PUU-XVIII/ 2020 About Pornographic Videos in Islamic Criminal
Law review.
This research was carried out through the legal research method, namely the normative
juridical approach method in which the legal research method was carried out by examining
literature or secondary data alone, the author also used library research which in this study the
author used court decisions, existing books, and also various laws which were used as the basis
for conducting this research which examines the problem of pornography crimes.
The results of this study can be concluded (1) According to Indonesian Positive Law,
the accused is subject to Article 27 Paragraph (1) Jo. Article 45 Paragraph (1) of the Law of the
Republic of Indonesia. Number 19 of 2016, so that the defendant was sentenced to imprisonment
for 8 months. (2) In Islamic Criminal Law, the punishment for adultery according to the
provisions of Allah SWT is 100 lashes (for those who have never been married). So for the study
of the decision above in accordance with Islamic law, the offender can be subject to 100 lashes
because neither of them has ever been married. The results of this research, we as the authors
suggest: First, the judge must pay more attention to the facts of the trial because in this case the
judge did not pay attention to a fact of the trial, namely the testimony of the defendant. Second,
the government is expected to block sites and all things related to pornography on the internet,
television and social media.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindak pidana menguntit terhadap


penyebaran video pornografi dalam Nomor Putusan 82/PUU-XVIII/2020 Tentang Video
Pornografi, serta untuk menjelaskan dan menganalisis tindak pidana menguntit terhadap
penyebaran data pribadi menurut undang-undang Nomor Putusan 82/PUU-XVIII/2020 Tentang
Video Pornografi dalam tinjauan Hukum Pidana Islam.
Penelitian ini dilakukan melalui metode penelitian hukum yaitu metode pendekatan
normatif yuridis yang dimana metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan
pustaka atau data sekunder belaka, penulis juga menggunakan studi kepustakaan yang dimana
dalam penelitian ini penulis menggunakan putusan pengadilan, buku-buku yang ada, serta juga
berbagai undang-undang yang dimana dijadikan dasar dalam melakukan penelitian ini yang
mengkaji masalah tindak pidana pornografi.
Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan (1) Menrut Hukum Positif Indonesia
terdakwa dikenakan Pasal 27 Ayat (1) Jo. Pasal 45 Ayat (1) Undang-Undang R.I. Nomor 19
Tahun 2016, Sehingga terdakwa dijatuhi hukuman dengan pidana penjara selama 8 bulan. (2)
Dalam Hukum Pidana Islam tindak pidana pornografi ini hukuman untuk zina sesuai ketetapan
Allah SWT ialah cambuk 100 kali (bagi ang belum pernah menikah) namun apabila pelaku
sudah pernah menikah maka dikenai hukuman rajam (dilempar batu) sampai mati. Maka untuk
studi putusan diatas sesuai dengan ukum Islam pelaku dapat dikenai hkuman cambuk 100 kali
karena sama-sama belum pernah menikah. Hasil dari penelitian ini, kami sebagai penulis
menyarankan : Pertama, hakim harus tetap lebih memerhatikan fakta-fakta persidangan karena
pada kasus ini hakim tidak memerhatikan sebuah fakta persidangan yaitu keterangan terdakwa.
Kedua, Pemerintah diharapkan untuk memblokir situssitus dan segala hal yang berhubungan
dengan pornografi di internet, televisi maupun di sosial media.
Pendahuluan

Pornografi dan pornoaksi adalah perbuatan yang berdampak negatif terhadap perilaku
generasi muda. Anak-anak dan perempuan banyak yang telah menjadi korban, baik sebagai
korban murni maupun sebagai “pelaku sebagai korban”. Karena itu, pornografi dan pornoaksi
dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Hal ini bukan masalah baru, karena Pasal 281, Pasal
282, Pasal 283, Pasal 532, dan Pasal 533 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah
melarang pornografi maupun pornoaksi dan telah menentukan hukumnya. Pornografi dan
pornoaksi berdampak pula terhadap perbuatan moral lainnya dan tindak pidana lainnya,
misalnya; perzinaan, pemerkosaan, pelacuran, aborsi, pembunuhan dan lain-lain.

