Praktik Tanah Suci Buddha Amitabha

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 119

B U K U I N I D I B A G I K A N TA N PA P U N G U T B I AYA

Praktik Tanah Suci


Buddha Amitabha
Panduan Meditasi Berdasarkan
Tangga Menuju Sukawati

DIBABARKAN OLEH DITERBITKAN OLEH


Yang Mulia Dagpo Rinpoche pada Penerbit Padi Emas
tahun 2005 di Palembang penerbitpadiemas@gmail.com
PENTRANSKRIP DISTRIBUTOR LAMRIMNESIA
Martin Abram, Devina, David Care: +6285 2112 2014 1
Ananda, Billy Neovan, Bobby Info: +6285 2112 2014 2
PENYUNTING
Fb: Lamrimnesia &
Lobsang Rinchen Lamrimnesiastore
PERANCANG SAMPUL
Ig: @Lamrimnesia & @
Listya Dharani S. R. Lamrimnesiastore
P E N ATA L E TA K
Tiktok: @Lamrimnesia_
Charles Lee
E-mail: info@lamrimnesia.org
Hak cipta naskah terjemahan
Indonesia ©2018 Penerbit Padi Website: www.lamrimnesia.org;
Emas www.store.lamirmnesia.com
ISBN 978-602-52501-0-1
U N D A N G - U N D A N G R I N O M O R 2 8 TA H U N 2 0 1 4
T E N TA N G H A K C I P TA

Ketentuan Pidana Pasal 113 ayat (3) dan (4):


(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak
Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah).
Pasal 114:
Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan
sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil
pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Daftar Isi
iii Kata Pengantar

vii Biografi Singkat Dagpo Rinpoche

1 BAB 01 Pendahuluan

7 BAB 02 3 Jenis Praktisi

15 BAB 03 Deskripsi Sukawati dan Amitabha

21 BAB 04 Mengingat Kualitas dari Sukawati dan


Amitabha

33 BAB 05 Doa 7 Bagian

39 BAB 06 Menjelaskan Hakikat Buddha Amitabha

43 BAB 07 Doa 7 Bagian (Lanjutan)

51 BAB 08 Mendedikasikan Kebajikan

55 BAB 09 Permohonan untuk Terlahir di Sukawati

59 BAB 10 Kata Penutup

62 Sukhavati Vyuha Sutra

72 Penggabungan Meditasi Para Pelindung


Amitabha dan Avalokiteshvara yang
disebut Tangga Menuju Sukawati

96 Glosarium

102 Menghormati Buku Dharma

104 Dedikasi

105 Tentang Penerbit


Kata Pengantar

A
pa yang diajarkan dalam tradisi Buddhisme, atau yang
lebih dikenal sebagai Dharma, tidaklah sesederhana
kelihatannya. Bagi pandangan awam, menjadi
Buddhis mungkin disamakan dengan berpraktik meditasi
napas atau jalan secara rutin atau mencukur rambut dan
mengenakan jubah biksu. Kedua laku ini memang termasuk
dalam tradisi Buddhisme, tetapi mereka tidak bias dikatakan
mewakili keseluruhan bangunan filsafat Buddhis, berhubung
hal itu akan mereduksi keagungan Dharma menjadi sekadar
tampilan luar yang tampak eksotis oleh mata.
Praktik Dharma bukanlah aktivitas-aktivitas yang
tampak di luar; Dharma jauh melebihi semua itu. Praktik
Dharma juga bukan sekadar memungut satu bagian ritual
di sini dan satu bagian tradisi di sana. Praktik Dharma yang
tepat dan benar mensyaratkan adanya sebuah urutan yang
tepat dan benar pula. Ada hal-ihwal yang mesti dipelajari
dengan saksama sebelum memulai praktik. Lalu, setelah
pemahaman tertentu diperoleh, ada urutan yang mesti dijalani
setahap demi setahap dengan telaten; tahap berikutnya
mustahil diraih tanpa terlebih dulu merampungkan tahap
sebelumnya. Singkat kata, Dharma, seperti halnya semua

iii
aktivitas bermakna lainnya, butuh prosedur yang jelas dan
pasti.
Menimbang pentingnya poin-poin di atas, Penerbit
Padi Emas tergerak untuk menerbitkan sebuah transkrip
ajaran dari Dagpo Rinpoche tentang yoga guru sehubungan
dengan meditasi Buddha Amitabha, dari sebuah teks berjudul
“Tangga menuju Sukawati” gubahan Dagpo Lama Jamphel
Lhundrup. Ajaran ini bersumber pada Sukhavativyuha
Sutra tuturan Sang Buddha, yang menguraikan deskripsi
tentang bumi Sukawati dan juga pujian-pujian tentangnya.
Berdasarkan Sutra ini, Je Tsongkhapa telah menggubah teks
yang dinamakan Kunci untuk Bumi Mulia, yang kemudian
menjadi sumber inspirasi bagi Dagpo Lama Rinpoche untuk
menyusun Tangga menuju Sukawati.
Tujuan kita mempraktikkan ajaran ini, pertama-tama,
adalah untuk memeditasikan hakikat dari guru spiritual kita
dan Buddha Amitabha. Dari sini, kita bisa memeditasikan
maitri dan karuna sebagai landasan bagi tumbuhnya batin
pencerahan (berikut pandangan benar). Capaian terakhir
dari semua ini tentu saja adalah pembebasan dari samsara
demi kepentingan semua makhluk. Dan demikianlah, semoga
para pembaca bisa meraih persisnya tujuan tersebut melalui
transkrip edisi kali ini.

iv
vi
Biografi Singkat
Dagpo Rinpoche

D
agpo Rinpoche, juga dikenal dengan nama Bamchoe
Rinpoche, lahir pada tahun 1932 di distrik Konpo,
sebelah tenggara Tibet. Pada usia 2 tahun, beliau
dikenali oleh Dalai Lama ke-13 sebagai reinkarnasi dari
Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup. Ketika berusia
6 tahun, beliau memasuki Biara Bamchoe, dekat distrik
Dagpo. Di sana, beliau belajar membaca dan menulis, juga
mulai mempelajari dasar-dasar sutra dan tantra. Pada usia
13 tahun, beliau memasuki Biara Dagpo Shedrup Ling untuk
mempelajari 5 Topik Utama filsafat Buddhis, yaitu: Logika,
Paramita, Madhyamika, Abhidharma, dan Winaya.
Setelah belajar selama 11 tahun di Dagpo Shedrup
Ling, beliau melanjutkan studinya di Biara Universitas
Drepung. Biara ini terletak di dekat kota Lhasa. Beliau belajar
di salah satu dari 4 kolese dalam biara ini, yaitu Gomang
Dratsang. Di sana, beliau memperdalam pengetahuan
tentang filsafat Buddhis, khususnya yang berdasarkan
buku ajar Gomang Dratsang, yaitu komentar filosofis dari
Jamyang Shepa. Selama tinggal di Gomang Dratsang (dan
kemudian juga ketika berada di pengasingan), beliau belajar
di bawah bimbingan guru dari Mongolia yang termasyhur,

vii
Geshe Gomang Khenzur Ngawang Nyima Rinpoche. Karena
tempat belajar beliau tak jauh dari Lhasa selaku ibukota
Tibet, beliau juga berkesempatan untuk menghadiri banyak
pengajaran Dharma dan menerima banyak transmisi lisan
dari beberapa guru yang berbeda. Oleh karena itu, Dagpo
Rinpoche adalah salah satu dari sedikit guru pemegang
banyak silsilah ajaran Buddha.
Selama ini, Dagpo Rinpoche, yang bernama lengkap
Dagpo Lama Rinpoche Lobsang Jhampel Jhampa Gyatso,
telah belajar dari 34 guru, khususnya dari 2 pembimbing
utama Dalai Lama ke-14–Kyabje Ling Rinpoche dan Kyabje
Trijang Rinpoche–dan juga dari Dalai Lama ke-14 sendiri.
Di bawah bimbingan mereka, beliau mempelajari 5 Topik
Utama dan tantra (beliau telah menerima banyak inisiasi
dan menjalani retret). Selain filsafat Buddhis, beliau juga
menekuni astrologi, puisi, tata bahasa, dan sejarah.
Beliau belajar di Gomang Dratsang sampai invasi
komunis ke Tibet tahun 1959. Pada tahun itu, di usia 27
tahun, beliau menyusul Dalai Lama ke-14 dan guru-guru
Buddhis lainnya menuju pengasingan di India. Tak lama
setelah ketibaannya di India, beliau diundang ke Perancis
untuk membantu para Tibetolog Perancis dalam penelitian
mereka tentang agama dan budaya Tibet. Para ilmuwan ini
tertarik untuk mengundang beliau karena intelektualitas
serta pemikiran beliau yang terbuka. Dengan nasihat dan
berkah dari para gurunya, beliau pun memenuhi undangan
tersebut dan mendapat beasiswa Rockefeller. Beliau adalah
guru Tibet pertama yang tiba di Perancis. Di sana, beliau
mengajar bahasa dan budaya Tibet selama 30 tahun di
School of Oriental Studies, Paris. Setelah pensiun, beliau
tetap melanjutkan studi dan riset pribadinya. Beliau telah
banyak membantu menyusun buku-buku tentang Tibet dan

viii
Buddhisme, juga berpartisipasi dalam berbagai program di
televisi dan radio.
Setelah mempelajari bahasa Perancis dan Inggris serta
menyerap pola pikir orang Barat, pada tahun 1978 beliau
akhimya bersedia untuk mulai mengajar Dharma mulia dari
Buddha Shakyamuni. Pada tahun itu, beliau mendirikan
pusat Dharma yang bernama Institut Ganden Ling di Veneux-
Les Sablons, Perancis. Di sana, beliau memberi pelajaran
tentang Buddhisme, doa, serta meditasi. Sejak tahun 1978
hingga sekarang, beliau telah banyak mengunjungi berbagai
negara, di antaranya Italia, Belanda, Jerman, Singapura,
Malaysia, dan Indonesia.
Beliau mulai mengunjungi Indonesia pada tahun
1988. Sejak saat itu, setiap tahun beliau secara rutin datang
ke Indonesia untuk membabarkan Dharma, memberikan
transmisi ajaran Buddha (khususnya ajaran Lamrim atau
Tahapan Jalan menuju Pencerahan), dan memberikan
beberapa inisiasi serta berkah.

RIWAYAT LAMPAU DAGPO RINPOCHE


Dagpo Rinpoche dikenali oleh Dalai Lama ke-13
sebagai reinkarnasi dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel
Lhundrup. Dagpo Rinpoche terdahulu ini sebelumnya sudah
dikenali sebagai reinkarnasi seorang guru dari Indonesia
yang bernama Suwarnadwipa Dharmakirti atau Serlingpa.
Serlingpa terlahir dalam keluarga penguasa Sriwijaya,
yang juga merupakan bagian dari wangsa Sailendra di
Jawa, berhubung Balaputradewa selaku Raja Sriwijaya
adalah putra dari Samaratungga, pewaris takhta Sailendra.
Wangsa Sailendra sendiri dikenal sebagai pembangun Candi
Borobudur.

ix
Keluarga Serlingpa juga berperan dalam pelestarian
Universitas Agama Buddha Nalanda, yang berkembang
di masa pemerintahan kerajaan Sriwijaya pada abad ke-
7. Serlingpa kemudian menjadi biksu dengan nama tahbis
Dharmakirti. Beliau melatih diri di berbagai tempat, termasuk
menuntut ilmu sampai ke India. Berkat usahanya yang keras
dan himpunan kebajikannya yang sangat banyak, akhimya
beliau berhasil mencapai realisasi tertinggi sebagai seorang
Bodhisatwa. Kemasyhuran beliau sebagai seorang guru
Buddhis, khususnya sebagai pemegang silsilah bodhicita
(batin pencerahan), tersebar jauh hingga ke India, Cina,
serta Tibet. Di Tibet sendiri, beliau dikenal dengan nama
Lama Serlingpa.
Guru besar lainnya, Atisha Dipankara Srijnana,
menempuh perjalanan laut dari India selama 13 bulan
semata-mata untuk bertemu dengan Serlingpa di Indonesia
dan mendapatkan instruksi tentang bodhicita dari beliau.
Serlingpa memberikan transmisi ajaran yang berasal dari
Manjushri, yaitu “Menukar Diri dengan Makhluk Lain.”
Setelah belajar dari Serlingpa, Atisha kembali ke India dan
kemudian diundang ke Tibet. Di sana, Atisha memainkan
peranan yang sangat penting untuk membawa pembaharuan
bagi ajaran Buddha. Atisha menjadi salah satu mahaguru
yang sangat dihormati dalam Buddhisme Tibet. Kedua guru
besar ini kelak akan bertemu kembali di masa depan dalam
hubungan guru-murid yang sama, yaitu ketika Atisha terlahir
kembali sebagai Pabongkha Rinpoche dan menerima ajaran
tentang bodhicita dari Dagpo Lama Rinpoche Jhampel
Lhundrup. Dagpo Lama Rinpoche Jhampel Lhundrup sendiri
berperan penting dalam menghidupkan kembali ajaran
Lamrim di bagian selatan Tibet. Beliau sangat terkenal
karena penjelasannya yang gamblang tentang Lamrim dan

x
realisasinya akan bodhicita. Banyak guru Lamrim pada masa
itu yang mendapatkan transmisi dan penjelasan Lamrim
dari beliau sehingga akhirnya meraih realisasi atas ajaran
Lamrim.
Silsilah reinkarnasi Dagpo Rinpoche yang lain
adalah sebagai berikut. Pada masa Buddha terdahulu,
beliau pernah lahir sebagai Bodhisatwa Taktunu, yang rela
menjual dagingnya sendiri untuk memberi persembahan
kepada gurunya. Selain itu, yogi India bernama Wirupa dan
cendekiawan bernama Gunaprabha juga diyakini sebagai
inkarnasi dari Dagpo Rinpoche.
Di Tibet sendiri, guru-guru yang termasuk ke dalam
silsilah reinkarnasi Dagpo Rinpoche adalah Marpa Lotsawa
Sang Penerjemah, sang pendiri mazhab Kagyu. Beliau
terkenal sebagai guru yang membimbing Jetsun Milarepa
mencapai pencerahan dengan latihan yang sangat keras.
Selain itu, juga ada Londroel Lama Rinpoche, guru meditasi
dan cendekiawan penting pada abad ke-18 yang merupakan
siswa dari Dalai Lama ke-7. Seperti Milarepa, Londroel
Rinpoche juga mempunyai masa muda yang sulit sebelum
akhirnya menjadi salah satu guru terkemuka yang menyusun
risalah Buddhis sebanyak 23 jilid. Sejumlah kepala biara
Dagpo Shedrup Ling juga termasuk ke dalam silsilah
reinkarnasi Dagpo Rinpoche.

xi
BAB

01
Pendahuluan

1
Rinpoche memulai sesi pengajaran dengan terlebih dulu mengucapkan
selamat datang kepada anggota Sangha, dan secara umum kepada semua
peserta yang ada di wihara, sebelum kemudian mengajak semuanya
merenungkan keberuntungan karena telah memiliki sebuah wihara sebagai
tempat mendengarkan Dharma berikut anggota Sangha penghuninya
sebagai sahabat Dharma.

M
emang Buddhadharma sedang menyebar di dunia,
namun tidak begitu banyak tempat dimana terdapat
suatu komunitas yang cukup besar bagi banyak orang
untuk bisa berkumpul secara rutin untuk mempraktikkan
Dharma. Saya sendiri sering melakukan perjalanan jauh
untuk mengajar Dharma, namun kesempatan untuk bertemu
dengan satu kelompok besar seperti ini lebih jarang terjadi.
Satu-satunya pengecualian mungkin adalah India, dimana
kalangan pengungsi dari Tibet membentuk komunitas
Buddhis yang cukup besar.
Saya merasa bahwa tidak banyak yang bisa
disampaikan kepada Anda karena hampir semua orang di
sini telah mempraktikkan Buddhadharma. Namun, mungkin
ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan sehubungan
dengan tradisi Buddhisme yang bersumber di Tibet. Seorang
guru besar dari Tibet yang bernama Gungthang Rinpoche
memberi nasihat yang baik sekali. Namun sebelumnya,
jangan sekali-kali Anda bayangkan bahwa nasihat ini hanya
ditujukan kepada orang Tibet atau Buddhis dari Tibet.
Nasihat yang beliau berikan adalah hal yang berlaku bagi
semua penganut Buddhadharma di dunia ini.

2
Hal pertama yang diungkapkan Gungthang Rinpoche
adalah belajar dengan baik merupakan pintu masuk ke
Dharma; ini adalah pintu untuk benar-benar memasuki
praktik Dharma. Yang dimaksud oleh beliau adalah jika
kita betul-betul mau mempraktikkan Dharma dengan baik,
ini harus dilandasi suatu pengetahuan Dharma yang baik.
Kita harus mempelajarinya, dan satu-satunya cara adalah
dengan pertama-tama mendengarkan petunjuk-petunjuk
terkait Dharma, lalu memperdalamnya dengan studi dan
kemudian memakainya sebagai bahan perenungan.
Jika Anda tidak mempelajari atau memahami bagaimana
cara mempraktikkan Dharma dengan baik, maka meskipun Anda
mempraktikkannya dengan motivasi yang baik dan sebagainya,
usaha Anda tidak akan efektif. Ini sama halnya dengan aktivitas
memasak. Pertama-tama, tentunya kita harus belanja bahan-
bahan yang baik, tapi kita juga harus tahu bagaimana caranya
mempersiapkan bahan-bahan itu sesuai urutannya, derajat
suhunya, dan takaran bumbunya. Semuanya harus dilakukan
dengan teliti dan baik sesuai pengetahuan yang kita miliki. Jika
kita tidak melakukan itu, misalnya kita seenaknya saja dengan
tata cara yang telah dianjurkan, maka alih-alih menghasilkan
makanan yang sedap, yang akan kita peroleh adalah sesuatu
yang tidak bisa dimakan sama sekali.
Jadi, untuk mempraktikkan Dharma, kita juga harus
mengetahui apa yang dilakukan, cara kita melakukannya,
urutannya, dan sebagainya agar kita bisa mendapatkan hasil
yang diharapkan dari praktik itu. Misalnya, untuk membuat
persembahan, atau bermeditasi, atau mungkin berdana, kita
harus mengetahui cara melakukan semua praktik ini, sikap
mental yang harus diusung, dan sebagainya. Semuanya harus
kita pelajari dan ketahui agar kita bisa mendapatkan hasil yang
diinginkan dari praktik Dharma tersebut.

3
Kita bisa melihat praktik meditasi sebagai contohnya.
Mungkin Anda sudah tahu bahwa ada 2 bentuk meditasi,
yakni meditasi analitik dan meditasi konsentrasi. Kalau
misalnya kita tidak mempelajari apa yang merupakan
rintangan-rintangan bagi meditasi dan pemecahan bagi
semua rintangan tersebut, nanti kita yang akan repot sendiri
dan berisiko salah paham.
Kita tahu bahwa meditasi konsentrasi adalah
memusatkan perhatian kita pada suatu objek yang merupakan
sesuatu yang ingin kita kembangkan. Nah sekarang, kalau
kita tidak mempelajari itu semua, meditasi konsentrasi
yang kita praktikkan akan menimbulkan berbagai macam
hal dalam batin kita yang mengganggu konsentrasi kita.
Dan kalau kita tidak tahu cara berurusan dengan itu dan
memecahkan masalahnya, kita akan mengalami kesulitan
yang luar biasa dalam meditasi kita. Jadi, perlu sekali untuk
mempelajari semua seluk-beluk terkait praktik yang akan
kita lakukan. Dengan demikian, kita akan bisa mendapatkan
suatu kemajuan dari mendengar kata-kata Sang Buddha
yang sangat berharga–Tripitaka.
Apa yang terkandung dalam Tripitaka? Yang perlu
kita pelajari, pertama-tama, adalah Winaya dalam Winaya
Pitaka. Di dalam Winaya, kita akan menemukan instruksi-
instruksi unggul untuk perilaku kita, atau dengan kata lain,
sila-sila yang harus kita pertahankan. Berikutnya, dalam Sutra
Pitaka, kita akan menemukan penjelasan-penjelasan dari Sang
Buddha tentang konsentrasi. Dan dalam Abhidharma Pitaka,
kita akan menemukan aneka penjelasan tentang objek-objek
kebijaksanaan atau tentang kebijaksanaan itu sendiri.
Tujuan kita mempelajari Tripitaka, ketiga Pitaka
itu, adalah untuk memperoleh sila atau etika moral yang
baik, konsentrasi yang baik, dan kebijaksanaan yang

4
unggul. Dan mengapa kita harus memperoleh semua ini?
Sebetulnya jawabannya sangat sederhana: kita semua ingin
bahagia dan kita ingin bahagia untuk selama-lamanya.
Kita tidak mau lepas dari kebahagiaan, dan kita juga ingin
lepas dari penderitaan. Tapi, selama kita masih berada
di dalam samsara, kita tidak akan memperolehnya. Satu-
satunya cara kita bisa keluar dari kehidupan yang berulang-
ulang ini adalah dengan mengembangkan moralitas yang
murni, memperoleh konsentrasi yang sempurna, dan juga
mendapatkan kebijaksanaan unggul yang sempurna pula.
Jadi idealnya, kalau kita ingin memperoleh ketiga hal
itu dan bebas dari samsara, tentunya kita harus mempelajari
dan mendalami Tripitaka. Namun, kita juga harus tahu bahwa
ada banyak sekali hal yang terkandung di dalam Tripitaka,
mungkin terlalu banyak untuk kita pelajari. Untungnya ada
kemungkinan lain, yakni dengan mempelajari ulasan-ulasan
agung yang telah dibuat oleh guru-guru besar di India tentang
esensi atau inti dari Tripitaka. Tapi sebenarnya, mungkin ada
yang merasa bahwa ulasan-ulasan itu pun sudah terlalu luas
cakupannya. Kalau demikian faktanya, paling tidak kita bisa
melakukan studi yang lebih mendalam tentang teks-teks yang
memadatkan atau meringkas apa yang terkandung dalam
Tripitaka dan ulasan guru-guru besar. Salah satu contoh
teks ini adalah Bodhi-patha-pradipam atau Pelita Sang Jalan
menuju Pencerahan karya Guru Atisha.
Dan sebagai tambahan, mempelajari teks Pelita Sang
Jalan ini pun butuh berbagai tingkatan. Namun, apapun
yang kita lakukan, yang penting adalah melakukannya
dengan baik, saksama, dan teliti agar kita bisa mengetahui
apa yang kita lakukan pada saat praktik dan memahami
praktik itu sendiri. Inilah cara untuk memperoleh hasil yang
kita inginkan dari praktik Dharma kita.

