Professional Documents
Culture Documents
Makalah Imunoserologi I Kel.8
Makalah Imunoserologi I Kel.8
Makalah Imunoserologi I Kel.8
Imunologi Transplantasi
Disusun Oleh :
Kelas : 2.B
Dosen Pembimbing
Yusneli, S.Pd.,M.Kes
2024/2025
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
memberikan hikmah, hidayah, kesehatan serta umur yang panjang sehingga makalah
penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas pada mata kuliah imunologiserologi.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
pada mata kuliah ini yaitu ibu Yusneli, S.Pd.,M.Kes. Kami berharap agar makalah ini mampu
memberikan sudut pandang baru bagi pembaca. Kami menyadari sepenuhnya, bahwa dalam
pembuatan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan
saran yang bisa membangun menuju kesempurnaan dari pada pembaca untuk kesempurnaan
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................ ii
iii
2.5.2 Metode untuk Mengurangi Immunogenicity Allograft .............................................. 28
2.5.3 Metode untuk Menginduksi Toleransi terhadap Donor (Donor Specific Tolerance) ... 31
2.6.1 Ginjal........................................................................................................................ 32
DAFTAR PUSTAKA39
iv
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
Table 1. Istilah Transplantasi.......................................................................................................6
v
BAB I
PENDAHULUAN
Transplantasi adalah merupakan proses pengambilan sel, jaringan atau organ, disebut
dengan graft, dari satu individu dan memindahkannya ke individu yang lain. Individu yang
memberikan graft disebut dengan donor, sedangkan yang mendapatkan graft disebut dengan
resipien. Apabila graft ditempatkan pada lokasi anatomi normalnya maka prosedur ini disebut
dengan transplantasi orthotopik, sedangkan jika ditempatkan pada lokasi lain maka disebut dengan
transplantasi heterotropik. Istilah lain yang termasuk dalam transplantasi adalah transfusi yang
berarti memindahkan sel darah atau plasma dalam sirkulasi dari satu individu pada. individu yang
lain.
Transplantasi merupakan tindakan pilihan bila suatu alat atau jaringan tubuh yang vital
rusak dan tidak dapat diperbaiki lagi atau rusak permanen akibat proses penyakit. Transplantasi
sebagai suatu pendekatan terapi telah berkembang selama 40 tahun terakhir sehingga saat ini,
transplantasi ginjal, hepar, jantung, paru, pancreas dan sumsum tulang secara luas telah digunakan.
Lebih dari 30.000 transplantasi ginjal, jantung, paru, liver, dan pancreas dikerjakan di Amerika
setiap tahun. Saat ini, transplantasi dari organ dan sel lainnya sedang dikembangkan.
Faktor utama yang membatasi kesuksesan transplantasi adalah respon imun dari resipien
terhadap jaringan donor. Hal ini ditemukan pada seseorang yang mendapatkan penggantian kulit
yang mengalarni kerusakan akibat kebakaran dari donor yang tidak memiliki hubungan terbukti
terjadi kegagalan. Kegagalan ini terjadi akibat suatu proses inflamasi yang disebut sebagai rejeksi.
1
Rejeksi merupakan hasil dari proses reaksi inflamasi yang merusak jaringan transplant.
Penelitian pada tahun 1940s dan 1950s menunjukkan bahwa rejeksi graft merupakan fenomena
imunologi, karena diketahui adannya spesifisitas dan memory yang dimediasi oleh limfosit.
Antigen yang perlu mendapat perhatian utama pada proses transplantasi adalah antigen golongan
darah.
ABO, sistem HLA yang polimorfik, antigen minor yang menyangkut golongan darah non-
ABO dan antigen yang berhubungan dengın kromosom sex. Antigen dari allograft yang berperan
utama sebagai target rejeksi adalah protein major histocompatibility complex (MHC).
Imunologi transplantasi pentig terkait dengan dua alasan, yaitu selain karena respon rejeksi
imunologi yang hingga saat ini masih menjadi barier utama pada proses transplantasi, respon imun
terhadap molekul allogeneik model studi mekanisme aktivasi limfosit. Pada makalah ini akan
difokuskan terutama membahas transplantasi allogeneik karena model transplantasi inilah yang
paling banyak digunakan. Pembahasan dikaitkan dengan aspek immunologi dasar maupun aspek
2
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
Untuk memenuhi tugas makalah dalam mengisi materi pembelajaran. Tujuan lainnya yaitu
dengan mempelajari materi transplantasi organ tubuh ini kita dapat mengetahui bagaimana
hukumnya.
3
BAB II
PEMBAHASAN
to transplant, yang artinya pencangkokan (jantung kulit). Sedangkan dalam kamus The Advanced
Learner’s Dictionary of Current English, A.S Homby dan Gatenby E.V., mengartikan tranplantasi
dengan “to move from one place to another” (memindahkan dari satu tempat ke tempat lain).
Adapun dalam istilah Ilmu Kedokteran, tranplantasi adalah memindahkan jaringan atau
organ yang berasal dari tubuh yang sama atau tubuh yang lain. Hal ini dapat dilakukan baik sesama
manusia maupun dari binatang. Menurut Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masail Fiqhiyah,
pencangkokan (transplantasi) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai daya hidup yang
sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi dengan baik, yang
apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada
lagi
memindahkan organ atau jaringan tubuh manusia kepada tubuh manusia lain atau tubuhnya
sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa transplantasi organ tubuh ialah
pemindahan organ atau jaringan tubuh manusia atau hewan yang masih berfungsi untuk
menggantikan organ yang tidak berfungsi dalam rangka pengobatan dan upaya penyelamatan
nyawa penerima donor. Adapun yang dimaksud dengan organ adalah kumpulan jaringan yang
mempunyai fungsi berbeda sehingga merupakan satu kesatuan yang mempunyai fungsi tertentu,
seperti jantung, hati, dan lain-lain. Sedangkan tujuan transplantasi (pencangkokan) jaringan atau
4
organ adalah sebagai usaha terakhir pengobatan bagi orang yang bersangkutan, setelah berbagai
usaha pengobatan lain yang dilakukan mengalami kegagalan. Hal ini dilakukan untuk
mempertahankan eksistensi manusia, seperti pencangkokan jantung, hati, ginjal dan lain
sebagainya. Pada pelaksanaan transplantasi organ tubuh terdapat tiga pihak yang terkait dengannya
yaitu pertama, donor yaitu orang yang menyumbangkan organ tubuhnya yang masih sehat untuk
dipasangkan pada orang lain yang organ tubuhnya menderita sakit atau terjadi kelainan. Kedua,
resipien yaitu orang yang menerima organ tubuh dari donor yang karena organ tubuhnya harus
diganti. Ketiga, tim ahli yaitu para dokter yang menangani operasi transplantasi dari pihak donor
kepada resipien.
Transplantasi adalah merupakan proses pengambilan sel, jaringan atau organ, disebut
dengan graft, dari satu individu dan memindahkannya ke individu yang lain. Individu yang
memberikan graft disebut dengan donor, sedangkan yang mendapatkan graft disebut dengan
resipien. Istilah khusus pada tranplantasi didasarkan pada asal jaringan tubuh yang dicangkokkan
dari donor ke resipien. Berdasarkan sifat pemindahan organ atau jaringan tubuh yang dipindahkan
1) Autograft, ialah pemindahan organ jaringan atau organ dari satu tempat ke tempat yang
2) Allograft, ialah pemindahan jaringan atau organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain
dengan sama spesiesnya (manusia dengan manusia). Contohnya: Transplantasi ginjal dan
kornea mata.
