Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 7

KRITIK HADIST

Bintang Allya Denanda, Gustika Novita

ABSTRACT

This article discusses criticism of hadith, in Arabic it is usually translated as "criticism"


which comes from Latin. Criticism itself means judging, comparing, weighing. Naqd in
popular Arabic means research, analysis, checking and differentiation. Research into hadith
criticism needs to be carried out, which does not mean underestimating the hadith of the
Prophet Muhammad, but by looking at the limitations of hadith narrators as humans, who
sometimes make mistakes, either because they forget or because they are driven by certain
interests. The existence of a hadith narrator greatly determines the quality of the hadith, both
the quality of the sanad and the quality of the hadith matan. As long as these narrations
require in-depth research and study to find out which ones can be accepted and which ones
are rejected, it is absolutely necessary to have rules and standards as a reference for carrying
out critical studies of hadiths. Hadith criticism activities became widespread in the 3rd
century Hijriyah. However, this does not indicate that in the previous era there was no hadith
criticism activity at all. Because when hadith research is understood (simplistically) as an
effort to differentiate between authentic and invalid hadith, then the activity of criticizing
hadith in such a simple form has emerged since the time when the Prophet was still alive.

Keywords: criticism, hadith criticis

ABSTRAK

Artikel ini membahas tentang kritik hadist, dalam bahasa arab lazim diterjemahkan dengan
“kritik” yang berasal dari bahasa latin. Kritik itu sendiri berarti menghakimi, membanding,
menimbang. Naqd dalam bahasa arab popular berarti penelitian, analisis, pengecekan dan
pembedaan. Penelitian kritik hadis perlu dilakukan, bukan berarti meragukan hadis Nabi
Muhammad saw, tetapi melihat keterbatasan perawi hadis sebagai manusia, yang adakalanya
melakukan kesalahan, baik karena lupa maupun karena didorong oleh kepentingan tertentu.
Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun
kualitas matan hadis. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian
mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, maka mutlak
diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokan sebagai acuan melakukan studi kritik Hadis.

1
Aktivitas kritik hadis marak terjadi pada abad ke-3 hijriyah. Namun hal tersebut tidak
menunjukkan bahwa di era sebelumnya sama sekali tidak terjadi kegiatan kritik hadis. Sebab
ketika penelitian hadis dipahami(dengan sederhana)sebagai upaya untuk membedakan antara
hadis yang sahih dan yang tidak sahih, maka kegiatan kritik hadis dalam bentuk yang begitu
sederhana telah muncul sejak masa Rasululullah masih hidup.

Kata kunci : kritik, kritik hadist

PENDAHULUAN

Kritik hadist memiliki peran penting dalam menjaga dan mewariskan teks suci Islam,
yaitu hadis Nabi Muhammad SAW. Dalam artikel ini, akan dibahas secara komprehensif
mengenai kritik hadist. Referensi yang digunakan dalam artikel ini mencakup berbagai
sumber terpercaya, termasuk kitab-kitab hadis terkenal dan karya-karya ulama hadis
terkemuka.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan oleh artikel ini adalah metode kualitatif.metode
kualitatif adalah penelitian yang bersifar deskriptif dan cenderung menggunakan analisis.
Penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang menggambarkan semua data atau
keadaan subjek atau pun objek yang menggambarkan semua data.

PEMBAHASAN

A. Pengertian atau Penelitian Kritik Hadist


Kata penelitian (kritik) dalam ilmu Hadits sering dinishbatkan pada kegiatan
penelitian Hadits yang disebut dengan al Naqd yang secara etimologi adalah bentuk
masdar dari yang berarti mayyaza, yaitu memisahkan sesuatu yang baik dari yang
buruk. Kata al Naqd itu juga berarti “kritik” seperti dalam literatur Arab ditemukan
kalimat Naqd al kalam wa naqd al syi’r yang berarti “ mengeluarkan kesalahan atau
kekeliruan dari kalimat dan puisi.
Sementara pengertian kritik Hadits secara terminologi adalah “upaya
membedakan antara Hadits-hadits shahih dari Hadits-hadits dhoif dan menentukan
kedudukan para periwayat Hadits tentang kredibilitas maupun kecacatannya.”1
Penetapan status cacat atau adil pada perawi Hadits dengan mempergunakan idiom