5
Dengan demikian, kita telah memahami apa maksud
dari perkataan Gungthang Rinpoche: bahwa mempelajari
dan mengetahui apa yang kita akan praktikkan merupakan
pintu masuk ke Dharma. Jadi sekarang, yang perlu kita
ketahui adalah apa yang membuat satu praktik kebajikan
menjadi sebuah praktik Dharma. Alasannya, kita tahu bahwa
sebenarnya orang yang tidak menganut Buddhadharma pun
bisa melakukan kebajikan, sedangkan di sisi lain tidak semua
kebajikan bisa digolongkan sebagai praktik Dharma. Jadi
sekarang, kita harus tahu apa yang membuat suatu praktik
menjadi praktik Dharma.
Kita harus membedakan antara praktik Dharma dan
praktik duniawi dan mempelajari dimana sebetulnya letak garis
pemisah antara kedua hal itu. Dikatakan bahwa garis pemisah
antara praktik duniawi dan praktik Dharma ditentukan oleh
tujuan kita melakukan suatu tindakan. Jadi, kalau tujuan kita
melakukan suatu tindakan adalah untuk memenuhi kebutuhan
di kehidupan saat ini, maka apa yang kita lakukan adalah
kegiatan duniawi. Contohnya, kalau tujuan kita berdana
sebenarnya untuk mengharapkan rezeki dalam kehidupan saat
ini, maka tindakan berdana kita adalah bertujuan duniawi.
Kalau tujuan atau motivasi kita adalah mengharapkan sesuatu
yang baik dalam kehidupan mendatang, maka tindakan kita
akan menjadi praktik Dharma minimum (maksudnya, ada
motivasi yang lebih unggul ketimbang sekadar mengharapkan
kebahagiaan di kehidupan mendatang).
Demikianlah dikatakan oleh Gungthang Rinpoche,
bahwa esensi dari praktik Dharma adalah meninggalkan
kemelekatan pada kehidupan saat ini. Lalu, hal lain yang
diperlukan agar praktik kita menjadi praktik Dharma adalah
mengaitkannya dengan perlindungan pada Triratna, atau
dengan kata lain, dengan berlindung pada Triratna.

6
BAB

02
3 Jenis Praktisi

7
G
ungthang Rinpoche telah mengatakan bahwa akar dari
Praktik Dharma yang sebenarnya adalah pemikiran
yang baik. Dan beliau telah menjelaskan bahwa
terdapat 3 macam pikiran yang baik untuk mempraktikkan
Dharma, yang dikaitkan dengan 3 level atau tingkatan motivasi
dalam mempraktikkan Dharma.
Yang pertama adalah menginginkan kehidupan yang baik
dalam kelahiran berikutnya. Namun, dalam kasus ini kita masih
belum lepas dari samsara, melainkan hanya meraih kehidupan
yang baik dalam samsara. Ini disebut sebagai motivasi awal
atau kecil. Yang kedua adalah menyadari bahwa kehidupan
dalam samsara akan senantiasa rentan, dalam artian bahwa
tidak ada jaminan kalau kita akan terus-menerus menikmati
kebahagiaan yang saat ini kita rasakan. Dengan pikiran ini, kita
pun memunculkan tekad untuk bebas dari samsara. Ini disebut
sebagai motivasi sedang atau menengah. Yang ketiga adalah
menyadari bahwa sebenarnya semua makhluk yang berada
di dalam samsara juga mengalami penderitaan yang sama
dengan kita, bahkan lebih berat. Oleh karena itu, didorong
oleh welas asih dan dengan mengingat bahwa semua makhluk
pernah dekat dengan kita, kita pun merasa berutang budi pada

8
mereka dan tidak tega meninggalkan mereka di dalam samsara.
Pemikiran ini akan memunculkan tanggung jawab pribadi untuk
membebaskan semua makhluk dari samsara.Ini disebut sebagai
motivasi besar atau agung. Jadi, praktik Dharma kita harus
selalu dilandasi oleh salah satu dari ketiga motivasi ini.
Kalau misalnya kita bisa mengumpulkan semua
orang yang mempraktikkan Buddhadharma di suatu tempat,
kita bisa melihat bahwa akan terdapat 4 golongan. Tiga
golongan pertama adalah mereka yang berpraktik karena
didasari motivasi kecil, menengah, dan agung. Lalu, kita
akan temukan golongan keempat, yakni orang-orang
yang “mempraktikkan Buddhadharma” karena pengaruh
kebudayaan. Entah karena mereka lahir di keluarga Buddhis
atau karena berada di negara yang mayoritasnya Buddhis.
Namun, mereka hanya memikirkan hal-hal yang
berkaitan dengan kehidupan sekarang saja. Jadi sebenarnya,
Buddhis hanya menjadi cap bagi mereka tanpa adanya suatu
praktik Dharma yang sejati. Golongan keempat sebenarnya
tidak bisa dikatakan praktisi Dharma karena mereka hanya
memikirkan kehidupan saat ini belaka, entah itu kesehatan,
kekayaan, dan sebagainya. Ini adalah suatu cara berpikir
yang sangat terbatas. Paling-paling satu kehidupan ini bisa
berlangsung berapa tahun? 60, 70, 80 dan mungkin kalau
beruntung 90, dan mungkin kalau beruntung sekali 100
tahun. Tapi setelah itu? Jadi sekarang, semuanya bergantung
pada Anda sendiri untuk memilih, kira-kira berdasarkan
motivasi Anda, ke dalam golongan mana Anda termasuk.
Jadi, orang yang termasuk ke dalam golongan keempat
tidak bisa dikatakan sebagai praktisi Dharma; mereka lebih tepat
dikatakan sebagai orang duniawi. Mengapa? Karena orang yang
demikian hanya memikirkan kehidupan saat ini dan berada di
bawah pengaruh 8 angin duniawi. Perbedaan antara orang

9
awam (duniawi) dan orang yang melakukan praktik Dharma
(spiritual) sering kali merujuk pada penahbisan yang diambil.
Namun sebenarnya, yang menandakan atau membedakan
antara praktik duniawi dan praktik Dharma adalah motivasi
di balik mereka. Kalau mereka didorong oleh 8 angin duniawi,
maka mereka adalah tindakan duniawi. Kalau tidak, maka
mereka akan termasuk ke dalam salah satu dari ketiga motivasi
yang melandasi sebuah praktik Dharma.
Poin utama dari praktisi motivasi awal adalah mereka
menyadari bahwa sebenarnya kehidupan saat ini sangat
terbatas waktunya, bahwa kematian pasti akan datang dan
mereka harus melepaskan segala sesuatu yang dimiliki ketika
itu terjadi. Karena menyadari ini, mereka lalu tertarik pada
apa yang akan terjadi kemudian, memikirkannya, kemudian
mempunyai motivasi untuk melakukan praktik Dharma demi
mendapatkan kehidupan yang baik di masa depan. Mereka
tidak bisa melihat lebih jauh dari itu karena mereka masih
mempunyai kemelekatan terhadap samsara. Jadi, mereka
hanya memusatkan upaya mereka untuk mendapatkan
kehidupan yang baik di dalam samsara. Dan karena takut
akan kemungkinan yang buruk di masa depan, mereka akan
berlindung kepada Triratna, kemudian menjalankan sila-sila
yang ada (termasuk 10 ketidakbajikan yang harus dihindari).
Mereka juga akan menambahkan ini dengan praktik-
praktik seperti berdana dan sebagainya agar mendapatkan
kondisi-kondisi yang baik (kekayaan, kecantikan, dll) untuk
mengiringi kelahiran mendatang mereka. Mereka masih
melekat pada semua itu, jadi yang mereka praktikkan adalah
cara-cara untuk mendapatkan itu.
Orang yang berada dalam kategori kedua adalah mereka
yang mempunyai sikap atau pandangan yang lebih dalam
ketimbang golongan pertama. Golongan kedua akan melihat

10
bahwa sebetulnya kehidupan yang baik di dalam samsara
merupakan sesuatu yang masih sangat terbatas. Kenapa? Karena
seperti kita ketahui, sejak waktu yang tanpa awal ini kita telah
mengumpulkan banyak sekali karma (utamanya karma buruk),
dan kita menyadari bahwa semua karma itu tidak akan hilang
dengan sendirinya. Maka logikanya, pada suatu saat nanti,
karma buruk itu akan muncul dan berbuah. Jadi, cepat atau
lambat hal itu akan terjadi, dengan satu atau lain cara. Artinya,
kebahagiaan yang kita rasakan sekarang akan hancur dengan
sendirinya. ”Kebahagiaan” dalam samsara, dengan kata lain,
bukanlah sesuatu yang bisa dipertahankan dan diandalkan,
sehingga golongan kedua ini akan mempunyai keinginan atau
tekad untuk keluar dari siklus samsara.
Golongan kedua memahami bahwa selama berada
dalam samsara, kita tidak bisa mendapatkan kebahagiaan.
Tapi, jangan sampai kita berpikir bahwa samsara itu adalah
tempat lain atau dunia lain yang harus kita cari jalan keluarnya.
Berada dalam samsara bermakna kita memiliki skandha-
skandha tercemar. “Tercemar” berarti bahwa kita mendapatkan
skandha-skandha ini di bawah pengaruh karma dan klesha.
Kita akan selalu mengalami penderitaan selama kita memiliki
skandha-skandha tercemar ini, sehingga bebas dari samsara
berarti menanggalkan skandha-skandha tersebut.
Kalau kita perhatikan apa yang terjadi bila kita memiliki
kelima skandha (tubuh dan perasaan dan sebagainya) yang
didapatkan secara tercemar, kita akan tahu bahwa setiap saat
pasti ada salah satu dari ketiga jenis perasaan yang timbul
dalam diri kita, yaitu perasaan yang menyenangkan, tidak
menyenangkan, dan netral. Ketiga ini pasti akan ada selama
kita memiliki skandha-skandha yang tercemar. Makhluk-
makhluk yang berada di alam neraka tentunya akan lebih
banyak merasakan penderitaan yang nyata. Ini juga dirasakan

11
oleh mereka yang berada di alam hantu kelaparan. Bagi
mereka yang lahir di alam binatang, penderitaan yang nyata
juga dirasakan, meskipun tidak seberat di alam neraka dan
hantu kelaparan. Mereka yang terlahir sebagai manusia atau
sebagai dewa tentunya tidak akan mengalami begitu banyak
penderitaan yang nyata. Dalam dunia manusia, khususnya, kita
merasakan sesuatu yang lebih tercampur.
Namun, kalau kita pelajari apakah sebenarnya
perasaan menyenangkan itu, ia boleh dikatakan adalah
penderitaan karena perubahan karena suatu saat ia akan
berubah dan tidak bisa dipertahankan. Ada juga yang
dinamakan perasaan netral, tapi ini tidak begitu banyak
kita rasakan sebagai manusia, melainkan lebih banyak
dirasakan di alam-alam arupadhatu. Tapi, perasaan netral
pun masih disebut sebagai penderitaan, yaitu yang bersifat
potensial. Kenapa? Karena ia merupakan potensi yang selalu
ada dan hadir, sebagai benih-benih penderitaan yang selalu
terkandung oleh hal-ihwal di dalam samsara. Oleh karena
itu, ketiga jenis perasaan yang disebutkan di atas pada
dasarnya berhakikat penderitaan. Inilah sebabnya golongan
kedua, praktisi motivasi menengah, ingin menanggalkan
skandha-skandha yang didapatkan secara tercemar ini.
Terkait golongan ketiga, sebenarnya mereka melihat hal
yang sama seperti yang dilihat oleh praktisi motivasi menengah.
Mereka juga tidak tahan lagi kalau harus terus-menerus berada
di dalam samsara dan mengalami penderitaan tanpa akhir.
Namun, mereka kemudian juga melihat bahwa semua makhluk
yang berada di dalam samsara mengalami kondisi yang sama,
ingin terbebas dari penderitaan yang sama, serta mendapatkan
kebahagiaan yang sejati dan bisa diandalkan. Jadi, mereka
kemudian merasakan suatu perasaan iba yang demikian besar
ketika melihat penderitaan yang dialami oleh makhluk lain.

12
Mereka juga ingin melihat semua makhluk yang di dalam samsara
terbebas. Inilah yang disebut karuna/welas asih. Dan bukan
hanya bebas, tapi juga mendapatkan kebahagiaan sejati. Inilah
yang disebut maitri/cinta kasih. Dengan sikap yang istimewa ini,
mereka pun bertekad untuk menjadi Buddha. Inilah motivasi
mereka. Mereka yang mempunyai motivasi demikian disebut
sebagai makhluk agung.
Demikianlah kita telah melihat adanya 3 golongan
praktisi sesuai dengan motivasi mereka masing-masing.
Sekarang, Anda tinggal mengingat itu dan memikirkan kira-
kira golongan mana yang sesuai dengan motivasi, kemampuan,
keinginan Anda, dan sebagainya. Tentunya yang paling ideal
adalah golongan ketiga, dimana kita mempunyai suatu tekad
mencapai Kebuddhaan demi kesejahteraan semua makhluk di
dalam samsara. Inilah yang paling ideal. Namun, belum tentu
semua orang mempunyai kemampuan atau kapasitas untuk
itu. Jadi, kalau memang kita tidak mempunyai kapasitas
golongan ketiga ini, mungkin kita harus melihat yang mana
di antara kedua golongan sisanya yang cocok dengan diri
kita. Apa pun yang menjadi pilihan kita dan dirasakan sesuai
dengan motivasi kita, hendaknya motivasi tersebut selalu
hadir, terutama pada saat kita melakukan praktik Dharma.
Selanjutnya, setelah selesai melakukan kebajikan, adalah
penting bahwa Anda melakukan apa yang kita sebut sebagai
dedikasi, yakni melimpahkan karma baik dari kebajikan untuk
salah satu dari ketiga tujuan yang kita inginkan. Demikianlah
ketiga fase dalam melakukan suatu tindakan: fase pertama,
yaitu persiapan; lalu fase utama, yaitu melakukan kebajikan
itu sendiri; kemudian yang terakhir adalah dedikasi. Motivasi
akan membuat karma kita sangat kuat dan sempurna. Dengan
demikian, ini akan menjadi penyebab untuk mendapatkan apa
yang kita inginkan; suatu penyebab yang jauh lebih ampuh.

13
Motivasi yang kita bangkitkan sebelum melakukan
sesuatu sangatlah penting. Motivasi pada saat atau persis ketika
kita melakukan sesuatu disebut sebagai motivasi sementara.
Lalu, ada juga yang kita sebut sebagai motivasi penyebab.
Sebagai gambaran, kalau misalnya kita bangun pagi, maka
begitu sadar kita semestinya berpikir dan bersyukur bahwa
kita masih terus hidup saat ini dengan tubuh manusia yang
berharga. Dengan kehidupan sebagai manusia, kita bisa
melakukan banyak hal, berpraktik Dharma dan sebagainya.
Dengan mengingat ini, kemudian kita bertekad bahwa segala
sesuatu yang dilakukan hari ini akan ditujukan untuk salah
satu dari ketiga tujuan sesuai motivasi yang kita punya. Lalu,
kita juga berpikir semoga apa yang kita lakukan hari ini akan
menjadi sesuatu yang berguna bagi semua makhluk. Ini yang
disebut sebagai motivasi penyebab. Kemudian, pada saat hari
itu bergulir, akan ada momen-momen dimana kita melakukan
hal-hal tertentu. Pada saat itu, kita juga membangkitkan
motivasi baik yang sesuai dengan salah satu dari ketiga tujuan.
Motivasi itulah yang disebut sebagai motivasi sementara.
Lalu, di malam hari ketika kita akan tidur, kita mengingat
semua kebajikan yang telah dilakukan pada hari itu dan
mendedikasikannya untuk mencapai salah satu dari ketiga
tujuan yang menjadi motivasi dasar kita.

Rinpoche menutup sesi dengan berharap bahwa kita semua betul-betul


mengingat apa yang telah diajarkan sehingga ajaran bisa dipakai dalam
kehidupan sehari-hari. Sesi ditutup dengan dedikasi: harapan agar semua
makhluk bisa membangkitkan dan senantiasa menjaga bodhicita di dalam
batin mereka.

14
BAB

03
Deskripsi Sukawati
dan Amitabha

15
Rinpoche memulai sesi dengan menyapa semua peserta, sebelum
kemudian mengungkapkan kegembiraan beliau karena keberuntungan
besar yang telah mempertemukan semua orang di wihara untuk mengikuti
sebuah sesi pengajaran Dharma. Lalu Rinpoche kembali menekankan
pentingnya memanfaatkan waktu yang kita punya untuk mempelajari dan
merenungkan ajaran Buddha. Aktivitas belajar ini sendirimesti diiringi
dengan pembangkitan suatu motivasiyang tepat dan sesuai dengan ajaran
Buddha.

P
ertama-tama, kita semua harus ingat kalau diri kita
adalah manusia. Ini mudah untuk diingat. Namun,
yang harus kita pahami betul adalah potensi luar biasa
dari tubuh manusia ini. Faktanya, jika kita hanya memakai
kehidupan kita sebagai manusia ini untuk mencari nafkah,
untuk memberi makan kepada anak dan keluarga kita, atau
untuk tujuan duniawi lainnya, maka kita sama sekali tidak
memanfaatkan potensi luar biasa yang kita punya, ibarat
memakai batangan emas untuk menambal lubang jalan.
Dengan kata lain, tubuh manusia kita lebih bernilai dari
pada sekadar pemenuhan tujuan duniawi.
Idealnya, kita tidak hanya memikirkan kebahagiaan
dalam kehidupan saat ini, karena pemikiran itu sangatlah
terbatas. Sebagai Buddhis, kita sadar bahwa ada kehidupan-
kehidupan berikutnya setelah kehidupan ini. Jadi, mestinya
kita juga mengupayakan kebahagiaan untuk kehidupan-
kehidupan mendatang tersebut. Dan kalau bisa, kita juga
harus berupaya untuk tidak hanya memenuhi kebahagiaan
pribadi kita, tapi juga kebahagiaan semua makhluk.
Kemudian, kalau kita ingin mendapatkan kebahagiaan
yang sama seperti yang kita rasakan dalam kehidupan saat

16
ini, kita harus mendapatkan kelahiran manusia ataupun
kelahiran-kelahiran yang lebih tinggi. Alasannya sederhana:
tidak mungkin kita bisa menikmati kebahagiaan yang kita
rasakan saat ini kalau kita terlahir di alam rendah.
Berikutnya, andaikan kita memang mendapatkan
kelahiran sebagai manusia dalam kehidupan berikutnya. Kita
memang bisa menikmati kebahagiaan seperti yang kita nikmati
sekarang, namun apa yang akan terjadi setelah kehidupan itu
berlalu? Tidak ada jaminan bahwa kita akan kembali meraih
kebahagiaan yang sama. Akan jauh lebih terjamin dan lebih
baik jika kita bisa mendapatkan suatu kebebasan sempurna dari
samsara berikut semua penderitaan di dalamnya.
Namun, meskipun misalnya kita telah mencapai
nirwana atau kebebasan dari samsara, bukan berarti bahwa
tugas kita lantas sudah selesai, belum tentu bahwa kita
sudah mewujudkan segala potensi kita, karena semestinya
kita juga memikirkan kesejahteraan makhluk lain. Dan satu-
satunya cara untuk mewujudkan keseluruhan potensi kita
dan menyempurnakan kemampuan kita membantu makhluk
lain adalah dengan mencapai Kebuddhaan yang lengkap
dan sempurna. Inilah cara mewujudkan keseluruhan potensi
kita dan membahagiakan semua makhluk.
Tentunya masing-masing dari kita memiliki aspirasi
pribadinya sendiri. Ada yang ingin bebas secara total dari
samsara dan segala penderitaan. Ada juga yang merasa bahwa
tujuan itu masih terlalu mementingkan diri sendiri, dan lebih
suka kalau semua makhluk juga bisa bersama-sama bebas dari
samsara. Apapun aspirasi atau harapan anda, itu mesti Anda
bangkitkan dalam diri sebelum memulai suatu sesi pengajaran.
Tema ajaran hari ini adalah yoga guru sehubungan
dengan meditasi Buddha Amitabha ataupun yang
digabungkan dengan Awalokiteshwara. Namun, yang akan