3) Xenograft, ialah pemindahan jaringan organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain dengan
5
Table 1. Istilah Transplantasi
Hukum transplantasi menggariskan bahwa graft akan diterima bila resipien dan donor
memiliki gen histokompatibilitas tertentu yang sama. Antigen yang merupakan target dari rejeksi
(penolakan) disebut dengan alloantigen dan xenoantigen, sedangkan antibody dan sel T yang
6
2.1.1 Istilah lain
1) Hukum transplantasi
Autograft dan isograft biasanya memberikan hasil yang baik, sedang allograft sering
ditolak. Telah dibuktikan bahwa rejeksi allograft disebabkan karena reaksi imun yang ditimbulkan
oleh limfosit. Reaksi tersebut terjadi dengan memori, sehingga jaringan kedua yang dicangkokkan
dari donor yang sama. akan menimbulkan rejeksi yang lebih cepat.
Di Indonesia pengaturan hukum transplantasi organ adalah dalam UU No. 36 Tahun 2009
tentang kesehatan dan PP No. 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis,
serta transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia. PP ini merupakan pelaksanaan dari UU No.
suatu usaha yang mulia, suatu tindakan yang mulia, dimana seorang donor memberikan sebagian
tubuhnya atau organ tubuhnya untuk menolong pasien yang mengalami kegagalan fungsi organ
tertentu, sudah diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan dalam PP No. 18
Tahun 1981, selain itu walaupun tidak secara khusus namun juga diatur dalam UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dan UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang, aturan-aturan hukum ini terdapat di luar KUHP sedangkan dalam
KUHP diatur atau tercermin dalam Pasal 204, Pasal 205 dan Pasal 206. Namun disamping itu
dokter yang melakukan transplantasi organ tubuh terpidana mati, pada dasarnya harus
memperhatikan aspek medik, aturan hukum yang berlaku dan bagaimana donor terpidana mati.
Yang bisa dilihat dari aspek medik, dokter harus tetap mengingat bahwa walaupun iptek
kedokteran sudah sedemikian maju namun sampai detik ini hanya ada tiga jenis organ yang dapat
dipindahkan dari donor hidup dari satu tubuh ke tubuh orang lain dan hanya transplantasi
7
homologous yang bisa dilakukan dari donor yang sudah meninggal atau jenazah dan aturan hukum
yang berlaku adalah tetap yang berlaku umum bagi dokter, yakni berdasarkan dua unsur pokok
yaitu: standar profesi medik dan informed consent untuk donor maupun resipien.
2) Histokompatibilitas
Histokompatibilitas adalah kemampuan seseorang untuk menerima graft dan orang lain,
3) Gen histokompatibilitas
Gen histokompatibilitas adalah gen yang menentukan apakah grafi dapat diterima. Banyak
lokus gen yang dapat menolak graft, tetapi yang terpenting adalah gen MHC. Gen MHC diwarisi
sebagai suatu kelompok (haplotype), satu dari setiap orangtua. Dengan demikian, manusia
mewarisi heterozigot satu dari ayah dan satu dari ibu, masing-masing berisi tiga kelas-1 (B, C dan
A) dan tiga kelas II (DP, DQ dan DR) lokus. Seorang individu heterozigot akan mewarisi maksimal
6 kelas 1. Demikian pula, individu juga akan mewarisi gen DP dan DQ dan mengekspresikan
kedua antigen orangtuanya. Karena molekul MHC kelas II terdiri dari dua rantai yaitu alpha dan
beta, dengan beberapa determinan antigen pada setiap rantai, dan rantai alpha dan beta DR dapat
terkait dengan kombinasi cis atau trans eter, seorang individu dapat memiliki spesifitas DR
tambahan Juga, ada lebih dari satu gen fungsional DR rantai beta. Oleh karena itu, banyak
8
4) Antigen transplantasi
dan resipien untuk mendapatkan hasil optimal dan hidup graft dan meminimalkan penolakan.
Kompatibilitas golongan darah ABO merupakan hal yang pertama harus dilakukan.
Antigen ABO yang merupakan golongan darah utama, ditemukan pada permukaan sel
mempunyai antibodi terhadap A. Transfusi golongan darah yang tidak sama/cocok akan
permukaan semua sel dalam tubuh yang memiliki nukleus yang dapat menjadi sasaran
9
Gen-gen yang memberi kode molekul MHC adalah polimorfik. Antigen yang
ditentukan lokus A dan B memberikan respons kuat sedang antigen yang ditentukan lokus
C hanya memberikan respons lemah. Antigen MHC-II atau antigen la merupakan antigen
yang mengaktifkan sel Th. Antigen MHC-II merupakan antigen terpenting pada rejeksi
tandur. Pada umumnya graf tidak akan hidup bila donor dan resipien tidak memiliki satu
haplotip DR pun yang sama. Sel Th resipien akan memberikan respons terhadap antigen
donor sedang sel Th donor akan memberikan respons yang sama terhadap antigen resipien
dengan akibat matinya tandur. Kemungkinan antigen HLA dan 2 individu akan sama
Antigen histokompatibilitas minor antara lain adalah golongan non ABO dan
antigen yang berhubungan dengan kromosom seks. Antigen tersebut biasanya lebih lemah
dibanding antigen MHC, dan diduga merupakan antigen yang dijadikan sasaran pada
5) Sel passenger
Sel passenger adalah sel leukosit donor yang terdapat dalam jaringan tandur. Sel Th
resipien dapat memberikan respons terhadap antigen donor. Interaksi dapat pula terjadi antara sel-
sel sistem imun donor dan resipien karena keduanya memiliki profil MHC-II. Leukosit donor dapat
bermigrasi ke luar dari grafi dan masuk ke dalam sistem limfoid resipien.
10
2.2 Imunologi penolakan transplantasi
Ketika sistem kekebalan tubuh bertemu dengan organisme asing, ia melancarkan serangan
terhadapnya untuk melindungi tubuh dari infeksi. Untuk mencegah serangan terhadap sel dan
jaringan kita sendiri (autoimunitas), sistem kekebalan tubuh harus mampu membedakan antara
Penyerbu asing disajikan kepada sistem kekebalan tubuh dalam bentuk molekul kecil yang
disebut antigen. Identifikasi antigen non-self ini akan memicu respon imun dan akan merangsang
produksi antibodi antigen spesifik yang menandai sel yang terinfeksi untuk dihancurkan oleh
sistem imun dan membantu memperkuat respon imun. Kompleks Human Leukosit Antigen (HLA)
adalah sekelompok gen yang mengkode protein yang bertanggung jawab untuk mengidentifikasi
agen asing pada sistem kekebalan. Protein ini ditemukan di permukaan seluruh sel dan bertindak
sebagai “penanda diri” yang memberitahu sistem kekebalan tubuh untuk tidak memicu respons.
berdasarkan susunan genetik unik mereka, sehingga sistem kekebalan tubuh akan belajar untuk
tidak bereaksi. Setiap sel yang tidak menampilkan protein HLA spesifik ini akan diidentifikasi
sebagai non-self oleh sistem kekebalan tubuh dan akan dianggap sebagai penyerang asing.