1
Rahman Fatur, Ihtisar Musthalahul Hadis, Cet Ke 1, (Bandung : Alma’rif, 1974), Hlm.40

2
khusus berdasarkan bukti-bukti yang mudah diketahui oleh ahlinya, dan mencermati
matan-matan Hadits sepanjang sahih sanadnya untuk tujuan mengakui validitas atau
menilai lemah, dan upaya menyingkap kemusykilan pada matan Hadits yang sahih
serta mengatasi gejala kontradiksi antara matan dengan mengaplikasikan tolak ukur
yang detil.
Jadi kritik Hadits adalah usaha untuk menguji kelayakan sanad dan matan Hadits
dengan tujuan mengakui kelemahan dan kekuatan sanad dan menetapkan kebenaran
dan kesalahan matan. Adapun kawasan kritik Hadits adalah meliputi penelitian sanad
dan matan Hadits, sebab kualitas kedua hal tersebut menjadi tolak ukur sahih atau
tidaknya sebuah Hadits.
Bercermin pada perumusan kritik hadits di atas, maka hakikat kritik hadits bukan
untuk menilai salah atau membuktikan ketidak benaran sabda Rasulullah saw, karena
otoritas nubuwah dan penerima mandat risalah dijamin terhindar dari salah ucap atau
melanggar norma, tetapi sekadar uji perangkat yang memuat informasi tentang beliau,
termasuk uji kejujuran informatornya.

B. Tujuan dan Objek Penelitian atau Kritik Hadist


Tujuan kritik matan menurut Muhammad Thahir alJawabi menjelaskan dua tujuan
kritik matan, yaitu:
1. Untuk menentukan benar tidaknya matan ḥadῑṡ.
2. Untuk mendapatkan pemahaman yang benar mengenai kandungan yang terdapat
dalam sebuah matan ḥadῑṡ.2
Dengan demikian, kritik matan ḥadῑṡ ditujukan untuk meneliti kebenaran
informasi sebuah teks ḥadῑṡ atau mengungkap pemahaman dan interpretasi yang benar
mengenai kandungan matan ḥadῑṡ. Dengan kritik hadis kita akan memperoleh informasi
dan pemahaman yang benar mengenai sebuah teks ḥadῑṡ.
Adapun Obyek kritik matan meliputi beberapa di antaranya:
1. Ḥadῑṡ Ṣaḥῑḥ ialah ḥadῑs yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat
yang ‘adil dan ḍabiṭ, tidak terdapat syaẓ dan’illah. Ḥadῑs ṣaḥῑḥ bertujuan
menentukan kualitas ḥadῑṡ dan dapat dijadikan ḥujjah dalam pengambilan suatu
hukum.3

2
Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang:UIN Press, 2008),hlm.26
3
M. Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), hlm.244

3
2. Mukhtalif al-Ḥadῑṡ ialah dua ḥadῑṡ maqbul yang secara lahir maknanya
bertentangan dan dapat dikompromikan muatan makna keduanya dengan cara
yang wajar. Tujuan ilmu ini mengetahui ḥadῑṡ mana saja yang kontra satu dengan
yang lain dan bagaimana pemecahannya atau langkah-langkah apa yang
dilakukan para ulama dalam menyikapi ḥadῑṡḥadῑṡ yang kontra tersebut.