17
saya ajarkan hari ini hanya bagian pertama yang berkaitan
dengan Buddha Amitabha. Judul dari teks yang dipakai di
sini adalah “Tangga menuju Sukawati”.
Ajaran hari ini bersumber pada Sutra yang diajarkan
oleh Buddha Shakyamuni yang berjudul Sukhavativyuha
Sutra, dan di dalam Sutra ini beliau telah menguraikan
suatu deskripsi tentang bumi Sukawati dan juga pujian-
pujian tentangnya. Berdasarkan Sutra ini, Je Tsongkhapa
telah menggubah teks yang dinamakan Kunci untuk Bumi
Mulia, yang telah diwariskan turun-temurun dan menjadi
bahan bagi Tangga menuju Sukawati.
Tujuan kita mempraktikkan apa yang diajarkan
dalam Kunci untuk Bumi Mulia ini adalah kita pertama-
tama melakukan yoga guru untuk menyatukan atau
memeditasikan hakikat dari guru spiritual kita dan Buddha
Amitabha. Dari sini, kita bisa memeditasikan maitri dan
karuna, yang kemudian bisa berkembang menjadi bodhicita
atau batin pencerahan (berikut pandangan benar). Dari
sini, kita bisa membangkitkan bodhicita yang betul-betul
spontan, kemudian memasuki apa yang disebut sebagai
Marga Penghimpunan atau Sambara Marga. Ketika ini
terjadi, artinya kita telah menjadi Bodhisatwa dan takkan
lagi terlahir di alam rendah.
Namun, jika kita tidak bisa mencapai itu dalam
kehidupan saat ini, paling tidak kita bisa memeditasikan
tahap-tahap jalan yang dijalankan bersama praktisi motivasi
awal, atau motivasi sedang, atau malah motivasi agung.
Paling tidak, kalau kita bisa memeditasikan Lamrim, kita
akan bisa mencapai realisasi atau pemahaman yang spontan
terkait tahap-tahap yang dijalankan praktisi motivasi awal.
Dengan demikian, kita bisa mendapatkan suatu kelahiran
yang baik di kehidupan berikutnya, dan dalam kelahiran yang

18
baik itu kita masih punya kesempatan untuk melanjutkan
praktik yang telah kita awali dalam kehidupan saat ini.
Namun meskipun kita berhasil, umpamanya kita
berhasil dalam kehidupan ini untuk menjamin diperolehnya
kehidupan yang baik dalam kelahiran kita yang berikutnya
sekaligus–melalui praktik sila, praktik berdana, dan
sebagainya–mendapatkan kondisi yang mendukung untuk
mempraktikkan Dharma, tetap saja masih terbuka berbagai
kemungkinan (misalnya melalui pengaruh teman-teman
yang jahat) untuk melakukan ketidakbajikan, menciptakan
karma buruk, dan akhirnya kehilangan kesempatan kita
yang berharga sekali lagi. Hal ini tidak terlalu sulit untuk
kita pahami. Kalau kita perhatikan lingkungan sekitar kita
saja,kita akan melihat bagaimana orang-orang yang awalnya
seorang praktisi yang baik akhirnya terlibat dalam segala
macam perbuatan negatifkarena pengaruh teman-teman
yang jahat. Kita harus paham bahwa hal serupa juga bisa
terjadi pada kita.
Salah satu pemecahan untuk masalah ini adalah
dengan mendapatkan kelahiran kembali di Sukawati, dimana
kita pasti akan mempelajari dan mempraktikkan maitri
dan karuna, dan kemudian mempunyai kemampuan untuk
kembali ke bumi-bumi yang tidak suci untuk membantu
makhluk lain.
Demikianlah alasan kedua kenapa kita melakukan
praktik yoga guru terhadap Buddha Amitabha.Yang kedua
ini tentunya tidak semulia alasan pertama (yakni berpraktik
untuk menyucikan diri kita dari karma negatif, menghimpun
karma positif, dan kemudian mencapai bodhicita agar bisa
memasuki Marga Penghimpunan), tapi sifatnya lebih praktis.
Dan bagaimana kita melakukan praktik ini? Praktik
ini dilakukan dengan 5 tahap atau fase. Yang pertama adalah

19
berulang kali mengingat kualitas dari Sukawati dan Amitabha,
kemudian memfokuskan diri pada Amitabha yang seluas
angkasa, dan setelah itu, berlindung dan membangkitkan
bodhicita.Yang kedua adalah selain menciptakan penyebab
kelahiran kembali di bumi tersebut, kita menghimpun
banyak kebajikan melalui Doa 7 Bagian dan sebagainya.
Yang ketiga adalah mendedikasikan semua kebajikan
yang telah kita bangkitkan, terutama dari membangkitkan
bodhicita. Jadi di sini, kita menyalurkan kebajikan untuk
mendapatkan kelahiran kembali di Sukawati.Yang keempat
adalah mengucapkan doa-doa permohonan untuk terlahir
di Sukawati, serta agar kita tidak mati dengan penderitaan
ataupun klesha seperti kemelekatan. Yang kelima adalah
memeditasikan instruksi untuk pemindahan kesadaran atau
phowa.

20
BAB

04
Mengingat Kualitas
dari Sukawati dan
Amitabha

21
T
erkait tahap yang pertama, kita diminta untuk
berulang kali mengingat kualitas-kualitas mulia dari
bumi Sukawati dan Buddha Amitabha, dan setelahnya
berlindung kepada Triratna. Di sini, yang menjadi penekanan
adalah merenungkan segala kualitas mulia dari bumi
Sukawati dan Buddha Amitabha. Mengapa? Karena dengan
demikian secara alamiah akan tumbuh suatu keinginan
(aspirasi) yang kuat dalam diri kita untuk bisa terlahir di
sana, dan ini tentunya adalah satu faktor atau penyebab
yang sangat penting.
Jadi, kalau kita bicara tentang merenungkan kualitas-
kualitas bumi yang mulia ini, pertama-tama kita tahu bahwa
bumi Sukawati ini letaknya di Barat, di sebelah baratnya
bumi kita. Kemudian, tentu jaraknya jauh sekali dari tempat
kita. Ia sendiri dihasilkan oleh kekuatan doa-doa yang
diucapkan oleh Amitabha sebelum menjadi Buddha. Ketika
masih seorang Bodhisatwa, beliau memohon agar kelak suatu
hari pada saat mencapai tingkat Kebuddhaan yang lengkap
dan sempurna beliau bisa mempunyai bumi suci nan mulia
dimana takkan pernah terdengar satu kata penderitaan pun
di dalamnya.

22
Lalu, mengapa kita memilih bumi Sukawati ini,
padahal toh terdapat bumi Buddha yang lain? Di sini, kita
juga harus tahu bahwa beliau bukan hanya berdoa untuk
mendapatkan suatu bumi tanpa penderitaan, tapi juga
agar makhluk-makhluk biasa seperti kita, sekadar dengan
mengingat dan mengucapkan nama-Nya, akan menciptakan
sebab-sebab untuk terlahir di sana. Tentunya ini menciptakan
suatu kaitan yang cukup erat antara kita dengan bumi
Sukawati ini. Di sisi lain, kalau kita mau mencapai bumi
suci yang lain, kita harus mengembangkan apa yang disebut
shamatha, sebuah ketenangan batin yang mantap dan tak
tergoyahkan, yang tentunya cukup sulit untuk dicapai dalam
kehidupan kita saat ini.
Selanjutnya, dikatakan bahwa tanah di bumi Sukawati
terbuat dari bahan-bahan berharga dan serata dan sehalus
telapak tangan kita. Tanahnya lembut dan menyenangkan,
luas dan lebar, jernih dan terang. Ketika tangan kita
menekannya, tanahnya lentur, dan akan kembali ke posisi
semula begitu tangan kita diangkat. Di bumi Sukawati, kita
akan melihat pohon-pohon pengabul harapan yang juga
terbuat dari bahan-bahan berharga, dengan daun-daun yang
terbuat dari sutra yang sangat halus, dan buah-buahan yang
berhiaskan permata. Di pohon-pohonnya, kita juga akan
melihat semua jenis burung yang melantunkan ajaran luas
dan mendalam secara melodis dan sangat menyenangkan.
Jika kita tidak menginginkan suara burung itu, maka
seketika suasana akan menjadi hening begitu saja. Dan
kalau kita menginginkan tempat untuk duduk atau istirahat,
akan langsung tersedia tempat yang enak untuk duduk dan
berbaring.
Kemudian, juga kita ketahui melalui deskripsi kalau
bumi Sukawati memiliki sungai-sungai yang tidak biasa:

23
sungai-sungai yang airnya wangi dan mempunyai 8 kualitas,
seperti tidak membuat sakit, terasa sedap, dan sebagainya.
Di dekat sungai-sungai itu, ada juga rumah pemandian
yang dikelilingi tangga-tangga. Rumah pemandiannya
sendiri dihiasi ukiran-ukiran dengan 7 bahan yang sangat
berharga, dan di sekelilingnya terdapat bunga-bunga teratai
wangi yang menghasilkan banyak buah dan memancarkan
banyak sekali cahaya. Dan dari ujung-ujung cahaya yang
dikeluarkan itu, mewujud Buddha-buddha yang banyak
sekali, yang kemudian mengunjungi bumi-bumi atau alam-
alam lain untuk mengajar dan membantu semua makhluk.
Sebagai perbandingan saja, di alam kita ini, wewangian atau
parfum hanya bisa dibeli dengan cara membayar mahal di
toko. Sedangkan di Sukawati, wewangian bisa diperoleh
secara gratis di sungai-sungai yang mengalir bebas. Jadi,
perbandingan antara kedua alam ini jauh sekali.
Selanjutnya, kita tahu bahwa alih-alih mengalami
ketidakbebasan atau penderitaan di ketiga alam rendah atau
klesha-klesha, semua istilah itu bahkan tidak pernah terdengar
di Sukawati, sehingga tidak mungkin untuk mengalaminya di
alam suci itu. Lalu, di Sukawati kita juga tidak akan pernah
mengalami penderitaan dalam bentuk penyakit, roh-roh
pengganggu, musuh-musuh, dan sebagainya. Selain itu, kita
juga tak akan pernah mengalami kemiskinan atau konflik,
dan bahkan tak akan pernah mendengar kedua istilah itu.
Jadi, jelas sekali kenapa ia diberi nama Sukawati, atau bumi
yang penuh sukacita.
Lebih jauh, tidak ada makhluk di sana yang lahir
dari rahim; semua dilahirkan dari bunga-bunga teratai yang
mekar di sana. Mereka terlahir secara spontan dari bunga
teratai, kemudian juga memiliki tubuh emas yang dihiasi
dengan berbagai tanda utama dan tambahan seorang

24
Buddha; tentunya mereka tidak memiliki semua tanda
utama dan tambahan seorang Buddha, tapi mereka memiliki
sebagiannya, juga memiliki kelima jenis penglihatan
dan keenam jenis kewaskitaan. Di bumi Sukawati, akan
terlihat suatu istana Buddha, yang sebetulnya muncul dari
hakikat kebijaksanaan Buddha. Akan terdapat dewi-dewi
persembahan yang selalu siap untuk membantu kita dengan
persembahan dan sebagainya.
Yang bahkan lebih penting adalah apa yang kita
inginkan akan muncul begitu saja. Jadi, kalau kita ingin
memberi persembahan kepada Buddha, kita tidak usah
repot-repot ke pasar swalayan untuk membelinya; kita
cukup memikirkannya saja, dan mereka akan muncul di
telapak tangan kita. Dengan demikian, tidak akan muncul
pembedaan antara kelompok “saya” dan “mereka”, tidak
akan muncul sikap mencengkeram keakuan yang dilandasi
oleh konsep “milikku”. Semua makhluk yang ada di bumi
Sukawati akan mendapatkan manfaat dari ajaran Mahayana.
Setiap saat, banyak Buddha dan Bodhisatwa
yang akan datang dari segala penjuru ke Sukawati untuk
mendengar ajaran dari Buddha Amitabha. Mereka akan
diterima oleh para Buddha dan Bodhisatwa yang berdiam di
sana, yang pada gilirannya juga bisa bepergian ke bumi lain
untuk memberikan persembahan-persembahan ke Buddha-
Buddha lain dan mendengarkan ajaran dari mereka. Semua
perjalanan ini berlangsung dengan sangat mudah.
Dan di tengah-tengah atau pusat bumi suci yang begitu
indah dan menakjubkan ini, kita juga akan menemukan
sebuah takhta yang terbuat dari bahan yang sangat
berharga, yang ditopang oleh burung-burung merak (tidak
seperti takhta seorang Buddha yang biasanya ditopang oleh
singa). Kemudian, di atas takhta itu kita akan melihat sebuah

25
tampuk yang terbuat dari bunga teratai, dan di atas bunga
teratai itu ada piringan bulan, dan di atas semua itu kita akan
menemukan guru spiritual kita yang hakikatnya menyatu
dengan Buddha Amitabha, dan warna tubuh guru spiritual
kita yang telah menyatu dengan Buddha Amitabha seperti
karang merah, seolah-olah seperti gunung karang merah
yang disinari oleh 10 juta matahari yang sangat terang. Di
atas kepalanya kita akan melihat ushnisha, wajahnya satu,
kedua tangannya dalam gesturdyana mudra (keseimbangan
batin), dan di atas tangannya ada sebuah mangkuk biksu
penuh amerta umur panjang. Beliau mengenakan 3 lapis
jubah biksu berwarna safron dan duduk dengan punggung
bersandar pada pohon Bodhi dalam postur wajrasana.
Tubuhnya bermandikan cahaya yang sangat terang, yang
kemudian memancar ke segala penjuru.
Demikianlah kita sudah memvisualisasikan Buddha
Amitabha dengan semua cahaya dan tanda utama dan
tambahan seorang Buddha. Ada 3 hal yang harus kita
renungkan. Yang pertama adalah kita yakin bahwa objek
perlindungan kita, Triratna dan sebagainya, benar-benar
bisa melindungi kita dari semua penderitaan alam rendah
secara khusus maupun samsara secara umum. Guru dan
Triratna melakukannya dengan tubuh, ucapan, dan batin
mereka yang tak terbayangkan, kualitas kebijaksanaan
dan welas asih dan semua aktivitas bajik mereka, selaku
objek perlindungan unggul yang memiliki welas asih untuk
memperhatikan para makhluk dengan atribut-atribut luar
biasa mereka.
Yang kedua adalah rasa takut kita terhadap semua
penderitaan yang ada di dalam samsara maupun alam
rendah. Kita mengingat bagaimana kita dan semua makhluk,
sejak waktu tak bermula, terus-menerus berputar di dalam

26
samsara dan didera penderitaan yang tak berkesudahan
di bawah pengaruh karma dan klesha. Kalau kita tidak
melakukan sesuatu untuk mengubah situasi ini, hal yang
sama akan terus berjalan. Kini, setelah kita menyadari
kelahiran dan potensi luar biasa yang kita miliki, kita
paham bahwa kita bisa mencapai suatu kemampuan untuk
membantu semua makhluk di dalam samsara untuk bebas
dari penderitaan mereka danmeraih kebahagiaan.
Yang ketiga adalah perlindungan kita kepada Guru
dan Triratna agar diberkahi kemampuan untuk mewujudkan
potensi kita. Kita berlindung dengan mengingat motivasi
Mahayana, yakni harapan agar semua makhluk terbebas
dari segala jenis penderitaan.
Saat kita memvisualisasikan Buddha Amitabha di
hadapan kita, kita harus betul-betul yakin bahwa beliau
bisa melindungi kita dan semua makhluk dari penderitaan di
dalam samsara. Lalu kita juga bertekad untuk membebaskan
diri kita. Kita akan melakukan apa yang perlu kita lakukan
untuk bebas dari penderitaan samsara yang kita alami sejak
waktu tak bermula, kemudian kita juga akan memikirkan
semua makhluk yang pernah menjadi ibu kita yang juga
menderita dalam samsara, bahwa mereka juga perlu
bantuan kita untuk bebas dari penderitaan mereka. Dengan
tekad yang demikian, kita kemudian berpikir bahwa kita
akan mencapai suatu kemampuan untuk melakukan itu, dan
inilah landasan kita berlindung pada Triratna, pada Buddha
Amitabha.
Setelah kita melakukan visualisasi dan merenungkan
hal-hal yang perlu kita renungkan untuk menjadi penyebab
kita benar-benar berlindung, kita kemudian membaca doa
perlindungan: “Aku dan semua makhluk yang tak terhitung
bagaikan angkasa, mulai sekarang hingga kami mencapai

27
pencerahan, berlindung kepada Guru spiritual…” sampai
bagian perlindungan kepada Sang Penuntun, Sang Begawan,
Amitabha. Karena kita memfokuskan diri pada Amitabha,
kita akan melompati bagian Arya Awalokiteshwara dan
langsung menuju bagian “bersama kumpulan para Yidam...”
Dan setelah melakukan ini, kita berpikir bahwa kita sekarang
betul-betul telah dilindungi oleh Amitabha, dan ini ditandakan
oleh tubuh beliau yang kita visualisasikan di hadapan kita.
Kita membayangkan bahwa beliau memancarkan cahaya,
dan dari tubuhnya keluar amerta dan cahaya berwarna
putih yang kemudian memasuki kita, memenuhi tubuh kita
sehingga kita kini telah disucikan dari semua perbuatan
buruk dan hal-hal yang menyakitkan. Kemudian, pikirkan
bahwa kita telah dilindungi oleh Buddha Amitabha dan
Triratna.
Berikutnya, kita kembali berlindung sembari
membangkitkan bodhicita pada Buddha, Dharma dan
Sangha yang mulia: “Aku berlindung sampai aku mencapai
pencerahan dengan praktik dana dan sebagainya. Semoga
aku mencapai Kebuddhaan demi semua makhluk.”
Dan sekarang, kita sampai pada apa yang disebut
sebagai 4 kualitas tanpa batas: upeksha atau keseimbangan
batin, maitri atau cinta kasih, karuna atau welas asih, dan
mudita atau bersukacita atas kebajikan.
Pertama-tama, kita akan berpikir bahwa dalam
rangka membangkitkan atau mengembangkan 4 kualitas
tanpa batas ini, pertama-tama kita merenungkan perputaran
kita di dalam samsara sejak waktu yang tak berawal. Lalu,
kita merenungkan kemelekatan pada mereka yang kita suka
dan kebencian pada mereka yang kita benci. Lalu, kita
merenungkan ketidaktahuan atau kegelapan batin pada
mereka yang tidak kita pedulikan. Kita ingin mengatasi semua

28
sikap buruk ini, dan inilah sebabnya kita membangkitkan
upeksha dalam diri kita.
Kemudian, kita berpikir bahwa semua makhluk yang
berputar dalam samsara sejak waktu yang tak berawal itu
pernah menjadi ibu-ibu kita dalam kehidupan-kehidupan
yang lain. Tapi kini mereka menderita dalam samsara,
berputar dalam samsara tanpa henti. Jadi, karena kita
merasa iba melihat penderitaan mereka, kita pun bertekad
untuk membebaskan mereka dari penderitaan mereka, dan
kita memohon kepada para Buddha supaya kita bisa betul-
betul mewujudkan harapan itu, yakni dengan pertama-tama
membangkitkan karuna.
Kemudian, kita menyadari kenyataan bahwa semua
makhluk–ibu-ibu kita–menginginkan kebahagiaan mereka.
Oleh karena itu, kita akan berharap agar mereka bisa meraih
kebahagiaan. Kita berdoa semoga mereka mendapatkan
kebahagiaan yang mereka inginkan. Kita juga bertekad
untuk membantu mereka mendapatkan kebahagiaan itu,
lalu kita memohon kepada para Buddha dan Guru agar kita
diberkahi kemampuan untuk bisa melakukannya. Dengan
kata lain, kita membangkitkan maitri.
Kemudian, kita berharap semoga semua makhluk
takkan terlepas dari kebahagiaan yang mereka dapatkan dan
semoga mereka terbebas dari penderitaan. Kita berdoa semoga
itu terjadi, dan kita juga bertekad untuk membantu mereka
mencapai itu, lalu kita memohon kepada para Buddha dan Guru
untuk mengabulkan permohonan kita. Dengankata lain, di sini
kita memeditasikan mudita. Setelah merenungkan semua ini,
kita berdoa semoga semua makhluk mendapatkan kebahagiaan
dan penyebab-penyebabnya dan sebagainya.
Kemudian, dengan visualisasi kita membayangkan
bahwa Buddha Amitabha mengabulkan permohonan kita.

29
Dari tubuhnya, memancar cahaya dan amerta dengan jumlah
yang sangat luar biasa, yang memasuki dan memberkahi
kita, dalam artian menyucikan kita dari semua perbuatan
buruk dan sebagainya. Cahaya dan amerta yang terpancar
dari Buddha Amitabha berhakikat maitri, karuna, dan
bodhicita, yang kemudian memberkahi kita, memberi kita
semacam potensi supaya kita kelak akan bisa mewujudkan
maitri, karuna, dan bodhicita dalam diri kita.
Setelah itu, kita kemudian akan membangkitkan
bodhicita secara khusus. Artinya, kita membangkitkan
bodhicita untuk memohon kepada Buddha Amitabha agar
memberkahi kita supaya kita betul-betul melakukan apa
yang kita tekadkan, supaya kita betul-betul bisa mencapai
Kebuddhaan yang kita inginkan.
L alu, sebelum kita mulai menghimpun kebajikan
yang menjadi sebab-sebab kelahiran di bumi Sukawati,
per tama-tama kita membersihkan tempat praktik. Ini
adalah praktik pendahuluan yang per tama. Pikirkan
bahwa berkat kebenaran Triratna yang ampuh dan
sempurna, berkat berkah semua penak luk dan put ra-
put ra mereka, berkat kekuatan sempurna dari kedua
himpunan dan sebagainya, semoga semua kesalahan
dan ketidaksempurnaan bisa diatasi dan disucikan.
Sambil memikirkan hal it u, kita juga ber pikir bahwa
semua persembahan kita berlipat ganda dan memenuhi
angkasa. Persembahan kita berupa air minum, air basuh,
wewangian, bunga, dupa, lilin, makanan, dan musik jangan
dibayangkan sebagai bahan-bahan biasa, melainkan
sebagai kualitas terbaik yang dapat kita visualisasikan.
It ulah yang kita persembahkan kepada para Buddha dan
Guru.Selanjutnya, kita membaca dharani persembahan,
“Om namo bhagawate...” dan seterusnya sampai 3 kali.