Mekanisme penolakan
Penolakan cangkok terjadi ketika sistem kekebalan tubuh penerima menyerang cangkokan
yang disumbangkan dan mulai menghancurkan jaringan atau organ yang ditransplantasikan.
Respon imun biasanya dipicu oleh adanya rangkaian protein HLA unik milik donor, yang oleh
sistem imun penerima akan diidentifikasi sebagai benda asing. Derajat kemiripan antara gen
HLA donor dan penerima disebut histokompatibilitas, semakin cocok secara genetik donor dan
11
penerima, semakin toleran sistem kekebalan penerima terhadap cangkok. Namun, kecuali
donor dan penerimanya identik secara genetis (misalnya pada kembar identik), akan selalu ada
persetujuan pada tingkat tertentu. Selain protein HLA non-self, protein permukaan lain pada
cangkok donor juga dapat diidentifikasi sebagai antigen tunggal dan menghambat respon imun.
Dalam beberapa kasus, pasien mungkin mengalami sesuatu yang dikenal sebagai reaksi
cangkokan versus inang, yaitu sel-sel kekebalan matang yang sudah ada dalam cangkokan
donor mulai menyerang sel-sel sehat penerima. Reaksi graft versus host, dimana cangkok
donor diartikan sebagai "kompeten imun" (yaitu mampu menghasilkan respon imun)
merupakan risiko khusus pada transplantasi sel induk (transplantasi sumsum tulang) dan juga
Proses rejeksi yang menyebabkan kerusakan pada graft merupakan akibat dari respon imun
yang terjadi pada tubuh resipien terhaap graft dari donor. Beberapa penelitian menunjukkan
keterlibatan dari respon imun adaptif dalam prose rejeksi . Skin graft ditransplantasikan antara dua
individu yang secara genetic tidak berhubungan sebagai contoh, dari mencit strain A ke mencit
strain B dan terjadi rejeksi oleh resipien naiv dalam 7 hingga 10 hari. Proses ini disebut dengan
first set rejection. Hal ini terkait dengan respon imun primer tehadap graft. Transplantasi kedua
dari donor yang sama atau donor yang sama secara genetic dengan donor pertama direjeksi lebih
cepat, yaitu 2 hingga 3 hari. Respon yang lebih cepat ini terkait dengan respon imun sekunder.
12
Sehingga dapat disimpulkan bahwa graft yang berbeda secara genetic menginduksi timbulnya
Hasil dari eksperimen mengindikasikan bahwa rejeksi graft diperankan oleh imun adaptive yaitu
Kemampuan dalam merejeksi ini dapat ditransfer dari mencit strain B yang telah mendapat
graft ke stain B naiv melalui perantara limfosit. Eksperimen ini menunjukkan bahwa second set
rejection dimediasi oleh limfosit yang telah tersensitisasi dan memastikan bahwa rejeksi
merupakan akibat dari respon imun adaptive. Allograft kulit pada manusia biasanya ditolak dalam
10-14 hari, tetapi bilo allograft kedua dan individu yang sama dicangkokkan lagi, resipien akan
menolaknya lebih cepat, biasanya dalam 5-7 hari. Hal ini disebabkan oleh karena sudah terjadi
sensitisasi oleh graft pertama dan adanya memori pada pajanan kedua.
Interaksi antara faktor humoral dan selular yang terjadi pada rejeksi graft sangat kompleks.
Sistem imun yang berperan pada proses rejeksi adalah sistem imun yang juga berperan terhadap
mikroba. Sebabnya adalah polimorfisme genetik. terutama oleh karena antigen transplantasi
13
Golongan darah dan molekul MHC di antara berbagai individu berbeda. Reaksi rejeksi dapat
dikurangi dengan menggunakan anggota keluarga sebagai donor, tissue typing dan obat
imunosupresi.
Pengenalan (rekognisi) sel yang ditransplantasikan sebagai self atau foreign ditentukan
oleh gen polimorfik yang diturunkan dari kedua orangtua dan diekspresikan secam dominan.
Kesimpulan ini didasarkan pada hasil dari eksperimen transplantasi antara strain inbert mencit.
Dasar dari immunologi transplantasi berasal dari eksperimen pada hewan coba ini.
pada graft bertanggungjawab terhadap terjadinya rejeksi. Polimorfisme merupakan kondisi dimana
antigen graft berbeda antar individu spesies tertentu atau antar atrain pada hewan coba, sebagai
contoh antar mencit strain A dan B. Ekspresi kodominan berarti bahwa hewan coba (AxB)F)
mengekspresikan allel strain A dan strain B. (AxB)F, menanggapi kedua jaringan sebagai self,
sedangkan mencit A atau B menanggapi jaringan (AxB)F) sebagai foreign. Hal inilah yang
menyebabkan mencit (AxB)F, tidak menolak graft strain A maupun B sedangkan mencit strain A
seluruh reaksi rejeksi yang kuat. MHC ditemukan dan dinamai terkait dengan peranannya dalam
rejeksi graft yang dikerjakan antar mencit yang berbeda strain. Gen dan molekul yang homolog
dengan MHC pada mencit terdapat pada semua manusia, pada manusia disebut dengan adalah
kompleks HLA (Human leukocyte antigen). Setelah 20 tahun ditemukan baru diketahui bahwa
14
fungsi fisiologis dari molekul MHC adalah untuk mempresentasikan antigen sehingga dapat
Pada ilustrasi ini dua wama mencit yang berbeda mewakili strain inbred dengan haplotype
MHC yang berbeda. Alel MHC yang diturunkan dari kedua orang tua secara kodominan
diekspresikan pada kulit dari offspring A x B, oleh karena itu mencit ini memiliki kedua warna.
Syngeneic graft tidak direjeksi (A), allograft selalu direjeksi (B), Graft dari parent percampuran
AxB tidak direjeksioleh offspring (C), namun graft dari offspring akan direjeksi oleh parent.
Fenomena ini terkait dengan produk gen MHC yang bertanggung jawab terhadap rejeksi graft,
graft direjeksi hanya jika graft tersebut mengekspresikan MHC yang tidak diekspresikan oleh
mencit resipien.