Undang-Undang Pornografi nomor 44 tahun 2008 merupakan produk negara yang


pengesahaannya melalui proses cukup panjang, sekitar 10 tahun. Inipun diawali dengan suatu
rancangan dengan mengalami pengubahan, sebelumnya adalah dengan nama Rancangan
Undang-Undang Anti Pornografi Dan Pornoaksi dengan singkatan sebagai RUUAPP. Dalam
perkembangan kemudian nama rancangan itu menjadi Rancangan Undang-Undang Pornografi,
dan selanjutnya melalui sidang Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia disahkan dan ditetapkan
sebagai Undang-Undang Pornografi.1

Perdebatan masalah pornografi maupun pornoaksi memang demikian serius menjadi


perhatian berbagai lapisan masyarakat. Ini dilatarbelakangi dengan 1 Leo Batubara, Memahami
Pornografi Dari Sudut Pandang HAM, Hotel Sheraton Media Jakarta, 2006, Hlm. 1 2 Penjelasan
Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi 7 kenyataan bahwa penayangan-
penayangan berbagai film, acara tayangan TV maupun melalui media dirasakan masyarakat luas
telah menembus batas normanorma kesusilaan, kaidah agama serta nilai-nilai luhur yang melekat
dalam kehidupan masyarakat kita. Apa yang disaksikan sehari-hari melalui berbagai media
elektronik maupun cetak dengan jelas tidak lagi mengindahkan apa yang dianggap sebagai
sesuatu yang “tabu”, melanggar batas-batas kesopanan dan ketidak patutan sebagai Masyarakat
Timur yang religius sekaligus beradab.2

Perdebatan mengenai pornografi di Indonesia ketika isu dan rancangan undang-undang


itu disiapkan memang demikian hangat, telah timbul suatu pandangan yang pro dan yang kontra

1
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hlm. 14
2
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hlm. 15
dalam menilai, menafsirkan maupun merumuskan istilah serta makna dari pornografi dan
pornoaksi. Selain itu juga persoalan pelarangan dan pembatasan masalah pornografi dan
pornoaksi, yang pemaknaannya dikaitkan dengan masalah kebebasan dan HAM. Hal ini yang
menyebabkan spirit dilahirkannya undang-undang itu telah mengalami “kesalah pahaman” dan
“distorsi” dari maksud dan tujuan dimunculkannya perundangan tersebut.3

Oleh karena itu pengamatan, telaah dan kajian ketika “rancangan” itu sedang digodok di
badan legislasi demikian gencar, gemanya tidak hanya di ibu kota melainkan juga di daerah-
daerah dalam berbagai bentuk tanggapan, aksi, kajian, sampai kepada sikap atau pendirian dalam
merespon dibahasnya rangcangan undang-undang tersebut. Tidak terhitung banyaknya
pertemuan ilmiah yang dilakukan berupa; diskusi, workshop, seminar, semiloka yang
diselenggarakan berbagai lapisan masyarakat baik dari kalangan akademisi, kampus, mahasiswa,
LSM, Organisasi profesi sampai kepada organisasi masyarakat, perkumpulan-perkumpulan atau
komunitas yang peduli terhadap isu tersebut. Ini semua melibatkan berbagi komponen
masyarakat baik ulama, pendeta, ilmuan, budayawan, tokoh adat, praktisi, jurnalistik, seniman,
mahasiswa sampai kepada pelajar.

Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, saya menggunakan jenis penulisan kualitatif dengan metode
pendekatan deskriptif. Penulisan kualitatif adalah penulisan yang menghasilkan suatu deskriptif
yang mampu memberikan suatu gambaran keadaan atau sistem secara sistematis. Penulisan ini
termasuk jenis data sekunder, karena data yang diperoleh melalui perantara kedua atau tidak
secara langsung. Proses analisi data pada penulisan ini melalui beberapa tahap seperti
pengumpulan data, analisi data, penyajian data, dan pemaparan serta penarikan kesimpulan.
Jenis peneltian yang digunakan dalam penyusunan artikel ini adalah penelitian kepustakaan
(library research) yang dilakukan dengan menekan kan sumber informasi dari buku-buku
hukum, jurnal, makalah, surat kabar, dan menelaah dari berbagai literatur yang mempunyai
hubungan relevan dengan permasalahan tentang tindak pidana pornografi.