30
Lalu, kita membayangkan bahwa persembahan-
persembahan yang telah kita buat kepada para Buddha dan
Guru sangat menyenangkan mereka semua. Bagaimana kita
harus memahami poin ini? Tentunya para Buddha dan Guru,
tidak seperti makhluk biasa, tidaklah sesenang kita ketika
menerima kado. Mereka memang gembira, tapi itu karena
melihat motivasi kita dalam membuat persembahan (agar
semua makhluk, ibu-ibu kita, bebas dari penderitaan mereka
dan mencapai kebahagiaan sejati) dan dalam menghimpun
banyak karma baik untuk mewujudkan potensi yang kita
miliki.
Untuk mengundang Buddha Amitabha dan
rombongannya hadir di hadapan kita, visualisasikan bahwa
dari arah barat, dari Sukawati, datang Buddha Amitabha
beserta rombongan yang luar biasa banyaknya, para Buddha
dan Bodhisatwa dan sebagainya. Mereka datang dan hadir di
hadapan kita, kemudian menyatu dengan Buddha Amitabha.
Lalu, kita lakukan visualisasi yang sama seperti saat kita
melihat beliau di Sukawati sendiri, yakni sebagai sosok
Buddha Amitabha yang bagaikan karang merah, yang duduk
di atas takhta yang ditopang oleh burung merak. Setelah
itu, kemudian kita merenungkan betapa luar biasanya
fakta bahwa Sang Begawan telah datang kemari, betapa
kita memiliki keberuntungan dan karma baik. Lalu dengan
penuh penghormatan, kita berharap agar beliau berkenan
untuk tetap tinggal bersama kita.

31
BAB

05
Doa 7 Bagian

33
S
elanjutnya, kita tiba di bagian pertama dari Doa
7 Bagian, yakni penghormatan kepada guru-guru
spiritual. Di sini kita membaca, “Tubuhmu mencakup
semua Buddha, sifatmu adalah Wajradhara, engkau
merupakan sumber dari ketiga perlindungan, kepadamu
para Guru aku bersujud.” Jadi, baris-baris ini adalah bait
pertama dari Doa 7 Bagian. Bait kedua adalah penghormatan
kepada Guru-guru silsilah, lalu bait ketiga adalah kepada
para Istadewata meditasi, lalu bait keempat dan kelima yang
digabung adalah kepada para Buddha, dan yang berikutnya
adalah kepada Buddha Amitabha sendiri. Lalu, ada 2
bait untuk memberi hormat kepada Awalokiteshwara dan
Manjushri, dan 1 bait kepada Wajrapani, kemudian 1 bait
kepada Arya, dan kemudian penghormatan kepada semua
yang patut dihormati.
Jika Anda merasa ini terlalu banyak untuk dilafalkan,
Anda bisa mulai dari, “Berapapun banyaknya di sepuluh
penjuru dunia, manusia-manusia singa, Buddha dari ketiga
kurun waktu...”
Lalu, apa yang semestinya kita pikirkan saat
melakukan ini? Semestinya kita berpikir dan mengingat

34
bahwa sejak waktu yang tak berawal kita punya begitu
banyak kehidupan dan tubuh. Hadirkan mereka pada saat
ini. Namun, hadirkanlah mereka dalam bentuk manusia.
Jadi, mereka semua hadir dalam tubuh manusia saja. Lalu,
kita membayangkan bahwa diri-diri kita ini, dalam wujud
manusia, beserta semua makhluk yang masih ada di dalam
samsara, sama-sama bersujud memberi hormat kepada para
Buddha dan Guru.
Lebih jauh, kita bisa memberi hormat secara fisik
dengan tubuh, ucapan, dan batin kita. Untuk memberi
hormat secara fisik dengan tubuh kita, kita bisa melakukan
namaskara biasa, ataupun bentuk namaskara penuh di
hadapan ladang kebajikan. Tapi sebenarnya, gerakan
apapun yang kita lakukan untuk menghormati sudah
termasuk pemberian hormat secara fisik. Seandainya kita
hanya mengangkat satu tangan saja atau bersikap anjali, ini
juga termasuk penghormatan fisik. Lalu, ada penghormatan
secara lisan, yakni doa dan permohonan apa pun yang
kita panjatkan kepada ladang kebajikan, para Buddha
dan Bodhisatwa dengan pikiran penuh hormat. Terakhir,
penghormatan secara mental dilakukan dengan mengingat
semua kualitas mulia dari para Buddha, Bodhisatwa, dan
Guru untuk memunculkan rasa hormat kepada mereka.
Bait yang dimulai dari “berapapun banyaknya di
sepuluh penjuru dunia” sampai ke bait dedikasi adalah
Doa 7 Bagian yang sebenarnya. Itu adalah inti dari Doa 7
Bagian, yang bait-baitnya berasal dari Sutra yang diucapkan
oleh Sang Buddha sendiri, yakni Bhadracharya Sutra yang
berkisah tentang perilaku mulia.
Jika kita melakukan praktik ini di rumah, ada
baiknya penghormatan kepada para Buddha dilakukan
dengan namaskara secara fisik. Ketika melakukan itu,

35
kita memvisualisasikan kembali bahwa semua bentuk
kehidupan kita (yang hadir dalam wujud manusia), juga
semua makhluk dalam samsara, bersama-sama melakukan
namaskara kepada para Buddha. Ini dimulai dengan kalimat
“Berapapun banyaknya di sepuluh penjuru dunia, manusia-
manusia singa, Buddha dari ketiga kurun waktu...”
Kalimat berikutnya berbunyi, “Dengan kekuatan
keyakinanku pada praktik Bodhisatwa, dengan mata batinku
aku melihat jelas semua penakluk dengan tubuh sebanyak
partikel di bumi suci. Dengan rasa hormat mendalam,
aku bersujud kepada para penakluk.” Sekali lagi, lakukan
namaskara secara fisik. Pada saat kita membaca frase
“dengan tubuh sebanyak partikel di bumi suci,” kita harus
benar-benar membayangkan demikian, bahwa tubuh kita
yang sebanyak partikel-partikel di bumi suci melakukan
namaskara kepada para Penakluk. Kalau kita betul-betul
memvisualisasikan ini, maka meskipun kita hanya melakukan
namaskara 1 kali saja, kita akan menghimpun karma baik
yang luar biasa besar.
Kalimat berikutnya berbunyi, “Di atas setiap partikel...”
Jumlah Buddha-nya adalah sebanyak partikel. Masing-
masing dikelilingi putra-putra Buddha. Kita membayangkan
sekali lagi bahwa semua tubuh ini melakukan namaskara.
Dan coba bayangkanlah berapa banyak Buddha berikut
putra-putra-Nya yang terdapat di dunia dengan visualisasi
seperti itu.
Jika Anda berpikir apakah mungkin di atas satu
partikel terdapat Buddha sebanyak partikel di dalam dunia
ini, maka jawabannya adalah: ya, sangat mungkin sekali.
Kenapa? Karena setiap Buddha bisa melihat atom atau
partikel itu. Dan karena bisa melihatnya, mereka mampu
mencerap atau memasuki setiap atom yang ada. Dikatakan

36
bahwa dimana kebijaksanaan seorang Buddha ada, di
situlah tubuhnya juga hadir. Demikianlah penjelasan untuk
poin ini. Di sisi lain, bagi makhluk biasa seperti kita, dimana
pikiran kita tertuju tidak melulu akan diikuti oleh tubuh kita.
Walaupun pikiran kita melayang ke sana kemari, belum tentu
tubuh kita bisa ikut. Dengan mengingat dan merenungkan
ini, kita kemudian memberi hormat pada mereka.
Kalimat berikutnya berbunyi, “Sambil melantunkan
lautan pujian tak terbatas dengan setiap suara dari lidah-
lidahku yang tak terhitung, aku memuliakan kebajikan semua
penakluk dan memuji semua Sugata.” Ini berarti bahwa
sekarang kita akan memberi hormat secara lisan kepada
semua Penakluk. Tapi bagaimana caranya kita melakukan
ini? Karena tadi kita telah menghadirkan semua tubuh dari
kehidupan-kehidupan lampau kita dalam bentuk manusia,
sekarang kita membayangkan mereka semua memberi
penghormatan.

Rinpoche menutup sesi ini dengan menekankan pentingnya


mendedikasikan kebajikan dari tindakan mendengarkan Dharmadalam
rangka mewujudkan bodhicita di dalam diri kita semua:semoga bodhicita
tumbuh dalam diri mereka yang belum memilikinya, dan berkembang
semakin besar dalam diri mereka yang telah memilikinya.

37
BAB

06
Menjelaskan Hakikat
Buddha Amitabha

39
Rinpoche memulai sesi dengan sekali lagi menekankan pentingnya memiliki
motivasi yang benar dan sesuai untuk praktik. Mengingat bahwa kita sekarang
mempunyai kesempatan yang luar biasa dengan tubuh manusia yang bebas
dan beruntung ini, maka penting sekali untuk memanfaatkan kesempatan ini
dengan baik. Karena kehidupan ini tidak akan berlangsung selamanya, kita
harus memanfaatkan waktu yang tersisa untuk mencapai tujuan tertinggi kita:
Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna demi kesejahteraan semua makhluk.
Kalau tujuan ini dianggap terlalu jauh, maka setidaknya kita mesti beraspirasi
untuk terbebas dari samsara, atau yang paling minimal, menghindarkan diri
dari kelahiran kembali di alam rendah. Salah satu caranya adalah dengan
melakukan praktik yang terkait dengan Buddha Amitabha.

T
eks yang berjudul Tangga menuju Sukawati bersumber
di India, namun telah tersebar luas ke berbagai
negara seperti Jepang, Cina, Korea, dan sebagainya.
Ini adalah suatu praktik yang cukup terkenal di berbagai
kalangan Buddhis. Akan ada sedikit perbedaan dalam hal
wajah/rupa Buddha Amitabha dan berbagai rombongannya di
tiap negara. Amitabha dalam bayangan orang Cina memiliki
kumis tipis, sedangkan orang Tibet menggambarkannya lebih
menyerupai wajah orang India. Perbedaan ini sangat wajar,
berhubung Buddha Amitabha akan menampakkan dirinya
sesuai dengan fisik penduduk setempat, semata agar mereka
tidak merasa terlalu asing dengan penampakan beliau.
Lalu sekarang, muncul pertanyaan soal siapa
sebenarnya Buddha Amitabha. Sama halnya seperti Buddha
Shakyamuni, dulunya Amitabha juga bukan Buddha; beliau
adalah makhluk biasa seperti kita. Dengan upaya kerasnya–
dengan membangkitkan bodhicita dan sebagainya–barulah
kemudian beliau mencapai tingkat Kebuddhaan yang lengkap
dan sempurna. Namun, beliau menambahkan permohonan
tambahan agar kelak ketika telah menjadi Buddha beliau
bisa mewujudkan satu bumi suci yang dinamai Sukawati,

40
suatu tempat penuh sukacita yang akan menjadi sarana bagi
tercapainya tujuan semua makhluk.
Ini adalah salah satu cara kita memahami siapa
sebenarnya Buddha Amitabha. Ada pula cara lain untuk
melihat siapa sebenarnya Buddha Amitabha, yakni sebagai
perwujudan dari ucapan para Buddha, seperti halnya
Wairochana adalah perwujudan dari tubuh para Buddha
dan Akshobhya adalah perwujudan dari batin para Buddha.
Dan seperti lazimnya diketahui, sering kali kita
memakai huruf atau aksara “Om Ah Hum” untuk memberkati
persembahan dan sebagainya. “Om” yang berada di
atas kepala melambangkan Wairochana dan berwarna
putih. “Om” yang putih mewujudkan tubuh para Buddha.
Kemudian di tenggorokan ada aksara “Ah” yang merupakan
perwujudan ucapan para Buddha, melambangkan Buddha
Amitabha dan berwarna merah. Kemudian di jantung hati
ada aksara “Hum” yang merupakan perwujudan batin para
Buddha, melambangkan Akshobhya dan berwarna biru tua.
Cara lain untuk memahami siapakah Buddha
Amitabha adalah dengan mengetahui 5 Dhyani Buddha;
Amitabha merupakan salah satu dari mereka, dengan formasi
sebagai berikut: Wairochana, Ratnasambhawa, Amitabha,
Amoghasiddhi, dan Akshobhya. Untuk mengetahui apa
sebetulnya 5 Dhyani Buddha itu, kita harus paham bahwa
di dalam samsara kita memiliki skandha-skandha yang
didapatkan secara tercemar. Jika kita mulai beranjak dari posisi
kita sekarang dan semakin memurnikan diri kita, skandha-
skandha kita akan menjadi lebih murni pula, sehingga kelak
ketika kita sudah mencapai tingkat Kebuddhaan, skandha-
skandha ini akan mengambil bentuk Dhyani Buddha. Untuk
menjelaskan secara singkat, Wairochana berkaitan dengan
skandha tubuh yang telah dimurnikan. Ratnasambhava

41
berkaitan dengan skandha perasaan yang telah dimurnikan.
Amitabha berkaitan dengan skandha identifikasi/pencerapan
yang telah dimurnikan. Amoghasiddhi berkaitan dengan
skandha faktor-faktor pembentuk yang telah dimurnikan. Dan
terakhir, Akshobhya berkaitan dengan skandha kesadaran
yang telah dimurnikan.

42
BAB

07
Doa 7 Bagian
(Lanjutan)

43
S
ebelumnya kita sudah sampai pada penjelasan praktik
yoga guru Buddha Amitabha dan 5 tahap atau fase
yang harus dilewati, dan yang telah dibahas adalah
tahap pertama, yakni secara berulang-ulang mengingat
kualitas bumi Sukawati dan sebagainya. Yang kedua
adalah menghimpun banyak kebajikan–Doa 7 Bagian dan
sebagainya–sebagai penyebab kelahiran kembali di bumi
suci tersebut.
Sebelumnya, ada praktik pendahuluan dimana kita
akan membersihkan tempat dan memberikan persembahan-
persembahan dan mengundang para pelindung atau para
Buddha untuk hadir, terutama Buddha Amitabha. Lalu,
kita akan memulai Doa 7 Bagian, mengawalinya dengan
penghormatan kepada ladang kebajikan atau para Buddha
yang telah hadir di hadapan kita. Ini adalah yang utama
dalam Doa 7 Bagian.
Bagian kedua dalam Doa 7 Bagian adalah memberikan
persembahan. Mengapa kita harus membersihkan tempat
dan memberikan persembahan? Sebenarnya ini tidak jauh
dari kehidupan kita. Pada saat kita akan mengundang
tamu yang penting ke rumah kita, pasti kita akan berusaha

44
membuat tempat kita sebersih, serapi, dan seindah mungkin.
Kita akan menaruh bunga-bunga dan sebagainya untuk
menyenangkan tamu. Hal yang sama berlaku di sini,
dimana kita mengundang ladang kebajikan yang agung
dengan mempersiapkan semuanya sebaik mungkin melalui
visualisasi dan persembahan nyata. Sebagai tambahan,
pada saat kita melakukan persembahan, tentunya secara
fisik kita akan meletakkan persembahan-persembahan di
depan altar dan sebagainya. Walaupun itu kita lakukan
secara fisik, namun bayangkanlah bahwa sebenarnya yang
kita persembahkan adalah bunga-bunga dan persembahan-
persembahan lainnya yang jauh lebih indah, berharga,
dan banyak daripada apa yang kita letakkan secara fisik.
Bayangkanlah semua persembahan ini sebagai perwujudan
dari semua kebajikan kita.
Di dalam teks, tertulis persembahan seperti bunga-
bunga yang megah dan untaian bunga yang indah, simbal,
urapan, payung-payung terbaik, pelita-pelita indah, dupa
harum, pakaian-pakaian yang halus, wewangian yang langka,
dan gundukan bubuk harum setinggi Gunung Meru. Bubuk ini
sebetulnya adalah dupa juga, tapi dalam bentuk bubuk/serbuk.
Jadi, ia ditumpukkan menjadi timbunan yang besar sekali,
yang kita visualisasikan setinggi Gunung Meru. Lalu, setelah
kita memvisualisasikan semua bahan itu, bagaimana cara kita
mempersembahkannya kepada para Buddha dan pengiringnya?
Visualisasikan dari hati kita dewi-dewi persembahan yang sangat
cantik, yang keluar untuk mengangkat dan mempersembahkan
persembahan-persembahan itu kepada para Buddha dan
pengiringnya; misalnya, mereka menaburkan bunga-bunga
dan melemparkannya ke udara sehingga seolah-olah terjadi
hujan bunga. Dengan demikian, para Buddha akan merasakan
sukacita yang luar biasa atas kebajikan kita.

45
Kita harus membayangkan persembahan-persembahan
ini sebagai sesuatu yang luas dan tak tertandingi, yang
pada dasarnya adalah semua karma baik yang telah kita
lakukan dan himpun melalui praktik Dharma kita (membuat
persembahan, melakukan namaskara, membantu makhluk
lain, menjaga sila yang murni, dsb). Bayangkan bahwa kita
mempersembahkan dan mendedikasikan semua ini kepada
Buddha Amitabha, kepada para Buddha dan pengiringnya.
Bagian ketiga dalam Doa 7 Bagian adalah praktik
pengakuan kesalahan atau semua karma buruk kita. Di sini,
terdapat kalimat “Semua perbuatan buruk yang telah kulakukan
karena kemelekatan, kebencian, atau ketidaktahuan dengan
tubuh, ucapan dan batin, aku akui satu demi satu.” Ini cukup
sederhana dan tidak terlalu susah untuk dipahami. Kemelekatan,
kebencian, atau ketidaktahuan menjelaskan mengapa kita telah
melakukan karma buruk sejak waktu yang tak berawal. Tubuh,
ucapan, dan batin adalah cara kita melakukan karma buruk
itu. Mengakui satu demi satu bermakna sebagai berikut: kalau
kita melakukan karma buruk dengan fisik, maka kita akan
melakukan sesuatu yang bersifat fisik untuk memurnikannya,
misalnya dengan bernamaskara dan sebagainya; kalau karma
buruk kita adalah melalui ucapan, maka kita akan melakukan
sesuatu yang sifatnya ucapan, misalnya membaca mantra dan
sebagainya; dan kalau kita bicara tentang perbuatan-perbuatan
negatif yang dilakukan di dalam batin kita, maka yang kita
lakukan adalah merasakan penyesalan yang sangat mendalam.
Kalau kita menyadari bahwa sejak waktu yang tak
berawal kita telah banyak sekali melakukan karma buruk,
tentunya ada sebagian yang telah membuahkan hasilnya.
Namun, masih banyak sekali potensi karma di dalam diri kita
yang belum terwujud. Dengan menyadari itu, barulah kita
akan merasakan penyesalan yang sangat mendalam. Ini bisa

46
diibaratkan dengan seseorang yang telah meminum racun
tapi belum mati, sehingga kemudian muncullah penyesalan
yang kuat di dalam dirinya. Oleh karena itu, ini adalah satu
bagian yang sangat penting, bisa dikatakan sebagai separuh
dari proses dalam praktik pengakuan. Dan karena kita
mengingat bahwa kita telah melakukan karma-karma buruk
yang sangat banyak, maka separuh proses yang lain adalah
bertekad untuk tidak melakukan hal yang sama di masa
depan.
Adalah penting bahwa ketika melakukan hal ini kita
juga mengingat betapa banyaknya karma-karma buruk di
dalam diri kita yang belum membuahkan akibatnya. Oleh
karena itu, kita menyadari potensi mereka dalam arus batin
kita, yang kemudian harus diakui dan dimurnikan. Selama
karma belum berbuah, kita masih rentan sekali untuk
menerima akibatnya ketika kondisi yang kondusif sudah
tercipta bagi matangnya karma. Jadi, dengan mengingat
prinsip karma, kita juga akan bertekad sedalam-dalamnya
untuk tidak melakukan hal yang sama lagi.
Bagian keempat dalam Doa 7 Bagian adalah
bersukacita atas semua kebajikan yang telah dilakukan
oleh semua makhluk. Meskipun bukan kita yang melakukan
kebajikan itu, bersukacita atas kebajikan yang dilakukan
oleh pihak lain juga akan menghasilkan karma baik bagi
kita. Kebajikan siapa yang patut menjadi objek sukacita kita?
Tentunya kebajikan para penakluk atau Buddha, para putra
spiritual mereka atau Bodhisatwa, pratyekabuddha atau
Arhat, Srawaka, dan tentunya termasuk kebajikan makhluk-
makhluk biasa; singkatnya, kebajikan semua makhluk.
Poin terakhir ini, bersukacita pada kebajikan
makhluk-makhluk biasa, semestinya dapat kita terapkan
dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita melihat tetangga

47
kita, keluarga kita, sahabat kita, dan sebagainya berbuat
baik, semestinya kita bersuakcita atas perbuatan mereka. Ini
adalah satu cara untuk menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sebagai tambahan, kita juga semestinya
bersukacita pada saat mereka mendapat keuntungan atau
ketika hal-hal baik terjadi pada mereka. Ini adalah hal
yang penting sekali. Kenapa? Karena kita menyadari bahwa
sebenarnya mereka mengalami semua itu sebagai akibat dari
perbuatan bajik yang telah mereka lakukan di masa lampau.
Ini juga sebenarnya adalah suatu cara yang sangat baik untuk
mengatasi iri hati. Kalau kita melihat orang lain mendapat
rezeki tertentu, maka alih-alih merasa iri hati, justru kita
harus bersukacita dengan mengingat bahwa itu adalah buah
dari karma baik yang telah mereka lakukan sebelumnya.
Menghindari iri hati adalah sesuatu yang sangat
penting untuk kita lakukan, karena iri hati hanya akan
menciptakan karma buruk yang banyak sekali. Selain itu,
iri hati juga akan menghabiskan karma baik kita. Dan
pada saat iri hati melanda kita, rasanya saja sudah tidak
mengenakkan. Jadi, cara untuk menghindari iri hati adalah
dengan bersukacita atas perbuatan baik yang dilakukan atau
hal baik yang dialami oleh orang lain.
Bagian kelima dalam Doa 7 Bagian adalah adalah
memohon ajaran kepada para Buddha dan Bodhisatwa
di hadapan kita, dan di sini terdapat kalimat, “Pencerah
semua alam di sepuluh penjuru dan sebagainya...” Ini cukup
mudah untuk kita pahami. Namun, apa yang perlu kita
meditasikan ketika memohon mereka untuk memutarkan
roda Dharma? Kita memeditasikan bahwa dari tubuh kita
sendiri ada sebuah roda Dharma berwarna emas yang
terpancar dan berjeruji seribu. Dari roda Dharma ini,
terpancar banyak sekali roda Dharma yang hakikatnya

48
adalah semua kebajikan kita maupun makhluk lain yang
lalu kita persembahkan kepada Buddha Amitabha, semua
Buddha dan Bodhisatwa yang mengiringi-Nya. Dan seraya
melakukan itu, kita memohon kepada mereka agar berkenan
mengajari kita sesuai dengan kemampuan yang kita miliki.
Mengapa kita memohon pengajaran dari mereka? Agar kita
bisa mengakhiri penderitaan kita dan semua makhluk dan
meraih kebahagiaan yang kita dambakan. Bayangkanlah
bahwa setelah mengajukan permohonan ini, mereka
merestui dan mengabulkan permohonan kita dengan sebuah
senyuman.
Bagian keenam dalam Doa 7 Bagian adalah memohon
kepada Buddha Amitabha dan semua Buddha dan Bodhisatwa
untuk tetap tinggal bersama kita, yang berbunyi “Engkau yang
menunjukkan pencapaian” dan sebagainya. Kita memohon
agar mereka tidak memasuki nirwana dan berkenan menjadi
penuntun yang mengajari kita. Di sini, visualisasikan bahwa
dari diri kita keluar sebuah takhta emas, selayaknya tempat
duduk seorang Buddha yang ditopang oleh 8 singa. Karena
objeknya adalah Buddha Amitabha, mungkin ada baiknya
kita memvisualisasikan takhta ini ditopang oleh 8 burung
merak. Lalu, bayangkan bahwa hakikat dari takhta emas
ini sebetulnya adalah semua kebajikan kita maupun semua
makhluk. Lalu, bayangkan peleburan takhta itu, dan dengan
demikian Buddha Amitabha mengabulkan permohonan kita
dengan sebuah senyuman.
Pada bagian terakhir dari Doa 7 Bagian, kita berdoa
agar semua kebajikan dan karma baik yang telah kita himpun
melalui Doa 7 Bagian, berikut semua perbuatan baik lainnya
yang telah, sedang, dan akan kita buat, menjadi penyebab
tercapainya pencerahan sempurna. Dengan demikian, kita
telah merampungkan penjelasan tentang Doa 7 Bagian.