Selanjutnya telah diketahui secara luas bahwa rejeksi graft ditentukan oleh gen yang
diturunkan yang mana produk dari gen ini adalah suatu molekul yang diekspresikan pada seluruh
jaringan. Setiap manusia mengekspresikan enam allele MHC kelas I (satu allele HLA-A, B, dan C
dari setiap parent) dan enam allele MHC kelas II (satu allele HLA-DR, DQ, dan DP dari setiap
parent). Polimorfisme dari gen MHC diperkirakan setidaknya 120 allel gen HLA-A dan 250 allel
HLA-B pada populasi. Hal inilah yang menyebabkan setiap individu cenderung mengekspresikan
bebempa protein MHC yang dikenali sebagai foreign oleh system imun individu yang lain, kecuali
pada kembar identik. Semua molekul MHC dapat menjadi target dari rejeksi, meskipun HLA-C
15
dan HLA-DP memiliki polimorfisme yang terbatas dan signifikansi minor. Molekul MHC
allogeneik dipresentasikan untuk terjadianya rekognisi pengenalan oleh sel T resipien melalui dua
Jalur yang pertama disebut dengan direct presentation melibatkan rekognisi dari molekul
MHC yang intak yang diekspresikan oleh APC (antigen presenting cell) donor pada graft dan hal
ini adalah konsekuensi dari kesamaan struktur dari MHC foreign (allogencik) yang intak dengan
molekul MHC self. Cara yang kedua disebut dengan indirect presentation yang melibatkan
pemrosesan dari molekul MHC donor oleh APC resipien dan presentasi peptide yang berasal dari
MHC allogeneik oleh molekul MHC self. Dalam cara ini, molekul MHC asing diperlakukan
sebagaimana antigen protein asing, dan mekanisme indirect ini sama halnya dengan mekanisme
Direct recognition merupakan reaksi silang (cross raction) dari reseptor sel T (TCR)
normal, yang mana normalnya secara selected mengenali molekul MHC self dengan pepida asing
dalam hal mengenali molekul MHC allogeneik plus peptide. Hal ini terkait dengan bias dari
spesifitas TCR dalam mengenali molekul MHC, bahkan sebelum terjadinya seleksi. Dengan kata
lain, gen TCR berhubungan dengan pengkodean struktur protein yang memiliki afinitas intrinsic
16
Selama perkembangan sel T di timus, seleksi positif menghasilkan sel T yang dapat
bertahan dengan reaktivitas yang lemah terhadap self-MHC, namun tidak mengeliminasi sel T
yang memiliki reaktivitas yang kuat terhadap molekul MHC allogeneik. Seleksi negatif pada timus
secara efisien mengeliminasi sel T dengan affinitas yang tinggi terhadap MHC self, tapi tidak
dibutuhkan mengeliminasi sel T yang berikatan kuat dengan molekul MHC allogeneik, kecuali
jika sel T ini juga berikatan kuat dengan MHC self. Hasilnya berupa repertoire matur yang
memiliki affinitas intrinsic terhadap molekul MHC self, termasuk juga sel-sel T yang mengikat
mengikat molekul MHC allogeneik dengan affinitas yang tinggi. Banyak dari sel T yang matur ini
akan berikatan dengan kompleks MHC self-peptida asing dan juga molekul MHC allogeneik.
Bahkan mungkin saja ditemukan beberapa sel T yang tidak berguna yang mana berikatan dengan
molekul MHC allogeneik tetapi tidak berikatan kuat dengan kompleks self-MHC-peptide asing.
Molekul MHC allogeneik yang mengikat peptide dapat menyerupai molekul MHC plus
peptide asing tertentu (gambar 2.7). Peptide yang terikat pada molekul MHC allogeneik dapat
memainkan beberapa peran saat terjadinya rekognisi molekul. Peptide ini dibutuhkan dalam
menstabilkan ekspresi molekul MHC allogeneik di permukaan. Klon sel Talloreaktif mengenali
Kebanyakan peptide ini berasal dari protein yang identik pada donor maupun resipien.
Dengan kata lain, peptide ini merupakan self- peptide. Mekanisme indulesi toleransi hanya dapat
terjadi jika terjasi presentasi molekul self oleh MHC self. Oleh karena itu sel T yang spesifik
terhadap peptide self yang dipresentasikan oleh MHC asing tidak dihilangkan dan tetap dapat
17
Gambar 7. Dasar molekuler direct recognition dari rekognisi molekul MHC alogeneik
Setidaknya sebanyak 2% sel T idividu dapat mengenali dan berespon secara langsung
molekul MHC asing dan frekuensi reaktivitas sel T ini yang tinggi menjadi alasan mengapa
allograft dapat mencetuskan respon imun yang kuat. Kenyataanya setiap molekul MHC allogeneik
secara langsung dikenali oleh banyak TCR yang berbeda, masing-masing berkaitan dengan peptide
yang berbeda. Hal ini terkait dengan beberapa factor, seperti adanya polimorfisme residu molekul
MHC allogeneik pada region yang berikatan dengan TCR memungkinkan setiap MHC allogeneik
ini untuk dikenali oleh klon sel T yang multiple. Selain itu, berbagai preptida yang berbeda dapat
terikat pada produk gen allogeneik yang sama dalam jumlah 10 pada setiap permukaan sel
allogeneik. Factor lainnya adalah densitas dari peptide allogeneik yang terikat pada MHC yang
dipresentasikan pada APC allogeneik semuanya bersifat foreign peptide. Jika dibandingkan
dengan densitasnya pada APC self yang hanya mempresentasikan 1% peptide asing yang terikat
pada MHC self, sedangkan kebanyakan adalah MHC self yang mengikat peptide self, APC
allogeneik dapat meningkatkan lebih banyak jumlah respon sel T.. Disamping itu, memang sel T
alloreaktif yang berespon terhadap paparan ini merupakan sel T memori yang siap melakukan
ekspansi.
18
2.2.1.2 Rekonisi tidak langsung (indirect recognition) alloantigen
MHC allogeneik dapat diproses dan dipresentasikan oleh APC resipien yang memasuki
graft, dan proses molekul MHC dikenali oleh sel T terjadi sebagaimana dengan antigen protein
asing yang konvensional (gambar 2.5). Karena molekul MHC berbeda secara struktural dengan
yang ada pada host, molekul ini dapat diproses dan dipresentasikan dengan cara yang sama dengan
antigen protein asing yang menghasilkan peptide asing yang terikat pada molekul MHC self pada
permukaan APC host. Presentasi indirect dapat mencetuskan allorekognisi oleh sel T CD4 karena
antigen yang melewati jalur vesicular endosomal pada APC dan dipresentasikan oleh MHC kelas
II. Beberapa antigen dari sel graft yang difagositosis juga memasuki jalur presentasi antigen MHC
kelas I dan secara tidak langsung dikenali oleh sel T CD8, yang merupakan bentuk dari cross
Aktivasi sel T alloreaktif in vivo membutuhkan presentasi alloantigen oleh APC dari donor
pada graft (diresct presentation of antigen) atau oleh APC host yang mengambil dan
resident seperti sel dendritik. Sehingga transplantasi suatu organ, mengandung APC yang
mengekspresikan molekul MHC donor dan juga kostimulator yang mana MHC ini dapat
bermigrasi ke nodus limfe regional. Disini MHC akan dikenali oleh MHC resipien yang
bersirkulasi poda organ limfoid perifer (direct pathway). Selain itu, sel dendritik dari resipien juga
dapat bermigrasi menuju graft, atau alloantigen grafth terhawa sampai nodus limfe, dimana
selanjutnya ditangkap oleh APC (indirect pathway). Sel T alloreaktif dapat diaktivasi melalui
19
Reaksi rejeksi ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal antigen. MHC allogeneik
dan memacu imunitas humoral (antibodi). Sel CTL juga mengenali antigen MHC alogeneik dan
membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain ialah makrofag dikerahkan ke tempat grafi atas
pengaruh limfokin dan sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut serupa dengan
yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe IV dari Gell dan Coombs DTH.