C. Latar Belakang Pentingnya Penelitian atau Kritik Hadis


M. Syuhudi Ismail menjelaskan 6 faktor yang melatar belakangi pentingnya kritik
hadis:
1. Hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran islam
2. Tidak seluruh hadis ditulis pada jaman Nabi
3. Telah muncul beragam pemalsuan hadis
4. Proses penghimpunan hadis membutuhkan waktu yang lama
5. Jumlah kitab hadis yang banyak dengan metode penyusunan yang beragam
6. Telah terjadi periwayatan hadis secara makna

D. Sejarah Penelitian dan Kritik Hadist


1. Kritik Matan dimasa Nabi SAW
Nabi Muhammad saw sebagai tokoh sentral dalam agama Islām, pada masa
Nabi kritik matan ḥadῑṡ seperti sangat mudah karena keputusan tentang otentitas
sebuah ḥadῑs berada ditangan Nabi sendiri. Lain halnya sesudah Nabi wafat kritik
ḥadῑs tidak dapat dilakukan dengan menanyakan kembali kepada Nabi, melainkan
menanyakan dengan orang yang ikut mendengar atau melihat ḥadῑṡ itu berasal dari
Nabi.
Kritik matan pada masa Nabi saw, lebih mudah dilakukan dibandingkan kritik
matan setelah masa sahabat. Pada masa Nabi SAW, sahabat yang menemukan
“kejanggalan” atau kesulitan dalam memahami perkataan atau perbuatan Nabi
dapat langsung menanyakan kepada Nabi saw dan menerima penjelasan apa yang
dimaksud dengan perkataan atau perbuatan beliau, karena Nabi SAW adalah
sebagai subyek yang paling mengetahui maksud tindakan atau perkataan beliau.

2. Kritik Matan dimasa Sahabat

Proses transfer (pengoperan) informasi ḥadῑs di kalangan sesama sahabat Nabi


saw cukup berbekal kewaspadaan terhadap kadar akurasi pemberitaan. Kondisi

4
daya ingat, ketetapan persepsi dalam menguasai fakta kehadisan di masa hidup
Nabi dan faktor gangguan indera mata itu saja yang perlu dicermati dampaknya.
Antara sesama sahabat tidak terpantau kecenderungan mencurigai kedustaan,
baik dalam memberitakan sendiri sendiri setiap informasi ḥadῑṡ atau yang berasal
dari sahabat lain. Latar belakang tersebut kiranya yang memdasari Imam Syafe‟i
bersikap optimis untuk mendukung kehujjahan ḥadῑṡ mursal ṣaḥabi, utamanya
yang melibatkan ṣaḥabat senior.4
Pada periode sahabat menurut pengamatan al-Hakim dan alDzahabi adalah
Abu Bakar al-Shiddiq sebagai tokoh perintis pemberlakuan uji kebenaran informasi
ḥadῑṡ. Motif utama penerapan kritik matan adalah dalam rangka melindungi jangan
sampai terjadi kedustaan dengan mengatasnamakan Rasulullah saw. Motif itu
seperti terungkap pada pernyataan Umar ibn Khatthab kepada Abu Musa al-
Asy‟ari “Saya sesungguhnya tidak mencurigai kamu, akan tetapi saya khawatir
orang (dengan seenaknya) memperkatakan sesuatu pada Rasulullah saw.

E. Kode Etik Penelitian dan Kritik Hadist


Periwayatan hadits tidak dapat dilakukan serampangan. Terdapat beberapa aturan
atau syarat-syarat dalam melakukan penelitian dan kritik periwayatan hadist diataranya
adalah sebagai berikut.
Pertama, syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi antara lain sebagai berikut:
1. Bersifat adil, dalam pengertian ilmu hadis dan sifat adil itu tetap terpelihara
ketika melakukan penilaian terhadap periwayat hadis
2. Tidak bersikap fanatik terhadap aliran yang dianutnya
3. Tidak bersikap bermusuhan dengan periwayat yang berbeda aliran atau madzhab
dengannya
4. Jujur
5. Takwa
6. Wafa’.
Kedua, syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan yakni memiliki
pengetahuan yang luas dan mendalam. Khususnya yang berkenaan dengan:
1. Ajaran Islam
2. Bahasa Arab