49
Doa ini adalah suatu praktik yang sangat penting dalam
Buddhadharma, baik dalam praktik Sutra, Tantra, dan
sebagainya. Doa ini adalah cara yang sangat baik untuk
menghimpun karma baik serta memurnikan karma buruk.
Kita juga harus menyadari bahwa sebenarnya Doa
7 Bagian merupakan suatu cara yang sangat baik untuk
menghadapi klesha-klesha kita. Kita harus sadar bahwa semua
klesha inilah yang paling bertanggung jawab atas segala
penderitaan yang kita alami. Sebagai contoh, yang pertama dari
Doa 7 Bagian adalah memberi penghormatan. Ini adalah cara
yang baik untuk mengatasi rasa sombong atau bangga diri. Kalau
kita melakukan sujud secara fisik atau bernamaskhara di depan
seseorang, ini tentu kita lakukan karena kita merasa diri kita lebih
rendah dari pihak yang kita beri hormat. Memberi persembahan
adalah salah satu cara untuk mengatasi sifat kikir. Pengakuan
adalah satu obat penawar yang mengatasi semua klesha kita.
Bersukacita atas kebajikan orang lain adalah penawar untuk
iri hati. Memohon ajaran adalah untuk mengatasi kemalasan
atau kesalahan akibat mengabaikan Dharma. Permohonan agar
para Buddha dan Bodhisatwa tetap tinggal bersama kita adalah
untuk mengatasi karma buruk yang membuat kehidupan kita
pendek. Dan bagian ketujuh, yaitu dedikasi, berfungsi untuk
menjamin karma baik kita tidak terhamburkan dengan sia-sia.

50
BAB

08
Mendedikasikan
Kebajikan

51
B
erikutnya, kita sampai pada tahap ketiga dalam 5 tahapan
praktik ini, yakni mendedikasikan semua kebajikan dari
membangkitkan bodhicita dan sebagainya agar menjadi
penyebab kita terlahir kembali di Sukawati. Kita akan mengawali
bagian ini dengan memberi hormat kepada Buddha Amitabha
dan lainnya, jadi kita akan melafalkan, “Semoga semua makhluk
yang mendengar namaku dapat dilahirkan di bumiku, dengan
kata-kata ini engkau membebaskan semua makhluk, kepada
sang pelindung Amitabha aku bersujud. Aku bersujud kepada
Guru, Sang Penuntun, Sang Begawan, Tathagatha, Arahat, dan
sebagainya.” Ini adalah awal bagian pertama. Kita mengawali
tahap ketiga ini dengan penghormatan, yang dapat dilakukan
seratus, seribu atau sebanyak mungkin berulang-ulang kali,
sebelum kemudian melanjutkan meditasi kita.
Setelah penghormatan, kita akan sampai pada bagian
utama dari tahap ketiga ini, yaitu membangkitkan bodhicita,
yang berbunyi “Untuk mencapai kebahagiaan terunggul
dan kebaikan bagi semua makhluk yang tak terbatas seperti
angkasa, aku akan dengan cepat, cepat sekali mencapai
Kebuddhaan yang sangat sempurna” dan sebagainya. Inilah
cara kita membangkitkan bodhicita.

52
Lalu, bagian yang berikutnya adalah mendedikasikan
semua kebajikan yang telah kita himpun agar menjadi
penyebab kita terlahir di Sukawati, dan ini dimulai dengan
kalimat yang berbunyi “Maka dengan kekuatan semua akar
kebajikan yang telah kukumpulkan melalui ketiga pintu dan
semua kebajikan dari ketiga kurun waktu,” sampai kalimat
terakhir: “...mengunjungi masing-masing bumi suci para
Buddha.” Sebaiknya kita melafalkan dan mengulang kalimat
ini sambil memvisualisasikannya 3 atau 7 kali. Initinya
adalah kita berharap semoga semua kebajikan kita menjadi
penyebab kelahiran di Sukawati.

53
BAB

09
Permohonan untuk
Terlahir di Sukawati

55
T
ahap keempat adalah melafalkan Doa Perilaku Mulia
atau Bhadracharya, dan doa panjang untuk terlahir di
Sukawati, dan sebagainya. Namun, kalau kita tidak
punya waktu dan ingin menyingkatnya, maka yang kita baca
adalah kedua bait berikut, yang pertama berbunyi “Ketika
kondisi-kondisi yang mendukung kehidupan ini berakhir,
semoga aku dapat melihat dengan jelas di hadapanku
Amitabha yang dikelilingi rombongannya yang begitu besar
dan dipenuhi dengan keyakinan berwelas asih.” Maksudnya
adalah, ketika kita akan mati nanti, semoga Buddha Amitabha
bisa menampakkan diri-Nya untuk membimbing kita.
Bait yang berikutnya merupakan doa ketika kita sudah
mati dan berada di alam bardo, yang berbunyi, “Semoga
kedelapan putra penakluk menunjukkan padaku jalan yang
pasti,” Harapan kita adalah mereka akan menampakkan
diri dan memandu kita langsung ke Sukawati agar kita tidak
terganggu oleh khayalan-khayalan yang terjadi selama di
alam bardo. Delapan putra penakluk ini adalah Manjushri,
Wajrapani, Awalokiteshwara, Ksitigarbha, Maitreya,
Samantabhadra, Niwarana, dan Akashagarbha. Jadi, kita
berharap agar mereka menampakkan diri di alam bardo

56
untuk menunjukkan jalan yang langsung mengantar kita ke
Sukawati. Dan sekali kita terlahir di Sukawati, kita berdoa
agar emanasi-emanasi kita kemudian akan menuju ke bumi-
bumi lain yang tidak suci untuk menuntun dan mengajari
makhluk-makhluk di sana agar bisa mencapai Sukawati.
Kemudian, ada doa panjang yang dikarang oleh Je
Tsongkhapa, meskipun pernyataan ini belum bisa dipastikan.
Namun, terlepas dari siapa pengarangnya, doa ini intinya
adalah harapan agar kita dituntun langsung menuju bumi
Sukawati dan mendapatkan pencapaian-pencapaian spiritual
di sana, yang kemudian bisa kita gunakan untuk membantu
makhluk lain mencapai bumi suci itu dan melepaskan mereka
dari segala penderitaan.
Pada saat kita melakukan praktik Tangga menuju
Sukawati ini, ingatlah untuk melakukan praktik-
praktik pendahuluan seperti membersihkan tempat dan
mempersiapkan persembahan. Kemudian kita duduk dalam
posisi yang baik, lalu membangkitkan suatu motivasi yang
bajik. Terkait meditasinya, yang pertama-tama kita lakukan
adalah memvisualisasikan Sukawati, dan berlanjut terus ke
tahap-tahap selanjutnya.

Rinpoche menutup sesi pengajaran topik Tangga menuju Sukawati


dengan mengungkapkan harapan agar kita bisa mempraktikkan apa
yang telah diajarkan. Keyakinan memang penting dalam praktik Dharma,
tapi Rinpoche menyarankan agar kita bisa turut memadukannya dengan
pengetahuan. Di Indonesia masa lampau, ajaran Mahayana pernah
tersebar luas dan telah dipraktikkan oleh banyak orang, namun seiring
waktu dan merosotnya karma baik, ajaran ini hampir tidak terdengar lagi.
Rinpoche berharap bahwa praktik yang kita lakukan dengan tulus akan
mampu menghidupkan kembali tradisi Mahayana di Indonesia.

57
BAB

10
Kata Penutup

59
T
erima kasih yang mendalam kepada Yang Mulia Dagpo
Rinpoche yang telah memberikan bimbingan Dharma
kepada para anggota Sangha dan umat di wihara
Dharmakirti ini. Sungguh merupakan kebahagiaan bagi umat
Buddha di Palembang bahwa pada masa kejayaan Sriwijaya Guru
Atisha Dipankara dari India telah belajar kepada seorang guru di
sini yang bernama Serlingpa Dharmakirti. Dan saat ini, kita patut
berbahagia karena tidak perlu belajar Dharma jauh-jauh, dan
malah kedatangan seorang guru yang memiliki cinta kasih besar
kepada kita. Semoga Dharma yang dibabarkan oleh Rinpoche
bisa membawa kebahagiaan bagi kita dan semua mahkluk.
Semoga Yang Mulia Dagpo Rinpoche berumur panjang dan selalu
sehat, dan dapat mengajarkan Dharma kepada kita semua dalam
kesempatan yang lain [...] Ungkapan terima kasih kami sampaikan
kepada Yang Mulia Bhante Vajrakiri. Prakarsa dan semangat
beliau memungkinkan terlaksananya sesi pengajaran Dharma
dari Dagpo Rinpoche. Semoga kegiatan ini tidak berhenti disini
dan dapat terus berlangsung [...] Sebelum acara berakhir, akan
ada persembahan kathag untuk Rinpoche.

Sebagai gantinya, Rinpoche mempersembahkan gambar Amitayus kepada


Bhante Vajrakiri.

60
Sukhavati Vyuha Sutra

Hormat kepada Beliau Yang Mahatahu.

D
emikianlah telah kudengar: Pada suatu saat Hyang
Buddha berdiam di Sravasti, di hutan Jeta, Taman
Anthapin-daka bersama dengan sekumpulan Bhiksu
yang berjumlah seribu dua ratus lima puluh, yang kesemuanya
dikenal dan diakui sebagai Sesepuh (sthavira), Siswa Agung
(mahasravaka), dan para Arhat seperti: Sesepuh Sariputra,
Mahamaudga-lyayana, Mahakasyapa, Mahakatyayana:
Mahakausthila, Revata, Suddhipanthaka, Nanda, Ananda,
Rahula, Gavampati, Bharadvaja, Kalodayin, Maha Kapphina,
Vakkula dan Anirud-dha, dan lain-lainnya seperti Siswa-
siswa terkemuka lainnya seperti: Manjusri, Sang Pangeran
Dharma, Ajita Bodhisatva, Gandhahastin Boddhisatva,
Nityodukta Boddhisatva, Anikship-tadhura Boddhisatva,
dan lain-lainnya seperti mereka semua Bodhisattva-
Mahasattva ini, bersama Sakra, pemimpin para dewa, dan
Brahma Sahampati. Bersama mereka dan para dewata dari
ratusan ribu Niyuta.
Pada waktu itu Hyang Buddha bersabda kepada
sesepuh Sariputra: “O, Sariputra! Berlalu dari sini melewati

62
ratusan ribu Koti negeri-Buddha (Buddha-ksetra), di penjuru
Barat terdapat sebuah alam (lokhadhatu) yang bernama
Sukawati. Di dalam alam tersebut, seorang Tahthagata,
Arhat, Samyak-sambuddha yang bernama Amitayus, kini
sedang bermukim, berdiam, dan tinggal, serta membabarkan
Dharma di sana.”
“Kini bagaimana pendapatmu, O, Sariputra? Apakah
sebabnya alam itu disebut Sukawati? Bagi makhluk-
makhluk yang hidup di alam Sukawati, O, Sariputra, tak ada
penderitaan badani maupun batin. Di sana sumber-sumber
kebahagiaan tak-terhitung banyaknya. Karena alasan itulah
maka alam tersebut dinamakan Sukawati.”
“Juga, O, Sariputra! Alam Sukawati itu juga dihiasi
dengan tujuh langkan bertingkat, tujuh baris jajaran pohon
Palma, dan jalinan tali-temali yang pada setiap ujungnya
terdapat genta (kinkinjla). Setiap sisinya berpagar, indah,
dan gemerlapan dengan empat macam permata, yakni:
emas (suvarna), perak (rupya), batu hijau muda (vaidurya)
dan kristal (sphatika). Dengan deretan kemuliaan yang khas
untuk suatu negeri-Buddha itulah negeri-Buddha tersebut
dihiasi.”
“Juga, O, Sariputra! Dalam alam Sukawati itu
terdapat kolam-kolam teratai, yang dihiasi dengan tujuh
macam permata, yaitu emas, perak, batu hijau muda, kristal,
mutiara merah (lohitamukti), berlian (asmagarbha) dan
koral (usaragalva). Kolam tersebut penuh dengan air yang
memiliki delapan sifat kebaikan (yakni: kejernihan/kesucian,
kesegaran, sifat manis, kelembutan, sifat kesuburan,
ketenangan, kemakmuran, dan sifat produktif), air kolam-
kolam tersebut naik setinggi tempat arungan dan tempat
mandi, sehingga burung-burung gagak (kakapeya) pun dapat
minum di sana; Kolam-kolam teratai ini, pada keempat

63
tepinya terdapat empat tangga, yang indah dan gemerlapan
dengan empat macam permata, yakni emas, perak, batu
hijau muda, dan kristal. Dan pada setiap tepi kolam-­k olam
teratai tersebut tumbuh pohon-pohon permata yang indah
dan gemerlapan dengan tujuh macam permata, yaitu: Emas,
perak, batu hijau muda, kristal, mutiara merah, berlian dan
koral sebagai macam yang ketujuh. Dan di dalam kolam­
kolam tersebut tumbuh bunga-bunga teratai, yang biru,
berwarna biru, bersinar biru, nampak biru; yang kuning,
berwarna kuning, bersinar kuning, nampak kuning; yang
merah, berwama merah, bersinar merah, nampak merah;
yang putih, berwarna putih, bersinar putih, nampak putih;
indah, berwarna indah, bersinar indah, nampak indah,
dan dengan diameter sebesar roda pedati. Dengan deretan
kemuliaan yang khas untuk suatu negeri-Buddha itulah,
negeri-Buddha tersebut dihiasi.”
“Juga, O, Sariputra! Di negeri-Buddha itu terdapat
alat-­a lat musik sorgawi yang selalu bergema, dan tanahnya
indah dan berwarna keemasan. Dan negeri-Buddha itu
hujan-bunga kembang-sorgawi Mandarava turun tiga kali
setiap siang dan tiga kali setiap malam. Dan makhluk-
makhluk yang terlahir di sana memuja seratus ribu koti
Buddha dengan pergi ke alam­-alam lain sebelum mereka
makan pagi (purobhaktena); dan setelah menaburkan seratus
ribu koti bunga-bunga kepada setiap Tathagata, akhirnya
mereka kembali lagi ke alam mereka sendiri untuk istirahat
siang (divaviharaya). Dengan deretan kemuliaan yang khas
untuk suatu negeri-Buddha itulah, negeri-Buddha tersebut
dihiasi.”
“Juga, O, Sariputra! Di negeri-Buddha itu terdapat
angsa-angsa putih, burung-burung Karavika, burung-burung
merak. Tiga kali pada siang hari dan tiga kali pada malam

64
hari mereka berkumpul dan mengadakan konser, masing-
masing menyuarakan nadanya sendiri. Dari nada yang
mereka kumandangkan demikian terdengar sabda yang
membabarkan (lima) kemampuan (indriya) (yakni: keyakinan/
sraddha, semangat/virya, perhatian/smrti, meditasi/
samadhi, dan kebijaksanaan/prajna), lima kekuatan (bala),
(tujuh) faktor pencerahan batin (bodhyanga: pengertian,
penyelidikan terhadap Dharma/dharma-pravicaya, semangat,
kegiuran-batin/priti, ketenangan batin/prasrabdhi, meditasi,
dan keseimbangan batin/upeksha). Ketika orang-orang di
sana mendengar sabda tersebut, muncullah ingatan terhadap
Buddha, muncullah ingatan terhadap Dharma, muncullah
ingatan terhadap Sangha dalam batin mereka.”
“Kini bagaimana pendapatmu, O, Sariputra! Mengapa
terdapat makhluk-makhluk yang memasuki sifat binatang
(burung-burung, dan sebagainya)? Hal ini janganlah
dianggap demikian. Bahkan sebutan neraka itu sendiri tak
dikenal dalam negeri-Buddha tersebut, dan begitu pula
mengenai (kelahiran dalam) tubuh-tubuh binatang dan alam
Yama. Sesungguhnya di kerajaan Buddha tidak Tidak, jenis
burung-burung ini telah sengaja dibuat oleh Hyang Tathagata
Amitayus, dan mereka mengumandangkan sabda Dharma
(Ajaran). Dengan deretan kemuliaan yang khas untuk suatu
negeri-Buddha itulah, negeri-Buddha tersebut dihiasi.”
“Juga, O, Sariputra! Ketika jajaran pohon-pohon
palma dan jalinan tali-temali yang pada setiap ujungnya
terdapat genta di negeri-Buddha itu digerakkan oleh angin,
maka akan terdengarlah suara yang merdu dan menawan
hati. Ya, O, Sariputra! Seperti dari sebuah alat musik sorgawi
yang mengandung seratus ribu koti jenis suara, ketika
dimainkan oleh Para Arya terdengarlah suara yang merdu
dan menawan hati; Suara yang merdu dan menawan hati

65
itu terdengar dari jajaran pohon-pohon palma dan jalinan
tali-temali yang pada setiap ujungnya terdapat genta yang
digerakkan oleh angin. Ketika orang-orang mendengar suara
tersebut, muncullah ingatan terhadap Buddha, muncullah
ingatan terhadap Dharma, dan muncullah ingatan terhadap
Sangha dalam batin mereka. Dengan deretan kemuliaan
yang khas untuk suatu negeri­- Buddha itulah, negeri-Buddha
tersebut dihiasi.”
“Kini bagaimana pendapatmu, O, Sariputra! Apakah
sebabnya Hyang Tathagata itu disebut Amitayus? O, Sariputra!
Jangka hidup (ayus) Hyang Tathagata dan orang-orang di
sana tidaklah terbatas (amita). Oleh karenanya, Tathagata
itu dise­b ut Amitayus. Dan masa sepuluh kalpa telah berlalu,
O, Sariputra! Semenjak Hyang Tathagatha itu menyadari
Anuttara Samyak-sambodhi (Pencerahan Mahasempurna).“
“Dan bagaimana pendapatmu, O, Sariputra! Apakah
sebabnya Hyang Tathagata itu disebut Amitabha? O,
Sariputra! Cahaya (abha) Hyang Tathagata itu tak-terhalang
di segenap negeri-Buddha. Karenanya Hyang Tathagata itu
disebut Amitabha.”
“Dan terdapatlah , O, Sariputra! Sekumpulan siswa
Hyang Tathagata itu yang tak-terhitung jumlahnya, orang­
orang suci dan mulia yang jumlahnya sukar dihitung. Dengan
deretan kemuliaan yang khas untuk suatu negeri-Buddha
itulah, negeri-Buddha tersebut dihiasi.”
“Juga, O, Sariputra! Di antara makhluk-makhluk yang
terlahir dalam negeri-Buddha Hyang Tathagata Amitayus
sebagai Bodhisattva-Bodhisattva suci, mereka itu tak akan
pernah mengalami kemerosotan (avaivartya) batin lagi, dan
hanya akan mengalami satu kali kelahiran (ekajatika) saja;
di antara Bodhisattva-Bodhisattva itu, O, Sariputra! Jumlah
mereka tak mudah dihitung, dan mereka hanya dinyatakan
berjumlah tak-terbatas (iti asankhyam gacchanti).“