(1) Dilakukan transplantasi (2) Sel dendritik atau makrofag donor yang ada dalam geaff (passenger
leucocytes) meninggalkan graft dan merangsang sel T resipien dengan segera (3) Sel T resipien
diaktiflean dan membunuh sel donor dalam groft (4) Sel donor yang dibunuh melepas antigen
donor, yang dapat dimakan fagosit resipien yang kemudian mempresentasikannya ke sel T resipien
20
Sel T helper CD4 alloreaktif berdiferensiasi menjadi sel effektor yang menghasilkan
sitokin yang dapat menghancurkan graft melalui reaksi DTH (delayed type hypersensitivity). Sel
TCD8 alloreaktif yang diaktivasi melalui jalur langsung berdiferensiasi menjadi CTL. yang
membunuh sel bernukleus pada graft yang mana mengekspresikan molekul MHC kelas I
allogeneik. CTL yang diaktifkan melalui jalur tidak langsung (indirect) bersifat self MHC
restricted dan tidak dapat membunuh secara langsung sel asing pada graft. Oleh karena mekanisme
rejeksinya melalui DTH yang dimediasi oleh sel T CD4 yang menginfiltrasi graft. Diduga bahwa
mekanisme yang dimediasi oleh CTL CDS terkait dengan rejeksi akut, sedangkan sel T CD4
memainkan peran penting dalam rejeksi kronik. Sebagai tambahan, hal yang juga penting dalam
rekognisi antigen adalah kostimulasi sel T oleh molekul 87 pada APC sehingga dapat mengaktivasi
sel T alloreaktif.
(a) Langsung dibunuh sel T dan kerasakan jaringan indirek oleh pelepasan sitokin pada
hipersensitivitas tipe lambat (b) Dibunuh oleh sel NK yang diaktifkan IFN (c) Pembunuhan
spesifik melalui kompleks imun dan sel NK (d) Serangan ADCC (c) Fagositosis sel sasaran yang
ditutupi antibody (1) Trombosit dengan antibodi yang diikat permukaan endotel vaskular graft
membentuk milaozombi (g) Sitotokoisitas melalui komplemen (h) Makrofag yang diaktifkan.
21
Berbeda dengan alloreaktivitas sel T. mekanisme terjadinya produksi alloantibody yang
melawan molekul MHC asing lebih sedikit diketahui. Produksi antibody ini tergantung pada peran
sel T helper, sehingga pastinya melibatkan allorekognisi indirect. Dalam hal ini, limfosit B
mengenali molekul MHC asing. menginternalisasi dan kemudian memproses protein ini sehingga
dipresentasikanlah peptide kepada sel T helper yang sebelumnya telah diaktivasi oleh peptida yang
sama yang dipresentasikan oleh sel dendritik. Oleh karena itu, baik sel dendritik maupun sel B
memproses dan mempresentasikan protein MHC allogeneik ke sel T host dan sel T helper secara
tidak langsung telah mengenali molekul MHC asing yang dipresentasikan oleh APC. Mekanisme
ini tentunya sama halnya dengan respon sel B terhadap antigen protein asing.
Reaksi allograft adalah suatu keadaan dimana transplantasi jaringan, sel atau alat tubuh dan
donor singeneik dengan cepat diterima resipien dan mendapat vaskularisasi serta berfungsi normal.
Gruft yang berasal dan donor allogeneik akan diterima untuk sementara dan mendapat
vaskularisasi. Selanjutnya dapat terjadi rejeksi yang lamanya tergantung dari derajat
inkompatibilitas. Reuksi rejeksi pada umumnya berlangsung sesuai respon CMI. Pada beberapa
eksperimen menggunakan hewan coba dan pada transplantasi di klinik, sel T CD4 atau CDS
alloreaktif maupun alloantibody dapat memediasi terjadinya rejeksi allograft. Effektor imun yang
berbeda ini menyebabkan mekanisme yang berbeda. Sesudah vaskularisasi timbul gejala, mula-
mula terjadi invasi graft oleh sel-sel limfosit dan monosit melalui pembuluh darah. Reaksi
inflamasi ini segera menimbulkan kerusakan pembuluh darah yang diikuti nekrosis jaringan
tandur.
22
Terkait dengan alasan historical, rejeksi graft diklasifikasikan berdasarkan dasar dari
gambaran histopathologinya atau waktu terjadinya rejeksi setelah. transplantasi dari pada
berdasarkan dasar mekanisme effektornya. Istilah hiperakut, akut, dan kronik, menggambarkan
kecepatan terjadinya rejeksi, sebagai contoh adalah proses rejeksi terhadap transplant ginjal.
A. rejeksi hiperakut allograft ginjal dengan kerusakan endothelial, thrombus platelet dan
thrombin serta infiltrasi neutrofil pada glomerulus. B. rejeksi akut ginjal dengan sel inflamasi pada
jaringan ikat di sekitar tubulus dan diantara sel epitel tubulus. C. rejeksi akut allograft ginjal
dengan dekstruksi reaksi inflamasi pada lapisan endothel arteri. D. rejeksi kronik pada allograft.
ginjal dengan arteriosklemsis graft, Lumen vaskuler digantikan olch akumulasi sel otot polos dan
dan mentriger thrombosis intravaskuler den nekrosis dinding pembuluh darah yang cepat.
23
B. rejeksi akut, limfosit T CDS reaktif trhadap alleantigen pada sel endothel dan sel parenchymal
memediasi kerusakan tipe sel ini. Antihody alloreaktif yang terbentuk juga berkontribusi dalam
injury vaskuler, C rejeksi kronik dengan arteriosklerosis graft, injury terhadap dinding pembuluh
darah menyebabkan proliferasi set otet polos intimsa dan oklusi luminal. Lesi ini kemungkinan
disebabkan oleh reaksi DTH yang kronik terhadap alloantigen pada dinding pembuluh darah.
Jika resepien memiliki system imun yang fungsional secara keseluruhan, transplantasi
hampir pasti akan direjeksi. Strategi yang digunakan pada praktek klinik maupun pada eksperimen
menggunakan hewan coba untuk menghindari atau menunda terjadinya ejeksi adalah dengan
penggunaan imunosupresi dan meminimalisasi kekuatan reaksi allogeneik graft. Selain itu salah
satu tujuan penting dalam menejemen transplantasi adalah menginduksi yang spesifik terhadap
donor, sehingga graft dapat bertahan tanpa memerlukan immunosupresi yang nonspesifik.
Gambar 13. Tempat kerja berbagai immunosupresan untuk mengontrol rejeksi graft
24
Obat-obat yang bekerja di berbagai tempat dan respons imun. Pengobatan yang simultan
dengan bahan yang bekerja pada berbagai urutan tahap perkembangan respons rejeksi diharapkan
terdapat sinergi yang kuat dan hal ini jelas terlihat pada siklosporin dan rapamisin.