Pembahasan

1. Pengertian Pornografi Dalam Perspektif Hukum Positif

3
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Hlm. 16
Istilah pornografi pada dasarnya merupakan sebuah kata yang relatif baru dalam
penggunaannya pada zaman modern. Namun, arti dari pornografi sudah lama
dikenal oleh masyarakat luas, bahkan sejak awal Islam sebagai pedoman hidup
manusia. Pornografi berasal dari kata Yunani, yaitu porne yang berarti perempuan
penghibur dan graphein yang berarti menulis. Selain itu, pornografi juga bisa
diartikan sebagai gambar perempuan penghibur. Oleh karena itu, pornografi dapat
dijelaskan sebagai gambar yang menampilkan tentang pekerjaan perempuan
penghibur atau sebuah tulisan yang membicarakan tentang pekerjaan perempuan
penghibur.4
Menurut Encyclopedia Britanica, pornografi merujuk pada “a disclosure
or behavior erotic like in books, pictures, in movies, designed to induce sexual
arousal” (penggambaran atau perilaku erotis, seperti dalam buku, gambar, atau
film, yang bertujuan untuk membangkitkan gairah seksual).
Sedangkan Menurut Witjono Prodjodikoro, pornografi ialah istilah yang
berasal dari kata pornas yang artinya melanggar norma kesopanan atau cabul, dan
grafi yang artinya tulisan dan kini mencakup juga gambar serta patung atau benda
pada umumnya yang memuat atau menggambarkan hal sesuatu yang merugikan
moralitas dari orang yang membaca atau melihatnya.
Berikutnya, definisi pornografi dari waktu ke waktu juga mengalami
perubahan arti. Pengertian pornografi itu sendiri dalam bahasa dipengaruhi oleh
perubahan dalam kehidupan sosial atau bahkan dipengaruhi oleh pergeseran
pandangan masyarakat. Dalam kamus bahasa Indonesia, pornografi diartikan
sebagai penggambaran perilaku secara erotis dengan gambar atau tulisan untuk
membangkitkan hasrat seksual. Atau materi bacaan yang sengaja dan semata-mata
dirancang untuk membangkitkan hasrat seksual.5
Secara etimologi menurut Adami Chazawi, mengemukakan bahwa artinya
pornografi berasal dari dua sukua kata, yakni porno dan grafi. Porno artinya suatu
perbuatan yang Asusila (berkaitan dengan seksual), sedangkan grafi adalah
gambar atau tulisan yang isi atau artinya menunjukan atau menggambarkan

4
Neng Djubaedah, Ponografi dan Pornoaksi Ditinjau dari Hukum Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2009), h. 144.
5
Topo Santoso, ‘Pornografi dan Hukum Pidana’, Hukum dan Pembangunan, Vol. VI, No. VI, 1996. h. 514.
sesuatu yang bersifat Asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
pornografi, yang dimaksud pornografi adalah yaitu :
“gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi,
kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang
memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat”.6
Sementara itu, menurut definisi beberapa ahli pornografi, dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Abu Al-Ghifari
Pornografi merupakan materi yang meliputi tulisan, gambar, lukisan,
tayangan audiovisual, pembicaraan, dan gerakan tubuh yang menampilkan
bagian tubuh tertentu secara kasar, dengan tujuan untuk memikat perhatian
orang dari lawan jenis.
b. Feminis dan Moralis Konservatif mendefenisikan pornografi sebagai
“Penggambaran meterial seksual yang mendorong pelecehan seksual yang
mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan.”
c. Menurut RUU Anti Pornografi
“Pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan,
foto, film, atau yang dipersamakan film, video terawang, tayangan atau media
komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-
terangan atau tersamar kepada bublik alat vital dan bagianbagian tubuh serta
gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan atau seksualitas,
serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut
diduga menimbulkan rangsangan nafsu birahi pada orang lain.”
Penggunaan istilah pornografi dapat dijelaskan dalam beberapa konteks :
a. pornografi sebagai media atau produk media, ini adalah penggunaan
istilah yang paling tepat dan resmi. Sebagai contoh pada kalimat:
konten pornografi sangat membahayakan moral masyarakat.