66
“Selanjutnya O, Sariputra! Hendaknya setiap makhluk
hendaklah bertekad (untuk terlahir dalam) negeri-Buddha
tersebut. Mengapa? Karena di sana mereka akan berkumpul
dengan orang-orang mulia demikian. Kelahiran makhluk­
makhluk di negeri-Buddha Tathagata Amitayus itu bukanlah
sebagai pahala dan hasil dari perbuatan-perbuatan baik yang
dilakukan dalam kehidupan sekarang ini. Bukan! Putra atau
putri suatu keluarga siapa pun yang mendengar nama Hyang
Buddha Amitayus, Tathagata, dan setelah mendengarnya,
akan mengingatnya dalam batin, dan dengan pikiran
terpusat akan mengingatnya dalam batin selama satu, dua,
tiga, empat, lima, enam, atau tujuh malam, ketika putra atau
putri suatu keluarga tersebut menjelang ajal, maka Amitayus,
Hyang Tathagata itu, dengan dikelilingi oleh sekumpulan
siswa serta diiringi serombongan Bodhisattva, akan berdiri
di hadapan mereka pada saat kematian mereka, dan mereka
akan meninggalkan kehidupan ini dengan batin tenang.
Setelah kematian mereka, mereka akan dilahirkan di alam
Sukawati, dalam negeri-­B uddha Amitayus, Hyang Tathagata
itu. Karenanya, O, Sariputra! Setelah memahami sebab dan
akibat ini, dengan hormat Aku menyatakan demikian: Setiap
putra dan putri suatu keluarga hendaknya bertekad dengan
sepenuh hati (untuk terlahir dalam) negeri-Buddha itu.”
“Dan sekarang, O, Sariputra! Sewaktu di sini Aku
sedang mengagungkan alam tersebut, maka di sebelah Timur,
O, Sariputra! Para Buddha Yang Mulia lain-lainnya, dengan
dipimpin oleh Tathagata Aksobhya, Tathagata Merudvaja,
Tathagata Mahameru, Tathagata Meruprabhasa, dan
Tathagata Manjudvaja, yang jumlahnya sama dengan pasir
sungai Gangga, juga sedang mengungkapkan (kemuliaan-
kemuliaan) negeri-Buddha Mereka masing-masing dalam
ucapan Mereka, dan kemudian membabarkannya. Terimalah

67
pengulangan Dharma yang disebut ‘Karunia Semua Buddha’
ini, yang mengagungkan kemuliaan-kemuliaan Mereka yang
tak terpahamkan.”
“Begitu pula halnya dengan para Buddha Yang
Mulia lain-lainnya di sebelah Selatan, dengan dipimpin oleh
Tathagata Candrasuryapradipa, Tathagata Yasahprabha,
Tathagata Maharciskandha, Tathagata Merupradipa,
Tathagata Anantavirya, yang jumlahnya sama dengan pasir
sungai Gangga, juga sedang mengungkapkan kemuliaan-
kemuliaan negeri-Buddha Mereka masing-masing dalam
ucapan Mereka, dan kemudian membabarkannya. Terimalah
pengulangan Dharma yang disebut ‘Karunia Semua Buddha’
ini, yang mengagungkan kemuliaan-kemuliaan Mereka yang
tak-terpahamkan.”
“Begitu pula halnya dengan para Buddha Yang
Mulia lainnya di sebelah Barat, dengan dipimpin oleh
Tathagata Amitayus, Tathagata Amitaskhanda Tathagata,
Tathagata Amitadvaja, Tathagata Mahaprabha, Tathagata
Maharatnaketu, Tathagata Suddharasmiprabha, yang
jumlahnya sama dengan pasir sungai Gangga butiran-
butiran pasir sungai Gangga, juga sedang mengungkapkan
kemuliaan-kemuliaan negeri-Buddha Mereka masing-masing
dalam ucapan Mereka, dan kemudian membabarkannya.
Terimalah pengulangan Dharma yang disebut ‘Karunia
Semua Buddha’ ini, yang mengagungkan kemuliaan-
kemuliaan Mereka yang tak-terpahamkan.”
“Begitu pula halnya dengan para Buddha Yang
Mulia di sebelah Utara, dengan dipimpin oleh Tathagata
Maharciskandha, Tathagata Vaisvanaranirghosa, Tathagata
Dundubhisvaranirghosa, Tathagata Duspradharsa, Tathagata
Adityasambhava, Tathagata Jaleniprabha, Tathagata
Prabhakara, yang jumlahnya sama dengan pasir sungai

68
Gangga butiran-butiran pasir sungai Gangga, juga sedang
mengungkapkan kemuliaan-kemuliaan negeri-Buddha
Mereka masing-masing dalam ucapan Mereka, dan kemudian
membabarkannya. Terimalah pengulangan Dharma yang
disebut ‘Karunia Semua Buddha’ ini, yang mengagungkan
kemuliaan-kemuliaan Mereka yang tak-terpahamkan.”
“Begitu pula halnya dengan para Buddha Yang Mulia
lain-lainnya di sebelah Bawah (nadir), dengan dipimpin oleh
Tathagata Simha, Tathagata Yasas, Tathagata Yasaprabha,
Tathagata Dharma, Tathagata Dharmadhara, Tathagata
Dharmadhvaja, yang jumlahnya sama dengan pasir sungai
Gangga butiran-butiran pasir sungai Gangga, juga sedang
mengungkapkan kemuliaan-kemuliaan negeri-Budha
Mereka masing-masing dalam ucapan Mereka, dan kemudian
membabarkannya. Terimalah pengulangan Dharma yang
disebut ‘Karunia Semua Buddha’ ini, yang mengagungkan
kemuliaan­k emuliaan Mereka yang tak-terpahamkan.”
“Begitu pula halnya dengan para Buddha Yang Mulia
lain-lainnya di sebelah Atas (zenith), dengan dipimpin oleh
Tathagata Brahmaghosa, Tathagata Naksatra-raja, Tathagata
Indraketudvaja-raja, Tathagata Gandhottama, Tathagata
Gandhaprabhasa, Tathagata Maharciskandha, Tathagata
Ratna­k usuma-sampuspita-gatra, Tathagata Sarvarthadarsa,
Tathagata Sumerukalpa, yang jumlahnya sama dengan
pasir sungai Gangga butiran-butiran pasir sungai Gangga,
juga sedang mengungkapkan kemuliaan-kemuliaan negeri-
Buddha Mereka masing-masing dalam ucapan Mereka,
dan kemudian membabarkannya. Terimalah pengulangan
Dharma yang disebut ‘Karunia Semua Buddha’ ini, yang
mengagungkan kemuliaan-­ k emuliaan Mereka yang tak-
terpahamkan.”

69
“Kini bagaimana pendapatmu, O, Sariputra! Apa
sebabnya pengulangan (risalah) Dharma itu disebut ‘Karuna
Semua Buddha’? Setiap putra atau putri suatu keluarga
yang mendengar nama pengulangan Dharma itu dan
mempertahankan dengan teguh nama-nama para Buddha
Yang Mulia tersebut dalam ingatan mereka, akan diberkahi
oleh para Buddha, dan tak akan pernah mengalami
kemerosotan batin lagi, serta pada suatu ketika akan
mencapai Anuttara Samyak-sambodhi. Oleh karenanya, O,
Sariputra! Yakinlah, terimalah, dan janganlah ragu-ragu
kepada diri-Ku dan para Buddha Yang Mulia tersebut!”
“Putra dan putri suatu keluarga siapapun yang
membuat tekad (untuk terlahir dalam) negeri-Buddha
Amitayus–Hyang Tathagata–atau membuatnya sekarang,
atau telah membuatnya pada masa lampau, mereka
semuanya tak akan pernah mengalami kemerosotan batin
lagi, dan pada suatu ketika akan mencapai Anuttara Samyak-
sambodhi. Mereka akan dilahirkan, sedang dilahirkan,
atau telah dilahirkan dalam negeri-Buddha tersebut. Oleh
karenanya, O, Sariputra! Putra atau putri suatu keluarga
yang penuh keyakinan harus membuat tekad dalam batin
(untuk terlahir dalam) negeri-Buddha tersebut.”
“Dan kini, O, Sariputra! Sewaktu Aku di sini sedang
mengagungkan kemuliaan yang tak-terpahamkan dari para
Buddha Yang Mulia tersebut, maka para Buddha Yang Mulia
tersebut, O, Sariputra! Juga mengagungkan kemuliaan-
kemuliaan-Ku Yang tak terpahamkan, demikian: ‘Suatu
tugas yang teramat sukar telah dilakukan oleh Sakyamuni,
raja diraja suku Sakya. Semasa kalpa yang keruh ini, semasa
keyakinan yang keruh ini, semasa kehidupan yang keruh ini,
semasa kenafsuan yang keruh ini, setelah mencapai Anuttara
Samyak­ - sambodhi, Buddha Yang Maha Sempurna dalam

70
dunia saha ini, Beliau mengajarkan Dharma yang enggan
diterima oleh seluruh dunia.”
“Suatu tugas yang teramat sukar telah Ku-lakukan, O,
Sariputra! Yakni bahwa semasa umat manusia yang keruh
ini, semasa keyakinan yang keruh ini, semasa kehidupan
yang keruh ini, dan semasa kalpa yang keruh sekarang ini,
setelah mencapai Anuttara Samyak-sambodhi, Buddha Yang
Maha Sempurna dalam dunia saha ini, Aku mengajarkan
Dharma yang seluruh dunia enggan menerimanya.”
Demikianlah sabda Hyang Buddha dengan batin
penuh kegembiraan. Yang mulia (ayasmanta) Sariputra,
beserta para bhiksu dan Bodhisattva, serta seluruh dunia
beserta para dewa, manusia, asura dan gandharva, merasa
bersukacita mendengarkan sabda Hyang Buddha.

71
Penggabungan Meditasi
Para Pelindung Amitabha
dan Avalokiteshvara
yang disebut
Tangga Menuju Sukawati
OLEH
Y. M. Dagpo Lama Rinpoche Jampel Lhundrup

D
engan memakai Sutra Sukhavati Vyuha sebagai
sumber, Sang Bhagawan Tsongkapa, Yang Maha Tahu
Changkya beserta yang lain-lain telah mengarang
“Kunci Untuk Bumi Yang Mulia” menurut instruksi-instruksi
inti yang merupakan penyebab-penyebab untuk kelahiran
kembali di Sukawati adalah:
1. Sambil secara berulang-ulang mengingat kualitas-
kualitas Bumi Yang Mulia dan Gurunya, berlindung
dan membangkitkan batin pencerahan/Bodhicitta,
memvisualisasikan Tri Ratna dari Bumi Yang Mulia–
terutama Amitabha–seluas angkasa;
2. Sebagai penyebab kelahiran kembali di bumi tersebut,
mengumpulkan banyak kebajikan: doa tujuh bagian dsb.
3. Mendedikasikan semua kebajikan dari membangkitkan
batin pencerahan untuk kelahiran kembali di Sukawati.
4. Mengucapkan doa-doa.
5. Memeditasikan instruksi-instruksi untuk pemindahan
[kesadaran].

72
PERTAMA:
Dari sini, pada arah matahari terbenam, lewat dunia-dunia
yang tak terhitung dan sedikit di atas ditemukan bumi yang
disebut Sukawati [Blissful/Penuh Sukacita], yang dihasilkan
oleh kekuatan doa-doa yang diucapkan Amitabha sebelumnya.
Buminya yang terbuat dari bahan-bahan berharga serata dan
sehalus telapak tangan; lembut dan menyenangkan, luas dan
lebar, jernih dan terang. Ketika ditekan akan lentur, dan ketika
dilepaskan akan kembali. Di dalamnya ditemukan pohon-pohon
pengabul harapan yang terbuat dari bahan-bahan berharga
dengan daun-daun sutera dan buah-buahan yang berhiaskan
permata. Di dalamnya semua jenis burung-burung emanasi
akan melantunkan ajaran luas dan mendalam secara melodis.
Terdapat sungai-sungai berair wangi dengan delapan kualitas.
Juga, terdapat sebuah rumah pemandian yang dikelilingi
tangga dan dihiasi ukiran yang terbuat dari tujuh bahan
berharga. Mengelilingi ini terdapat bunga­-bunga padma wangi
yang berhiaskan buah-buahan dan yang memancarkan banyak
cahaya. Pada ujung-ujung cahaya memancar tersebut terdapat
banyak emanasi para Buddha. Terlebih lagi, di bumi ini istilah
‘delapan ketidakbebasan’ dan ‘ketiga alam rendah’ tak pernah
diucapkan. Demikian pula halnya dengan klesha­-klesha, apakah
kelima atau ketiga racun, serta dukkha, apakah dalam bentuk
penyakit, roh-roh pengganggu, musuh-musuh, kemiskinan atau
konflik, mereka tidak pernah terdengar adanya. Waktu berlalu
dalam keadaan kenikmatan. Tidak terdapat wanita atau yang
dilahirkan dari rahim. Semua dilahirkan dari jantung bunga-
bunga padma dan memiliki tubuh-tubuh emas yang dihiasi
tanda-tanda utama dan sekunder: usnisha dsb. Mereka memiliki
[kelima jenis] penglihatan dan [keenam jenis] kewaskitaan.
Timbul dari sifat kebijaksanaan yang unggul, istana terbuat
dari banyak sekali bahan-bahan berharga dan menakjubkan.

73
Apapun objek­-objek yang diinginkan seseorang akan muncul
tanpa upaya, hanya dengan pikiran semata. lstilah ‘Aku dan
kamu’ dan ‘upaya mencengkram ke-akuan’ tidak dikenal;
apapun awan-awan bahan persembahan yang diinginkan akan
muncul dari telapak tangan kita. Semua mendapat manfaat dari
ajaran-ajaran terunggul Mahayana. Dari pohon-pohon, bunga-
bunga padma dan sungai­- sungai secara konstan muncul banyak
sekali persembahan-persembahan bagi kelima indera; sungai-
sungai wangi akan menghujankan bunga yang banyak dan
beraneka ragam. Walaupun di sana tidak ada wanita, kumpulan
emanasi dewi-dewi persembahan secara kontinu membawakan
persembahan-persembahan. Ketika Anda ingin beristirahat
sejenak, sebuah istana permata akan bermanifestasi; ketika
Anda ingin berbaring, sebuah sofa indah yang terbuat dari
bahan-bahan berharga muncul dengan sebuah kasur dan bantal
yang berhiaskan aneka ragam sutera yang sangat halus.

Ketika Anda ingin mendengar, burung-burung, pepohonan,


sungai-­s ungai, instrumen musik dsb akan melantunkan Dharma.
Ketika Anda tidak menginginkannya lagi, telinga Anda tidak lagi
mendengar suara-suara dan keheningan muncul. Terlebih lagi,
kolam-kolam dan sungai-sungai amretta suhu sesuai keinginan
Anda. Ketika banyak Buddha dan Bodhisattva dari sepuluh
penjuru datang setiap hari untuk memberikan persembahan
pada Amitabha dan untuk mengunjungi bumi itu, [mereka
yang tinggal di sana] melayani dan memberikan penghormatan
pada mereka dan menerima nektar Dharma dari mereka. Lebih
jauh lagi, pagi­-pagi buta mereka berangkat untuk menerima
inisiasi, pemberkahan, ikrar/sumpah dan instruksi-instruksi
berikutnya dari Akshobhya, Ratnasambhava, Amoghasiddhi
dan Vairochana di Abhirati, pada sub-benua Chamara, di
Potala atau di Audarikata, dan untuk memberikan mereka

74
persembahan. Pada siang hari mereka kembali ke Sukawati
tanpa kesulitan, menikmati hari dsb.

Di pusat bumi suci, yang susunannya sebagai wadah dan


isinya sempurna, diatas sebuah tahta berharga yang ditopang
oleh burung-burung merak dan sebuah tampuk yang terbuat
dari sebuah padma dan sebuah [piringan] bulan merupakan
guru spiritual utamaku, sangat baik hati, dalam wujud Sang
Penakluk Jaya Amitabha. Warna tubuhnya adalah seperti
gunung batu karang laut merah yang disinari oleh pancaran
cahaya sepuluh juta matahari. Kepalanya memiliki ushnisha. Ia
berwajah satu, bertangan dua dalam postur keseimbangan batin
(dhyana mudra) sambil memegang sebuah mangkuk bhiksu
penuh amretta/nektar umur panjang. Ia mengenakan ketiga
jubah bhiksu berwarna saffron. Ia duduk dengan punggungnya
bersandar pada pohon bodhi dalam postur vajra bermandikan*
cahaya cerah yang memencar dari tubuhnya yang terbuat dari
cahaya suci dan dihiasi dengan tanda-tanda utama dan sekunder
dari seorang buddha. Ia dikelilingi di sebelah kanannya oleh
Bodhisattva Avalokiteshvara, berwarna putih, dimana dengan
tangan kanannya memberikan perlindungan dan dengan tangan
kirinya memegang sebuah padma putih, di sebelah kirinya oleh
Mahasthamaprapta [Ia yang telah mencapai kekuatan luar biasa]
berwarna biru, dimana pada tangan kanannya memberikan
perlindungan dan dengan tangan kirinya memegang sebuah
bunga padma yang di atasnya terdapat sebuah vajra, dengan
sekumpulan banyak sekali Bhiksu, Bodhisattva dan Sangha
serta sekumpulan banyak sekali guru, yidam, Buddha dan
Bodhisattva, pahlawan (dharma), dakini dan para pelindung
supra-duniawi. Dengan tubuh, ucapan, batin mereka yang tak
terbayangkan, ketiga [kualitas] kebijaksanaan, welas asih dan
kekuatan, dan aktivitas mereka, objek perlindungan yang mulia

75
memiliki welas asih untuk memperhatikan para makhluk dan
memiliki atribut-atribut yang luar biasa. Dengan mengingat
welas asih dan kualitas-kualitas mereka aku juga dipenuhi
dengan keyakinan mendalam; aku berpikir:

“Diriku dan semua makhluk–ibu-ibuku–dari waktu yang tak


berawal sampai sekarang telah berulang-ulang mengalami
semua penderitaan samsara secara umum, dan penderitaan
ketiga alam rendah secara khusus. Walaupun demikian masih
sangat sulit untuk memahami dalam dan luasnya penderitaan
ini. Tetapi sekarang, aku telah mendapatkan kehidupan manusia
yang begitu baik, bebas dan terberkahi, sangat sulit didapatkan
dan sangat berarti ketika didapatkan, dan aku telah bertemu
dengan ajaran para Buddha, yang sangat sulit ditemukan, jika
aku tidak mencapai pembebasan terunggul dimana penderitaan
samsara teratasi, kebuddhaan yang sempurna, maka sekali lagi
aku harus mengalami bermacam-macam penderitaan samsara
secara umum dan penderitaan alam rendah secara khusus.
Mengingat bahwa di hadapanku sekarang terdapat para guru
dan Sang Tri Ratna yang dapat melindungiku dari penderitaan
ini, aku akan mencapai kebuddhaan yang sempurna demi
semua makhluk–ibu-ibuku–agar ini tercapai aku berlindung
pada para guru spiritual dan Tri Ratna.”

“Aku dan semua makhluk tak terhitung bagaikan angkasa yang


tak terukur, mulai sekarang hingga kami mencapai pencerahan,
berlindung pada guru-guru spiritual yang gemilang dan suci,
berlindung pada para Bhagavan Buddha yang sempurna,
berlindung pada Dharma yang suci, berlindung pada Arya
Sangha. Kami berlindung pada Sang Pemandu, sang Bhagavan
Amitabha dan pada Yang Arya Avalokiteshvara yang sifat
sejatinya adalah welas asih bersama rombongannya, kumpulan
para deiti.”

76
(Ulangi 3x atau lebih untuk berlindung.)
“Pada Buddha, Dharma, dan Sangha yang mulia,
Aku berlindung sampai aku mencapai pencerahan,
Melalui praktek dana dan sebagainya,
Semoga aku mencapai kebuddhaan demi kebaikan semua
makhluk.”
Lafalkan ini sambil membangkitkan batin pencerahan/bodhicitta.

“Semoga semua makhluk mendapatkan kebahagiaan dan


penyebab-penyebabnya!
Semoga semua makhluk bebas dari penderitaan dan penyebab­
penyebabnya!
Semoga semua makhluk tidak pernah kehilangan kebahagiaan
bebas dari penderitaan!
Semoga semua makhluk memiliki keseimbangan batin (upekkha),
bebas dari keberpihakan, kemelekatan dan kebencian!”
demikian meditasikan kualitas-kualitas tak terukur ini.

“Saya akan mencapai kebuddhaan yang sempurna demi


semua makhluk. Untuk tujuan ini maka aku akan menjalankan
langkah­
-langkah yang ditunjukkan semua guru-guru, para
penakluk dan putra-putra mereka, terutama Sang Pemandu,
Sang Bhagavan Amitabha dan Welas Asih yang Luar Biasa,
Yang Arya Avalokiteshvara bersama dengan rombongan
mereka, kumpulan para deiti, dengan bersujud, memberikan
persembahan dan mengingatkan mereka akan komitmen-
komitmen mereka.”
demikian bangkitkan bodhicitta secara khusus.