Di antara balsın-bahan yang menekan respons imun, banyak yang bersifat sitotoksik terhadap
limfosit T. Contoh bahan-bahan tersebut adalah serum anti- limfosit (ALS) atau Anti-Lymphocyte
Globulin (ALG). Balkan imunosupresan lainnya adalah steroid yang mencegah migrasi neutrofil
dan produksi IL-4, IL-6 dan IL-12. Bahan sitotoksik seperti azatioprin, metotreksat dan
sikiofosfamide dapat membunuh sel yang berproliferasi sedangkan siklosporin A, FK506 dan
Immunosupresif yang paling penting saat ini adalah inhibitor calcineurin termasuk siklosporin
dan FK-506 (Abbas et al.,). Siklosporin yang mencegah produksi IL-2, merupakan bahan yang
merupakan produk fungas yang mampu memperbaiki masa hidup graft, melalui supresi sel Th atau
dengan meningkatkan aktivitas sel CTL. (Baratawidjaja). Hal ini terjadi karena hambatan aktivasi
fator transkripsi NFAT dan transkripsi gen IL-2 dan sitokin yang lain (Abbas et al). Efek
25
imunosupresinya tidak spesifik terhadap suatu antigen tetapi juga terhadap respons
dengan peningkatan kejadian penyakit limfoproliferatif, FK-506 sama halnya dengan siklosporin,
yaitu menghambat calcineurin. FK-506 lebih bayak digunakan pada transplantasi liver atau pada
Kelas immunosupresif lainnya adalah agen yang dapat mengontrol rejeksi dengan
menginhishisi enzim sellular yaitu rapamycin. Rapamycin dapat mencegah proliferasi dari sel T
protein kinase yang dibutuhkan untuk proses translasi protein yang menimbulkan proliferasi sel
(Abbas et al).
b. Anti-metabolit
Anti-metabolit menekan respons imun melalui toksin yang membunuh sel T yang seding
proliferasi. Agen ini mencegah maturasi limfost dan juga membunuh sel T matur yang sedang
berproliferasi akibat stimulus alloantigen (Abbus et al). Contohnya ialah azatioprin dan
mercaptopurin yang mencegah sintesis RNA. Klotambusil dan sikiofosfamid merupakan bahan
yang meng-alkyl-kan DNA dan juga memiliki efek antimetabolit dan mencegah metabolisene
DNA (Baratawidjaja).
MMF merupakan agen dari kelasi ini yang terbaru dan saat ini benyak digunakan. Metabolit
MMF yaitu mycophenolic acd, yang mengeblok isoform spesifik limfosit inosin monofosfat
dehodroksigenase yang merupakan enzim yang dibutuhkan untuk sintesis de novo nukleotida
gaanine.
26
c. Antibodi yang bereaksi dengan struktur permikuaan sel T
Pada kebanyakan transplantasi, rejekai terutama disebabkan CMI atas peran utama sel T.
Antibodi terhadap jaringan asing berkompetisi dengan sel T untuk mengikat antigen transplantasi
sehingga antibodi tenebut dapat mencegah penghancuran oleh CMI. Pencegahan rejeksi dan
perpanjangan masa hidup graft olch antibodi spesifik disebut enhancement dan antibodi tersebut
Antibody monoclonal mencit yang benyak digunakan adalah OKT3 yang spesifik terhadap
CD3. OKt3 merupakan litic antibody dengan mengaktivasi system komplemen untuk
mengeliminasi sel T atau mengopionisasi sel T sebelum difagositosis. Antibody lainnya yang telah
digunakan di klinik adalah anti CD25 yang merupakan subunit a dari reseptor IL-2. Agen ini
mencegah aktivasi sel T dengan mengeblok IL-2 berikatan dengan sel T serta menghancurkan sel
agen yang dapat mengeblok jalur kostimulator sel T digunakan untuk mencegah rejeksi
allografi akut. Hal ini karena agen ini dapat menegah pengirima signal kedua yang dibutuhkan
dalam aktivasi sel T. bentuk soluble dari CTLA-4 melakukan fusi dengan domain Fe IgG
mencegah molekul B7 pads APC unnik berinteraksi dengan CICS sel T9 (Ablus).
e. Bahan anti-inflamasi
Steroid adrenokortikoid (prednison dan prednisolon) mempunyai khasiat anti- inflamasi. Efek
steroid ialah menstabilkan membran lisosom sehingga mencegah penglepasan enzim lisosom yang
dapat merusak jaringan. Steroid juga mencegah rejeksi dan presentasi antigen oleh APC ke sel T.
27
2.5.2 Metode untuk Mengurangi Immunogenicity Allograft
Strategi utama untuk mengurangi immunogenesitas grafi pada transplantasi adalah dengan
meminimalisasi perbedaan alloantigenik antara donor dan resipien. Untuk menghindari rejeksi
hiperakut, antigen golongan darah ABO donor graft harus identik dengan resiipien (Abbas).
Antigen ABO adalah penting oleh karena antigen itu dickspresikan pada banyak jenis sel.
Antibodinya yang sudah ada pada resipien yang inkompatibel dapat menimbulkan kerusakan
jaringan grafi misalnya pada ginjal. Berikutnya adalah antigen histokompatibilitas mayor dan
minor. MHC merupakan induksi terkuat dan reaksi rejeksi yang ditimbulkan melalui sel T.
Kesulitan dengan MHC adalah bentuknya yang sangat polimorfik. sehingga untuk menemukan
donor dan resipien yang cocok sangat sulit, kecuali pada kembur identik. Masa hidup grafi
ditentukan oleh banyaknya spesifisitas yang dimiliki bersama oleh donor dan resipien
(Baratawidjaja).
Pasien yang membutuhkan allograft juga harus diuji keberadaan antibodi yang dapat
melawan sel donor. Hal ini disebut dengan cross matching, yang dilakukan dengan cara
mencampurkan serum resipien dengan leukosit dari donor yang potensial dan ditambahkan
komplemen untuk memicu lisis sel donor yang dimediasi oleh jalur klasik. Jika terdapat antibody
pada serum resipien, biasanya yang melawan molekul MHC donor, sel donor akan mengalami
lisis. Hal inilah yang disebut dengan positif crossmach. Pada transplantasi ginjal, perlu dilakukam
minimalisasi perbedaan allelikn MHC, baik kelas I maupun kelas II, antara donor dan resipien.
Semua donor yang potensial dan resipien dilakukan "tissue typed" untuk mengidentifikasi molekul
Uji kompabilitas donor dan resipien pada transplantasi yang secara rutin dilakuakan untuk
28
a. ABO blood typing
Tes ini dilakukan pada semua transplantası, karena tidak ada graft yang dapat
bertahan pada inkompabilitas ABO antara donor dan resipien. Hal ini diakibatkan antibody
IgM natural bersifat spesifik terhadap anigen golongan darah ABO kan berakihat pada
rejeksi hiperakut. Blood typing dilakukan dengan nielakukan pencampuran sel darah
Pada transplantasi ginjal, semakin banyak allel MHC yang maich antara donor dan
resipien, semakin baik survival dari graft, terutama pada tahun pertama transplantasi. Pada
Pengalaman di klinis selama ini menunjukkan bahwa dari seluruly lokus kelas 1 dan kelas
II, hanya kecocokan HLA-A, HLA-B, dan HLA- DR yang penting dalam memrediksi
outcome. Karena masing masing gen MHC ini diekspresikan oleh dua allel, sehingga
antara donor dan resipien terdapat kemungkinan mismatch antigen MHC nol hingga enam.
Antigen-mismatch zero memprediksikan survival graft donor yang yang paling baik.
donor ginjal dapat disimpan di bank organ sebelum transplantasi hingga ditemukan resipien
dengan kecocokan yang baik. Selain itu pasien yang membutuhkan transplant ginjal dapat
dimaintain terlebih dahulu dengan dialysis. Pada kasus trasplantasi jantung dan liver,
penyimpanan organ lebih sulit dan resipin biasanya dalam kondisi yang kritis. Oleh karena
itu sering kali HLA typing sulit dilakukan dan pilihan lebih didasarkan pada kecocokan
29
HLA haplotype dapat ditentukan dengan dengan test setologis. Koleksi sera yang
standar dicampur dengan limfosit resipien pada well yang terpisah dari plate kultur
jaringan. Ditambahkan komplemen ke dalam well dan cat fluorescent akan masuk ke sel
yang mati. Setelah diinkubasi, diperiksa dengan mikroskop fluorescence. PCR dapat
reaktif terhadap molekul HLA untuk mengidentifikasi resiko rejeksi hiperakut atau akut.