6
Rizky Maulana dan Putri Amelia, Kamus Pelajar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Lima Bintang), h. 331.
b. pornografi sebagai kata sifat yang mengandung nilai-nilai keamoralan.
Sebagai contohnya pada kalimat: gaya bicara orang itu cenderung ke
arah pornografi.7

Masyarakat secara umum menganggap pornografi sebagai bentuk


kelainan/kejahatan, karena melanggar hukum dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat. Karakteristik pornografi yang hanya menampilkan erotisisme,
hubungan seksual, dan pemanfaatan tubuh manusia dianggap masih sangat
sensitif oleh masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai moral dan
agama. Permasalahan seksualitas merupakan hal yang sangat pribadi dan tidak
boleh ditampilkan atau disebarluaskan kepada siapa saja.

2. Pengaturan Pornografi Dalam KUHP

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pornografi merupakan


tindak kejahatan yang masuk dalam kategori pelanggaran kesusilaan yang diatur
dalam Pasal 282, Yaitu :

a. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan dimuka umum


tulisan, gambaran atau benda yang telah diketahui isinya melanggar kesusilaan,
atau barang siapa dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau
ditempelkan dimuka umum, membuat tulisan, gambaran atau benda tersebut,
memasukkannya ke dalam negeri, meneruskannya, mengeluarkannya dari negeri,
atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau
dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkannya atau menunjukkannya
sebagai bisa diperoleh, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
b. Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum
tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, ataupun barang siapa
dengan maksud untuk disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum,
membikin, memasukkan ke dalam negeri, meneruskan mengeluarkannya dari
negeri,atau memiliki persediaan, ataupun barang siapa secara terang-terangan atau
dengan mengedarkan surat tanpa diminta, menawarkan, atau menunjuk 24
7
Istibsjaroh, Menimbang Hukum., 2007.
sebagai bisa diperoleh, diancam, jika ada alasan kuat baginya untuk menduga
bahwa tulisan, gambaran atau benda itumelanggar kesusilaan, dengan pidana
paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima
ratus rupiah.
c. Kalau yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam ayat pertama sebagai
pencarian atau kebiasaan, dapat dijatuhkan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak tujuh puluh lima ribu rupiah.

Tindakan-tindakan yang tertera dalam Pasal 282 KUHP, baik dalam ayat (1), (2),
maupun (3), dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yakni:

a. Menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terangterangan tulisan


dan sebagainya.
b. Membuat, membawa masuk, mengirimkan langsung, membawa keluar atau
menyediakan tulisan dan sebagainya untuk disiarkan, dipertontonkan atau
ditempelkan dengan terang-terangan.
c. Dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan
dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh
di dapat.
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi

Sejak tahun 2006, telah dilakukan pembahasan mengenai Rancangan Undang-


Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Dalam perjalanannya, RUU APP diubah menjadi RUU
Pornografi dan akhirnya, pada tanggal 30 Oktober 2008, DPR RI menyetujui UU
Pornografi melalui Sidang Paripurna dengan nama Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2008 tentang pornografi.