77
KEDUA:
Dengan sebagai penyebab kelahiran kembali di bumi tersebut,
menghimpun banyak kebajikan: doa tujuh bagian dsb.
“Berkat kebenaran Sang Tri Ratna yang ampuh sempurna,
berkat berkah semua penakluk dan putra-putra mereka, berkat
kekuatan kesempurnaan lengkap dari kedua himpunan, berkat
kekuatan kebenaran dari kesucian sempurna dharmadatu,
semoga tempat ini disucikan dari segala kesalahan atau
ketidaksempurnaan dan semoga menjadi seperti Sukawati,
berhiaskan dengan segala yang dapat diinginkan kami, semua hal
yang menakjubkan di dalam samsara dan yang melampauinya:
tempat itu sendiri, istananya, tampuk-tampuk dan tahta-tahta,
bahan-bahan persembahan dan sebagainya!”

Awan-awan dharani persembahan:


OM NAMO BHA GA WA TEY BENDZA SA RA PRA MA DHA
NEY TA T’A KA TA YA AR HA TEY SAM YAK SAM BU TA YA,
TA YA T’A. OM BENDZEY BENDZEY, MA HA BENDZEY, MA
HA TEY TSA BENDZEY, MA HA BEE YA BENDZEY, MA HA
BODHEE TSEE TA BENDZEY, MA HA BODHEE MEN TRO PA
SAM TRA MA NA BENDZEY, SARWA KARMA AWA RA NA
BEE SHO DA NA BENDZEY SO HA.
Ulangi 3x.

“Berkat kebenaran Sang Tri Ratna, berkat berkah semua


Buddha dan Bodhisattva, berkat kekuatan dari kesempurnaan
lengkap kedua himpunan, berkat kekuatan kemurnian shunyata
yang tak dapat dibayangkan, semoga demikian.”
Mengucapkan ini, dengan kekuatan kebenaran berkahi tempat
dan isinya.

78
Berkat aktivitas luar biasa Mu Kau memberikan kemuliaan tak
terbatas pada para makhluk;
Berpikir tentang Mu sekali saja dapat menghancurkan ketakutan
akan Dewa Kematian;
Dengan welas asih yang konstan Kau memandang semua
makhluk bagai anak-anakMu;
Pada sang pemandu dewa dan manusia, Amitabha, aku
bersujud!

Munendra memuji bumi mulia ini


secara penuh dan menyeluruh, berulang-ulang kali.
Aku akan mengucapkan beberapa doa agar terlahir di Sukawati
Sebaik mungkin, terdorong oleh welas asih.

Dirintangi oleh tebalnya ketidak-tahuan akan apa yang patut


dan tak patut dilakukan,
Senjata kemarahan menghancurkan peluang-peluangku untuk
kelahiran yang lebih tinggi,
Rantai kemelekatan dan kehausan membelengguku pada
penjara yaitu samsara,
Sungai-sungai besar karma menghanyutkanku ke lautan
eksistensi yang berulang.

Dihempas oleh ombak penderitaan dari penyakit dan penuaan,


Terperangkap dalam mulut monster laut, Dewa Kematian yang
menakutkan,
Beban dari penderitaan yang tak diinginkan melanda diri ku.
Aku yang tak memiliki pelindung memohon padamu agar
mendengar doa-doaku yang pilu agar dapat dikabulkan;
Kau yang merupakan satu-satunya karib bagi yang menderita,
sang pemandu, Amitabha,
Yang Arya Avalokiteshvara, putra penakluk Mahasthamaprapta

79
Dan semua pengiringmu, dengan hormat aku bermohon
padamu.
Selama berkalpa yang tak terhitung, demi kami, Kau
membangkitkan bodhicitta yang terunggul,
Jangan pernah lupakan komitmenMu!
Dan seperti garuda1 melintasi angkasa
Dengan kekuatan supranormal dan welas asihmu mohon
datanglah kemari!

Pelindung semua makhluk,


Deiti yang menghancurkan bala tentara Mara yang tak ada
habisnya,
Kau yang mengetahui sifat sejati semua fenomena,
Oh Bhagavan, aku mohon padamu, datanglah kemari dengan
semua pengiringmu!”
demikian undanglah [iring-iringan]

“Di hadapanku di atas sebuah tahta yang berharga dan di atas


sebuah tampuk yang terbuat dari sebuah padma dan sebuah
(piringan) bulan adalah guru spiritual utamaku, sangat baik
hati, dalam wujud Penakluk Amitabha. Warna tubuhnya adalah
seperti gunung batu karang merah yang disinari oleh pancaran
cahaya sepuluh juta matahari. Kepalanya memiliki ushnisha. Ia
berwajah satu, bertangan dua dalam postur keseimbangan batin
(dhyana mudra) sambil memegang sebuah mangkuk bhiksu
penuh amretta/nektar umur panjang. Ia mengenakan ketiga
jubah bhiksu berwarna saffron. Ia duduk dengan punggungnya
bersandar pada pohon bodhi dalam postur vajra bermandikan*
cahaya cerah yang memencar dari tubuhnya yang terbuat dari
cahaya suci dan dihiasi dengan tanda-tanda utama dan sekunder
dari seorang Buddha. Ia dikelilingi di sebelah kanannya oleh
Bodhisattva Avalokiteshvara, berwarna putih, dimana dengan

80
tangan kanannya memberikan perlindungan dan dengan tangan
kirinya memegang sebuah padma putih, di sebelah kirinya oleh
Mahasthamaprapta [Ia yang telah mencapai kekuatan luar biasa)
berwarna biru, dimana pada tangan kanannya memberikan
perlindungan dan dengan tangan kirinya memegang sebuah
bunga padma yang di atasnya terdapat sebuah vajra, dengan
sekumpulan banyak sekali Bhiksu, Bodhisattva dan Sangha
serta sekumpulan banyak sekali guru, yidam, Buddha dan
Bodhisattva, pahlawan (dharma), dakini dan para pelindung
supra-duniawi.” demikian ucapkan kata-kata yang sama dan
lakukan visualisasi yang sama seperti objek perlindungan.

“Betapa luar biasa bahwa Sang Bhagavan telah datang kemari!


Betapa kita memiliki keberuntungan dan karma baik!
Selama aku terus menghormatimu
Oh Bhagavan tetaplah di sini!”

Setelah ini, mulailah penghimpunan kebajikan yang sesungguhnya


melalui doa 7 bagian:
“TubuhMu mencakup semua Buddha,
SifatMu adalah Vajradhara,
Kau merupakan sumber dari ketiga perlindungan,
KepadaMu, oh para guru, aku bersujud.

KepadaMu yang memberikan instruksi-instruksi


Dari Munendra, Maitreya dan Manjugosha,
Dari silsilah aktivitas luas, pandangan mendalam dan praktek
terberkahi,
Pada semua para guru pemegang silsilah-silsilah, aku bersujud.

KepadaMu yang memperhatikan pada petapa bagai anakMu


sendiri,

81
Tak pernah terpisahkan dari mereka seperti tubuh dan
bayangannya,
dan yang menganugerahi pencapaian terunggul pada mereka
yang menghormati komitmen-komitmen mereka,
Kepada kumpulan yidam surgawi, aku bersujud.

Kepada pemandu tiada bandingnya, Pemimpin Shakya,


Kepada Vajragarbha Pramardin dan seterusnya;
Kepada ke-35 Buddha, kepada ke-tujuh sugata heroik,
Ke-delapan tathagatha–pelindung pada jaman kemerosotan,
Ke-seribu matahari Muni–pelindung [makhluk] pada jaman
kemerosotan,
Dipamkara, Munendra, sang pelindung Maitreya dan seterusnya,
Kepada semua penakluk dari ketiga kurun waktu dan kepada
putra-putra mereka,
Batinku dipenuhi penghormatan mendalam, Aku memberikan
penghormatan.

Doa-doaMu yang begitu banyak di masa lalu terpenuhi,


Cahaya, masa hidup dan aktivitasMu tak terbatas,
Pengiring dan kekayaan BumiMu luar biasa,
Oh Pelindung Amitabha kepadaMu Aku bersujud.

P10.
Seribu tanganMu adalah seribu penguasa alam,
Seribu mataMu adalah seribu Buddha di masa yang beruntung,
Kau menunjukkan ini dan bentuk-bentuk lain kepada mereka
yang akan dijinakkan,
Yang Mulia Avalokiteshvara, kepadaMu Aku bersujud.

Tak ternodai oleh kesalahan, tubuhMu berwarna putih,


Buddha yang sempurna memahkotai kepalaMu,

82
Dengan mata penuh welas asih Kau memperhatikan para
makhluk,
Oh Avalokiteshvara, kepadaMu Aku bersujud.

Kau yang memiliki wujud muda,


Dengan indah dihiasi pancaran kebijaksanaan,
Serta menghilangkan kegelapan di ketiga alam,
Oh Manjugosha, kepadaMu Aku bersujud.

Hebat kekuatanMu, hebat kemurkaanMu;


Pemimpin tantra yang bajik,
Yang menjinakkan mereka yang sulit dijinakkan,
Oh Vajrapani, kepadaMu Aku bersujud.

Kau bebas dari samsara oh Tarema,


Dengan Tutara Kau lenyapkan delapan ketakutan,
Dengan Ture Kau bebaskan dari penyakit,
Kepada Ibu Tara, Aku bersujud.

Kepada semua yang pantas dihormati,


Dengan tubuh sebanyak partikel di dunia,
Penuh hormat setiap saat,
Dengan keyakinan mendalam Aku memberikan penghormatan.

Berapapun banyaknya di sepuluh penjuru dunia


Manusia-manusia-singa, Buddha dari ketiga kurun waktu –
Dengan keyakinan pada mereka semua tanpa kecuali,
Aku bersujud dengan tubuh, ucapan dan pikiran.

Dengan kekuatan keyakinanku pada praktek Bodhisattva,


Dengan mata batinku aku melihat jelas semua penakluk,
Dengan tubuh sebanyak partikel di bumi suci,

83
Dengan rasa hormat mendalam aku bersujud kepada para
penakluk.

Di atas setiap partikel jumlah Buddhanya sebanyak adanya


partikel,
masing-masing dikelilingi oleh putra-putra Buddha,
Demikian kubayangkan seluruh angkasa tanpa kecuali,
Dipenuhi oleh para penakluk.

Sambil melantunkan lautan pujian tak terbatas,


Dengan setiap suara dari lidah-lidahku yang tak terhitung,
Aku memuliakan kebajikan semua penakluk,
Dan memuji semua sugata.

Dengan bunga-bunga yang megah dan untaian bunga yang indah,


Simbal, urapan, dan payung-payung terbaik,
Pelita-pelita indah dan dupa-dupa harum,
Aku membuat persembahan pada semua penakluk.

Dengan pakaian-pakaian yang halus dan wewangian langka,


Gundukan bubuk harum setinggi Gunung Meru,
Semua disusun sangat indah,
Aku membuat persembahan pada semua penakluk.

Persembahan-persembahan yang luas dan tak tertandingi ini,


Dalam pikiran aku dedikasikan kepada semua penakluk.
Dengan penuh keyakinan dalam praktek Bodhisattva,
Aku memberikan penghormatan dan membuat persembahan
pada para penakluk.

Semua perbuatan buruk yang telah kulakukan


Karena lobha (kemelekatan), dosa (kebencian) dan moha
(ketidak­-tahuan)

84
Dengan tubuh, ucapan dan pikiran,
Aku akui semua, satu demi satu.

Apakah mereka penakluk dari kesepuluh penjuru


Putra-putra spiritual mereka atau praktek Buddha,
Para pendengar arhat atau pendengar non-arhat,
Aku turut bermudita dalam kebajikan semua makhluk.

Pencerah semua alam di sepuluh penjuru,


Yang telah merealisasikan pencerahan dengan mencapai
pengetahuan yang tak ternoda,
Oh para pelindung, aku bermohon padamu,
Putarkan roda dharma yang terunggul!

Engkau yang berpikir untuk menunjukkan pencapaian nirvana,


Dengan beranjali, aku bermohon padamu:
Untuk membantu dan membawa kebahagiaan bagi semua
makhluk,
Tinggallah selama kalpa-kalpa sebanyak partikel di alam
semesta!

Kebajikan sekecil apapun yang telah kubangkitkan


Melalui penghormatan, persembahan dan pengakuan,
Melalui mudita cita, permohonan ajaran dan permohonan agar
para Buddha tetap bersama kami
Semua kudedikasikan demi pencapaian pencerahan sempurna.”
demikian lafalkan doa tujuh bagian dari [sutra Perilaku yang
Mulia (Bhadra Carya Sutra)].

“Bumi ini yang diurapi dengan minyak wangi dan ditaburi


bunga
Dihiasi Gunung Meru, Empat Benua, Matahari dan Bulan

85
Dibayangkan sebagai Bumi Suci para Buddha dan
kupersembahkan
Semoga semua makhluk menikmati bumi suci ini.

“Semoga semua makhluk yang mendengar namaKu


Dapat dilahirkan di bumiKu!”
Kau yang dengan kata-kata ini membebaskan semua makhluk,
Kepada sang pelindung Amitabha, aku bersujud

Aku bersujud kepada Guru, Sang Pemandu, sang Bhagavan


Tathagatha Arhat,
Kepada yang sama sekali sempurna Buddha Amitabha!
Aku menghormatinya dan berlindung padaNya!
Lafalkan ini seratus, seribu atau sebanyak mungkin, melakukan
permohonan.

86
KETIGA:
“Oh para lama, penakluk di sepuluh penjuru bersama dengan
putra-putramu, terutama Pelindung Amitabha dengan iringan
sangha: bhiksu-bhiksu Bodhisattva, tolong dengarkanlah aku!
Untuk mencapai kebahagiaan terunggul dan kebaikan bagi
semua makhluk, yang tak terbatas seperti angkasa, aku akan
dengan cepat, cepat sekali mencapai kebuddhaan yang sama
sekali sempurna. Untuk tujuan itu, dengan mengambil kelahiran
di Sukawati, aku akan secara lengkap menerima ajaran dari
Pelindung Amitabha. Maka, dengan kekuatan semua akar
kebajikan yang telah kukumpulkan melalui ketiga pintu dan
semua kebajikan dari semua arya dan non-arya dari ketiga kurun
waktu, berkat kekuatan komitmen Tathagatha tanpa cacat, dan
berkat kekuatan dharmadatu–tak terpahami dan sama sekali
murni–segera setelah aku mati, tanpa diperantarai kelahiran
lain, semoga aku dilahirkan di Sukawati di kaki Pelindung
Amitabha, di tengah sebuah padma di atas sebuah singasana.
Saat kelahiranku semoga aku mewujudkan himpunan sifat-sifat
mulia seperti ingatan dan konsentrasi yang tak terhapuskan,
semoga aku menerima ajaran sepenuhnya dari semua Buddha
dari sepuluh penjuru, pemandu terunggul Amitabha dan
seterusnya, dan dengan demikian menyenangkan mereka,
semoga aku seketika, tanpa halangan, mengunjungi masing-
masing bumi suci para Buddha.
Sambil melakukan visualisasi dengan jelas, ulangi kalimat di
atas minimal 3x dengan intensitas penuh, serta bangkitkan batin
pencerahan dan dedikasikan semua kebajikan agar dapat terlahir
di Sukawati.

87
KEEMPAT:
mengucapkan doa-doa, melafalkan Doa Perilaku Yang Mulia
[Bhadracharya Pranidhana] dan doa panjang agar [terlahir di]
Sukawati yang ditulis oleh makhluk agung Sang Bhagawan
[Tsongkapa]. Singkatnya [lafalkan]:
“Ketika kondisi-kondisi yg mendukung kehidupan ini berakhir,
Semoga aku dapat melihat dengan jelas di hadapanku
Amitabha dikelilingi rombongannya yang begitu besar
Dan dipenuhi dengan keyakinan dan welas asih!

Segera setelah kemunculan alam antara (bardo) terwujud


Semoga kedelapan putra Penakluk menunjukkanku jalan yang
pasti,
Sekali dilahirkan di Sukawati, dengan emanasi-emanasiku
Semoga aku memandu semua makhluk ke bumi suci!”

Lebih jauh lagi:


“Selama aku belum mencapai
Keadaan sempurna Muni yang terunggul
Semoga aku mendapatkan bentuk kehidupan yang bisa
mewujudkan jalan yang baik dan murni,
Ditahbisan dan mengingat kehidupan-kehidupan [lalu] ku.

Memiliki harta karun sifat-sifat mulia tak terbatas:


Daya ingat, percaya diri, konsentrasi, kewaskitaan, kekuatan
supranormal, dst,
Sekali aku telah mencapai kebijaksanaan, welas asih, dan
kekuatan tak tertandingi,
Semoga aku dengan cepat menyelesaikan praktek Bodhisattva!

Jika aku melihat tanda-tanda kematian sebelum waktunya


Semoga aku segera melihat bayangan Amitabha secara jelas,

88
Serta menaklukan Dewa Kematian yang ampuh
Semoga aku dengan cepat mendapatkan siddhi keabadian!
Dalam semua kehidupan-kehidupanku berkat Amitayus
Yang bertindak langsung sebagai guru spiritual pada jalan
terunggul
Semoga aku tak pernah–bahkan sekejap pun–
Beralih dari jalan baik yang dipuji para penakluk!

Tanpa berpikiran sekalipun


Demi kepentingan pribadiku mengabaikan semua makhluk,
Semoga aku secara mahir mengabdikan diriku pada
kesejahteraan semua makhluk, Tanpa mengabaikan cara untuk
memenuhi tujuan-tujuan mereka!

Dengan hanya melafalkan namaku atau berpikir tentangnya


Semoga semua yang tersiksa akibat buah dari karma buruk
mereka
Mencapai kegemilangan dari kebahagiaan tertinggi
Dan mendaki tangga menuju kendaraan terunggul!

Berkat penjelasan sebagai kegiatan putra-putra para penakluk


Semoga semua halangan praktek Bodhisattva terhalau,
Dan semua kondisi-kondisi yang menguntungkan
Muncul dengan hanya mengingatkan saja.

Bhagawan para Shakya, Amitabha Sang Pemandu,


Maitreya, Manjugosha, Vajrapani, Avalokiteshvara,
Para Tathagata bersama pengiringmu, berkat kebenaran sebab-
akibat yang tanpa cacat,
Semoga semua doa ini dapat terkabul!”
Ulangi kalimat-kalimat di atas sebanyak mungkin dengan
keyakinan mendalam.

89
KELIMA:
meditasikan instruksi-instruksi untuk pemindahan [kesadaran]:
Berpikirlah bahwa sang Pemandu Amitabha bersama
pengiringnya benar­-benar berada di hadapan Anda. Dalam hati
Anda visualisasikan sebuah aksara putih Ah atau Hung, yang
sifat sejatinya adalah kesadaran Anda–setetes cahaya putih
seukuran kacang polong.

P14.
Ketika Anda menghembuskan nafas cahaya ini akan keluar dari
atas kepala Anda dan larut dalam hati Pelindung Amitabha.
Ketika menghirup nafas cahaya ini akan keluar dari hatinya dan
melalui ujung kepala Anda masuk kembali ke hati Anda. Lakukan
ini seratus, seribu kali atau lebih. Ketika berkat pada meditasi ini
mahkota kepala Anda terasa gatal dsb, visualisasikan cahaya ini
meninggalkan dan masuk melalui kedua lubang hidung Anda. Di
akhir sesi pikirkan bahwa Amitabha dan pengiringnya di depan
larut dalam diri Anda dan Anda berubah menjadi Amitabha.
Selain itu Anda dapat menggabungkan ini dengan yoga pada
Avalokiteshvara, dimana langkah-langkah meditasi untuk
pemindahan kesadaran ini diletakkan di bagian akhir. Setelah
dedikasi, tanpa melarutkan anggota ladang kebajikan di hadapan
Anda lafalkan Yoga Avalokiteshvara Satu Halaman oleh yang
Bhagawan yang Mulia Ngulchu:

“Di atas kepalaku di atas sebuah padma putih dan bulan,


Adalah guru utamaku, Pelindung Avalokiteshvara.
Tubuhnya berwarna putih dan ia berwajah satu dan bertangan
empat
Dua tangannya yang pertama dalam posisi anjali di hatinya.
Tangan kanannya memegang tasbih kristal, yang kiri memegang
sebuah padma putih.

90
Ia mengenakan perhiasan permata dan pakaian sutera.
Ia duduk dengan kedua kakinya dalam postur vajra.

Ketiga tempatnya ditandai dengan Om Ah Hung yang cahayanya


Mengundang dari tempat asalnya Guru Avalokiteshvara.
Yang sifat sejatinya merupakan semua objek perlindungan.
Kepada guru utamaku Yang Mulia Avalokiteshvara
Aku bersujud dengan hormat; Aku berlindung padanya.
Aku membuat persembahan dari semua jenis, baik yang nyata
maupun yang dibayangkan.
Aku mengakui semua perbuatan buruk dan pelanggaran yang
terakumulasi sejak waktu yang tak bermula.
Aku bermudita dalam kebajikan makhluk-makhluk biasa dan
para arya.
Aku bemohon agar kau tetap tinggal sampai samsara kosong,
Dan putarkan roda Dharma demi semua makhluk.
Aku dedikasikan kebajikanku pada pencerahan terunggul
semua makhluk.
Bumi ini yang diurapi dengan minyak wangi dan taburan bunga
Dihiasi Gunung Meru, Empat Benua, Matahari, dan Bulan
Dibayangkan sebagai Bumi Suci para Buddha dan
kupersembahkan
Semoga semua makhluk menikmati bumi suci ini!”

Jika Anda ingin melakukan permohonan panjang, Anda dapat


melakukannya sesuai dengan tradisi Yongdzin Pandita 2;

“Menyatukan menjadi satu welas asih semua penakluk


Muncul secara indah dalam wujud kristal permata,
Anda mengabdi sebagai penjaga semua makhluk dari Bumi
Bersalju,
Oh Arya Avalokiteshvara, Aku bermohon padamu!

91
Di atas sebuah [piringan] bulan dan sebuah padma putih, yang
sifat
sejati merupakan kebijaksanaan dan welas asih,
Engkau berkata, ‘Aku tak ternodai dengan ketidaksempurnaan
apa pun maupun ketidakbajikan’.
Dan memperagakannya dengan menunjukkan tubuh putih,
Oh Arya Avalokiteshvara, Aku bermohon padamu!