Sejumlah kesil serum pasien dicampur dengan sel dari 40 hingga 60 donor yang berbeda
yang mewakili populasi donor organ pada well terpisah Ikatan antara antibody pasien
dengan sel donor pada panel ditentukan dengan lisis yang dimediasi oleh komplemen atau
menggunakan fow cytometry dengan antibody sekunder terhadap IgG yang dilabel dengan
d. Grossmatching
antibodi HLA preformed donor. Cross masching digunakan untuk memeriksa adanya
antibodi preformed terhadap HLA donor pada resipien Serum asal resipien potensial
dicampur dengan limfosit donor dan dievaluasi untuk lisis dengan bantuan komplernen
atau teknik pewarnaan imunofluoresen atau flow cytometry. Adanya sel mati atau positif
fluoresen berarti ada antibodi antidonor yang dapat menimbulkan rejeksi hiperakut, Hal ini
30
Esai ini mengidentifikasi antibodi HLA dalam serum resipien. Cross matching
untuk golongan darah juga dilakukan pada transplantasi ginjal (Baratawidjaja, 2009) Bila
serum pasien tidak menghancurkan limfosit door, Mixed Lymphocyte Reaction (MLR)
dapat dilakukan untuk menentukan apakah sel donor merangsang blastogenesis dengan
2.5.3 Metode untuk Menginduksi Toleransi terhadap Donor (Donor Specific Tolerance)
Rejeki allograft dapat dicegah dengan membuat host toleran terhadap alloantigen graft.
Toleransi dalam hal ini berarti host tidak menyebabkan injuri graft meskipun tanpa
immunosupresif maupun agen anti iflamasi Toleransi terhadap allograft akan melibatkan
mekanisme yang terlibat dalam toleransi terhadap antigen self, yaitu anergi perifer, delesi, atau
supresi aktif sel Talloreaktif. Toleransi sangat diharapkan dapat terjadi pada transplantasi karena
bersifat spesifik allcantigen dan dapat menghindarkan dari masalah utama terkait dengan
immunosupresif yang non spesifik yaitu kerentanan terhadap infeksi dan tumor yang diinduksi
oleh virus. Selain itu toleransi terhadap graft dapat mengurangi rejekai kronik yang tidak
Transplantasi kulit pada mencit yang sebelumnya telah diberi sel spleen dari denor
menimbulkan toleransi sehingga graft dapat diterima. Pada pasient ransplantasi ginjal yang
mendapatkan transfus darah yang berisi leukosit allogeneik sebelumnya menunjukkan penurunana
kejadian episode rejeksi akut dibanding dengan yang tidak mendapatkan transfusi. Saat ini tranfuxi
darah dari resipien yang potensial merupakan terapi profilaptik yang potensial untuk menurunkan
31
Strategi yang juga dikembangkan adalah untuk menginduksi sel limfosit T regulator yang
spesifik terhadap alloantigen graft. Natural regulatory T cells (Treg) diharapkan dapat mencapai
aplikisi kinis untuk menginduksi toleransi. Lebih dari 10 tahun, Treg mulai berpindah dari
eksperimen menggunakan hewan coba menuju aplikasi klinik. Meskipun mekanisme molekuler
inhibininya belum jelas terungkap, perubahan jumlah Treg ditunjukkan pada beberapa penyakit
pada manusia seperti penyakit autoimmune yang dikaitkan dengan penurunan jumlah Treg dan
Treg seringkali terakumulasi pada tumor solid dan keganasan hematologi. Memonitor jumlah Treg
merupakan salah satu cara mengidentifikasi pasien dengan resiko kekagılan graft dan
Mekanisme molekuler dari proliferasi Treg dan eliminasi Treg seperti apoptosis yang dimediasi
oleh ligan CD95 saat ini sedang diteliti kegunaanya sebagai target terapi. Ekspansi juunlah Treg
in vivo dan in vitro merupakan strategi terapi yang baru untuk mencapai toleransi parsial atau
2.6.1 Ginjal
Transplantasi ginjal dilakukan pada gagal ginjal tingkat akhir dengan menggunakan ginjal
asal anggota kehairga atau mayat sebagai donor. Matching. Jokus HLA-B dan HLA-DR sangat
penting. Sedang matching lokus HLA-A tidak memberikan keuntungan yang lebih bila resipien
Adanya sensitisasi terhadap antigen donor yang sudah terjadi sebelum transplantasi juga
penting diketahui oleh karena dapat merugikan. Hal tersebut misalnya terjadi akibat transplantasi
32
terdahulu yang menimbulkan antibodi anti- HLA. Antibodi anti-HLA jaga dapat digunakan
sebagai indikator dan adanya reaksi penolakan. Mereka yang sebeluan transplantasi tidak
mengandung anti-HLA, tetapi kemudian mengandungnya, menunjukkan masa hidup yang rendah
(12%) Sebaliknya, mereka yang sebelumnya menunjukkan anti-HLA dan kemudian tidak
menunjukkan lagi, mempunyai masa hidup tinggi (100%). IL-2 dalam serum dapat pula digunakan
Meskipun HLA matching dapat menguntungkan pada transplantasi jantung dan paru,
namun hal tersebut sering tidak sempat dilakukan. Masa hidup satu tahun mencapai 80% pada
penderita yang ditangani dengan baik rejeksi dini jantung yang menunjukkan achanya peningkatan
ekspresi MHC-1 dapat diukur dengan perubahan elektrokardiogram dan biopsi miokard. Adanya
(Baratawidjaja).
2.6.3 Hati
Hati merupakan imunogen yang lemah dan masa hidup satu tahan melebihi 70%. Mismatch
HLA sering tidak praktis dan tidak menunjukkan keuntungan pula, tetapi anti-HLA poda resipien
2.6.4 Kornca
Transplantasi komea sangat efektif dan berhasil untuk waktu yang lama, Tanpat koenca
tersebut terlindung dan aliran limfe schingga biasanya tidak. mempunyai kapiler (sequestered
antigeni. Bila terjadi vaskularisasi (misalnya akibat trauma) maka risiko rejeksi bertambah.