4
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009),hlm.88

5
3. Hadits dan ilmu hadits
4. Pribadi periwayat yang dikritiknya
5. Adat istiadat yang berlaku dan sebab-sebab keutamaan dan ketercelaan periwayat.
Disamping itu juga, syarat subjektif, terdapat norma kritik yang harus dipegang
oleh kritikus periwayat. Norma-norma itu ditetapkan oleh para ulama dengan tujuan
memelihara objektivitass penilaian periwayat dan pemeliharaan akhlak mulia dalam
melakukan kritik. Tegasnya, kritikus periwayat yang memenuhi persyaratan
subjektif diharuskan pula memenuhi norma-norma objektif agar penilaianya akurat
dan valid. Norma-norma tersebut adalah:
Pertama, dalam melakukan kritik, kritikus periwayat tidak hanya mengemukakan
sifat-sifat negatif dan tercela yang memiliki periwayat hadits, tetapi juga sifat-sifat
positif dan utama. Ini dimaksudkans agar terjadi keseimbangan penilaian dan dapat
dijadikan pertimbangan apakah riwayatnya dapat diterima ataukah tidak.
Kedua, penjelasan tentang sifat-sifat positif dan ulama yang dikemukakan oleh
kritikus hadis tidak harus terperinci satu persatu, tetapis dapat berupa penjelasan
global. Konsiderasi seorang kritikus dapat diterima dengan ungkapan yang bersifat
umum seperti ungkapan isiqah (terpercaya) untuk mewakili karakter peristiwa yang
adil (terjaga kapasitas pribadinya) dan dhabith (terpelihara kualitas intelektualnya).
Kata istiqah dapat mewakili karakter-karakter yang bersifat khusus, yaitu beragama
Islam, takwa, memelihara muru’ah, teguh dalam beragama, tidak berbuat dosa kecil
terus-menerus, dosa besar, maksiat, tidak fasik, baik ahlaknya, dapat dipercaya
beritanya, biasanya benar, kuat hafalan, cermat, dan teliti.
Ketiga, dalam mengemukakan sifat-sifat negatif tidak dilakukan secara
berlebihans. Ungkapan yang digunakan juga harus jelas aspek yang dikritik apakah
tentang kapasitas pribadi, kualitas intelektual, atau keduanya. Penjelasan harus pula
dikemukakan secara etis sehingga nama baik periwayt tidak dirusakan oleh hal-hal
yang tidak ada hubungannya dengan periwayatan hadits.
Kode etik kritik tidak hanya terlihat pada tiga aspek diatas, redaksi kritik yang
dikemukakan oleh ulama juga mencerminkan norma-norma etis. Meskipun para
ulama mengemukakan redaksi beragama, sebagian bersifat keras dan sebagian lain
lunak, redaksi kritik yang digunakan tidak melampaui batas.

6
KESIMPULAN

Berdasarkan kajian di atas dapat disimpulkan bahwa kritik hadis adalah suatu upaya
untuk menyeleksi kehadiran hadis, memberikan penilaian dan membuktikan kemurnian dan
keaslian sebuah hadis. Upaya ini juga berarti mendudukkan hadis sebagai hal yang sangat
penting sebagai sumber hukum Islam kedua, itulah bukti kehati-hatian kita. Upaya ini juga
sebagai upaya untuk memahami hadis dengan tepat dalam mengamalkan isi dari hadis
tersebut.

Munculnya kegiatan penelitian/koreksi terhadap hadist sejak masa Rasulullah Saw.


masih hidup adalah menjadi bukti sejarah bagi terjaganya kemurnian dan keaslian hadis
sampai masa sekarang ini. Namun untuk mengantisipasi kepalsuan hadis atau ketidak
murniannya akibat diriwayatkan oleh orang yang rendah kapasitas intelektualnya, kurang
kesalehannya (fasik), dan dipalsukan non Islam maka menjadi suatu keharusan bagi kita
untuk bersikap hati-hati dalam menerima hadis dengan melakukan kritik atau penelitian
terhadap kualitas sanad dan matan hadis tersebut berdasarkan metode penelitian hadis yang
tepat dan akurat.

REFERENSI

Khon Abdul Majid, Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2009)


Fatur Rahman, Ihtisar Musthalahul Hadis, Cet Ke 1, (Bandung : Alma’rif, 1974)
Sumbulah Umi, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, (Malang:UIN Press, 2008)
Suryadilaga M. Alfatih, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015)

You might also like