Dikarenakan welas asih Kau tak dapat menahan penderitaan


para makhluk,
Maka dari keempat Kau katupkan kedua tangan pertamamu
beranjali
Dan memohon kepada welas asih semua penakluk;
Oh Pelindung yang merupakan tambang welas asih, aku
bermohon padaMu!

Menanggapi dengan welas asih semua makhluk seluas angkasa,


Kau berseru, ‘Aku akan memandu mereka semua ke pembebasan!’
Dan memegang dalam tangan kananmu sebuah tasbih kristal
tak bernoda,
Kerabat unik semua makhluk, aku bermohon padaMu!

Walaupun Kau menunjukkan wujud yang berbeda-beda demi


kebaikan semua makhluk
Kau berseru, ‘Aku tak tersentuh oleh ketidaksempurnaan samsara’,
Dan membuktikannya dengan memegang dalam tangan kirimu
sebuah padma putih tak bernoda;
Kau, yang batinnya mumi, aku bermohon padaMu!

‘Pada siapapun yang berpikir tentangku dan bermohon padaku


aku akan memberikan pencapaian apapun, biasa maupun
terunggul, yang mereka inginkan’,

92
Untuk menunjukkan ini Anda dihiasi dengan permata pengabul
harapan,
Oh yang mulia tambang welas asih, aku bermohon padaMu!

Walaupun dalam dharmakaya semua Buddha tak terpisahkan,


Kau berseru, ‘Aku adalah perwujudan welas asih bagi makhluk
yang menderita’,
Untuk melambangkan ini kau menyelubungi dadamu dengan
kulit kijang,
Oh pelindung yang welas asih, aku bermohon padaMu!”

Lebih jauh lagi:


“Lama, yidam unggul yang merupakan perwujudan semua
objek perlindungan,
Pelindung Avalokiteshvara, aku bermohon padaMu!
Aku berdoa padaMu agar menjadi pelindung dan sahabat mulia
Bagiku dan semua makhluk seluas angkasa!
Berkat kekuatan persembahan-persembahan dan
permohonanku,
Dalam hati Arya di atas sebuah [piringan] bulan, di sekeliling
aksara Hri
Keenam aksara memancarkan arus nektar
Membersihkan kita dari semua penyakit, roh-roh, dosa-dosa
dan penghalang.
Dengan memvisualisasikan diriku sebagai Avalokiteshvara,
Cahaya dari hatiku mempurifikasi dunia dan isinya dari
kesalahan-kesalahan.
Demikian rampunglah yoga terunggul yang mentransformasikan
Ketiga: penampilan, suara dan pikiran ke dalam ketiga rahasia
Arya.
OM MANI PEME HUNG”

93
Lafalkan enam aksara ini sebanyak mungkin, sambil
memeditasikan ketiga transformasi, kelima hal yang harus
diingat dan seterusnya.

Terakhir:
“Dengan kekuatan kebajikanku seperti yang ditunjukkan saat
ini, beserta yang ditunjukkan semua makhluk di ketiga kurun
waktu,
Di bawah perlindungan Guru Avalokiteshvara,
Semoga Aku menjadi nahkoda agung yang memandu
Semua makhluk yang tersiksa oleh ketiga jenis penderitaan!

Semoga aku dan yang lain, segera setelah visi kehidupan ini
berakhir,
Terkait oleh kailnya welas asih Pelindung Amitabha,
Dan sekali dilahirkan dari bunga-bunga padma di Sukawati,
Semoga pencerahan-pencerahan kami dapat diramalkan!

Sampai saat itu semoga kami dapat berumur panjang, bebas


dari penyakit, sehat jasmani, dan batin.
Menghindari pikiran-pikiran buruk dan perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan Dharma,
Semoga kami selalu hidup dengan kekayaan Dharma, kebajikan
dan kegembiraan,
Dan menikmati kebahagiaan agung. Semoga demikian!”

Melihat bahwa akan mudah untuk mempraktekkan meditasi


pemindahan [kesadaran] yang dipaparkan di atas, untuk
selanjutnya Anda dianjurkan untuk melakukannya. Dalam semua
kegiatan Anda, ingatlah kembali Bumi Yang Mulia serta Sang
Pemandu dan jangan pernah pisahkan diri Anda dari aspirasi untuk
mencapai bumi tersebut. Metode praktek ini menggabungkan

94
yoga Amitabha dan Avalokiteshvara meringkaskan Sutra
Amitabha, Kunci Untuk Bumi Yang Mulia oleh Yang Mulia
[Tsongkapa] dan Changkya Rinpoche, juga Yongdzin Pandita dan
karya Yang Mulia Dharmabhadra. Untuk memberikan manfaat
bagi diriku dan yang lain, aku, yang diperkirakan pemandu
pada jaman kemerosotan yang disebut Jampel Lhundrup,
mengarang teks ini di Bamcho Labrang di Dagpo Bawah. Berkat
ini semoga ajaran yang berharga yang merupakan tradisi lisan
pelindung Manjughosa tak pernah merosot melainkan berjaya
seperti sebuah bendera kemenangan! Rumah tangga dari
Bamcho Bhiksu Kelsang Yonten telah menyediakan pendanaan;
penerbitan dilakukan untuk memenuhi permintaan mendiang
Bhiksu Losang Trinley dan merupakan hadiah Dharma yang tak
ada habisnya. Dengan kebajikan ini semoga terutama mendiang
dan melalui keterkaitan orangtuanya, dan semua makhluk dapat
dilahirkan secara ajaib di Bumi Sukawati di jantung bunga-bunga
padma berdaun seribu dan semoga mereka secara kontinu dan
selamanya amretta dari ucapan Amitabha.

Kolofon: Teks “Penggabungan Meditasi Para Pelindung Amitabha


dan Avalokiteshvara Yang Disebut Tangga Menuju Sukawati” ini
dimohonkan oleh Bhiksu Dagpo Lobsang Oser (Bhadra Ruci) agar
diajarkan oleh Yang Mulia Mahaguru Dagpo Rinpoche Jampel
Jampa Gyatso kepada para muridnya di Indonesia. Ajaran ini
diberikan pertama kali di Indonesia di Vihara Dharmakirti, di
awal tahun 2005 di bulan Januari di bumi Sriwijaya Palembang.

95
Glosarium

Abhidharma: secara harfiah bermakna “ajaran yang lebih tinggi”.


Merupakan kumpulan teks Buddhis yang berisi pengerjaan dan
penafsiran ulang atas ajaran-ajaran yang terkandung di dalam
Sutra.

Amerta: merupakan minuman surgawi yang dipercaya mampu


memberikan aneka khasiat, seperti umur panjang, kesehatan,
dan lain-lain.

Angin duniawi: 1] untung, 2] rugi, 3]celaan, 4] penghormatan,


5] pujian, 6] hinaan, 7] penderitaan, 8]kebahagiaan.

Arhat: secara harfiah bermakna “seorang yang berharga atau


sempurna”. Merujuk pada seseorang yang telah mencapai
pembebasan namun belum meraih Kebuddhaan.

Arupadhatu: alam dewa-dewa yang tidak memiliki bentuk


tubuh fisik dan hanya tersusun atas batin.

Arya: secara harfiah bermakna “yang mulia”. Merujuk pada


seseorang yang telah memasuki jalan spiritual dan membaktikan
diri di dalamnya dengan tekun.

96
Bardo: alam transisi yang berada di antara kehidupan saat ini
dan kehidupan selanjutnya. Semua makhluk di dalam samsara
yang akan terlahir kembali pasti melalui alam ini.

Begawan: secara harfiah bermakna “Ia yang Beruntung atau


Terberkahi”. Merupakan sebutan bagi sosok Buddha.

Berlindung: dalam Buddhisme, istilah ini dikenal dengan


nama “Trisarana”. Merujuk pada upaya mencari perlindungan
kepada Triratna dalam rangka menghindari penderitaan dan
menemukan kebahagiaan sejati.

Bodhicita: secara harfiah bermakna “batin pencerahan”.


Merujuk pada kondisi batin yang secara tulus mendambakan
kebahagiaan sejati bagi semua makhluk.

Bodhisatwa: secara harfiah bermakna “makhluk pencerahan”.


Merujuk pada seseorang yang, setelah dimotivasi oleh bodhicita,
terdorong untuk mencapai Kebuddhaan demi kepentingan
semua makhluk.

Buddhisme: keseluruhan sistem ajaran atau filsafat yang


diajarkan oleh Buddha Shakyamuni, sosok historis dari India
yang telah berhasil mencapai pencerahan dan kemahatahuan,
serta memutus rantai keberadaannya di dalam samsara.
Tujuan tertinggi yang ingin diraih oleh sistem filsafat ini tentu
saja adalah Kebuddhaan, sebuah keadaan di mana seseorang
memiliki semua kualitas yang dimiliki oleh seorang Buddha.

Dharma: secara harfiah bermakna “ajaran”. Dalam konteks


ini, ajaran yang dimaksud adalah ajaran yang asli berasal dari
perkataan Sang Buddha.

97
Istadewata: sosok pelindung yang tercerahkan dalam tradisi
Tantra, yang hadir untuk membantu para praktisi menapaki
jalan Tantra dengan mulus.

Jalan karma hitam: atau 10 ketidakbajikan. Terdiri dari:


membunuh, mencuri, tindakan seksual tak pantas, berbohong,
ucapan kasar, ucapan memecah-belah, omong-kosong, niat
buruk, keserakahan, dan pandangan salah.

Karma: secara sederhana bermakna “tindakan”. Dengan


demikian, hukum karma merujuk pada suatu hukum yang
mengatur tindakan, atau lebih tepatnya, hukum yang mengatur
bagaimana terjadinya dan berbuahnya sebuah tindakan.

Klesha: secara harfiah bermakna “racun mental”. Merujuk pada


kondisi-kondisi mental yang kemunculannya akan menyebabkan
kita menjadi tidak bahagia dan menderita. Misalnya: amarah, iri
hati, kesombongan, kemelekatan, dst.

Lamrim: secara harfiah bermakna “jalan bertahap menuju


pencerahan”. Merujuk pada kumpulan kitab yang menjelaskan
dan mengajarkan tata cara untuk mencapai Kebuddhaan secara
lengkap dan sistematis, sesuai dengan kapasitas setiap individu
yang mempelajarinya.

Mahayana: secara harfiah bermakna “kendaraan besar”. Sama


halnya dengan kasus Hinayana, kata “besar”di sini tidak
merujuk pada semacam tingkatan atau hierarki, melainkan
pada kapasitas batin yang dimiliki oleh seorang praktisi, atau
lebih tepatnya, pada fakta bahwa seorang praktisi menapaki
jalan spiritual dengan tujuan untuk membantu semua makhluk
terbebas dari samsara.

98
Namaskara: tindakan menghormati Triratna dengan melakukan
gestur tertentu, bisa dengan sekadar menangkupkan kedua telapak
tangan (anjali), berlutut sambil menyembah, atau menyembah
dengan seluruh tubuh berada pada posisi telungkup di lantai.

Nirwana: sebuah kondisi di mana seseorang telah sepenuhnya


terbebas dari keharusan untuk terlahir kembali secara berulang-
ulang di dalam samsara.

Panca Dhyani Buddha atau 5 Buddha Kebijaksanaan adalah


perwakilan dari 5 kualitas seorang Buddha. Wairocana:
ajaran Dharma yang merangkul semua dan melenyapkan
ketidaktahuan, Amoghasidhi: keberanian yang mencapai semua
dan melenyapkan iri hati dan cemburu, Amitabha: meditasi
yang mencari kebenaran dan melenyapkan egoisme dan
kemelekatan, Ratnasambhawa: pemberian yang tak pilih kasih
dan melenyapkan keangkuhan dan keserakahan, Akshobhya:
kerendahan hati yang non-dualis dan melenyapkan amarah.

Pitaka: secara harfiah bermakna “keranjang”. Merujuk pada kitab


atau kumpulan bait-bait penjelasan dalam risalah Buddhis.

Praktik Pendahuluan: 1] membersihkan ruangan meditasi dan


menyusun objek-objek yang mewakili tubuh, ucapan, dan batin
Buddha; 2] menyusun persembahan dengan indah dan murni; 3]
duduk di atas tempat duduk yang nyaman sambil mempertahankan
tujuh sikap tubuh Wairocana, lalu dengan batin yang bajik,
mengambil perlindungan dan membangkitkan bodhicita; 4]
memvisualisasikan ladang kebajikan; 5] melakukan Doa 7 Bagian
yang mencakup unsur-unsur utama untuk menghimpun kebajikan
dan memurnikan seseorang dari penghalang-penghalang,
kemudian mempersembahkan mandala; 6] mengajukan
permohonan yang tulus kepada para Buddha dan guru silsilah.

99
Pratyekabuddha: secara harfiah bermakna “Buddha yang
sendiri”. Merujuk pada seseorang yang mampu mencapai
pembebasan dengan upaya sendiri tanpa bantuan guru. Ini
utamanya merujuk pada fakta bahwa seseorang mampu
mencapai pembebasan bahkan di masa ketika Buddha dan
ajarannya tidak atau belum muncul di dunia ini.

Rinpoche: secara harfiah bermakna “yang berharga”. Digunakan


untuk merujuk pada sosok guru yang dimuliakan dalam tradisi
Buddhisme Tibet.

Roda Dharma: sebuah simbol atau kiasan untuk melambangkan


pembabaran ajaran yang benar dan agung oleh Sang Buddha.

Samsara: lingkaran keberadaan yang tak mempunyai awal


ataupun akhir. Setiap makhluk yang belum terbebas dari
lingkaran ini harus mengalami siklus kelahiran dan kematian
tanpa henti. Terdiri dari: manusia, binatang, setan kelaparan,
neraka, asura, dan dewa.

Sangha: secara harfiah bermakna “majelis” atau “komunitas”.


Dalam Buddhisme, istilah ini secara umum merujuk pada
komunitas kebiaraan yang terdiri dari para biksu atau biksuni,
atau dengan kata lain, kumpulan orang-orang yang menjaga
ikrar-ikrar kebiaraan.

Shamatha: kondisi ketenangan atau kedamaian batin, di mana


batin menjadi mantap dan terpusat sepenuhnya pada sebuah
objek meditasi.

Shrawaka: secara harfiah bermakna “pendengar”. Di masa


Buddha Shakyamuni masih hidup, istilah ini digunakan untuk
merujuk pada murid-murid yang meraih realisasi setelah
mendengar ajaran dari beliau.
100
Skandha: secara harfiah bermakna “agregat” atau “kumpulan“.
Merujuk pada 5 aspek yang menyusun keberadaan diri kita:
bentuk, sensasi/perasaan, persepsi/identifikasi, faktor-faktor
pembentuk, dan kesadaran/diskriminasi.

Sukawati: secara harfiah bermakna “Surga Barat”. Merujuk


pada tanah murni Buddha Amitabha.

Sutra: secara harfiah bermakna “wacana” atau “benang”.


Meskipun pada awalnya hadir dalam bentuk lisan, di kemudian
hari Sutra merujuk pada kumpulan kitab yang menjadi landasan
bagi tradisi-tradisi keagamaan di India.

Tantra: secara harfiah bermakna “tenunan”. Merujuk pada tradisi


esoterik dalam Hinduisme dan Buddhisme yang memungkinkan
tercapainya pencerahan dalam waktu singkat.

Tathagata: secara harfiah bermakna “Ia yang Telah Melampaui


Fenomena Fana”. Merupakan sebutan bagi sosok Buddha.

Triratna: secara harfiah bermakna “tiga permata”. Merujuk


pada Buddha, Dharma, dan Sangha.

Winaya-wastu: teks besar yang berisi 17 bab atau topik tentang


aturan kebiksuan.

Yana: secara harfiah bermakna “kendaraan”. Merujuk pada


jalan atau metode yang diusung oleh sebuah sistem filsafat untuk
mencapai tujuannya secara sistematis. Misalnya: Sutrayana,
Tantrayana, Mahayana, dst.

101
Menghormati
Buku Dharma

B
uddhadharma adalah sumber sejati bagi kebahagiaan
semua makhluk. Buku ini menunjukkan kepada kita
bagaimana mempraktikkan ajaran dan memadukan
mereka ke dalam hidup kita, sehingga kita menemukan
kebahagiaan yang kita idamkan. Oleh karena itu, apapun
benda yang berisi ajaran Dharma, nama dari guru kita atau
wujud-wujud suci adalah jauh lebih berharga daripada benda
materi apapun dan harus diperlakukan dengan hormat. Agar
terhindar dari karma tak bertemu dengan Dharma lagi di
kehidupan yang akan datang, mohon jangan letakkan buku-
buku (atau benda-benda suci lainnya) di atas lantai atau
di bawah benda lain, melangkahi atau duduk di atasnya,
atau menggunakannya untuk tujuan duniawi seperti untuk
menopang meja yang goyah. Mereka seharusnya disimpan di
tempat yang bersih, tinggi dan terhindar dari tulisan-tulisan
duniawi, serta dibungkus dengan kain ketika sedang dibawa
keluar. Ini hanyalah beberapa pertimbangan.
Jika kita terpaksa membersihkan materi-materi
Dharma, maka mereka tidak seharusnya dibuang begitu saja
ke tong sampah, namun sebaiknya dibakar dengan perlakuan
khusus. Singkatnya, jangan membakar materi-materi tersebut

102
bersamaan dengan sampah-sampah lain, namun sebaiknya
terpisah sendiri, dan ketika mereka terbakar, lafalkanlah
mantra OM AH HUM. Ketika asapnya membubung naik,
bayangkan bahwa ia memenuhi seluruh angkasa, membawa
intisari Dharma kepada seluruh makhluk di 6 alam samsara,
memurnikan batin mereka, mengurangi penderitaan mereka,
serta membawa seluruh kebahagiaan bagi mereka, termasuk
juga pencerahan. Beberapa orang mungkin merasa bahwa
praktik ini sedikit kurang biasa, namun tata cara ini dijelaskan
menurut tradisi. Terima kasih.

103
Dedikasi

S
emoga kebajikan terhimpun dengan mempersiapkan,
membaca, merenungkan dan membagikan buku
ini kepada pihak lain, semoga semua Guru Dharma
berumur panjang dan sehat selalu, semoga Dharma menyebar
ke seluruh cakupan angkasa yang tak terbatas, dan semoga
semua makhluk segera mencapai Kebuddhaan.
Di alam, negara, wilayah atau tempat mana pun
buku ini berada, semoga tiada peperangan, kekeringan,
kelaparan, penyakit, luka cedera, ketidakharmonisan atau
ketidakbahagiaan, semoga hanya terdapat kemakmuran
besar, semoga segala sesuatu yang dibutuhkan dapat
diperoleh dengan mudah, dan semoga semuanya dibimbing
hanya oleh Guru Dharma yang terampil, menikmati
kebahagiaan dalam Dharma, memiliki cinta kasih dan welas
asih terhadap semua makhluk, semata memberi manfaat
pada sesama, serta tak pernah menyakiti satu sama lain.

104
Tentang Penerbit

TERIMA K ASIH TELAH MEMBACA BUKU TERBITAN


PENERBIT PADI EMAS. APAK AH K AMI BOLEH MEMINTA
BANTUAN ANDA?
Penerbit Padi Emas adalah sebuah organisasi non-
profit. Misi kami adalah untuk berbagi kebijaksanaan dari
ajaran Buddha seluas mungkin, terutama yang dibabarkan
oleh Yang Mulia Dagpo Rinpoche. Melalui buku-buku
yang kami terbitkan, terselip upaya untuk menginspirasi,
menghibur, mendukung, dan mencerahkan pembaca di
seluruh Indonesia.
Kami memiliki sebuah mimpi, membuat seluruh
buku terbitan Penerbit Padi Emas tersebar seluas-luasnya
sehingga dapat menginspirasi banyak orang, baik pemula
yang penasaran, hingga praktisi yang telah berkomitmen.
Apakah Anda setuju dengan mimpi kami ini? Karena tentu
saja kami tidak dapat mewujudkan mimpi ini tanpa bantuan
Anda.
Buku Dharma ini dapat Anda UNDANG kehadirannya
di hidup Anda tanpa biaya berkat kebajikan berdana para

105
dermawan. Mari turut bermudita dan mendoakan para
dermawan yang telah memungkinkan ini terjadi.
Apabila Anda berminat pula untuk terlibat dalam
kebajikan seperti ini, silakan bergabung sebagai Dharma
Patron Lamrimnesia dan berdana ke:
BCA 0079 388 388 a.n. Yayasan Pelestarian dan
Pengembangan Lamrim Nusantara
MANDIRI 119 009 388 388 0 a.n. Yayasan Pelestarian
dan Pengembangan Lamrim Nusantara
Kemudian mohon konfirmasikan dana Anda dengan
menghubungi Call Center Lamrimnesia.
Dengan menjadi Dharma Patron, Anda secara
langsung terlibat dalam (1) penerbitan dan penyaluran
buku Dharma, (2) penyelenggaraan kegiatan Dharma, (3)
pendanaan biaya operasional dan mobilisasi Dharma Patriot
dalam rangka mendukung aktivitas (1) dan (2) di atas.
Untuk mengetahui lebih lanjut serta memesan buku
terbitan Penerbit Padi Emas, silakan hubungi kontak di
bawah ini:
Care: +6285 2112 2014 1
Info: +6285 2112 2014 2
Fb: Lamrimnesia & LamrimnesiaStore
Ig: @Lamrimnesia & @Lamrimnesiastore
Tiktok: @Lamrimnesia_
E-mail: info@lamrimnesia.org
Website: www.lamrimnesia.org; www.store.
lamrimnesia.com

106

You might also like