Pasal 1 angka 1 UU Pornografi menjelaskan bahwa : “Pornografi adalah


gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media
komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”.
Sementara di Pasal 44 Undang-Undang Pornografi dijelaskan bahwa
seseorang yang memiliki situs web yang menawarkan kisah pornografi, gambar
telanjang, film pornografi, dan berbagai informasi dengan muatan pornografi akan
dikenai Pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, dengan pidana
penjara minimal 6 (enam) bulan dan maksimal 12 (dua belas) tahun serta/atau denda
minimal sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan maksimal
sebesar Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).8

Di dalam Undang-Undang Pornografi terdapat sepuluh bab yang memberikan


sanksi bagi pelaku kejahatan pornografi. Setiap bab mengatur hukuman penjara dan
denda yang dapat dikenakan, baik secara terpisah maupun secara bersamaan,
sehingga Hakim dapat memutuskan untuk memberikan hukuman penjara, denda, atau
keduanya dengan menggunakan kata "dan/atau".9

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi


Elektronik

Indonesia telah memiliki regulasi hukum yang mengandung larangan


penyebaran materi pornografi melalui media elektronik, yaitu UU No. 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE mulai dipersiapkan
pada bulan Maret 2003 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Pada awalnya, RUU ITE diberi nama Undang-Undang Informasi Komunikasi dan
Transaksi Elektronik oleh Departemen Perhubungan, Departemen Perindustrian, dan
Departemen Perdagangan. Mereka juga bekerja sama dengan tim dari beberapa
universitas di Indonesia, seperti Universitas Padjajaran (Unpad), Institut Teknologi
Bandung (ITB), dan Universitas Indonesia (UI).

Setelah melalui perjalanan panjang selama lima tahun, pada tanggal 18 Maret
2008, naskah akhir UU ITE dibawa ke tingkat II untuk pengambilan keputusan. Pada
tanggal 25 Maret 2008, 10 fraksi menyetujui RUU ITE dan ditetapkan menjadi
Undang-Undang. Selanjutnya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani
naskah UU ITE menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008

8
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
9
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang kemudian dimuat dalam Lembaran
Negara Nomor 58 Tahun 2008.10

Pasal yang menetapkan tentang pelarangan penyebaran materi pornografi di


internet adalah Pasal 27 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 mengenai Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menyatakan bahwa : “Setiap Orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat
dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki
muatan yang melanggar kesusilaan”. Pasal 27 ayat (1) memiliki tiga komponen,
termasuk :

1. Unsur subyektif pada pelaku, yaitu unsur salah.


Dengan adanya "dengan sengaja", maka diperlukan bukti mengenai
kesengajaan dari pelaku dalam melakukan tindakan yang diancam. Karena
beberapa pelaku kejahatan siber kadang-kadang hanya melakukan tindakan
iseng atau bermain-main saja, tanpa ada niat dan motif yang sebenarnya untuk
kebutuhan ekonomi mereka, misalnya.
2. Unsur melawan hukum
Dalam pasal ini, tidak secara tegas dijelaskan bahwa "tanpa hak" memiliki
arti atau makna yang sama dengan "melanggar hukum". Jika diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris, istilah tersebut dapat digunakan sebagai "without right"
dalam hukum cyber di berbagai negara berbahasa Inggris. Oleh karena itu,
"tanpa hak" dapat diartikan sebagai "melanggar hukum" berdasarkan
pengertian dasar dari elemen melanggar hukum yang dalam kepustakaan
memiliki beberapa makna, seperti melanggar hukum (tagen het recht), tanpa
hak sendiri (zonder eigen recht), bertentangan dengan hukum pada umumnya
(in strijd met het recht in het algemeen), bertentangan dengan hak pribadi
seseorang (in strijd met een anders subjectief recht), dan bertentangan dengan
hukum objektif (tegen het objectieve recht).
3. Unsur Kelakuan
Dalam pasal ini dijelaskan ada tiga tindakan yang dilarang, yakni:
menyebarkan dan/atau mengirimkan dan/atau membuat tersedia informasi
10
Andi Hamzah, DelikdDelik Tertentu di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 154.
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi materi yang melanggar
norma kesopanan. Dalam hal ini, jelas ditegaskan bahwa hanya tiga tindakan
ini yang dapat dikenai sanksi oleh pasal ini, selain itu tidak termasuk dalam
sanksi oleh pasal ini. Dalam perspektif subjek yang terkena dampak dari
undang-undang ITE adalah semua orang, baik yang sudah dewasa maupun
anak-anak.