Matching HLA-DR mempunyai keuntungan dan imunosupresan yang menggunakan tetes steroid
33
2.6.5 Kulit
Transplantasi kulit hanya dapat dilakukan sebagai homografi oleh karena kulit sangat
imunogenik, Ada kalanya diperlukan allograft untuk setientara menutupi luka yang luas dan
Transplantasi sumsum tulang dilakukan pada defisiemi iman, aplasia hematologis dan
untuk mengganti sansum tulang pada penderita yang mendapat pengobatan agresif seperti pada
leukemia. Masa hichup berbeda yang tergantung dan berat dan jenis penyakit yaitu 70% pada
Sumsum tulang sangat imunogenik dan donor terbaik adalah saudara kembar dengan HLA
identik Kompatibilitas ABO tidaklah terlalu penting, oleh karena sel darah merah sudah
disingkirkan dari sumsum tulang dan sel atal tidak menunjukkan antigen ABO, Resipien sudah
mendapat iradiasi total dan atau dosis tinggi imunosupresan sebelum dilakukan transplantasi untuk
mengurangi risiko host versus graft rejection (GvHD), Pada transplantasi sumsum tulang selalu
ada risiko terjadinya komplikasi berupa GvHD, mengingat sumsum tulang mengandung sel T
matur. Oleh karena itu selalu diusahakan untuk menurunkan jumlah sel T tersebut. (misalnya
34
melalui biji besi magnetik yang dilapisi antibodi), meskipun tindakan. tersebut tidak selalu
meningkatkan keberhasilan (Baratawidjaja). Penyakit Graft versus Host (GvH) ialah keadaan yang
terjadi bila sel yang imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respons imun terhadap
jaringan resipien. Bila sel T yang matur dan imunokompeten ditransfasikan kepada resipien yang
alogeneik dan oleh karena salah satu sebab tidak dapat menolaknya. maka sel tersebut bereaksi
dengan sel pejamu. Reaksi yang fatal tersebut disebut GvH. Sel-sel yang diserang ialah semua sel
yang mengekspresikan MHC-IL. Sel T yang ditransfusikan akan menimbulkan reaksi CMI di
Tanda dan respons GvH antara lain pembesaran kelenjar getah bening. urnpa, hati, diare,
kemerahan di kulit, ram- but rontok, berat badan memurun dan akhirnya meninggal. Kematian
diduga terjadi karena destruksi sel pejamu dan jaringan akibat respons CMI yang berlebihan
terhadap banyak sel sasaran pada pejamu yang memiliki antigen MHC-II (Baratawidjaja).
Reaksi GVH dapat terjadi akibat transplantasi surnsam tulang kepada resipien dengan
supresi sistem imun atau akibat transfusi darah segar kepada anak atau neonatus yang
imunokompromais. Hal ini lebih mudah terjadi hila sebelum transplantasi atau transfusi tidak
diusahakan untuk menyingkirkan semua sel T matur yang imunokompeten. Dalam kedua hal
tersebut, rejeksi normal oleh resipien terhadap limfosat yang ditransfusikan tidak mungkin terjadi
(Harutawidjaja).
Sel T yang aloreaktif mengerahkan sel-sel efektor pejamu ke tempat transplantasi yang
hiasanya terjadi dalam waktu 4 minggu (GvHD akut). Organ yang dijadikan sasaran adalah hati
(terutama epitel bilier), kulit dan saluran cerma. Reaksi kronis dapat terjadi kenaadian, biasanya
menyusul GvHD akut. Reaksi tersebut hiasanya responsif terhadap peningkatan dosis
35
imunosupresan, tetapi akhirnya resipien sering menjadi sangat rentan terhadap infeksi virus
oportunistik (Baratawidjaja).
Adapun beberapa tipe donor organ tubuh dan masing-masing tipe memiliki permasalahan
sendiri, yaitu: Pertama, Donor dalam keadaan hidup sehat. Tipe ini memerlukan seleksi yang
cermat dan general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap), baik terhadap donor maupun
terhadap penerima (resipien) demi menghindari kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh
karena penolakan tubuh resipien, sekaligus mencegah resiko bagi donor; Kedua, Donor dalam
keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera. Untuk tipe ini, pengambilan organ tubuh
donor memerlukan alat kontrol dan penunjang kehidupan, misalnya dengan bantuan alat
pernafasan khusus. Kemudian alat-alat penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai
proses pengambilan organ tubuhnya. Ketiga, Donor dalam keadaan mati. Tipe ini merupakan tipe
yang ideal, sebab secara medis tinggal menunggu penentuan kapan donor dianggap meninggal
secara medis dan yuridis serta harus diperhatikan pula daya tahan tubuh yang mau diambil untuk
ditransplantasikan.
36
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Transplantasi adalah merupakan proses pengambilan sel, jaringan atau organ, disebut
dengan graft, dari satu individu dan memindahkannya ke individu yang lain. Individu yang
memberikan graft disebut dengan donor, sedangkan yang mendapatkan graft disebut dengan
resipien.
Transplantasi jaringan dari satu individu kepada resipien yang tidak identik secara genetic
menimbulkan respon imun spesifik yang disebut dengan rejeksi yang dapat menghancurkan graft.
Molekul utama yang menjadi target rejeksi transplant adalah molekul MHC allogeneik kelas I dan
II. Jalur yang pertama disebut dengan direct presentation melibatkan rekognisi dari molekul MHC
yang intak yang diekspresikan oleh APC (antigen presenting cell) donor pada graft dan hal ini
adalah konsekuensi dari kesamaan struktur dari MHC foreign (allogeneik) yang intak dengan
molekul MHC self. Cara yang kedua disebut dengan indirect presentation yang melibatkan
pemrosesan dari molekul MHC donor oleh APC resipien dan presentasi peptide yang berasal dari
Pada beberapa eksperimen menggunakan hewan coba dan pada transplantasi di klinik, sel
T CD4 atau CDS allorcaktif maupun alloantibody dapat memediasi terjadinya rejeksi allograft.
Effektor imun yang berbeda ini menyebabkan mekanisme yang terkait dengan alasan historical,
rejeksi graft diklasifikasikan bendasarkan dasar dari gambaran histopathologinya atau waktu
terjadinya rejeksi setelah transplantasi dengan istilah hiperalait, akut, dan kronik.
37
Strategi yang di gunakan pada praktek klinik maupun pada eksperimen menggunakan
hewan coba untuk menghindari atau menunda terjadinya ejekai adalah dengan penggunaan
insumosupresi dan meminimalisasi kekuatan reaksi allogeneik graft melalui proses selekai. Selain
itu, salah satu tujuan penting dalam menejemen transplantasi adalah menginduksi. toleransi yang
spesifik terhadap donor, sehingga graft dapat bertahan tanpa memerlukan immunosupresi yang
nonspesifik.
3.2 Saran
Dengan dibuatnya makalah ini semoga pembaca dapat memahami mengenai Imunologi
Transplantasi. Penulis berharap makalah ini dapat menambah wawasan para pembaca sekalian.
Penulis juga berharap para pembaca dapat terus memberikan kritik dan saran yang membangun
38
DAFTAR PUSTAKA
Wulandari, Dewi. 2023. Pemeriksaan Imunologi Transplantasi : HLA - Tiping, Donor, Specific
ScienceDirect
Otsuka, Ryo. Haruka wada. 2020. Reaksi Imun dan Regulasi Dalam Transplantasi Berdasarkan
Desi Oktariana, Legiran Legiran, Phey Liana, Kemas Y Rahadiyanto, Gita D Prasasty, Evi
Lusiana, Nia S Tamzil. 2022. Transplantasi Stem Cell untuk Keganasan Hematologi. Jakarta :
Jamali, Laquna Lia. 2019. Transplantasi Organ Tubuh Manusia Perspektif Al-Qur'an.
Mubarriroh, Niswatin. 2021. Transplantasi Dalam Kajian Islam : Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu
Hendarsula, Annisa Rahma. 2024. Uji Aktivitas Imunostimulan Esktrak Etanol Umbi Sarang
Semut (Myrmecodia archboldiana Merr. & L.M. Perry) Pada Tikus Putih Jantan. Depok :
Universitas Indonesia