Sanksi pidana pasal 27 ayat (1) diatur dalam pasal 45 ayat (1) yaitu
hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).11

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pasal 27 ayat (1), di
antaranya :

1. Dalam hal penerapan pelaku (subjek hukum). Pelaku yang dapat dijerat oleh
ketentuan ini adalah pihak yang mengedarkan, mengirimkan, dan/atau
membuat tersedia Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki konten melanggar kesusilaan, sementara pihak yang memproduksi
dan yang menerima distribusi dan transmisi tersebut tidak dapat dijerat
dengan pasal ini. Selain itu, pihak yang mengakses informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik yang memiliki konten yang melanggar
kesusilaan juga tidak dapat dihukum oleh pasal ini. Terdapat tiga pihak yang
terlibat dalam penyebaran pornografi di internet, yaitu: produsen,
distributornya, dan pihak yang menerima dan/atau mengaksesnya.
2. Dalam hal muatan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik. Pasal
ini mengatur pelanggaran dalam hal penyebaran informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan.
Pelanggaran terhadapnya, termasuk pelanggaran terhadap kesopanan.12

KESIMPULAN

11
Andi Hamzah, DelikdDelik Tertentu di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 155.
12
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu di dalam KUHP, (Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h. 157.
1. Pornografi berasal dari dua sukua kata, yakni porno dan grafi. Porno artinya suatu
perbuatan yang Asusila (berkaitan dengan seksual), sedangkan grafi adalah gambar atau
tulisan yang isi atau artinya menunjukan atau menggambarkan sesuatu yang bersifat
Asusila atau menyerang rasa kesusilaan masyarakat.
2. Masyarakat secara umum menganggap pornografi sebagai bentuk kelainan/kejahatan,
karena melanggar hukum dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Karakteristik
pornografi yang hanya menampilkan erotisisme, hubungan seksual, dan pemanfaatan
tubuh manusia dianggap masih sangat sensitif oleh masyarakat yang masih memegang
teguh nilai-nilai moral dan agama. Permasalahan seksualitas merupakan hal yang sangat
pribadi dan tidak boleh ditampilkan atau disebarluaskan kepada siapa saja.
3. Pasal 44 Undang-Undang Pornografi dijelaskan bahwa seseorang yang memiliki situs
web yang menawarkan kisah pornografi, gambar telanjang, film pornografi, dan berbagai
informasi dengan muatan pornografi akan dikenai Pasal 4 ayat (1) UU No. 44 Tahun
2008 tentang Pornografi, dengan pidana penjara minimal 6 (enam) bulan dan maksimal
12 (dua belas) tahun serta/atau denda minimal sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan maksimal sebesar Rp. 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
4. Sanksi pidana pasal 27 ayat (1) diatur dalam pasal 45 ayat (1) yaitu hukuman pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).

DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Leo, Memahami Pornografi Dari Sudut Pandang HAM, Hotel Sheraton Media Jakarta,
2006
Penjelasan Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi
Adami Chazawi, Tindak Pidana Pornografi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010Andi Hamzah, Delik-
Delik Tertentu dalam KUHP, Jakarta: Sinar Grafika. 2019
Kurniyati Ero, Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Penyebaran Video Pornografi Melalui Media
Elektronik, 2021
Indriani Sepsilia, Peran Digital Forensik Dalam Pengungkapan Tindak Pidana Pornografi, 2021
Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta, Rineka Cipta, 1992
A Djazuli, Fiqih Jinayah, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000
Ahmad Mawardi Muslich,Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2000
Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik Budi Suharianto, Tindak Pidana Teknologi
Informasi, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi
Ghali Rizky Subagya, Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Dalam Pembuatan dan
Penyebaran Foto dan Video Bermuatan Pornografi Melalui Internet, 2021
Muhammad Arif Iskandar Agung, Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Penyebaran Video
Pornografi Melalui Jejaring Sosial Facebook, 2020

You might also like